Anda di halaman 1dari 30

EMULSI

I. PENDAHULUAN
Telah menjadi ketentuan umum bahwa yang disebut sebagai sediaan ‘emulsi’ adalah
menunjukkan pada sediaan cair yang dimaksudkan untuk penggunaan oral. Emulsi untuk
pengunaan eksternal biasanya langsung disebut sebagai cream (sediaan semisolid), lotion atau
liniment (sediaan liquid). (TPC, hal 82).

1.1 Definisi
a. FI IV, Hal 6:
Emulsi adalah sistem dua fasa, yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan yang
lain, dalam bentuk tetesan kecil.
b. Ansel, Hal 376:
Emulsi adalah suatu dispersi dimana fasa terdispersi terdiri dari bulatan-bulatan kecil
zat cair yang terdistribusi ke seluruh pembawa yang tidak bercampur. Dalam batasan
emulsi, fasa terdispersi dianggap sebagai fasa dalam dan medium pendispersi
dianggap sebagai fasa luar atau fasa kontinu.
c. Lachman, Hal 502:
Secara kimia fisika: emulsi adalah campuran yang secara termodinamika tidak stabil,
yang terdiri dari dua cairan yang tidak tercampurkan.
Secara teknologi farmasi: emulsi adalah campuran homogen yang terdiri dari dua
cairan yang tidak tercampurkan yang stabil pada sekitar suhu kamar.
d. Martin, Hal 486:
Emulsi adalah sistem yang secara termodinamika tidak stabil dan mengandung paling
sedikit dua cairan yang tidak bercampur, dimana salah satu cairan terdispersi (fase
terdispersi) dalam cairan lainnya (fase kontinu/pendispersi) dalam bentuk globul-
globul dan distabilkan oleh emulgator.
e. RPP
Emulsi adalah sistem heterogen yang terdiri dari tetesan-tetesan cairan yang
terdispersi dalam cairan lain.
f. RPS, Hal 1534:
Emulsi adalah sistem 2 fase yang merupakan gabungan 2 cairan yang tidak
tercampurkan, dimana salah satunya terdispersi dalam cairan lainnya dalam bentuk
globul-globul yang mempunyai ukuran sama atau lebih besar daripada partikel
koloidal tersebesar.
Emulsi adalah sistem 2 fase dimana satu cairan terdispersi dalam bentuk droplet-
droplet kecil dalam cairan lainnya lainnya. Cairan yang terdispersi disebut fase
internal/ diskontinu, sedang medium pendispersinya disebut fase eksternal/ kontinu.

1.2 Keuntungan dan Kekurangan Sediaan


Keuntungan bentuk emulsi (Ansel, Hal 377 & Art of Compounding, Hal 314)
a. Pemakaian oral (biasanya tipe M/A). Tipe M/A bertujuan untuk:
– Menutupi rasa minyak yang tidak enak.
– Lebih mudah dicerna dan diabsorpsi karena ukuran minyak diperkecil.
– Meningkatkan efikasi minyak mineral sebagai katalisator bila diberikan dalam
emulsi.(minyak mineral sebagai katartik).
– Ketersediaan hayati lebih baik karena sudah dalam bentuk terlarut. (mudah
diabsorpsi ukuran partikel minyak kecil).
b. Memperbaiki penampilan sediaan karena merupakan campuran yang homogen
secara visual.
c. Meningkatkan stabilitas obat yang lebih mudah terhidrolisa dalam air.
d. Pembuatan sediaan yang depoterapi (RPS)
 Penetrasi dan absorpsi dapat dikontrol
 Kerja emulsi lebih lama

Pemakaian pada kulit sebagai obat luar. Tipe emulsi yang digunakan adalah M/A
atau A/M tergantung pada berbagai faktor:
- Sifat terapeutik zat yang akan dimasukan dalam emulsi.
- Keinginan untuk mendapatkan efek pelembut (emolient).
- Keadaan permukaan kulit.
Catatan:
- Zat obat yang mengiritasi kulit umumnya akan kurang mengiritasi kulit
jika pada fasa luar yang langsung kontak dengan kulit.
- Pada kulit yang tidak luka, emulsi A/M biasanya dapat dipakai lebih rata
karena kulit akan dilapisi oleh suatu lapisan sebum.
- Jika akan membuat preparat yang mudah tercuci air dipilih M/A.
- Absorpsi melalui kulit (perkutan) bila ditambah dengan mengurangi
ukuran partikel dari fasa dalam.
1.3 Tipe Emulsi
Berdasarkan fasa terdispersinya emulsi terbagi (Art of Compounding, hal 315):
a. Emulsi minyak dlm air (M/A atau O/W): fasa minyak terdispersi dlm fasa air.
b. Emulsi air dlm minyak (A/M atau W/O): fasa air terdispersi dlm fasa minyak.
Multiple emultion adalah: jika sebagai emulgator digunakan surfaktan dapat terjadi emulsi
dengan sistem kompleks, dimana sistem tersebut mirip jenis emulsi A/M atau M/A/M.
Dual emulsian adalah: emulsi yang strukturnya tidak dapat dikenali karena fasa air dan
fasa minyak sangat homogen.
Mikroemulsion (emulsi miselar) adalah: umumnya dengan ukuran globul kurang dari 0,15
mikron dan berpenampilan transparan (umumnya berpenampilan seperti susu).
1.1.1 Ukuran Globul Emulsi
TPC, hal 82: 0,1 mikrometer - 100 mikrometer
Martin 487: 0,1 – 10 mikrometer;
meskipun demikian ukuran < 0,01 dan > 100 mikrometer juga
ada untuk sediaan tertentu.
Microemulsion
TPC, hal 82: 0,1 mikrometer
Martin, hal 495: 10-200 nm
1.1.2 Penentuan Tipe Emulsi (TPC, 89)
Ada 7 cara penentuan tipe emulsi :
1. Uji Kobal Klorida (CoCl)
Basahi kertas saring dengan larutan kobal klorida dan biarkan kering. Untuk
emulsi minyak dalam air akan terjadi perubahan dari biru ke merah muda. Uji ini
tidak dapat dipakai pada emulsi yang tidak stabil atau adanya elektrolit. (+
Lachman dysp, hal 201)
2. Uji Konduktivitas
Emulsi diuji terhadap penghantaran listrik. Emulsi M/A dapat menghantarkan arus
listrik, sedangkan emulsi A/M tidak dapat menghantarkan arus listrik. Uji ini
dapat memberikan hasil palsu pada emulsi M/A non ionik.
3. Uji Pengenceran
Hanya dapat digunakan untuk menguji emulsi cair saja. (Lachman dysp hal 201).
Emulsi M/A dapat diencerkan dengan pelarut aqueous (dapat terlarut dalam
pelarut aqueous), sedangkan emulsi A/M tidak dapat diencerkan dengan pelarut
aqueous. Pengujian ini harus dilakukan dengan hati-hati karena inversi fasa dapat
terjadi.
4. Uji Arah Creaming
Uji ini dapat dilakukan apabila densiti dari fasa air dan fasa minyak telah
diketahui. Emulsi A/M akan terjadi creaming pada arah ke bawah (karena
biasanya minyak mempunyai densitas yang lebih rendah dari air). Emulsi M/A
akan terjadi creaming pada arah ke atas.
5. Uji Pewarnaan
Emulsi M/A : jika dicampur dengan pewarna larut air (mis. Amaranth) lalu dilihat
di bawah mikroskop, maka akan fasa kontinunya (fasa pendispersinya) akan
terlihat berwarna. Emulsi A/M : jika dicampur dengan pewarna larut minyak (mis.
Sudan III) lalu dilihat di bawah mikroskop, maka fasa kontinu/fasa pendispersinya
akan terlihat berwarna. Pengujian ini dapat memberikan hasil palsu jika terdapat
emulgator ionik. (+ Lachman dysp, hal 201)
5. Uji Kertas Saring
M/A : akan menyebar dengan cepat ketika setitik emulsi M/A diletakkan dalam
kertas saring. Sebaiknya tidak digunakan untuk cream yang terlalu kental .
6. Uji Fluoresensi
Setitik sample emulsi yang akan diuji dipaparkan pada sinar UV dan dilihat di
bawah mikroskop. Karena kebanyakan minyak berfluoresensi di bawah lampu
UV, maka emulsi A/M menunjukkan fluoresensi pada fase kontinunya dan emulsi
M/A berfluoresensi hanya pada globulnya saja.

