Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH OBAT INFEKSI, KEGANASAN, DAN IMUNIDEFISIENSI

ANTIVIRUS

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Obat Infeksi, Keganasan, dan Imunodefisiensi

disusun oleh:
Affiati Noviarini (1506677194)
Avie Saptarini (1506729746)
Cindy Winando (1506728642)
Felita Dwinugraheni (1506767050)
Jararizki Budi Subasira (1506721932)
M. Heru Geofani (1506767044)
Marcellino Ryan Rinaldi (1506733043)
Nadya Religiane A. (1506677124)
Tamara Amelia (1506722020)
Wiwin Widayanti (1506727816)
Zakiah Rahmayanti (1506721913)

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS INDONESIA


DEPOK
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Antivirus”.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Obat Infeksi,
Keganasan dan Imunodefisiensi dan menambah wawasan mengenai Antivirus.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada pembimbing mata kuliah Obat Infeksi,
Keganasan dan Imunodefisiensi, Ibu Tri Wahyuni, S.Farm., Apt., M. Biomed.
yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa mungkin masih terdapat banyak kekurangan di


dalam penyusunan makalah ini. Saran dan kritik yang membangun penulis
harapkan sehingga kedepannya penulis dapat menyusun makalah dengan lebih
baik lagi.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada pembaca yang telah
meluangkan waktunya untuk membaca makalah ini. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat baik bagi penulis maupun pembaca.

Depok, 14 Februari 2018

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 4
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 5
BAB 2 ISI................................................................................................................ 6
2.1 Patofisiologi HIV, Hepatitis, dan Herpes ................................................. 6
2.2 Klasifikasi Obat Antivirus ...................................................................... 20
2.3 Mekanisme Kerja Obat Antivirus........................................................... 28
2.4 Perbandingan Profil Farmakokinetika yang Paling Signifikan dari Obat
Antiherpesvirus ................................................................................................. 42
2.5 Kombinasi Obat Antiretrovirus ................................................................... 46
BAB 3 PEMBAHASAN ....................................................................................... 51
3.1 Pertanyaan dan Jawaban ............................................................................ 51
BAB 4 PENUTUP ................................................................................................ 55
4.1 Kesimpulan ................................................................................................. 55
4.2 Saran ............................................................................................................ 55
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 56
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di Indonesia dan lingkup dunia, banyak jenis penyakit yang menyerang
tubuh mannusia, terutama disebabkan oleh infeksi virus. Beberapa contoh yang
sering ditemui adalah penyakit HIV (Human Immunodeficiency Virus), Hepatitis
dan Herpes.
HIV merupakan jenis virus yang menginfeksi sel darah putih dan imunitas
yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia, dan pada tahap lanjutan
akan berubah menjadi AIDS, jika tidak diberikan penanganan. Menurut Riskesdas
Tahun 2013, angka penduduk dunia yang terinfeksi HIV mencapai 35 juta orang
(16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia < 15 tahun). Di Indonesia sendiri,
HIV/AIDS telah menyebar di 386 kabupaten/kota.
Hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menyangkut
higienitas, sanitasi dan pola hidup. Penyakit hepatitis ini menyerang organ hati.
Hepatitis dapat terbagi menjadi 5 jenis yaitu Hepatitis A, B, C, D dan E yang
dapat dibedakan dari sumber penyebaran dan tingkatan akut atau kronisnya
penyakit. Hepatitis B, C dan D termasuk hepatitis akut sedangkan yang lainnya
termasuk hepatitis kronik. Indonesia sendiri adalah negara dengan endemisitas
tertinggi hepatitis B.
Herpes merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus HSV, baik HSV-1
(menyerang mukosa orofaring) maupun HSV-2 (menyerang area genital), selain
itu juga ada penyakit Varicella zoster.
Melihat fakta hasil riset dan penjelasan mengenai ketiga penyakit, maka
makalah ini disusun untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit HIV, Hepatitis
dan Herpes, serta menentukan terapi pengobatan apa saja yang harus diberikan
kepada pasien. Obat-obatan non-retrovirus, obat-obat influenza, antivirus untuk
HBV dan HBC, serta obat retrovirus seperti NRTI, NNRTI, Protease Inhibitor
dan Viral Entry Inhibitor banyak digunakan sebagai obat untuk penyakit yang
disebabkan oleh virus.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana patofisiologi dari Herpes, Hepatitis, dan HIV?
2. Bagiamana klasifikasi pembagian obat antivirus?
3. Apa saja contoh obat antivirus?
4. Bagaimana mekanisme obat antivirus?
5. Bagaimana perbandingan profil farmakokinetika dari obat antiherpes?
6. Apa saja kombinasi obat antivirus dan apa alasan dibuatnya kombinasi
tersebut?
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan patofisiologi dari Herpes, Hepatitis dan HIV.
2. Menjelaskan klasifikasi pembagian obat antivirus.
3. Mengetahui contoh obat antivirus untuk Herpes, Hepatitis dan Influenza.
4. Menjelaskan mekanisme obat antivirus.
5. Mengetahui perbandingan profil farmakokinetika dari obat antiherpes.
6. Mengetahui kombinasi obat-obat antivirus.
BAB 2 ISI

2.1 Patofisiologi HIV, Hepatitis, dan Herpes

2.1.1 HIV (Human Immunodefiency Virus)


HIV dapat disebabkan oleh dua jenis virus yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang
termasuk ke dalam famili Retrovirus. Virus dari famili ini banyak menyerang
sistem imun dan sistem saraf pusat sehingga dapat menyebabkan malignansi,
penyakit-penyakit autoimun, sindrom imunodefisiensi, anemia aplastik dan
hemolitik, serta penyakit pada tulang, otot dan sistem saraf pusat. HIV merupakan
virus berselubung lemak dengan diameter sekitar 100 nm. Peranan molekul CD4
sangat penting untuk fusi virus HIV ke dalam sel karena memiliki afinitas yang
tinggi terhadap virus. Glikoprotein transmembran seperti gp41 dan gp120 sebagai
koreseptor virus juga sangat berperan dalam penempelan virus terhadap sel inang.
Pada awalnya, protein gp120 (yang terikat secara non-kovalen kepada gp41)
akan terikat di molekul CD4 yang terdapat limfosit T helper, makrofag, dan sel
mikroglial.Pengikatan ini akan menimbulkan perubahan konformasi pada
koreseptor CXCR4 (banyak terdapat di sel T) atau CCR5 (banyak terdapat di
makrofag) sehingga dapat mengenali gp120 yang lainnya. Pengikatan virus pada
koreseptor ini juga bergantung pada kemampuan dari virus untuk menginfeksi
makrofag atau CD4+ sel T. Untuk virus yang memiliki tropisme pada makrofag
(R5), virus dapat menginfeksi monosit sedangkan untuk virus dengan tropisme
pada sel T (X4) akan menginfeksi sel T. Virus R5 akan memakai CCR5 sebagai
koreseptor sedangkan X4 dengan CXCR4. Jenis R5 dapat bermutasi menjadi X4
sehingga akan terjadi mutasi juga pada gen yang mengkode gp120.
Glikoprotein gp41 juga akan mengalami perubahan konformasi yang
memungkinkannya masuk ke dalam membran sel target sehingga terjadi fusi
antara virus dan sel inang. Jika virus sudah berada didalam sel, enzim reverse-
transcriptase HIV akan melakukan transkripsi pada RNA viralnya menjadi DNA
komplementer yang nantinya akan terintegrasi ke dalam genom sel inang dengan
bantuan enzim viral integrase (Kumar et al.,2013). Provirus yang telah terintegrasi
akan berada dalam masa laten dan tidak ditranskripsi selama beberapa bulan
hingga tahun.
Gambar 2.1 Proses Masuknya HIV ke dalam Sel Inang (Kumar, et al., 2013)

Namun, ada pula provirus yang akan mengalami transkripsi apabila terpapar
oleh antigen atau sitokin. DNA virus yang telah terintegrasi (provirus) kemudian
menjadi cetakan untuk transkripsi genom HIV dan mRNA dengan menggunakan
sistem replikasi sel inang. Rekombinasi kedua untai RNA virus dan kemungkinan
kesalahan dalam replikasi dapat menyebabkan banyak sekali keragaman gen dari
HIV terbentuk. Integrasi antara DNA HIV dengan genom sel inang menyebabkan
infeksi HIV akan bertahan lama.
Ketika proses replikasi DNA sel inang, HIV provirus ditranskrip oleh enzim
RNA polimerase-II dan menghasilkan HIV mRNA dan RNA genom HIV yang
dibawa oleh mRNA sel inang sehingga ditranslasi menjadi protein oleh ribosom.
Rantai polipeptida panjang yang terbentuk ini kemudian akan dipotong dan
mengkode protein tat, rev, vif, vpr dan vpu (untuk HIV-1) dan protein vpx (untuk
HIV-2, selain itu, polipeptida untuk membentuk struktur selubung juga ditranslasi
oleh protease sel inang dan menghasilkan selubung gp41 dan gp120. Setelah
proses selesai, akan terbentuk virion HIV sempurna.
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut dan nantinya berubah menjadi
infeksi kronik pada jaringan limfoid perifer. HIV yang menempel pada protein
CD4 di limfosit menyebabkan kematian dan deplesi limfosit yang bertanggung
jawab terhadap penurunan sistem imun tubuh terinfeksi, serta apoptosis pada
beberapa sitokin spesifik. Pada fase infeksi primer, virus akan bereplikasi dalam
jumlah besar di nodus limfe dan menyebabkan viremia. Fase awal tidak
menunjukkan gejala.
HIV kemudian menyebar ke makrofag di jaringan limfoid dan sistem imun
akan memberikan reaksi imun terhadap virus sehingga jumlah virus masih akan
menurun tetapi masih bisa terdeteksi. Jika proses ini terus berlanjut tanpa
penanganan, virus terus bereplikasi dan menginfeksi sedangkan sel T akan
mengalami kematian dan penurunan jumlah CD4+ di jaringan limfoid dan
sirkulasi darah, sehingga terjadi abnormalitas pada sistem imun (Kumar, et al.,
2013).

