Anda di halaman 1dari 26

TUGAS AKHIR SEMESTER I

“SUKSESI LUMPUR LAPINDO”

OLEH :
Nama : Trisna Aulia Pohan
Kelas : XE.3

Guru Pembimbing : Lenny Ningsih, S.Pd, M.Si

SMA NEGERI 18 PALEMBANG


TAHUN AJARAN 2023/2024

KATA PENGANTAR
Puji syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karuma-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah dengan
judul "Lumpur Lapindo" Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu
tugas akhir semester ganjil saya, untuk itu saya mengucapkan terima kasih
kepada ibu Lenny Ningsih, S.Pd., M.Si kana telah memberikan tugas ini
kepada saya.

Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca dan


masyarakat pada umumnya. Di samping itu, makalah ini bertujuan untuk
menambah wawasan pembaca mengenai Dampak Bencana alam seperti
Fenomena Lumpur Lapindo, gejala-gejalanya dan lain sebagainya di
lingkungan sekitar kita.

Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini
masih ada kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan wawasan yang
kami miliki. Oleh kerena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
makalah ini.

Palembang, 8 November 2023

Penulis

DAFTAR ISI
SAMPUL……………………………………………………………………… i

KATA PENGANTAR………………………………………………………... ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang……..……………………………………………….... 1
B. Rumusan masalah……………………………………………………. 2
C. Tujuan………………………………………………………………..... 2
D. Manfaat……………………………………………………….……… 2

BAB II ISI

A. Sejarah Lapindo Brantas Inc….………………………………….…. 3


B. Kronologis Terjadinya Lumpur Lapindo………………………….. 4
C. Lokasi Lumpur Lapindo………....…………………………………... 5
D. Perkiraan Penyebab Kejedian….…………………………………… 5
E. Penyebab Semburan Lumpur Lapindo………………..……………. 11
F. Dampak Lumpur Lapindo…………...………………………………. 12
G. Isu-Isu Menonjol….………………………………………………….... 14
H. Upaya Penanggulangan Lumpur Lapindo………………………….. 18

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………………. 19
B. Saran……………………………………………………………..……. 19

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...... 20

LAMPIRAN…………………………………………………………………….
21
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas meliputi ribuan pulau -
pulau kecil maupun besar sehingga negara Indonesia disebut sebagai “Zamrud
Khatulistiwa”. Banyaknya kepulauan - kepulauan ini dapat memberikan variasi
budaya, adat-istiadat, bahasa pada setiap daerah atau kepulauan yang ada di
negara Indonesia. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang
merupakan sebagai bahasa nasional, sehingga negara Indonesia menjadi negara
kesatuan.

Begitupun dengan bervariasinya budaya, sumber daya alam yang ada pada
negara Indonesia pun bervariasi yang dapat dimanfaatkan sebagai pusat atau
sumber energi. Sumber energi yang untuk memenuhi segala kebutuhan pasar
global (untuk kebutuhan negara lain (eksport) maupun kebutuhan lokal atau
dalam negeri). Kepulauan-kepulauan di Indonesia sendiri banyak mengandung
sumber daya alam (SDA) yang meliputi gas, minyak bumi, logam, batubara,
dan lain-lain.

Sumber daya alam ini dapat bersifat menguntungkan dan merugikan. Jika
sumber daya alam ini disalahgunakan, maka sumber daya alam akan berakibat
fatal dan merugikan segala pihak, dan sebaliknya. Dan ini terjadi pada bencana
Lumpur Lapindo Brantas Sidoarjo-Jawa Timur. Sumber daya alam (minyak
bumi dan gas) yang terjadi pada kasus lumpur Lapindo Brantas Sidoarjo ini
bersifat merugikan yang dikarenakan adanya kesalahan prosedur saat
pengeboran gas dan minyak bumi..
Semburan lumpur panas di kabupaten Sidoarjo sampai saat ini belum juga
bisa teratasi. Semburan yang akhirnya membentuk kubangan lumpur panas ini
telah memporak-porandakan sumber-sumber penghidupan warga setempat dan
sekitarnya. Kompas edisi Senin (19/6/06), melaporkan, tak kurang 10 pabrik
harus tutup, dimana 90 hektar sawah dan pemukiman penduduk tak bisa
digunakan dan ditempati lagi, begitu pula dengan tambak-tambak bandeng,
belum lagi jalan tol Surabaya-Gempol yang harus ditutup karena semua
tergenang lumpur panas.

