Anda di halaman 1dari 7

MEAL INTELLIGENT SMART BERBASIS INTERNET OF

THINGS DALAM PERENCANAAN NUTRISI TANPA


FORMALDEHIDA YANG OPTIMAL GUNA MENDORONG
INDONESIA BEBAS STUNTING
Penulis Satu 1)*, Penulis Dua, Penulis Tiga,
1
Nama institusi dan alamat institusi
*Penulis korespondensi: penulis_pertama@univ.ac.id

ABSTRAK
Data terbaru pravelensi balita mengalami stunting di Indonesia sebanyak 21,6% pada
tahun 2021. Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak yang
ditandai dengan tinggi badan berada di bawah standar. Penyebab stunting ini salah
satunya adalah kurang dalam asupan nutrisi. Dengan begitu keamanan makanan juga
diperlukan untuk mencegah terganggunya asupan nutrisi dari senyawa formaldehida.
Target pemerintah pada tahun 2024 nantinya turun menjadi 14%. Dalam masalah ini
diperlukan teknologi yang inovatif dan efisien dalam perencanaan nutrisi. Meal
Intelligent Smart berbasis Internet of Things (IoT) atau bisa disebut MISI merupakan
sistem cerdas yang memanfaatkan Internet of Things (IoT) untuk nutrisi yang seimbang
dan tanpa senyawa formaldehida. Metode penelitian ini menggabungkan studi literatur
untuk memahami permasalahan stunting, asupan nutrisi yang seimbang, serta dampak
formaldehida pada kesehatan, dan integrasi teknologi IoT dimanfaatkan dalam pemilihan
sensor sekaligus pengembangan pada perangkat keras pada deteksi formaldehida dan
perencanaan nutrisi. Hasil dari pengembangan MISI ini diharapkan mampu memberikan
rekomendasi nutrisi yang seimbang dan dapat memastikan keamanan makanan dari
kontaminasi formaldehida. Selain itu dapat meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga
dapat mendidik masyarakat dalam pemilihan makanan yang sehat dan aman, serta bisa
menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut. Penggunaan MISI dapat mendukung
pencapaian target pemerintah untuk mengurangi prevalensi stunting dengan memberikan
informasi yang akurat tentang nutrisi dan keamanan makanan.

Kata kunci : MISI, Stunting, Nutrisi, Formaldehida.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Tujuan
1.3 Manfaat Penulisan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting
Menurut WHO (2015), stunting adalah gangguan pertumbuhan dan
perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang,
yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar.
Selanjutanya menurut WHO (2020), stunting adalah pendek atau sangat
pendek berdasarkan panjang / tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2
standar deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO yang terjadi
dikarenakan kondisi irreversible akibat asupan nutrisi yang tidak adekuat
dan/atau infeksi berulang atau kronis yag terjadi dalam 1000 HPK. Untuk
pravelensi stunting di Indonesia pada tahun 2022 21,6%. Stunting yang
terjadi pada usia dini dapat berdampak kelanjutan hingga usia dewasa jika
tidak ditangani dengan baik. Anak-anak yang mengalami keterlambatan
pertumbuhan pada usia awal (0-2 tahun) dan mempertahankan tinggi badan
yang lebih pendek pada usia 4-6 tahun memiliki kemungkinan risiko yang
jauh lebih tinggi 27 kali lipat untuk tetap memiliki tinggi badan yang kurang
pada masa sebelum memasuki usia pubertas. Sebaliknya, anak-anak yang
mengalami pertumbuhan yang sesuai dengan perkembangan normal pada
usia dini kemungkinan bisa mengalami perlambatan pertumbuhan "growth
faltering" pada usia 4-6 tahun, yang meningkatkan risiko mereka sekitar 14
kali lipat untuk menjadi pendek sebelum memasuki usia pubertas. Stunting
juga merefleksikan gangguan pertumbuhan sebagai dampak dari rendahnya
status gizi. Dua penyebab langsung stunting adalah faktor penyakit dan
asupan zat gizi.

2.2 Nutrisi

Berdasarkan literatur, stunting dapat terjadi sejak 1000 hari pertama


kehidupan, muali dari 270 hari janin di dalam kandungan sampai 720 hari
pertama kelahiran (Schmidt, 2014; Ikatan Dokter Aank Indonesia (IDAI),
2015). Pada masa kehamilan, pemberian nutrisi pada janin tergantung
sepenuhnya pada kecukupan gizi ibu hamil yang terjadi di trimester pertama
sampai ketiga.

Pada setiap orang mempunyai kebutuhan kalori yang berbeda-beda,


yang mana tergantung usia dan aktivitasnya. Untuk porsi sarapan yang baik
harus mampu memenuho 15-30% dari total asupan kalori perhari. Untuk
anak yang usianya 10-12tahun kebutuhan energi sarapan rata-rata 285 kkal-
600kkal [Hardinsyah, 2012]. Kebutuhan energi pada anak sekolah dasar
relative besar dibandingkan dengan orang dewasa, sebab pada usia tersebut
pertumbuhan masih sangat pesat. Kecukupanya akan menurun seiring
dengan bertambahnya usia [Proverawati, 2011]. Dalam satu gram
karbohidrat menghasilkan 4 kkal energi. Karbohodrat sederhana yang
penting dalam ilmu gizi adalah monosakarida dan disakarida. [Almatsier
dkk, 2011].