Gambar 2.2 Skema Perkembangan Infeksi HIV (Kumar, et al., 2013)


Gambar 2.3 Respon Tubuh dan Sistem Imun terhadap Perkembangan HIV
(Kumar, et al., 2013)

2.1.2 Hepatitis

Hepatitis merupakan inflamasi liver yang dapat disebabkan oleh reaksi


kimia, obat, dan toksin atau penyakit seperti autoimun dan infeksi mononukleosit
yang bisa menyebabkan secondary hepatitis serta dapat disebabkan oleh virus
hepatotropic.
Hepatotropic virus meliputi :
 hepatitis A virus (HAV),
 hepatitis B virus (HBV),
 hepatitis B-associated delta virus (HDV),
 hepatitis C virus (HCV),
 Hepatitis E virus (HEV).

a. Hepatitis A
Hepatitis A merupakan penyakit yang disebabkan oleh Virus Hepatitis
A (HAV). HAV biasanya tersebar pada kota-kota endemik, yang memiliki
kehigienisan dan sanitasi yang buruk. HAV dapat tersebar melalui air yang
terkontaminasi dan juga makanan yang terkontaminasi. HAV menularkan
virusnya melalui fekal-oral. Jenis dari virus HAV ini adalah virus
unenveloped (tidak memiliki lapisan pelindung) dan juga merupakan RNA
untai tunggal dari famili Picarnovirus. HAV memiliki masa inkubasi selama
2-6 minggu.
HAV tidak menyebabkan hepatitis kronis. Ini dikarenakan HAV akan
menghasilkan antibodi disaat gejala-gejala dari hepatitis sudah muncul.
Antibodi yang dihasilkan adalah Immunoglobulin M (IgM) dan juga Antibodi
IgG untuk masa penyembuhan. Antibodi IgM ini juga sebagai penanda
diagnosa dari Hepatitis A.

Gambar 2.4 Pengaktifan antibodi saat gejala sudah muncul.

b. Hepatitis B
Berbeda dengan Hepatitis A, Hepatitis B dapat berkembang menjadi
hepatitis kronis. HBV memiliki masa inkubasi 4 – 26 minggu. Virus ini
sangat bergantung pada kelembapan dan temperatur oleh karena itu virus ini
banyak yang ditemukan di dalam darah atau di cairan tubuh seperti semen,
saliva, keringat, air susu , dll. Virus HBV merupakan virus yang termasuk
kedalam famili Hepadnavirus yang merupakan DNA untai ganda. Struktur
dari HBV ini terdiri dari:
 HBsAg (Hepatitis B surface Antigen) Sebagai serologic marker dan
muncul sebelum onset gejala dan indikator dari infeksi kronik atau akut
 HBeAg (Hepatitis B e Antigen) Dapat ditemukan di serum dan
merupakan penanda aktif untuk penyakit dan “shedding” dari virion
komplit memasuki aliran darah
 HBcAg (Hepatitis B core Antigen)  Tidak bersirkulasi di darah,
merupakan antigen yang tidak berguna sebagai penanda penyakit
 Viral DNA dalam serum  Biasanya terdapat selama periode
presimptomatik dan selama masa istirahat pada penyakit akut

Gambar 2.5 HbsAg muncul saat gejala muncul.

Anti HBs tidak akan meningkat apabila penyakit akut ini selesai dan
akan tidak terdieksi setelah beberapa bulan setelah HbsAg menghilang
sehingga HbsAg dapat digunakan untuk penggunaan vaksin. HbeAg, HBV-
DNA dan DNA polimerase akan muncul setelah HbsAg. Sedangakan Anti-
HBc akan terdeteksi saat onset dari gejala muncul.
Replikasi HBV

Gambar 2.6 Replikasi HBV

Replikasi HBV dimulai dengan virus HBV ini akan memasukkan


kapsid DNA kedalam sel dengan endositosis dengan menempel pada reseptor
yang ada di permukaan sel. Kemudian membran dari virus HBS akan melebur
dengan membran host sel kemudian akan mengirimkan DNA dan beberapa
protein kedalam sitoplasma. DNA yang masuk kedalam sitoplasma masih
sebagian dalam bentuk untai ganda, sehingga didalam sitoplasma DNA ini
akan diubah menjadi untai ganda yang seutuhnya dengan mengubahnya
menjadi cccDNA (convalently closed circular DNA) agar DNAini dapat
ditranskripsi kan menjadi 4 macam mRNA yang nantinya akan di gunakan
untuk menyusun virus yang baru. mRNA yang sudah terbentuk akan keluar
dari nukelues menjadi HBx, pgDNA, membran inti dan precore yang
nantinya sebagai penyusun dari pembentukan virus baru. mRNA yang telah
disebutkan tadi kemudian dilakukan transkrips balik menjadi DNA kembali,
sebagian DNA yang telah terbentuk akan dibawa ke dalam nukleus untuk
dilakukan recycle, dan sebagian akan dibawa ke badan golgi agar virus yang
terbentuk akan dilindungi lapisan yang selanjutnya virus yang baru terbentuk
ini akan dikeluarkan dari sel melalui eksositosis.
Patofisiologi HBV

Gambar 2.7 Patofisiologi HBV

Saat Virus HBV ini menyerang tubuh, maka respon imun bawaan dari
tubuh kita akan meresponnya dengan mengaktifkan Natural Killer sel,
Natural Killer T sel (NKT) dan juga sitokin-sitokin. NK, NKT ini kemudian
akan menghasilkan IL-12 dan Nitrit oxide yang akan membantu
penghambatan repllikasi HBV dan juga memproduksi TNF yang juga akan
memicu kerusakan dari sel hepatosit. Selain itu HBV juga memiliki HbeAg
yang akan menghambat TLR2, kupfer sel dana monosit sebagai respon imun
bawaan dalam tubuh sehingga hepatosit akan mati. Hepatosit yang mati ini
akan memicu Antigen Presenting Cell (APC) untuk mengaktifkan CD4+ T-
cell dan CD 8+ T-sel. Untuk CD8+ sel T ini menghancurkan HBV melalui 2
mekanisme yaitu mekanisme sitolitik dan mekanisme non- sitolitik. Untuk
mekanisme sitoloitik dengan perforin dan granzyme yang akan mengeluarkan
virus, pada cara sitolitik ini penghancuran virus juga diikuti dengan
kerusakan hepatosit. Sedangkan pada mekanisme non-sitolitik CD8+ sel T ini
akan mengeluarkan IFN dan TNF yang akan mendegradasi genom HBV
tanpat merukan hepatosit. TNF dan IFN ini sebagai salah satu penanda
hepatitis kronis. Oleh karena itu HBV efektif disembuhkan dengan interferon.
Sedangkan, CD4+ sel T ini bekerja dengan memicu Sel B untuk
memproduksi antibodi yang akan dan membunuh virus HBV. Jika virus ini
berlangsung terus menerus maka akan berkembang menjadi hepatitis kronis
hingga akhirnya terjadi viral load, maka kerja dari sel T ini akan kelelahan
dan memicu untuk memproduksi Treg sel dimana treg sel ini akan
menghambat kerja sel T untuk membentuk antibodi yang aan menhancurkan
HBV. Pada dasarnya patofisiologi dari hepatitis dengan virus yang berbeda
lainnya, sama dengan apa yang sudah dijelaskan diatas.

c. Hepatitis C
Hepatitis C disebabkan oleh virus hepatitis C yang menyebabkan
pembengkakan hati. HCV termasuk kedalam famili Flaviviridae. Virus ini
merupakan virus RNA dengan untai tunggal. HCV ini mayoritas akan
menular melalui darah dan juga penggunaan obat. HCV ini merupakan
penyebab hepatitis yang paling parah karena dapat berkembang menjadi
hepatitis kronik, sirorsis hari dan juga dapat menyebabkan kanker
hepatoseluler. HCV ini memiliki 6 genotip, yang akan menyebabkan sulitnya
menemukan vaksin yang ideal untuk virus ini. RNA dari HCV ini akan
terdeteksi didalam darah sehari sampai 8 minggu. HCV ini juga akan
mengaktifkan antibodi berupa Anti- HCV antibodi. Produksi CD4+ sel T dan
Cd8+ sel T membantu untuk melawan infeksi dari HCV sebaai respon imun
tubuh namun hanya minoritas pasien yang dapat melawan infeksi dari HCV
dengan respon sel T.
Replikasi HCV

