Anda di halaman 1dari 76

MAKALAH FARMAKOLOGI II

ANTIVIRUS

DISUSUN OLEH :

1. RESQIA NUZIATUL UMAMI (20160001)


2. ANADA MUHAMMAD IQBAL (21160005)
3. ABELLA SEPTIANA PUTRI (21160013)
4. NUR ADILA (21160018)
5. WASCA TIRTA SARI (21160022)
6. RAHMI ALYA RAMADHANI (21160032)

DOSEN PENGAMPU :

Apt. HELMICE AFRIYENI, M.FarmNIDN : 1014048206

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

UNIVERSITAS DHARMA ANDALAS

PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok
untuk mata kuliah Farmakologi II dengan judul : “ANTIVIRUS”

Banyak terima kasih kami ucapkan kepada Dosen Pengampu, Ibu Apt. Helmice
Afriyeni,M,Farm. yang telah membantu kami dalam pengarahan materi untuk menyusun makalah
ini. Terima kasih kepada anggota kelompok dan semua pihak yang tidak dapat penulis rinci satu per
satu yang telah menbantu dalam proses penyusunan makalah ini.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kam miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan
segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak.Akhirnya
kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia
pendidikan.

Padang, Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................

DAFTAR ISI...............................................................................................................................

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ............................................................................................................

1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................................

1.3. Tujuan .........................................................................................................................

BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Antivirus...............................................................................................................................

2.2 HIV...........................................................................................................................…

2.3. Obat Untuk Infeksi Virus Herpes Simpleks (HSV) & Virus Varuseka Zoster (VZV)
……………………………………………………………………………………………

BAB III.

PENUTUP

3.1 Kesimpulan .................................................................................................................

3.2 Saran ...........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Obat antivirus adalah kelas obat yang khusus digunakan untuk pengobatan infeksi virus. Obat
yang melawan infeksi virus disebut obat antivirus. Virus adalah salah satu agen patogen utama yang
menyebabkan sejumlah penyakit serius pada manusia, hewan, dan tumbuhan. Virus menyebabkan
banyak penyakit pada manusia, mulai dari penyakit yang dapat disembuhkan sendiri hingga penyakit
akut yang fatal. Strategi pengembangan obat antivirus difokuskan pada dua pendekatan berbeda:
Menargetkan virus itu sendiri atau faktor sel inang. Obat antivirus yang langsung menyasar virus
antara lain penghambat perlekatan virus, penghambat masuknya virus, penghambat uncoating,
penghambat polimerase, penghambat protease, penghambat nukleosida dan nukleotida balik
transkriptase dan penghambat integrase.
Kemajuan dalam terapi antivirus dimulai pada awal tahun 1950-an, ketika pencarian obat
antikanker menghasilkan beberapa senyawa baru yang mampu menghambat sintesis DNA virus. Dua
obat antivirus: generasi pertama, 5 iododeoksiuridin dan trifluorotimidin, memiliki spesifisitas yang
rendah (yaitu mereka menghambat DNA sel pejamu selain DNA virus) yang menyebabkan keduanya
terlalu toksik untuk digunakan secara sistemik. Namun, kedua obat ini efektif jika digunakan secara
topikal untuk mengobati keratitis herpes.
Pengetahuan tentang mekanisme replikasi virus telah memberi pemahaman mengenai tahap-
tahap kritis dalam daur hidup virus yang dapat dijadikan sasaran terapi anti virus. Riset akhir-akhir
ini difokuskan pada identifikasi obat-obat yang memiliki selektivitas lebih besar, potensi lebih kuat,
stabilitas in vivo, dan toksisitas yang lebih rendah. Terapi antivirus kini telah tersedia untuk herpes
virus, virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis B (HBV), papilomavirus. influenza, dan virus
imunodefisiensi manusia (HIV). Obat-obat antivirus memiliki kesamaan, yaitu bersifat virustatik;
mereka hanya aktif terhadap virus yang sedang bereplikasi dan tidak memengaruhi virus laten.
Sementara sebagian infeksi memerlukan monoterapi untuk waktu singkat (mis. asiklovir untuk virus
herpes simpleks), yang lain memerlukan terapi ganda untuk waktu lama (interferon alfa/ribavirin
untuk HCV), sementara yang lainnya memerlukan banyak obat untuk masa yang tak terbatas (HIV)
pada penyakit kenik, sepeni hepatitis virus dan infeksi HIV, inhibisi replikasi virus merupakan hal
yang sangat penting dalam membatasi luas kerusakan sistemik.
1.2. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Antivirus?

2. Epidemiologi antivirus?

3. Patofisiologi antivirus?

1.3. Tujuan

1. Mengetahui apa itu Antivirus

2. Mengetahui klasifikasi antivirus

3. Mengetahui cara kerja obat antivirus


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN ANTIVIRUS

Virus adalah parasit intrasel obligat; replikasi mereka bergantung terutama pada
proses-proses sintetik sel pejamu. Karena itu, agar efektif, obat antivirus harus menghambat virus
masuk atau keluar sel atau aktif di dalam sel pejau. Sebagai suatu konsekuensi yang wajar, inhibitor
non selektif replikasi virus dapat mengganggu fungsi sel pejamu, dan menyebabkan toksisitas.
Kemajuan dalam terapi antivirus dimulai pada awal tahun 1950-an, ketika pencarian obat antikanker
menghasilkan beberapa senyawa baru yang mampu menghambat sintesis DNA virus. Dua obat
antivirus: generasi pertama, 5 iododeoksiuridin dan trifluorotimidin, memiliki spesifisitas yang
rendah (yaitu mereka menghambat DNA sel pejamu selain DNA virus) yang menyebabkan keduanya
terlalu toksik untuk digunakan secara sistemik. Namun, kedua obat ini efektif jika digunakan secara
topikal untuk mengobati keratitis herpes.

2.2 HIV
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pertama kali dikenali pada sekelompok pria
homoseksual muda yang sebelumnya sehat dan mengalami defisit imunologi yang parah,
Pneumocystis carinii (sekarang P. jirovecii) pneumonia (PCP), dan/atau sarkoma Kaposi. Retrovirus,
human immunodeficiency virus tipe 1 (HIV-1), adalah penyebab utama AIDS. Retrovirus kedua,
HIV-2, juga diketahui menyebabkan AIDS, meskipun kurang ganas, menular, dan lazim
dibandingkan HIV-1. Retrovirus ini ditularkan terutama melalui hubungan seksual dan kontak dengan
darah atau produk darah yang terinfeksi. Beberapa perilaku berisiko tertular infeksi HIV telah
diidentifikasi di Amerika Serikat, terutama praktik hubungan seksual anorektal dan penggunaan
jarum suntik yang terkontaminasi darah oleh pengguna narkoba suntikan. Di banyak negara dengan
sumber daya terbatas, sebagian besar penularan HIV terjadi melalui hubungan heteroseksual dan dari
perempuan yang melahirkan ke keturunannya. Pada awalnya, penatalaksanaan medis HIV terdiri dari
pengobatan berulang untuk infeksi oportunistik (OIS) dan akhirnya perawatan paliatif. Pada
pertengahan tahun 1990an, era baru dalam farmakoterapi HIV, yang dikenal sebagai terapi kombinasi
antiretroviral (ART), lahir. ART terdiri dari kombinasi obat antiretroviral dengan mekanisme kerja
berbeda yang ampuh dan tahan lama menekan replikasi HIV, menunda timbulnya AIDS,
membalikkan defisit imunologi terkait HIV, mengurangi penularan HIV, dan memperpanjang
kelangsungan hidup secara signifikan. Obat antiretroviral modern dan rejimen ART telah
meningkatkan tolerabilitas dan kemanjuran. Namun demikian, tantangan terapeutik masih ada di era
ART saat ini dan mencakup perlunya kepatuhan terus-menerus terhadap pengobatan dan perawatan,
interaksi obat-obat, HIV yang resistan terhadap obat, toksisitas obat akut dan jangka panjang, serta
komplikasi lain yang terkait dengan masa hidup yang berkepanjangan. Meskipun terdapat kemajuan
dalam akses pengobatan untuk penyakit ini, sejumlah besar orang yang terinfeksi HIV masih berada
di luar layanan kesehatan, baik secara nasional maupun global. Upaya signifikan untuk
mengembangkan vaksin HIV belum membuahkan hasil. Namun, penggunaan obat antiretroviral
sebagai profilaksis secara efektif mencegah infeksi HIV pada orang yang berisiko tinggi terpajan dan
mereka yang baru saja terpajan virus tersebut.

EPIDEMIOLOGI
Karakteristik epidemiologi infeksi HIV berbeda menurut wilayah geografis dan bergantung
pada cara penularan, pemerintah upaya dan sumber daya pencegahan, dan faktor budaya. Penularan
HIV terjadi melalui tiga cara utama: seksual, parenteral, dan perinatal. Hubungan seksual, terutama
anal dan vagina hubungan seksual, adalah metode penularan yang paling umum. Kemungkinan
Penularan HIV tergantung pada jenis paparan seksual. Risiko tertinggi tampaknya berasal dari
hubungan anorektal reseptif sekitar 1,4 transmisi per 100 tindakan seksual. Risiko penularan lebih
rendah pada hubungan seksual reseptif, dan tindakan seks insertif memiliki risiko lebih rendah
dibandingkan tindakan reseptif. Penggunaan kondom berkurang risiko penularan sekitar 80%. Faktor
lain yang mempengaruhi kemungkinan infeksi termasuk stadium penyakit HIV dan viral load di
dalamnya mitra indeks. Misalnya, penularan secara signifikan lebih tinggi ketika indeks pasangannya
mengidap HIV dini atau terlambat dibandingkan dengan HIV tanpa gejala, seperti penyakit ini
tahapan berhubungan dengan viral load yang lebih tinggi. Orang dengan tukak genital atau infeksi
menular seksual mempunyai risiko lebih besar untuk tertular HIV. HIV insiden dan prevalensi lebih
rendah pada budaya yang menganjurkan sunat pada pria, yang diperkirakan mengurangi risiko tertular
HIV pada pria 50%. Kontak biasa dengan pasien AIDS atau infeksi HIV bukanlah a faktor risiko
yang signifikan terhadap penularan HIV. Pencegahan penularan seksual difokuskan terutama pada
pendidikan mendorong praktik seks yang lebih aman seperti penggunaan kondom dan pengurangan
risiko tinggi perilaku (misal, persetubuhan atau pergaulan bebas dengan pasangan yang tidak
diketahui status HIVnya). Alat yang ampuh untuk pencegahan HIV adalah kombinasi ART untuk
orang yang terinfeksi individu, karena hal ini secara signifikan menurunkan replikasi dan penularan
virus, secara signifikan mengurangi risiko penularan ke orang lain.
Faktanya, HIV komunitas ilmiah telah mendukung gagasan bahwa "U = U", yang artinya
tidak terdeteksi (HIV-RNA plasma) = tidak menular (tidak ada penularan HIV).Alat pencegahan lain
yang efektif adalah kemoprofilaksis dengan obat antiretroviral, karena hal ini secara signifikan
mengurangi risiko penularan HIV di antara mereka yang tidak terinfeksi individu. Pendekatan
gabungan telah dianjurkan untuk mendapatkan hasil yang optimal pencegahan. Untuk mencegah de
vaksin HIV dan mikrobisida vagina/rektal topikal, seperti cincin vagina yang diresapi obat
antiretroviral.
Penularan HIV parenteral secara luas mencakup infeksi yang disebabkan oleh paparan
darah yang terinfeksi dari tusukan jarum suntik, suntikan IV dengan jarum bekas, penerimaan produk
darah, dan transplantasi organ. Penggunaan jarum yang terkontaminasi atau perlengkapan terkait
suntikan lainnya yang dilakukan oleh penyalahguna narkoba menjadi penyebab utama transmisi
parenteral. Risiko penularan HIV dari berbagi jarum suntik adalah sekitar 0,67 per 100
episode.Strategi pencegahan termasuk penghentian penyalahgunaan narkoba, mendapatkan jarum
suntik dari sumber yang dapat dipercaya (misalnya apotek), tidak pernah menggunakan kembali
perlengkapan apa pun, menggunakan prosedur steril dalam semua aktivitas menyuntik, dan
membuang perlengkapan bekas dengan aman. Sebelum skrining meluas, HIV mudah ditularkan
melalui darah produk. Namun, produk darah dan tisu di sistem layanan kesehatan saat ini sudah tidak
ada lagi diskrining secara ketat untuk HIV. Perkiraan risiko menerima darah tercemar atau produk
darah di Amerika jauh di bawah 1:1.000.000 dan itu berarti menerima transplantasi jaringan tercemar
adalah 1:55.000.Petugas kesehatan memiliki risiko pekerjaan yang kecil namun pasti untuk tertular
HIV secara tidak sengaja paparan. Sebagian besar kasus HIV yang tertular di tempat kerja disebabkan
oleh a cedera tertusuk jarum perkutan, yang diperkirakan memiliki risiko 0,3%. menularkan HIV.
Paparan mukokutan (misalnya, percikan darah tercemar pada mata, mulut, atau hidung) membawa
risiko penularan sekitar 0,09%.15 Faktor risiko yang signifikan untuk serokonversi tertusuk jarum
termasuk dalam cedera, cedera dengan perangkat yang terlihat terkontaminasi darah, dan HIV
stadium lanjut penyakit pada pasien indeks (viral load tinggi). Risiko penularan dari suatu Petugas
kesehatan yang terinfeksi HIV sangat jauh dari pasiennya. Luas pedoman medis, termasuk profilaksis
obat antiretroviral, telah ditetapkan dikembangkan untuk meminimalkan bahaya penularan HIV bagi
petugas kesehatan 12,15 dan bagi orang-orang yang terpapar melalui pemerkosaan atau cara lain.

Infeksi perinatal, atau penularan vertikal, adalah penyebab paling umum infeksi HIV pada
anak. Sebagian besar infeksi terjadi selama atau dekat saat kelahiran, meskipun sebagian kecil dapat
terjadi di dalam rahim. Risiko penularan dari ibu ke anak adalah sekitar 25% jika tidak ada ART.
Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan penularan vertikal antara lain ketuban pecah dini,
korioamnionitis, infeksi genital selama kehamilan, kelahiran prematur, persalinan pervaginam, berat
badan lahir kurang dari 2,5 kg, penggunaan obat-obatan terlarang dan merokok selama kehamilan,
serta viral load ibu yang tinggi. Menyusui juga dapat menularkan HIV. Frekuensi penularan melalui
ASI adalah sekitar 5% hingga 10% pada 6 bulan pertama dan 15% hingga 20% pada usia 18 hingga
24 bulan.Tingginya tingkat virus dalam ASI dan ibu berhubungan dengan risiko lebih tinggi tertular
penyakit. penularan. Pemberian susu formula mencegah penularan HIV melalui ASI, namun mungkin
juga terjadi tidak memperbaiki angka kematian akibat sebab-sebab lain pada awal kehidupan di
wilayah yang sumber dayanya terbatas pengaturan.Di Amerika Serikat, ibu yang terinfeksi HIV
disarankan untuk tidak melakukan hal ini menyusui. Serangkaian pedoman medis yang terpisah dan
komprehensif termasuk profilaksis obat antiretroviral telah dikembangkan untuk meminimalkan
risiko penularan HIV dari ibu ke anak.
Orang dengan infeksi HIV secara luas dikategorikan sebagai orang yang hidup dengan HIV
dan mereka yang didiagnosis AIDS (stadium 3). Diagnosis AIDS ditegakkan ketika keberadaan HIV
dikonfirmasi secara laboratorium dan kelompok diferensiasinya 4 (CD4; sel T-helper) turun di bawah
200 sel/mm³ (0,2 x 109/L) untuk mereka yang lebih tua atau sama dengan usia 6 tahun, atau setelah
kondisi indikator AIDS didiagnosis. Perbedaan lebih lanjut mengenai stadium HIV dan AIDS
(stadium 3) diberikan di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) yang Direvisi definisi
kasus pengawasan (Tabel 143-1). Di Amerika Serikat, CDC memperkirakan epidemiologi HIV
menggunakan model yang mengandalkan data surveilans departemen kesehatan negara bagian dan
lokal. Dengan menggunakan model ini, diperkirakan bahwa sekitar 1,1 juta orang saat ini hidup
dengan HIV (semua tahap) di dunia Amerika Serikat dan sekitar 507.000 orang meninggal karena
komplikasi Infeksi HIV. Yang penting, sekitar 15% orang dengan HIV menderita penyakit ini tidak
menyadari infeksi mereka dan hanya sekitar 45% dari mereka yang sadar infeksi mereka tetap
dirawat. Oleh karena itu, mayoritas terinfeksi HIV orang (~60%) tidak menerima ART secara rutin,
dan hal ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penularan infeksi HIV yang sedang
berlangsung di Amerika Serikat, secara total 21,22 sekitar 38.500 infeksi baru per tahun.

TABEL 143-1 Definisi Kasus Surveilans Berdasarkan Tahapan Infeksi HIV tentang Jumlah CD4+
T-limfosit, Amerika Serikat, 2014
Epidemi di Amerika Serikat awalnya terjadi pada laki-laki yang berhubungan seks dengan
laki-laki (LSL), dan populasi ini terus terkena dampak HIV, terhitung sekitar 65% dari
kasus baru. Penularan melalui heteroseksual menyumbang sekitar 25% dari kasus baru.
kasus dan sekitar 75% di antaranya adalah perempuan. Penggunaan narkoba suntikan
merupakan 10% dari kasus baru. Bagi perempuan, faktor risiko utama penularan adalah
hubungan heteroseksual (~87% kasus) dan penggunaan narkoba suntikan (~12% kasus).
Bagi laki-laki, risiko utama adalah LSL (~78%), hubungan seks heteroseksual (~10%), dan
penggunaan narkoba suntikan (~10%). Orang Amerika keturunan Afrika dan Hispanik
merupakan kelompok yang paling terkena dampak infeksi HIV. Dari infeksi baru dalam
beberapa tahun terakhir, 44% adalah orang Amerika keturunan Afrika dan Amerika 24%
adalah keturunan Hispanik, meskipun populasi ini masing-masing hanya berjumlah 12%
dan 18% dari populasi AS. Sebagian besar dari populasi ini tidak memiliki akses terhadap
layanan pencegahan, perawatan, dan pengobatan yang tepat, sehingga hal ini merupakan
tantangan kesehatan masyarakat yang signifikan. Jumlah orang yang hidup dengan
HIV/AIDS secara global telah meningkat menjadi sekitar 37 juta orang. Peningkatan baru-
baru ini disebabkan oleh umur yang lebih panjang akibat penerapan ART yang lebih luas
di seluruh dunia. Hal ini telah mengurangi angka kematian dan angka infeksi baru dalam
beberapa tahun terakhir. Misalnya, jumlah puncak infeksi baru adalah 3,3 juta per tahun
pada tahun 2002 dan angka ini telah menurun menjadi 1,8 juta pada tahun 2017. Infeksi
baru pada anak-anak (sebagian besar disebabkan oleh penularan dari ibu ke anak) telah
menurun sebesar 35% antara tahun 2010 dan 2017. , dan kematian secara keseluruhan telah
menurun sekitar 50% sejak tahun 2004. Namun demikian, sekitar 940.000 orang meninggal
karena HIV/AIDS pada tahun 2017 dan HIV/AIDS masih menjadi kontributor utama beban
penyakit global.23,24 Konsentrasi HIV/AIDS tertinggi Kasus AIDS di dunia berada di
Afrika Sub-Sahara, dimana sekitar 25 juta orang tertular. Namun, infeksi baru telah
menurun di sana sekitar 30% sejak tahun 2010, meskipun dengan perbedaan regional.
1,23,24 Penularan melalui heteroseksual adalah cara penularan yang paling umum di Afrika
Sub-Sahara dan di seluruh dunia (~80% kasus). Perempuan di Afrika sub-Sahara dan
negara-negara dengan sumber daya terbatas memiliki risiko tinggi tertular HIV karena
faktor biologis dan budaya yang mendorong penularan HIV, seperti terbatasnya
kemampuan untuk menolak seks.23 Ciri-ciri epidemiologi penting lainnya dari epidemi
HIV termasuk meningkatnya insiden di kalangan pengguna narkoba suntikan di Utara
Afrika dan Timur Tengah, serta beberapa wilayah di Eropa Timur dan Asia Tengah
(misalnya, Rusia dan Ukraina).

ETIOLOGI
ETIOLOGI HIV adalah virus RNA beruntai tunggal yang berselubung dan
merupakan anggota subfamili retrovirus Lentivirinae (lenti, yang berarti "lambat"). Lentivirus
mempunyai ciri siklus infeksi yang lamban. Ada dua jenis HIV yang terkait tetapi berbeda: HIV-1
dan HIV-2. HIV-2, kebanyakan ditemukan di Afrika bagian barat, terdiri dari tujuh garis keturunan
filogenetik yang ditetapkan sebagai subtipe (klade) A hingga G. Empat kelompok HIV-1 dikenali: M
(utama atau mayor), N (non-M, non-O ), O (outlier), dan P (menunggu identifikasi kasus lebih lanjut).
Sembilan subtipe HIV-1 kelompok M diidentifikasi sebagai A hingga D, F hingga H, J, dan K.
Campuran subtipe dirujuk ke sebagai bentuk rekombinan yang bersirkulasi. Grup M, subtipe B,
terutama bertanggung jawab atas epidemi di Amerika Utara dan Amerika Eropa Barat.25 Akumulasi
bukti menunjukkan bahwa HIV pada manusia merupakan hasil penularan lintas spesies (zoonosis)
dari primata yang terinfeksi simian immunodeficiency virus (SIV). Hubungan filogenetik dan
geografis menunjukkan bahwa HIV-2 muncul dari SIV yang menginfeksi mangabey jelaga, dan
Kelompok HIV-1 M dan N muncul dari SIVcpz, virus yang menginfeksi simpanse (Pan troglodytes
troglodytes). Kelompok O dan P mungkin muncul dari varian SIV yang menginfeksi gorila liar.
Praktik budaya, seperti menyiapkan dan memakan daging hewan liar atau memelihara hewan sebagai
hewan peliharaan, mungkin memungkinkan virus berpindah dari primata ke manusia. Infeksi HIV
pada manusia paling awal diketahui terjadi di Afrika tengah pada tahun 1959, namun penularan lintas
spesies mungkin terjadi pada awal tahun 1900-an. Transportasi modern, pergaulan bebas, dan
penyalahgunaan narkoba telah menyebabkan penyebaran virus ini dengan cepat di Amerika Serikat.
dan di seluruh dunia. Bab ini berfokus pada HIV-1 kelompok M, yang merupakan jenis virus dominan
yang mungkin ditemui di negara-negara barat

PATOGENESIS

Memahami siklus hidup HIV (Gambar 143-1) diperlukan karena strategi yang digunakan saat ini
untuk pengobatan HIV adalah titik sasaran dalam siklus ini. Begitu HIV memasuki tubuh manusia,
glikoprotein luar (gp160) di permukaannya, yang terdiri dari dua subunit (gp120 dan gp41), memiliki
afinitas terhadap reseptor CD4, protein yang terdapat pada permukaan limfosit T-helper, monosit,
makrofag, sel dendritik, dan mikroglia otak. Subunit gp120 bertanggung jawab untuk pengikatan
CD4. Setelah pengikatan awal terjadi, hubungan erat HIV dengan sel ditingkatkan dengan pengikatan
lebih lanjut pada koreseptor kemokin. Dua reseptor kemokin utama yang digunakan oleh HIV adalah
kemokin (motif C-C) reseptor 5 (CCR5) dan kemokin (motif C-X-C) reseptor 4 (CXCR4). Isolat HIV
mungkin mengandung campuran virus yang menargetkan salah satu koreseptor ini, dan beberapa jenis
virus mungkin bersifat dual-tropik (yaitu, dapat menggunakan kedua koreseptor). Strain HIV yang
lebih disukai menggunakan virus CCR5, R5, bersifat makrofag-tropis dan biasanya terlibat dalam
sebagian besar kasus HIV yang ditularkan secara seksual.26 Orang dengan penghapusan 32 pasangan
basa pada gen CCR5 dilindungi dari perkembangan penyakit HIV, dan mereka yang homozigot untuk
penghapusan 32 pasangan basa memiliki tingkat resistensi terhadap perolehan HIV-1.27 Strain HIV
yang menargetkan CXCR4, yang disebut virus X4, bersifat tropis sel T dan sering kali dominan pada
tahap akhir penyakit . Penempelan CD4 dan koreseptor HIV ke sel mendorong fusi membran, yang
dimediasi oleh gp41, dan terakhir internalisasi materi genetik virus dan enzim yang diperlukan untuk
replikasi.