1.4 Stabilitas Sediaan Emulsi


Emulsi dikatakan stabil jika: (TPC, hal 82)
 Tidak ada perubahan yang berarti dalam ukuran partikel atau distribusi partikel dari
globul fasa dalam selama life time produk.
 Distribusi globul yang teremulsi adalah homogen.
 Memiliki aliran tiksotropik (mudah mengalir atau tersebar tetapi memiliki
viskositas yang tinggi untuk meningkatkan stabilitas fisiknya)
Emulsi dikatakan stabil jika tidak terjadi koalesen fasa internal, creaming dan perubahan
penampilan, bau, warna, serta sifat fisik yang lain.
1.4.1 Flokulasi dan creaming
Modul Praktikum Farmasi Fisika, hal 50:
Flokulasi adalah suatu peristiwa terbentuknya kelompok-kelompok globul yang
posisinya tidak beraturan.
Creaming adalah suatu peristiwa terjadinya lapisan-lapisan dengan konsentrasi
yang berbeda-beda di dalam emulsi.
Laju creaming tergantung pd parameter Hukum Stokes (Martin, 479):

V = laju sedimentasi ρ1 = bobot jenis droplet


R = jari-jari droplet ρ2 = bobot jenis cairan
ή = viskositas cairan
Martin, hal 490:
jika ρ1 < ρ2 maka V menjadi negatif  terjadi creaming. Pada
keadaan ini fase pendispersinya lebih berat daripada fase terdispersi,
biasanya ini terjadi di emulsi minyak air.
Jika ρ1 > ρ2  terjadi creaming ke bawah pada keadaan ini fase
terdispersinya lebih berat daripada fase pendispersinya, maka globulnya
akan kebawah. Biasanya terjadi diemulsi air minyak.
TPC, hal 83:
Emulsi M/A: creaming terjadi ke arah atas (globul terakumulasi di atas).
Emulsi A/M: creaming terjadi ke arah bawah (globul terakumulasi di
bawah). Ketidakstabilan ini dapat terdispersi merata kembali dengan
pengocokkan.

Teknik untuk mencegah creaming:


 Reduksi ukuran partikel.
Pada penurunan ukuran partikel hingga di bawah 2-5 mikrometer pada suhu
kamar akan terjadi efek Gerak Brown yang cukup mempengaruhi stabilitas di
mana creaming akan terjadi lebih lambat daripada yang diprediksi sesuai
dengan Hukum Stokes. (Martin, hal 491)
 Peningkatan viskositas, dengan cara:
- homogenitasi
- meningkatkan konsentrasi fasa terdispersi
- menambah emulgator
- menambaha thickening agent atau viscocity improver
1.4.2. Coalesence dan breaking (Modul Praktikum Farmasi Fisika, hal 51)
Coalecence merupakan proses bergabungnya droplet yang akan diikuti dengan
breaking yaitu pemisahan fasa terdispersi dari fasa kontinu. Prosesnya irreversibel
karena lapisan emulgator yang mengelilingi cairan sudah tidak ada.

1.4.3. Inversi fasa (TPC, hal 83)


Inversi fasa adalah proses perubahan, dimana fasa terdispersi berubah fungsi menjadi
medium pendispersi dan sebaliknya. Penyebab ketidakstabilan ini adalah:
 Adanya perubahan suhu
 Adanya penambahan bahan yang merubah kelarutan emulgator
 Pembuatan emulsi menggunakan peralatan yang kotor
 Dibuat dengan prosedur pencampuran yang tidak sesuai
 Perubahan komposisi fase terdispersi dan fase pendispersi. Fase
terdispersi > 74% dapat mengakibatkan inversi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi:
a. Ukuran partikel.
b. Perbedaan bobot jenis kedua fasa.
c. Viskositas fasa kontinu.
d. Muatan partikel.
e. Sifat efektivitas dan jumlah emulgator yang digunakan.
f. Kondisi penyimpanan: suhu, ada/tidaknya agitasi dan vibrasi.
g. Penguapan atau pengenceran selama penyimpanan.
h. Adanya kontaminasi dan pertumbuhan mikroorganisme.
Bukti-bukti ketidakstabilan emulsi:
a. Fasa internal cenderung membentuk agregat.
b. Globul yang besar (agregat) naik ke permukaan atau turun ke dasar dan
membentuk lapisan yang tebal (koalesensi).
Faktor-faktor yang sedapat mungkin dihindari dalam upaya mempertahankan
kestabilan emulsi adalah:
a. Cahaya.
b. Suhu yang ekstrim menyebabkan emulsi menjadi kasar dan kadang-kadang
breaking.
c. Oksidasi dan hidrolisis menyebabkan minyak menjadi tengik.
d. Pembekuan dan pengenceran emulsi menjadi kasar dan kadang-kadang breaking.
1.5 HLB (Hidrophyl-Lipophyl-Balance)
HLB adalah karakteristik (ukuran) surfaktan yang menunjukkan keseimbangan bagian
hidrofil dan lipofil. Harga HLB makin besar berarti surfaktan makin bersifat hidrofil.
Apabila surfaktan dimasukkan ke dalam sistem minyak-air, maka gugus polar (hidrofil)
akan terarah ke fasa air sedangkan gugus nonpolar (lipofil) terarah ke fasa minyak.
Perhitungan HLB surfaktan:
a.Cara griffin
- Untuk surfaktan yang merupakan ester polialkohol dengan asam lemak:

Dimana, S = angka penyabunan ester


A = angka keasaman asam lemak
- Untuk surfaktan yang esternya sukar disabunkan (S sukar ditentukan):
HLB = E + P
Dimana, E = % b/b gugus etilen oksid
P = % b/b gugus polialkohol
- Untuk surfaktan yang bagian hidrofilnya hanya terdiri dari gugus etilen oksida:

Cara Griffin tidak berlaku untuk:


- Surfaktan nonionik yang mempunyai gugus propilen oksida serta unsur N dan S.
- Surfaktan anionik.
b. Cara kasar
Cara: surfaktan dimasukkan ke dalam air dan dikocok. (Lachman hlm. 515 th 1986).
c. Cara Moore dan Bell

Untuk surfaktan tipe nonionik:

Dimana, H/L = HLB


Eo = Σ etilen oksida dalam molekul.

