Bab 1 Hubungan Vaksin Covid-19
Bab 1 Hubungan Vaksin Covid-19
SKRIPSI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
FEBRUARI 2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
BAB 1.........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN..................................................................................................................4
BAB II........................................................................................................................................8
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................................8
2.1. Covid-19......................................................................................................................8
2.3.1. Definisi.............................................................................................................14
2.3.2. Etiologi.............................................................................................................15
2.3.3. Patofisiologi......................................................................................................16
2.3.7. Prognosis..........................................................................................................29
METODE PENELITIAN.....................................................................................................31
3.3. Populasi......................................................................................................................31
3.4. Sampel........................................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................33
BAB 1
PENDAHULUAN
Peran pemerintah dalam mengendalikan laju kasus Covid-19 dengan berbagai cara
seperti social distancing, PPKM, dan juga vaksinasi. Vaksinasi untuk Covid-19 ini di atur
dalam Peraturan Presiden No. 99 Tahun 2020 tentang pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan
vaksin sebagai salah satu penangaan pandemi Covid-19, tak hanya di Indonesia namun
berbagai negara dirasa ikut berlomba-lomba untuk memberikan fasilitas vaksinasi untuk
penduduk mereka dengan tujuan memberikan kekebalan terhadap virus Covid-19. Namun,
selama perjalanan vaksinasi yang telah dilakukan hampir 2 tahun ini muncul permasalahan-
permasalahan di tengah masyarakat seperti kurannya edukasi dan informasi mengenai vaksin
Covid-19 ini sehingga beberapa tenaga kesehatan yang bertuga menghadapi kesulitan, tak
hanya itu munculnya keraguan terhadap vaksin Covid-19 serta mitos-mitos yang berkembang
ditengah masyarakat, belum lagi adanya kubu-kubu yang menolak untuk di vaksin karna
salah menerima informasi. Hal ini menjadi suatu polemik untuk mensukseskan vaksin Covid-
19 di Indonesia. (Susilo et al., 2020)
Saat ini sudah 4 macam varian vaksin yang digunakan di hampir seluruh dunia yaitu
mRNA-1273 (Moderna), BNT162b2 (Pfizer – BioNTech), ChAdOx1 nCov-19 (AstraZeneca)
dan COVID-19 Vaccine Janssen (Johnson & Johnson) yang dari setiap varian yang ada
mempunyai kelebihan dan kekurangnnya sendiri dalam hal klinis yang kebanyakan
memberikan efek trombosis dan trombositopenia. Namun sangat jarang terjadi setelah
pemberian ChAdOx1 nCov-19 yang sebelumnya sebelumnya Vaksin COVID 19
AstraZeneca yang disangka memberikan efek samping paling minimal setelah vaksinasi.
Namun, telah dikonfirmasi bahwa sejumlah kecil efek samping vaskular yang melibatkan
pembekuan darah dalam kombinasi dengan jumlah trombosit yang rendah dapat terjadi dalam
waktu sekitar satu sampai tiga minggu setelah vaksinasi. Adapun dilaporkan adanya reaksi
alergi yang dirasakan oleh beberapa pasien yang telah divaksin yang dimana reaksi alergi ini
dipicu oleh interaksi antara IgE terhadap vaksin, reaksi yang paling cepat timbul adalah
reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang muncul dalam kurun waktu beberapa menit saja dan reaksi
hipersensitivitas tipe 4 dilaporkan muncul 48 jam setalah vaksinasi. (Susilo et al., 2020)
Hal yang jarang mengenai efek samping neurologis dari vaksin covid-19 yakni bell’s
palsy dilaporkan dibeberapa negara muncul, bell’s palsy merupakan paresis unilateral
idiopatik atau biasa disebut dengan kelumpuhan pada saraf cranial VII yang mensarafi wajah.
Secara klinis bell’s palsy bermenifestasikan kelemahan saraf wajah dengan onset akut pada
otot yang mengatur ekspresi wajah sehingga terlihat wajah menjadi asimetris, selain itu pada
pasien akan terlihat air liur yang mengalir disudut bibir serta ketidak mampuan untuk
menutup mata sepenuhnya. Hal lain yang mungkin akan dirasakn pasien namun jarang
ditemui adalah nyeri pada wajah, mati rasa, perubahan rasa, bahkan kepekaan terhadap suara
yang meningkat. Sekitar 15-30 dari 100.000 orang pertahunnya tercatat mengalami bell’s
palsy dengan rentan usia antara 15-40 tahun, kondisi ini dapat terjadi pada pria maupun
wanita, akan tetapai wanita hamil memungkinkan untuk memiliki resiko yang lebih tinggi.
