Anda di halaman 1dari 12

MENYUCIKAN ALLAH DARI TEMPAT DAN MEMBUKTIKAN KEBENARAN

ADANYA ALLAH TANPA TEMPAT

Disusun untuk memenuhi tugas mandiri sebagai


pada Mata Kuliah
Metedologi Study Islam

Dosen Pembimbing:

Dr. Mukhlisah M.A

Disusun Oleh:

Darniati (221004005)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA ARAB


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) AR-RANIRY
BANDA ACEH
2022
MENYUCIKAN ALLAH DARI TEMPAT DAN MEMBUKTIKAN KEBENARAN
ADANYA ALLAH TANPA TEMPAT

Allah SWT maha kaya dari seluruh alam, yakni tidak membutuhkan kepada segala
sesuatu selain-Nya pada azal ( keberadaan tanpa permulaan) dan selamanya. Jadi, Allah tidak
membutuhkan tempat atau sesuatu untuk Ia tempati, juga tidak membutuhkan arah, karna Allah
tidaklah menyurupai sesuatupun diantara segala sesuatu yang ada. Allah bukan benda
kastif(benda dapat dipegang oleh tangan, seperti manusia,bumidan sebagainya), juga bukan
benda lathif ( benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti udara, roh dan sebagainya)
sedangkan bertempat adalah salah satu sifat dari benda kastif dan benda lathif. Jadi benda katsif
dan benda lathif bertempat disuatu arah dan tempat. Allah SWT berfirman :
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan, masing masing dan
semuanya beredar di dalam garis edarnya. “ (Q.S. al Anbiya : 33)
Jadi Allah SWT telah menetapkan untuk masing masing dari empat hal tersebut( malam,siang,
matahari, dan bulan.) bertempat pada tempat edarnya.
Cukup sebagai dalil dalam menyucikan Allah dari tempat ,ruang kosong dan arah,
firman Allah SWT :
“ Tidak ada sesuatupun yang menyupai Allah, dari satu segi maupun semua segi.” (Q.S. asy
Syura: 11)
Karena jika seandainya Allah bertempat, maka pasti Ia akan memiliki serupa serupa dan
dimensi; panjang, lebar dan kedalaman. Dan sesuatu yang memiliki dimensi, maka pasti ia
adalah sesuatu yang baharu yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dengan panjang,
lebar,dan kedalaman tersebut. Inilah dalil dari al Qur‟an
Sedangkan dalil dari hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhariyy, Ibn al-
Jarud dan al-Baihaqyy dengan sanad yang shahih bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Allah ada pada azal ( keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”.
Makna hadits diatas bahwa Allah ada pada azal. Dan pada azal tidak ada sesuatupu selain
Allahyang ada bersamanya. Pada azal belum ada air, udara,bumi,langit, kursiy,‟arasy, manusia,
jin dan malaikat. Begitu juga pada azal belum ada waktu, tempat dan arah. Jadi Allah ada
sebelum adanya sebelum adanya tempat tanpa tempat dan Dialah yang menciptakan tempat,
maka Ia tidak membutuhkan kepadanya. Inilah faedah yang bisa diambil dari hadits tersebut.
Albaihaqi dalam kitabnya “ al Asma‟ Wa ash- Shifat” mengatakan:
“ Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat dari Allah mengambil dalil dari sabda Nabi
SAW : “ Engkau ya Allah azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan keberadaan-Nya),