Penentuan HLB butuh minyak didapat dari percobaan. Caranya:


 Dibuat satu seri emulsi (HLB 4-13) dengan formula sederhana, misal:
R/ minyak 20%
Emulgator 3%
Air ad 100%
 Emulsi yang sudah jadi dimasukkan ke dalam tabung sedimentasi yang ditempeli
kertas grafik. Tinggi endapan yang terjadi diukur.
 Setelah diperoleh HLB pada emulsi yang stabil, ulangi percobaan pada range yang
lebih kecil, misal HLB 9 stabil, maka dibuat range: 8 ; 8,25 ; 8,5
Pada pembuatan emulsi emulgator yang digunakan harus memiliki HLB yang
sama dengan HLB butuh minyak. Umumnya dipakai kombinasi 2 emulgator dengan
harga HLB rendah dan HLB tinggi. (HLB butuh minyak ada diantara 2 emulgator
yang akan dipakai). Kombinasi 2 emulgator akan memberikan hasil yang lebih baik
karena dapat terbentuk film yang lebih rapat serta diperoleh harga HLB yang sama
dengan HLB butuh minyak.

Perhitungan: misal R/ minyak 20% HLB = 7


Emulgator 3%
Air ad 100%

Emulgator yang dipakai: Tween 80 HLB = 16


Span 80 HLB = 4,3
Misal, Tween 80 = X, maka Span 80 = (3 – X)
Jadi: 16 x X + 4,3 (3 – X) = 7 x 3
X = 0,76
Maka : Tween 80 = 0,76 Span 80 = 2,24

Emulsi steril
Pemakaian bentuk ini jarang, karena sangat sukar membuat sediaan emulsi parenteral
stabil dengan diameter < 1µm, agar tak terjadi emboli pada aliran darah.
Umumnya sediaan parenteral berbentuk emulsi ditujukan untuk:
a. Sediaan emulsi untuk mencegah alergi, berupa emulsi A/M diberikan secara
subkutan.
b. Sediaan emulsi lepas lambat, diberikan secara intramuskular, berupa emulsi M/A.
c. Sediaan emulsi untuk menambah makanan, berupa emulsi M/A, diberikan secara
intravena.
Keterbatasan sediaan parenteral bentuk emulsi yaitu:
a. Pemilihan stabilisator dan zat pengemulsi sangat terbatas.
b. Lebih besar kemungkinan terjadi reaksi pirogen dan hemolisa.
II. FORMULA
Sebelum menyusun formula harus diketahui dahulu:
a. Sifat-sifat fisika dan kimia zat berkhasiat.
b. Penggunaan emulsi (obat luar atau obat dalam).
c. Tipe emulsi (M/A atau A/M).
d. Konsistensi emulsi.
Formula umum sediaan emulsi:
a. Zat aktif
Harus memperhatikan:
- Sifat fisika (kelarutan, titik leleh, sifat aktif permukaan).
- Sifat kimia (antaraksi kimia).
- Stabilita (cahaya, panas, oksidasi-reduksi, hidrolisa).
b. Pembawa (minyak dan air)
Pemilihan fase minyak tergantung pada pertimbangan:
- Jenis minyak: minyal alam/sintetik
- Konsistensi minyak: encer/padat
- Rasa
c. Emulgator
d. Zat pengawet
e. Bahan pembantu sesuai kebutuhan: antioksidan, pemanis, pewangi, pewarna, dapar,
anticaplocking, anti busa, dll.

Formula emulsi oral/internal: Formula emulsi topikal/eksternal:


a. Zat aktif a. Zat aktif
b. Pembawa (air dan minyak) b. Pembawa (air dan minyak)
c. Emulgator c. Emulgator
d. Pengawet d. Pengawet
e. Bahan pembantu: Antioksidan e. Bahan pembantu: Antioksidan
Pemanis Emolient
Flavor Pewangi
Pewarna Pewarna

Formula emulsi parenteral:


a. Zat aktif
b. Pembawa (air dan minyak)
c. Emulgator
d. Pengawet
e. Antioksidan
2. 1. Bahan Pembantu
Hal yang perlu diperhatikan dalam penambahan bahan pembantu:
a. Elektrolit: penambahan elektrolit akan menurunkan potensial zeta sehingga emulsi
tidak stabil.
b. Zat bersifat asam: penambahan zat bersifat asam harus diperhatikan karena dapat
menyebabkan emulsi menjadi pecah.
c. Penambahan zat yang menyebabkan perubahan emulgator dapat menyebabkan
terjadinya inversi fasa. Contoh: emulsi M/A yang distabilkan dengan emulgator natrium
stearat akan berubah menjadi emulsi A/M bila ditambah CaCl2.
d. Emulgator: konsentrasi emulgator yang tidak sesuai akan mempengaruhi kestabilan
emulsi. Pilih emulgator yang sesuai dengan tujuan pemakaian emulsi dan toksisitasnya.
e. Pengawet: pada pembuatan emulsi perlu ditambahkan pengawet untuk mencegah
pertumbuhan mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan atau penguraian emulgator
alam atau minyak alam sehingga emulsi pecah.
Beberapa bahan pembantu yang akan diuraikan lebih lanjut adalah:
1. Emulgator
2. Pengawet
3. Anti oksidan
4. Flavor atau pemanis

2.1.1 Emulgator
Untuk mencegah penggabungan kembali globul-globul diperlukan suatu zat yang
dapat membentuk lapisan film diantara globul-globul tersebut sehingga proses penggabungan
menjadi terhalang, zat tersebut adalah zat pengemulsi (emulgator).
Emulgator yang dipilih harus memenuhi persyaratan:
a. Dapat tercampurkan dengan bahan formulatif lain.
b. Tidak mengganggu stabilitas atau efikasi dari zat terapetik.
c. Harus stabil.
d. Harus tidak toksik pada penggunaan yang dimaksud jumlahnya.
e. Harus berbau, berasa, dan berwarna lemah.
Dasar pemilihan dalam menggunakan zat pengemulsi :
(Lachman, The Theory and Practice of Industrial Pharmacy, 1970, hlm. 469)
a. Toksisitas yang mungkin timbul bila dipaparkan.
b. OTT kimia.
c. Harga
d. Tipe emulsi yang diinginkan
e. Stabilitas (shelf life yang diinginkan)
f. Tujuan penggunaan / rute pemberian.
Emulgator dapat dibedakan berdasarkan Mekanisme kerja dan sumbernya.
A. berdasarkan mekanisme kerja
B. berdasarkan sumber

A. Berdasarkan mekanisme kerjanya:


a. Golongan surfaktan
Memiliki mekanisme kerja menurunkan tegangan permukaan/antar permukaan minyak-air
serta membentuk lapisan film monomolekuler ada permukaan globul fase terdispersi.
Film yang terbentuk idealnyabersifat fleksibel (lentur), sehingga tahan benturan dan
mudah kembali ke keadaan semula bila terjadi benturan. Surfaktan juga membentuk
lapisan film yang bermuatan yang dapat menimbulkan gaya tolak-menolak antara sesama
globul.
Jenis-jenis surfaktan:
 Berdasarkan Jenis surfaktan
Secara kimiawi surfaktan terdiri dari gugus hidrofilikdan lipofilik. Gugus lipofilik
(umumnya) berupa rantai hidrokarbon dan gugus hidrofilik menentukan jenis
surfaktan:
- Surfaktan anionik
Gugus hidrofil : anion
Contoh : Na-lauril sulfat, Na-oleat, Na-stearat.
- Surfaktan Kationik
Gugus hidrofil : kation
Contoh : Zehiran klorida, Setil trimetil amonium bromida.
- Surfaktan Non Ionik
Gugus hidrofil : non ionik
Contoh : Tween-80, Span-80
 Berdasarkan HLB (Hidrophyl-Lipophyl-Balance)
Klasifikasi fungsi surfaktan menurut HLB-nya
HLB Penggunaan
1-3 Anti busa
3-8 Emulgator emulsi air dalam minyak
7-9 Zat pembasah (wetting agent)
8-16 Emulgator emulsi minyak dalam air
13-16 Detergen
16-19 “Solubilizing agent” (meningkatkan
kelarutan zat)