1.1 Rumusan Masalah


1. Apa yang menjadi penyebab terjadinya bencana lumpur lapindo?
2. Apa dampak yang diakibatkan oleh bencana lumpur lapindo pada
masyarakat dan aktivitas perekonomian di Jawa Timur?
3. Apa saja kandungan berbahaya yang terdapat dalam Lumpur Lapindo ?
4. Apa yang dilakukan pemerintah dan Lapindo Brantas Inc untuk
menyelesaikan permasalahan bencana lumpur lapindo?

1.2 Tujuan
1. Mengetahui apa yang menjadi penyebab terjadinya bencana lumpur
lapindo.
2. Mengetahui dampak yang diakibatkan oleh bencana lumpur lapindo pada
masyarakat dan aktivitas perekonomian di Jawa Timur
3. Mengetahui kandungan berbahaya di dalam Lumpur Lapindo
4. Mengetahui tindakan pemerintah dan Lapindo Brantas Inc untuk
menyelesaikan permasalahan bencana lumpur lapindo

1.3 Manfaat
Supaya masyarakat atau khalayak umum mengetahui dampak yang
ditimbulkan dari Bencana Lumpur Lapindo dan tersadar akan pentingnya
pencegahan awal yang dilakukan agar terhindar dari Bencana Lumpur Lapindo
yang menyerang Lingkungan pada daerah suatu permukiman masyarakat.
BAB II
ISI

2.1 Sejarah Lapindo Brantas Inc

Lapindo Brantas Inc. pertama didirikan pada tahun 1996, setelah proses
kepemilikan sahamnya diambil alih dari perusahaan yang berbasis di
Amerika Serikat, Huffington Corporation, yang saat itu telah menandatangani
perjanjian Production Sharing Contract (PSC) dengan Blok Brantas di Jawa
Timur untuk jangka waktu 30 tahun.

Dari tahun 1991 hingga 1996, LBI (Lapindo Brantas Inc.) melakukan
survei seismik dan kegiatan pemboran eksplorasi yang fokus pada
pengembangan Lapangan Gas Wunut, yang kemudian mulai berproduksi
pada 25 Januari 1999. LBI merupakan perusahaan swasta pertama di
Indonesia yang memproduksi gas di Lapangan Wunut.LBI kemudian
bergabung dengan PT Energi Mega Persada (EMP) di tahun 2004 sebelum
diambil alih oleh Minarak Labuan Co. Ltd. (MLC).

Lapindo Brantas, Inc (LBI) bergerak di bidang usaha eksplorasi dan


produksi migas di Indonesia yang beroperasi melalui skema Kontraktor
Kontrak Kerja Sama (KKKS) di blok Brantas, Jawa Timur. LBI melakukan
eksplorasi secara komersil di 2 wilayah kerja (WK) di darat dan 3 WK lepas
pantai dan saat ini total luas WK Blok Brantas secara keseluruhan adalah
3.042km2.
2.2 Kronologis Terjadinya Bencana Lumpur Lapindo

Semburan lumpur panas itu muncul pertama kalinya pada 29 Mei sekitar
pukul 05.00. Semburan ini terjadinya di areal persawahan Desa Siring,
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo sekitar 150 meter barat daya sumur
Banjar Panji 1 yang dikerjakan oleh Lapindo Brantas Inc.

Selama tiga bulan Lapindo Brantas Inc, melakukan pengeboran vertikal


untuk mencapai formasi geologi yang disebut Kujung pada kedalaman 10.300
kaki. Sampai semburan lumpur pertama itu, yang dalam dunia perminyakan
dan gas disebut blow out, telah dicapai kedalaman 9.297 kaki (sekitar 3,5
kilometer). Kedalaman ini dicapai pukul 13.00 dua hari sebelum blow out.

Pada pengeboran di kedalaman tersebut, lumpur berat masuk pada


lapisan, disebut loss, yang memungkinkan terjadinya tekanan tinggi dari
dalam sumur ke atas atau kick, antisipasinya adalah menarik pipa untuk
memasukkan casing yang merupakan pengaman sumur. Ketika penarikan
pipa hingga 4.241 kaki, pada 28 Mei, terjadi kick.

Penanggulangan ini adalah dengan penyuntikan lumpur ke dalam sumur.