Penyebab dari Bell’s palsy belum diketahui namun etiologic utama yang dicurigai adalah
Virus, Iskemik, dan imun juga dapat mempertarai terjadinya bell’s palsy. Salah satu virus
yang dapay menyebabkan bell’s palsy adalah Virus Herpes Simpleks. Kelumpuhan saraf
wajah perifer dapat diamati dalam konteks banyak kondisi, termasuk infeksi seperti otitis
media dengan atau tanpa kolesteatoma, rubella, Lyme borreliosis, reaktivasi virus herpes,
influenza, dan infeksi HIV. Ini juga dapat dikaitkan dengan cedera traumatis, keganasan, dan
gangguan autoimun serta di konteks perubahan hormonal selama kehamilan. (Rath et al., 2017)
Sampai sekarang yang disebut Bell’s palsy, belum diketahui secara pasti penyebabnya.
Faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s palsy antara lain: sesudah bepergian jauh
dengan kendaraan, tidur ditempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi,
diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik, faktor genetic, kongenital,
anomali kongenital (sindroma moebius), pasca Lahir (fraktur tengkorak, perdarahan
intrakranial) serta masih banyak lagi. (Olivia Mahardani Adam.,2019)
Dalam praktik klinis, berbagai virus lain telah diamati terkait dengan kelumpuhan wajah juga,
termasuk echovirus, enterovirus, virus herpes simplex, virus Epstein-Barr, cytomegalovirus,
human herpesvirus 6, human immunodeficiency virus, mumps, rubella, poliomyelitis, dan
virus varicella zoster. Dengan demikian, ini semakin menguatkan bahwa virus seperti SARS-
CoV-2 mungkin berada di balik etiopatogenesis kelumpuhan wajah. Sehingga membuat
peneliti ingin melakukan penelitian mengenasi Hubungan Vaksin Covid-19 dengan Kejadian
Bell’s Palsy di Rumah Sakit Daerah Kota Mataram.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Covid-19
Pada awal tahun 2020 dunia dihebohkan dengan temuannya varian virus baru
yang menyerang saluran pernapasan yang dimulai dari sebuah kota di China tepatnya
di Wuhan, awalnya pada akhir tahun 2019 kasus pertama kali muncul di kota Wuhan
dengan gejala yang mirip dengan Pneumonia yang diduga berasal dari aktivitas pasar
ikan di kota tersebut. Pada bulan desember tanggal 18 tercatat 5 orang warga dirawat
dengan Acute Respiratory Disstress Syndrome (ARDS) lalu meningkat sampai hingga
bulan januari 2020. Peningkatan yang tercatat saat itu terbilang cepat dan tidak
terkontrol bahkan kasus ini mulai menyebar ke belahan China lainnya, karna
mobilitas warga China saat itu masih tinggi sehingga kasus ini pun mulai dilaporkan
ditemukan di negara-negara lainnya seperti, Jepang, Korea, Thailand, Malaysia,
Indonesia dan negara lainnya melaporkan bahwa ditemukan kasus yang serupa seperti
kasus yang sedang terjadi saat itu di Wuhan. Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19)
disebabkan oleh virus baru, sindrom pernafasan akut parah coronavirus-2 (SARS-CoV-2).