Nilai HLB butuh beberapa minyak (Lachman hlm 516 tahun 1986)
Minyak O/W Emulsion W/O
(Fluid) Emulsion
(Fluid)
Cetyl alcohol 15 -
Stearyl alcohol 14 -
Stearic acid 15 -
Lanolin anhydrous 10 8
Mineral oil, light and heavy 12 -
Cotton seed oil 10 5
Pecidatum 12 5
Beeswax 12 4
Parafin wax 11 4

Nilai HLB beberapa emulgator: (Modul Praktikum Farmasi Fisika, hlm. 53-54)
Emulgator HLB
Parsial ester asam lemak dari sorbitan:
Sorbitan mono laurat (Span 20) 8,6
Sorbitan mono palmitat (Span 40) 6,7
Sorbitan mono stearat (Span 60) 4,7
Sorbitan tri stearat (Span 65) 2,1
Sorbitan mono oleat (Span 80) 4,3
Sorbitan tri oleat (Span 85) 1,8
Parsial ester asam lemak dari polioksi
etilensorbitan: 16,7
Polioksietilen sorbitan (20) mono laurat 13,3
(Tween 20) 15,6
Polioksietilen sorbitan (4) mono laurat 14,9
(Tween 21) 9,6
Polioksietilen sorbitan (20) mono palmitat 10,5
(Tween 40) 15,0
Polioksietilen sorbitan (20) mono stearat 10,0
(Tween 60) 11,0
Polioksietilen sorbitan (4) mono oleat 40,0
(Tween 61) 18,0
Polioksietilen sorbitan tri stearat (Tween 65) 1,0
Polioksietilen sorbitan (20) mono oleat 1,2
(Tween 80)
Polioksietilen sorbitan (5) mono oleat 9,7
(Tween 81) 16,9
Polioksietilen sorbitan (20) tri oleat (Tween 5,3
85) 12,9
Natrium lauril sulfat 15,7
Natrium oleat 4,9
Asam oleat 12,4
Setostearil alkohol 15,3
Eter alkohol lemak dari polioksietilen: 4,9
Polioksietilen eter laurat (Brij 30) 12,4
Polioksietilen eter laurat (Brij 35) 15,3
Polioksietilen eter setil (Brij 52) 3,7
Polioksietilen eter setil (Brij 56) 3,8
Polioksietilen eter setil (Brij 58)
Polioksietilen eter stearat (Brij 72) 11,1
Polioksietilen eter stearat (Brij 76) 15,0
Polioksietilen eter stearat (Brij 78) 16,0
Polioksietilen eter oleat (Brij 92) 16,9
Polioksietilen eter oleat (Brij 96) 17,9
Polioksietilen eter oleat (Brij 98) 18,8
Sorbitan seskui oleat (Arlacel 83) 11,6
Gliseril mono stearat 13,3
Ester asam lemak dari polioksietilen:
Polioksietilen eter stearat (Myrij 45)
Polioksietilen eter stearat (Myrij 49)
Polioksietilen eter stearat (Myrij 51)
Polioksietilen eter stearat (Myrij 52)
Polioksietilen eter stearat (Myrij 53)
Polioksietilen eter stearat (Myrij 59)
Polioksietilen eter -400-mono-stearat
(Cremophor AP padat)
Polioksietilen eter risinoleat (remophor EL)

b. Golongan koloid hidrofil


Emulgator ini membentuk lapisan film multimolekuler disekeliling globul yang
terdispersi. Lapisan film yang dibentuk bersifat rigid dan kuat. Selain itu golongan ini
juga bersifat mengembang dalam air sehingga dapat meningkatkan viskositas sediaan
yang sekaligus akan meningkatkan kestabilan emulsi.
Contoh : acasia, tragakan, CMC, tylosa.
c. Golongan zat terbagi halus
Emulgator ini membentuk lapisan film mono dan multimolekuler, oleh adanya partikel
halus yang teradsorpsi pada antar permukaan kedua fasa.
Contoh: bentonit, veegum.

B. Berdasarkan sumbernya:
a. Bahan alam (Natural Product)
- Polisakarida: acasia (gom arab), tragakan, Na-alginat, Starch/amilum, caragen,
pektin dan agar.
- Senyawa yang mengandung sterol: Beeswax, Wool-fat.
a. 1. Gom Arab
Keuntungan: Penampilan bagus, rasa enak, relatif stabil pada pH 2-11.
Kerugian: Mahal, pada penyimpanan musilago gom arab akan bersifat asam
karena adanya aktifitas enzim yaitu enzim oksidase yang akan
menguraikan zat aktif yang sensitif terhadap oksidase.
Penggunaan: a. Bentuk serbuk
1 gr serbuk dalam 4 mL minyak biasa
1 gr serbuk dalam 2 mL minyak atsiri
Menghasilkan emulsi yang lebih stabil
b. Bentuk musilago
1 gr musilago dalam 2 mL (umum)
a.2. Tragakan
 Jarang digunakan sendiri karena membentuk emulsi yang keruh karena globul
minyak akan besar.
 Menyebabkan meningkatnya viskositas,sehingga menjadi lebih stabil
 Digunakan perbandingan 1 : 50 dengan minyak (lebih murah dari gom arab).
 Penambahan alkali, natrium borat, alkohol dan larutan garam alkali harus
ditambahkan secara hati-hati, untuk mencegah cracking.
 Biasanya emulgator golongan karbohidrat membentuk emulsi minyak dalam
air.
 Emulsi stabil dalam asam, netral dan tidak dalam alkali.
 Penggunaan utama sebagai pengental dengan akasia dengan perbandingan 0,1
gr tragakan untuk 1 gr akasia.
a.3. Agar
 Terkadang dipakai sebagai emulgator untuk minyak mineral
 Sebagai pengental dan biasa digunakan bersama akasia untuk meningkatkan
stabilitas dan mencegah creaming
 Agar musilago disiapkan dengan melarutkan agar pada air mendidih.
Caranya :
1. emulsi utama yang mengandung minyak mineral, akasia dibentuk dahulu
2. dengan stirring konstan, 2 % agar musilago ditambah untuk membentuk 30-50%
dari volume akhir.
a.4. Male Extract
Terutama untuk emulsi cod-liver oil
Minyak ditambah perlahan-lahan dengan triturasi konstan, untuk membentuk
ekstrak semisolid pada mortar hangat.
 Akan menghasilkan emulsi bewarna coklat yang bisa terpisah menjadi lapisan
tapi tidak menjadi crack bila minyak telah diemulsikan secara baik.
Polisakarida Semisintetik
Contoh: Metyl selulosa, Na-Carboxymethylselulosa (CMC).
b.1. Metyl Selulosa
Terutama digunakan dan efektif untuk penstabil emulsi minyak dalam air.
pH optimum 3-11.
Bersifat nonionik.
Larut baik dalam air dingin.
Terkoagulasi oleh elektrolit dengan konsentrasi tinggi.
b.2. CMC
 Viskositas sangat tinggi sehinggga digunakan untuk penstabil emulsi.
 Konsentrasi yang digunakan 0,5-1%.
 pH 5-10.
 Stabil pada air dingin.
c. Emulgator sintetik : Surfaktan, sabun &alkali (kerugian : inkompatibel terhadap
asam), alkohol (cetyl alkohol, glyceril), carbowaxes (PEG), lesitin (fosfolipid)