Ternyata bor macet pada 3.580 kaki, dan upaya pengamanan lain dengan
disuntikan semen. Bahkan pada hari itu dilakukan fish, yakni pemutusan
mata bor dari pipa dengan diledakan. Namun kemudian yang terjadi adalah
munculnya semburan gas dan lumpur pada subuh esok harinya
2.3 Lokasi Lumpur Lapindo

Lokasi semburan lumpur ini berada di Porong, yakni kecamatan di


bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota
Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten
Pasuruan) di sebelah selatan. Lokasi pusat semburan hanya berjarak 150
meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi
gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator blok Brantas. Oleh karena itu,
hingga saat ini, semburan lumpur panas tersebut diduga diakibatkan aktivitas
pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas di sumur tersebut. Pihak
Lapindo Brantas sendiri punya dua teori soal asal semburan. Pertama,
semburan lumpur berhubungan dengan kesalahan prosedur dalam kegiatan
pengeboran. Kedua, semburan lumpur kebetulan terjadi bersamaan dengan
pengeboran akibat sesuatu yang belum diketahui. Namun bahan tulisan lebih
banyak yang condong kejadian itu adalah akibat pemboran.

Lokasi semburan lumpur tersebut merupakan kawasan pemukiman dan


di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.
Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya
Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur),
serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-
Banyuwangi,Indonesia

2.4 Perkiraan Penyebab Kejadian


Ada yang mengatakan bahwa lumpur Lapindo meluap karena kegiatan
PT Lapindo di dekat lokasi itu. Lapindo Brantas melakukan pengeboran
sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan
perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu
diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006,
setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.
Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki
(2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur
tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi
sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss
(hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi
tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo “sudah” memasang casing 30
inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing
(liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3580 kaki
(Lapindo Press Rilis ke wartawan, 15 Juni 2006). Ketika Lapindo mengebor
lapisan bumi dari kedalaman 3580 kaki sampai ke 9297 kaki, mereka
“belum” memasang casing 9-5/8 inchi yang rencananya akan dipasang tepat
di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung
(8500 kaki).
Diperkirakan bahwa Lapindo, sejak awal merencanakan kegiatan
pemboran ini dengan membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka
membuat prognosis dengan mengasumsikan zona pemboran mereka di zona
Rembang dengan target pemborannya adalah formasi Kujung. Padahal
mereka membor di zona Kendeng yang tidak ada formasi Kujung-nya.
Alhasil, mereka merencanakan memasang casing setelah menyentuh target
yaitu batu gamping formasi Kujung yang sebenarnya tidak ada. Selama
mengebor mereka tidak meng-casing lubang karena kegiatan pemboran
masih berlangsung. Selama pemboran, lumpur overpressure (bertekanan
tinggi) dari formasi Pucangan sudah berusaha menerobos (blow out) tetapi
dapat di atasi dengan pompa lumpurnya Lapindo (Medici).
Underground Blowout (semburan liar bawah tanah)