1
tidak ada sesuatu diatas-Mu, dan engkau al-Bathin (yang tidak dapat dibayangkan), tidak ad
sesuatu dibawah-Mu,”. Maka jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-
Nya berarti Allah tidak bertempat”
Hadits ini juga berisi bantahan terhadap orang yang menetapkan arah bagi Allah SWT.
Saidina Ali R.a berkata :
“Allah ada pada azal dan belum ada tempat, dan sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap
seperti semula (ada tanpa tempat) “ (diriwayatkan oleh Imam Abu Manshur al-Baqhdadi)
Asas tentang aqidah bukanlah berdasarkan kepada al wahm ( menyamakan apa yang tidak
dilihat dengan yang telah dilihat). Akan tetapi berdasarkan kepada apa yang ditunjkkan oleh
akal sehat yang merupakan saksi bagi syara‟. Dalam masalah ini yang sesuai dengn akal sehat
adalah bahwa semua yang memiliki ukuran, (al-mahdud ) pasti membutuhkan kepada yang
menjadikannya denga ukuran (hadd) tersebut, maka sesuatu yang demikian itu bukanlah Tuhan.
Jadi sebagaimana sah adanya Allah SWT tanpa tempat dan arah sebelum diciptakan
semua tempat dan arah, demikian pula sah adanya Allah setelah menciptakan semua tempat
tanpa tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian terhadap adanya Allah SWT sebagaimana
diklaim oleh golongan musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-
Nya) Wahhabiyyah. Mereka ini adalah kelompok yang menyerukan „aqidah tajsim ( keyakinan
Allah adalah jism) pada masa ini.
Hukum orang yang mengatakan : “ Allah ada di setiap tempat atau di semua tempat “
adalah di kafirkan, jika dia memahami dari perkataan tersebut bahwa Dzat Allah menyebar atau
bertempat di semua tempat. Sedangkan jika ia memahami dari perkataan tersebut bahwa Allah
SWT menguasai segala sesuatu, maka orang tersebut tidak kafir dan memang inilah maksud
banyak orang yang sering mengucapkan dua perkataan tersebut. Dan bagaimanapun wajib untuk
melarang orang yang sering mengucapkan dua perkataan tersebut, karena kedua perkataan
tersebut tidak berasal dari ulama salaf , akan tetapi muncul dari golongan mu‟tazilah yang
kemudian dipakai oleh kalangan yang tidak berilmu dari orang orang awam.
Kita mengangkat tangan kearah langit ketika berdo‟a karena langit adalah tempat
turunnya rahmat dan berkah, bukan karna Dzat Allah berada di langit. Sebagaimana kita
menghadap ke ka‟bah yang mulia ketika Sholat karna Allah memerintahkan kepada kita untuk
melakukannya, bukan karna ka‟bah memiliki keistimewaan dan kekhususan bahwa Allah
tinggal atau bertempat di sana.
Kafir hukumnya orang yang menyakini Allah SWT bertempat, atau menyakini bahwa Allah
adalah sesuatu seperti udara atau cahaya yang memenuhi suatu tempat, ruangan atau mesjid.
Bantahan terhadap orang orang yang menyakini bahwa Allah bertempat diarah atas dan

2
mereka mengatakan karena itulah tangan diangkat ketika berdo‟a, adalah hadits yang tsabit dari
Rasulullah SAW bahwa beliua melakukan shalat istisqa‟, yaitu meminta agar diturunkan hujan
dan beliau menjadikan bagian dalam kedua telapak tangannya ke bumi dan punggung telapak
tangannya ke langit. Juga dibantah dengan hadits bahwa rasulullah melarang orang yang shalat
untuk mendongakkan kepalanya ke langit. Seandainya Allah bertempat di arah atas
sebagaimana disangkakan oleh golongan musyabbihah niscaya Rasulullah tidak akan melarang
kita untuk mengangkat pandangan kita ketika sholat ke arah langit. Demikian juga dibantah
dengan hadits bahwa Rasulullah SAW mengangkat jari telunjuknya pada saat membaca kalimat
‫ إال هللا‬dalam at-tahiyat dan ditekuk sedikit. Maka seandainya keyakinan yang benar adalah
sebagaimana yang dikatakan oleh golongan musyabbihah, Rasulullah tidak akan menukuk jari
telunjuknya, sebaliknya akan mengangkatnya kearah langit dan semua ini adalah hadits yang
tsabit dikalangn ulama hadist. Jika demikian halnya, lalu apakah yang akan dilakukan oleh
golongan Musyabbihah dan Wahhabiyah ?
Kita menamakan mesjid mesjid dengan “baitullah” bukanlah karna Allah bertempat
didalamnya, akan tetapi karna mesjid adalah tempat yang disiapkan dan disediakn untuk
melaksanakan shalat dan beribadah kepada Allah, juga dikatakan tentang „arasy ia adalah benda
(jism) yang di sediakan oleh Allah untuk tempat thawafnya para malaikat, sebagaimana orang
orang mukmin di bumi bertawaf mengelilingo ka‟bah.
Demikian kafir hukumnya orang yang mengatakan: ( Allah menempati hati para wali-
Nya) Jika ia memahami dari kalimat tersebut keyakinan hulul ( keyakina bahwa Allah
menempati Makhluk-Nya.)
Maksud dari mi‟raj bukanlah bahwa Rasulullah mencapai suatu tempat dimana Allah
berada, kafir hukumnya orang yang menyakini itu. Maksud dari mi‟raj tidak lain adalah untuk
memuliakan Rasulullah SAW dengan diperlihatkan kepadanya keajaiban keajaiban yang ada di
alam atas, serta untuk mengagungkan kedudukan-Nya dan juga beliua melihat Dzat Allah yang
maha suci dengan hati-Nya tanpa Dzatnya berada di suatu tempat, sedangkan tempat berlaku
bagi Rasulullah SAW. Sedangkan firman Allah :
“ Kemudian (Jibril)mendekat, kemudian bertambah dekat lagi,maka jadilah dia dekat (pada
Muhammad sejarak) dua busur panah atau lebih dekat lagi “(Q.S. an Najm: 8-9)
Maka yang dimaksud dengan ayat ini adalah Jibril alaihi salam, yang Rasulullah pernah
melihatnya di makkah di sebuah tempat yang bernama Ajyad dan malaikat Jibril memiliki Enam
ratus sayap. Bentuk jibril yang begitu besar menutupi antara ufuk timur dan barat. Sebagaimana
Raslullah melihat Jibril pada kali lain di dekat Sidratul Muntaha Allah SWT berfirman:
“ Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli ) pada waktu