2.1.2 Pengawet
Pengawet diperlukan dalam sediaan emulsi karena:
- Fasa air merupakan media tumbuh yang baik bagi bakteri/mikroorganisme
Pengawet terutama diperlukan pada saat sediaan M/A, karena air merupakan fasa yang
jumlahnya lebih besar (fasa eksternal).
Semua emulsi memerlukan bahan antimikroba karena fase air mempermudah
pertumbuhan mikroorganisme….(FI IV hal 7)
- Penggunaan emulgator alam yang mudah terurai oleh mikroorganisme.
- Kontaminasi dari mikroba selama proses, baik dari udara, peralatan, maupun dari
personel.
- Menghindari perubahan yang tidak diinginkan dari sediaan emulsi yang disebabkan oleh
organisme (≈stabiltas) <Martin, hal 494>
Persyaratan pengawet:
- Larut dalam kedua fasa (terutama dalam fasa air).
- Tercampurkan dengan komponen lain dalam sediaan.
- Efektif dalam konsentrasi rendah.
- Tidak toksik dan tidak merangsang.
- Tidak menimbulkan rasa, warna, dan bau yang tidak enak/tidak sesuai.
Adanya kemungkinan antaraksi antar pengawet dan komponen lain, terutama surfaktan,
menyebabkan harus dilakukan pemilihan konsentrasi yang tepat. Keefektifan pengawet lebih
ditentukan dari konsentrasi pengawet yang tidak terikat/bebas yang terdapat dalam fasa air.
Contoh pengawet:
Menurut FI IV, hal 7, pengawet yang biasa digunakan dalam emulsi adalah: metil-,
etil-, propil-, dan butil paraben, asam benzoat, dan senyawa amonium quartener.
a. Asam organik
 Asam benzoat, digunakan pada pH 5, konsentrasi 0,1% digunakan CHCl 3 untuk
emulsi parafin cair.
 Asam sorbat, digunakan pada pH 6,5, dapat mengiritasi kulit dan kurang efektif,
konsentrasi 0,1 – 0,2%.
b. Ester dari asama p-hidroksi benzoat
Stabil, inert, tidak toksik, tidak berasa, efektif pada pH 7 – 9, terdispersi pada kedua
fasa, konsentrasi 0,1 – 0,2%. Contoh metil paraben, etil paraben, propil paraben, butil
paraben, dan garam-garam natriumnya.
c. Senyawa amonium quarterner
Konsentrasi 0,002 – 0,01%. Contoh: benzal konium klorida, setilpiriinium klorida, dll.
d. Senyawa merkuri organik
Konsentrasi 0,004 – 0,01%
Catatan:
Untuk setiap penggunaan 1% emulgator non ionik sangat menguntungkan bila dilakukan
penambahan 0,01% nipagin (propil paraben) dan 0,05% nipasol (metil paraben).

2.1.3 Antioksidan
Antioksidan diperlukan terutama untuk mencegah terjadinya ketengikan dari fasa minyak
(konsentrasi 0,01-0,1%).
Syarat antioksidan:
 Dapat segera terdispersi pada sediaan.
 Syarat lain sama dengan pengawet.
Contoh: BHT (butil hidroksi toluat), BHA (butil hidroksi anisol), tokoferol/vit E.

2.1.4 Flavor/Pemanis
Pemanis perlu ditambahkan untuk menutup bau yang tidak enak, oleh karena itu dipilih bau
yang tahan lama tetapi tidak terlalu merubah fasa sediaan. Flavour ditambahklan pada fasa
luar setelah sediaan jadi. Contoh: sorbitol (pemanis fasa air), vanilin (fasa air).

2. 2. Permasalahan Yang Dihadapi Dalam Penyusunan Formula


a. Pemilihan emulgator
b. Mendapatkan konsistensi yang tepat
Konsistensi suatu sediaan emulsi kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan.
Untuk meningkatkan konsistensi emulsi cair, yaitu:
o Meningkatkan kekentalan fasa luar.
o Meningkatkan persentase volume fasa terdispersi.
o Memperkecil ukuran partikel, meningkatkan homogenitasnya.
o Menambah jumlah emulgator.
o Menambah pengental atau emulagator hidrofob.
c. Persiapan mengatasi kemungkinan terjadinya oksidasi atau reaksi mikrobiologi
(pemilihan antioksidan dan pengawet yang cocok)
d. Cara pembuatan, termasuk alat yang digunakan.
e. Pemilihan wadah

III. PEMBUATAN SEDIAAN EMULSI


Sebelum membuat sediaan emulsi harus diperhatikan hal-hal berikut ini:
1. Sediaan yang akan dibuat adalah emulsi oral....... dengan kekuatan sediaan......
2. Sediaan emulsi akan dikemas dalam botol kaca dengan volume masing-masing botol
adalah .........
3. Jumlah sediaan yang dibuat sebanyak....botol (untuk dikumpulkan + untuk evaluasi).
Jadi jumlah volume emulsi yang dibuat sebanyak = (....botol X volume @ botol)
4. Semua bahan yang diperlukan ditimbang sebanyak yang dibutuhkan.
5. Didihkan air yang akan digunakan sebagai pembawa, dinginkan sebelum digunakan.
6. Lanjutkan sesuai metode pembuatan emulsi yang dipilih.
Prosedur pembuatan sediaan diantaranya dijelaskan pada dua pustaka:
1. The art of Compounding, 1957, 9th ed., Hlm 327-329 & Pengantar Bentuk Sediaan
Farmasi, Howart C. Ansel, ed. 4, 1989
2. RPS, 18th ed., Hlm. 1535-1536

3. 1 Menurut The art of Compounding, 1957, 9th ed., Hlm 327-329 & Pengantar Bentuk
Sediaan Farmasi, Howart C. Ansel, ed. 4, 1989
Ada 3 cara, yaitu:
3.1.1 Metode Kontinental (Gom kering)  prosesnya cepat
1. Membuat emulsi primer/awal/utama terlebih dahulu dengan
perbandingan minyak : air : emulgator = 4 : 2 : 1. Cara membuatnya sbb : Masukkan
emulgator/gom dalam mortir, tambahkan minyak. Aduk hingga tercampur baik.
Tambahkan sekaligus air, aduk cepat hingga terbentuk emulsi utama yang encer, stabil
dan mengeluarkan bunyi khas pada pergerakan alu.
2. Tambahkan bahan formulatif lain (zat pengawet, penstabil, perasa, dll
dilarutkan dahulu dalam sedikit fase luar baru dicampur dengan emulsi utama).
3. Zat yang mengganggu stabilitas emulsi ditambahkan terakhir
(misalnya elektrolit, garam logam, alkohol).
4. Bila semua bahan sudah ditambahkan, emulsi dipindahkan ke gelas
ukur dan sisa fase luar ditambah hingga volume yang diinginkan.