Gejala klinisnya paling sering ditandai dengan penyakit pernapasan; namun, komplikasi
serius dan beragam efek samping yang kurang dapat diprediksi telah menantang pasien,
dokter, dan ilmuwan. Sindrom gangguan pernapasan akut, cedera jantung dan ginjal
akut, koagulasi intravaskular diseminata, dan sepsis adalah beberapa komplikasi
COVID-19 yang lebih penting. Sejak awal pandemi, ada banyak manifestasi
neurologi yang dilaporkan dari penyakit tersebut; anosmia (kehilangan penciuman)
dan ageusia (kehilangan rasa) adalah dua gejala COVID-19 yang sangat umum sejak
dini. Dalam tinjauan sistematis terhadap 37 artikel yang dirilis sebelum 20 Mei 2020,
manifestasi neurologis yang paling umum dari penyakit ini adalah mialgia, sakit
kepala, perubahan sensorium, hiposmia, dan hipogeusia. Manifestasi lain dari
COVID-19 termasuk mielitis, sindrom Guillain-Barre, ensefalopati, stroke iskemik,
dan perdarahan intraserebral. (Susilo et al., 2020)
Etiologi dari kasus ini adalah coronavirus varian baru yang awalnya pada saat
kasus ini ditemukan peneliti dan ilmuwan setempat menamakan kasus ini dengan
2019- novel coronavirus (2019-nCoV), namun WHO akhirnya mengumumkan bahwa
penyakit yang baru yaitu Coronavirus-2019 yang disebabkan oleh Virus Several
Acute Respiratory Disstress Syndrome Coronavirus-2019 (SARS-CoV-2) selain itu
WHO pun mengumumkan bahwa penyakit ini ditularkan antar manusia sehingga
WHO menghimbau untuk menjaga jarak agar meminimalisir penularan yang terjadi
dan menetapkan bahwa Covid-19 sebagai pandemic dilihat dari angka kematian yang
terjadi di seluruh dunia menginjak angka 160.612 saat itu. (Our World in Data, 2023)
Dalam beberapa data yang masuk, kasus yang dapat memperberat gejala dan
perjalanan penyakit seseorang adalah penyakit komorbid yang diderita pasien seperti
Hipertensi dan Diabetes Mellitus, riwayat perokok aktif juga menjadi faktor resiko
seseorang dapat terinfeksi SARS-CoV-2. Pada pasien dan penyakit hati kronik juga
rentan terpapar SARS-CoV-2 karna pada pasien pasien kanker diasosiasikan dengan
reaksi imunosupresif, sitokin yang berlebihan, supresi induksi agen proinflamasi, dan
gangguan maturasi sel dendritic Pasien dengan sirosis atau penyakit hati kronik juga
mengalami penurunan respons imun, sehingga lebih mudah terjangkit COVID-19, dan
dapat mengalami luaran yang lebih buruk. Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan
oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk
tinggal satu rumah dengan pasien COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area
terjangkit. Berada dalam satu lingkungan namun tidak kontak dekat (dalam radius 2
meter) dianggap sebagai risiko rendah.53 Tenaga medis merupakan salah satu
populasi yang berisiko tinggi tertular. Di Italia, sekitar 9% kasus COVID-19 adalah
tenaga medis.54 Di China, lebih dari 3.300 tenaga medis juga terinfeksi, dengan
mortalitas sebesar 0,6%.55 (Susilo et al., 2020)
Manifestasi klinis pada pasien yang terpapar virus ini memiliki gejala yang
luas, dimulai dari tanpa gejala(asimtomatik) hingga menimbulkan gejala ringan,
sedang, dan bahkan berat yang dapat mengancam jiwa. Gejala ringan didefinisikan
sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai
dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri
tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan
suplementasi oksigen. (Susilo et al., 2020) . Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat
ditandai dengan adanya demam, ditambah salah satu dari gejala seperti
Frekuensi pernapasan >30x/menit, distres pernapasan berat, atau saturasi oksigen 93%
tanpa bantuan oksigen.
Pada pasien geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal. 2 Gejala lain
yang dapat ditemukan adalah batuk produktif, sesak napas, sakit tenggorokan, nyeri
kepala, mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah, kongesti nasal, diare, nyeri
abdomen, hemoptisis, dan kongesti konjungtiva.3 Pada 40% pasien terpapar virus ini
suhu puncak demam rata-rata berkisar antara 38,1-39°C dan lainnya sebanyak 34%
suhu puncak demam berkisar antara lebih dari 39°C. Untuk menegakkan dan untuk
menilai derajat keparahan penyakit dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti
laboratorium, pencitraan dan pemeriksaan diagnostik SARS-CoV-2 berupa
pemeriksaan antigen-antibody. (Susilo et al., 2020)
2.3.1. Definisi
Bell’s Palsy merupakan lesi inflamsi akut unilateral dari nervus fasialis di
dalam basis cranium dalamm perjalanannya keluar dari tulang tengkorak. Nyeri yang
dialami disekitar telinga dan disertai kelumpuhan otot-otot wajah secara unilateral,
dengan kegagalan untuk menutup mata, kehilangan refleks kornea, hiperakusis pada
sisi yang terkena dan hilangnya sensasi pengecapan pada anterior dua pertiga lidah.