Setelah internalisasi, cangkang protein virus mengelilingi asam nukleat (kapsid) tidak dilapisi
sebagai persiapan untuk replikasi. Materi genetik HIV adalah RNA beruntai tunggal yang bersifat
positif; virus harus mentranskripsi RNA ini menjadi DNA (transkripsi biasanya terjadi dari DNA ke
RNA; HIV bekerja mundur, makanya dinamakan retrovirus). Untuk melakukan hal tersebut, HIV
dilengkapi dengan enzim unik DNA polimerase yang bergantung pada RNA (reverse transkriptase).
HIV reverse transkriptase pertama-tama mensintesis untai DNA komplementer menggunakan RNA
virus sebagai cetakan. Bagian RNA dari hibrid DNA-RNA ini kemudian dihilangkan sebagian oleh
ribonuklease H (RNase H), memungkinkan HIV reverse transkriptase menyelesaikan sintesis
molekul DNA beruntai ganda. Ketepatan reverse transkriptase HIV buruk, dan banyak kesalahan
yang dilakukan selama prosesnya. Kesalahan pada produk DNA akhir ini berkontribusi pada mutasi
virus yang cepat, yang memungkinkan virus menghindari respons imun (sehingga mempersulit
pengembangan vaksin), dan mendorong evolusi resistensi obat selama terapi supresi parsial. Setelah
transkripsi terbalik, produk akhir DNA beruntai ganda bermigrasi ke dalam nukleus dan
diintegrasikan ke dalam kromosom sel inang melalui integrase, enzim lain yang unik untuk HIV.
Integrasi HIV ke dalam kromosom inang sangatlah penting. Yang paling penting, HIV dapat
menimbulkan infeksi yang persisten dan laten, terutama pada sel sistem kekebalan yang berumur
panjang seperti limfosit T memori. Virus ini sebenarnya tersembunyi di dalam sel-sel ini, dan
karakteristik ini sangat mempersulit upaya penyembuhan infeksi HIV.29 Hal ini juga memerlukan
terapi ART yang berkelanjutan karena virus akan muncul kembali dari reservoir ini jika terapi
dihentikan.

Setelah integrasi, HIV secara istimewa bereplikasi dalam sel yang diaktifkan. Aktivasi oleh
antigen, sitokin, atau faktor lain merangsang sel untuk memproduksi faktor nuklir kappa B (NF-κB),
suatu protein pengikat penambah. NF-κB biasanya mengatur ekspresi gen limfosit T yang terlibat
dalam pertumbuhan namun juga dapat secara tidak sengaja mengaktifkan replikasi HIV. HIV
mengkode enam protein pengatur dan aksesori: Tat, Nef, Rev, Vpu, Vif, dan Vpr, yang meningkatkan
replikasi dan menghambat imunitas bawaan. Misalnya, protein Tat adalah penguat ekspresi gen HIV
yang ampuh; ia berikatan dengan rangkaian RNA spesifik HIV yang menginisiasi dan menstabilkan
pemanjangan transkripsi. Vif adalah protein virus yang mengikat APOBEC 3G manusia, suatu
cytidine deaminase yang mengganggu kode genetik virus dengan mengubah sitosin RNA virus
menjadi urasil, sehingga menghasilkan sel bawaan imunitas. Vpu menghambat tetherin, protein
membran sel manusia yang mencegah pelepasan partikel virus setelah bertunas dari sel yang
terinfeksi. Perakitan partikel virus baru terjadi secara bertahap dimulai dengan penggabungan protein
HIV di bawah lapisan ganda lipid sel inang. Nukleokapsid kemudian dibentuk dengan RNA untai
tunggal virus dan komponen lain yang dikemas di dalamnya. Setelah dikemas, virion kemudian
bertunas melalui membran plasma, memperoleh karakteristik lapisan ganda lipid inang. Setelah virus
tunas, proses pematangan dimulai. Di dalam virion, protease, enzim lain unik untuk HIV, memecah
polipeptida prekursor besar (gag-pol) menjadi fungsional protein yang diperlukan untuk
menghasilkan virus yang lengkap dan menular. Tanpa enzim ini, virion belum matang dan tidak
mampu menginfeksi sel lain.

Riwayat alami infeksi HIV menunjukkan tiga fase umum: akut, kronis, dan terminal (AIDS).
Putaran awal replikasi HIV selama infeksi akut sebagian besar terjadi di mukosa CD4+, kumpulan
sel T CCR5+ di usus, mengakibatkan penipisan sel T CD4 secara besar-besaran di jaringan ini.31 Sel
dihancurkan oleh berbagai mekanisme, termasuk lisis sel dari virion yang baru tumbuh, pembunuhan
sel yang diinduksi limfosit T sitotoksik, dan induksi apoptosis. Setelah penghancuran kumpulan sel
T CD4 mukosa, yang berlangsung selama 2 hingga 3 minggu, terjadi peningkatan aktivasi kekebalan
selama fase infeksi kronis, yang dapat berlangsung selama beberapa tahun. Keadaan teraktivasi
ditandai dengan penanda aktivasi tingkat tinggi pada sel T yang bersirkulasi (misalnya HLA-DR dan
CD38) dan sitokin proinflamasi, dan mungkin disebabkan oleh antigen HIV serta translokasi antigen
mikroba dari mukosa usus yang kekurangan sel T.

Aktivasi yang meningkat memungkinkan replikasi HIV lebih lanjut dan pada akhirnya
menyebabkan terus berkurangnya sel T CD4+ dan CCR5+. HIV-1 menunjukkan tingkat pergantian
yang sangat tinggi selama fase kronis ini, dengan perkiraan 10 miliar virus baru diproduksi setiap
hari. Lebih dari 99% virus ini. diproduksi di sel aktif yang baru terinfeksi. Namun demikian, pada
sebagian besar fase kronis, sistem kekebalan tubuh mampu bekerja cukup baik untuk mencegah OI
yang jelas-jelas menandakan AIDS. Namun, berkurangnya sel CD4 dan aktivasi sel yang terus
menerus pada akhirnya menyebabkan kehancuran sistem kekebalan tubuh, atau AIDS. HIV dapat
menggunakan koreseptor CXCR4 selama fase terakhir infeksi ini, dan virus ini menginfeksi sel CD4
yang lebih luas (naif dan memori sentral) sehingga mempercepat perkembangan penyakit.
Penghancuran sel CD4 yang tak henti-hentinya inilah yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh
melemah dan menyebabkan AIDS.

DIAGNOSA

HIV didiagnosis melalui proses multi-langkah. Adanya infeksi HIV disaring dengan
enzim immunosorbent assay (ELISA), yang mendeteksi antibodi terhadap HIV-1. Meskipun ELISA
telah menjadi alat skrining HIV andalan selama beberapa dekade, teknologinya telah berkembang
untuk mendeteksi infeksi pada awal perjalanan penyakit. Tes ELISA yang lebih lama mendeteksi
IgG (tes generasi kedua), tetapi tes yang lebih modern mendeteksi IgG dan IgM (tes generasi ketiga).
tes generasi) dan selanjutnya dapat mencakup deteksi antigen p24, secara dini penanda infeksi (tes
generasi keempat). Kemajuan teknologi ini memungkinkan deteksi dini HIV sebanyak 15 hingga 20
hari dibandingkan dengan yang lebih tua tes generasi kedua. Tes ELISA umumnya sangat sensitif
(lebih besar dari 99%) dan sangat spesifik (lebih besar dari 99%), namun jarang terdapat hasil positif
palsu yang bisa terjadi terutama pada mereka yang menderita kelainan autoimun.33 Hasil negatif
palsu juga terjadi dan dapat dikaitkan dengan "periode jendela" sebelum memadai produksi antibodi
atau antigen. Ini adalah "masa jendela" antara HIV perolehan dan deteksi HIV dengan tes generasi
keempat dan ketiga adalah 33 masing-masing sekitar 2 dan 3 minggu.35 Tes skrining positif
dikonfirmasi dengan immunoassay enzim lain untuk menentukan apakah antibodinya memang
demikian HIV-1 versus HIV-2. (Meskipun HIV-2 jarang terjadi di Amerika Serikat, langkah ini
memastikan diagnosis dan pengobatan yang tepat.) Jika uji lanjutan ini tidak dapat ditentukan atau
negatif, tes asam nukleat HIV dilakukan untuk diagnosis pasti. HIV- RNA adalah indikator infeksi
paling awal, dapat dideteksi ~10 hari sejak perolehan dan sekitar 1 minggu sebelum pengujian
generasi keempat." Beberapa tempat perawatan kit skrining tersedia untuk serum, plasma, darah
lengkap, atau cairan oral. Ketika Tes cairan oral memang mudah dilakukan, namun tidak sesensitif
tes darah dapat menghasilkan hasil negatif palsu pada awal infeksi; ini adalah kerugian tertentu dalam
pengaturan tes HIV sebelum memulai atau melanjutkan prapaparan profilaksis (PrEP).

Tes HIV direkomendasikan ketika ada dugaan infeksi HIV karena gejala dan/atau
perilaku berisiko tinggi. Selain itu, CDC merekomendasikan skrining HIV rutin setidaknya sekali di
semua rangkaian layanan kesehatan pada semua orang berusia 13 hingga 64 tahun, sebuah kebijakan
yang disebut “opt- melakukan tes keluar". Fokus dari rekomendasi ini adalah melakukan skrining
terhadap orang-orang yang berisiko tinggi tertular HIV (misalnya LSL) setidaknya setiap tahun dan
melakukan skrining pada perempuan hamil saat mereka berada dalam perawatan. Kebijakan tersebut
menyatakan bahwa persetujuan untuk perawatan medis berarti persetujuan untuk tes HIV; namun,
orang tersebut harus diberitahu tentang tes tersebut dan dapat memilih untuk tidak mengikutinya.
Karena setiap negara bagian mungkin mempunyai undang-undang persetujuan HIV yang berbeda,
persyaratan setempat untuk tes HIV harus dikonsultasikan. Alasan strategi opt-out ini adalah untuk
mendiagnosis mereka yang tanpa sadar mengidap HIV sehingga dapat memulai ART sejak dini, yang
akan meningkatkan prognosis dan mengurangi penularan ke depan. Setelah didiagnosis, penyakit
HIV dipantau terutama oleh dua biomarker pengganti, viral load dan jumlah sel CD4. Tes viral load
mengukur tingkat viremia dengan mengukur jumlah salinan RNA virus (HIV-RNA) dalam plasma.
Metode untuk menentukan HIV-RNA meliputi reaksi berantai polimerase transkripsi balik (RT-
PCR), DNA rantai cabang, transkripsi- amplifikasi yang dimediasi, dan uji berbasis urutan asam
nukleat. RT-PCR digunakan lebih luas dibandingkan teknik lainnya. Terlepas dari metode yang
digunakan, viral load dilaporkan sebagai jumlah salinan RNA virus per mililiter plasma. Setiap
pengujian memiliki batas bawah kuantitasnya sendiri, dan hasilnya dapat bervariasi dari satu metode
pengujian ke metode pengujian lainnya; oleh karena itu, disarankan agar metode pengujian yang sama
digunakan secara konsisten untuk setiap pasien. Penurunan viral load sering kali dilaporkan dalam
logaritma basis 10. Misalnya, jika seorang pasien awalnya datang dengan viral load 100.000 kopi/mL
(105 salinan/mL atau 108 salinan/L) dan kemudian memiliki viral load 10.000 salinan/mL (104
salinan/mL atau 107 salinan/L) , penurunannya adalah 1 log10. Mengingat bahwa HIV-RNA
bervariasi pada setiap pasien, gambaran klinis yang jelas tanggapan umumnya dipertimbangkan
ketika penurunan viral load lebih dari 0,5 log10. Viral load merupakan faktor prognosis utama
perkembangan penyakit, CD4 jumlah penurunan, dan kematian,Ini juga merupakan cara utama untuk
menilai efektivitas pengobatan. Sebab HIV menyerang dan berujung pada rusaknya sel pembawa
CD4 reseptor, jumlah limfosit CD4 (sel T-helper) dalam darah adalah penanda pengganti penting dari
perkembangan penyakit dan status sistem kekebalan tubuh. Jumlah limfosit CD4 dewasa normal
berkisar antara 500 hingga 1.600 sel/mm³ (0,5 × 109-1,6 × 109/L), atau 40% hingga 70% (0,4 hingga
0,7) dari total limfosit. CD4 X jumlah CD4 pada anak-anak bergantung pada usia, dan anak-anak
yang lebih kecil mempunyai jumlah CD4 yang lebih tinggi penting (lihat Tabel 143-1). Ciri khas
penyakit HIV adalah menipisnya sel CD4 dan perkembangan IO dan keganasan yang terkait, terutama
pada tingkat yang lebih rendah jumlah sel CD4.

PRESENTASI KLINIS

Gambaran klinis dari infeksi HIV primer bervariasi, namun sebagian besar pasien
(50%-90%) mengalami sindrom retroviral akut atau penyakit mirip mononukleosis, yang mungkin
disebabkan oleh respons imun tubuh terhadap virus (misalnya, "badai sitokin") (Tabel 143-2).
Meskipun banyak dari gejala-gejala ini tidak spesifik, adanya meningitis aseptik, ulkus mulut atau
genital, ruam, dan leukopenia harus meningkatkan kecurigaan terhadap infeksi HIV akut dalam
kondisi potensi paparan. Gejala sering kali berlangsung selama 2 minggu, dan sebagian kecil pasien
mungkin memerlukan rawat inap di rumah sakit. Infeksi primer dikaitkan dengan viral load yang
tinggi (lebih dari 106 kopi/mL [109/L]) dan penurunan tajam sel CD4. Setelah beberapa minggu,
respons imun meningkat, jumlah HIV-RNA dalam plasma turun drastis, sel CD4 sedikit pulih, dan
gejala hilang secara bertahap.

Namun, seperti dijelaskan di atas, periode laten secara klinis ini bukanlah periode laten
secara virologi karena replikasi HIV berlangsung terus menerus (~10 miliar virus per hari) dan
kerusakan sistem kekebalan tubuh masih berlangsung. Penurunan sel CD4 yang stabil (kira-kira 50
sel/μL [0,05 x 109/L] per tahun) adalah aspek paling terukur dari kemunduran sistem kekebalan
selama fase tanpa gejala. Sebaliknya, viral load dalam plasma tampaknya telah stabil pada tingkat
atau “titik setel” tertentu. Titik setel ini berkorelasi kuat dengan penurunan sel CD4 dan waktu
terjadinya AIDS dan kesakitan. Misalnya, sebelum ART, Studi Kelompok AIDS Multisenter
mengukur viral load pada 1.604 laki-laki HIV-positif dan memantau mereka selama 11 tahun.
Penurunan jumlah CD4 kira-kira dua kali lebih cepat pada mereka dengan HIV-RNA di atas 30.000
kopi/mL (30 × 109/L) dibandingkan dengan mereka dengan HIV-RNA kurang dari atau sama dengan
500 salinan/mL (500× 103/L ) dan tingkat kematian (dalam waktu 6 tahun) masing-masing adalah
69,5% berbanding 0,9%.38 Dengan demikian, titik setel virus yang lebih tinggi dikaitkan dengan
perkembangan penyakit yang lebih cepat dan prognosis yang lebih buruk. Tidak semua orang yang
terinfeksi HIV berkembang menjadi AIDS – orang yang disebut “nonprogressor jangka panjang” ini
mungkin terinfeksi virus yang cacat (misalnya, HIV yang kekurangan Nef) atau mungkin memiliki
kemampuan intrinsik untuk melawan infeksi (misalnya, mutasi CCR5) .
Kebanyakan anak yang lahir dengan HIV tidak menunjukkan gejala. Pada pemeriksaan fisik,
anak-anak sering datang dengan tanda-tanda nonspesifik, seperti limfadenopati, hepatomegali,
splenomegali, gagal tumbuh, penurunan berat badan atau rendah yang tidak dapat dijelaskan berat
badan lahir (pada bayi yang terpajan sebelum lahir), dan demam yang tidak diketahui penyebabnya.
Temuan laboratorium meliputi anemia, hipergammaglobulinemia (terutama IgA dan IgM),
mengubah fungsi sel mononuklear, dan mengubah rasio subset sel T. Dari Perlu diketahui, kisaran
normal jumlah sel CD4 pada anak kecil jauh berbeda dari kisaran pada orang dewasa (Tabel 143-1).
Anak-anak memiliki kerentanan dan/atau paparan OIS yang berbeda dibandingkan dengan orang
dewasa. Infeksi bakteri, termasuk Streptococcus pneumoniae, Salmonella spp., dan Mycobacterium
tuberkulosis, mungkin lebih umum terjadi pada anak-anak penderita AIDS dibandingkan pada orang
dewasa yang mengidap penyakit tersebut. Sarkoma Kaposi jarang terjadi pada anak-anak. Anak-anak
dengan infeksi HIV dapat mengalami pneumonitis interstisial limfositik tanpa bukti adanya P.
jirovecii atau patogen lain pada biopsi paru. Beberapa anak (~25%) akan berkembang menjadi AIDS
dengan cepat dalam tahun pertama kehidupannya. Gejala IO yang serius seperti pneumonia P.
jirovecii, ensefalopati, gagal tumbuh, dan penurunan tajam sel CD4 sering terjadi pada bayi-bayi ini.
Penatalaksanaan umum pada anak yang terinfeksi HIV melibatkan prinsip serupa dengan yang
diterapkan pada orang dewasa: ART, pengobatan dan profilaksis IO, serta perawatan suportif.
PERLAKUAN

Hasil yang Diinginkan Tujuan utama ART adalah menurunkan angka kesakitan dan
kematian, meningkatkan kualitas hidup, memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh, dan
mencegah penularan lebih lanjut. Cara yang paling penting dan efektif untuk mencapai tujuan ini
adalah penekanan replikasi HIV secara maksimal dan tahan lama, yaitu dengan menekan replikasi
HIV secara maksimal dan tahan lama. ditafsirkan sebagai HIV-RNA plasma kurang dari batas bawah
kuantitasi (yaitu, tidak terdeteksi; biasanya kurang dari 20 atau 50 salinan/mL [20 x 103 atau 50 ×
10³/L]). Penurunan besar dalam RNA HIV dikaitkan dengan penurunan penularan dan respons jangka
panjang terhadap terapi (yaitu ketahanan), serta peningkatan limfosit CD4 yang berkorelasi erat
dengan penurunan risiko terjadinya IO. Meskipun HIV-RNA yang tidak terdeteksi hampir selalu
berhubungan dengan peningkatan limfosit CD4, beberapa pasien memberikan respons secara virologi
atau imunologis tanpa yang lain. Pendekatan Umum untuk Pengobatan Kombinasi modern dari tiga
obat antiretroviral aktif dari dua kelas farmakologis berpotensi menghambat replikasi HIV hingga
tingkat plasma yang tidak terdeteksi, mencegah dan membalikkan defisiensi imun, dan secara
signifikan menurunkan angka kesakitan dan kematian – yang merupakan era ART modern.

Prinsip-prinsip yang menjadi panduan untuk penggunaan klinis penggunaan obat antiretroviral
masih relevan hari ini.

1. Replikasi HIV yang berkelanjutan menyebabkan kerusakan sistem kekebalan tubuh dan
berkembang menjadi AIDS. Infeksi HIV selalu berbahaya, dan kelangsungan hidup jangka panjang
yang bebas dari disfungsi kekebalan yang signifikan secara klinis adalah hal yang tidak biasa.

2. Tingkat HIV-RNA plasma menunjukkan besarnya replikasi HIV dan laju penghancuran sel
CD4, sedangkan jumlah CD4 menunjukkan sejauh mana kerusakan kekebalan akibat HIV telah
diderita.

3. Penggunaan kombinasi ART yang ampuh untuk menekan replikasi HIV hingga di bawah
angka tersebut tingkat deteksi tes HIV-RNA plasma yang sensitif membatasi potensi pemilihan varian
HIV yang resistan terhadap antiretroviral, yang utama faktor yang membatasi kemampuan obat
antiretroviral untuk menghambat replikasi virus dan menunda perkembangan penyakit. Oleh karena
itu, hasil maksimal dapat dicapai penekanan replikasi HIV harus menjadi tujuan terapi.

4. Cara paling efektif untuk mencapai pemberantasan HIV jangka panjang replikasi adalah
inisiasi simultan dari kombinasi anti-HIV yang efektif obat-obatan yang belum pernah diobati dengan
pasien sebelumnya dan yang sedang dirawat tidak resisten silang dengan obat antiretroviral yang
dimiliki pasien pernah dirawat sebelumnya.

5. Masing-masing obat antiretroviral yang digunakan dalam rejimen terapi kombinasi selalu
harus digunakan sesuai jadwal dan dosis optimal.

6. Obat antiretroviral efektif yang tersedia terbatas jumlahnya dan mekanisme kerja, dan
resistensi silang antara obat tertentu telah terjadi didokumentasikan. Oleh karena itu, setiap perubahan
dalam ART akan meningkatkan terapi di masa depan kendala.

7. Perempuan harus menerima ART secara optimal tanpa memandang status kehamilannya.

8. Prinsip ART yang sama berlaku untuk anak-anak yang terinfeksi HIV dan anak-anak yang
terinfeksi HIV orang dewasa, meskipun pengobatan terhadap anak-anak yang terinfeksi HIV
melibatkan hal yang unik pertimbangan farmakologis, virologi, dan imunologis.