3
lain,( yaitu) di dekat Sidratul Muntaha” (Q.S. an-Najm: 13-14)
Sedangkan hadits riwayat Muslim bahwa ada seorang laki laki datang kepada Rasulullah
SAW kemudian bertanya kepada beliau tentang budak perempuannya, ia berkata : “Aku berkata
: wahai Rasulullah , tidakkah aku merdekakan ia saja? ” Rasulullah Menjawab : “
Datangkanlah ia kepadaku! ” Maka laki laki itupun mendatangkannya kepada Rasulullah,
Rasulullah pun bertanya kepada budak tersebut:
“ dimana Allah ? dia berkata “ di langit , siapa saya ? engkau adalah Rasulullah , Merdekakan
dia sesungguhnya dia adalah seorang yang beriman.
Maka Hadits ini tidak shahih karna dua alasan :
1. Ada Idlthirab ( diriwayatkan dengan beberapa versi yang saling bertentangan dan
tidakbisa di padukan ), karena hadits tersubut di riwayatkan dengan redaksi diatas, juga
dengan redaksi :
"‫ "هللا‬:‫َم ْه َرب ُِّك ؟ فَقانث‬

Dan dengan redaksi : ( ‫)اٌَهَ هللا‬, lalu budak tersebut menunjuk kelangit

Juga redaksi :

ُ ‫ "أَج َ ْش ٍَ ِذٌْهَ أَوِّ ًْ َر‬: ‫ قال‬, ‫ وَعَم‬:‫ قانث‬, ‫أَج َ ْش ٍَ ِذٌْهَ أ َ ْن الَ إِنًَ إِالَّ هللا‬
‫ َوعَم‬:‫س ُْ ُل هللا ِ" قانث‬
2. Bahwa riwayat )‫ (اٌه هللا‬bertentangan dengan prinsip prinsip dasar syari‟at , karena
diantara prinsip –prinsip dasar syari‟at adalah bahwa seseorang tidak dihukumi muslim
dengan mengatakan : )‫ “ ( هللا فً انسماء‬Allah di langit” karena perkataan tersebut sama
sama dikatakan oleh orang yahudi, Nasrani dan lain lainnya, Prinsip dasar yang sudah
populer dalam syariat Allah adalah sebagaimana di sebutkan dalam hadits Mutawatir :
“Aku ( Muhammad ) di perintahkan untuk memerangi manusia ( yang kafir) hingga
mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan
bahwasanya aku adalah utusan Allah.
Sedangkan diriwayatkan oleh imam Malik : " َ‫ "أَج َ ْش ٍَ ِذٌْه‬sesuai dengan prinsip prinsip syariat.
Jika dipertanyakan bagaimana mungkin riwayat Muslim : ‫ فً انسماء‬:‫ قانث‬,‫اٌَهَ هللا‬
Sampai akhir hadits tertolak, padahal hadits tersebut diriwayatkan oleh muslim dalam
kitabnya dan semua hadist tersebut diriwayatkan oleh muslim dalam kitabnya dan semua hadist
yang diriwayatkan oleh muslim dihukumi shahih, maka jawabannya adalah: ada beberapa hadits
riwayat muslim yang ditolak oleh para ulama hadist dan mereka sebutkan hadits –hadits
tersebut dalam kitab kitab mereka, seperti hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada
seorang laki laki :