Bell’s Palsy sering terjadi pada sekitar 25 dari 100.000 orang pertahun dengan
peyebab yang belum diketahui. (Susilo et al., 2020)
Bell’s palsy diduga berasal dari edema kompresi epineural retrograde ditandai
ischemia saraf facialis. Walaupun etiologinya masih belum jelas, teori yang menarik
berasal dari vasospasme, dari beberapa penyebab, sepanjang cabang saraf facialis
mungkin juga melibatkan chorda tympani. Distensi vaskular retrograde dan edema, di
dalam epineurium dari kanalis facialis dan menekan saraf dari luar selubung
perineurium (Adam, 2019)
Para ahli menyebutkan bahwa pada BP terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. BP
hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu
minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau
kambuh Ini mempengaruhi individu di berbagai usia dan kedua jenis kelamin, dengan
kejadian tahunan berkisar antara 11,5 hingga 53,3 per 100.000 orang di berbagai
populasi (Zhang et al., 2022)
Insidensi Bell palsy bervariasi antara 20 dan 30 per 100.000 orang per tahun,
terhitung 60-75% dari semua kelumpuhan wajah perifer akut. Rasio
laki-laki/perempuan untuk Bell palsy kira-kira sama. Usia rata-rata saat onset adalah
40 tahun, tetapi penyakit ini dapat terjadi pada usia berapa pun. Insiden paling rendah
pada anak di bawah 10 tahun dan meningkat dari usia 1 hingga 59 tahun. Sisi kiri dan
kanan wajah sama-sama terlibat. Bell palsy terkadang dipersulit oleh diabetes melitus
atau hipertensi. Dalam sebuah laporan pada 625 pasien dengan Bell palsy, diabetes
melitus dikaitkan pada 7% dan hipertensi pada 14,1%, masing-masing.8 Dalam
laporan lain, diabetes mellitus terkait pada 4,2-6,6% dari Bell palsy, yang lebih tinggi
dari angka 1,7-5,4% pada populasi umum. (Mujaddidah, 2017)
2.3.2. Etiologi
Banyak hipotesis telah diajukan untuk penyebab Bell palsy, termasuk infeksi
virus, kegagalan mikrosirkulasi vasa nervorum, neuropati iskemik, dan reaksi
autoimun. Dari mereka, konsep kekebalan inflamasi virus telah mendapatkan
dukungan paling banyak dari pengamatan klinis dan studi eksperimental yang
dilaporkan selama 30 tahun terakhir.
Kelumpuhan wajah akut dapat terjadi pada sebagai dari banyaknya penyakit
virus, seperti infeksi mononudeosis yang disebabkan oleh virus Epstein-Barr, herpes
labial (HSV), cacar air (VZV), poliomyelitis (poliovirus), gondok, rubella, limfoma
sel T dewasa, dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (Human Immunodeficiency
Virus). Setiap penyakit virus memiliki presentasi yang unik, tetapi dalam banyak hal
kelumpuhan wajah mirip dengan Bell palsy: sementara dan dengan hasil yang baik
secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa infeksi virus dapat menyebabkan
kelumpuhan nervus pada wajah; namun, pasien dengan Bell palsy jarang memiliki
presentasi virus yang unik selain kelumpuhan saraf wajah. Common cold sore atau
fever blisters yang disebabkan virus HSV-1 ditandai dengan erupsi vesikular berulang
pada mukosa mulut atau bibir. Infeksi HSV -1 primer biasanya terjadi pada anak usia
dini dan sering tanpa gejala, atau dapat muncul sebagai gingivostomatitis. Virus ini
juga memiliki afinitas menular ke nervus, dengan infeksi laten pada sel saraf dan
neuropatogenisitas. Ciri-ciri HSV-1 ini telah menjadi tanda dan gejala sebagai
penyebab Bell palsy yang paling memunngkinkan. (Adam, 2019a)
A. Idiopatik
Sampai sekarang yang disebut Bell’s palsy, belum diketahui secara pasti
penyebabnya. Faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s palsy antara lain:
sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur ditempat terbuka, tidur di lantai,
hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,
gangguan imunologik dan faktor genetik. Incisivus1121
B. Kongenital
1. Anomali kongenital (sindroma moebius)
2. Pasca Lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial)
C. Didapat
1. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
2. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan)
3. 3. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus
4. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster)
5. Sindroma paralisis n. fasialis familial
2.3.3. Patofisiologi
Etiologi dan mekanisme patogenik pada Bell's palsy secara definisi tidak
diketahui. Kemungkinan penyebab cedera saraf adalah peradangan pada saraf wajah,
yang mungkin terkait dengan virus herpes simpleks tipe 1 dan/atau reaktivasi varicella
zoster (zoster sine herpete). Teori virus didukung oleh keberadaan DNA virus herpes
simpleks tipe 1 pada cairan endoneural saraf fasialis dan/atau jaringan dari otot
auricular posterior pada pasien Bell's palsy .(Facial Nerve, 1E (2014)
Patofisiologi pasti dari Bell’s palsy masih mejadi hal yang diperdabatkan.