9. Orang dengan infeksi HIV primer akut harus diobati kombinasi ART untuk menekan replikasi
virus ke tingkat di bawah batas deteksi tes HIV-RNA plasma yang sensitif.

Sejauh mana prinsip-prinsip ini akan terus bertahan dalam ujian waktu masih belum diketahui;
informasi baru mengenai patogenesis dan pengobatan HIV terus bertambah. Pada Agustus 2018, 32
senyawa antiretroviral telah disetujui oleh FDA; dua (amprenavir dan zalcitabine) telah dihapus dari
pasaran. Tabel 143-3 menyajikan pengobatan terkini untuk orang yang terinfeksi HIV per Agustus
2018.37 Pengobatan direkomendasikan untuk semua orang yang terinfeksi HIV tanpa memandang
jumlah limfosit CD4, selama pasien siap untuk mematuhi terapi. Indikasi mendesak untuk terapi
termasuk kehamilan, riwayat penyakit terdefinisi AIDS, jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm³ (0,2 x
109/L), nefropati terkait HIV, koinfeksi virus HIV/hepatitis C, dan/atau koinfeksi virus HIV/hepatitis
B.

TABEL 143-3 Pengobatan Infeksi Virus Imunodefisiensi Manusia: Regimen Antiretroviral


yang Direkomendasikan pada Orang yang Belum Pernah Mengenakan Antiretroviral
Waktu optimal untuk memulai terapi pada infeksi HIV kronis telah menjadi perdebatan selama
beberapa dekade. Argumen utama untuk menunda terapi adalah kekhawatiran akan toksisitas obat
kumulatif dan keraguan terhadap resistensi obat dan hilangnya pilihan terapi. Kekhawatiran ini
beralasan ketika obat-obatan lama seperti lopinavir/ritonavir, stavudine, zidovudine, indinavir, dan
efavirenz menjadi terapi andalan. Saat ini, ketersediaan obat-obatan baru dengan mekanisme kerja
yang berbeda (misalnya InSTI), secara signifikan meningkatkan profil efek samping, dan
kenyamanan rejimen tablet tunggal membantu mengurangi masalah ini. Masalah tambahan, sampai
saat ini, adalah kurangnya bukti berkualitas tinggi mengenai manfaat klinis untuk memulai terapi
pada jumlah CD4 yang lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah CD4 yang lebih rendah (misalnya,
500 sel/µL [0,5 x 109/L] vs 350 sel/µL [0,35 x 109/L] /L]). Masalah ini telah diatasi pada tahun 2015
dengan hasil dari dua uji coba besar terkontrol secara acak.45,46 Uji coba START mengacak 4.685
pasien dengan jumlah CD4 di atas 500 sel/μL (0,5 × 109/L) untuk menerima ART segera atau
menunda ART hingga CD4 tercapai. jumlah X mencapai 350 sel/μL (0,35 x 109/L). Pemberian ART
segera menghasilkan kejadian AIDS serius yang jauh lebih sedikit (HR 0,28, 95% CI 0,15-0,50) dan
kejadian non-AIDS (HR 0,61, 0,38–0,97) dibandingkan dengan menunda ART. Penelitian
TEMPRANO dilakukan di Pantai Gading dimana koinfeksi HIV dan tuberkulosis (TB) merupakan
endemik. Percobaan ini mengacak 2.056 pasien dengan kurang dari atau sama dengan 800 sel CD4/μL
(0,8 × 109/L) untuk mendapatkan ART segera, ART segera dengan isoniazid X Profilaksis TBC,
penundaan ART (berdasarkan pedoman WHO), atau penundaan ART dengan profilaksis TBC
isoniazid. Sekali lagi, ART yang diberikan secara langsung menghasilkan lebih sedikit kematian atau
penyakit parah terkait HIV dibandingkan dengan ART yang ditangguhkan (HR di antara pasien
dengan CD4 awal lebih besar atau sama dengan 500 sel/μL [0,5 x 109/L], 0,56; 95% CI, 0,33-0,94).
Selain penelitian penting ini, segera lakukan ART dan penekanan viral load setelahnya diketahui
secara substansial mencegah penularan lebih lanjut penularan HIV dibandingkan dengan penundaan
ART. Secara keseluruhan, penelitian ini memberikan bukti berkualitas tinggi bahwa HIV yang tidak
diobati berbahaya bahkan pada CD4 yang tinggi jumlah yang signifikan dan ART yang segera
memberikan manfaat pada tingkat individu dan populasi dibandingkan dengan ART yang tertunda.
Para pembuat kebijakan utama, termasuk WHO dan AS Departemen Kesehatan dan Layanan
Kemanusiaan (DHHS), sekarang merekomendasikan ART segera tanpa memandang jumlah CD4.

TERAPI FARMAKOLOGIS

Terapi Farmakologis Beberapa metode intervensi terapeutik telah dievaluasi terhadap HIV,
termasuk obat antiretroviral sistemik (fokus bab ini) untuk menghambat langsung replikasi virus
kronis atau mencegah penularan HIV, vaksinasi, imunomodulator untuk membantu menstimulasi dan
memulihkan sistem kekebalan tubuh; dan obat antiretroviral topikal atau virucides (bahan kimia yang
menghancurkan virus utuh) untuk mencegah infeksi HIV. Tiga pendekatan terakhir masih dalam
tahap penyelidikan. Beberapa pendekatan untuk vaksin HIV sedang dikembangkan, termasuk virus
yang dibunuh secara keseluruhan, vaksinasi subunit dan peptida, vektor hidup rekombinan, dan
pengiriman DNA telanjang. Secara historis, kemajuan vaksin berjalan lambat. Keragaman genetik
pada HIV dan pemahaman baru mengenai peran sistem kekebalan dalam menekan replikasi virus
merupakan hambatan besar dalam pengembangan vaksin HIV yang efektif dengan kekebalan yang
tahan lama dan protektif. Uji coba acak terkontrol plasebo menunjukkan penurunan penularan HIV
sebesar 30% dalam analisis niat untuk mengobati yang dimodifikasi dari vaksin ALVAC-HIV plus
AIDSVAX pada 16.402 sukarelawan.

Saat ini upaya sedang dilakukan untuk memahami korelasi perlindungan dari penelitian ini
dengan menginformasikan bidang vaksin ke depan. Imunomodulator, seperti aldesleukin
(interleukin-2), memberikan manfaat ringan dalam hal peningkatan sel CD4; namun, aldesleukin juga
dikaitkan dengan toksisitas yang signifikan dan tidak ada manfaat klinis yang jelas. Dengan demikian,
masa depan pendekatan imunomodulator tidak pasti. Formulasi obat virucidal atau antiretroviral
topikal untuk digunakan melalui vagina atau rektal untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan
seksual sedang dalam berbagai tahap pengembangan. Misalnya, penggunaan gel tenofovir 1% pada
vagina sebelum dan sesudah hubungan seksual mengurangi penularan HIV sebesar 39% pada
perempuan. Namun, gel tenofovir 1% setiap hari yang diberikan melalui vagina tidak mengurangi
penularan HIV, sebuah hasil yang didorong oleh rendahnya kepatuhan. Penelitian mikrobisida kini
berfokus pada formulasi jangka panjang (misalnya cincin vagina dan alat kontrasepsi dalam rahim)
untuk mengurangi tantangan kepatuhan. Penggunaan cincin dapivirine menghasilkan penurunan
penularan HIV sebesar ~30%, yang mengarah pada peninjauan oleh European Medicines Agency
(EMA) untuk pencegahan HIV pada perempuan.

Agen Antiretroviral Pemberian agen antiretroviral secara sistemik untuk menghambat replikasi
virus secara langsung telah menjadi strategi yang paling berhasil secara klinis baik untuk pengobatan
maupun profilaksis. Empat kelas obat umum yang digunakan saat ini: penghambat masuk,
penghambat transkriptase balik, InSTI, dan HIV PIS Sebagai aturan, agen-agen baru menunjukkan
keunggulan yang signifikan dibandingkan agen-agen pertama. obat generasi dalam hal
farmakokinetik, tolerabilitas, keamanan, dan kemanjuran.

Bagian ini akan menyoroti keunggulan spesifik agen baru dibandingkan agen pertama. generasi
obat dan akan memfokuskan diskusi pada agen baru yang paling sering digunakan Hari ini. Informasi
obat terbaru tersedia dalam pedoman DHHS termasuk efek samping umum dan rekomendasi dosis
untuk hati dan ginjal 37 ketidakcukupan semua obat antiretroviral.

TABEL 143-4 Karakteristik Farmakologis Terpilih dari Terpilih Senyawa Antiretroviral


Inhibitor transcriptase balik terdiri dari dua kelas: kelas yang merupakan turunan kimia dari
nukleosida dan nukleotida berbasis purin dan pirimidin (inhibitor transkriptase balik
nukleosida/nukleotida [NRTI]) dan kelas yang bukan (inhibitor transkriptase balik nonnukleosida
[NNRTI]). NRTI termasuk analog timidin stavudine (d4T) dan zidovudine (AZT atau ZDV); analog
deoxycytidine emtricitabine (FTC) dan lamivudine (3TC); analog deoksiguanosin abacavir sulfat
(ABC); dan analog deoksiadenosin yang didanosine (ddI) merupakan turunan inosin dan tenofovir
merupakan analog nukleotida deoksiadenosin-monofosfat (nukleotida adalah nukleosida dengan satu
atau lebih fosfat). Perhatikan bahwa singkatan obat disediakan di sini dan di bawah ini sebagai
referensi, namun penggunaannya tidak disarankan karena dapat menyebabkan kesalahan peresepan
atau pemberian. Tenofovir hadir dalam dua formulasi pro-obat, tenofovir disoproxil fumarate (TDF)
dan tenofovir alafenamide (TAF). Tenofovir disoproxil fumarate adalah obat pro ester yang
melepaskan tenofovir setelah penyerapan dan metabolisme lintas pertama, menghasilkan konsentrasi
tenofovir sistemik yang relatif tinggi, yang menimbulkan risiko tubulopati proksimal dan
demineralisasi tulang (biasanya ringan dan reversibel). Tenofovir alafenamide mengandung
konfigurasi pro-obat yang berbeda sehingga lebih banyak pro-obat utuh yang mencapai sirkulasi
sistemik dan menembus sel limfoid. Ketika berada dalam sel limfoid, tenofovir dilepaskan melalui
metabolisme oleh cathepsin A atau dalam sel hati melalui karboksilesterase 1. Strategi ini
menghasilkan konsentrasi intraseluler yang lebih tinggi, namun konsentrasi tenofovir sistemik lebih
rendah dan perubahan penanda tubulopati proksimal dan demineralisasi tulang lebih sedikit. Sebagai
sebuah kelas, NRTI memerlukan fosforilasi dalam sel menjadi bagian 5'-trifosfat agar menjadi aktif
secara farmakologis. Fosforilasi intraseluler terjadi oleh kinase sitoplasma atau mitokondria dan
fosfotransferase (bukan kinase virus).
Gugus 5'-trifosfat bertindak dalam dua cara: (1) ia bersaing dengan deoksiribonukleotida endogen
untuk mendapatkan situs katalitik transkriptase balik, dan (2) ia menghentikan pemanjangan DNA
secara prematur, jika diambil dan digabungkan oleh transkriptase balik, karena ia tidak memiliki
kemampuan untuk melakukan pemanjangan DNA. diperlukan 3'-hidroksil untuk pengikatan gula-
fosfat. NRTI aktif melawan HIV-1 dan HIV-2.37 Emtricitabine, lamivudine, dan tenofovir juga aktif
melawan virus hepatitis B, dan kombinasi obat-obatan ini harus digunakan bila memungkinkan pada
HIV-hepatitis B pasien koinfeksi. Meskipun NRTI trifosfat (atau difosfat untuk tenofovir) spesifik
untuk HIV reverse transkriptase, dampak buruknya mungkin disebabkan sebagian oleh
penghambatan sintesis DNA atau RNA mitokondria.
Hal ini sebagian besar menjadi penyebabnya yang membedakan obat generasi pertama
(didanosine, stavudine, dan zidovudine) dari obat yang paling sering digunakan saat ini (tenofovir
disoproxil fumarate, tenofovir alafenamide, emtricitabine, lamivudine, abacavir).toksisitas
mitokondria termasuk neuropati perifer, pankreatitis, lipoatrofi (kehilangan lemak subkutan),
miopati, anemia, dan laktat yang jarang mengancam jiwa . Asidosis dengan perlemakan hati. Agen-
agen baru menunjukkan potensi yang lebih kecil untuk menyebabkan toksisitas ini, namun mereka
masih mempunyai profil efek samping yang perlu dipertimbangkan (lihat Tabel 143-4). Sebagian
besar NRTI baru dieliminasi oleh ginjal, dan penyesuaian dosis diperlukan pada insufisiensi ginjal;
Namun, abacavir dimetabolisme di hati dan tidak boleh digunakan pada gangguan hati stadium lanjut.
Resistensi telah dilaporkan untuk semua NRTI, termasuk resistensi silang dalam kelasnya karena
mutasi multipel dan/atau mutasi spesifik pada genom virus.

NNRTI adalah sekelompok agen kimia heterogen yang berikatan secara nonkompetitif dengan
transkriptase balik yang berdekatan dengan lokasi katalitik, sehingga memaksa perubahan
konformasi pada enzim. Berbeda dengan NRTI, NNRTI tidak memerlukan aktivasi intraseluler, tidak
bersaing dengan deoksiribonukleotida endogen, dan tidak memiliki aktivitas antivirus intrinsik
melawan HIV-2. NNRTI yang tersedia termasuk delavirdine (DLV), doravirine (DOR), efavirenz
(EFV), etravirine (ETR), nevirapine (NVP), dan rilpivirine (RPV).37 Sebagai satu kelas, NNRTI
umumnya berhubungan dengan ruam dan peningkatan fungsi hati. tes, termasuk kasus langka yang
mengancam nyawa, khususnya nevirapine. Penggunaan NNRTI generasi pertama (delavirdine,
nevirapine, efavirenz) sedang menurun terutama karena masalah kemanjuran (delavirdine) atau
tolerabilitas dan/atau keamanan (nevirapine, efavirenz ). Namun, beberapa pasien tetap menggunakan
terapi berbasis efavirenz dan masih digunakan di wilayah tertentu di dunia. NNRTI cenderung
memiliki waktu paruh plasma yang panjang (kecuali delavirdine) dan sebagian besar dibersihkan
melalui metabolisme yang dimediasi hati dan/atau usus melalui sistem enzim sitokrom P450 (CYP).
Perhatian harus digunakan pada pasien dengan insufisiensi hati lanjut (nevirapine tidak boleh
digunakan pada insufisiensi hati sedang atau lanjut). NNRTI dapat menjadi penyebab interaksi obat-
obat, paling sering dikaitkan dengan induksi metabolisme CYP. Satu pengecualian untuk hal ini
adalah doravirine, yang tidak menginduksi metabolisme CYP. NNRTI yang lebih tua bersifat unik,
karena mutasi tunggal diperlukan untuk menghasilkan resistensi silang tingkat tinggi pada kelas
tersebut (tidak termasuk etravirine dan doravirine), yang disebut sebagai penghalang genetik rendah
terhadap resistensi.

PIS HIV termasuk atazanavir (ATV), darunavir (DRV), fosamprenavir (FPV), indinavir
(IDV), lopinavir (LPV), nelfinavir (NFV), ritonavir (RTV), saquinavir (SQV), dan tipranavir (TPV).
HIV PI secara kompetitif menghambat pembelahan poliprotein gag-pol, yang merupakan langkah
penting dalam virus proses pematangan, sehingga menghasilkan produksi yang belum matang, virion
tidak menular. PI HIV memiliki aktivitas melawan HIV-1 dan HIV-2 (khususnya darunavir, lopinavir,
dan saquinavir). PI HIV umumnya terkait dengan gangguan GI dan perubahan metabolisme, seperti
peningkatan lipid, ketidakpekaan insulin, dan perubahan distribusi lemak tubuh. Beberapa masalah
ini dapat ditelusuri ke masalah formulasi karena terbatasnya kelarutan dalam air, memerlukan tingkat
eksipien yang tinggi dan beban pil yang besar. PI HIV generasi pertama (misalnya, indinavir,
nelfinavir, saquinavir, lopinavir) menunjukkan kelarutan yang buruk yang menyebabkan penyerapan
tidak menentu (nelfinavir, saquinavir), kristalisasi obat dalam urin (indinavir), gangguan pencernaan
(nelfinavir, lopinavir), dan hiperlipidemia ( lopinavir). Secara umum, obat HIV terbaru, darunavir dan
atazanavir, memperbaiki (tetapi tidak menghilangkan) permasalahan ini. HIV PI dibersihkan melalui
metabolisme yang diperantarai hati dan usus (terutama CYP3A), dan penyesuaian dosis mungkin
diperlukan pada insufisiensi hati (tipranavir/ritonavir tidak boleh digunakan pada insufisiensi hati
sedang hingga berat). HIV PI hampir selalu digunakan dengan ritonavir atau cobicistat dosis rendah,
yaitu penghambat CYP3A, untuk meningkatkan konsentrasi plasma dari HIV PI yang diinginkan.
Interaksi obat yang dimediasi CYP3A dengan obat bersamaan merupakan pertimbangan penting
untuk PI. Resistensi terhadap PI HIV umumnya memerlukan penumpukan banyak mutasi, yang
disebut sebagai penghalang genetik yang tinggi terhadap resistensi. Mutasi multipel dapat
menyebabkan mutasi silang. perlawanan. Ada tiga penghambat masuk. Enfuvirtide (T20) adalah satu-
satunya inhibitor fusi yang tersedia saat ini. Enfuvirtide adalah peptida 36-asam amino sintetik yang
mengikat gp41, yang menghambat fusi selubung HIV-1 dengan sel target, tetapi tidak memiliki
aktivitas melawan HIV-2. Karena sifat peptida enfuvirtide, pemberian oral tidak mungkin dilakukan,
dan injeksi subkutan adalah rute pemberian yang lebih disukai. Reaksi di tempat suntikan (nyeri,
eritema, nodul) adalah efek samping yang paling umum, mendekati 100% kejadiannya. Enfuvirtide
dibersihkan melalui katabolisme protein dan daur ulang asam amino. Maraviroc adalah antagonis
CCR5 dengan aktivitas melawan HIV-1 dan HIV-2. Berbeda dengan obat antiretroviral lain yang
berinteraksi dengan target virus, antagonis CCR5 memblokir reseptor manusia. Itu konsekuensi
jangka panjang dari pemblokiran CCR5 tidak diketahui tetapi mungkin termasuk peningkatan
kerentanan terhadap penyakit oleh flavivirus (misalnya, virus West Nile dan virus ensefalitis
tickborne).59 Salah satu keuntungan menargetkan reseptor manusia adalah bahwa resistensi terhadap
antagonis CCR5 mungkin lebih sulit untuk dikembangkan. Karena Antagonis CCR5 hanya efektif
melawan virus R5 dan bukan virus X4, suatu virus uji tropisme harus dilakukan sebelum
menggunakan antagonis CCR5. Maraviroc adalah substrat CYP3A dan P-glikoprotein dan karena itu
rentan terhadap obat-obatan interaksi dan kehati-hatian harus digunakan pada mereka yang menderita
penyakit hati lanjut ketidakcukupan. Maraviroc telah dikaitkan dengan ruam dan hepatotoksisitas.
Mutasi resistensi telah diidentifikasi untuk enfuvirtide, yang memiliki tingkat efektivitas yang rendah.
hambatan genetik terhadap resistensi, namun uji resistensi terhadap maraviroc belum
dikembangkan selain uji tropisme R5 versus X4. Inhibitor masuk yang paling baru disetujui adalah
ibalizumab-uiyk. Ini adalah antibodi monoklonal rekombinan manusiawi dengan aktivitas melawan
HIV-1 yang berikatan dengan domain 2 reseptor CD4 pada sel inang. Pengikatan ibalizumab-uiyk
pada reseptor CD4 tidak mempengaruhi kemampuannya mengikat gp120 pada partikel virus. Namun,
hal ini mengganggu langkah pasca perlekatan yang diperlukan untuk masuknya partikel virus HIV-1
ke dalam sel inang. Ibalizumab-uiyk diberikan melalui infus dan diindikasikan untuk orang dewasa
yang sangat berpengalaman dengan pengobatan dengan infeksi HIV-1 yang resistan terhadap
beberapa obat yang gagal dalam rejimen antiretroviral mereka saat ini. Ia memiliki aktivitas melawan
virus R5-tropic, X4-tropic, dan dual-tropic. Efek samping paling umum yang terkait dengan
ibalizumab-uiyk yang terlihat dalam uji klinis adalah diare, pusing, mual, dan ruam. Penurunan
kerentanan terhadap ibalizumab-uiyk telah terlihat pada beberapa subjek, namun signifikansi klinis
dari hal ini belum diketahui dengan baik. Tidak ada bukti adanya resistensi silang antara ibalizumab-
uiyk dan golongan antiretroviral lainnya.

Di antara golongan obat antiretroviral yang lebih baru adalah InSTI termasuk bictegravir
(BIC), dolutegravir (DTG), elvitegravir (EVG), dan raltegravir (RAL). InSTI mengikat integrase HIV
ketika berada dalam kompleks spesifik dengan DNA virus dan menghambat transfer untai yang
menggabungkan DNA proviral ke dalam DNA kromosom. InSTI aktif melawan HIV-1 dan HIV-2.
Bictegravir, dolutegravir, dan raltegravir terutama diglukuronidasi oleh UGT1A1 dan tidak rentan
terhadap interaksi obat utama yang dimediasi CYP, meskipun jenis interaksi lain juga penting (Tabel
143-3). Secara khusus, kation polivalen yang mengandung antasida mengikat IMS sehingga
menyebabkan berkurangnya bioavailabilitas, sehingga dosis harus dipisahkan untuk sementara waktu
atau antasida dengan mekanisme kerja yang berbeda harus dipertimbangkan. Elvitegravir
dimetabolisme secara ekstensif oleh CYP3A dan diformulasikan bersama dengan cobicistat,
penghambat CYP3A yang kuat, untuk mengoptimalkan paparan obat dan memungkinkan pemberian
dosis sekali sehari. IMS relatif dapat ditoleransi dengan baik dengan efek samping yang meliputi
ruam, mual, dan sakit kepala. InSTI harus digunakan dengan hati-hati pada insufisiensi hati lanjut.
Banyak mutasi telah diidentifikasi yang menyebabkan resistensi terhadap InSTI, termasuk resistensi
silang mutasi terjadi. Bictegravir dan dolutegravir tampaknya memiliki genetik yang lebih tinggi
penghalang resistensi dibandingkan dengan elvitegravir dan raltegravir. Agen antivirus baru dalam
kelas yang tercantum di atas dan agen baru dalam kelas baru kelas obat yang mengeksploitasi langkah
lain dalam siklus hidup HIV (lihat Gambar 143-1) ada di sini pengembangan, dengan fokus pada
aktivitas jangka panjang (misalnya, suntikan nanosuspensi) dan/atau aktivitas tinggi terhadap virus
yang resistan terhadap obat. Secara khusus, nanosuspensi cabotegravir (InSTI) dan/atau rilpivirine
(NNRTI) adalah saat ini dalam uji klinis fase 3 sebagai suntikan intermiten (setiap 4-8 minggu) untuk
pengobatan dan profilaksis.6 Inhibitor kapsid adalah hal baru lainnya pendekatan pengobatan
antiretroviral yang saat ini sedang dikembangkan. Kapsid HIV adalah cangkang protein yang berisi
RNA virus dan protein. Setelah virus masuk ke sel inang, kapsid mengalami proses pembongkaran
(uncoating) agar transkripsi terbalik terjadi. Kemudian dalam siklus replikasi, kapsid harus
melakukan hal tersebut berkumpul menjadi struktur akhirnya. Inhibitor kapsid sangat manjur dan
mempunyai efek yang sama potensi mengganggu berbagai langkah berbeda dalam replikasi HIV
cycle.66 Anti-herpes dan anti-hepatitis B antivirus asiklovir, foscarnet, entecavir, dan adefovir
menunjukkan aktivitas anti-HIV yang sederhana dan tidak menekan. Namun, hal ini tidak menjadi
perhatian dalam penggunaan ART yang bersifat supresif.