“ sesungguhnya Ayahku dan ayahmu di neraka “


4
Juga hadits bahwa setiap muslim pada hari kiamat akan di beri tebusan untuknya dari kalangan
orang orang yahudi dan Nasrani. Demikian juga hadits Annas :
“Aku melakukan shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakr dan Umar Lalu mereka tidak
membaca “Bismillahirrahmanirrahim” hadits pertama dinilai dhaif oleh al-Hafizh as-Sayuthi,
hadits kedua ditolak oleh al Bukhari dan hadits ketiga dinilai dhaif (lemah) oleh asy –Syafiiyy
dan beberapa hafizh yang lain.
Jadi hadits al Jariah ini secara zhahirnya adalah bathil karena bertentangan dengan hadits
mutawatir yang telah di sebutkan, dan riwayat yang bertentangan dengan hadits mutawatir maka
ia adalah bathil Jika tidak menerima takwil. Kaidah ini disepakati oleh para ahli hadits dan para
ahli ushul. Berikut ini mereka mengatakan: “ makna (‫ )اٌَهَ هللا‬adalah pertanyaan tentang
pengagungan budak tersebut terhadap Allah, dan perkataannya )‫ ( فً انسماء‬maknanya alah “Allah
sangat tinggi derajat-Nya‟‟ sedangkan memahami hadits tersebut secara Zhahirnya bahwa Allah
menempati Langit adalah kebathilan yang tertolak, karena kaidah yang sudah baku dalam ilmu
Musthalahus al Hadts bahwa riwayat yang menyalahi hadits mutawatir adalah bathil jika tidak
menerima takwil. Zhahir.
Hadits tersebut jelas rusak, karena zhahirnya menunjukkan bahwa orang kafir jika mengatakan
“ Allah di langit” akan di hukumi sebagai mukmin.
Golongan Musyabbihah memahami riwayat Muslim tersebut secara Zhahirnya sehingga
mereka pun tersesat. Perkataan mereka : kami memaknai kalimat )‫ ( فً انسماء‬dengan makna
bahwa Allah berada di atas „arasy, tidaklah menyelamatkan mereka dari kesesatan. Kerena
dengan perkataan tersebut, mereka telah menetapkan serupa bagi Allah, Yaitu Kitab diatas
„arasy yang berisi tetang :

