Arca kecil Merankhre Mentuhotep VI, seorang raja kecil dari Wangsa Keenam Belas,
memerintah atas wilayah kekuasaan Thebes ca. 1585 SM.
Periode Antara Kedua merupakan kurun waktu dalam sejarah Mesir Kuno di antara akhir Zaman Kerajaan
Pertengahan dan awal Zaman Kerajaan Baru tatkala negeri itu sekali lagi tercerai-berai. Zaman ini dikenal
sebagai zaman ketika bangsa Hyksos (salah satu suku di Asia) menunjukkan keberadaannya di Mesir. Tahun-
tahun pemerintahan raja-raja bangsa Hyksos inilah yang merupakan masa kekuasaan Wangsa Kelima Belas.
Wangsa Ketiga Belas terbukti tidak mampu mempertahankan keutuhan wilayah Mesir yang begitu luas,
sehingga sebuah keluarga penguasa provinsi berkebangsaan Kanaan yang berlokasi di kawasan rawa-rawa di
sebelah timur muara di Avaris melepaskan diri dari pemerintah pusat serta membentuk Wangsa Keempat Belas.
Besar kemungkinan perpecahan wilayah Mesir terjadi tak lama sesudah berkuasanya raja-raja perkasa
dari Wangsa Ketiga Belas, Neferhotep I dan Sobekhotep IV sekitar 1720 SM.[17][18] Jika Wangsa Keempat Belas
berkebangsaan Kanaan, maka bangsa Hyksos pertama kali muncul dalam sejarah Mesir sekitar 1650 SM tatkala
mereka mengambil alih kendali atas kota Avaris dan bergegas ke selatan menuju Memphis, dan dengan
demikian mengakhiri masa kekuasaan Wangsa Ketiga Belas dan Wangsa Keempat Belas. Rangkuman riwayat-
riwayat tradisional mengenai "invasi" bangsa Hyksos atas Mesir terdapat dalam Aegyptiaca karya Manetho,
yang menulis bahwa pada masa itu bangsa Hyksos menguasai Mesir di bawah pimpinan Salitis, pendiri Wangsa
Kelima Belas. Meskipun demikian, sekarang ini telah muncul teori baru yang mendapat banyak dukungan bahwa
sesungguhnya yang terjadi hanyalah migrasi sederhana yang melibatkan sedikit atau tanpa kekerasan sama
sekali.[19] Menurut teori ini, para penguasa Mesir dari Wangsa Ketiga Belas dan Wangsa Keempat Belas tidak
sanggup membendung masuknya para pendatang dari kawasan Levant setelah meninggalkan kerajaan-
kerajaan mereka yang tengah dibelit berbagai permasalahan internal yang kemungkinan besar juga meliputi
bencana kelaparan dan wabah penyakit.[20] Baik dengan kekuatan senjata maupun secara damai, melemahnya
kerajaan-kerajaan yang dikuasai Wangsa Ketiga Belas dan Wangsa Keempat Belas sudah cukup untuk
menjelaskan mengapa kedua wangsa itu lekas jatuh seiring bangkitnya kekuasaan bangsa Hyksos.
Para penguasa dan petinggi yang berkebangsaan Hyksos berkuasa di daerah muara timur Sungai Nil bersama-
sama dengan para bawahan mereka yang berkebangsaan Mesir. Para penguasa Hyksos dari Wangsa Kelima
Belas menetapkan Memphis sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan mereka, serta menjadikan Avaris sebagai
tempat tinggal mereka selama musim panas. Kerajaan bangsa Hyksos ini berpusat di bagian timur Delta Nil dan
di Mesir tengah tetapi dengan gigih mereka menerobos ke selatan untuk merebut kendali atas wilayah tengah
dan wilayah hulu negeri Mesir. Kira-kira bersamaan waktunya dengan kejatuhan Memphis ke tangan bangsa
Hyksos, keluarga Mesir yang menguasai Thebes menyatakan kemerdekaannya dan menjadikan dirinya
sebagai Wangsa Keenam Belas. Ada pula keluarga penguasa lain di Mesir tengah yang melakukan hal yang
sama, yakni memanfaatkan kekosongan pemerintahan akibat keruntuhan Wangsa Ketiga Belas untuk
membentuk wangsa baru. Wangsa yang berumur pendek ini dikenal sebagai Wangsa Abydos.[21]
Sekitar 1600 SM bangsa Hyksos sudah berhasil bergerak ke selatan memasuki Mesir tengah, menyingkirkan
Wangsa Abydos, dan secara langsung menentang Wangsa Keenam Belas. Wangsa ini terbukti tidak mampu
bertahan dan Thebes pun jatuh ke tangan bangsa Hyksos untuk suatu masa yang singkat sekitar 1580 SM.