3.1.2 Metode Inggris (Gom basah)  prosesnya lama


Cocok untuk membuat emulsi dari minyak-minyak yang sangat kental.
a. Emulgator (misal CMC, Tilosa, Veegum, Bentonit) sebanyak.... dikembangkan terlebih
dahulu sesuai dengan sifat masing-masing emulgator.
b. membuat emulsi primer/awal/utama terlebih dahulu dengan perbandingan minyak : air :
emulgator = 4 : 2 : 1. Cara membuatnya sbb: 1 bagian emulgator/gom dicampur dengan
2 bagian air hingga terbentuk mucilage. Tambahkan minyak sedikit demi sedikit, aduk
cepat dan kekentalan dijaga dengan menambahkan air. Setelah terbentuk emulsi primer,
teruskan pengocokan selama 1-3 menit.
c. Bahan formulatif lainnya (zat pengawet, perasa, dll) ditambahkan dengan cara dilarutkan
terlebih dahulu ke dalam sedikit fasa luar baru kemudian dicampurkan dengan emulsi
utama.
d. Zat yang mengganggu stabilitas emulsi ditambahkan terakhir (misalnya elektrolit, garam
logam, alkohol).
e. Sisa air ditambahkan sedikit demi sedikit sambil diaduk cepat sampai mencapai volume
yang diinginkan.

3.1.3 Metode Botol


Cocok untuk membuat emulsi minyak yang mudah menguap (minyak atsiri) dan mempunyai
viskositas rendah (minyak yang tidak kental karena percikan/semburan dapat dicegah.Satu
bagian emulgator kering dimasukkan dalam botol dan tambahkan 2 bagian minyak atsiri.
Kocok hingga tercampur baik. Kemudian tambahkan 2 bagian air sekaligus, kocok hingga
terbentuk emulsi. Tambahkan fase luar sisa sedikit demi sedikit, kocok setiap penambahan.
Catatan :
Pengocokan yang tidak teratur lebih baik daripada pengocokan yang teratur.Penimbangan
bahan (terutama air/minyak) harus akurat dan menggunakan wadah yang kering, demikian
juga mortir yang digunakan harus kering.

3.2 Menurut RPS, 18th ed., Hlm. 1535-1536


Tujuan dalam membuat emulsi adalah mengurangi ukuran fase internal menjadi droplet-
droplet kecil dan dapat terdispersi dalam fase external. Hal ini dapat dilakukan dengan
menggunakan bantuan mortir dan stamper atau dengan emulsifier kecepatan tinggi.
Penambahan emulgator tidak hanya untuk tujuan diatas, tetapi juga untuk menstabilkan
emulsi.
Emulsi dapat dipersiapkan dengan 4 metoda:
3.2.1 Penambahan fase internal kedalam fase eksternal
Jika fase internal air dan fase eksternal minyak.
a. Larutkan bahan larut air dalam air secukupnya
b. Larutkan bahan larut minyak dalam minyak
c. Masukkan fase minyak kedalam fase air sambil diaduk
d. Masukkan sisa air kedalam emulsi yang telah terbentuk
3.2.2 Penambahan fase eksternal kedalam fase internal
Misal: emulsi M/A
Penambahan fase air (fase eksternal) kedalam fase minyak (fase internal) akan
membentuk emulsi A/M, karena fase minyak lebih banyak. Setelah sisa fase air
ditambahkan akan terjadi inversi sehingga terbentuk emulsi M/A. Metoda ini terutama
digunakan pada penggunaan emulgator hidrofilik seperti akasia, tragakan, atau
metilselulosa yang awalnya dicampur dengan fase minyak. Jadi mempengaruhi dispersi
tanpa pembasahan.
Teknik dry gum ini merupakan metoda yang cepat untuk pembuatan emulsi dalam jumlah
kecil. Perbandingan minyak: air: gom adalah 4:2:1. Emulsi dapat dicairkan dan ditriturasi
dengan air untuk konsentrasi yang tepat.
Contoh: pembuatan emulsi minyak mineral.
3.2.3 Pencampuran 2 fase setelah masing-masing fase dipanaskan
Metoda ini digunakan untuk wax atau bahan lain yang membutuhkan peleburan/ pelelehan
dalam penggunaannya. Metoda ini sering digunakan dalam pembuatan salep, krim.
a. Emulgator larut minyak, minyak, dan wax dicampur dan dilelehkan bersama
b. Bahan larut air dilarutkan dalam air dan dipanaskan sampai dengan temperatur sedikit
diatas temperatur fase minyak
c. Kemudian campur kedua fase dan stirer hingga dingin
d. Untuk penampilan yang lebih baik (tapi tidak selalu), fase air dapat ditambahkan ke
campuran fase minyak
3.2.4 Penambahan 2 fase secara bergantian ke emulgator
Misal: emulsi M/A
a. Sebagian fase minyak dimasukkan dan dicampur dalam emulgator larut minyak
b. Fase air (dalam jumlah yang sama dengan fase minyak) yang mengandung emulgator
larut air ditambahkan kedalam fase minyak. Stirer sampai terbentuk emulsi
c. Sisa air dan minyak ditambahkan secara bergantian sampai terbentuk produk akhir
Metoda ini cocok pada penggunaan emulgator sabun.

3.3 Permasalahan Pada Teknik Pembuatan


a. Pemanasan (suhu)
Pada pembentukan emulsi metode dispersi dengan peningkatan suhu, sukar menentukan suhu
yang paling baik untuk proses emulsifikasi. Suhu tinggi akan menyebabkan tegangan
permukaan dan viskositas turun sehingga proses emulsifikasi menjadi lebih mudah. Tetapi
kenaikan suhu akan meningkatkan energi kinetik globul sehingga kemungkinan untuk
bertumbukan dan terjadi koalesensi menjadi lebih besar. Umumnya suhu pencampuran yang
baik 60-70oC.
b. Waktu pengadukan
Pada waktu mula-mula diaduk, globul akan terbentuk. Pada pengadukan selanjutnya
kesempatan dua globul bergabung akan lebih besar dan terjadilah koalesensi. Harus dicari
waktu pengadukan yang optimum.
c. Peralatan mekanik yang digunakan
Jenis alat yang digunakan akan mempengaruhi diameter globul yang terbentuk. Jika
menggunakan mortir, akan dihasilkan globul berdiameter besar sehingga creaming lebih cepat
terjadi. Jika menggunakan stirer, diameter globul yang dihasilkan cukup kecil, tetapi akan
terbentuk busa yang cukup banyak karena adanya emulgator. Hal ini dapat dicegah dengan
penambahan antibusa. Anti busa yang banyak dipakai adalah golongan silikon dan alkohol
berantai panjang.
3.4 Kegagalan Emulsi
Kegagalan emulsi antara lain disebabkan oleh:
a. Pemilihan emulgator yang kurang tepat.
b. Emulgator terurai karena reaksi kimia.
c. Proses pengerjaan tidak tepat.
d. Apabila zat pengemulsi peka terhadap perubahan suhu, adanya perubahan suhu akan
menyebabkan pemisahan fasa, sebaliknya penurunan suhu akan merangsang pembentukan
kristal.
e. Adanya elektrolit dalam jumlah yang tidak tepat.
f. Perbandingan volume antara kedua fasa tidak tepat. Kondisi yang baik untuk fasa
terdispersi antara 40-60%.
g. Penyimpanan tidak sesuai. Kerja oksidasi air terhadap logam-logam meningkat
dengan adanya surfaktan dan ini dapat menyerang logam. Benturan mekanik juga dapat
merusak film interaksi dan akibatnya memecahkan emulsi atau membalikan fasa.
h. Ketengikan minyak.
i. Terjadinya thickening atau menjadi kristal (viskositas meningkat) setelah disimpan.
Hal ini antara lain disebabkan terlalu banyaknya zat-zat pada fasa eksternal, malam atau
wax, atau zat pengemulsi.