“Sesungguhnya tanda tanda rahmatku lebih banyak dari tanda –tanda murka Ku”
Mereka telah menetapkan keserpaan antara Allah dengan kitab tersebut, karena mereka telah
menjadikan Allah dan kitab tersebut keduanya menetap di atas „arays. Dengan begitu mereka
telah mendustakan firman Allah :
“ Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah dari satu segi maupun semua segi.” ( Q.S. asy
Syura: 11)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibn Hibban dengan Lafazh:
"‫انعزش‬
ِ ٌ ُْ ُ‫( َم ْزف‬terangkat diatas „arasy) sedangkan riwayat al Bukhari lafaznya adalah ‫ع‬
َ‫ع فَ ُْق‬ ٌ ُْ ُ‫َم ْزف‬
‫انعزش‬
ِ َ‫ ( فَ ُْق‬terletak diatas „arasy ). Sebagian orang memaknai kata َ‫( فَ ُْق‬diatas) dengan makna
‫( جَحث‬di bawah), pemaknaan ini tertolak dengan riwayat Ibn Hibban : “‫انعزش‬ ِ ٌ ُْ ُ‫‟‟ َم ْزف‬
َ‫ع فَ ُْق‬
(terangkat diatas „arasy), karna tidak sah menta‟wilkan َ‫ فَ ُْق‬dengan makna ‫ ج َحث‬dalam hadits ini
Kemudian konsekuensinya dari keyakinan mereka tersebut berarti mereka menjadikan
5
Allah berada diatas „arsy dengan jarak (Muhadz), dengan seukuran „arsy, lebih luas atau lebih
kecil dari „arsy, padahal setiap yang berlaku padanya ukuran adalah baharu dan membutuhkan
kepada yang menjadikannya dengan ukuran tersebut. „Arsy tidak memiliki keserupaan
(munasabah) tertentu dengan Allah sebagaimana Allah tidak memiliki keserupaan (munasabah)
tertentu dengan makhluk yang lain. Allah tidaklah memperoleh kemuliaan dengan sebab salah
satu makhluk-Nya dan Dia juga tidak mengambil manfaat sedikitpun dari makhluk-Nya.
Perkataan golongan Musyabbihah bahwa Allah duduk di atas „arsy adalah cacian
terhadap Allah, karena duduk termasuk sifat manusia, binatang, jin, dan serangga. Setiap sifat
makhluk, apapun itu, bila disifatkan kepada Allah maka itu adalah cacian terhadap Allah. Al
Hafizh al Faqih al-Lughawiyy Murtadla az-Zabidiyy berkata:
„‟Barang siapa yang menjadikan Allah mempunyai ukuran tertentu, maka ia telah kafir”
Yakni karena ia telah menjadikan Allah mempunyai ukuran, padahal ukuran adalah salah satu
hal yang meniscayakan kebaharuan. Akankah kita mengetahui bahwa matahari itu baharu dan
makhluk secara akal kecuali karena ia memiliki ukuran. Seandainya Allah SWT memiliki
ukuran, maka berarti Allah menyerupai matahari dalam hal sama-sama memiliki ukuran,
Seandainya demikian, maka Allah tidak berhak menjadi tuhan sebagaimana matahari tidak
berhak menjadi tuhan. Maka seandainya penyembah matahari menuntut dalil „aqliyy kepada
kelompok Musyabbihah bahwa Allah berhak dituhankan dan matahari tidak berhak dituhankan,
maka mereka tidak akan mempunyai dalil. Maksimal yang mereka dapat katakan adalah Allah
SWT berfirman:
Maknanya: “Allah adalah pencipta segala sesuatu” (Q.S. az-Zumar: 62)
Apabila mereka mengatakan hal itu kepada penyembah matahari, maka penyembah matahari
akan mengatakan kepada mereka: Aku tidak beriman dengan kitab kalian, berikanlah kepadaku
dalil „aqliyy bahwa matahari tidak berhak dipertuhankan, di sini mereka (musyabbihah) akan
terdiam dan terbungkam.
Jadi diatas „arasy tidak ada sesuatu yang hidup yang tinggal dan menempatinya yang ada diatas
„arasy adalah kitab yang bertuliskan di dalamnya:
ْ َ‫سبَق‬
َ ‫ث َغ‬
ًْ ‫ضب‬ َ ً‫إِ َّن َرحْ َمح‬
Yakni bahwa tanda tanda rahmat Allah lebih banyak dari tanda tanda murka Allah Para
malaikat adalah tanda tanda rahmat Allah, jumlah mereka lebih banyak dari tetes air hujan dan
daun daun pepohonan. Surga juga termasuk tanda tanda Rahmat Allah dan surga jauh lebih
besar dari neraka ribuan kali lipat.
Keberadaan kitab kitab tersebut diatas „arasy adalah tsabit (shahih) dalam hadits yang
diriwayatkan oleh al-Bukhari, an Nasa‟iyy dalam as Sunan al Kubra dan selain keduanya.