Gambar 2.8 Replikasi HCV

Replikasi dari virus hepatitis c dimulai saat virus HCV ini akan
menempel pada reseptor di membran sel yang itu menempel pada reseptor
CLDN-1 dan masuk dengan mekanisme endositosis. Kemudian setelah
masuk kedalam sel, HCV akan berfusi yang bergantung pada pH antara
membran dari virus dan pH di dalam sel, selanjtnya RNA dilepaskan kedalam
sitosol dan ditranslasikan didalam retikulum endoplasma kasar, sehingga
polyprotein akan pecah menjadi protein virus yang matang. Protein virus
bersama dengan faktor sel inang akan membentuk jaringan membran (MW)
yang disusun oleh vesikula dari cytosolic lipid droplets (cLD) dimana
replikadi RNA akan terjadi. Kemudian virus baru akan terbentuk yang akan
dibawa kebadan golgi untuk diselubungi oleh lapisan yang selanjutnya akan
dikeluarkan dari sel melalui jalur sekretori kostitutif dengan komponen
lipoprotein.
d. Hepatitis D
Hepatitis D inidisebabkan oleh delta hepatitis virus. HDV termasuk
virus RNA yang hanya bereplikasi bergantung pada HbsAg. Sehingga HDV
akan sangat bergantung pada HBV. Biasanya HDV meginfeksi seseorang
yang telah terinfeksi HBV. HBV ini terdiri dari 2 jenis : koinfeksi akut
setelah pemaran HBV dan HDV, dan superinfeksi dari HBV dan HDV. RNA
HDV dan antigen HDV terditeksi di darah dan dihati. Indikator dari hepatitis
D adalah IgM anti-HDV. Sama seperti HBV, HDV juga dapat menyebabkan
kronik dan akut hepatitis.
e. Hepatitis E
Sama seperti Hepatitis A yang disebabkan oleh HAV, Hepaitis E yang
disebabkan oleh HEV ini akan menyebar pada lingkungan dengan sanitasi
dan kehegienisan yang buruk. HEV ini merupakan virus nonenveloped, RNA
untai tunggal dari hepevirus. Replikasi dari HEV sama dengan Replikasi
HCV yang sama-sama meruakan Replikasi dari RNA. Sepesifik antigen dari
HEV ini adalah HEV Ag yang akan teridentifikasi didalam sitoplasma
hepatosit. Diagnosis marker ditandai dengan adanya anti-HEV IgG dan IGM
anibodi yang merupakan antibodi dari HEV.

Tabel 2.1 Jenis-jenis Hepatitis


2.1.3 Herpes

Virus Herpes merupakan virus yang dapat merayap atau lesi yang menyebar
dikulit disebabkan oleh berbagai tipe virus herpes. Virus herpes ini termasuk
kedalam famili Herpesviridae. Herpes ini merupakan virus yang paling banyak
menyebabkan penyakit pada manusia, yang merupakan vvirus nomor dua
terbanyak setelag virus yang menyebabkan influenza. Sedikitnya ada 25 vtipe
virus. Sebanyak 8 tipe vvirus herpes diantaranya diketahui sering menyebabkan
infeksi pada manusia seperti yang tertera pada tabel berikut.

Tabel 2.2 Tipe-tipe Virus Herpes

Virus Herpes Simplex.

Virus Herpes Simplex merupakan virus yng sangat besar, dimana genomnya
mengkode sedikitnya 80 jenis protein. Sekitar separuh dari protein-protein viral
tidak secara langsung berfungsi sebagai protein penyusun virus atau berperan
dalam replikasi namun juga berfungsi dalam interaksinya dengan sel hospes atau
dengan respon imun sel hospes.
Terdapat dua tipe dari virus herpes simplex yaitu HSV -1 dan HSV – 2
yang memiliki sifat yang hampir sama. Genom HSV mengkode :

 DNA –dependent DNA polymerase


 Timidin kinase  berfungsi untuk fosforilasi timidin dan nukelosida
lainnya.
 Ribunukleotida reduktase  untuk mengubah ribonukleotida menjadi
deoksiribonukleotida)
 Serin protease.

Replikasi HSV

Gambar 2.9 Replikasi HSV

Tahap replikasi HSV dimulai dengan virus HSV ini menempel pada
matriks ekstraseluler dari sel. Kemudia setelah melekat pada sel, virus akan
melakukan fusi dengan membran sel kemudian melepaskan kapsid yang
membawa DNA dan beberapa protein lainnya. Kemudian kapsid ini akan dibawa
menuju nukelus, saat menempel dengan nukelus, kapsid akan mengeluarkan DNA,
dimana D yang selanjutnya DNA ini akan melalui 2 mekanisme yaitu pada tahap
infeksi laten dan siklus infeksi. Pada infeksi laten DNA di transkripsikan menjadi
RNA yang akan dijadikan LAT protein sebagai penginfeksi laten. Sedangkan
pada siklus infeksi, DNA ditranskripsikan menjadi RNA yang selannjutnya
protein tersebut akan masuk kembali kedalam nukleus untuk pembenukan kapsid.
Disisi lain DNA akan di ubah oleh DNA polimerase virus untuk dijadikan
Concatemeric DNA ang akan ditranskripsikan menjadi Late mRNA. Late mRAN
ini akan ditranslasikan menjadi membran nukelus dan dibawa ke retikulum
endoplasma, sebagian late mRNA yang lainnya ditranslasikan menjadi late protein
yang akan menyusun virus baru juga. Kapsid dari virus baru yang telat terbentuk
akan dibawa ke retikulum endoplasma untuk diselubungin oleh lapisan.
Selanjutnya virus baru akan dibawa menuju badan goldi dan akan di keluarkan
dari sel melalui eksositosis.

Patofisiologi HSV

Virus herpes ini memiliki kemampuan untuk menginfeksi sel epitel mukosa
atau sel kulit. Pada patofisiologisnya virus ini menginfeksi dengan dua siklus
yaitu siklus litik dan siklus laten. Pada siklus litik HSV akan mengalami Replikasi
virus yang sudah dijelaskan sebelumnya, sehingga produksi dari virus HSV ini
semakin banyak dan akan menginfeksi sel –sel disekitarnya, yang kemudian virus
ini akan membuat lesi pada tubuh. Proses HSV menginfeksi dengan berjalan dari
akson menuju badan sel saraf dan memulai siklus laten pada saraf sensorik. Untuk
viru tipe HSV-1 akan menginfeksi bagian atas dari tubuh dimana virus ini akan
menginfeksi ganglia trigeminal. Sedangkan untuk virus dengan tipe HSV-2 akan
menyerang tubuh bagian bawah, yaitu dengan menginfeksi di ganglia sakral.
Infeksi dari virus ini tidak spesifik pada bagian tubuh tertentu namun pada
dasarnya virus ini menginfeksi mengikuti jalur dari sistem saraf pusat.
2.2 Klasifikasi Obat Antivirus

2.2.1 Antinonretrovirus
Antivirus pada golongan ini berperan untuk melawan virus-virus yang
berasal dari family selain retrovirus.

a) Antinonretrovirus untuk herpes


Obat-obat yang aktif terhadap virus herpes umumnya merupakan
antimetabolit yang mengalami bioaktivasi melalui enzim kinase sel hospes
atau virus untuk membentuk senyawa yang dapat menghambat DNA
polimerase virus. Tujuan terapi adalah untuk mencegah komplikasi,
mencegah kekambuhan selanjutnya mengurangi transmisi penyakit. Terdapat
cukup banyak antivirus untuk penyakit herpes, namun yang digunakan di
Indonesia hanya antivirus asiklovir dan valaksiklovir.
 Asiklovir. Asiklovir merupakan obat sintetik jenis analog nukleosida
purin. Digunakan untuk mengobati HSV-1, HSV-2 dan VZV, namun 10
kali lebih poten untuk HSV-1 dan HSV-2. Asiklovir merupakan lini
pertama dalam pengobatan herpes.
 Valasiklovir. Valaksiklovir merupakan prodrug dari asiklovir yaitu
meruapakan ester L-valil dari asiklovir dan hanya terdapat dalam
formulasi oral. Setelah ditelan, vasiklovir dengan cepat diubah menjadi
asiklovir melalui enzim valasiklovir hidrolase di saluran cerna dan di
hati. Valaksiklovir memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi daripada
asiklovir, namun valaksiklovir hanya digunakan ketika pasien herpes
sudah mengalami resisten terhadap asiklovir.
 Gansiklovir. Metabolisme dan dan mekanisme kerjanya sama denga
asiklovir. Yang sedikit berbeda adalah pada gansiklovir terdapat karbon
3’ dengan gugus hidroksil, sehingga masih memungkinkan adanya
perpanjangan primer dengan template, jadi gansiklovir bukanlah
DNA chain terminator yang absolute seperti asiklovir.
 Famsiklovir. Famsiklovir merupakan prodrug dari 6-
deoksipensiklovir. Famsiklovir akan mengalami deasetilasi dan
teroksidasi menjadi pansiklovir. Penggunaan famsiklovir secara oral
efektif untuk mengobati genital herpes dan VZV akut.
 Trifluridine. Trifluridine merupakan nukleosida pirimidin yang
menghambat sintesis DNA virus HSV-1, HSV-2, CMV, dan beberapa
adenovirus. Penggunaan tunggal trifluridin atau kombinasi antara
trifluridin dan interferon alfa secara rute kutan dapat digunakan sebagai
treatment untuk pasien yang terkena infeksi HSV yang resisten terhadap
asiklovir.
 Foscarnet. Foscarnet merupakan analog organic dari pirofosfat organic.
Obat ini dapat menyebabkan efek samping nefrotoksisitas dan
hipokalsemia simtomatik.

b) Antinonretrovirus untuk Influenza


Pengobatan untuk infeksi antivirus pada saluran pernapasan termasuk
influenza tipe A & B, virus sinsitial pernapasan (RSV). Tujuan terapi
influenza adalah untuk mengontrol gejala, mencegah komplikasi serta
mencegah penyebaran infeksi. Penggunaan antivirus paling efektif jika
diberikan dalam waktu 48 jam sejak munculnya penyakit. Terdapat dua
golongan antivirus untuk penyakit influenza yaitu:
1. M2 Inhibitor. Obat yang termasuk golongan M2 inhibitor adalah
amantadine dan rimantadine. Kedua antivirus ini digunakan untuk
pengobatan virus influenza A. Amanatadin dan rimantadin merupakan
antivirus yang bekerja pada protein M2 virus. Amantadine dan
rimantadin dapat menimbulkan efek samping SSP seperti kegelisahan,
kesulitan berkonsentrasi, insomnia, hilang nafsu makan. Rimantadin
menyebabkan reaksi SSP lebih sedikit karena tidak banyak melintasi
sawar otak darah.
2. Inhibitor Neuraminidase. Obat yang termasuk golongan Inhibitor
Neuraminidase adalah oseltamivir dan zanamivir. Oseltamivir dan
zanamivir memiliki aktivitas untuk melawan virus influenza A dan
influenza B. Keduanya merupakan inhibitor neuraminidase; yaitu
analog asam N-asetilneuraminat (reseptor permukaan sel virus
influenza).