IV. EVUALASI SEDIAAN EMULSI


Beberapa evaluasi yang perlu dilakukan terhadap sediaan emulsi adalah (modul praktikum
Teknologi Sediaan Liquid dan Semisolid, revisi 2003, hal 38) :
1. pemeriksaan organoleptik
2. penentuan efektivitas pengawet
3. penentuan tipe emulsi
4. penentuan ukuran globul
5. penentuan sifat aliran dan viskositas sediaan
6. penentuan berat jenis
7. penentuan volume terpindahkan
8. penentuan tinggi sendimentasi
9. pengujian stabilita dipercepat
10. pengujian lain yang dipersyaratkan pada monografi bahan aktif
4.1 Pemeriksan Organoleptik
Secara organoleptik, sediaan emulsi yang disimpan pada temperatur kamar diperiksa
warna, bau, dan rasanya. Selama disimpan pada temperatur kamar tidak boleh terjadi
perubahan terhadap bentuk fisik (warna, rasa, dan bau) sediaan emulsi, yang dapat
menyebabkan berkurangnya penampilan dan penerimaan pasien (acceptabilitas).

4.2 Penentuan Efektivitas Pengawet


Semua emulsi memerlukan bahan anti mikroba karena fase air mempermudah
pertumbuhan mikroorganisme. Kesulitan muncul pada pengawetan sistem emulsi, sebagai
akibat dari memisahnya bahan anti mikroba dari fasa air yang sangat memerlukannya, atau
terjadinya kompleksasi dengan bahan pengemulsi yang akan mengurangi efektivitas. Oleh
karena itu, efektivitas sistem pengawetan harus selalu diuji pada sediaan akhir. (FI IV, hal 7)
Efektivitas pengawet pada sediaan emulsi dilakukan sesuai dengan ketentuan pada Uji
Efektivitas Pengawet Antimikroba <61> pada FI IV, hal 854-855.

4.3 Penentuan Tipe Emulsi


Dilakukan dengan salah satu prosedur pada point I.3.2. Penentuan Tipe Emulsi.

4.4 Penentuan Ukuran Globul (Martin hal 430431; Lachman Practice ed III, hal 531)
Metode ini cukup banyak digunakan untuk evaluasi emulsi. Yang ditetapkan adalah
ukuran droplet rata-rata berikut distribusinya pada selang waktu waktu tertentu. Diasumsikan
terjadi pembesaran ukuran droplet. Analisis ukuran droplet ini dapat dilakukan dengan
mikroskop (mengukur diameter) atau penghitung elektronik (electronic counter), yang
mengukur volume droplet.
Caranya: untuk mempermudah penentuan ukuran droplet, sediaannya diencerkan dulu
dengan gliserin. Dari sediaan yang telah diencerkan tadi, diambil 1-2 tetes, disimpan di atas
kaca objek, lalu diberi beberapa tetes larutan Sudan III, diaduk sampai rata. Setelah diberi
kaca penutup, dilihat di bawah mikroskop bermikrometer. Partikel yang diukur paling sedikit
berjumlah 300.
Studi menggunakan emulsi yang stabil menunjukkan bahwa pada awalnya akan terjadi
perubahan ukuran droplet yang sangat cepat, yang menunjukkan kekurangsempurnaan
pelapisan permukaan droplet oleh emulgator selama proses emulsifikasi. Selanjutnya
perubahan ukuran droplet yang lambat menunjukkan adanya koalesensi droplet sampai
tercapai kondisi yang relatif lebih stabil.
4.5 Penentuan Sifat Aliran dan Viskositas Sediaan
Pendekatan untuk mengetahui stabilitas sediaan yang banyak digunakan adalah
penetapan sifat aliran (rheologi) dan viskositas sediaan. Hal ini bermanfaat karena salah satu
faktor yang mempengaruhi stabilitas fisik sediaan emulsi adalah viskositas (sesuai hukum
Stokes). Emulsi yang baik memiliki aliran tiksotropik (mudah mengalir atau tersebar, tetapi
memiliki viskositas cukup tinggi untuk meningkatkan stabilitas fisiknya).
Hampir seluruh sistem dispersi (termasuk sediaan-sediaan farmasi yang berbentuk
emulsi, suspensi, dan sediaan semi solid) mempunyai sifat aliran yang tidak mengikuti hukum
newton (non-newtonion) (Modul praktikum Farmasi Fisika 2002, hal 6).
Shelf-life produk emulsi dapat diprediksi dengan cara mengukur viskositasnya pada
selang waktu tertentu (0,04-400 hari). Berkurangnya viskositas merupakan indikator
bertambahnya diameter partikel (terjadi koalesensi). Makin cepat terjadi perubahan viskositas
berarti makin pendek shelf-life produk tersebut.
Untuk mengetahui sifat aliran emulsi dapat dilakukan dengan pengukuran viskositas
pada berbagai rate of shear. Aspek flokulasi diamati pada rate of shear yang rendah,
sedangkan kehilangan viskositas dapat diamati pada rate of shear yang tinggi.
Metode yang dianjurkan untuk dipilih:
a. Viskometer Stormer. (Modul Praktikum Farmasi Fisika, 2002, hal 6)
b. Viskometer Brookefield. (Modul Praktikum Teknologi Sediaan Liquid dan Semi
Solid, revisi 2003, hal 38)

Viskometer Stormer (Modul Praktikum Farmasi Fisika, 2002, hal16)


Cara kerja :
1. Isi mangkuk dengan cairan yang akan diukur viskositasnya.
2. Naikkan alas sedemikian rupa sehingga selinder berada tepat di tengah-tengah
mangkuk.
3. atur skala sehingga menunjukkan angka nol.
4. berikan beban tertentu dan lepaskan kunci sehingga bandul turun dan
mengakibatkan silinder berputar sampai mencapai skala tertentu.
5. catat waktu yang diperlukan oleh bandul untuk mencapai skala tersebut.
Hitung RPM.
6. dengan menaikkan dan menurunkan beban maka di dapat pengukuran pada
berbagai RPM.
Perhatian : setiap kali pengukuran harus dimulai dari skala nol.
Untuk menghitung viskositas digunakan persamaan sebagai berikut :

Aliran Newton :  = Kv x

Aliran Plastik :  = Kv x

Kv = konstanta
W = beban yang diberikan
Wf = beban pada yield value
RPM = jumlah putaran per menit
Untuk menghitung K biasanya digunakan cairan pembanding yang telah diketahui
viskositasnya. Untuk mengetahui sifat alirannya, digambarkan kurva antara RPM vs
beban yang diberikan.