Perjalanan saraf facialis melalui bagian os temporalis atau disebut juga sebagai facial
canal. Dalam sebuah teori edema dan ischemia dapat menjadi penyebab asal dari
kompresi saraf facialis di dalam kanal tulang tersebut. Kompresi ini akan nampak
dalam MRI dengan fokus saraf facialis. Bagian pertama dari canalis facialis segmen
labyrinthine adalah yang paling sempit, foramen meatus dalam segmen ini hanya
mempunyai diameter 0,66 mm. Yang bertempat dan diduga paling sering terjadi
kompresi saraf facialis pada Bell’s palsy. Karena sempitnya canalis facialis, keadaan ini
nampaknya wajar apabila inflamasi, demyelinasi, iskemia, atau proses kompresi
mungkin mengganggu konduksi neural pada tempat ini Lokasi kerusakan saraf facialis
diduga dekat atau di ganglion geniculatum. Jika lesi proksimal dari ganglion
geniculatum, kelemahan motorik diikuti dengan abnormalitas pengecapan dan
autonom. Lesi antara ganglion geniculatum dan chorda tympani menyebabkan efek
sama, namun tanpa gangguan lakrimasi. Jika lesi berada pada foramen stylomastoideus,
ini mungkin hanya menyebabkan paralisis wajah (Adam, 2019)
Gejala lainnya yang dikeluhkan dapat berupa hilangnya atau gangguan pada
sensasi perasa ipsilateral yang akan menyebabkan esulitan dalam mengunyah
makanan karna melemahnya otot tersebut, selain itu makanan akan terperangkap di
dalam mulut, sensasi yang berubah pada sisi wajah yang terkena, nyeri dalam atau
pada bagian belakang telinga, terjadinya peningkatan kepekaan terhadap suara
(hyperacusis) yaitu penderita merasakan sesitifitas dan rasa nyeri bila mendengar
suara-suara yang keras pada. (Somasundara & Sullivan, 2017)
Gambar.2.1 gambaran Bell’s Palsy
source https://nurseslabs.com/bells-palsy-nursing-management/
Bila lesi berada di canalis fasialis yang berada di atas persimpangan dengan
korda timpani tetapi dibawah ganglion genikulatum akan menunjukan gejala yang
sama pada lesi di foramen stylomatoideus yang ditambah dengan hilangnya indera
pengecapan pada dua per tiga anterior lidah tak jarang pasien juga akan mengeluhkan
mata dan mulut yang kering. (Adam, 2019)
Onset panda bell’s palsy terjadi secara menndadak diertai dengan gejala
yang puncaknnya kurang dari 48 jam, kebanyakan pasien mencatat
paresis yang terjadi pada pagi hari. (PERDOSSI, 2016)
3) Refleks stapedius
Pemeriksaan ini mengunakan stetoskop yang di
pasangkan pada telinga pasien, lalu pada bagian
diafragma stetoskop pemeriksa melakukan pengetukan
secara lembut dan pelan, dapat juga menggunakan garpu
tala 256Hz yang digetarkan didekat stetoskop.
Pemeriksaan akan didapatkan hasil upnormal bila terjadi
hyperacusis yakni pasien mengeluh nyeri atau suara
terdengar lebih keras pada saat dilakukan pemeriksaan.