c) Antinonretrovirus untuk HBV dan HCV

Tujuan terapi HBV adalah menekan replikasi HBV sehingga


memperlambat perkembangan penyakit hati lainnya (seperti: fibrosis hati dan
sirosis), pencegahan komplikasi (seperti sirosis dan hepatocellular carcinoma)
dan menghindari transplantasi hati. Pengobatan pasien dengan infeksi HCV
dianjurkan bagi pasien yang memiliki resiko sirosis. Antivirus yang
digunakan untuk pengobatan HBV antara lain golongan nuklosida atau
analog nuklosida yaitu lamivudine, tenofovir, entecavir, telbivudine serta
golongan interferon. Penggunaan nuklosida atau analog nukleosida memiliki
tolerabilitas yang lebih baik dan menghasilkan respon yang lebih baik
dibandingkan interferon, namun kemungkinan untuk mengalami resistensi
tinggi. Penggunaan terapi tunggal memiliki efek samping yang lebih sedikit
(ringan) daripada terapi kombinasi, namun terapi kombinasi ini lebih efektif
dibandingkan monoterapi dengan interferon atau golongan nukleosida

2.2.2 Antiretrovirus
Untuk infeksi retrovirus, antiretrovirus dibagi menjadi 4 kelas, yaitu
nucleoside dan nucleotide reverse transcriptase inhibitors, non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitors, protease inhibitors dan entry inhibitors (Brunton et al.,
2011).

a) Nucleoside dan nucleotide reverse transcriptase inhibitors


DNA polimerase RNA-dependen yang dikodekan oleh HIV, juga
disebut reverse transcriptase, mengubah RNA viral menjadi DNA proviral
yang kemudian dimasukkan ke dalam kromosom sel host. Inhibitor enzim ini
yang tersedia adalah analog nucleoside/nucleotide atau non-nucleoside
inhibitor (Brunton et al., 2011).
Tabel 2.3 NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors) (Brunton et al.,
2011)

Nama Generik [Nama Singkatan; Nama Kimia


Dagang US]
Zidovudin [RETROVIR, dll] ZDV; azidotimidin (AZT)
Didanosin [VIDEX; VIDEX ddI; dideoksinosin
EC, dll]
Stavudin [ZERIT] d4T; didehidrodeoksitimidin
Zalcitabin [HIVID] DDC; dideoksisitidin
Lamivudin [EPIVIR] 3TC; dideoksitiasitidin
Abacavir [ZIAGEN] ABC;
siklopropilaminopurinilsiklopentena
Emtricitabin [EMTRIVA] FTC; fluorooksatiolanilsitosin

 Zidovudin
Zidovudin adalah analog timidin sintetis dengan aktivitas in vitro yang
poten melawan spektrum retrovirus yang luas termasuk HIV-1, HIV-2
dan human T-cell lymphotrophic viruses (HTLV) I dan II.
 Stavudin
Stavudin merupakan inhibitor reverse transcriptase analog timidin
sintetis yang aktif in vitro melawan HIV-1 dan HIV-2.
 Lamivudin
Lamivudin merupakan inhibitor reverse transcriptase analog sitidin
yang aktif melawan HIV-1, HIV-2 dan HBV. Lamivudin merupakan
salah satu obat antiretrovirus yang paling tidak toksik dan memiliki
sedikit adverse effect signifikan. Lamivudin efektif dalam kombinasi
dengan obat antiretrovirus lainnya dan merupakan komponen terapi
yang umum, akibat keamanan, kenyamanan dan efikasinya.
 Abacavir
Abacavir merupakan analog purin karbosiklik sintetis. Abacavir
merupakan satu-satunya antiretrovirus yang disetujui yang aktif sebagai
analog guanosin. Carbovir, analog guanin yang berhubungan, ditarik
dari pengembangan klinis akibat bioavailabilitas per oralnya yang
rendah.
 Emtricitabin
Emtricitabin merupakan analog sitidin yang berhubungan secara kimia
dengan lamivudin dan memiliki banyak ciri farmakodinamik obat yang
sama. Emtricitabin aktif melawan HIV-1, HIV-2 dan HBV. Rata-rata,
obat ini ~10 kali lebih aktif in vitro daripada lamivudine. Emtricitabin
merupakan salah satu obat antiretrovirus yang paling tidak toksik dan,
seperti lamivudin, memiliki sedikit adverse effects yang signifikan dan
tidak ada efek pada DNA mitokondrial in vitro. Emtricitabin tersedia
dalam koformulasi dengan tenofovir ± efavirenz.
 Didanosin
Didanosin adalah analog nukleosida purin yang aktif melawan HIV-1,
HIV-2 dan retrovirus lainnya seperti HTLV-1. Didanosin sudah
digantikan dengan obat-obat yang lebih tidak toksik.

Tabel 2.4 NtRTI (Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors) (Brunton et


al., 2011)

Nama Generik [Nama Dagang Singkatan; Nama Kimia


US]
Tenofovir disoproksil [VIREAD] TDF; fosfinilmetoksipropiladenin
(PMPA)

 Tenofovir
Tenofovir disoproxil merupakan analog nukleotida satu-satunya yang
sekarang dipasarkan untuk pengobatan infeksi HIV. Karena senyawa
induk memiliki bioavailabilitas per oral yang sangat rendah, tenofovir
hanya tersedia sebagai prodrug disoproxil, yang secara substansial
meningkatkan absorpsi oral dan penetrasi seluler. Seperti lamivudin dan
emtricitabin, tenofovir aktif melawan HIV-1, HIV-2 dan HBV. Bentuk
prodrug ~100 kali lebih aktif in vitro terhadap HIV-1 strain laboratori
daripada senyawa induk.

b) Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors

Tabel 2.5 NNRTI (Non-nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors) (Brunton et


al., 2011)

Nama Generik [Nama Dagang Singkatan; Nama Kimia


US]
Nevirapin [VIRAMUNE] NVP
Efavirenz [SUSTIVA; STOCRIN] EFV
Delavirdin [RESCRIPTOR] DLV
Etravirin [INTELENCE] ETV

 Nevirapin
Nevirapin memiliki aktivitas yang poten melawan HIV-1. Seperti
senyawa lainnya dalam kelas ini, nevirapin tidak memiliki aktivitas yang
signifikan terhadap HIV-2 atau retrovirus lainnya.
 Efavirenz
Efavirenz memiliki aktivitas yang poten terhadap HIV-1. Seperti
senyawa lainnya dalam kelas ini, efavirenz tidak memiliki aktivitas yang
signifikan terhadap HIV-2 atau retrovirus lainnya. Efavirenz merupakan
satu-satunya obat antiretrovirus yang dengan tegas bersifat teratogenik
pada primata. Oleh karena itu, wanita yang berpotensi mengandung
seharusnya menggunakan 2 metode, yaitu kontrasepsi dan menghindari
kehamilan saat mengonsumsi efavirenz. Efavirenz (SUSTIVA) adalah
agen antiretrovirus pertama yang disetujui FDA untuk pemberian sekali
sehari. Efavirenz juga efektif pada pasien yang telah gagal dalam terapi
antiretrovirus sebelumnya yang tidak mengandung NNRTI. Efavirenz
digunakan secara luas di negara maju karena kenyamanan, efektivitas
dan tolerabilitas jangka panjangnya. Terutama yang populer adalah pil
tunggal sekali sehari koformulasi efavirenz, tenofovir dan emtricitabin
(ATRIPLA).
 Etravirin
Etravirin aktif melawan HIV-1. Seperti NNRTI lainnya, etravirin tidak
memiliki aktivitas terhadap HIV-2. Etravirin bersifat unik pada
kemampuannya untuk menghambat reverse transcriptase yang resisten
terhadap NNRTI yang tersedia lainnya.

c) HIV Protease Inhibitors


Tabel 2.6 HIV protease inhibitors (Brunton et al., 2011)
Nama Generik [Nama Dagang US] Singkatan; Nama Kimia
Saquinavir [INVIRASE] SQV
Indinavir [CRIXIVAN] IDV
Ritonavir [NORVIR] RTV
Nelfinavir [VIRACEPT] NFV
Amprenavir [AGENERASE; APV
PROZEI]
Lopinavir [KALETRA; ALUVIA] LPV/r
Atazanavir [REYATAZ; ZRIVADA] ATV
Fosamprenavir [LEXIVA; TELZIR] FPV
Tipranavir [APTIVUS] TPV
Darunavir [PREZISTA] DRV