Setelah kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu


gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai, padahal
mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik sangat
porous (bolong-bolong). Akibatnya lumpur yang digunakan untuk melawan
lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke lubang di batu gamping formasi
Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo kehilangan/kehabisan lumpur
di permukaan.
Akibat dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan
berusaha menerobos ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi
terjepit sehingga dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran
dihentikan, perangkap Blow Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup &
segera dipompakan lumpur pemboran berdensitas berat ke dalam sumur
dengan tujuan mematikan kick. Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi
bertekanan tinggi sudah terlanjur naik ke atas sampai ke batas antara open-
hole dengan selubung di permukaan (surface casing) 13 3/8 inchi. Di
kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil &
kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa
sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan perjalanannya terus ke
atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup, maka fluida
formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih mudah
yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface
blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu
sendiri.
Perlu diketahui bahwa untuk operasi sebuah kegiatan pemboran MIGAS
di Indonesia setiap tindakan harus seijin BP MIGAS, semua dokumen
terutama tentang pemasangan casing sudah disetujui oleh BP MIGAS. Dalam
AAPG 2008 International Conference & Exhibition dilaksanakan di Cape
Town International Conference Center, Afrika Selatan, tanggal 26-29
Oktober 2008, merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh
American Association of Petroleum Geologists (AAPG) dihadiri oleh ahli
geologi seluruh dunia, menghasilan pendapat ahli: 3 (tiga) ahli dari Indonesia
mendukung GEMPA YOGYA sebagai penyebab, 42 (empat puluh dua) suara
ahli menyatakan PEMBORAN sebagai penyebab, 13 (tiga belas) suara ahli
menyatakan KOMBINASI Gempa dan Pemboran sebagai penyebab, dan 16
(enam belas suara) ahli menyatakan belum bisa mengambil opini. Laporan
audit Badan Pemeriksa Keuangan tertanggal 29 Mei 2007 juga menemukan
kesalahan-kesalahan teknis dalam proses pemboran.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli lumpur keluar disebabkan karena
adanya patahan, banyak tempat di sekitar Jawa Timur sampai ke Madura
seperti Gunung Anyar di Madura, "gunung" lumpur juga ada di Jawa Tengah
(Bleduk Kuwu). Fenomena ini sudah terjadi puluhan, bahkan ratusan tahun
yang lalu. Jumlah lumpur di Sidoarjo yang keluar dari perut bumi sekitar
100.000 meter kubik perhari, yang tidak mungkin keluar dari lubang hasil
"pemboran" selebar 30 cm. Dan akibat pendapat awal dari WALHI maupun
Meneg Lingkungan Hidup yang mengatakan lumpur di Sidoarjo ini
berbahaya, menyebabkan dibuat tanggul di atas tanah milik masyarakat, yang
karena volumenya besar sehingga tidak mungkin menampung seluruh luapan
lumpur dan akhirnya menjadikan lahan yang terkena dampak menjadi
semakin luas.
Berdasarkan pengujian toksikologis di 3 laboratorium terakreditasi
(Sucofindo, Corelab dan Bogorlab) diperoleh kesimpulan ternyata lumpur
Sidoarjo tidak termasuk limbah B3 baik untuk bahan anorganik seperti Arsen,
Barium, Boron, Timbal, Raksa, Sianida Bebas dan sebagainya, maupun untuk
untuk bahan organik seperti Trichlorophenol, Chlordane, Chlorobenzene,
Chloroform dan sebagainya.
Hasil pengujian LC50 terhadap larva udang windu (Penaeus monodon)
maupun organisme akuatik lainnya (Daphnia carinata) menunjukkan bahwa
lumpur tersebut tidak berbahaya dan tidak beracun bagi biota akuatik. LC50
adalah pengujian konsentrasi bahan pencemar yang dapat menyebabkan 50
persen hewan uji mati. Hasil pengujian membuktikan lumpur tersebut
memiliki nilai LC50 antara 56.623,93 sampai 70.631,75 ppm Suspended
Particulate Phase (SPP) terhadap larva udang windu dan di atas 1.000.000
ppm SPP terhadap Daphnia carinata. Sementara berdasarkan standar EDP-
BPPKA Pertamina, lumpur dikatakan beracun bila nilai LC50-nya sama atau
kurang dari 30.000 mg/L SPP. Di beberapa negara, pengujian semacam ini
memang diperlukan untuk membuang lumpur bekas pengeboran (used
drilling mud) ke dalam laut. Jika nilai LC50 lebih besar dari 30.000 Mg/L
SPP, lumpur dapat dibuang ke perairan.
Namun Simpulan dari Wahana Lingkungan Hidup menunjukkan hasil
berbeda, dari hasil penelitian Walhi dinyatakan bahwa secara umum pada
area luberan lumpur dan sungai Porong telah tercemar oleh logam kadmium
(Cd) dan timbal (Pb) yang cukup berbahaya bagi manusia apalagi kadarnya
jauh di atas ambang batas dan perlu sangat diwaspadai bahwa ternyata
lumpur Lapindo dan sedimen Sungai Porong kadar timbal-nya sangat besar
yaitu mencapai 146 kali dari ambang batas yang telah ditentukan. (lihat:
Logam Berat dan PAH Mengancam Korban Lapindo).
Berdasarkan PP No 41 tahun 1999 dijelaskan bahwa ambang batas PAH