(Adam, 2019)
Pemeriksaan yang menyeluruh dari kepala, telinga, mata, hidung dan
mulut dilakukan pada semua pasien dengan paralisis fasial. Kelemahan
atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N.VII) akan menyebabakan
kelemahhan pada satu sisi wajah baik bagian atas dan bawah. Saat pasien
diminta untuk terssenyum akan terlihat distorsi dan lateralisasi pada sisi
wajah yang mengalami kelumpuhan. Pada saat pasien diminta untuk
mengantakan kedua alsi, ssi dahi akan terlihat datar, pasien juga diminta
untuk memberitahukan terjadinya peningkatan saliva pada sisi yang
lumpuh (PERDOSSI, 2016).
4. CT-Scan, MRI
Kedua pemeriksaan ini dilakukan untuk menyinkirkan diagnosis
banding, MRI untuk menyingkirkan kelainan lain penyebab
paralisis dan kecurigaan adanya lesi sentral, pada bell’s palsy
hasil MRI menunjukan adanya pembengkakan dan peningkatan
yang merata pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum.
Selain itu MRI dapat menunjukan pembengkakan pada saraf
fasialis akibat schwannoma, hemangioma ataupun meningoma.
(Adam, 2019)
1) Medikamentosa
a) Kortikosteroid
Pada bell’s palsy pemberian kortikosteroid bertujuan unntuk
mengurangi resiko pemulihan pada wajah yang tidak memeuaskan
inesis tanpa resiko efek samping. (CMAJ,2014). Manfaat dari
pemberian kortikosterois dapat terliihat dalam waktu 72 jam setelah
onset gejala. Optimalnya pada orang dewasa dosis pemberian
prednisolon yang dapat diberikan 50-60mg setiap hari selama 10
hari yang umum diberikan dengan dosis maksimum 80mg yang
terdapat dalam beberapa penelitian. Dosis lebih dari 120mg dapat
digunakan pada pasien dengan diabetes (de Almeida et al., 2014)
Pengobatan Tingkat Rekomendasi Kekuatan efek yang
keparahan didapat
Kortikosteroid Semua Kami Kuat sedang
kondisi merekomendasikan
serta Bell’s paslsy penggunaan
kortikosteroid
untuk semua pasien
dengan bell’s palsy
Antivirus Semua Kami Kuat Sedang
kondisi merekomendasikan
Bell’s palsy untuk tidak
menggunakan
pengobatan
antivirus saja
Kortikosteroid Paresis Kami menyarankan Lemah Sedang
+ Antivirus ringan untuk tidak
sampai menambahkan
sedang antivirus ke
kortikosteroid
untuk pasien
dengan tingkat
keparahan ringan
sampai sedang
Paresis parah Kami menyarankan Lemah Sedang
hingga penggunaan
lengkap kombinasi antivirus
dan kortikosteroid
pada pasien dengan
paresis berat hingga
paresis komplit
Latihan Akut; Kami tidak Tak dapat Sangat
fisoterapi Semua membuat diterapkan rendah
kondisi rekomendasi
mengenai
penggunaan
fisioterapi latihan
untuk bell’s palsy
akut dengan tingkat
keparahan apapun
Kronis Kami menyarankan Lemah Sangat
latihan fisioterapi rendah
untuk pasien
dengan kelemahan
yang terus -
mengurangi sink
Tabel. 2Tabel.2.1. Rumusan Rekomendasi Terapi pada kasus Bell’s Palsy
source Canadian Society of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery dan Canadian Neurological Sciences Federation
(de Almeida et al., 2014)
b) Anti-Viral
Terapi tunggal dengan penggunaan antiviral saja tidak lebih baik
dibandingkan dengan placebo untuk memperbaiki saraf fasialis pada
bell’s palsy, sebab kurangnya efektifitas obat tersebut serta biaya
yang tinggi dikeluarkann dan efek samping yang akan terjadi
sehingga kurang disarankan. American Academy of Neurology
(AAN) merekondasikan pemberian antiviral yang ditambah dengan
steroid pada onset awal bell’s palsy yang dapat meningkatkan
probabilitas kesembuhan fungsi saraf fasialis. Pillihan obat yang
dapat diberikan berupa asiklovir degan dosis 400mg oral 5 kali sehari
selama 10 hari, jika dicurigai adanya infeksi varicella zoster dosis
ditambah menjadi 800mg oral 5 kali sehari.
