Anda di halaman 1dari 2

Tsunami aceh membangun mimpi baru

Di suatu desa di Kabupaten Aceh Tenggara hiduplah seorang anak dan kedua
org tuanya. Anak tersebut bernama Tono.
Pagi itu, Tono bermain di pinggir sawah kami. Ia memanjat pohon seri yang
kokoh dan rindang. Tono bermain sendirian sebab di ladang ini tidak ada anak
oranglain selain keluargaku. Tono, Ayah dan Ibu tinggal di belakang SD Inpres yang
menjadi sekolahku sejak kelas 3 SD. Kami pindah kesini sebab kata Ayah di sini
kesempatan mencari nafkah bagi orangtuaku lebih besar daripada di kampung
sebelumnya.
Bosan memanjat pohon aku bermain ayunan yang dibuat Ayah di dahan pohon
seri. Tono menghentakkan kaki ke tanah dan mengayunkan badan, semilir angin
menerbangkan rambutku yang hitam kemerahan khas anak-anak yang terlalu sering
bermain di teriknya matahari. Sesaat kemudian aku berhenti berayun dan merasa ada
yang aneh, bumi berayun!
Beruntung Tono yang tinggal dipinggiran provinsi Sumatera Utara yang
berbatasan langsung dengan Nanggroe Aceh Darussalam hanya terkena gempa yang
lumayan keras saja. Semua berlangsung begitu cepat, yang saya ingat banyak orang
baik yang turun tangan saat itu. Salah satunya adalah seorang pengusaha dan juga
pilantropis yang membuat sebuah yayasan untuk menampung anak-anak korban
bencana alam Aceh.
Tono terheran, lama-lama ayunannya semakin kuat. Tono kemudian berlari ke
Ibu, dan Ibu bilang itu gempa. Ya, hari itu Minggu, 26 Desember 2004 telah terjadi
Tsunami di sebagian besar wilayah Aceh. Beruntung Tono yang tinggal dipinggiran
provinsi Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Nanggroe Aceh
Darussalam hanya terkena gempa yang lumayan keras saja. Semua berlangsung
begitu cepat, yang saya ingat banyak orang baik yang turun tangan saat itu. Salah
satunya adalah seorang pengusaha dan juga pilantropis yang membuat sebuah yayasan
untuk menampung anak-anak korban bencana alam Aceh.
teman baru. Perasaanku saat itu sulit digambarkan, sebagai anak perempuan
umur 10 tahun ditinggal pertama kalinya oleh orangtua di tempat yang sangat asing.
Tono menangis setiap malam, saat mau tidur dan bahkan ketika teman lain bermain,
aku menyendiri dan menangis. Hal tersebut terjadi berminggu-minggu.
"Anak-anak Ummi, hari ini kita belajar bahasa Arab ya," seorang wanita
lembut yang adalah wali asrama kami berdiri di depan papan tulis sambil memegang
spidol. Kemudian beliau menuliskan tulisan Arab yang aku tidak tahu sama sekali
cara membacanya.
Ummi membaca kosakata bahasa Arab tersebut dan menyuruh kami
mengikutinya, kemudian secara acak memilih anak untuk membaca kata tersebut satu
per satu. Waktu itu aku sangat takut ditunjuk, sebab Tono malu hanya aku yang tidak
bisa membaca huruf hijaiyah. Teman-teman yang lain yang berasal dari Aceh hampir
semua sudah lancar dan familier dengan huruf-huruf tersebut.
Hal ini tidak bisa dibiarkan! Pikirku saat itu. Dengan berbekal Buku Iqro' dan
Buku Juz Amma aku mulai belajar huruf hijaiyah.
Setiap selesai Salat Maghrib kami memang ada kelompok mengaji yang
dibimbing oleh Umi dan Abi, namun menurutku itu tidak cukup untuk mengejar
ketertinggalanku yang sangat jauh dari teman-temanku. Setiap sepulang sekolah
umum, sebelum les sore untuk pelajaran agama, Tono belajar mengaji sendiri.
Sebelum tidur Tono juga belajar mengaji.
Sampai wali asramaku memberi predikat "the best student" waktu itu. Sebab
Tono dinilai sangat rajin belajar. Hal yang sangat membuatku bangga hingga saat ini
pada diriku adalah dalam waktu tiga bulan aku sudah bisa lancar mengaji Al-Qur'an
dan menyamai teman-temanku.
Kemudian bulan-bulan selanjutnya pada perayaan Isra' Mi'raj aku menjadi
Juara 1 dalam lomba Baca Al-Qur'an tingkat SD. Sungguh tak pernah terbayangkan
aku yang beberapa bulan sebelumnya belum mengenal satu huruf hijaiyah pun bisa
menjadi juara di lomba baca Alquran. Juara tersebut menjadi pintu gerbang juara-
juara selanjutnya dalam hidupku. Aku menjadi juara Pidato bahasa Arab, juara Pidato
bahasa Inggris, juara umum seangkatan, juara cerdas cermat, juara olimpiade, dan
banyak juara lainnya.
Kemenangan-kemenangan tersebut membuat Tono berani bermimpi yang
lebih besar. Tono yang awalnya hanya anak bungsu dari seorang petani miskin berani
bermimpi untuk bisa kuliah di Pulau Jawa. Sekarang Tono sudah lulus dari salah satu
universitas negeri terbaik di Indonesia melalui program beasiswa penuh. Kemudian
diterima sebagai management trainee di salah satu perusahaan retail terbesar di negeri
ini. Sesekali Tono merenungkan kembali, jika saja bencana Tsunami tidak pernah
terjadi, maka yayasan ini tidak pernah ada, Tono tidak akan punya kesempatan untuk
bisa mengenyam pendidikan tinggi.

Tono sebelum ini tidak pernah sekali pun membayangkan bahwa cerita hidup
Dia akan seindah ini, walau bukan berarti selalu mulus. kerikil-kerikil kecil dalam
perjalan hidupku sudah menjadi hal yang biasa. Tantangan demi tantangan sudah
berhasil Tono lewati hingga titik ini. Semua kepedihan selalu disembuhkan oleh
waktu, dan Tono masih berdiri hingga kini. Begitu banyak hikmah dan cerita yang
terjadi dari bencana Tsunami Aceh, salah satu hikmah tersebut menyentuh hidup
Tono membentuk diriku, dan menjadi jati diri Tono. Berkali-kali Tono mengingatkan
diri sendiri dengan berkata, "Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?"

Anda mungkin juga menyukai