yang diizinkan dalam lingkungan adalah 230 µg/m3 atau setara dengan 0,23
µg/m3 atau setara dengan 0,23 µg/kg. Maka dari hasil analisis di atas
diketahui bahwa seluruh titik pengambilan sampel lumpur Lapindo
mengandung kadar Chrysene di atas ambang batas. Sedangkan untuk
Benz(a)anthracene hanya terdeteksi di tiga titik yaitu titik 7,15 dan 20, yang
kesemunya di atas ambang batas.
Dengan fakta sedemikian rupa, yaitu kadar PAH (Chrysene dan
Benz(a)anthracene) dalam lumpur Lapindo yang mencapai 2000 kali di atas
ambang batas bahkan ada yang lebih dari itu. Maka bahaya adanya
kandungan PAH (Chrysene dan Benz(a)anthracene) tersebut telah
mengancam keberadaan manusia dan lingkungan:
 Bioakumulasi dalam jaringan lemak manusia (dan hewan)
 Kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker kulit jika kontak langsung
dengan kulit
 Kanker
 Permasalahan reproduksi
 Membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit
Dampak PAH dalam lumpur Lapindo bagi manusia dan lingkungan
mungkin tidak akan terlihat sekarang, melainkan nanti 5-10 tahun kedepan.
Dan yang paling berbahaya adalah keberadaan PAH ini akan mengancam
kehidupan anak cucu, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar
semburan lumpur Lapindo beserta ancaman terhadap kerusakan lingkungan.
Namun sampai Mei 2009 atau tiga tahun dari kejadian awal ternyata belum
terdapat adanya korban sakit atau meninggal akibat lumpur tersebut.
2.5 Penyebab Semburan Lumpur Lapindo
Setidaknya ada 3 aspek yang menyebabkan terjadinya semburan lumpur
panas tersebut:
 Pertama, adalah aspek teknis. Pada awal tragedi, Lapindo bersembunyi di
balik gempa tektonik Yogyakarta yang terjadi pada hari yang sama. Hal ini
didukung pendapat yang menyatakan bahwa pemicu semburan lumpur
(liquefaction) adalah gempa (sudden cyclic shock) Yogya yang
mengakibatkan kerusakan sedimen.
Namun, hal itu dibantah oleh para ahli, bahwa gempa di Yogyakarta yang
terjadi karena pergeseran Sesar Opak tidak berhubungan dengan Surabaya.
Argumen liquefaction lemah karena biasanya terjadi pada lapisan dangkal,
yakni pada sedimen yang ada pasir-lempung, bukan pada kedalaman 2.000-
6.000 kaki. Akhirnya, kesalahan prosedural yang mengemuka, seperti dugaan
lubang galian belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai sampul.
Hal itu diakui bahwa semburan gas Lapindo disebabkan pecahnya formasi
sumur pengeboran. Sesuai dengan desain awalnya, Lapindo harus sudah
memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada
1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2385 kaki dan casing 13-3/8 inchi
pada 3580 kaki. Ketika Lapindo mengebor lapisan bumi dari kedalaman 3580
kaki sampai ke 9297 kaki, mereka belum memasang casing 9-5/8 inci.
Akhirnya, sumur menembus satu zona bertekanan tinggi yang menyebabkan
kick, yaitu masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur. Sesuai dengan
prosedur standar, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow Out
Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur
pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick.
Namun, dari informasi di lapangan, BOP telah pecah sebelum terjadi
semburan lumpur. Jika hal itu benar maka telah terjadi kesalahan teknis
dalam pengeboran yang berarti pula telah terjadi kesalahan pada prosedur
operasional standar.
 Kedua, aspek ekonomis. Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk BP-MIGAS untuk
melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Saat ini Lapindo
memiliki 50% participating interest di wilayah Blok Brantas, Jawa Timur.
Dalam kasus semburan lumpur panas ini, Lapindo diduga “sengaja
menghemat” biaya operasional dengan tidak memasang casing. Jika dilihat
dari perspektif ekonomi, keputusan pemasangan casing berdampak pada
besarnya biaya yang dikeluarkan Lapindo. Medco, sebagai salah satu
pemegang saham wilayah Blok Brantas, dalam surat bernomor
MGT-088/JKT/06, telah memperingatkan Lapindo untuk memasang casing
(selubung bor) sesuai dengan standar operasional pengeboran minyak dan
gas. Namun, entah mengapa Lapindo sengaja tidak memasang casing,
sehingga pada saat terjadi underground blow out, lumpur yang ada di perut
bumi menyembur keluar tanpa kendali.
 Ketiga, aspek politis. Sebagai legalitas usaha (eksplorasi atau eksploitasi),
Lapindo telah mengantongi izin usaha kontrak bagi hasil/production sharing
contract (PSC) dari Pemerintah sebagai otoritas penguasa kedaulatan atas
sumberdaya alam. Poin inilah yang paling penting dalam kasus lumpur panas
ini. Pemerintah Indonesia telah lama menganut sistem ekonomi neoliberal
dalam berbagai kebijakannya. Alhasil, seluruh potensi tambang migas dan
sumberdaya alam (SDA) “dijual” kepada swasta/individu (corporate based).
Orientasi profit an sich yang menjadi paradigma korporasi menjadikan
manajemen korporasi buta akan hal-hal lain yang menyangkut kelestarian
lingkungan, peningkatan taraf hidup rakyat, bahkan hingga bencana
ekosistem. Penjualan aset-aset bangsa oleh pemerintahnya sendiri tidak
terlepas dari persoalan kepemilikan. Dalam perspektif kapitalisme dan
ekonomi neoliberal seperti di atas, isu privatisasilah yang mendominasi.