Tujuan pengobatan unntuk memperbaiki fungsi saraf fasialis serta
menurunkann kerusakan pada saraf. Pengobatan dipertimbangkan untuk pasien
dalam waktu 1-4 hari onset.
Gambar 2.3. Algoritma tatalaksana pada kasus bell’s palsy
source (Panduan Praktik Klinis Neurologi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2016.)
2) Non-Medikamentosa
a) Perawatan mata
Pemberian lubrikasi ocular topical (artifisial airmata pada siang hari)
dapat mencegah corneal exposure.
(PANDUAN PRAKTIK KLINIS NEUROLOGI PERHIMPUNAN DOKTER SPES
b) Fisioterapi
Infrared Electrical Stimulation dan Massage adalah terapi pilihan yang
dapat digunakan untuk kasus bell’s palsy. Tujuan pemberian sinar infra
red untuk mengurangi nyeri, mengurangi pembengkakan, dan
meningkatkan suplai darah karna adanya kenaikan temperature yang
mempengaruhi vasodilatasi dan terjadi peninngkatan darah ke jaringan
setempat serta menghilangkan hasiil sisa metabolisme dengan
menggukana penyinaran dari sinar infra red. Efek panas yang dihasilkan
sinar infra red dapat memperlancar peredarah darah sehingga dapat
memenuhi kebutuhan O2 pada jaringan terpenuhhi sangat baik dan rasa
nyeri akan berkurang.
Infikasi terapi menggunakan sinar infra red pada peradangan sub akut
seperti: kontusio, muscle sprain, muscle strain, trauna synovitis, arthritis
(RA, OA, myalgia, lumbago, neurolgia, neuritis), gangguan sirkulasi
darah, penyakit kulit, persiapan exercise dan massage.
Konntraindikasi ssinar infra red dapat berupa gangguan sensibilitas kulit,
cendrung menimbulkan penndarahan, demam, infekksi akut (TBC,
kanker/tumor), jaringan luka bakar yang masih baru.
(Afandi and Rahman, 2021.)
c) Massange
Teknik yang dapat diberikan pada penderita bell’s palsy berupa
massange yang mengggunakan teknik antara lain:
Stroking: manipulasi gosokan yang ringan serta halus tanpa adanya
tekanan biasanya digunakan untuk meratakan pelican
Effleurage: manipulasi gosokan dengan penekanan ringan dan halus
yang menggunakan seluruh permukaan tangan, yang diawali pada
dagu lalu dilanjutkan dengan bagian atas menuju daerah pelipis dan
mengarah ketengah dahi lalu turun ke bawah ke daerah telinga
Finger kneading: pijatan dengan jari-jari yang memberikan tekanan
serta gerakan melingkar pada seluruh otot wajah yang terkena lesi
dengan arah gerakkan menuju ke telinga.
Tapotement: manipulasi tekanan dengan tepukan yang ritmis serta
kekuatan tertentu pada daerah wajah terutama pasa didi lesi. Teknik
ini dilakukan degan menggunakan ujung-ujung jari.
(Afandi & Rahman, n.d.)
2.3.7. Prognosis
Pada umumnnya prognosis untuk kasus bell’s palsy sangat baik di tinjau
dari tingkat keparahan serta kerusakan saraf yang menjadi penentuu proses
penyembuhan. Perbaikan yang bertahap serta durasi waktu yng diperlukan
sangat bervariasi dengan atau tidaknya pengobatan Sebagian individu dapat
membaik dalam waktu 2 minggu setelah onset gejala. Fungsi saraf akan
membaik perlahan dalam waktu 3-6 minggu. Namun, beberapa penderita dapat
pulih lebih lama dan terdpat beberapa kasus dengan gangguan dan keluhan
yang munncul kemabli ditempat maupun di sisi lain wajah yang terkena
sebelumnya.
(PANDUAN PRAKTIK KLINIS NEUROLOGI PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALI
Pada tahun 2021 terdapat kasus kulit berkulit putih yang mengalami
kelumpuhan wajah setelah beberapa hari menerima vaksin Covid-19, vaksin
yang diterima berupa Vaksin mRNA BNT162b2 pada 8 januari 2021.