[21]
Bangsa Hyksos bergegas mundur ke utara sehingga Thebes kembali menikmati sedikit kemerdekaan di
bawah kepemimpinan Wangsa Ketujuh Belas. Semenjak itu, tampaknya hubungan-hubungan bangsa Hyksos
dengan kawasan selatan sebagian besar bersifat komersial, meskipun tampaknya para penguasa Thebes
mengakui kekuasaan raja-raja Hyksos dan sangat mungkin pula mempersembahkan upeti kepada mereka
selama beberapa waktu.
Wangsa Ketujuh Belas memperjuangkan kemerdekaan Mesir dan kelak memimpin perang pembebasan yang
menghalau bangsa Hyksos kembali ke Asia. Dua raja terakhir dari wangsa ini adalah Tao II, Sang
Pemberani dan Kamose. Ahmose I merampungkan penaklukan serta pengusiran bangsa Hyksos dari daerah
muara Sungai Nil, memulihkan kekuasaan Thebes atas seluruh tanah Mesir, dan berhasil menegakkan kembali
kekuasaan Mesir atas wilayah-wilayah bekas jajahannya di Nubia dan Kanaan.[22] Masa pemerintahannya
menandai permulaan masa kekuasaan Wangsa Kedelapan Belas dan permulaan Zaman Kerajaan Baru.
2/2
Wangsa Kesembilan Belas[sunting | sunting sumber]
Wangsa ke-25
Setelah Ramesses XI mangkat, penggantinya Smendes memerintah dari kota Tanis di utara, sementara Imam
Besar Dewa Amun di Thebes secara efektif berkuasa di selatan meskipun masih mengakui Smendes sebagai
Raja.[26] Pada kenyataannya, terbelahnya kekuasaan ini tidaklah seberapa penting karena baik imam besar
maupun firaun berasal dari satu keluarga yang sama. Piankh, memegang kendali atas Mesir Hulu, memerintah
dari Thebes, dengan batas utara daerah kekuasaan yang berakhir di Al-Hibah. (Imam Besar Herihor meninggal
dunia mendahului Ramesses XI, namun semasa hidupnya ia adalah seorang pemimpin yang berkuasa penuh
dalam segala hal kecuali dalam hal kemandirian, menjelang akhir masa pemerintahan raja.) Negeri Mesir sekali
lagi terbagi dua dengan para imam yang memerintah dari Thebes dan para firaun yang memerintah dari Tanis.
2/2
Tidak ada yang luar biasa dari masa pemerintahan mereka, dan mereka pun dilengserkan tanpa banyak gejolak
oleh para raja berkebangsaan Libya dari Wangsa Kedua Puluh Dua.