2.6 Dampak Lumpur Lapindo


Semburan lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat
sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian, diantaranya :
 Lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Semula hanya
menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6 meter, yang membuat
dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta rusaknya areal
pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan dan
Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini
telah menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon,
dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari
8.200 jiwa dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit
rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
 Lahan dan ternak yang tercatat terkena dampak lumpur hingga Agustus
2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha di Renokenongo, Jatirejo dan
Kedungcangkring; lahan padi seluas 172,39 ha di Siring, Renokenongo,
Jatirejo, Kedungbendo, Sentul, Besuki Jabon dan Pejarakan Jabon; serta
1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.
 Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi
dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja
yang terkena dampak lumpur ini.
 Empat kantor pemerintah juga tak berfungsi dan para pegawai juga
terancam tak bekerja.
 Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong,
serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan
telepon)
 Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak
sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo
480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7
sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik
15, masjid dan musala 15 unit.
 Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal
persawahan.
 Pihak Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo
Brantas, mengaku telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar)
untuk dana darurat penanggulangan lumpur.
 Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air
milik PDAM Surabaya patah.
 Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena
tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam.
 Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak
ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu
melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong.
 Tidak kurang 600 hektar lahan terendam.
 Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di
empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.
 Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur
transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota
lain di bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas
produksi di kawasan Ngoro (Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini
merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

2.7 Isu-Isu Menonjol


Aspek Lingkungan :
Menurut Pasal 33 Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak dapat dilaksanakan
di wilayah dekat rumah tinggal, dekat bangunan umum dan wilayah pabrik.
Sementara, lokasi sumur Banjar Panji 1 berada 600 meter dari permukiman
warga. Namun pemerintah daerah justru meloloskan izin Upaya Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) berikut
turunan izin lainnya terhadap kegiatan usaha ini. Seharusnya dalam dokumen
UKL/UPL tersebut, sudah diperkirakan bagaimana kondisi geografis wilayah

7
tersebut dan desain (pengeboran) apa yang seharusnya dirancang untuk
mengahadapi situasi tersebut. Faktanya, pemerintah dan Lapindo justru
menutup mata dengan kondisi tersebut. Seolah-olah hal tersebut terjadi
karena bencana alam dan Lapindo lepas dari tanggung jawab.
Upaya penanganan (pasca semburan) yang dilakukan selama ini justru
jauh dari aspek perlindungan lingkungan. Selain itu, aroma yang timbul dari
luapan lumpur yang berdampak pusing dan mual turut hadir dalam peristiwa
tersebut. Dengan bergeraknya angin, aroma tersebut dapat dirasakan lebih
dari 2 km dari wilayah semburan. Tentunya, tidak adanya perencanaan yang
komprehensif menjadi salah satu penyebab.
Hal yang paling penting adalah isi dari Peraturan Presiden No.14 tahun
2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang tidak
memasukkan deputi bidang yang menangani secara khusus pemulihan dan
pengawasan serta perlindungan lingkungan hidup. Padahal, upaya pemulihan
dan pengawasan terhadap lingkungan menjadi faktor penting untuk menilai
dampak lingkungan yang akan terjadi.