INTERAKSI OBAT
Penggunaan obat antiretroviral secara medis dipersulit oleh interaksi obat-obat yang signifikan
secara klinis yang dapat terjadi dengan banyak obat ini agen. Beberapa interaksi bermanfaat dan
digunakan dengan tujuan tertentu (misalnya, ritonavir dan cobicistat sebagai peningkat
farmakokinetik); yang lain mungkin berbahaya, menyebabkan peningkatan yang berbahaya
(misalnya, toksik) atau konsentrasi obat yang tidak memadai (tidak menekan). Dokter yang
terlibat dalam farmakoterapi HIV harus melakukan hal ini memahami dasar mekanistik untuk
interaksi ini dan mempertahankan arus pengetahuan tentang interaksi obat karena alasan ini.
Banyak interaksi obat terkait antiretroviral yang signifikan secara klinis melibatkan
bioavailabilitas terkait CYP3A, metabolisme lintas pertama, dan pembersihan. PI HIV (kecuali
nelfinavir), NNRTI delavirdine, etravirine, dan rilpivirine, maraviroc antagonis CCR5, dan
elvitegravir InSTI dimetabolisme secara ekstensif oleh CYP3A. Secara umum, efavirenz,
etravirine, dan nevirapine merupakan penginduksi CYP3A, sedangkan delavirdine dan PI
menghambat CYP3A. Ritonavir adalah penghambat metabolisme yang diperantarai CYP3A
yang berbasis mekanisme dan sekarang digunakan secara eksklusif pada dosis rendah sebagai
peningkat farmakokinetik PI HIV lainnya. Demikian pula, cobicistat, yang merupakan analog
dari ritonavir tanpa aktivitas antiretroviral, juga merupakan penghambat aktivitas CYP3A
berbasis mekanisme yang kuat dan digunakan dengan cara yang sama. Darunavir, lopinavir,
saquinavir, dan tipranavir harus dipakai bersama ritonavir atau cobicistat untuk mencapai
konsentrasi plasma optimal. Atazanavir, fosamprenavir, dan indinavir juga terutama digunakan
dengan ritonavir atau cobicistat untuk alasan yang sama. Nelfinavir tidak dikuatkan secara efektif
oleh ritonavir, mengingat metabolismenya dimediasi oleh CYP2C19. Banyak potensi obat-
obatan bersamaan di pasaran juga dimetabolisme oleh CYP3A dan karenanya rentan terhadap
interaksi obat yang relevan secara klinis dengan HIV PIS, NNRTI, dan cobicistat. Agen dengan
indeks terapeutik sempit dan/atau yang menunjukkan efek mayor perubahan farmakokinetik
dengan penghambatan CYP3A adalah yang paling penting dalam hal ini pandangan. Contohnya
termasuk, namun tidak terbatas pada, simvastatin, lovastatin, kortikosteroid (termasuk inhalasi
dan intranasal), turunan ergot, beberapa antiaritmia, beberapa obat disfungsi ereksi, beberapa
antikoagulan, dan beberapa lainnya agen anti kanker. Potensi interaksi obat agen
antimycobacterium, khususnya rifamycins, sangat relevan, mengingat tingginya potensi infeksi
tersebut pada pasien terinfeksi HIV. Rifampisin, penginduksi kuat metabolisme CYP3A dan
enzim konjugasi, merupakan kontraindikasi dengan penggunaan sebagian besar PI HIV,
etravirine, rilpivirine, dan maraviroc karena konsentrasi antiretroviralnya sama berkurang secara
signifikan bahkan dengan peningkatan ritonavir. Raltegravir atau dosis dolutegravir harus
digandakan dengan adanya rifampisin; efavirenz adalah agen alternatif. Peningkatan ritonavir
umumnya memungkinkan pemberian bersamaan PI HIV dengan rifabutin. Dalam kasus tersebut,
dosis rifabutin akan diperlukan penyesuaian, mengingat izin yang dimediasi CYP3A. Produk
herbal St. John's wort (Hypericum perforatum) adalah penginduksi metabolisme yang kuat dan
dikontraindikasikan dengan PI, NNRTI, dan maraviroc. Harus ditekankan bahwa farmakologi
interaksi CYP3A mungkin menjadi rumit secara simultan induksi/penghambatan yang dimediasi
oleh pengangkut obat (misalnya, P-glikoprotein) bioavailabilitas atau pembersihan dan/atau fase
I lainnya (misalnya, CYP 2B6 untuk RTV) atau fase enzim II. Beberapa obat antiretroviral
memerlukan lingkungan asam untuk penyerapan optimal menyebabkan interaksi dengan
antasida, khususnya penghambat pompa proton (misalnya, atazanavir, rilpivirin). Di sisi lain,
beberapa obat antiretroviral bersifat khelat kation polivalen dalam antasida, mengurangi
penyerapan setelah pemberian bersamaan pemberian dosis (misalnya, InSTI); dosis dapat
dipisahkan sementara untuk kasus ini. Lainnya mekanisme potensial untuk interaksi obat
termasuk penghambatan tubulus ginjal sekresi (misalnya, tenofovir dan inhibitor OAT), dan
fosforilasi antagonis untuk NRTI dengan nukleobase yang sama (misalnya lamivudine dan
emtricitabine). Daftar ini interaksi obat dan mekanisme interaksi obat belum lengkap. Dokter
yang mengobati HIV harus selalu mengikuti perkembangan interaksi obat antiretroviral data.
Tersedia situs web yang mengkatalogkan dan secara berkala memperbarui informasi tentang obat
HIV.

KOMPLIKASI INFEKSI HIV DAN AIDS


Di era sebelum ART, fokus terapi utama adalah pencegahan dan pengobatan IO yang berhubungan
dengan replikasi HIV yang tidak terkontrol dan penurunan sel CD4 secara terus-menerus.43 HIV
yang tidak terkontrol adalah penyakit yang berbahaya; orang sering kali datang dengan IO, bukan
akibat melemahnya sistem kekebalan tubuh HIV itu sendiri. Kebanyakan Ol disebabkan oleh
organisme yang umum di lingkungan dan sering kali merupakan reaktivasi dari infeksi tersembunyi
yang umum terjadi pada populasi. Kemungkinan berkembangnya Ols spesifik berkaitan erat dengan
ambang batas jumlah CD4 (Gambar 143-2). Ambang batas CD4 ini menjadi dasar untuk memulai
kemoprevensi OI primer

Di era ART, prinsip utama penatalaksanaan IO adalah mengobati infeksi HIV untuk memungkinkan
pemulihan dan pemeliharaan sel CD4 di atas tingkat perlindungan. Prinsip penting lainnya mengenai
penatalaksanaan IO adalah sebagai berikut:
1. Mencegah paparan terhadap patogen oportunistik
2. Vaksinasi untuk mencegah penyakit pada episode pertama (lihat pedoman khusus HIV)
3. Gunakan kemoprofilaksis primer pada ambang batas CD4 tertentu untuk mencegah penyakit
episode pertama
4. Mengobati OI yang muncul
5. Gunakan kemoprofilaksis sekunder untuk mencegah kekambuhan penyakit
6. Hentikan profilaksis dengan pemulihan kekebalan terkait ART yang berkelanjut.

Beberapa pertimbangan diperlukan bagi pasien yang datang dengan OI dan sekaligus didiagnosis
mengidap HIV, sehingga memerlukan pengobatan OI dan ART. Inisiasi ART segera diindikasikan
untuk OI yang merespons pemulihan CD4, seperti kriptosporidiosis, leukoensefalopati multifokal
progresif (virus JC), dan sarkoma Kaposi (virus HHV8) ringan hingga sedang. Inisiasi ART yang
cepat (dalam hitungan hari hingga minggu) juga diindikasikan pada kasus IO lain seperti tuberkulosis,
Mycobacterium avium complex (MAC), dan PCP, namun ada beberapa permasalahan potensial yang
perlu dipertimbangkan. Pertama, interaksi obat-obat dan kompleksitas kepatuhan terhadap rejimen
ART dan OI secara bersamaan dapat menjadi hal yang menakutkan. Tinjauan yang cermat terhadap
potensi interaksi dan dukungan kepatuhan harus diberikan. Kedua, dokter harus menyadari potensi
toksisitas obat yang tumpang tindih (misalnya ruam) yang menimbulkan masalah ketika mencoba
menghentikan obat yang dianggap sebagai penyebab. Ketiga, sindrom inflamasi pemulihan imun
(IRIS) telah dikaitkan dengan inisiasi ART dengan adanya OIS yang mendasarinya. IRIS umumnya
ditandai dengan demam dan memburuknya manifestasi OI dalam beberapa minggu hingga bulan
pertama setelah memulai ART meskipun ada bukti kemanjuran pengobatan.88 Faktor risiko IRIS
adalah jumlah CD4 yang rendah (misalnya, kurang dari 50 sel/μL [0,050 109/ L]) dan beban antigenik
yang tinggi. Pemulihan kekebalan X dengan awitan cepat terkait ART terhadap infeksi OI yang
membara, dan mengakibatkan kaskade sitokin proinflamasi, dianggap sebagai mekanisme IRIS.
Reaksi IRIS yang paling serius melibatkan OI neurologis seperti meningitis kriptokokus, dimana IRIS
dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Untuk meningitis kriptokokus, sebaiknya
tunda ART sampai fase induksi atau induksi/konsolidasi terapi antijamur selesai (hingga 10 minggu).
Secara umum, pengobatan IRIS bersifat suportif dan mungkin termasuk kortikosteroid dan/atau
NSAID, tergantung pada OI. Konsultasi ahli harus digunakan dalam pengelolaan inisiasi ART pada
pasien dengan infeksi HIV lanjut dan IO, dan pedoman terkini harus dikonsultasikan. Epidemiologi
IO tertentu dapat bergantung pada wilayah geografis. Misalnya saja, TBC merupakan penyakit
endemik di benua Afrika dan dianggap sebagai penyakit a OI terbesar di wilayah tersebut, namun
kejadian TBC relatif jarang terjadi di wilayah tersebut Amerika Serikat. OIS utama di Amerika
termasuk PCP, toksoplasmosis, MAC, retinitis sitomegalovirus, dan meningitis kriptokokus. Semua
punya menurun secara substansial dalam insiden dengan munculnya ART. Selain itu,
kemoprofilaksis primer dan sekunder untuk IO tertentu telah berkontribusi angka yang sama juga
menurun. Namun demikian, penyakit oportunistik masih terus ada komplikasi penyakit HIV dan
terjadi pada jumlah limfosit CD4 yang rendah pasien yang tidak menyadari infeksi HIV mereka, atau
yang belum memberikan tanggapan Terapi ART atau profilaksis OI karena masalah kepatuhan atau
ketidakcukupan keterlibatan dengan sistem layanan kesehatan. OI terpilih dan contoh rejimen lini
pertama yang direkomendasikan untuk pengobatan OI diberikan pada Tabel 143-5. Contoh terapi
yang direkomendasikan untuk OI primer profilaksis diberikan pada Tabel 143-6.67 Rekomendasi ini
adalah representatif dan tidak seluas pedoman yang diterbitkan, yang meliputi beberapa pertimbangan
dan alternatif pengobatan tambahan, serta cakupan dari OI yang kurang umum. Pembahasan singkat
tentang PCP berikut ini memberikan penjelasan lebih lanjut gambaran mendalam tentang
epidemiologi, diagnosis, manifestasi klinis, dan hasil pengobatan dan berfungsi sebagai ilustrasi
prinsip-prinsip yang dibahas di atas.
2.3 Obat Untuk Infeksi Virus Herpes Simpleks (HSV) & Virus Varuseka Zoster (VZV)
Tiga analog nukleosida oral telah dilisensi untuk mengobati infeksi HSV dan VZV: asiklovir,
valasiklovir, dan famsiklovir. Ketiganya memiliki mekanisme kerja serupa dan indikasi setara untuk
pemakaian klinis; semuanya ditol ransi dengan baik. Asiklovir adalah yang telah banyak diteliti; obat
ini mendapat lisensi yang pertama dan satu-satunya dari ketiganya yang tersedia untuk pemakaian
intravena di Amerika Serikat. Uji-uji perbandingan membuktikan kesetaraan efikasi ketiganya dalam
pengobatan HSV, tetapi sedikit superioritas untuk famsiklovir dan valasiklovir dalam pengobatan
infeksi herpes zoster.
• ASIKLOVIR

Asiklovir adalah suatu turunan guanosin siklik dengan aktivitas klinis terhadap HSV-1, HSV-2, dan
VZV, tetapi obat ini sekitar 10 kali lebih poten terhadap HSV-1 dan HSV-2 dibandingkan terhadap
VZV. Aktivitas in vitro terhadap virus Epstein-Barr (EBV), sitomegalovirus (CMV), dan human
herpesvirus-6 (HHV-6) ada, tetapi lemah.

Asiklovir memerlukan tiga tahap fosforilasi untuk menjadi aktif. Obat ini mula-mula diubah
menjadi turunan monofosfat oleh timidin kinase spesifik-virus, lalu menjadi senyawa di dan trifosfat
oleh enzim-enzim sel pejamu (Gambar 49-3). Karena memerlukan kinase virus untuk fosforilasi awal,
asiklovir teraktifkan secara selektif-dan metabolit aktif menumpuk hanya di sel yang terinfeksi.
Asiklovir trifosfat menghambat pembentukan DNA virus melalui dua mekanisme :
1. kompetisi dengan deoksiGTP untuk DNA polimerase virus sehingga terjadi pengikatan ke
cetakan DNA sebagai suatu kompleks ireversibel
2. pengakhiran pembentukan rantai setelah obat masuk ke DNA virus.

Asiklovir dibersihkan terutama melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus. Waktu-paruh adalah
2,5-3 jam pada pasien dengan fungsi ginjal normal dan 20 jam pada pasien dengan anuria

Asiklovir cepat berdifusi ke dalam sebagian besar jaringan dan cairan tubuh. Konsentrasi di cairan
serebrospinal adalah 20-25% dari kadar serum Asiklovir oral memiliki banyak kegunaan Pada
episode pertama herpes genitalis, asiklovir oral mempersingkat durasi gejala sekitar 2 hari, waktu
penyembuhan kesi sebesar 4 hari, dan pelepasan selubung virus (viral shedding) selama 7 hari. Pada
herpes genitalis rekuren, perjalanan penyakit dipersingkat sebesar 1-2 hari. Terapi herpes genital
episode pertama tidak mengubah frekuensi dan keparahan kekambuhan, Penekanan jangka panjang
dengan asiklovir oral pada pasien yang sering mengalami kekambuhan herpes genitalis mengurangi
frekuensi kekambuhan simtomatik.

Efektivitas asiklovir oral pada herpes labialis rekuren tidak terlalu manjur. Sebaliknya, terapi
asiklovir secara bermakna mengurangi jumlah total lesi, lama gejala, dan viral shedding pada pasien
dengan varisela (jika dimulai dalam 24 jam setelah munculnya ruam) atau zoster kulit (jika dimulai
dalam 72 jam). Namun, karena VZV kurang rentan terhadap asiklovir dibandingkan dengan HSV
diperlukan dosis yang lebih tinggi (Tabel 49-4). Jika diberikan sebagai profilaksis untuk pasien yang
menjalani transplantasi organ, asiklovir oral atau intravena mencegah reaktivasi infeksi HSV. Bukti
dari data-data klinis terkini menyarankan bahwa pemakaian asiklovir setiap hari (400 mg dua kali
sehari) dapat mengurangi jumlah HIV-1 plasma dan risiko perkembangan penyakit terkait-HIV pada
orang yang terinfeksi HSV-2 dan HIV-1.
Asiklovir intravena adalah terapi pilihan untuk ensefalitis herpes simpleks, infeksi HSV neonatus,
dan infeksi HSV dan VZV yang serius (Tabel 49-1). Pada pasien dengan gangguan imunitas dan
infeksi VZV, asiklovir intravena mengurangi insidens penyebaran kulit dan visera,Krim asiklovir
topikal secara substansial kurang efektif dibandingkan dengan terapi oral untuk infeksi HSV primer.
Obat ini tidak bermanfaat dalam mengobati herpes genitalis rekuren.Resistensi terhadap asiklovir
dapat terbentuk pada HSV dan VZV melalui perubahan timidin kinase atau DNA polimerase virus,
dan infeksi yang secara klinis resisten pernah dilaporkan pada pasien dengan gangguan imunitas.
Sebagian besar isolat klinis resisten berdasarkan berkurangnya aktivitas timidin kinase dan karenanya
beresistensi silang dengan valasiklovir, famsiklovir, dan gansiklovir. Obat seperti foskarnet,
sidofovir, dan trifluridin tidak memerlukan pengaktifan oleh timidin kinase virus dan karenanya tetap
aktif terhadap sebagian besar galur resisten asiklovir. Asiklovir dosis tinggi menyebabkan kerusakan
kromosom dan atrofi testis pada tikus, tetapi tidak ada bukti teratogenisitas, penurunan produksi
sperma, atau perubahan sitogenetik pada limfosit darah perifer dari pasien yang mendapat terapi
supresi harian untuk herpes genitalis selama lebih dari 10 tahun. Sebuah penelitian baru-baru ini tidak
mendapatkan bukti adanya peningkatan cacat lahir pada 1150 bayi yang terpajan ke asiklovir selama
trimester pertama. Pemberian secara bersamaan dengan obat nefrotoksik mungkin meningkatkan
risiko nefrotoksisitas. Probenesid dan simetidin mengurangi klirens asiklovir dan meningkatkan
pajanan.
• VALASIKLOVIR

Valasiklovir adalah ester L-valil dari asiklovir (Gambar 49-2). Obat ini cepat diubah menjadi
asiklovir setelah pemberian oral melalui jalur pertama hidrolisis enzimatik di hati dan usus, yang
menyebabkan peningkatan kadar serum tiga sampai lima kali lipat dibandingkan dengan yang dicapai
dengan asiklovir oral dan mendekati yang dicapai dengan asiklovir intravena. Ketersediaan hayati
oral adalah 54-70%, dan kadar di cairan serebrospinal adalah sekitar 50% dari kadar serum. Waktu-
paruh eliminasi adalah 2,5- 3.3 jam
Pemakaian valasiklovir yang telah disetujui adalah untuk mengobati herpes genitalis pertama atau
berulang, supresi herpes genitalis yang sering kambuh, sebagai terapi 1 hari untuk herpes orolabialis,
serta sebagai terapi varisela dan herpes zoster (Tabel 49-1).Dosis valasiklovir sekali sehari untuk
supresi kronik pada orang dengan herpes genital berulang terbukti mengurangi secara nyata risiko
penularan seksual. Dalam uji-uji klinis perbandingan dengan asiklovir untuk mengobati pasien
dengan zoster, angka penyembuhan lesi kulit setara, tetapi valasiklovir mempersingkat waktu nyeri
terkait zoster. Dosis valasiklovir yang lebih tinggi (2 g empat kali sehari) juga terbukti efektif dalam
mencegah penyakit CMV setelah transplantasi organ dibandingkan dengan plasebo.
Valasiklovir umumnya ditoleransi dengan baik, meskipun kadang terjadi mual, nyeri kepala,
muntah, atau ruam. Pada dosis tinggi, pernah dilaporkan delirium, halusinasi, dan kejang. Pasien
AIDS yang mendapat valasiklovir dosis tinggi dalam jangka panjang (mis. 8g/hari) memperlihatkan
peningkatan insidens intoleransi pencernaan serta purpura trombositopenik trombotik dan sindrom
hemolitik uremia; dosis ini juga pernah dilaporkan berkaitan dengan delirium dan halusinasi pada
pasien transplantasi. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini, tidak dijumpai peningkatan cacat lahir
pada 181 bayi yang terpajan ke asiklovir selama trimester pertama.
• FAMSIKLOVIR

Famsiklovir adalah prodrug ester diasetil dari 6-deoksipensiklovir,suatu analog asiklik guanosin
Setelah pemberian oral famsiklovir cepat mengalami deasetilasi dan oksidasi oleh metabolisme first-
pass menjadi pensiklovir, Obat ini aktif in vitro terhadap HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, dan HBV,
Seperti asiklovir, pengaktifan oleh fosforilasi dikatalisis oleh timidin kinase spesifik-virus di sel yang
terinfeksi, dikuti oleh inhibisi kompetitif DNA polimerase virus untuk menghambat sintesis DNA.
Namun, tidak seperti asiklovir, pensiklovir tidak menyebabkan penghentian pembentukan rantai.
Pensiklovir trifosfat memliki afinitas yang lebih dibandingkan asiklovir trifosfat, tetapi konsentrasi
intrasel nya lebih tinggi. Mutan-mutan klinis HSV yang paling sering dijumpai adalah muatan
defisien timidin kinase; mutan ini memperlihatkan resistensi silang terhadap asiklovir dan
famsiklovir.
Pemberian oral famsikovir adalah 70%. Waktu-paruh intrasel pensiklovir trifosfat memanjang
yaitu 7-20 jam. Pensiklovir terutama diekskresikan melalui urin.Farsiklovir oral efektif untuk
mengobati herpes genitalis pertama dan rekuren, untuk supresi harian kronik herpes genitalis, untuk
mengobati herpes labialis, dan untuk mengobati herpes zoster akut (Tabel 49-1). Pemberian
famsiklovir sekali sehari sangat mempercepat waktu penyembuhan herpes genitalis dan herpes
labialis rekuren. Pembandingan famsiklovir terhadap valasiklovir dalam pengobatan herpes zoster
pada pasien imunokompeten menunjukkan kesetaraan angka penyembuhan lesi kulit dan resolusi
nyeri kedua obat mempersingkat durasi nyeri terkat-zoster dibandingkan dengan
asiklovir,Famsiklovir oral umumnya ditoleransi dengan baik, meskipun kadang terjadi nyeri kepala,
mual, atau diare. Seperti asiklovir, dapat terjadi toksisitas testis pada hewan yang mendapat obat
berulang- ulang. Namun, pria yang mendapat famsiklovir setiap hari (250 mg setiap 12 jam) selama
18 minggu tidak memperlihatkan perubahan pada morfologi dan motilitas sperma. Dalam sebuah
penelitian baru- baru ini, tidak ditemukan bukti adanya peningkatan cacat lahir pada 32 bayi yang
terpajan ke famsikovir selama trimester pertama.
• PENSIKLOVIR