Awalanya pasien mengeluhkan gejala malaise, kelelahan dan sakit kepala,
namun pada tanggal 11 januari 2021 ia mengeluhkan nyeri leher yang
menyebar secara ipsilateral kea rah mastoid, telinga dan retro-maksila. Pada
tangggal 13 januari 2021 dia melihat adanya kelemahan otot dan ia pun pergi
meuju rumah sakit dengan wajah yang mengalami paresis pada bagian kiri.
Hal ini menjadi inside yang diamati oleh Collela dan kawan kawannya
menjadikan kasus ini merupakan satu-satunya laporan pre-review yang
menjelaskan secara rinci tanda dan gejala yang menyebabkan diagnosis Bell's
palsy pada penerima vaksin COVID-19 BNT162b2. Meskipun hubungan
sebab akibat tidak dapat ditetapkan untuk kejadian merugikan yang paling
jarang terjadi, waktu dan cara timbulnya kelumpuhan sangat menunjukkan
bahwa hal itu terkait dengan injeksi vaksin BNT162b2. (Colella et al., 2021)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.3. Populasi
Populasi dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Populasi Target
Yang ditentukan berdasarkan karakteristik klinis dan demografis
2. Populasi Terjangkau
Bagian dari populasi target yang dibatasi oleh waktu dan tempat.
Dalam peneitian ini populasi yang diteliti adalah seluruh pasien yang telah di
diagnosis Bell’s Palsy setidaknya 2 tahun terakhir di Poli Saraf Rusamh Sakit Daerah
Kota Mataram dengan riwayat telah melalukan Vaksinasi Covid-19 tahap I, II dan
Booster serta rentan usia dari 17 – 80 tahun
3.4. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang diteliti, dengan cara pemilihan yang
bermacam-macam dapat dipilih secara acak, sistematik, consecutive(berurutan),
cluster, convenience, time cluster dll.
3.5. Jenis Data
Pada penelitian ini peneliti menggunakan data sekunder berupa jumlah pasien
dengann bell’s palsy selama 2 tahunn terakhir yang didapatkan dari pihak Rumah
Sakit Umum Daerah Kota Mataram serta pengukuran data menggunakan kuesioner
yang akan di isi oleh responden.
Afandi, G., & Rahman, I. (n.d.). PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL'S PALSY
SINISTRA DENGAN MODALITAS INFRA RED DAN MASSAGE DI RSUD CIKALONG
WETAN KABUPATEN BANDUNG BARAT.
Basuki, A. R., Mayasari, G., & Handayani, E. (2022). Gambaran Kipi (Kejadian Ikutan
Pasca Imunisasi) Pada Karyawan Rumah Sakit yang Mendapatkan Imunisasi Dengan
Vaksin Sinovac di RSUD Kota Yogyakarta. Majalah Farmaseutik, 18(1), 30.
https://doi.org/10.22146/farmaseutik.v18i1.71908
Cdc, M. (n.d.). Vaccine Adverse Event Reporting System (VAERS) Standard Operating Procedures for
COVID-19.
Colella, G., Orlandi, M., & Cirillo, N. (2021). Bell’s palsy following COVID-19 vaccination.
In Journal of Neurology (Vol. 268, Issue 10, pp. 3589–3591). Springer Science and
Business Media Deutschland GmbH. https://doi.org/10.1007/s00415-021-10462-4
de Almeida, J. R., Guyatt, G. H., Sud, S., Dorion, J., Hill, M. D., Kolber, M. R., Lea, J.,
Loong, S., Somogyi, B. K., Westerberg, B. D., White, C., & Chen, J. M. (2014).
Management of Bell palsy: Clinical practice guideline. CMAJ, 186(12), 917–922.
https://doi.org/10.1503/cmaj.131801
Mujaddidah, N. (2017). TINJAUAN ANATOMI KLINIK DAN MANAJEMEN BELL’S PALSY.
In Qanun Medika (Issue 2).
Our World in Data. (2023, January 1). Retrieved from Coronavirus (COVID-19) Vaccinations:
https://ourworldindata.org/covid-vaccinations?country=OWID_WRL
Susilo, A., Martin Rumende, C., Pitoyo, C., Djoko Santoso, W., Yulianti, M., Sinto, R., . . . Yunihastuti,
E. (2020). TINJAUAN PUSTAKA. Retrieved from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/nuccore/
World Health Organization. (2023, Januay 1). Retrieved from COVID-19 advice for the public:
Getting vaccinated:
https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/covid-19-vaccines/advice