Viskometer Brookfield (Modul Praktikum Farmasi Fisika, 2002, hal 17)


Cara kerja :
1. Pasang spindel pada gantungan spindel.
2. Turunkan spindel sedemikian rupa sehingga batas spindel tercelup ke dalam
cairan yang akan diukur viskositasnya.
3. pasang stop kontak.
4. nyalakan motor sambil menekan tombol.
5. biarkan spindel berputar dan lilatlah jarum merah pada skala.
6. bacalah angka yang ditunjukkan oleh jarum tersebut. Untuk menghitung
viskositas, maka angka pembacaan tersebut dikalikan dengan suatu faktor yang dapat
dilihat pada tabel yang terdapat pada brosur alat.
7. dengan mengubah-ubah RPM, maka didapat viskositas pada berbagai RPM.
Untuk mengetahui sifat aliran, dibuat kurva antara RPM dan usaha yang dibutuhkan untuk
memutar spindel. Usaha dapat dihitung dengan mengalikan angka yang terbaca pada skala
dengan 7,187 dyne cm (untuk viskometer Brookfield tipe RV)

4.6 Penentuan Berat Jenis


Dilakukan sesuai dengan prosedur Penetapan Bobot Jenis <981>, FI IV, hal 1030.

4.7 Penentuan Volume Terpindahkan


Dilakukan sesuai dengan prosedur Volume Terpindahkan <1261>, FI IV, hal 1089.

4.8 Penentuan Tinggi Sendimentasi


Pengamatan terhadap emulsi akibat pengaruh waktu dan temperatur merupakan hal yang rutin
dilakukan untuk memprediksi shelf life produk emulsi.
Caranya:
Sediaan emulsi yang diuji disimpan dalam tabung sedimentasi selama beberapa waktu pada
temperatur kamar dan temperatur di atas temperatur kamar. Selang waktu tertentu dilakukan
pengamatan terhadap sediaan emulsi yang diuji dengan melihat terjadinya pembentukan
lapisan seperti susu. Stabilitas fisik emulsi ditentukan dengan berdasarkan perbandingan harga
Hu dan Ho selama penyimpanan.
Hu = tinggi lapisan seperti susu
Ho = tinggi seluruh sediaan

Emulsi dikatakan stabil jika harga 1 atau mendekati satu.

Efek penyimpanan pada temperatur tinggi adalah percepatan laju koalesensi atau
creaming, yang lazimnya juga diikuti dengan berkurangnya viskositas. Kebanyakan emulsi
akan menjadi encer jika disimpan pada temperatur tinggi dan akan menjadi keras jika
dikembalikan pada temperatur kamar. Pengerasan ini akan lebih intensif jika pendinginan
tersebut tidak disertai dengan pengadukan.
Umumnya pendinginan akan lebih cepat merusak emulsi dibandingkan dengan
pemanasan, karena lazimnya kelarutan emulsi lebih sensitif terhadap pendinginan.
Beberapa emulsi diketahui sangat stabil pada temperatur 40-45 oC, tetapi tidak dapat
mentoleransi temperatur di atas 50 oC atau di atas 60 oC selama beberapa jam.
Perubahan temperatur dapat menimbulkan efek terhadap: viskositas, partisi emulgator, inversi
fasa dan kristalisasi jenis lipid tertentu.

4.9 Pengujian Stabilita Dipercepat


Stabilitas sediaan emulsi dapat dilihat setelah penyimpanan sediaan selama waktu
simpannya (shelf-life); namun cara ini membutuhkan waktu yang lama. Sehingga digunakan
pengujian stabilita dipercepat untuk memperoleh data stabilitas jangka panjang. Pengujian
stabilita dipercepat dilakukan dg cara memberikan tekanan tertentu pada sediaan; dg agitasi,
sentrifugasi, atau teknik manipulasi suhu. (The Pharmaceutical Codex, 12th ed, hal 83)
Agitasi dapat meningkatkan kecepatan dimana globul bertemu sehingga menurunkan
skala waktu stabilitasnya. Sentrifugasi data menginduksi creaming atau koalesensi pada
sistem yang tidak stabil. Kondisinya harus dipertimbangkan baik-baik untuk mencegah
distorsi globul atau kerusakan lapisan film. Manipulasi suhu, seperti merubah suhu tinggi ke
suhu rendah dan sebaliknya terus menerus, adalah metode yang paling sering digunakan.
Suhu yang ekstrim harus dihindari. (The Pharmaceutical Codex, 12th ed, 83)
Metode yang dianjurkan : dengan sentrifugasi (Modul Praktikum Teknologi Sediaan
Liquid dan Semi Solid, revisi 2003, hal 38). Sentrifugasi pada 3750 RPM dalam tabung
sentrifuga setinggi 10 cm selama 5 jam dapat dikatakan ekivalen dengan pengaruh gravitasi
selama + 1 tahun. Sedangkan sentrifugasi pada kecepatan yang sangat tinggi (25.000 RPM)
dapat memprediksi penyebab ketidakstabilan emulsi, yang tidak terlihat pada penyimpanan
normal.

V. CONTOH SEDIAAN EMULSI DI PUSTAKA


V.1 Formula Standar Fornas 78
V.1.1 Emulsi minyak ikan (Hal: 217)
R/ Oleum lecoris Aselli 100g
Glycerolum 10 g
Gummi Arabicum 30 g
Oleum Cinnamomi gtt VI
Aqua destillata hingga 21 g

V.1.2 Emulsi parafin (Hal: 227)


R/ Tiap 100 ml mengandung :
Paraffinum liquidum 50 ml
Gummi Aabicum 12,5 mg
Sirupus simplex 10 ml
Vanillinum 4 mg
Aethanolum 90 % 6 ml
Aqua destilata hingga 1 ml

5.1.3 Emulsi Parafin Fenolftalein (Emulsi pencahar) (Hal: 228)


R/ Tiap 100 ml mengandung :
Phenolphthaleinum 300 mg
Paraffinum liquidum 50 ml
Gummi Aabicum 12,5 mg
Saccharinum Natricum 5 mg
Acidi Benzoici solutio 2,5 ml
Vanillinum 4 mg
Aqua destilata hingga 100 ml

5.2 USP XXII th 90, Hal: 155


R/ Benzyl Benzoat 200 ml
TEA 5g
Oleic acid 20g
Purified water 750 ml
To make about 1000 ml

V.2 Lachman
Emulsi Oral (Hal: 203)
R/ Cottonseed oil winterrized 460,0 g
Sulfadiazin 200,0 g
Sorbitan monostearat 84,0 g
Polyoxyetylene (20) sorbitan 36,0 g
Monostearat 2,0 g
Sweetener qs
Water potebel 1000g
Flavour oil qs

V.3 Art of Compounding, Hal: 233-237


Ada di lampiran

V.4 BP 2001
Liquid paraffin (2298)
Liquid paraffin and Magnesium hidroksida (22999)
Emulsi Peruvian II (balsam buah dada) (Hal: 234)
R/ Tiap 100 g mengandung :
Balsamun Peruvianum 2g
Oleum Arachidis 8g
Gummi Arabicum 6g
Acidum boricum 2g
Aq. Rosarum hingga 100g

Lotio Benzil Benzoat


R/ Tiap 100 ml mengandung :
Benzylis benzoas 25 ml
Triethanolaminum 500 mg
Acidum oleinicum 2g
Aquades hingga 100 ml

Emulsi Parenteral
R/ Cotton seed oil 15,0 g
PEG 200 monopalmitat 1,2 g
Ester asam tartrat 0,3 g
Polyoxyetylene polyoxypropyllen
blok polimer 0,3 g
Isotonis glukosa 83,2 g

Anda mungkin juga menyukai