Hubungan Mesir dengan Libya sudah lama terjalin, dan raja pertama wangsa baru ini, Shoshenq I, adalah orang
Libya dari puak Meshwesh, yang mengabdi sebagai panglima bala tentara Mesir pada masa pemerintahan
pemimpin terakhir dari Wangsa Kedua Puluh Satu, Psusennes II. Ia mempersatukan Mesir, mengendalikan
para rohaniwan Dewa Amun dengan cara menjadikan puteranya sendiri sebagai pemangku jabatan Imam Besar
Dewa Amun yang sebelumnya diwariskan turun-temurun. Sedikit dan tidak lengkapnya keterangan yang
terdapat dalam peninggalan-peninggalan tertulis dari zaman ini menimbulkan dugaan bahwa zaman ini dipenuhi
pergolakan. Tampaknya ada banyak kelompok pembangkang yang akhirnya menciptakan Wangsa Kedua Puluh
Tiga. Wangsa baru ini memerintah pada waktu yang bersamaan dengan masa pemerintahan raja-raja terakhir
Wangsa Kedua Puluh Dua. Mesir dipersatukan kembali oleh Wangsa Kedua Puluh Dua yang didirikan
oleh Shoshenq I pada 945 SM (atau 943 SM), keturunan pendatang Meshwesh dari Libya Kuno. Penyatuan
kembali Mesir menjadikan negeri ini tenteram selama satu abad. Setelah berakhirnya masa
pemerintahan Osorkon II, Mesir kembali terbagi dua dengan Shoshenq III dari Wangsa Kedua Puluh Dua
memegang kendali atas Mesir Hilir sekitar 818 SM sementara Takelot II dan puteranya (kelak menjadi Osorkon
III) memerintah kawasan tengah Mesir dan Mesir Hulu.
Setelah Mesir undur dari Nubia pada akhir Zaman Kerajaan Baru, sebuah wangsa pribumi mengambil alih
kendali atas Nubia. Di bawah kekuasaan Raja Piye, orang Nubia pendiri Wangsa Kedua Puluh Lima, bangsa
Nubia menyerbu ke utara dengan maksud menghancurkan lawan-lawan Libya mereka yang memerintah di
daerah muara. Piye berhasil merebut kekuasaan sejauh Memphis. Lawannya Tefnakht akhirnya bertekuk lutut
namun diizinkan tetap berkuasa di Mesir Hilir dan mendirikan Wangsa Kedua Puluh Empat yang berumur
pendek di Sais. Kerajaan bangsa Kusy di selatan memanfaatkan keterpecahan Mesir dan kekacauan politik dan
mengalahkan gabungan kekuatan beberapa pemimpin Mesir seperti Peftjaubast, Osorkon IV dari Tanis,
dan Tefnakht dari Sais. Piye mendirikan Wangsa Kedua Puluh Lima yang berkebangsaan Libya dan menjadikan
para pemimpin taklukan sebagai kepala-kepala pemerintahan daerah. Ia pertama-tama digantikan oleh
saudaranya, Shabaka, dan kemudian oleh kedua puteranya Shebitku dan Taharqa. Taharqa mempersatukan
kembali "Dua Negeri " di utara dan selatan Mesir serta menciptakan suatu kekaisaran yang sama besarnya
dengan keadaannya dulu pada zaman Kerajaan Baru. Wangsa Kedua Puluh Lima menghadirkan suatu zaman
pencerahan bagi Mesir Kuno.[27] Agama, seni rupa, dan rancang bangun dipulihkan kembali kejayaannya seperti
sediakala yakni sebagaimana adanya pada zaman Kerajaan Lama, Kerajaan Pertengahan, dan Kerajaan Baru.
Para firaun, seperti Taharqa, membangun atau memugar kuil-kuil dan monumen-monumen di seantero lembah
Sungai Nil, termasuk di Memphis, Karnak, Kawa, Jebel Barkal, dan lain-lain.[28] Pada masa kekuasaan Wangsa
Kedua Puluh Lima inilah, untuk pertama kalinya sejak zaman Kerajaan Pertengahan, Mesir menyaksikan
pembangunan piramida-piramida (sebagian besar terdapat di wilayah Sudan sekarang ini) secara besar-
besaran.[29][30][31]
Wibawa Mesir di mata bangsa-bangsa lain merosot tajam pada zaman ini. Sekutu-sekutu asing Mesir telah jatuh
ke dalam lingkup pengaruh Asyur dan sejak sekitar 700 SM pertanyaannya bukan lagi “bagaimana jika”,
melainkan “bilamana” kedua negeri itu saling berperang. Masa pemerintahan Taharqa dan
penggantinya, Tantamani, dipenuhi pententangan terus-menerus dengan bangsa Asyur yang banyak kali
dimenangi pihak Mesir, namun pada akhirnya Thebes diduduki dan Memphis dijarah rayah oleh bangsa Asyur.