 Saquinavir
Saquinavir, inhibitor protease HIV yang pertama disetujui, menghambat
replikasi HIV-1 dan HIV-2.
 Ritonavir
Ritonavir aktif melawan HIV-1 dan HIV-2, walaupun bisa sedikit kurang
aktif melawan HIV-2.
 Fosamprenavir
Fosamprenavir, prodrug dari amprenavir, memiliki kelarutan dalam air
yang lebih tinggi dan bioavailabilitas oral yang lebih baik.
Fosamprenavir sama efektif, lebih nyaman dan umumnya lebih dapat
ditoleransi daripada amprenavir sehingga amprenavir tidak lagi
dipasarkan.
 Lopinavir
Lopinavir mirip dengan ritonavir secara struktural tetapi 3-10 kali lebih
poten melawan HIV-1 in vitro. Lopinavir aktif melawan HIV-1 dan HIV-
2. Lopinavir hanya tersedia dalam koformulasi dengan ritonavir dalam
dosis yang rendah, yang digunakan untuk menghambat metabolisme
CYP3A4 dan meningkatkan konsentrasi lopinavir.
 Atazanavir
Atazanavir aktif melawan HIV-1 dan HIV-2.
 Darunavir
Darunavir aktif melawan HIV-1 dan HIV-2.
 Indinavir
Indinavir 10 kali lebih poten melawan protease HIV-1 daripada protease
HIV-2. Indinavir tidak lagi digunakan secara luas karena bermasalah
dengan nefrolitiasis dan nefrotoksisitas lainnya, dan kurangnya
keuntungan yang signifikan dibandingkan HIV protease inhibitor tersedia
lainnya.
 Nelfinavir
Nelfinavir merupakan inhibitor protease nonpeptidik yang aktif melawan
HIV-1 dan HIV-2.
 Tipranavir
Tipranavir merupakan inhibitor protease nonpeptidik yang aktif melawan
HIV-1 dan HIV-2.

d) Entry Inhibitors
Tabel 2.7 Viral entry inhibitory (Brunton et al., 2011)
Nama Generik [Nama Dagang US] Singkatan; Nama Kimia
Enfuvirtid [FUZEON] T-20
Maraviroc [SELZENTRY; MVC
CELSENTRI]
 Enfuvirtide

Enfuvirtide tidak aktif melawan HIV-2 tetapi memiliki jangkauan potensi


yang luas melawan isolat HIV-1 laboratori dan klinis. Enfuvirtide mahal
pembuatannya dan harus diberikan melalui injeksi subkutan dua kali
sehari sehingga biaya dan rute administrasi membatasi penggunaannya
untuk pasien tanpa pilihan pengobatan lain. Karena harganya yang mahal,
ketidaknyamanan dan toksisitas kutaneous obat ini, enfuvirtide umumnya
dibuat cadangan untuk pasien yang telah gagal pada semua regimen
antiretrovirus layak lainnya.

2.3 Mekanisme Kerja Obat Antivirus

2.3.1. Antinonretrovirus

a) Herpes

Gambar 2.10 Siklus Repllikasi virus herpes


Gambar di atas merupakan siklus replikasi dari virus herpes, sebuah
virus DNA, dan situs aksi yang memungkinkan dari agen antiviral. Seperti
yang tertera pada gambar di atas, obat-obat1 yang digunakan pada pengobatan
herpes virus (HPV) ini mempunyai mekanisme kerja menghambat DNA
polimerase virus sehingga virus tidak dapat melakukan sintesis DNA.

Berikut merupakan obat-obatan yang biasa digunakan dalam


pengobatan herpes:

a. Asiklovir dan Valasiklovir


Selektifitas aksi dari obat ini bergantung pada dua protein yang berbeda,
yaitu HSV timidin kinase dan DNA polymerase.

Gambar 2.11 Mekasisme Asiklovir

Mula-mula asiklovir (ACV) masuk kedalam sel yang terinfeksi. Acv


dalam sel kemudian diubah menjadi bentuk trifosfat dengan bantuan HSV
timidin kinase, seluler GMP kinase dan DNA polymerase. ACV trifosfat
memiliki bentuk yang sama dengan deoksiguanosin trifosfat (dGTP)
sehingga bersaing untuk masuk ke dalam rantai DNA virus. Kemudian
DNA virus akan memutus ikatan pirofosfat pada ACV trifosfat sehingga
berubah ke bentuk monofosfat dan menyisipkannya ke rantai DNA virus.

1
Asikovir dan valasiklovir, cidofovir, famsiklovir dan pensiklovir, foskarnet, gansiklovir, trifluridin
Kurangnya gugus 3’-hidroksil pada ACV monofosfat membuat sintesis
DNA tidak dapat dilanjutkan sehingga virus tidak terbentuk.

b. Cidofovir
Proses sintesis yang dihambat oleh cidofovir ini adalah proses elongasi
dari rantai DNA virus. Cidofovir juga mengalami fosforilasi menjadi
bentuk aktifnya, yaitu cidofovir difosfat. Cidofovir difosfat berfungsi
sebagai inhibitor kompetitif terhadap dCTP dan substrat alternative untuk
DNA polymerase yang akan menghambat proses sintesis DNA virus.
c. Famsiklovir dan Pensiklovir
Famsiklovir merupakan prodrug dari pensiklovir. Pensiklovir difosforilase
oleh timidin kinase virus menjadi bentuk trifosfat yang menghambat
proses sintesis DNA virus.
d. Foskarnet
Foskarnet menghambat sistesis asama nukleat virus dengan berinteraksi
langsung dengan HSV DNA polymerase. Foskarnet secara reversible
memblok situs pengikat pirofosfat dari polymerase virus dan menghambat
pembelahan pirofosfat dari deoksinukleotida trifosfat.

e. Gansiklovir
Fosforilasi awal pada gansiklovir ini dikatalisis oleh virus-spesifik protein
kinase fosfotransferase UL97 dalam sel CMV yang terinfeksi menjadi
bentuk aktif, trifosfat. Bentuk ini akan menghambat DNA polymerase
virus secara kompetitif.

f. Trifluridin
Trifluridin bekerja dengan menghambat enzim timidilat sintase secara
irreversible. Trifluridine akan difosforilasi oleh Timidine Kinase I
membentuk F3dTMP (Trifluorodeoksitimidin monofosfat). Kemudian
mengalami Fosforilasi menjadi F3dTDP (Trifluorodeoksitimidin difosfat)
dan F3dTTP (deoksitimidin trifosfat). F3dTTP akan masuk ke dalam DNA
yang telah membelah menjadi single strand sehingga mengakibatkan
penghambatan sintesis DNA dengan menghambat timidilat sintase (TS).
b) Influenza

Gambar 2.12 Siklus Replikasi Virus Influenza


Gambar di atas merupakan gambar skilus repllikasi dari influenza,
sebuah virus RNA, dan tempat antiviral berefek. Protein M2 dari virus
influenza memungkinkan tejadinya influx ion hydrogen dalam virion, yang
menimbulkan disosiasi pada bagian RNP (protein ribonuklear) dan
melepasnya ke sitoplasma (uncoating). Inhibitor neuraminidase (oseltamivir
dan zanamivir) secara spesifik menghambat pelepasan virus progeny. Seperti
yang tertera pada gambar di atas, obat-obat 2 yang digunakan pada
pengobataninfluenza ini terbagi atas dua jenis mekanisme kerja, yaitu
menghambat protein M2 virus dan inhibitor neuraminidase. Berikut
merupakan obat-obatan yang digunakan dalam pengobatan influenza:

a. Penghambat protein M2
 Amantadine dan rimantadin
Bekerja dengan menghambat langkah awal replikasi virus, pada
beberapa rantai juga dapat menghasilkan efek pada langkah akhir
perakitan virus yang dimediasi melalui pemecahan proses
hemaglutinin. Lokasi utama kerjanya adalah protein M2 virus
influenza A, protein integral membran yang berfungsi sebagai
kanal ion. Karena protein M2 terganggu, maka proses disosiasi
kompleks ribonukleoprotein yang dimediasi asam pada awal
replikasi terhambat dan mempotensiasi perubahan konformasi
hemaglutinin yang disebabkan pH asam selama transpor
intraselular dalam replikasi.

2
Amantadin dan Rimantadin, Oseltamivir dan Zanamivir
b. Inhibitor neuraminidase
 Oseltamivir dan zanamivir
Neurominidase influenza memotong residu terminal asam sialat
dan menghancurkan reseptor yang dikenali oleh hemaglutinin virus
yang ada pada permukaan sel, dan pada sekret pernapasan.
Tindakan enzimatik ini bertujuan untuk melepaskan virus dari sel
yang terinfeksi .
Interaksi oseltamivir karboksilat dengan neuraminidase dapat
menyebabkan perubahan konformasi di dalam tempat aktif enzim
dan menghambat aktivitasnya. Penghambatan aktivitas
neuraminidase menyebabkan agregasi virus pada permukaan sel
dan berkurangnya penyebaran virus dalam saluran pernafasan.

c) Hepatitis
Berikut merupakan obat-obatan yang biasa digunakan pada pengobatan HBV:

a) Adefovir
Adefovir dipivoxil masuk dalam sel dan di deesterifikasi menjadi
adefovir. Adefovir diubah menjadi bentuk difosfat oleh enzim selular,
yang bertindak sebagai kompetitif inhibitor DNA polimerase virus dan
reverse transkriptase dengan deoksiadenosin trifosfat dan juga sebagai
rantai terminal dari DNA virus. (Cundy, 1999).

b) Entecavir
Memerlukan fosforilasi intraselular. Entecavir trifosfat berkompetisi
dengan deoksiguanosin trifosfat dan menghambat tiga aktivitas dari
HBV polimerase (reverse transkiptase), yaitu base priming; reverse
transkrip dari untai negatif dari mRNA; sintesis untai positif dari DNA
HBV.

c) Lamivudine
Lamivudin menghambat sintesis DNA dengan cara mengganggu kerja
enzim reverse transcriptase sehingga selain menghentikan replikasi dan
membunuh virus dengan jalan menghambat metabolisme.