6
Redaksi riwayat Ibn Hibban adalah :
“ Ketika Allah menciptakan makhluk, Allah perintahkan al Qalam al A‟la untuk menulis di
sebuah kitab, tulisan yang merupakan janji Allah, kitab tersebut terangkat di atas „arasy :
Sesungguhnya tanda tanda rahmat Ku lebih banyak dari tanda tanda murka-Ku
Apabila ada seseorang yang berusaha menta‟wilkan kata َ‫( فَ ُْق‬diatas) dengan makna “
َ‫( د َُْن‬di bawah), maka dikatakan kepadanya: Manta‟wilkan nash itu tidak boleh dilakukan
kecuali berdasarkan dalil naqliyy yang tsabit atau dalil „aqliyyyang qathi‟( tidak terbantahkan)
dan dalam ( masalah ini ) mereka tidak mempunyai kedua dalil ini. Tidak ada dalil yang
mengharuskan dilakukan ta‟wil terhadap hadits ini. Apalagi sebagian ulama telah mengatakan
bahwa al Lauhuh al Mahfudh berada diatas „arasy karena memang tidak ada nash yang tegas
bahwa ia berada diatas „arasy atau di bawah „arasy. Sehingga permasalahan ini masih berkisar
pada kemungkinan, yakni kemungkinan bahwa al Lauhuh al Mahfudh di atas arsy dan
kemungkinan di bawah arsy. Menurut pendapat bahwa al-lawh al Mahfizh di atas arsy berarti
orang tersebut telah menjadikan al lawh al Mahfuzz bandingan bagi Allah, yakni Allah berada
di atas satu bagian dari arsy dengan jarak dan al lawh Mahfuz berada di atas bagian lain dari
arsy dengan jarak adalah salah satu siat makhluk. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa
kitab tersebut benar-benar berada di atas arsy dan tidak memungkinkan untuk dita‟wilkan lagi
adalah hadist yang diriwayatkab oleh an-Nasa‟iyy dalam as-Sunnah al Kubra.
Maknanya :” Sesungguhnya Allah telah perintahkan al Qalam dan A‟la untuk menulis sebuah
kitab dua ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi, kitab tersebut dimuliakan Allah
(dan ditempatkan) di atas arsy dan Allah menurunkan kitab itu dua ayat mengakhiri surat al-
Baqarah.
Dalam riwayat Muslim berbunyi :
‫فٍُ مُضُع عىذي‬
Maknanya: “kitab ini diletakkan di atas „arsy”.
Riwayat ini sangat jelas menujukkan bahwa kitab tersebutbenar-benar berada di atas „arsy dan
tidak memungkinkn untuk dita‟wilkan lagi.
Kata (‫ )عىذي‬bermakna tasyrif (untuk memuliakan), bukan untuk menetapkan
bertempatnya Allah di atas „arsy, karena kata (‫ )عىذي‬dipergunakan untuk selain makna tempat .
Allah swt berfirman dalam surat Hud (82-83).
Kata (‫ )عىذي‬di sini tidak menunjukkan selain makna bahwa hal itu terjadi dengan ilmu Allah.
Maknanya bukan bahwa baru itu berdekatan dengan Allah swt dalam hal tempat. Jadi,
barangsiapa berdalil hanya dengan kata (‫ )عىذي‬untuk menetapkan tempat bagi Allah dan
kedekatan (seara fisik) antara Allah dengan makhluk-Nya, maka orang itu tergolong orang yang

