Anda di halaman 1dari 3

Pelestarian Tari Tea Eku

Melalui Sanggar Sekolah

Maria Felichia Bhibha - Dr. I Wayan Suwena, M.Hum.

Tarian tradisional merupakan jenis seni tari yang diwariskan secara turun
temurun sehingga menjadi budaya tetap. Tarian ini mengandung nilai-nilai
filosofis seperti kepercayaan, keagamaan, kepahlawanan, dan sebagainya. Tarian
daerah yang berkembang di kalangan masyarakat umum biasanya menjadi simbol
kebahagiaan dan suka cita. Misalnya tarian untuk merayakan panen melimpah.
Perkembangan kesenian tari mempunyai sejarah panjang dan terus menyesuaikan
masa ke masa. Hal itu dapat kita lihat dari beragam tarian yang digunakan dalam
acara-acara tertentu, seperti upacara adat, pernikahan dan penyambutan tamu,
salah satunya adalah tarian tradisional dari Nagekeo yang disebut tarian Tea Eku.

Tari Tea Eku adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari daerah
Nagekeo, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tarian ini dimainkan oleh
beberapa penari perempuan yang menari dengan menggunakan sapu tangan atau
kain kecil sebagai atribut menarinya. Tarian ini merupakan salah satu tarian yang
cukup terkenal di daerah Nagekeo, NTT, dan sering ditampilkan di berbagai acara
seperti upacara adat, penyambutan tamu penting dan acara budaya. Menurut
narasumber tari Tea Eku ini berasal dari daerah kecamatan Boawae, salah satu
kecamatan di kabupaten Nagekeo, Flores, NTT. Tari Tea Eku dulunya sering
ditampilkan di acara pesta adat masyarakat di sana. Namun seiring berjalannya
waktu, tarian ini tersebar luas keluar dari kecamatan tersebut. Nama Tari Tea Eku
sendiri diambil dari kata “Tea” dan “Eku”. Tea berarti getar, hal ini bisa dilihat
dari gerakan kaki penari yang bergetar mengikuti irama musik yaitu gong dan
gendang yang dimainkan oleh para lelaki. Sedangkan Eku berarti lambaian sapu
tangan, hal ini bisa dilihat dari atribut yang mereka gunakan, yaitu sapu tangan.
Busana tarian ini terdiri dari baju berwarna hitam yaitu baju Kodo (baju adat
Nagekeo) dan kain songket khas Nagekeo yang disebut kain Nage. Untuk bagian
rambut biasanya hanya digelung dan diberi hiasan pita sebagai pemanis. Dan tidak
lupa sapu tangan yang digunakan sebagai atribut menarinya.

Tari Tea Eku ini adalah tari daerah dan cukup gencar dilestarikan di kalangan
muda-mudi khususnya anak SMP dan SMA, bahkan sebagian besar dari mereka
mengikuti sanggar untuk turut melestarikan tari Tea Eku. Hal ini diharapkan dapat
menanamkan karakter cinta terhadap budaya asli dan tidak melupakan sesuatu
yang khas dari daerah asalnya mengingat derasnya arus globalisasi. Derasnya
globalisasi ini sangat dikhawatirkan dapat mengakibatkan terkikisnya kecintaan
generasi muda pada budaya daerahnya yang kian hari kian memudar dan
menjadikan mereka tidak lagi bangga dengan budaya daerahnya (budaya lokal).
Oleh karena itu penanaman budaya lokal melalui sanggar tari ini sangat penting
diberikan kepada penari untuk menanamkan rasa cinta dan bangga kepada budaya
daerahnya. Salah satu sanggar yang meneruskan tarian tradisional ini adalah
sanggar “Rae Sape” yang merupakan sanggar dari SMA Katolik Baleriwu Danga,
Nagekeo. Penari sanggar ini biasanya menarikan tarian tradisional ini pada saat
acara adat, penyambutan tamu penting daerah dan festival seni budaya dalam kota
maupun luar kota. Adapun Sanggar “Sa Ate” dari SMP Swasta Hanura Danga di
Mbay yang sering mementaskan tarian Tea Eku, misalnya pada saat di Kampung
Adat Tutubhada dalam rangka mendukung promosi kawasan pariwisata Kampung
Adat Tutubhada. Kedua sanggar ini menekuni tarian Tea Eku sejak tahun 2015,
sanggar ini dibuka bersamaan karena SMP dan SMA ini dibawah naungan satu
Yayasan Katolik Nagekeo. Namun sayang beribu sayang, di masa pandemi ini
sulit sekali untuk melakukan aktivitas secara leluasa, termasuk pula para penari
Tea Eku ini. Sanggar-sanggar baik yang umum maupun yang merupakan afiliasi
sekolah harus ditutup. Ditutupnya sanggar-sanggar tari ini dikarenakan
tertundanya acara, kurangnya acara tarian dan bahkan tidak ada sama sekali
kegiatan-kegiatan sanggar seperti sebelum pandemi, seperti acara festival seni
budaya, upacara adat, dan penyambutan tamu. Tujuannya adalah untuk menekan
penyebaran virus Covid-19 yang kian merebak. Para pelatih tari pun kehilangan
pekerjaan sebagai pelatih. Mengenai festival seni dan budaya secara virtual, untuk
sementara sanggar-sanggar ini belum pernah mengikuti kegiatan secara virtual
dikarenakan media yang digunakan kurang memadai dan jaringan di kabupaten
Nagekeo kurang stabil. Sangat disayangkan, padahal kata narasumber
“kebahagiaan besar para penari adalah saat melihat pesona tarian mereka
direspons bagus oleh penonton”.

Tarian tradisional Tea Eku merupakan salah satu ciri khas dari Nagekeo yang
patut dijaga kelestariannya. Diupayakan melalui budaya tari yang telah kita miliki
tersebut bisa dipelajari kembali, dijaga dan dilestarikan secara bersama-sama.
Pada saat pandemi seperti ini sangatlah tidak memungkinkan untuk mengikuti
kegiatan seperti sebelum pandemi, namun proses pembelajaran mengenai tarian
ini harus tetap berjalan, misalnya dengan pertemuan tari dua kali dalam seminggu
karena melalui virtual sangat tidak mungkin mengingat situasi dan kondisi daerah
yang kurang mendukung. Dengan adanya pertemuan tari, para anggota sanggar
tetap bisa belajar tari Tea Eku.

Anda mungkin juga menyukai