Aspek Ekonomi :
Kajian dampak kerusakan dan kerugian akibat lumpur Lapindo di
Sidoarjo yang dilakukan Bappenas dengan melibatkan Universitas Brawijaya
(Unibraw) Malang, Jawa Timur, memperkirakan kerugian total mencapai
Rp27,4 triliun selama sembilan bulan terakhir, yang terdiri atas kerugian
langsung sebesar Rp11,0 triliun dan kerugian tidak langsung Rp16,4 triliun.
Laporan awal penilaian kerusakan dan kerugian akibat bencana semburan
lumpur panas di Sidoarjo yang diperoleh ANTARA News, Rabu (10/4),
menyebutkan bahwa angka kerugian itu berpotensi meningkat menjadi
Rp44,7 triliun, sedangkan akibat potensi kenaikan kerugian dampak tidak
langsung menjadi Rp33,7 triliun.
Aspek lain yang seharusnya menjadi catatan adalah pemberian ganti rugi
korban luapan lumpur. Terminologi yang seharusnya muncul sebelum
dilakukan pemberian ganti rugi adalah konsep dasar penguasaan dan
pengusahaan usaha minyak dan gas bumi yang diatur dalam Pasal 4 UU
No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pasal tersebut
menyebutkan bahwa minyak dan gas bumi merupakan kekayaan nasional
yang dikuasai oleh negara dan pemerintah sebagai pemegang kuasa
pertambangan. Artinya, dalam proses pemberian ganti rugi tersebut, peran
negara tidak bisa dilepaskan dengan terdapatnya kandungan sumber daya
alam di dalamnya. Fakta yang terjadi saat ini, pemberian ganti rugi dilakukan
dengan mekanisme jual beli dan dilakukan antara pihak Lapindo, dalam hal
ini ditangani oleh PT Minarak Lapindo Jaya dengan warga korban. Praktis
secara hukum hak atas tanah dan bangunan tersebut menjadi milik Lapindo
Brantas.
Bagaimanapun pengambilalihan tanah merupakan perbuatan hukum
yang berakibat terhadap hilangnya hak-hak seseorang yang bersifat fisik
maupun nonfisik, dan hilangnya harta benda untuk sementara waktu atau
selama-lamanya. Namun, yang sering dilupakan selama ini adalah interpretasi
asas fungsi sosial hak atas tanah. Selain hak atas tanah harus digunakan
sesuai dengan sifat dan tujuan haknya, juga berarti bahwa harus terdapat
keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum. Isu
sentral dalam pengambilalihan hak atas tanah adalah pemberian ganti
kerugian sebagai bukti terhadap pengakuan, penghormatan, dan perlindungan
HAM. Angin reformasi yang menerpa segala bidang juga berimbas pada
kebijakan tentang pengambilalihan tanah. Artinya, pengambilalihan tanah
harus dilakukan dengan menjunjung tinggi HAM. Peran negara/pemerintah
yang sentralistik seharusnya sudah bergeser ke arah pemberian kesempatan
yang lebih besar kepada masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam
perencanaan, pelaksanaan serta pengawasan kegiatan yang menyangkut
kepentingan publik.
Aspek Sosial :
Dalam penanganan dampak sosial, pemerintah melakukan, antara lain,
meminta untuk menuntaskan pembayaran uang muka cash and carry 20
persen kepada korban di empat desa (Siring, Jatirejo, Kedungbendo, dan
Renokenongo) yang masuk dalam peta dampak lumpur 4 Desember 2006.
Setelah itu menuntaskan pembayaran kepada seluruh warga yang masuk peta
terdampak lumpur 22 Maret 2007 (warga Perum TAS I, Desa Gempolsari,
Kalitengah, sebagian Kedungbendo).
LBI juga diminta menyiapkan dana simpanan di-escrow account Rp 100
miliar tiap minggunya untuk pembayaran uang muka 20 persen setelah proses
verifikasi, sedang 80 persen sisanya akan dibayarkan sebulan sebelum masa
kontrak dua tahun habis.
Dampak sosial juga tak kalah parah. Warga Desa Renokenongo yang
rumahnya terkena semburan lumpur panas masih banyak tinggal di
pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Sekitar 500 keluarga tinggal di
bangunan kios pasar. Pertumbuhan kejiwaan dan sosial anak-anak yang
tinggal di penampungan itu dikhawatirkan terganggu. Mereka, 900-an warga
Desa Renokenongo, hanya menanti tanggung jawab Lapindo Brantas Inc.