BAB III
METODE PENULISAN

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Stunting merupakan akibat dari kekurangan gizi yang berlangsung dalam jangka
panjang dan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Salah
satu faktor penyebab terjadinya stunting adalah kurangnya pola asuh nutrisi
orang tua atau pengasuh kepada anak. 19 Terdapat sembilan dari sepuluh jurnal
penelitian dalam systematic review ini yang menyatakan adanya hubungan
antara pola asuh nutrisi dengan kejadian stunting. Dari sembilan penelitian
tersebut, dua penelitian menggunakan variabel independen pola asuh nutrisi
berupa minimum dietary diversity score. Menurut hasil analisis bivariat dari
penelitian Wang dkk16 persentase anak yang tidak memenuhi minimum dietary
diversity score dan mengalami stunting sebesar 20,4%. Anak yang tidak
memenuhi minimum dietary diversity score berisiko 1,15 kali menderita
stunting dibandingkan dengan anak yang memenuhi minimum dietary diversity
score (MDDS) (ARR=1,15, CI = 1,01-1,31). Angka prevalensi stunting pada
penelitian Wang dkk merupakan yang paling rendah dibandingkan sembilan
penelitian lainnya, yaitu sebesar 17,8%. Prevalensi stunting yang rendah pada
penelitian ini disebabkan karena perbedaan pada sampel penelitian dengan
jurnal penelitian lainnya. Sampel penelitian berupa balita yang berusia kurang
dari 1 tahun pada kelompok etnis Han yang merupakan kelompok etnis dengan
jumlah sampel terbanyak, menunjukkan hasil MDDS yang lebih baik. Tingkat
pendidikan orang tua/pengasuh yang rendah dapat menjadi penyebab MDDS
tidak tercapai dan selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan angka stunting
pada daerah tersebut.
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Frozanfar dkk21 yang
menyimpulkan bahwa tingginya angka proporsi stunting pada anak yang
mendapatkan meal frequency kurang dari tiga kali sehari dapat disebabkan
karena kurangnya perhatian yang seharusnya diberikan seimbang kepada
semua anak yang terdapat dalam keluarga, seperti halnya dalam perhatian dan
daya tanggap orang tua, praktik pemberian makan yang sesuai dengan usia
anak, serta frekuensi pemberian makan yang adekuat yang diberikan oleh
orang tua. Pada penelitian Tewabe dkk,22 dinyatakan bahwa tingginya
frekuensi pemberian makan berhubungan dengan rendahnya angka kejadian
stunting. Anak yang mendapatkan 4 kali atau lebih frekuensi makan setiap
harinya memiliki kemungkinan 83% lebih tinggi untuk memiliki tinggi badan
menurut usia yang normal dibandingkan anak yang menerima
Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Frozanfar dkk21 yang
menyimpulkan bahwa tingginya angka proporsi stunting pada anak yang
mendapatkan meal frequency kurang dari tiga kali sehari dapat disebabkan
karena kurangnya perhatian yang seharusnya diberikan seimbang kepada
semua anak yang terdapat dalam keluarga, seperti halnya dalam perhatian dan
daya tanggap orang tua, praktik pemberian makan yang sesuai dengan usia
anak, serta frekuensi pemberian makan yang adekuat yang diberikan oleh
orang tua. Pada penelitian Tewabe dkk,22 dinyatakan bahwa tingginya
frekuensi pemberian makan berhubungan dengan rendahnya angka kejadian
stunting. Anak yang mendapatkan 4 kali atau lebih frekuensi makan setiap
harinya memiliki kemungkinan 83% lebih tinggi untuk memiliki tinggi badan
menurut usia yang normal dibandingkan anak yang menerima

BAB V
PENUTUP
1. Kementrian Kesehatan RI. Prevalensi Stunting di Indonesia Turun ke 21,6% dari
24,4%. Kementrian Kesehatan Republik Indonsia. Jakarta. 2023
https://www.kemkes.go.id/article/view/23012500002/prevalensi-stunting-di-
indonesia-turun-ke-21-6-dari-24-4-
2. Rosmalina Y, Luciasari E, Aditianti A, Ernawati F. Upaya Pencegahan
Dan Penanggulangan Batita Stunting: Systematic Review. Gizi Indones.
2018;41(1):1–14.
3. Aryastami NK. Pertumbuhan usia dini menentukan pertumbuhan usia pra-
pubertas (studi longitudinal IFLS 1993-1997-2000) [Longitudinal study,
secondary data analisys]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2015
4. Rauf S, Hendrayati. Various Factors in Stunting Children Aged 12 to
60 Months. Heal Notions [Internet]. 2019;3(9):374–9. Available from:
http://www.heanoti.com/index.php/hn/article/download/hn30902/30902
5. Mahmudiono T, Sumarmi S, Rosenkranz RR. Household dietary diversity and
child stunting in East Java, Indonesia. Asia Pac J Clin Nutr [Internet].
2017;26(2):317–25. Available from:
https://search.informit.com.au/documentSummary;dn=688058173877148;res=IE
LHEA
6. Damayanti, R. A., Muniroh, L., & F. (2016). Perbedaan Tingkat Kecukupan Zat
Gizi dan Riwayat Pemberian Asi Eksklusif pada Balita Stunting dan Non stunting
(II (1)).
7.
(Beal et al. 2018)

Anda mungkin juga menyukai