Analog guanosin pensiklovir,metabolit aktif famsiklovir, tersedia untuk pemakaian topikal Krim
pensiklovir (1%) mempersingkat durasi herpes labialis atau genitalis rekuren (Tabel 49-4). Jika
dioleskan dalam 1 jam setelah awitan gejala prodromal dan dilanjutkan setiap 2 jam selama terjaga
selama 4 hari, waktu median sampai penyembuhan memendek 17 jam dibandingkan dengan plasebo.
Efek samping jarang, meskipun reaksi di tempat pengolesan terjadi pada sekitar 1% pasien
• DOKOSANOL

Dokosanol adalah suatu alcohol alifatik 22 karbon jenuh yang menghambat fungsi antara
membrane plasma dan selubung HSY sehingga mencegah masuknya virus ke dalam sel dan replikasi
virus. Krim dokosanol 10% dapat dibeli tanpa resep; reaksi di tempat pengolesan terjadi pada sekitar
2% pasien. Pada herpes orolabial rekuren, jika obat ini dipakai dalam 12 jam setelah awitan gejala
prodromal, lima kali sehari, waktu penyembuhan median menjadi lebih sin kat sebesar 18 jam
dibandingkan dengan plasebo.
• TRIFLURIDIN

Tifluridin (trifluorotimidin) adalah suatu nukleosida pirimidin berfluor yang menghambat


pembentukan DNA virus pada HSV-1, HSV-2, CMV, vaksinia, dan beberapa adenovirus. Obat ini
mengalami fosforilasi oleh enzim-enzim sel pejamu, dan kemudian bersaing dengan timidin trifosfat
untuk masuk ke DNA oleh DNA polimerase (Gambar 49-3). Menyatunya trifluridin trifosfat ke dalam
DNA virus dan pejamu menyebabkan obat ini tidak dapat digunakan secara sistemik. Aplikasi larutan
1% efektif untuk mengobati keratokonjungtivitis dan keratitis epitel rekuren akibat HSV-1 atau HSV-
2. Aplikasi larutan trifluridin di kulit, tersendiri atau dalam kombinasi dengan interferon alfa,
dilaporkan berhasil mengobati infeksi HSV resisten-asiklovir.
OBAT UNTUK INFEKSI SITOMEGALOVIRUS (CMV)
Infeksi CMV terutama terjadi pada keadaan imunosupresi berat dan biasanya disebabkan oleh
reaktivasi infeksi laten. Penyebaran infeksi menyebabkan penyakit end-organ, termasuk retinitis,
kolitis, esofagitis, penyakit susunan saraf pusat,dan pneumonitis. Meskipun insidens pada pasien HIV
telah sangat berkurang berkat ditemukannya terapi antiretrovirus poten, reaktivasi klinis infeksi CMV
setelah transplantasi organ masih prevalen.
• GANCICLOVIR

Gansiklovir adalah suatu analog guanosin asiklik (Gambar 49-2) yang memerlukan pengaktifan
oleh trifosforilasi sebelum menghambat DNA polimerase.Fosforilasi awal dikatalisis oleh protein
kinase spesifik virus fosfotransferase UL97 disel yang terinfeksi CMV Senyawa yang telah aktif
menghambat secara kompetitif DNA polimerase virus dan menyebabkan terhentinya pemanjangan
DNA virus (Gambar 49-3).
Gansiklovir memiliki aktivitas in vitro terhadap CMV, HSV, VZV, EBV, IIIIV-6, dan HHV-8,
Aktivitasnya terhadap CMV 100 kali lebih besar. daripada yang diperlihatkan oleh asiklovir.
Gansiklovir dapat diberikan secara intravena, per oral, atau melalui implan intraokular. Konsentrasi
di cairan serebrospinal adalah sekitar 50% dari konsentrasi serum. Waktu-paruh eliminasi adalah 4
jam, dan waktu- paruh intrasel memanjang pada 16-24 jam. Klirens obat berhubungan secara linier
dengan klirens kreatinin. Gansiklovir mudah dibersihkan dengan hemodialisis.
Gansiklovir intravena terbukti memperlambat perkembangan retinitis CMV pada pasien
AIDS. Terapi ganda dengan foskarnet dan gansiklovir lebih efektif dalam memperlambat
perkembangan retinitis daripada masing-masing obat ,meskipun efek samping juga bertambah.
Gansiklovir intravena juga digunakan untuk mengobati kolitis, esofagitis, dan pneumonitis CMV
(yang terakhir sering diobati oleh kombinasi gansiklovir dan imunoglobulin sitomegalovirus
intravena) pada pasien dengan gangguan imunitas. Gansiklovir intravena, diikuti oleh gansiklovir oral
atau asiklovir oral dosis tinggi, mengurangi risiko infeksi CMV pada penerima transplantasi,
Gansiklovir oral diindikasikan untuk mencegah penyakit CMV end-organ pada pasien AIDS dan
sebagai terapi pemeliharaan pada retinitis CMV setelah induksi. Meskipun kurang efektif
dibandingkan dengan gansiklovir intravena, bentuk oral memiliki risiko mielosupresi dan penyulit
terkait kateter yang lebih rendah. Risiko sarkoma Kaposi berkurang pada pasien AIDS yang mendapat
gansiklovir jangka panjang, mungkin karena aktivitas terhadap HHV-8.
Gansiklovir juga dapat diberikan secara intraokulus untuk mengobati retinitis CMV, baik
melalui penyuntikan intravitreosa langsung atau dengan implan intraokulus. Implan terbukti
memperlambat perkembangan retinitis lebih baik daripada terapi gansiklovir sistemik. Diperlukan
penggantian implan secara bedah setiap 5-8 bulan. Terapi secara bersamaan dengan obat anti-CMV
sistemik dianjurkan untuk mencegah timbulnya penyakit CMV di end-organ lainnya.
Resistensi terhadap gansiklovir meningkat seiring dengan lama pemakaian. Mutasi yang
umum, di UL97,menyebabkan berkurangnya kadar gansiklovir bentuk tetrifosforilasi (yi. bentuk
aktif). Mutasi UL54 yang lebih jarang pada DNA polimerase menyebabkan tingkat resistensi yang
lebih tinggi dari potensi resistensi-silang dengan sidofovir dan foskarnet. Uji kerentanan antivirus
dianjurkan pada pasien yang secara klinis dicurigai resisten, demikian juga penggantian terapi
alternatif dan pengurangan secara bersamaan terapi imunosupresif, jika memungkinkan. Penambahan
globulin hiperimun CMV juga dapat dipertimbangkan.
Efek samping tersering terapi gansiklovir sistemik, terutama setelah pemberian intravena,
adalah mielosupresi. Mielosupresi dapat bersifat aditif pada pasien yang sedang mendapat zidovudin,
azatioprin, atau mikofenolat mofetil. Efek samping potensial lainnya adalah mual, diare, demam,
ruam, nyeri kepala, insomnia, dan neuropati perifer. Toksisitas susunan saraf pusat (kebingungan,
kejang, gangguan kejiwaan) serta hepatotoksisitas pernah dilaporkan meskipun jarang. Gansiklovir
bersifat mutagenik bagi sel mamalia serta karsinogenik dan embriotoksik dalam dosis tinggi pada
hewan dan menyebabkan aspermatogenesis Kadar gansiklovir dapat meningkat pada pasien yang juga
mendapat probenesid atau trimetoprim. Pemakaian bersamaan gansiklovir dan didanosin dapat
menyebabkan peningkatan kadar didanosin.
• VALGANSIKLOVIR

Valgansiklovir adalah prodrug ester L-valil dari gansiklovir yang terdapat sebagai campuran dua
diastereomer (Gambar 49-2). Setelah pemberian oral,kedua diastereomer cepat terhidrolisis menjadi
gan- siklovir oleh esterase di dinding usus dan hati.
Valgansiklovir diserap dengan baik dan cepat dimetabolisasi di dinding usus dan hati menjadi
gansiklovir tidak ada metabolit lain yang pernah terdeteksi.valgansiklovir oral adalah 60% dianjurkan
bahwa obat ini diminum bersama makanan. AUC0-24 jam yang dihasilkan oleh valgansiklovir (900
mg sekali sehari) serupa dengan setelah pemberian gansiklovir intravena 5 mg/kg sekali sehari serta
sekitar 1,65 kali daripada gansiklovir oral. Rute utama eliminasi adalah ginjal,melalui filtrasi
glomerulus dan sekresi aktif tubulus. Konsentrasi plasma valgansiklovir berkurang sekitar 50%
dengan hemodialisis.
Valgansiklovir diindikasikan untuk mengobati retinitis CMV pada pasien dengan AIDS dan untuk
mencegah penyakit CMV pada pasien transplantasi ginjal, jantung, dan ginjal-pankreas berisiko
tinggi. Efek samping, interaksi obat, dan pola resistensi sama seperti yang berkaitan dengan
gansiklovir.
• FOSKARNET

Foskarnet (asam fosfonoformat) adalah suatu analog pirofosfat inorganik (Gambar 49-2) yang
menghambat DNA/ RNA polimerase virus herpes dan HIV reversal transkriptase secara langsung
tanpa memerlukan pengaktifan dengan fosforilasi. Foskarnet menghambat tempat pengikatan
pirofosfat dari enzim-enzim ini serta menghambat penguraian pirofosfat dari trifosfat
deoksinukleotida. Obat ini memiliki aktivitas in vitro terhadap HSV, VZV, CMV, EBV, HHV-6,
HHV-8, HIV-1, dan HIV-2
Foskarnet tersedia hanya dalam bentuk intravena rendahnya ketersediaan-hayati setelah
pemberian oral serta intoleransi saluran cerna tidak memungkinkan pemberian oral. Konsentrasi di
cairan serebrospinal adalah 43-67% dari konsentrasi serum yang berada dalam suatu ekulibrium atau
kestabilan. Meskipun waktu-paruh plasma rerata adalah 3-7 jam, hingga 30% foskarnet mungkin
mengendap di tulang, dengan waktu-paruh beberapa bulan. Dampak klinis hal ini belum diketahui.
Klirens foskarnet terutama di ginjal dan berbanding lurus dengan klirens kreatinin. Konsentrasi obat
dalam serum berkurang sekitar 50% dengan hemodialisis. Foskarnet efektif untuk mengobati retinitis
CMV, kolitis CMV, esofagitis CMV,infeksi HSV resisten-asiklovir, dan infeksi VZV resisten-
asiklovir. Dosis foskarnet harus dititrasi sesuai dengan penghitungan klirens kreatinin sebelum setiap
infos. Pemakaian pompa infos untuk mengontrol kecepatan infos merupakan hal penting untuk
mencegah toksisitas, dan diperlukan volume cairan yang besar karena rendah nya kelarutan obat ini.
In vitro, kombinasi gansiklovir dan foskarnet bersifat sinergistik terhadap CMV dan telah terbukti
superior dibandingkan dengan masing- masing obat dalam memperlambat perkembangan retinitis
namun, toksisitas juga meningkat jika keduanya diberikan secara bersamaan. Seperti gansiklovir,
pemberian foskarnet jangka- panjang dilaporkan berkaitan dengan penurunan insidens sarkoma
Kaposi.
Foskarnet pernah diberikan secara intravitreosa untuk mengobati retinitis CMV pada pasien
AIDS, tetapi data mengenai efikasi dan keamanan belum lengkap.Resistensi terhadap foskarnet pada
isolat HSV dan CMV disebabkan oleh mutasi titik di gen DNA polimerase danbiasanya berkaitan
dengan pajanan yangberkepanjangan atau berulang ke obat ini. Mutasi di gen reverse transkriptase
HIV-1 juga penah dilaporkan. Meskipun isolat CMV resisten-foskarriet biasanya juga resisten
terhadap gansiklovir, aktivitas foskarnet terhadap isolat CMV resisten gansiklovir atau-sidofovir
biasanya dipertahankan.
Efek samping yang dapat terjadi pada pemberian foskarnet adalah gangguan ginjal, hipo atau
hiperkalsemia, hipo atau hiperfosfatemia, hipokalemia, dan hipomagnesemia. Pemberian salin
sebelumnya membantu mencegah nefrotoksisitas, demikian juga menghindari pemberian secara
bersamaan obat dengan potensi nefrotoksik (mis. amfoterisin B, pentamidin, aminoglikosida). Risiko
hipokalsemia. berat, akibat kelasi kation-kation divalen, meningkat dengan pemberian pentamidin
secara bersamaan. Ulkus genital yang berkaitan dengan terapi foskarnet mungkin disebabkan oleh
tingginya kadar obat yang terionisasi di urin. Mual, muntah, anemia, peningkatan kadar enzim hati,
dan rasa lelah pernah dilaporkan; risiko anemia mungkin bertambah pada pasien yang juga mendapat
zidovudin. Toksisitas susunan saraf pusat mencakup nyeri kepala, halusinasi, dan kejang: risiko
kejang mungkin meningkat pada pemberian imipenem. Pada uji-uji praklinis, foskarnet menyebabkan
kerusakan kromosom.
• SIDOFOVIR

Sidofovir adalah suatu analog nukleotida sitosin dengan aktivitas in vitro terhadap CMV, HSV-
1, HSV-2, VZV, EBV, HHV-6, HHV-8, adenovirus, poksvirus, poliomavirus, dan HPV. Berbeda dari
gansiklovir, fosforilasi sidofovir menjadi difosfat aktif tidak bergantung pada enzim-enzim virus.
karena itu, aktivitas tetap ada terhadap Jalur-Jalur CMV atau HSV yang timidin kinasenya tidak ada
atau berubah. Sidofovir difosfat bekerja sebagai inhibitor protien terhadap dan substrat alternatif bagi
DNA polimerase virus, secara kompetitif menghambat pembentukan DNA dan terserap ke dalam
rantai DNA virus. Isolat resisten sidofovir cenderung juga resisten terhadap gansiklovir, tetapi tetap
rentan terhadap foskarnet.Meskipun waktu paruh terminal sidofovir adalah sekitar 2,6 jam, metabolit
aktif sidofovir difosfat,memiliki waktu-paruh intrasel yang panjang (17-65 jam) sehingga dosis dapat
jarang diberikan. Suatu metabolit lain,sidofovir fosfokolin,memiliki waktu-paruh paling sedikit 87
jam dan mungkin berfungsi sebagai reservoar intrasel obat aktif. Penetrasi ke cairan serebrospinal
rendah. Eliminasi adalah dengan sekresi aktif di tubulus. Hemodialisis high-flux mengurangi kadar
serum sidofovir sekitar 75%.Sidofovir intravena efektif untuk mengobati retinitis CMV dan
digunakan secara eksperimental untuk mengobati infeksi adenovirus, HPV, dan poksvirus.
Sidofovir intravena harus diberikan bersama dengan probenesid dosis tinggi (2 g pada 3 jam
sebelum infos dan Ig pada 2 dan 8 jam sesudahnya), yang menghambat sekresi aktif di tubulus serta
mengurangi nefrotoksisitas. dosis sidofovir harus disesuaikan dengan penghitungan klirens kreatinin
atau adanya protein urin, dan diperlukan hidrasi adjuvan yang agresif. Sidofovir jangan diberikan
kepada pasien yang mengidap insufisiensi ginjal. Pemberian intravitreosa langsung sidofovir tidak
dianjurkan karena toksisitas mata.
Efek samping utama sidofovir intravena adalah nefro toksisitas tubulus proksimal dependen-
dosis, yang dapat dikurangi dengan prahidrasi menggunakan salin normal. Dapat terjadi proteinuria,
azotemia, asidosis metabolik, dan sindrom Fanconi, Pemberian secara bersamaan obat lain yang
berpotensi nefrotoksik (mis. amfoterisin B, aminoglikosida,obat anti-inflamasi non-steroid,
pentamidin, foskarnet) harus dihindari. Pemberian foskarnet sebelumnya dapat meningkatkan risiko
nefrotoksisitas. Efek samping potensial lainnya antara lain adalah uveitis, hipotonia okular, dan
neutropenia (15-24%). Pemberian probenesid secara bersamaan dapat menimbulkan toksisitas lain
atau interaksi antar obat Sidofovir bersifat mutagenik, gonadotoksik, dan embriotoksik.
OBAT ANTIRETROVIRUS
Telah dicapai banyak kemajuan substansial dalam terapi antiretrovirus sejak
diperkenalkannya obat pertama, zidovudin, pada tahun 1987 (Tabel 49-3). Meningkatnya
pengetahuan mengenai dinamika virus melalui pemakaian viral load dan uji resistensi memperjelas
fakta bahwa terapi kombinasi dengan obat-obat berpotensi maksimal akan mengurangi replikasi virus
hingga ke tingkat terendah dan memperkecil kemungkinan munculnya resistensi. Karena itu,
pemberian terapi antiretrovirus kombinasi, biasanya terdiri dari paling sedikit tiga obat antiretrovirus,
telah menjadi standar pengobatan. Kerentanan virus terhadap obat spesifik bervariasi di antara pasien
dan dapat berubah seiring waktu, karena munculnya resistensi. Karenanya, kombinasi obat tersebut
harus dipilih dengan hati-hati dan disesuaikan dengan masing-masing pasien, demikian juga
perubahan ke suatu rejimen. Selain potensi dan kerentanan, faktor penting dalam memilih obat untuk
setiap pasien adalah tolerabilitas, kemudahan pemberian, dan optimalisasi kepatuhan.
RNA genom retrovirus berfungsi sebagai cetakan untuk menghasilkan salinan DNA untai-
ganda, yi. provirus (Gambar 49-4). Pembentukan provirus diperantarai oleh suatu DNA polimerase
dependen RNA virus, atau "reverse transcriptase". Provirus dipindahkan ke nukleus dan
diintegrasikan ke dalam DNA pejamu. Transkripsi DNA, yang telah terintegrasi ini, terutama diatur
oleh perangkat sel.
Saat ini tersedia enam kelas obat antiretrovirus: nucleosidel nucleotide reverse transcriptase
inhibitor (NRTI), nonnucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI), inhibitor protease (PI),
inhibitor fusi, antagonis reseptor CCR5, dan inhibitor integrase. Seiring dengan tersedianya obat-obat
baru, beberapa yang lama mulai jarang digunakan karena profil keamanan yang suboptimal atau
potensi anti-virus yang inferior. tingginya angka mutasi HIV-1 per siklus replikasi menyebabkan
besarnya potensi variasi genotipe. Resistensi genotipe pernah dilaporkan untuk setiap obat anti-
retrovirus yang saat ini digunakan. Terapi yang memperlambat atau menghentikan replikasi sangat
penting untuk mengurangi jumlah mutasi kumulatif, demikian juga pemakaian kombinasi obat
dengan pola kerentanan yang berlainan. kerentanan in vitro HIV-2 terhadap NRTI serupa dengan
HIV-1, meskipun hambatan resistensi genetik lebih rendah. Terdapat resistensi bawaan HIV-2
terhadap NNRTI karena perbedaan struktur kantung pengikatan NNRTI reverse transcriptase
enfuvirtid) tidak aktif terhadap HIV-2.
INHIBITOR REVERSE TRANSCRIPTASE NUKLEOSIDA DAN NUKLEOTIDA
NRTI bekerja dengan menghambat secara kompetitif reverse transcriptase HIV-1; terserapnya
obat ke dalam rantai DNA virus yang sedang terbentuk menyebabkan penghentian rantai prematur
karena inhibisi pengikatan dengan nukleotida baru (Gambar 49-4). Masing masing obat memerlukan
pengaktifan intrasitoplasma melalui fosforilasi oleh enzim-enzim sel menjadi bentuk trifosfat.
Mutasi resistensi tipikal mencakup M 184V, L74V, D67N, dan M41L. Terapi lamivudin atau
emtrisitabin cenderung memilih dengan cepat mutasi M 184V dalam rejimen yang tidak benar-benar
supresif. Sementara mutasi M 184V menghasilkan penurunan kerentanan terhadap abakavir,
didanosin, dan zalsitabin, keberadaannya mungkin memulihkan kerentanan fenotipe terhadap
zidovudin. Mutasi K65R berkaitan dengan penurunan kerentanan terhadap tenof-ovir, abakavir,
lamivudin, dan emtrisitabin.
SemuaNRTI dapat menyebabkan toksisitas mitokondria, mungkin karena inhibisi gama DNA
polimerase mitokondria. Meskipun jarang, dapat terjadi asidosis laktat disertai steatosis hati, yang
dapat mematikan. Terapi NRTI sebagianya dibekukan jika terjadi peningkatan cepat kadar
aminotransferase, hepatomegali progresif, atau asidosis metabolik yang tidak diketahui sebabnya.
Analog timidin zidovudin dan stavudin mungkin lebih sering menyebabkan dislipidemia dan
resistensi insulin. Beberapa bukti menyarankan adanya peningkatan risiko infark miokardium pada
pasien yang mendapat abakavir atau didanosin.
• ABAKAVIR

Abakavir adalah suatu analog guanosin yang diserap dengan baik setelah pemberian oral (83%)
dan tidak dipengaruhi oleh makanan. Waktu-paruh dalam serum adalah 1,5 jam. Obat ini mengalami
glukuronidasi dan karboksilasi di hati. Kadar di cairan serebrospinal sekitar sepertiga dari kadar
plasma.
Abakavir sering diberikan bersama dengan lamivudin, dan tersedia preparat kombinasi dosis-
tetap yang diberikan sekali sehari. Abakavir juga tersedia dalam kombinasi dosis-tetap dengan
lamivudin dan zidovudin. Resistensi tingkat-tinggi terhadap terhadap abakavir tampaknya
memerlukan paling sedikit dua atau tiga mutasi bersamaan dan karenanya cenderung muncul
perlahan. Reaksi hipersensitivitas, kadang mematikan, pernah dilaporkan pada hampir 8% pasien
yang mendapat abakavir serta mungkin lebih parah pada pemberian sekali sehari. Gejala, yang
biasanya terjadi dalam 6 minggu pertama pengobatan, mencakup demam, rasa lesu, mual, muntah,
diare, dan nyeri abdomen
Efek samping potensial lain adalah ruam, demam, mual, muntah, darenyeri kepala dispnu,
rasa lelah, dan pankreatitis (jarang). Abakavir sebaiknya diberikan secara hati-hati pada pasien yang
sudah memilika faktor risiko jantung karena kemungkinan peningkatan risiko penyulit miokardium.
Karena abakavir dapat menurunkan kadar metadon, pasien yang sedang mendapat kedua obat ini
secara bersamaan,perlu dipantau untuk tanda-tanda putus obat/opioid dan mungkin memerlukan
peningkatan dosis metadon
• DIDANOSIN