d) Telbivudine
Melalui fosforilasi oleh kinase seluler. Telbivudine 5’-trifosfat
menghambat DNA polimerase dari HBV (reverse transkrip) dengan
berkompetisi dengan timidin 5’-trifosfat. Ketidakcocokan antara
telbivudine 5’-trifosfat terhadap DNA virus menyebabkan penghentian
rantai.
Berikut merupakan obat-obatan yang biasa digunakan pada HCV:
a. Interferon

Gambar 2.13 Mekanisme kerja interferon

Mekanisme kerja Interferon (IFN) terbagi menjadi 5, yaitu:


1) Inhibisi Inhibisi Fase Transkripsi
Mengaktivasi protein sel spesifik, lalu memblok sintesis mRNA
2) Inhibisi Fase Translasi
 Mengaktivasi metilase, yang akan mereduksi mRNA cap
methylation
 Mengaktifkan 2’5’denilatesintetase yang akan menginhibisi
mRNA splicing
 Menginhibisi Protein Kinase P1, yang akan menginhibisi inisiasi
translasi mRNA
 Mengaktifkan fosfodiesterase untuk memblok tRNA
3) Inhibisi Kerja Protein
Menginhibisi glikosiltransferase dan mengurangi protein glikosilasi
4) Inhibisi Pematangan Virus
Menginhibisi glikotransferase sehingga mengurangi pematangan
glikoprotein.
5) Inhibisi pelepasan virus
Karena pematangan glikoprotein berkurang, terjadilah perubahan
pada membrane sehingga virus tidak bisa budding
b. Ribavirin
Ribavirin bekerja pada proses replikasi dengan membentuk nukleosida
menyerupai adenosin atau guanosin. Ribavirin mengalamami
fosforilassi menjadi monofosfat dan menghambat inosin-5’-fosfat
dehidrogenase dan mengganggu sintesis GTP dan sintesis asam nukleat
secara general. Ribavirin trifosfat juga menghambat pembatasan GTP-
dependent mRNA virus. Ribavirin juga dapat meningkatkan
mutagenesis virus ke tingkat hingga virus terhambat pada replikasi yang
efektif, yang disebut lethal mutagenesis.

2.3.2 Antiretrovirus

a) NRTI & NtRTI

Seperti semua obat antiretroviral yang ada, NRTI dan NtRTI menghambat
infeksi sel yang cocok namun tidak memusnahkan virus dari sel-sel yang
telah mempunyai proviral DNA terintegrasi. Analog nukleosid dan nukleotid
harus memasuki sel dan melewati fosforilasi untuk menghasilkan substrat
sintetik untuk enzimnya analog yang terfosforilasi sempurna memblok
replikasi genom viral dengan menginhibisi secara kompetitif penggabungan
nukleotid lokal dan dengan menterminasi elongasi dari proviral DNA yang
baru muncul karena kekurangan grup 3’-hidroksil.

Gambar 2.14 Mekanisme kerja obat NRTI dan NtRTI serta contoh obat golongan NRTI
dan NtRTI
Contoh obat-obat yang tergolong kedalam golongan NRTI dan NtRTI

1. Zidovudine
Zidovudin merupakan analog timidin sintetik yang memiliki aktivitas in
vitro poten. Bekerja dengan menghambat enzim reverse transcriptase
virus, setelah gugus azidotimidin (AZT) pada zidovudine mengalami
fosforilasi yang mana gugus AZT 5’monofosfat akan bergabung pada
ujung 3’ rantai DNA virus dan menghambat reaksi reverse transcriptase.

Gambar 2.15 Struktur Zidovudin

2. Stavudine
Stavudin merupakan analog timidin sintetik Reverse Transcriptase
inhibitor yang aktif secara invitro melawan HIV-1 dan HIV-2. Obat ini
paling poten saat pengaktifan seldan dapat menyebabkan terminasi pada
DNA sel virus

Gambar 2.16 Struktur Stavudin

3. Lamivudine
Lamivudin merupakan analog Reverse Transcriptase inhibitor sitidin yang
aktif melawan HIV-1, HIV-2, HBV (spesifik-DNA). Lamivudine masuk
ke dalam sel secara difusi pasif.yang dapat menyebabkan terminasi DNA
virus.

Gambar 2.17 Struktur Lamivudin


4. Emtricitabine
Emtricitabin merupakan analog sitidin dan derivate 5-fluorinated
lamivudine. Emtricitebin memiliki mekanisme yang sama dengan
lamivudine dan aktif melawan HIV-1, HIV-2, HBV.

Gambar 2.18 Struktur Emtricitabine

5. Abacavir
Abacavir merupakan analog purin karbosiklik sintetik. Abacavir diubah
menjadi Carbovir (bentuk aktifnya) untuk menginhibisi terminasi
perpanjangan DNA virus.

Gambar 2.19 Struktur Abacavir

6. Didanosine
Didanosine meruapakan analog purin nukleosida yang aktif melawan HIV-
1 dan 2 serta HTLV-1. Didanosin di transport ke sel oleh karier
nucleobase dan mengalmi fosforilasi. Dideoxyadenosin 5’-trifosfat
merupakan anabolit aktif didanosin yg berfungsi sebagai analog adenosine
antiviral.

Gambar 2.20 Struktur Didanosin


7. Tenofovir
Tenofovir merupakan derivatif dari adenosine 5’-monofosfat tanpa cincin
ribosom komplit. Karena bioavabilitas oralya yang rendah hanya tersedia
dalam bentuk prodrug disoproxil. Tenofovir actif melawan HIV-1, HIV-2,
HBV. Tenofovir disoproxil dihidroisis secara cepat menjadi tenofovir
kemudian di fosforilasi menjadi bentuk aktifnya. Tenofovir merupakan
inhibitor kompetitif dari RT virus dan masuk ke DNA HIV menyebabkan
pemutusan rantai akibat cincin ribose yang tak komplit

Gambar 2.21 Struktur Tenofovir

Gambar 2.22 Mekanisme Kerja Obat


b) NNRTI

NNRTI adalah kelompok senyawa kimia yang berikatan dengan


kantung hidrofobik pada subunit p66 HIV-1 reverse transcriptase. Tempat
Ikatannya tidak memiliki pengaruh yang penting terhadap fungsi enzim dan
terletak jauh dari situs aktifnya. Ikatan dengan NNRTI akan menyebabkan
perubahan konformasional pada struktur enzim dan menurunkan aktivitasnya.
Oleh sebab itu, NNRTI merupakan inhibitor nonkompetitif.

Tempat berikatan NNRTI spesifik untuk strain virus tertentu dan gen
NNRTI yang diperbolehkan untuk digunakan hanya lah efektif terhadap HIV-
1. Agen-agen NNRTI tersebut tidak seharusnya digunakan untuk mengobati
HIV-2. Tidak seperti NRTI dan NtRTI, NNRTI tidak membutuhkan
fosforilasi intraseluler untuk melakukan aktivitasnya. Contoh agen NNRTI
yang sering digunakan adalah Efavirenz dan Nevirapine.

Gambar 2.23. Mekanisme kerja NNRTI (thebodypro.com)


NNRTI lebih rentan terhadap resistensi dibandingkan kelas obat
antiretrovirus lainnya. Hal ini disebabkan karena perubahan pada satu asam
amino di tempat berikatannya (biasanya kodon 103 atau 181) akan
menyebabkan virus resisten terhadap semua obat pada kelas NNRTI. NNRTI
merupakan agen yang poten dan sangat efektif, namun penggunaannya harus
dikombinasikan dengan paling tidak dua agen aktif lainnya untuk
menghindari resistensi obat.

c) HIV Protease

HIV protease adalah senyawa kimia yang secara kompetiti


menginhibisi kerja aspartil protease virus. Protease tersebut berperan dalam
pembentukkan protein virus dari prekursor poliprotein virus. Obat akan
berikatan dengan situs aktif dari enzim tersebut sehingga protease tidak
mampu memotong prekursor poliprotein virus dan mencegah perkembangan
partikel virus dewasa (infectious). Adanya penghambatan terhadap aktivitas
protease akan menyebabkan pemrosesan dari poliprotein Gag dan Gag-Pol
berhenti sehingga terbentuk partikel virus HIV yang belum dewasa (non
infectious). Polipeptida tersebut merupakan komponen struktural dan
enzimatis yang penting bagi virus. Salah satu contoh obat kelas ini adalah
Atazanavir dan Saquinavir.

Gambar 1.24 Mekanisme kerja Atazanvir terhadap protease HIV-1


(drugsdetails.com)
Gambar 2.25. Perbandingan mekanisme kerja zidovudine dengan HIV protease
saquinavir (Color Atlas)

d) Entry Inhibitor

Entry Inhibitor menghalangi tahap fusi dan masuknya virus ke dalam


sel host. Terdapat dua obat pada kelas ini, yaitu Enfuvirtide dan Maraviroc,
dan keduanya memiliki mekanisme yang berbeda. Pada selubung luar virus
terdapat suatu protein kompleks, yaitu gp120 dan gp41, dimana keduanya
berperan penting dalam masuknya virus ke dalam sel host. Maraviroc
mencegah berikatannya protein gp120 dengan reseptor CCR5 chemokine atau
biasa disebut antagonis reseptor chemokine. Sementara itu, Enfuvirtide
menghambat penggabungan virus dan membrane sel yang dimediasi oleh
interaksi gp41 dan CD4. Kedua mekanisme tersebut pada akhirnya akan
menghambat infeksi sel CD4 oleh partikel virus bebas. Maraviroc merupakan
satu-satunya obat pada kelas antiretrovirus yang menyerang protein sel host.