7
paling bodoh diantara orang-orang yang bodoh. Adakah orang yang berakal mengatakan bahwa
batu yang diturunkan oleh Allah terhadap orang-orang kafir itu turun dari „arsy kepada mereka
dan batu itu tertumpuk di sebuah tempat di samping Allah di atas „arsy pada mulanya?
Al Bukhairyy telah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
Maknanya: “Apabila salah seorang di antara kalian sedang berada dalam shalatnya, maka
sesungguhnya ia sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah sekali-kali ia meludah
di arah kiblatnya dan di arah kanannya karena rahmat Allah yang khusus bagi orang-orang yang
melakukan shalat berada di antara dirinya dan kiblatnya.”
Hadits ini lebi kuat sanadnya dari hadits al Jariyah.
Al Bukhairyy juga meriwayatkan hadits dari Abu Musa al Asy‟ariyy bahwa Rasulullah SAW
bersabda :
Maknanya: “ kasihanilah (ringankanlah terhadap) diri kalian, sesungguhnya kalian tidak berdoa
kepada Dzat yang tuli dan Dzat yang tersembunyi bagi-Nya sesuatupun, sesungguhnya kalian
berdoa kepada Dzat yang maha mendengar dan dekat (bukan secara fisik) dan dzat yang kalian
berdoa kepada-Nya itu lebih mengetahui tentang diri kalian dari diri kalian sendiri.”
Maka dikatakan kepada orang yan menentang : Apabila anda mengambil hadits al Jariya secara
zahirnya, dan kedua hadits di atas juga secara zahirnya maka batal-lah klaim dan keyakinan
anda bahwa Allah berada di langit dan apabila anda menta‟wilkan kedua hadits ini dan tidak
menta‟wilkan hadits al Jariyyah. Maka ini adalah ) ‫ (جحكم‬perkataan dengan tindakan yang
semaunya tanpa dalil.
Dengan ini berlakulah pada kalian firman Allah swt tentang orang-orang Yahudi :
(Q.S. al Baqarah :85)
Maknanya : “Apakah kamu beriman kepada sebagian al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap
sebagian yang lain?” (Q.S. al Baqarah :85)
Demikian pula, apa yang akan anda katakan tentang Firman Allah swt :
(Q.S. . al Baqarah : 115)
Apabila anda menta‟wilkannya, maka mengap anda tidak menta‟wilkan hadits al Jariyah?
Mujahid, murid Ibn „Abbas telh menafsirkan ayat ini dengan “kiblat Allah”. Beliau menafsirkan
“ ً‫ انُج‬dengan kiblat, yakni shalat sunah dalam perjalanan di atas hewan tunggangan.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidziyy, yaitu :
Maknanya : “ orang-orang yang Allah menyanyangi mereka, sayangilah orang yang ada di
bumi, maka yang dilangit akan menyanyangi kalian”..
Dalam riwayat lain,
Maknanya : “.... maka penduduk langit akan menyayangi kaliann”.

8
Riwayat kedua ini menafsirkan riwayat yang pertama, karena penafsiran terbaik adalah
penafsiran riwayat (al Warid) dengan riwayar (al Warid) yang lain sebagaimana ditegaskan oleh
al Hafizh al Iraqiyy dalam Alfiyyahnya :
‫َخٍز ما فسزجً بانُارد‬
Kemudian yang dimaksud dengan )‫ (اٌم انسماء‬, penduduk langit adalah para malaikat. Hal ini
dinyatakan oleh al Hafizh al Iraqiyy dalam karyanya al Amaliyy setelah menyebut hadits ini.
Pernyataan al Iraqiyy:
“Diawali dalil sabda Nabi (‫(اٌم انسماء‬, bahwa yang dimaksud dengan firman Allah )‫(مه فً انسماء‬
adalah para malaikat”.
Karena tidak dikatakan tentang Allah (‫(اٌم انسماء‬, penduduk langit. Kata ( ‫ ) مه‬bisa digunakan
untuk arti tunggal, juga bisa digunakan untuk arti jamak, maka tidak ada hujjah bagi mereka
dalam ayat ini. Dikatakan seperti ini juga tentang ayat yang setelahnya.
(Q.S. al-Mulk :17)
Kata ( ‫ ) مه‬dalam ayat ini juga berarti (‫(اٌم انسماء‬, penduduk langit. Karena Allah akan
menugaskan para malaikat terhadap orang-orang kafir, jika Allah berkehendak menimpakan
siksa-Nya di dunia terhadap mereka. Sebagaimana para malaikat yang ditugaskan di akhirat
untuk menimpakan siksa terhadap orang-orang kafir, karena mereka adalah para penjaga neraka.
Mereka juga akan menyeret sebagian dari neraka ke padang masyar agar orang-orang kafir
ketakutan dengan melihat sebagian dari neraka tersebut. Riwayat yang disebutkan oleh Hafizh
al Iraqiyy dalam karyanya al-Amaliyy tersebut redaksinya adalah :
‫انزاحمُن ٌزحمٍم انزحٍم ارحمُا اٌم األرض ٌزحمٍم أٌم انسماء‬
Kemudian seandainya Allah menempat langit seperti diklaim oleh sebagian orang, maka berarti
Allah berdesak-desakan dengan para malaikat dan itu mustahil. Karena ada hadits yang tsabit.
Maknanya : “ Di langit tidak ada tempat kosong seukuran empat jari dan dalam riwayat lain
“sejengkal” kecuali di sanaterdapat malaikat yang sedang berdiri, ruku‟ atay sujud” (H.R. at-
Tirmidziyy)
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhairyy dan Muslim dari Abu Sa‟id al
Khudriyy bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Maknanya : “ tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku adalah kepercayaan yang di langit,
datang kepadaku berita dari yang di langit, setiap pagi dan sore”.
Maka yang dimaksud dengan )‫ (مه فً انسماء‬adalah para malaikat juga. Apabila yang dimaksud
adalah Allah maka maknanya adalah yang tinggi sekali derajat-Nya.
Sedangkan hadits Zaynab binti Jahsy, istri Nabi SAW bahwa ia (zainab) berkata kepada
para istri Nabi yang lain :