Didanosin (dd) adalah suatu analog sintetikdeoksiadenosin. Ketersediaan hayati oral adalah
sekitar 40% pemberian obat dianjurkan saat perut kosong, tetapi diperlukan sediaan berdapar untuk
mencegah inaktivasi oleh asam lambung. Konsentrasi obat di cairan serebrospinal adalah sekitar 20%
dari konsentrasi di serum. Waktu-paruh serum adalah 1,5 jam, tetapi waktu-paruh intrasel senyawa
aktif dapat mencapai 20-24 jam. Obat ini dieliminasi oleh metabolisme sel dan ekskresi ginjal.
Toksisitas klinis utama yang berkaitan dengan pemberian didanosin adalah pankreatitis dependen
dosis. Faktor risiko lain untuk-pankreatitis (mis. penyalahgunaan alkohol, hipertri- gliseridemia)
merupakan kontraindikasi relatif dan obat-obat yang berpotensi menyebabkan pankreatitis, termasuk
zalsitabin, stavudin ribavirin, dan hidroksiurea, sebagianya tidak diberikan bersama obat ini.
Risiko neuropati sensorik distal perifer, yaitu salah satu toksistas potensial lainnya, mungkin
meningkat jika pasien juga diberi stavudin, isoniazid, vinkristin, atau ribavirin. Efek samping lain
yang pernah dilaporkan adalah diare (terutama pada sediaan berdapar), hepatitis, ulkus esofagus,
kardiomiopati, toksisitas susunan saraf pusat (nyeri kepala, iritabilitas, insomnia), dan
hipertrigliseridemia. Hiperurisemia yang semula asimtomatik dapat memicu serangan gout pada
orang yang rentan pemakaian secara bersamaan alopurinol dapat meningkatkan kadar didanosin.
Dapat dalam tablet dan bubuk didanosin mengganggu penyerapan indinavir, delaviridin, atazanavir,
dapson, itrakonazol, dan fluorokuinolon karena itu, obat-obat ini harus diberikan dalam waktu yang
berbeda. Kadar didanosin dalam serum meningkat jika obat ini diberikan bersama dengan tenofovir
atau gansiklovir, dan menurun oleh atazanavir, delavirdin, ritonavir, tipranavir, dan metadon.
• EMTRISITABIN

Emtrisitabin(FTC) adalah suatu analog berfluor dari lamivudin dengan waktu-paruh intrasel yang
lama (>24 jam) sehingga obat dapat diberikan sekali sehari (Gambar 49-2). obat bentuk kapsul adalah
93% dan biasanya tidak dipengaruhi oleh makanan, tetapi penetrasi ke dalam cairan serebrospinal
rendah. Eliminasinya terjadi melalui filtrasi glomerulus dan sekresi aktif di tubulus. Waktu-paruh
serum adalah sekitar 10 jam. Larutan oral, yang mengandung propilen glikol, dikontraindikasikan
pada anak, wanita hamil, pasien dengan gagal ginjal atau hati, dan mereka yang mendapat
metronidazol atau disulfiram. Karena aktivitasnya terhadap HVB, pasien yang terinfeksi oleh HIV
dan HBV perlu dipantau secara ketat jika terapi dengan emtrisitabin ditunda atau dihentikan, karena
kemungkinan kekambuhan hepatitis.
Emtrisitabin sering diberikan bersama dengan tenofovir, dan tersedia formulasi kombinasi
dosis-tetap sekali sehari,baik secara tersendiri maupun dalam kombinasi dengan efavirenz. Dala
sebuah studi terkontrol-plasebo baru-baru ini, pemakaia emtrisitabin dan tenofovir juga efektif untuk
profilaks pascapajanan, mengurangi akuisisi HIV pada pria yang berhubunga seks dengan sesama
pria. Seperti lamivudin, mutasi M 184V paling sering dikaitka dengan pemakaian emtrisitabin dan
mungkin muncul cepat pad pasien yang mendapat obat-obat yang tidak benar-benar bersifat presif
Karena mekanisme kerja dan profil resistensi yang serupa, kombinasi lamivudin dan entrisisabin tidak
dianjurkan Efek samping yang paling sering diamati pada pasien yang mendapat emtrisitabin adalah
nyeri kepala, diare, maal, dan ruam Selain itu, hiperpigmentasi telapak tangan atau kaki mungkin
dijumpai (sekitar 39%), terutama pada orang Amerika-Afrika (hingga 13%). Sampai saat ini belum
pernah dilaporkan adanya interaksi antar obat.
• LAMIVUDIN

Lamivudin (3TC) adalah suatu analog sitosin (Gambar 49-2) dengan aktivitas in vitro terhadap
HIV-1 yang sinergistik dengan berbagai analog nukleosida antivirus termasuk zidovudin dan stavudin
terhadap galur-galur HIV-1 resisten dan sensitif zidovudin. Seperti emtrisitabin, lamivudin memiliki
aktivitas terhadap HBV karena itu, penghentian pada pasien dengan koinfeksi HIV dan HBV dapat
memicu kekambuhan hepatitis.
Ketersediaan hayati oral melebihi 80% dan tidak bergantung pada obat. Pada anak, rasio cairan
serebrospinal: plasma lamivudin adalah 0,2. Waktu-paruh serum adalah 2,5 jam, sementara waktu
paruh intrasel senyawa tertrifosforilasi adalah 11-14 jam. Sebagian besar obat dikeluarkan tanpa
berubah di urin.Lamivudin sering diberikan bersama dengan abakavir, dan tersedia preparat
kombinasi dosis-tetap sekali sehari. Lamivudin juga tersedia dalam kombinasi dosis tetap dengan
zidovudin, baik secara tersendiri, maupun dalam kombinasi dengan abakavir.Pemberian lamivudin
dalam rejimen yang tidak benar-benar supresif akan cepat menyeleksi mutasi M184V.
Efek samping yang dapat terjadi adalah nyeri kepala,pusing berputar, insomnia, rasa lelah,
mulut kering, dan perut terasa tidak enak, meskipun gejala-gejala ini biasanya ringan dan jarang
ditemukan. Ketersediaan-hayati lamivudin meningkat jika diberi kan bersama dengan trimetoprim
sulfametoksazol. Lamivudin dan zalsitabin dapat menghambat fosforilasi intrasel satu sama lain;
karena itu, pemakaian keduanya secara bersamaan sebaiknya dihindari. Keamanan jangka-pendek
lamivudin telah dibuktikan pada ibu dan bayi
• STAVUDIN

Analog timidin stavudin (d4T) Waktu paruh serum adalah 1,1 jam, waktu-paruh intrasel adalah
3,0-3,5 jam, serta konsentrasi rerata di cairan serebrospinal adalah 55% dibandingkan kadar dalam
plasma. Ekskresi adalah dengan sekresi aktif di tubulus dan filtrasi glomerulus.
Toksisitas utama adalah neuropati sensorik perifer yang bergantung pada dosis. Insidens
neuropati mungkin meningkat jika stavudin diberikan bersama obat pemicu neuropati lain seperti
didanosin, zalsitabin, vinkristin, isoniazid, atau ribavirin, atau pada pasien dengan imunosupresi
tingkat lanjut. Gejala biasanya mereda jika stavudin dihentikan; pada kasus-kasus seperti ini, dicoba
untuk memberikan obat kepada pasien dengan dosis yang lebih rendah. Efek samping potensial
lainnya adalah pankreatitis, artralgia, dan peningkatan kadar aminotransferase serum. Asidosis laktat
dengan steatosis hati, serta lipodistrofi, tampaknya lebih sering terjadi pada pasien yang mendapat
stavudin daripada mereka yang mendapat obat NRTI. Selain itu, karena diberikan bersama stavudin
dan didanosin dapat meningkatkan insidens asidosis laktat dan pankreatitis, pemakaian bersamaan
kedua obat ini sebaiknya dihindari. Kombinasi ini dilaporkan berkaitan dengan beberapa kematian
pada wanita hamil yang terinfeksi HIV Suatu efek samping yang jarang adalah kelemahan
neuromuskulus asendens progresif cepat. Karena zidovudin juga dapat mengurangi fosforilasi
stavudin maka kedua obat ini sebaiknya tidak diberikan bersama-sama. Tidak terdapat bukti
teratogenisitas manusia pada mereka yang mendapat obat ini
• TENOFOVIR

Tenofovir adalah suatu analog nukleosida asiklik fosfonat (yi. nukleotida) dari adenosin Seperti
analog nukleosida, tenofovir menghambat reverse transcriptase HIV dan menyebabkan pengakhiran
rantai setelah obat ini terserap ke dalam DNA. Namun, diperlukan hanya dua dan bukan tiga
fosforilasi intrasel untuk inhibisi aktif DNA. Tenofovir juga telah disetujui untuk mengobati pasien
dengan infeksi HBV Tenofovir disoproksil fumarat adalah prodrug larut-air dari tenofovir aktif.
Ketersediaan hayati oral pada keadaan puasa adalah sekitar 25% dan meningkat menjadi 39% setelah
makan makanan berlemak. Waktu-paruh intrasel dan serum yang panjang (12-17 jam)
memungkinkan pemberian sekali sehari. Eliminasi berlangsung melalui filtrasi glomerulus dan
sekresi aktif di tubulus.
Tenofovir sering diberikan bersama dengan emtrisitabin, dan tersedia preparat kombinasi dosis-
tetap sekali sehari, baik tersendiri maupun bersama dengan efavirenz. Suatu studi terkontrol plasebo
baru-baru ini mendapatkan bahwa pemakaian emtrisitabin dan tenofovir efektif sebagai profilaksis
prapajanan, mengurangi akuisisi HIV pada pria yang berhubungan seks dengan pria. Dalam studi
terkontrol plasebo lainnya, pemakaian gel tenofovir 16 eksperimental sebagai mikrobisida vagina
efektif untuk mengurangi insidens akuisisi HIV heteroseks.Mutasi primer yang berkaitan dengan
resistensi terhadap tenofovir adalah K65R.
Keluhan pencernaan (mis. mual, diare, muntah, flatus) adalah efek samping tersering, tetapi
jarang mengharuskan penghentian obat. Karena tenofovir diformulasikan bersama laktosa, efek-efek
tersebut mungkin lebih sering terjadi pada pasien dengan intoleransi laktosa. Efek samping potensial
lainnya adalah nyeri kepala dan astenia. Tubu lopati ginjal terkait tenofovir menyebabkan
pengeluaran berlebihan fosfat dan kalsium dari ginjal serta defek 1- hidroksilasi vitamin D, dan studi-
studi praklinis pada beberapa spesies hewan memperlihatkan adanya toksisitas tulang (mis.
osteomalasia). Pada pemakaian jangka panjang-perlu dipertimbangan pemantauan densitas mineral
tulang pada mereka yang memiliki faktor risiko atau diketahui mengidap osteoporosis, demikian pula
pada anak. Berkurangnya fungsi ginjal seiring dengan waktu, serta kasus- kasus gagal ginjal akut dan
sindrom Fanconi, pernah dilaporkan pada pasien yang mendapat tenofovir saja atau dalam kombinasi
dengan emtrisitabin. Karena itu, tenofovir perlu diberikan dengan hati-hati pada pasien yang berisiko
mengalami disfungsi ginjal. Tenofovir mungkin bersaing dengan obat lain yang secara aktif
disekresikan oleh ginjal, misalnya sidofovir, asiklovir, dan gansiklovir. Pemakaian bersama dengan
atazanavir atau lopinavir/ritonavir dapat meningkatkan kadar serum tenofovir Pada monyet, tenofovir
dilaporkan berkaitan dengan penurunan pertumbuhan janin dan berkurangnya porositas tulang janin.
Pada manusia, obat ini dapat melewati plasenta dalam jumlah signifikan.
• ZALSITABIN

Zalsitabin (ddC) adalah suatu analog sitosin dengan ketersediaan- hayati oral yang tinggi (87%)
dan waktu-paruh serum 1-2 jam (Gambar 49-2). Waktu-paruh intrasel yang 2,6 jam mengharuskan
pemberian tiga kali sehari sehingga kegunaan obat ini menjadi terbatas. Kadar plasma berkurang
sebesar 25-39% jika obat diberikan bersama dengan makanan atau antasid. Obat ini diekskresikan
oleh ginjal. Konsentrasi di cairan serebrospinal adalah sekitar 20% dari kadar plasma.Meskipun
berbagai mutasi yang dikaitkan dengan resistensi in vitro terhadap zalsitabin pernah dilaporkan,
resistensi fenotipik tampaknya jarang.
Terapi zalsitabin dilaporkan berkaitan dengan neuropati perifer dependen dosis yang dapat
menyebabkan terapi dihentikan pada 10- 20% pasien, tetapi efek ini tampaknya akan pulih secara
perlahan jika obat segera dihentikan. Potensi menimbulkan neuropati perifer menyebabkan obat ini
relatif dikontraindika sikan untuk digunakan bersama dengan obat lain yang menyebabkan neuropati
seperti stavudin, didanosin, isoniazid, vinkristin, dan ribavirin. Berkurangnya klirens kreatinin atau
pemakaian secara bersamaan obat yang berpotensi nefrotoksik (mis. amfoterisin B, foskarnet, dan
aminoglikosida) dapat meningkatkan risiko neuropati zalsitabin, demikian juga imunosupresi tahap
lanjut.
Toksisitas utama lain yang dilaporkan adalah ulserasi oral dan esofagus. Pankreatitis lebih
jarang terjadi jika dibandingkan pada pemberian didanosin, tetapi pemberian bersama dengan obat
lain yang menyebabkan pankreatitis dapat meningkatkan frekuensi efek samping ini. Nyeri kepala,
mual, ruam, dan artralgia dapat terjadi, tetapi cenderung ringan atau mereda selama pengobatan.
Zalsitabin menyebabkan limfoma timus pada hewan pengerat,serta hidrose-falus pada dosis tinggi;
makna klinis pengamatan ini belum jelas.AUC zalsitabin meningkat jika diberikan bersama
probenesid atau simetidin, dan ketersediaan-hayati berkurang jika diberikan bersama dengan antasid
atau metoklopramid. Lamivudin menghambat fosforilasi zalsitabin in vitro, dan berpotensi
mengganggu efikasi obat ini.
• ZIDOVUDIN

Zidovudin adalah obat antiretrovirus pertama yang disetujui dan telah banyak diteliti. Obat ini
terbukti menurunkan laju perkembangan klinispenyakit dan memperlama kelangsungan hidup pada
pasien yang terinfeksi HIV Efikasi juga pernah dibuktikan pada pengobatan demensia dan
trombositopenia terkait-HIV Pada kehamilan (Tabel 49-5), rejimen zidovudin oral yang dimulai
antara 14 dan 34 minggu gestasi, zidovudin intravena selama persalinan, dan sirup zidovudin untuk
neonatus dari lahir hingga usia 6 minggu terbukti mengurangi laju penularan vertikal (ibu keneonatus)
HIV hingga 23%. Resistensi zidovudin tingkat-tinggi umumnya dijumpai pada Jalur-Jalur dengan
tiga atau lebih dari lima mutasi tersering: M4IL, D67N, K70R, T215F, dan K219Q. Namun,
munculnya mutasi-mutasi tertentu yang menyebabkan penurunan kerentanan terhadap satu obat (mis.
L74V untuk didanosin dan M184V untuk lamivudin) dapat meningkatkan kerentanan terhadap
zidovudin pada galur yang semula resisten zidovudin. Penghentian zidovudin dapat menyebabkan
pemulihan isolat HIV-1 resisten-zidovudin menjadi fenotipe wild-type yang sensitif.
Efek samping tersering zidovudin adalah mielosupresi,menyebabkan anemia makrositik (1-
4%) atau neutropenia (2-8%).Intoleransi pencernaan, nyeri kepala, dan insomnia dapat terjadi, tetapi
cenderung mereda selama pengobatan. Lipoatrofi tampaknya lebih sering dijumpai pada pasien yang
mendapat zidovudin atau analog timidin lainnya. Toksisitas yang lebih jarang adalah
trombositopenia, hiper pigmentasi kuku, dan miopati. Dosis tinggi dapat menimbulkan rasa cemas,
kebingungan dan bergetar ketakutan. Zidovudin menyebabkan neoplasma vagina pada mencit;
namun, belum pernah ada kasus neoplasma genital yang pernah dilaporkan sampai saat ini. Keamanan
jangka-pendek telah dibuktikan, baik pada ibu maupun bayinya.Meningkatnya kadar serum
zidovudin dapat terjadi pada pemberian bersama dengan probenesid, fenitoin, metadon, flukonazol,
atovakuon, asam valproat, dan lamivudin, baik melalui inhibisi metabolisme first-pass maupun
penurunan klirens. Zidovudin dapat mengurangi kadar fenitoin. Toksisitas hematologik mungkin
meningkat pada pemberian bersamaan dengan obat mielosupresi lain seperti gansiklovir, ribavirin,
dan obat sitotoksik. Rejimen kombinasi yang mengandung zidovudin dan stavudin perlu dihindari
karena adanya antagonisme in vitro.

NONNUCULEOSIDE REVERSE TRANSCRIPTASE INHIBITORS


NNRTI mengikat langsung reverse transcriptase HIV-1 (Gambar 49-4), menyebabkan inhibisi
alosterik aktivitas DNA polimerase dependenRNA dan DNA. Tempat pengikatan NNRTI dekat,
tetapi berbeda dari tempat pengikatan NRTI. Tidak seperti obat NRTI, NNRTI tidak bersaing dengan
nukleosida trisofat dan tidak memerlukan fosforilasi untuk menjadi aktif.
Dianjurkan pemeriksaan genotipe basal sebelum terapi NNRTI dimulai karena angka
resistensi primer berkisar dari sekitar 2% hingga 8%. Resistensi terhadap NNRTI muncul dengan
cepat pada monoterapi dan dapat disebabkan oleh suatu mutasi tunggal. Mutasi K103N dan Y181C
menghasilkan resistensi di seluruh kelas NNRTI, kecuali obat yang paling baru,etravirin. Mutasi lain
(mis. L1001, Y188C, G190A) dapat menghasilkan resistensi-silang di antara kelas NNRTI. Namun,
tidak terdapat resistensi silang antara NNRTI dan NRTI pada kenyataannya,virus resisten-nukleosida
memperlihatkan peningkatan kerentanan terhadap NNRTI.
Obat-obat NNRTI cenderung menyebabkan intoleransi pencernaan dengan derajat bervariasi
dan ruam kulit, dengan yang terakhir kadang bersifat serius (mis. sindrom Stevens- Johnson).
Pembatasan lain obat NNRTI sebagai komponen terapi antiretrovirus adalah metabolisme mereka
oleh sistem CYP450,yang menimbulkan banyak interaksi antarobat obat NNRTI adalah substrat
CYP3A4 dan dapat berfungsi sebagai penginduksi (nevirapin), inhibitor (delavirdin), atau campuran
penginduksi dan penghambat (efavirenz, etravirin). Karena banyaknya obat non-HIV yang juga
dimetabolisasi oleh jalur ini interaksi antar obat harus diharapkan dan dicari sering diperlukan
penyesuaian dosis dan beberapa kombinasi dikontraindikasikan.
• DELAVIRDIN

Delavirdin memiliki ketersediaan hayati oral sekitar 85%,tetapi angka ini berkurang oleh antasid
atau penghambat H. Obat ini terikat secara ekstensif(sekitar 98%) ke protein plasma dan karenanya
kadar di cairan serebrospinal rendah. Waktu-paruh serum adalah sekitar 6 jam.
Ruam kulit terjadi pada hampir 38% pasien yang mendapat delavirdin; ruam ini biasanya
muncul selama 1-3 minggu pertama terapi dan tidak menghindari pemberian kembali. Namun, ruam
parah seperti eritema multiforme dan sindrom Stevens Johnson pernah dilaporkan, meskipun jarang.
Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah nyeri kepala,rasa lelah, mual, diare, dan
meningkatnya kadar aminotransferase serum.Delavirdin telah dibuktikan bersifat teratogenik bagi
tikus, menyebabkan defek sekat ventrikel dan malformasi lain pada dosis yang tidak seperti yang
diberikan kepada manusia. karena itu, kehamilan sebaiknya dihindari selama mendapat delavirdin.
Delavirdin dimetabolisasi secara ekstensif oleh enzim CYP3A dan CYP2D6 serca juga
menghambat CYP3A4 dan 2C9. Karenanya, terdapat banyak kemungkinan interaksi dengan obat lain
yang perlu dipertimbangkan. Pemakaian bersama delaviridin dan fosamprenavir dan rifabutin tidak
dianjurkan karena berkurangnya kadar delaviridin. Obat lain yang mungkin mengubah kadar
delaviridin adalah didanosin, lopinavir, nelfinavir, dan ritonavir. Pemberian bersama delaviridin dan
indinavir atau sakuinavir memperlama waktu-paruh eliminasi inhibitor protease sehingga dapat
diberikan dua kali sehari bukan tiga kali.
• EFAVIRENZ

Efavirenz terutama dimetabolisasi oleh CYP3A4 dan CYP2B6 menjadi metabolit-metabolit


terhidroksilasi yang inaktif. Obat ini banyak terikat ke albumin (sekitar 99%) dan kadar di cairan
serebrospinal berkisar dari 0,3% sampai 1,2% dari kadar plasma.