Gambar 2.26 Mekanisme kerja entry inhibitor Maraviroc

Gambar 2.27 Mekanisme kerja entry inhibitor Enfuvirtide (nature.com)


2.4 Perbandingan Profil Farmakokinetika yang Paling Signifikan dari
Obat Antiherpesvirus

2.4.1. Absorbsi

Tabel 2.8 Perbandingan profil Absorbsi 6 obat Antiherpesvirus

Valacyclovir Acyclovir Cidofovir Penciclovir Foscarnet Ganciclovir


BA oral BA oral BA oral BA oral BA oral Jika
tinggi yaitu beragam dari rendah. rendah yaitu rendah, dikonsumsi
70%. Rata- 10-30% dan Rute 5%. pemberian saat ada
rata puncak mengalami pemberian Makanan melalui makanan,
konsentrasi penurunan bila melalui dapat rute IV. bioavailabil
plasma yaitu dilakukan rute IV memperlam Konsentrasi itasnya
5-6 µg/mL penambahan bat absorbsi plasma adalah 6-
(pada dosis dosis. Rata- tapi tidak puncak dan 9%.
1000 mg) rata puncak mengurangi minimal Konsentrasi
konsentrasi BA. Rata- pada plasma
plasma yaitu rata puncak pemberian puncak dan
0,4-0,8 µg/mL konsentrasi infus IV 60 minimum
(pada dosis plasma mg/kg tiap adalah 0,5-
200 mg) dan yaitu 1,6 8 jam yaitu 1,2 µg/mL
1,6 µg/mL µg/mL sekitar 450- dan 0,2-0,5
(pada dosis (pada dosis 575 µM µg/mL
800 mg). 250 mg) dan 80-150 (dosis 1000
dan 3,3 µM. mg tiap 8
Pada µg/mL jam)
pemberian rute (pada dosis Pada
IV, 500 mg) pemberian
konsentrasi Pada secara IV,
puncak dan pemberian konsentrasi
minimal secara IV, plasma
asiklovir rata-rata puncak dan
adalah 9,8 puncak minimum
µg/mL dan 0,7 konsentrasi adalah 8-11
µg/mL (dosis plasma µg/mL dan
5 mg/kg tiap 8 adalah 12 0,6-1,2
jam), 20,7 dan µg/mL µg/mL
2,3 µg/mL (dosis 10 (dosis 5
(dosis 10 mg/kg) mg/kg)
mg/kg tiap 8
jam).
Absorbsi
perkutan pada
pemberian
topical rendah
2.4.2. Distribusi

Tabel 2.9 Perbandingan profil Distribusi 6 obat Antiherpesvirus

Valacyclovir Acyclovir Cidofovir Penciclovir Foscarnet Ganciclovir


Terdistribusi Terdistribusi Tidak Volume Terdistribusi Berikatan
luas di cairan luas di cairan terdistribusi distribusinya ke CSF dengan
tubuh, tubuh, ke sistem dua kali dengan protein
termasuk termasuk saraf pusat volume total konsentrasi sebanyak
cairan cairan dan mata. cairan 66% pada 1-2%.
vesikuler, vesikuler, Terdistribusi tubuh. keadaan Volume
aqueous aqueous ke cairan tunak. distribusi
humor, dan humor, dan cerebrosipal dari
cairan cairan dalam gansiklovir
cerebrospinal. cerebrospinal. jumlah yang adalah 0,74
Juga Asiklovir sedikit. ± 0,15
terdistribusi terdistribusi L/kg.
ke dalam ke dalam
kelenjar susu, kelenjar susu,
cairan cairan
amnion, dan amnion, dan
plasenta. plasenta.
2.4.3. Metabolisme

Tabel 2.10 Perbandingan profil metabolisme 6 obat Antiherpesvirus

Acyclovir Valacyclovir Cidofovir Penciclovir Foscarnet ganciclovir

Asiklovir Valaciclovir Tidak Pada Tidak Hampir


dimetabolisme dengan cepat terjadi pemakaian terjadi tidak terjadi
menjadi 9- dan hampir konversi oral, konversi metabolism
carboxymethox seluruhnya (~ metabolis famciclovir metabolis e, sekitar
ymethylguanine 99%) diubah m diserap dengan m 90%
(CMMG) dan 8- menjadi baik (~ 75%) ganciclovir
hydroxy- senyawa aktif, dan diubah tereleminasi
acyclovir (8- asiklovir, dan dengan cepat tanpa
OH-ACV) L-valin dengan menjadi berubah
metabolisme penciclovir pada urin
melalui proses
usus dan first- dengan
oksidasi dan
pass hepar deasetilasi
hidroksilasi.
melalui rantai samping
Asiklovir hidrolisis dan oksidasi
dimetabolisme enzimatik. cincin purin
dahulu menjadi Baik selama dan
asiklovir valasiklovir setelah
aldehid oleh maupun penyerapan
alkohol asiklovir dari usus.
dehydrogenase dimetabolisme Di hati,
dan kemudian oleh enzim famsiklovir
dikonversi sitokrom P450. dimetabolisme
menjadi menjadi 6-
CMMG. okso-
famsiklovir
dengan
bantuan
aldehid
oksidase.

2.4.4. Eliminasi

Tabel 2.11 Perbandingan profil Eliminasi 6 obat Antiherpesvirus

Acyclovir Valacyclovi Cidofovir Penciclovi Foscarnet ganciclovir


r r
Rata-rata Dieleminasi Waktu paruh Waktu Lebih dari eliminasi
waktu paruh hampir 2.4-3.2 jam paruh 80% dari plasma
asiklovir yaitu seluruhnya Eliminasi (t1/2) focarnet memiliki
sekitar 2,5 jam sebagai melalui ekskresi eliminasi dieksresikan waktu paruh
(beragam dari eliminasi renal. Lebih dari pensiklovi tanpa 2-4 jam pada
1,5-6 jam pada asiklovir 90% dari dosis r dalam mengalami pasien
manusia dieksreksi dalam plasma perubahan dengan
dewasa bentuk utama rata-rata melalui urin fungsi ginjal
dengan tanpa sekitar 2 dengan normal. lebih
kondisi renal metabolisme jam, dan filtrasi dari 90%
normal). yang signifikan. lebih dari glomelurus gansiklovir
Waktu paruh Transporter 90% obat dan dieliminasi
pada neonatus anion organik dieskresik mungkin tidak berubah
sekitar 4 jam sensitif- an dalam sekresi oleh ekskresi
dan pada probenecid 1 bentuk tubulus. ginjal melalui
pasien anuria memediasi metabolit eliminasi filtrasi
meningkat uptake cidofovir aktifnya plasma glomerulus
hingga 20 jam. ke sel epitel dalam sangat dan sekresi
tubulus urin. kompleks, tubular.
Rute eliminasi proksimal. Sekitar dengan Waktu paruh
yang utama Probenecid 10% waktu paruh plasma
yaitu melalui dosis tinggi diekresika sekitar 4-8 meningkat
renal. Kurang menghambat n melalui jam dan hampir secara
dari 15% transport tubular feses. eliminasi linier seiring
terekskresi dari cidofovir terminal penurunan
dalam bentuk dan menurunkan yang klirens
metabolitnya klirens renal. berkepanjan kreatinin dan
(9- Pada dosis 5 gan t1 / 2 bisa
carboxymetho mg/kg, rata-rata 3-4 mencapai 28-
xymethylguani konsentrasi hari. 40 jam pada
ne, atau dalam plasma puncak pasien
bentuk meningkat dari dengan
metabolit 11,5 µg/mL insufisiensi
minor lain. menjadi 19,6 ginjal berat.
µg/mL dengan
pemberian
probenecid.
Eliminasi linear
terhadap klirens
kreatinin, dan
waktu paruh
meningkat
menjadi 32,5
jam pada pasien
Chronic
Ambulatory
Peritoneal
Dialysis
(CAPD).
2.5 Kombinasi Obat Antiretrovirus
Prinsip dalam pemberian ARV adalah:
a. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan berada
dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas
penggunaan obat.
b. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan
akses pelayanan ARV.
c. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan
manajemen logistik yang baik.

2.5.1 Pemilihan Obat ARV Lini Pertama


Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah:

a) 2 NRTI + 1 NNRTI
Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:
Tabel 2.12 Lini pertama terapi antiretroviral

Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama 14


hari pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF + 3TC.
Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi 200 mg
setiap 12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi dengan dosis
rendah tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama terapi NVP
menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga mengurangi
risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang muncul dini. Bila
NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan selama lebih dari 14
hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal yang rendah tersebut.
Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan
telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam kurun
waktu yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak membutuhkan
data laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang relatif sangat
terjangkau dibandingkan dengan NRTI yang lain. Namun dari hasil studi
didapat data bahwa penggunaan d4T, mempunyai efek samping permanen
yang bermakna, antara lain lipodistrofi dan neuropati perifer yang
menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang menyebabkan kematian.
Berdasarkan kesepakatan dengan panel ahli, maka pemerintah
memutuskan sebagai berikut:
a. Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi
dan belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya
b. Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai efek
samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk diganti
setelah 6 bulan
c. Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka
sebagai obat substitusi gunakan TDF.
d. Pada saat sekarang penggunaan Stavudin (d4T) dianjurkan untuk
dikurangi karena banyaknya efek samping. Secara nasional dilakukan
penarikan secara bertahap (phasing out) dan mendatang tidak
menyediakan lagi d4T setelah stok nasional habis.

Tabel 2.13 Panduan lini pertamaa yang belum pernah mendapat terapi ARV
b) 3 NRTI (AZT + 3TC + TDF)
Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat
menggunakan obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:
a. Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin
b. Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV
c. Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI
Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3 bulan lamanya, setelah
itu pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini pertama karena supresi
virologisnya kurang kuat.