9
‫سَجكه أٌا نٍكه َ سَجىً هللا مه فُق سبع سمُات‬
Kalian telah dinikahkan oleh keluarga kalian, sedangkan pernikahanku terlaksana dengan hanya
tercatat secara khusus di al Lawh al Mahfuzh (yaitu tanpa wali dan dua orang saksi).
Maknanya bahwa pernikaahan Nabi dengannya tercatat di al-Lawh al Mahfuzh (bukan
maknanya bahwa Allah bertempat di atas langit ke tujuh) dan ini adalah tulisan yang khusus
untuk Zainab, bukan tulisan yang umum. Tulisan yang umum untuk setiap orang. Jadi setiap
pernikahan yang terjadi sampai akhir dunia tercatat di lawh al Mahfuzh yang memang letaknya
di atas tujuh langit.
Sedangkan hadits yang di dalamnya disebutkan :
Maknanya :” Demi Dzat yang menguasai diriku, tidaklah seorang laki-laki mengajak istrinya
bersetubuh, kemudian ia menolak kecuali yang ada di langit marah terhadapnya”.
Maksudnya juga para malaikat dengan dalil riwayat kedua yang shahih dan merupakan riwayat
yang lebih masyhur dari riwayat di atas, yaitu :
‫نعىحٍا انمالئكة ححى جصبح‬
Maknanya : “maka para malaikat melaknatnya hingga ia berada di waktu pagi”.(H.R. Ibnu
Hibban dan lainnya).
Sedangkan hadits Abu ad-Darda‟ bahwa Nabi SAW bersabda:
‫ربىا انذي فً انسمائ جقذس اسمك‬
Hadits ini tidak shahih, melainkan dhaif sebagaimana dinilai oleh al Hafizh Ibn al Jawziy.
Seandainya hadits tersebut shahih maka maknanya seperti yang sudah lewat tentang hadits al
Jariyah.
Sedangkan hadits Jubayr bin Muth‟im dari Nabi SAW:
‫ان هللا عهى عزشًٍ فُق سمُاجً َ سمُاجً فُق أرضًٍ مثم انقبة‬
Maka al Bukhairy tidak memasukkan hadits tersebut dalam shahih-nya sehingga tidak ada
hujjah padanya. Juga dalam sanadnya terdapat seorang perawi dha‟if yang tidak bisa dijadikan
hujjah sebagaimana disebutkan oleh Ibn al Jawziyy dab lainnya.
Demikian juga apa yang diriwayatkan al Bukhariy dalam kitabnya Khalq Af‟al Ibad dariIbn
„Abbas bahwa beliau berkata :
‫نما كهم هللا مُسى كان وذاَؤي فً انسماء َ كان هللا فً انسماء‬
Ini juga tidak tsabit, maka tidak bisa dijadikan hujjah.
Sedangkan perkataan yang dinisbatkan kepada Imam Malik yaitu:
‫هللا فً انسماء َ عهمً فً كم مكان ال ٌخهُ مىً شئ‬
Maka ini juga tidak tsabit dari Malik. Abu Dawud tidak meriwayatkannya dengan sanadyang
bersambung kepada Malik dengan sanad yang shahih. Abu Dawud menyebutkan dalam

10
kitabnya al Masa‟il dan hanya sekadar meriwayatkan itu tidak berarti menetapkan bahwa
riwayat tersebut tsabit.

11

Anda mungkin juga menyukai