Efek samping utama efavirenz adalah pada susunan saraf pusat. Pusing berputar, mengantuk,
insomnia mimpi buruk, dan nyeri kepala cenderung berkurang jika obat dilanjutkan pemberian obat
sebelum tidur malam juga dapat membantu. Gejala kejiwaan seperti depresi, mania,dan psikosis
pernah dijumpai dan mungkin perlu penghenti-an obat. Ruam kulit juga dilaporkan terjadi pada awal
pengobatan pada hampir 28% pasien; ruam biasanya ringan sampai sedang dan mereda meskipun
obat dilanjutkan. Meskipun jarang,ruam mungkin parah, dan dapat mengancam nyawa. Reaksi
samping potensial lainnya adalah mual, muntah, diare, kristaluria, meningkatnya enzim hati, dan
meningkatnya kolesterol serum total sebesar 10-20%. Pada monyet hamil yang diberi efavirenz dalam
dosis yang kira-kira sama dengan dosis pada manusia, terjadi peningkatan angka kelainan janin;
beberapa kasus anomali kongenital pernah dilaporkan pada manusia. Oleh sebab itu, efavirenz perlu
dihindari pada wanita hamil, terutama pada trimester pertama.
• ETRAVIRIN

Etravirin adalah substrat sekaligus penginduksi CYP3A4 dan in- hibitor CYP2C9 dan CYP2C19
obat ini memiliki banyak interaksi antarobat yang secara klinis penting (Tabel 49-3 dan 49-4).
Sebagian dari interaksi ini sulit diperkirakan. Sebagai contoh, etravirin dapat menurunkan konsentrasi
itrakonazol dan ketokonazol, tetapi meningkatkan konsentrasi vorikonazol
Efek samping tersering etravirin adalah ruam, mual, dan diare. Ruam biasanya ringan dan
mereda setelah 1-2 minggu tanpa peng- hentian obat. Meskipun jarang, ruam dapat parah atau
mengacam nyawa. Kelainan laboratorium mencakup meningkatnya kolesterol, trigliserida, glukosa,
dan transaminase hati serum. Meningkatnya transaminase lebih sering pada pasien dengan koinfeksi
HBV atau HCV.
• NEVIRAPIN

Nevirapin adalah penginduksi moderat metabolisme CYP3A, menyebabkan penurunan kadar


amprenavir, indinavir, lopinavir,sakuinavir, efavirenz, dan metadon. Obat yang menginduksi sistem
CYP3A, misalnya rifampin, rifabutin, dan St. John's wort, dapat menurunkan kadar nevirapin,
sementara mereka yang menghambat aktivitas CYP3A, misalnya flukonazol, ketokonazol, dan
klaritromisin, dapat meningkatkan kadar nevirapin. Karena nevirapin dapat menurunkan kadar
metadon, pasien yang mendapat kedua obat ini perlu dipantau untuk tanda-tanda putus obat/ opioid
dan mungkin memerlukan peningkatan dosis metadon
Terapi nevirapin sebaiknya segera dihe- ntikan pada pasien dengan ruam berat dan juga
mengalami gejala konstitusional; karena ruam mungkin menyertai hepato toksisitas, uji fungsi hati
perlu dilakukan. Toksisitas hati simtomatik dapat terjadi pada hampir 4% pasien dan lebih sering pada
mereka yang hitung sel CD4 praterapinya lebih tinggi (yi. >250 sel/mm³ pada wanita dan >400
sel/mm³ pada pria), pada wanita, dan pada mereka yang mengalami ko-infeksi dengan HBV atau
HCV Hepatitis fulminan yang mengancam nyawa pernah dilaporkan, biasanya dalam 18 minggu
pertama pengobatan. Efek samping lain mencakup demam, mual, nyeri kepala, dan somnolen.
INHIBITOR PROTASE
Protease HIV berperan memutuskan molekul-molekul prekursor ini untuk menghasilkan
protein struktural akhir inti virion matang. Dengan mencegah penguraian translasional poli-protein
Gag-pol, inhibitor protease (P1) mencegah pemrosesan protein-protein virus menjadi konformasi
fungsional, yang menghasilkan partikel-partikel virus yang imatur dan non- infeksiosa. Tidak seperti
NRTI, PI tidak memerlukan pengaktifan intrasel. Perubahan genotipe spesifik yang menghasilkan
resistensi fenotipik cukup sering terjadi pad.ii obat golongan ini sehingga monoterapi
dikontraindikasikan. Sebagian dari mutasi tersering yang menimbulkan resistensi luas terhadap Pi
adalah substitusi di kodon 10, 46, 54,82,84, dan 90 jumlah mutasi mungkin menunjukkan tingkat resi-
stensi fenotipe. Substitusi 150L yang muncul selama terapi atazanavir dilaporkan berkaitan dengan
peningkatan kerentanan terhadap Pl lain. Darunavir dan tipranavir tampaknya memperlihatkan
aktivitas biologik yang lebih baik pada HIV-1 yang resisten terhadap Pl lain.
Suatu sindrom redistribusi dan akumulasi lemak tubuh yang menyebabkan obesitas sentral,
pembesaran lemak dorsoservikal (punuk sapi, buffalo hump), mengurusnya wajah, dan tubuh perifer,
pembesaran payudara, dan penampakan cushingoid dapat diamati pada pasien yang mendapat terapi
antiretrovirus. Kelainan-kelainan ini mungkin secara khusus berkaitan dengan pemberian Pl,
meskipun atazanavir tampaknya dikecualikan (lihat selanjutnya). Meningkatnya kadar trigliserida
dan lipoprotein berdensitas rendah, bersama dengan hiperglikemia dan resistensi insulin, juga dapat
terjadi. Penyebabnya belum diketahui. Pl dilaporkan berkaitan dengan meningkatnya perdarahan
spontan pada pasien dengan hemofilia A atau B, peningkatan risiko perdarahan intrakranium
dilaporkan berkaitan dengan pasien yang mendapat tipranavir dengan ritonavir. Pemakaian
bersamaan sakuinavir dan ritonavir baru-baru ini. diketahui berkaitan dengan pemanjangan interval
QT dan PR, dan dikontraindikasikan. Pemanjangan QT dapat menyebabkan aritmia torsades de
pointes yang mengancam nyawa.
Semua Pl antiretrovirus dimetabolisasi secara ekstensif oleh CY- P3A4, dengan ritonavir memiliki
efek inhibitorik paling menonjol, dan sakuinavir paling lemah. Sebagian obat Pl, misalnya amprenavir
dan ritonavir, juga menginduksi isoform-isoform CYP spesifik. Akibatnya, terdapat banyak
kemungkinan interaksi antar obat dengan obat antiretrovirus lain dan dengan obat-obat yang biasa
digunakan (Tabel 49-3 dan 49-4). sifat inhibisi CYP3A4 yang poten dari ritonavir dimanfaatkan
untuk meningkatkan kadar obat Pl lain jika diberikan dalam kombinasi sehingga obat ini lebih
berfungsi dalam meningkatkan efek farmakokinetiknya daripada obat antiretrovirus. Penguatan oleh
ritonavir meningkatkan pajanan obat sehingga memperlama waktu-paruh obat dan memungkinkan
penurunan frekuensi pemberian; selain itu, sawar genetik terhadap resistensi menjadi meningkat .
• ATAZANAVIR

Atazanavir adalah suatu Pl azapeptida dengan profil farmakokinetik yang memungkinkan


pemberian sekali sehari. Obat ini perlu diminum bersama makanan ringan untuk meningkatkan
ketersediaan hayatinya. Atazanavir memerlukan suatu medium asam untuk dapat diserap dan
memperlihatkan kelarutan dependen-pH; karena itu, dianjurkan bahwa obat ini diminum terpisah dari
obat penurun asam minimal selama 12 jam dan pemberian inhibitor pompa proton
dikontraindikasikan.
Atazanavir mampu menembus cairan serebrospinal dan cairan seminal. Waktu-paruh plasma
adalah 6-7 jam, yang meningkat menjadi sekitar 11 jam jika diberikan bersama dengan ritonavir. Rute
utama eliminasi adalah empedu; atazanavir jangan diberikan kepada pasien dengan insufisiensi hati
berat. Resistensi terhadap atazanavir dilaporkan berkaitan dengan berbagai mutasi Pl yang telah
diketahui serta dengan substitusi barn ISOL. Sementara beberapa mutasi resistensi atazanavir
dilaporkan berkaitan dengan penurunan in vitro kerentanan terhadap Pl lain, mutasi ISOL dilaporkan
berkaitan dengan peningkatan kerentananterhadap Pl lain.
Efek samping paling umum pada pasien yang mendapat atazanavir adalah diare dan mual;
muntah, nyeri abdomen, nyeri kepala, neuropati perifer, dan ruam kulit juga dapat terjadi. Seperti
indinavir, dapat terjadi hiperbilirubinemia tak-langsung disertai ikterus yang nyata pada sekitar 10%
pasien, karena inhibisi enzim glukuronidasi UGTIAI. Meningkatnya enzim-enzim hati juga pernah
dijumpai, biasanya pada pasien yang mengidap koinfeksi HBV atau HCV. Nefrolitiasis baru-baru ini
dilaporkan berkaitan dengan pemakaian atazan-avir. Berbeda dari Pl (inhibitor protease) lain.
atazanavir tampaknya tidak berkaitandengan dislipidemia, redistribusi lemak, atau sindrom
metabolik. Atazanavir mungkin berhubungan dengan pemanjangan interval PR elektrokadiografik,
yang biasanya insignifikan,tetapi dapat dipicu oleh obat kausatif lain seperti penghambat saluran
kalsium. Sebagai inhibitor CYP3A4 dan CYP2C9. kemungkinan interaksi antarobat dengan
atazanavir besar. AUC atazanavir berkurang hingga 76% jika dikombinasikan dengan inhibitor
pompa proton; karena itu, kombinasi kedua obat ini. dihindari. Selain itu, pemberian secara
bersamaan atazanavir dengan obat lain yang menghambat UGT IAI, misalnya irinotekan, dapat
meningkatkan kadarnya. Tenofovir dan efavirenz sebaiknya tidak diberikan bersama dengan
atazanavir, kecuali jika ditambahkan ritonavir untuk meningkatkan kadarnya.
• DARUNAVIR

Darunavir adalah inhibitor dan dimetabolisasi oleh sistem enzim CYP3A sehingga dapat
berinteraksi dengan beragam obat (Tabel 49 -3 dan 49-4). Selain itu, ritonavir yang diberikan bersama
obat ini adalah suatu inhibitor paten CYP3A dan CYP2D6, dan suatu penginduksi sistem enzim hati
lainnya Darunavir mengandung sebuah gugus sulfonamid dan perlu digunakan dengan hati-hati pada
pasien dengan alergi sulfonamid.
Efek samping simtomatik darunavir mencakup diare, mual, nyeri kepala,dan ruam. Kelainan
laboratorium mencakup dislipidemia (meskipun mungkin lebih jarang daripada rejimen-rejimen Pl
paten lainnya) dan peningkatan kadar amilase dan transaminase hati. Toksisitas hati, termasuk
hepatitis berat, pernah dilaporkan pada pasien-pasien yang mendapat darunavir; risiko hepatotoksisits
mungkin lebih tinggi untuk orang dengan HBV, HCV, atau penyakit hati kronik lainnya.
• FOSAMPRENAVIR

Fosamprenavir adalah suatu prodrug dari amprenavir yang cepat dihidrolisis oleh enzim-enzim di
epitel usus. Karena jumlah pil harian yang hams diminum menjadi jauh lebih sedikit,tablet
fosamprenavir telah menggantikan kapsul amprenavir untuk pasien dewasa. Fosamprenavir paling
sering diberikan bersama dengan ritonavir dosis-rendah.
Amprenavir cepat diserap dari saluran cerna,dan prodrug-nya dapat diminum dengan atau tanpa
makanan. Namun, makanan tinggi lemak menurunkan penyerapan dan karenanya perlu dihindari.
Waktu paruh plasma relatif panjang (7-11 jam). Amprenavir dimetabolisasi di hati oleh CYP3A4 dan
sebaiknya digunakan secara hati-hati pada keadaan insufisiensi hati. Efek samping paling sering
fosamprenavir adalah nyeri kepala, mual, diare, parestesia perioral, depresi, dam ruam. Hingga 30%
pasien mungkin mengalami ruam (termasuk sindrom Stevens-Johnson) yang cukup parah sehingga
obat haru dihentikan.
Amprenavir adalah penginduksi dan penghambat CYP3A4 dan dikontraindikasikan dengan
banyak obatLarutan oral, yang mengandung propilen glikol, ikontraindikasikan pada anak, dan
mereka yang mendapat metronidazol atau disulfiram Larutan oral amprenavir dan ritonavir tidak
boleh diberikan bersama sama karena propilen glikol pada salah satu larutan dan etanol pada yang
lain dapat bersaing untuk jalur metabolik yang sama, menimbulkan akumulasi salah satu. Karena
larutan oral juga mengandung vitamin E dalam dosis beberapa kali lipat daripada dosis harian anjuran,
suplementasi vitamin E harus dihindari. Amprenavir,suatu sulfonamid, dikontraindikasikan pada
pasien dengan riwayat alergi sulfa. Lopinavir/ritonavir jangan diberikan bersama dengan amprenavir
karena berkurangnya pajanan amprenavir dan berubahnya pajanan lopinavir. Dosis amprenavir
dianjurkan ditingkatkan jika diberikan bersama dengan efavirenz (dengan atau tanpa penambahan
ritonavir untuk meningkatkan kadar).
• LOPINAVIR

Lopinavir saat ini diformulasikan hanya dalam kombinasi dengan ritonavir, yang menghambat
metabolisme lopinavir yang diperantarai oleh CYP3A4 sehingga pajanan ke lopinavir meningkat.
Selain meningkatkan kepatuhan pasien akibat jumlah pil yang berkurang, lopinavir/ritonavir
umumnya ditoleransi dengan baik. Obat ini sangat terikat ke protein (98-99%) dan waktu-paruhnya
adalah 5-6 jam. Lopinavir dimetabolisasi secara ekstensif oleh CYP3A, yang dihambat oleh ritonavir.
Kadar serum lopinavir mungkin meningkat pada pasien dengan gangguan hati.
Efek samping tersering lopinavir adalah diare, nyeri abdomen, mual, muntah, dan astenia.
Sering terjadi peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida serum. Obat ini berpotensi berinteraksi
dengan banyak obat (Tabel 49-3 dan 49-4). Dianjurkan peningkatan dosis lopinavir/ritonavir jika
kombinasi ini diberikan bersama dengan efavirenz atau nevirapin, yang memicu metabolisme
lopinavir. Pemakaian bersama dengan fosamprenavir perlu dihindari karena berubahnya pajanan ke
lopinavir disertai penurunan kadar amprenavir. Pemakaian bersamaan lopinavir/ritonavir dan
rifampin juga dikontraindikasikan karena meningkatnya risiko hepatotoksisitas. Karena larutan oral
lopinavir ritonavir mengandung alkohol, pemberian bersama disulfiram dan metronidazol
dikontraindikasikan. Belum ada bukti teratogenisitas lopinavir/ritonavir pada manusia; keamanan
jangka-pendek pada wanita hamil telah dibuktikan pada ibu dan bayinya.
• NELFINAVIR

Nelfinavir memperlihatkan penyerapan yang tinggi pada keadaan kenyang (70-80%), mengalami
metabolisme oleh CYP3A4.dan diekskresikan terutama di tinja. Waktu-paruh plasma pada manusia
adalah 3,5-5 jam, dan lebih dari 98% obat ini terikat ke protein.
Efek samping paling sering yang berkaitan dengan nelfinavir adalah diare dan flatus. Diare
sering berespons terhadap obat-obat antidiare meskipun menyebabkan dosisnya hams dibatasi.
Nelfinavir adalah inhibitor sistem CYP3A, dan dapat terjagi interaksi dengan banyak obat. (Tabel 49-
3 dan 49-4). Dosis nelfinavir yang dianjurkan ditingkatkan jika diberikan bersama dengan rifabutin
(disertai penurunan dosis rifabutin), sementara pemakaian bersama dengan sakuinavir menyebabkan
dosis sakuinavir perlu diturunkan. Pemberian bersama efavirenz sebaiknya dihindari karena
menyebabkan berkurangnya kadar nelfinavir. Nelfinavir memiliki profil keamanan dan
farmakokinetik yang baik bagi wanita hamil dibandingkan dengan PI (inhibitor protease).
• RITONAVIR

Efek samping potensial ritonavir, terutama jika diberikan dengan dosis penuh,adalah gangguan
pencernaan, parestesia (sirkumoral atau perifer), peningkatan kadar aminotransferase serum,
perubah- an rasa, nyeri kepala, dan peningkatan kreatin kinase serum. Mual, muntah, diare, atau nyeri
abdomen biasanya, terjadi selama beberapa minggu pertama pengobatan tetapi dapat mereda seiring
waktu atau jika obat diminum bersama makanan. Peningkatan dosis selama 1-2 minggu dianjurkan
untuk mengurangi efek samping yang berat. Adenoma dan karsinoma hati dapat ditimbulkan pada
mencit jantan yang diberi ritonavir; tidak ada efek serupa yang pernah dilaporkan pada manusia
sampai saat ini.
Ritonavir adalah inhibitor kuat CYP3A4 sehingga berpotensi berinteraksi dengan banyak obat
(Tabel 49-3 dan 49-4). Namun, sifat ini dimanfaatkan dengan memberikan ritonavir dosis rendah
(100-200mg dua kali sehari) dalam kombinasi dengan salah satu obat Pl lain, akibatnya kadar obat
dalam darah yang terakhir meningkat sehingga dosis dapat dikurangi atau dijarangkan (atau
keduanya) dengan tolerabilitas yang lebih besar serta potensi peningkatan efikasi terhadap virus
resisten. Kadar terapeutik digoksin dan teofilin perlu dipantau jika diberikan bersama dengan
ritonavir karena potensi kenaikan konsentrasi keduanya. Pemakaian bersamaan sakuinavir dan
ritonavir dikontraindikasikan karena meningkatnya risiko pemanjang-an QT (disertai aritmia torsades
depointes) dan pemanjangan interval PR. Sampai saat ini, pengalaman dengan ritonavir dosis penuh
selama kehamilan masih terbatas; namun, ritonavir dosis rendah sebagai "booster" tampak- nya
ditoleransi dengan baik oleh ibu dan bayinya.
• SAQUINAVIR

Sakuinavir perlu diminum dalam 2 jam setelah makan makanan berlemak untuk meningkatkan
penyerapannya. Sakuinavir terikat ke protein sebanyak 97% dan waktu-paruh serum adalah sekitar 2
jam.Sakuinavir memiliki volume distribusi yang besar, tetapi penetrasi ke dalam cairan serebrospinal
hampir dapat diabaikan. Ekskresi terutama di tinja.
Efek samping yang pernah dilaporkan mencakup gangguan pencernaan (mual, diare, rasa
tidak enak di perut, dispepsia), dan rinitis. Jika diberikan dalam kombinasi dengan ritonavir dosis
rendah, tampaknya dislipidemia atau toksisitas saluran cerna menjadi lebih jarang dibandingkan
dengan yang ditimbulkan oleh rejimen-rejimen Pl boosted lainnya. Namun, pemberian bersamaan
sakuinavir dan ritonavir baru-baru ini diketahui menimbulkan peningkatan risiko pemanjangan QT
(disertai aritmia torsades de pointes) dan pemanjangan interval PR. Sakuinavir mengalami
metabolisme jalur pertama ekstensif oleh CYP3A4 dan berfungsi sebagai inhibitor serta substrat
CYP3A4; karena itu,terdapat banyak kemungkinan interaksi antarobat
• TIPRANAVIR

Tipranavir adalah Pl baru yang diindikasikan untuk digunakan pada pasien yang terinfeksi HIV-1
yang pernah diobati dan mengidap galur galur yang resisten terhadap obat Pl lain. Obat ini digunakan
dalam kombinasi dengan ritonavir untuk mencapai kadar serum efek-tif dan tidak diperbolehkan
untuk mengobati pasien yang belum pernah mendapat pengobatan antiretrovirus (treatment-nai've
patients
Efek samping paling sering dari tipranavir adalah diare,mual, mu- ntah, dan nyeri abdomen. Ruam
makulopapular atau urtikaria lebih sering pada wanita dan mungkin disertai oleh gejala sistemik atau
deskuamasi.
menghambat dan menginduksi sistem CYP3A4. Jika digunakan dalam kombinasi dengan
ritonavir, efek akhirnya adalah inhibisi. Tipranavir juga menginduksi pengangkut P-glikoprotein dan
karenanya mungkin mengubah disposisi banyak obat (Tabel 49-4). Pemberian bersamaan tipranavir
dengan fosamprenavir atau sakuinavir harus dihindari karena berkurangnya kadar darah obat- obat
yang terakhir. Tipranavir/ritonavir juga dapat menurunkan kadar asam valproat dan omeprazol serum.
Kadar lovastatin, simvastatin, atorvastatin, dan rosuvastatin mungkin meningkat, meningkatkan
risiko rabdomiolisis dan miopati. Tipranavir mengandung sebuah gugus sulfonamid dan harus
diberikan secara berhati-hati pada pasien dengan alergi sulfonamid
ENTERY INHIBITOR
Proses masuknya HIV-1 ke dalam sel pejamu bersifat kompleks; masing-masing tahap dapat
dijadikan sasaran untuk dihambat. Perlekatan virus ke sel pejamu mensyaratkan pengikatan kompleks
glikoprotein selubung virus gp160 (terdiri dari gp120 dan gp41) ke reseptornya di sel CD4.
Pengikatan ini memicu perubahan konformasi pada gpl20 yang memungkinkan akses ke reseptor
kemokin CCRS atau CXCR4. Pengikatan ke reseptor kemokin semakin memicu perubahan
konformasi pada gp120, memungkinkan pajanan ke gp41 dan menyebabkan fusi selubung virus ke
membran sel pejamu yang dilanjutkan dengan masuknya inti virus ke dalam sitoplasma sel.
• ENFUVIRTIDE

Enfuvirtid adalah suatu inhibitor fusi sintetik 36 asam amino yang menghambat masuknya HIV
ke dalam sel (Gambar 49-4). Enfuvirtid mengikat subunit gp41 glikoprotein selubung virus,
mencegah perubahan konformasi yang diperlukan untuk fusi membran virus dan sel. Enfuvirtid,yang
harus diberikan melalui suntikan subkutis, adalah satu-satunya obat antiretrovirus yang diberikan
secara parenteral. Metabolisme tampaknya terjadi oleh hidrolisis proteolitik tanpa keterlibatan sistem
CYP4SO. Waktu-paruh eliminasi adalah 3,8 jam.Resistensi terhadap enfuvirtid dapat terjadi karena
mutasi di gp41; frekuensi dan makna fenomena ini kini sedang diteliti. Namun, enfuvirtid tidak
memperlihatkan resistensi silang dengan golongan-golongan obat antiretrovirus yang saat ini
beredar.Efek samping tersering yang berkaitan dengan pemberian enfuvirtid adalah reaksi tempat
penyuntikan, berupa nodus-nodus eritematosa nyeri.
• MARAVIROK

Maravirok adalah substrat untuk CYP3A4 dan karenanya memerlukan penyesuaian jika terdapat
obat-obat lain yang berinteraksi dengan enzim-enzim ini (Tabel 49-3 dan 49-4). Obat ini juga
merupakan substrat untuk P-glikoprotein, yang membatasi konsentrasi intrasel obat. Dosis maravirok
harus dikurangi jika diberikan bersama dengan inhibitor kuat CYP3A4 (mis, delavirdin. ketokonazol,
itrakonazol, klaritromisin, atau semua inhibitor protease selain tipranavir) serta harus ditingkatkan
jika diberikan bersama dengan penginduksi CYP3A4 (mis, efavirenz, etravirin, rifampin,
karbamazepin, fenitoin, atau St. John's wort)
Penyerapan maravirok cepat, tetapi bervariasi, dengan waktu untuk penyerapan maksimal
umumnya antara 1-4 jam setelah ingesti obat. Sebagian besar obat (275%) diekskresikan di tinja,
sementara sekitar 20% diekskresikan di urin. Dosis anjuran untuk maravirok bervariasi sesuai fungsi
ginjal dan pemakaian inhibitor atau penginduksi CYP3A lainnya secara bersamaan. Maravirok
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan ginjal berat atau tahap akhir yang sedang
mendapat inhibitor atau penginduksi CYP3A, dan pemberian obat ini perlu dilakukan dengan hati-
hati pada pasien dengan gangguan hati atau yang juga terinfeksi oleh HBV atau HCV, Maravirok
terbukti memiliki penetrasi yang sangat baik ke dalam cairan servikovagina, dengan kadar hampir
empat kali lipat lebih tinggi daripada konsentrasi di plasma.
Efek samping yang dapat terjadi mencakup batuk, infeksi saluran napas atas, hipotensi
postural (terutama jika terdapat insufisiensi ginjal), nyeri otot dan sendi, nyeri abdomen, diare, dan
gangguan tidur. Karena laporan-laporan hepatotoksisitas, yang mungkin didahului oleh tanda-tanda
reaksi alergik sistemik (yi. ruam gatal, eosinofilia, atau peningkatan IgE), pemberian maravirok perlu
segera dipertimbangkan untuk dihentikan jika konstelasi gejala ini muncul. Iskemia dan infark
miokardium pernah dijumpai pada pasien yang mendapat maravirok; oleh sebab itu, pemberian pada
pasien yang memiliki risiko kardiovaskular perlu dilakukan dengan hati-hati.
INHIBITOR TRANSFATER UNTAI INTEGRASI
• RALTEGRAVIR

Raltegravir adalah suatu analog pirimidinon yang mengikat integrase, suatu enzim virus yang
esensial untuk replikasi HIV-1 dan HIV-2. Dengan pengikatan ini, raltegravir menghambat
pemindahan untai, langkah ketiga dan terakhir dari integrasi provirus sehingga DNA HIV tidak dapat
terintegrasikan ke dalam kromosom sel pejamu (Gambar 49-4). Semula obat ini dilisensikan untuk
mengobati pasien dewasa yang terinfeksi galur galur HIV-1 yang resisten terhadap berbagai obat lain,
tetapi akhir akhir ini obat ini juga telah diizinkan untuk digunakan sebagai terapi awal. Namun,
pengalaman klinis pada pasien yang belum pernah diobati masih terbatas Obat ini dimetabolisasi oleh
glukuronidasi dan tidak berinteraksi dengan sistem P450 sitokrom Efek samping potensial raltegravir
mencakup insomnia, nyeri kepala, diare, mual, pusing bergoyang, dan rasa lelah. Dapat terjadi
peningkatan kreatin kinase, dengan miopati atau rabdomiolisis
OBAT ANTIRETROVIRUS BARU & BERSIFAT INVESTIGASI
Saat ini terus dilakukan pencarian terhadap terapi-terapi baru yang memanfaatkan sasaran-
sasaran lain pada HIV, memiliki aktivitas terhadap galur-galur virus resisten, memiliki insiden efek
samping yang rendah, dan menawarkan dosis pemberian yang mudah. Obat-obat baru yang sudah
disetujui dan saat ini dalam pengembangan tahap lanjut antara lain adalah obat NRTI elvusitabin,
rasivir, dan aprisitabin; obat NNRTI rilpivirin; entry inhibitor misalnya antagonis reseptor CCR5
vikrivirok dan PRO 140, inhibitor fusi TNX-355 (ibalizumab); dan inhibitor integrase misalnya
elvitegravir. Selain itu, golongan obat baru seperti inhibitor pematangan (bevirimat) kini sedang
dalam penelitian.
OBAT ANTIHEPATITIS
• INTERFERON ALFA

Interferon adalah sitokin pejmu yang memiliki efek antivirus, imunomodulatorik, dan
antiproliferatif yang kompleks . Interferon alfa tampaknya berfungsi dengan menginduksi sinyal-
sinyal intrasel setelah pengikatan ke reseptor membran sel spesifik, yang menyebabkan inhibisi
penetrasi, translasi, transkripsi, pemrosesan protein, pematangan, dan pembebasan virus serta
peningkatan ekspresiantigen-antigenkompleks histokompatibilitas mayor pejamu, peningkatan
aktivitas fagositik makrofag, dan peningkatan proliferasi dan kelangsungan hidup sel T sitotoksik
Interferon alfa-2a dan interferon alfa- 2b dapat diberikan secara subkutis atau intramuskulus;
interferon alfakon-1 diberikan secara subkutis. Waktu-paruh eliminasi adalah 2-5 jam untuk
interferon alfa-2a dan -2b, bergantung pada rute pemberian. Waku-paruh interferon alfakon-1 pada
pasien dengan infeksi kronik HCV berkisar dari 6 hingga 10jam. Interferon alfa difiltrasi di
glomerulus dan mengalami penguraian proteolitik cepat selama reabsorpsi di tubulus sedemikian
sehingga obat ini hampir tidak dapat terdeteksi dalam sirkulasi. Metabolismenya di hati dan
ekskresinya di empedu dianggap sebagai jalur minor.Pemakaian interferon alfa-2 pegylated
(membentuk kompleks dengan polietilen glikol) dan interferon alfa 2b pegylated menyebabkan
klirens melambat dan waktu-paruh terminal memanjang serta konsentrasi yang lebih stabil sehingga
dosis dapat diberikan lebih jarang pada pasien dengan infeksi HCV kronik. Eliminasi ginjal
membentuk sekitar 30% dari klirens dan klirens berkurang menjadi sekitar separuhnya pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal; karenanya dosis harus dikurangi.
Efek samping interferon alfa mencakup sindrom mirip flu (yi. nyeri kepala, demam,
menggigil, mialgia, dan malaise) yang biasanya muncul dalam 6 jam setelah pemberian obat; sindrom
ini terjadi pada lebih dari 30% pasien selama minggu pertama pengobatan dan cenderung mereda jika
pengobatan dilanjutkan. Peningkatan transien enzim hati dapat terjadi pada 8-12 minggu pertama
pengobatan dan tampaknya lebih sering pada responder. Efek samping potensial selama pengobatan
jangka-panjang mencakup neurotoksisitas (gangguan suasana hati,depresi, somnolen, kebingungan,
kejang), mielosupresi, rasa lelah berlebihan, penurunan berat, ruam, batuk, mialgia, alopesia, tinitus,
gangguan pendengaran reversibel, retinopati, pneumonitis, dan mungkin kardiotoksisitas. Dapat
terjadi induksi autoantibodi, menyebabkan eksaserbasi atau munculnya penyakit autoimun (terutama
tiroiditis). Molekul polietilen glikol adalah suatu polimer non-toksik yang mudah diekskresikan di
urin. Kontraindikasi pemberian interferon alfa adalah dekompensasi hati, penyakit autoimun, dan
riwayat aritmia jantung.

TERAPI INFEKSI VIRUS HEPATITIS B


Tujuan pengobatan infeksi HBV kronik adalah untuk terus menekan replikasi HBV yang
menyebabkan melambatnya perkembangan penyakit hati (disertai penghentian fibrosis hati dan
bahkan pemulihan sirosis), mencegah penyulit (yi. sirosis, gagal hati, dan karsinoma hepatoselular),
dan mengurangi kebutuhan akan transplantasi hati. Hal ini diterjemahkan sebagai supresi DNA HBV
hingga ke kadar yang tidak dapat dideteksi, serokonversi HBeAg (atau yang lebih jarang, HbsAg)
dari positif menjadi negatif, dan penurunan kadar transaminase hati yang semula tinggi. Hasil-hasil
akhir ini berkorelasi dengan perbaikan penyakit nekroinflamasi, penurunan risiko karsinoma
hepatoselular dan sirosis, dan penurunan kebutuhan akan transplantasi hati. Semua terapi yang saat
ini diizinkan dapat mencapai tujuan ini. Namun, karena terapi saat ini menekan replikasi HBV tanpa
membasmi virus, respons awal mungkin tidak dapat bertahan lama. DNA virus yang melingkar dan
secara kovalen tertutup (ccc) berada dalam bentuk stabil seterusnya di dalam sel, berfungsi sebagai
reservoar untuk HBV selama hidup sel sehingga terbentuk kapasitas untuk reaktivasi. Kekambuhan
lebih sering pada pasien yang mengalami ko-infeksi HBV dan virus hepati-tis D.
Secara umum,terapi analog nukleosida/nukleotida memiliki tolerabilitas yang lebih baik dan
akhirnya menghasilkan angka respons yang lebih tinggi dibandingkan dengan interferon (meskipun
lebih lambat) namun, respons mungkin kurang menetap setelah penghentian terapi
nukleosida/nukleotida, dan dapat timbul masalah berupa kemunculan resistensi. Nukleotida efektif
pada resistensi nukleosida dan demikian sebaliknya. Selain itu, obat-obat oral dapat digunakan pada
pasien dengan dekompensasi fungsi hati, dan terapi bersifat kronik dan bukan dalam waktu tertentu
seperti terapi interferon.
Beberapa obat anti-HBV juga memiliki aktivitas antiHCV, termasuk lamivudin, adefovir
dipivoksil, dan tenofovir. Emtrisitabin, suatu NRTI antiretrovirus, sedang menjalani evaluasi klinis
untuk terapi HBV dalam kombinasi dengan tenofovir, yang mungkin sangat cocok bagi pasien yang
mengalami ko-infeksi HIV dan HBV Karena obat NRTI dapat digunakan pada pasien dengan ko-
infeksi HBV dan HIV, perlu dicatat bahwa dapat terjadi eksaserbasi akut hepatitis ketika obat-obat
ini dihentikan atau terputus.
• ADEFOVIR DIPOVOKSIL

Adefovir dipivoksil merupakan suatu prodrug diester dari adefovir, suatu analog nukleotida
adenin siklik berfosfonat. Obat ini mengalami fosforilasi oleh kinase sel menjadi metabolit difosfat
yang aktif dan kemudian secara kompetitif menghambat DNA polimerase HBV dan meyebabkan
penghentiah pemanjangan rantai setelah terserap ke dalam DNA virus. In vitro, adefovir aktif
terhadap berbagai virus DNA dan RNA, termasuk HBV, HIV, dan virus herpes
oral adefovir dipivoksil adalah sekitar 59% dan tidak dipengaruhi oleh makan obat ini diserap
dengan cepat dan mengalami hidrolisis sempurna menjadi senyawa induk oleh esterase usus dan
darah. Pengikatan proteinnya rendah (<5%). Waktu-paruh intrasel bentuk difosfat memanjang,
berkisar dari 5 sampai 18 jam di berbagai sel; hal ini menyebabkan obat dapat diberikan sekali sehari.
Adefovir diekskresikan oleh kombinasi filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus aktif dan memerlukan
penyesuaian dosis pada disfungsi ginjal; namun, obat ini dapat diberikan kepada pasien dengan
penyakit hati dekompensata.

Dari berbagai obat oral, adefovir mungkin lebih lambat dalam menekan kadar DNA HBV dan paling
kecil kemungkinannya menginduksi serokonversi HBeAg. Meskipun kemunculan resistensi jarang
selama tahun pertama pengobatan, resistensi dapat mendekati 30% pada akhir tahun ke-4. Baru-baru
ini dilaporkan adanya mutan-mutan HBV rt233 resisten-adefovir alami (yi. primer). Tidak terdapat
resistensi silang antara adefovir dan lamivudin. Adefovir dipivoksil ditoleransi dengan baik.
Nefrotoksisitas dependen-dosis pernah dilaporkan pada uji-uji klinis, yang bermanifestasi sebagai
peningkatan kreatinin serum disertai penurunan fosfor serum serta lebih sering pada pasien yang
sudah mengalami insufisiensi ginjal dan mereka yang mendapat dosis tinggi (60 mg/hari). Efek
samping potensial lainnya adalah nyeri kepala,diare, astenia,dan nyeri abdomen. Seperti obat NRTI
lainnya, terdapat risiko asidosis laktat dan steatosis hati karena disfungsi mitokondria.
• ENTEKAVIR

Entekavir adalah analog nukleosida guanosin yang diberikan per oral (Gambar 49-2) dan secara
kompetitif menghambat ketiga fungsi DNA polimerase HBV, termasuk penyiapan basa (base
priming), transkripsi untai negatif (reverse transcription), dan sintesis untai positif DNA HBV
Ketersediaan-hayati oral mendekati 100%,tetapi berkurang oleh makanan; karena itu, entekavir harus
diminum pada keadaan lambung kosong. kosong. Waktu-paruh intrasel senyawa terfosforilasi yang
aktif adalah 15jam. Obatini diekskresikan oleh ginjal, menjalani filtrasi glomerulus dan sekresi
tubulus.
Perbandingan dengan lamivudin pada pasien yang mengidap infeksi HBV kronik
memperlihatkan angka sero konversi HBeAg yang setara, tetapi tingkat supresi DNA HBV yang
secara signifikan lebih tinggi pada pemberian entekavir, normalisasi kadar alanin aminotransferase
serum, dan perbaikan histologik di hati. Entekavir tampaknya memiliki sawar yang lebih tinggi untuk
kemunculan resistensi dibandingkan dengan lamivudin. Meskipun seleksi isolat- isolat resisten
dengan mutasi S202G pernah dilaporkan selama pengobatan, resistensi klinis jarang dijumpai (<1%
pada 4 tahun). Penurunan kerentanan terhadap entekavir mungkin berkaitan dengan resistensi
terhadap lamivudin.
Entekavir ditoleransi dengan baik. Efek samping paling sering adalah nyeri kepala, rasa lelah,
pusing berputar, dan mual. Adenoma dan karsinoma paru pada mencit, adenoma dan karsinoma hati
pada tikus dan mencit, tumor vaskular pada mencit, dan glioma otak dan fibroma kulit pada tikus
pernah dijumpai. Pemberian bersama entekavir dan obat-obat yang mengurangi fungsi ginjal atau
bersaing untuk sekresi tubulus aktif dapat meningkatkan konsentrasi serum entekavir atau obat yang
diberikan secara bersama
• LAMIVUDIN

Lamivudin menghambat DNA polimerase HBV dan reverse transcriptase HIV dengan bersaing
dengan deoksisitidin trifosfat untuk masuk ke dalam DNA virus, yang menyebabkan penghentian
pemanjangan rantai. Lamivudin menyebabkan penurunan 3-4 log replikasi virus pada sebagian besar
pasien dan supresi DNA HBV hingga ke kadar yang tidak terdeteksi pada sekitar 44% pasien.
Serokonversi HBeAg dari positif menjadi negatif terjadi pada sekitar 17% pasien dan bertahan hingga
3tahun pada sekitar 70% responder. Kelanjutan pengobatan selama 4-8 bulan setelah serokonversi
memperbaiki kelangsungan respons. Respons pada pasien negatif-HBeAg pada awalnya tinggi, tetapi
kurang bertahan lama.
Meskipun lamivudin pada awalnya menyebabkan supresi virus yang cepat dan paten, pemberian
jangka-panjang mungkin akhirnya terbatas oleh munculnya isolat HBV resisten-lamivudin (mis.
Ll80M atau M2041/V), yang diperkirakan terjadi pada 15-30% pasien setelah 1 tahun dan 70%
setelah 5 tahun pengobatan. Resistensi dilaporkan berkaitan dengan kekambuhan hepatitis dan
penyakit hati progresif. Resistensi-silang antara lamivudin dan emtrisitabin atau entekavir dapat
terjadi; namun, adefovir tetap aktif terhadap galur-galur HBV resisten lamivudin. Dalam dosis yang
digunakan untuk infeksi HBV, lamivudin memiliki profil keamanan yang sangat baik. Nyeri kepala,
mual, dan pusing bergoyang jarang terjadi. Ko-infeksi dengan HIV dapat meningkatkan risiko
pankreatitis. Belum ada bukti terjadinya toksisitas mitokondria
• TELBIVUDIN

Telbivudin adalah suatu analog nukleosida timidin dengan aktivitas terhadap DNA polimerase
HBV Obat ini mengalami fosforilasi oleh kinase sel menjadi bentuk tifosfat yang aktif, dengan waktu-
paruh intrasel 14 jam. Senyawa terfosforilasi tersebut bersaing menghambat DNA polimerase HBV,
menyebabkan obat terserap ke dalam DNA virus dan berakhirnya pemanjangan untai. In vitro, obat
ini tidak aktif terhadap HIV-1. Waktu paruh 15 jam dan di ekskresikan di ginjal
Efek samping ringan; mereka mencakup rasa lelah, nyeri kepala, nyeri abdomen, infeksi
saluran napas atas, peningkatan kadar kreatin kinase, serta mual dan muntah. Pernah dilaporkan
mialgia non-komplikata dan miopati, demikian juga neuropati perifer. Seperti analog nukleosida
lainnya, dapat terjadi asidosis laktat dan hepatomegali berat disertai steatosis selama pengobatan serta
kekambuhan hepatitis setelah penghentian obat
• TENOFOVIR

Tenofovir adalah suatu analog nukleotida adenosin yang digunakan sebagai obat antiretrovirus
dan baru-baru ini mendapat lisensi untuk mengobati pasien dengan infeksi HBV kronik. Tenofovir
mempertahankan aktivitas terhadap isolat virus hepatitis yang resisten lamivudin dan enteka-vir,
tetapi aktivitasnya berkurang terhadap galur-galur resisten ade-fovir. Meskipun strukturnya serupa
dengan adefovir dipivoksil, uji-uji klinis pembandingan menunjukkan angka respons sempurna, yang
didefinisikan sebagai kadar DNA HBV serum kurang dari 400 salinan/mL, yang secara bermakna
lebih tinggi, serta perbaikan histologik, pada pasien. dengan infeksi HBV kronik yang mendapat
tenofovir dibandingkan dengan mereka yang mendapat adefovir dipivoksil. Munculnya resistensi
tampaknya secara substansial lebih jarang selama pengobatan tenofovir dibandingkan dengan
adefovir.
TERAPI INFEKSI HEPATITIS C
terapi infeksi akut dengan interferon alfa-zb, dalam dosis yang lebih tinggi daripada yang
digunakan untuk hepatitis C kronik, menghasilkan angka klirens menetap sebesar 95% pada 6 bulan.
Karena itu, jika pemeriksaan RNA virus menunjukkan viremia persisten 12 minggu setelah
serokonversi awal, dianjurkan pemberian terapi antivirus.
Terapi pasien dengan infeksi HCV kronik dianjurkan bagi mereka yang berisiko tinggi
berkembang menjadi sirosis. Parameter untuk seleksi bersifat kompleks. Pada mereka yang akan
diobati, standar pengobatan saat ini adalah interferon alfa pegylated sekali seminggu dalam kombinasi
dengan ribavirin oral. Interferon alfa-2a dan -2b pegylated telah menggantikan interferon alfa non-
modifikasi karena efikasi yang lebih baik dalam kombinasi dengan ribavirin, apa pun genotipenya.
Juga telah jelas bahwa terapi kombinasi dengan ribavirin oral lebih efektif daripada monoterapi
dengan interferon atau ribavirin saja. Karena itu, monoterapi dengan interferon alfa pegylated
dianjurkan hanya untuk pasien. yang tidak dapat menoleransi ribavirin. Faktor-faktor yang berkaitan
dengan peningkatan respons terapeutik adalah genotipe HCV 2 atau 3. tidak adanya sirosis pada
biopsi hati, dan kadar RNA HCV prapengobatan yang rendah.
• RIBAVIRIN

Ribavirin adalah suatu analog guanosin yang mengalami fosforilasi intrasel oleh enzim-enzim sel
pejamu. Meskipun mekanisme kerja belum sepenuhnya dipahami, obat ini tampaknya mengganggu
pembentukan guanosin trifosfat, untuk menghambat perselubungan RNA messenger virus, dan untuk
menghambat polimerase dependen-RNA virus tertentu. Ribavirin trifosfat menghambat replikasi
berbagai virus DNA dan RNA, termasuk influenza A dan B, parainfluenza, respiratory syncytial
virus, paramiksovirus, HCV, dan HIV-1.
Pengikatan ke protein plasma dapat diabaikan, distribusi volume besar, dan kadar di cairan
serebrospinal adalah sekitar 70% daripada kadar plasma. Eliminasi ribavirin terutama melalui urin;
karena itu, klirens berkurang pada pasien dengan klirens kreatinin kurang dari 30 ml/mnt.
Dosis ribavirin lebih tinggi (yi. 1000-1200 mg/ hari, sesuai yang berat, dan bukan 800 mg/hari)
atau masa pengobatan yang lebih lama atau keduanya mungkin lebih manjur bagi mereka yang lebih
kecil kemungkinannya berespons terhadap pengobatan (mis. mereka dengan genotipe atau 4) atau
mereka yang mengalami kekambuhan. Hal ini harus diseimbangkan dengan peningkatan
kemungkinan toksisitas. Anemia hemolitik dependen-dosis terjadi pada 10-20% pasien. Efek
samping potensial lainnya adalah depresi, rasa lelah, iritabilitas, ruam, batuk, insomnia, mual, dan
gatal. Kontraindikasi untuk terapi ribavirin adalah anemia, gagal ginjal stadium-akhir, penyakit
vaskular iskemik, dan kehamilan. Ribavirin bersifat teratogenik dan embriotoksik pada hewan serta
mutagenik pada sel mamalia. Pasien yang terpajan ke obat ini sebaiknya tidak mengandung anak
selama paling sedikit 6 bulan sesudahnya.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Virus adalah salah satu agen patogen utama yang menyebabkan sejumlah penyakit serius pada
manusia, hewan, dan tumbuhan. Virus menyebabkan banyak penyakit pada manusia, mulai dari
penyakit yang dapat disembuhkan sendiri hingga penyakit akut yang fatal. Strategi pengembangan
obat antivirus difokuskan pada dua pendekatan berbeda: Menargetkan virus itu sendiri atau faktor sel
inang. Obat antivirus yang langsung menyasar virus antara lain penghambat perlekatan virus,
penghambat masuknya virus, penghambat uncoating, penghambat polimerase, penghambat protease,
penghambat nukleosida dan nukleotida balik transkriptase dan penghambat integrase.

Terapi antivirus kini telah tersedia untuk herpes virus, virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis B
(HBV), papilomavirus. influenza, dan virus imunodefisiensi manusia (HIV). Obat-obat antivirus
memiliki kesamaan, yaitu bersifat virustatik; mereka hanya aktif terhadap virus yang sedang
bereplikasi dan tidak memengaruhi virus laten. Sementara sebagian infeksi memerlukan monoterapi
untuk waktu singkat (mis. asiklovir untuk virus herpes simpleks), yang lain memerlukan terapi ganda
untuk waktu lama (interferon alfa/ribavirin untuk HCV), sementara yang lainnya memerlukan banyak
obat untuk masa yang tak terbatas (HIV) pada penyakit kenik, sepeni hepatitis virus dan infeksi HIV,
inhibisi replikasi virus merupakan hal yang sangat penting dalam membatasi luas kerusakan sistemik.

3.2 Saran

1. Diharapkan pembaca dan penulis dapat memahami antiivitus

2. Diharapkan sumber-sumber yang dicari dari buku yang telah disarankan


DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, J.T, et al. 2021. Pharmacotherapy Handbook edition 11. New York : Mc Graw Hill.

Katzung, G, Bertram, dkk. Farmakologi Dasar dan Klinis Edisi 12. Mc Graw Hill: Lange Medical
Publications.

Anda mungkin juga menyukai