2.5.2. Pemilihan Obat ARV Lini Kedua


a) 2 NRTI + boosted-PI
Terapi lini kedua harus memakai Protease Inhibitor (PI) yang diperkuat
oleh Ritonavir (ritonavir-boosted) ditambah 2 NRTI, dengan pemilihan
Zidovudine (AZT) atau Tenofovir (TDF) tergantung dari apa yang
digunakan pada lini pertama dan 3TC. PI yang ada di Indonesia dan
dianjurkan digunakan adalah Lopinavir/ritonavir (LPV/r).
Penambahan (booster) dengan ritonavir ini dimaksudkan untuk
mengurangi dosis dari obat PI-nya karena kalau tanpa ritonavir maka
dosis yang diperlukan menjadi tinggi sekali.
b) TDF atau AZT + 3TC + LPV/r
Terapi ini merupakan paduan lini kedua yang direkomendasikan dan
disediakan secara gratis oleh pemerintah. Apabila pada lini pertama
menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3TC atau FTC)
sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. Apabila pada lini pertama
menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI
sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua.
Tabel 2.14 Lini kedua terapi ARV

Mengapa digunakan kombinasi obat ?

Menurut rekomendasi guideline di U.S terapi menggunakan obat


antriretroviral dimulai saat jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3. Dengan peningkatan
evidence yang mendukung manfaat klinis dan harga yang terjangkau dengan
memulai pada peningkatan jumlah CD4 yang lebih besar. Adanya kombinasi obat
aktif tinjauan sistematis yang besar terhadap penelitian observasional dan
beberapa percobaan klinis acak menunjukkan manfaat klinis terukur perawatan
dini telah dimulai, dimulai pada jumlah CD4≤ 500. Pada masa mendatang,
pengobatan mungkin bisa direkomendasikan bagi semua orang dewas dan anak-
anak yang terinfeksi. Selain itu kombinasi obat antiretroviral bisa mencegah
penularan dari individu ke individu lain. Meskipun kebanyakan terapi
antiretroviral digunakan untuk pengobatan kronis, terapi ini juga digunakan untuk
mencegah infeksi dalam pengaturan pasca paparan untuk mencegah penularan ibu
ke anak. Selain itu model epidemiologi menyebutkan bahwa kebanyakan laju
penularan menurun pada wilayah endemis dimana terapi antiretroviral banyak
digunakan.

Selain itu kombinasi terapi obat antiretroviral menimbulkan residu viremia


yang merupakan akibat dari pelepasan dari reservoir laten yang telah terbentuk
sebelumnya dan risiko pengembangan resistansi obat pada pasien yang diobati
tersebut dapat diabaikan. Penggunaan obat tunggal bisa menimbulkan bahaya
resistensi virus dalam waktu beberapa minggu. Hal ini disebabkan bukan karena
mutasi namun memberikan tekanan selektif yang diperlukan untuk mendorong
pertumbuhan resistansi obat terhadap virus yang timbul secara alami. Standar
pengobatan terkini yaitu menggunakan setidaknya menggunakan tiga obat secara
bersamaan selama masa pengobatan. Hasil yang diharapkan pada terapi awal pada
pasien yang belum di tangani sebelumnya yaitu undectable viral load (HIV RNA
plasma <50 copies/mL) dalam 24 minggu saat terapi dimulai. Goodman, L.,
Brunton, L., Chabner, B., & Knollmann, B. (2011)
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Pertanyaan dan Jawaban

1. Kapan obat-obat hepatitis digunakan? Bagaimana pertimbangannya?


 Peginterferon alfa-2a digunakan untuk terapi hepatitis B kronis dan
lebih disukai daripada interferon alfa. Penggunaan peginterferon alfa-2a
dan interferon alfa terbatas karena keberhasilan kurang dari 50% dan
sering terjadi kekambuhan. Terapi sebaiknya dihentikan jika tidak
terjadi perbaikan dalam waktu 3-4 bulan.
 Peginterferon alfa-2a dan interferon alfa dikontraindikasikan pada
keadaan decompensated liver disease, namun tetap dapat digunakan
dalam dosis rendah disertai dengan kewaspadaan yang tinggi.
 Lamivudin digunakan untuk terapi awal hepatitis B kronis. Obat ini
dapat digunakan pada pasien dengan decompensated liver disease. Jika
tidak ada penurunan efikasi obat, pemberian obat sebaiknya dilanjutkan
sampai dicapai serokonversi yang sesuai, dan merupakan terapi jangka
panjang. Namun pada terapi jangka panjang, sensitivitas virus hepatitis
B terhadap lamivudin dapat berkurang sehingga Adefovir dipivoksil
digunakan untuk terapi hepatitis B kronis. Obat ini efektif pada kondisi
hepatitis B kronis yang resisten terhadap lamivudin. Jika tidak ada
penurunan efikasi obat, pemberian obat sebaiknya dilanjutkan sampai
dicapai serokonversi yang sesuai dan merupakan terapi jangka panjang
untuk kasus decompensated liver disease atau sirosis.

Peginterferon alfa-2a merupakan terapi awal pilihan hepatitis B kronis.


Adefovir dipivoxil direkomendasikan sebagai terapi hepatitis B kronis jika:

 terapi dengan interferon alfa atau peginterferon alfa-2a tidak berhasil


 terjadi kekembuhan setelah terapi awal yang berhasil
 terapi dengan interferon alfa atau peg-interferon alfa-2a tidak dapat
ditoleransi atau dikontraindikasikan

Adefovir dipivoxil jangan diberikan sebelum dilakukan terapi


dengan lamivudin. Obat ini dapat digunakan tunggal atau dalam kombinasi
dengan lamivudin jika terapi dengan lamivudin menyebabkan resistensi virus
atau jika resistensi lamivudin sangat mungkin terjadi dan mengganggu hasil
terapi.

Sumber : http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-5-infeksi/54-infeksi-virus/543-
virus-hepatitis
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR HK.02.02 / MENKES / 523 / 2015 TENTANG FORMULARIUM
NASIONAL

2. Apa obat yang digunakan untuk terapi lini pertama pada pasien dewasa dan
baru terinfeksi HIV?

Paduan yang ditetapkan untuk lini pertama:

2 NRTI (Nucleosing Reverse Transcriptase Inhibitors) + 1 NNRTI (Non


Nucleosing Reverse Transcriptase Inhibitors).

Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini:

 Zidovudin (AZT) + Lamivudin (3TC) + Nevirapin (NVP) atau


 Zidovudin (AZT) + Lamivudin (3TC) + Efavirenz (EFV) atau
 Tenofovir (TDF) + Lamivudin (3TC) + Nevirapin (NVP) atau
 Tenofovir (TDF) + Lamivudin (3TC) + Efavirenz (EFV)

http://www.kalbemed.com/Portals/6/23_213Opini-Terapi%20Terkini%20HIV-
AIDS.pdf

http://www.kalbemed.com/Portals/6/1_31_222Praktis-
Saat%20Memulai%20Terapi%20Antiretroviral%20pada%20Pasien%20HIV-
AIDS.pdf
BAB 4 PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Antivirus merupakan zat kimia yang dapat merusak perkembangbiakan


virus dari sel hospes.. Antivirus dapat dikelompokkan berdasarkan kelompok
virus yang diserang, yaitu anti non retrovirus dan anti retrovirus.
Tujuan utama terapi antivirus adalah untuk menurunkan tingkat keparahan
penyakit, menurunkan kecepatan transmisi virus serta mencegah kerusakan oleh
virus ke organ viseral. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan obat
antivirus yaitu lamanya terapi, pemberian terapi tunggal atau kombinasi, interaksi
obat dan kemungkinan terjadinya resistensi.

4.2 Saran

Diharapkan agar makalah ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat


bagi pembaca, terutama mengenai patofisiologi dari HIV, hepatitis, dan herpes,
serta penanganan dan pengobatan penyakit tersebut menggunakan antivirus
sehingga mampu menentukan dan merekomendasikan terapi yang tepat pada
pasien. Apabila terdapat kesalahan dalam makalah ini, mohon dapat dimaafkan.
Kritik dan saran dari pembaca sangat berarti bagi kami.
DAFTAR PUSTAKA

Brunton, L., et al. 2011. Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of
Therapeutics. 12th Ed. New York: Mc Graw Hill Medical.

Chu,Edward.,Lee, James J. 2017. Review Adherence, Dosing, and Managing


Toxicities With Trifluridine/Tipiracil (TAS-102). Clinical Colorectal
Cancer.Elsivier

Dimmock, N., Easton, A., & Leppard, K. (2007). Introduction to modern virology.
Malden, MA: Blackwell Pub.

Goodman, L., Brunton, L., Chabner, B., & Knollmann, B. (2011). Goodman &
Gilman's pharmacological basis of therapeutics (12th ed.). New York:
McGraw-Hill. Pg: 1627.

Grossman, S., & Porth, C. (2014). Porth's pathophysiology (1st ed.). Philadelphia:
Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins. Page 509

Kementerian Kesehatan RI. (2011). Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi


HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa dan Remaja. Jakarta.

Kumar, Vinay, Cotran, and Robbins. (2013). Robbins Basic Pathology. 9th ed.
Philadelphia: PA Saunders.

Kumar, S. P., Lazar, M., Shanavas, M., Khan, S., & Suresh, K. V. (2016). Journal
of Oral and Maxillofacial Surgery , Medicine , and Pathology Pathogenesis
and life cycle of herpes simplex virus infection-stages of primary , latency
and recurrence. Journal of Oral and Maxillofacial Surgery, Medicine, and
Pathology, 28(4), 350–353. https://doi.org/10.1016/j.ajoms.2016.01.006

Prof. DR. Maksum Radji,M.biomed. (2010) Imunologi dan Virologi. Pt.Isfi


Penerbitan. Halaman 261-265

Anda mungkin juga menyukai