Aspek Hukum :
Pada 27 November 2007, Pengadilan Jakarta Selatan menolak gugatan
legal standing Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap pihak-pihak yang
dinilai bertanggung jawab atas menyemburnya lumpur panas. Hakim
menyatakan munculnya lumpur akibat fenomena alam. Pengadilan Jakarta
Pusat menolak gugatan korban yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI). Hakim beralasan, Lapindo sudah mengeluarkan
banyak dana untuk mengatasi semburan lumpur dan membangun tanggul.
Terakhir, Mahkamah Agung juga menolak permohonan uji materi atas
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007.
2.8 Upaya Penanggulangan Lumpur lapindo

Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi luapan lumpur lapindo


adalah dengan membangun tanggul desekitar luapan lumpur panas itu.
Namun tanggul yang dibangun bisa sewaktu-waktu jebol karena lumpur
setiap hari terus meluap naik. Hingga akhirnya direncanakan akan
membangun beberapa waduk untuk membendung lumpur tersebut. Namun
rencana tersebut batal tanpa sebab yang jelas.
Ada beberapa pihak yang mengatakan bahwa luapan lumpur bisa diatasi
dengan melakukan beberapa skenario, namun hingga 2009 luapan tidak bisa
dihentikan yang artinya luapan ini adalah fenomena alam yang akan susah
ditanggulangi tanpa ijin Tuhan.
Beberapa skenario yang dikatakan diatas antara lain :
1. Menggunakan suatu sistem yang disebut Snubbing Unit yaitu sistem
peralatan bertenaga hidraulik yang umumnya digunakan untuk pekerjaan di
dalam sumur yang sudah ada. Rencananya Snubbing Unit digunakan untuk
mencapai rangkaian mata bor yang tertinggal didalam sumur, jika mata bor
ditemukan maka bor tersebut akan didorong masuk kedalam sumur lalu dasar
sumur akan dututp dengan semen dan lumpur berat. Tetapi rencana ini gagal
karena bor gagal didorong masuk kedalam sumur.
2. Rencana pengeboran miring menghindari mata bor yang
tertinggal.Namun rencana ini juga gagal hingga akhirnya sumur BPJ-1
ditutup secara permanen.
3. Pembuatan sumur-sumur baru di sekitar sumur BPJ-1. Ada tiga
sumur yang dibangun, yaitu sumur pertama dibangun sekitar 500 meter barat
daya sumur BPJ-1, sumur kedua dibangun sekitar 500 meter barat laut sumur
BPJ-1, dan sumur ketiga dibangun sekitar utara timur laut dari sumur BPJ-1.
Sumur-sumur tersebut digunakan untuk mengepung retakan-retakan tempat
keluarnya lumpur. Rencana ini gagal karena bermasalah dengan biaya yang
begitu mahal dan memakan waktu .
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sumber daya alam (minyak bumi dan gas) yang terjadi pada kasus lumpur
Lapindo Brantas Sidoarjo ini bersifat merugikan yang dikarenakan adanya
kesalahan prosedur saat pengeboran gas dan minyak bumi.

PenyebabadanyasemburanlumpurLapindoadalahadanyakesalahanprosedur
untukmelakukanpengeboransumurBanjarPanjipadaawalMaret2006.Diperkiraka
nbahwaLapindo,sejakawalmerencanakankegiatanpemboraninidenganmembuatp
rognosispengeboranyangsalah.Merekamembuatprognosisdenganmengasumsika
nzonapemboranmerekadizonaRembangdengantargetpemborannyaadalahformas
iKujung.PadahalmerekamembordizonaKendengyangtidakadaformasi ujungnya

Luapan Lumpur Lapindo yang sampai saat ini sudah ±8 tahun sejak 29
Mei 2006 menunjukkan bahwa manusia telah lalai dan terlalu meremehkan
atas alam. Akibat luapan tersebut manusia juga yang rugi. Banyak dampak
yang ditimbulkan seperti dampak sosial yang meliputi perekonomian di Jawa
Timur, kesehatan, dan pendidikan serta pencemaran lingkungan.
Namun dampak-dampak yang timbul sampai saat ini juga tak kunjung
terselesaikan, bahkan luapan lumpur semakin hari semakin bertambah.

3.2 Saran

Kami menyadari laporan ini banyak kekurangan dan jauh dari


kesempurnaan. Kami mengharapkan adanya kritik dan saran untuk
menyempurnakan laporan ini agar dapat lebih baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

http://novenanto.wordpress.com/2010/07/17/kasus-lapindo-keterbukaan-
informasi-publik-dan-peran-media-massa/

http://muradi.wordpress.com/2007/06/15/persfektif-keamanan-insani-dan-
dampak-sosial-lumpur-panas-sidoarjo/

http://www.setkab.go.id/artikel-4238-kasus-lumpur-lapindo-sejauh-mana-
tanggung-jawab-pemerintah-dan-swasta.html
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai