Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Kulit merupakan bagian tubuh yang paling utama yang perlu
diperhatikan dalam menjaga kesehatan kulit. Kulit adalah organ tubuh yang
pertama kali terkena polusi oleh zat-zat yang terdapat dilingkungan kita,
termasuk jasad renik (mikroba) yang tumbuh dan hidup dilingkungan kita.
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia.. Kesehatan kulit dan wajah menjadi penekanan
utama untuk mendapatkan penampilan yang menarik. Kulit yang tampak
halus , putih dan bersih akan dapat menambah nilai estetik penampilan. Kulit
juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, serta bervariasi pada keadaan
iklim, umur, jenis kelamin, ras dan lokasi tubuh.
Sediaan semisolid merupakan bagian yang penting dari sediaan
farmasi secara keseluruhan. Salah satu bentuk sediaan emulsi yang saat ini
digemari oleh konsumen, karena kebanyakan dibuat dalam bentuk kosmetik
yang mampu mencerahkan dan melembabkan kulit yakni krim.
Krim merupakan salah satu sediaan setengah padat yang
dimaksudkan untuk pemakaian luar yang pemakaiannya dengan cara
dioleskan pada bagian kulit yang sakit. Selain krim ada sediaan setengah
padat lain yang beredar di pasaran yang dimaksudkan untuk pengobatan
seperti pasta, salep dan gel, tetapi dari sediaan-sediaan tersebut krim paling
sering digunakan sebagai basis. Hal ini dikarenakan krim mempunyai
beberapa keuntungan yaitu tidak lengket dan mudah dicuci dengan air.

I.2 Tujuan Penulisan


Tujuan dilakukannya penulisan makalah ini yaitu :
1. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan saat pre
formulasi sediaan krim
2. Untuk mengetahui salah satu contoh formula dari zat aktif yang
digunakan dalam proses pembuatan krim
BAB II
URAIAN UMUM
II.1 Teori Umum
II.1.1 Pengertian Emulsi
Emulsi adalah suatu sistem termodinamik yang stabil, suatu system
heterogen yangterdiri dari paling sedikit 2 cairan yang tidak bercampur,
dimana salah satunya sebagai fase dalam fase terdispersi (fase internal)
terdispersi secara seragam dalam bentuk tetesan-tetesan kecil pada medium
pendispersi (fase eksternal) yang distabilkan dengan emulgator yang cocok
(Ansel;1989).
II.1.2 Keuntungan Emulsi

 Banyak bahan obat yang mempunyai rasa dan susunan yang tidak
menyenangkan dan dapat dibuat lebih enak pada pemberian oral
bila diformulasikan menjadi emulsi.
 Beberapa obat menjadi lebih mudah diabsorpsi bila obat-obat
tersebut diberikan secara oral dalam bentuk emulsi.
 Emulsi memiliki derajat elegansi tertentu dan mudah discuci bila
diinginkan.
 Formulator dapat mengontrol penampilan, viskositas, dan
kekasaran (greasiness) dari emulsi kosmetik maupun emulsi
dermal.
 Emulsi telah digunakan untuk pemberian makanan berlemak
secara intravena akan lebih mudah jika dibuat dalam bentuk
emulsi.
 Aksi emulsi dapat diperpanjang dan efek emollient yang lebih
besar daripada jika dibandingkan dengan sediaan lain.
 Emulsi juga memiliki keuntungan biaya yang penting daripada
preparat fase tunggal, sebagian besarlemak dan pelarut-pelarut
untuk lemak yang dimaksudkan untuk pemakaian ke dalam tubuh
 manusia relatif memakan biaya, akibatnya pengenceran dengan
suatu pengencer yang aman dan tidak mahal seperti air sangat
diinginkan dari segi ekonomis selama kemanjuran dan
penampilan tidak dirusak.
II.1.3 Kerugian Sediaan Emulsi

Emulsi kadang-kadang sulit dibuat dan membutuhkan tehnik


pemprosesan khusus. Untuk menjamin karya tipe ini dan untuk membuatnya
sebagai sediaan yang berguna, emulsi harus memiliki sifat yang diinginkan
dan menimbulkan sedikit mungkin masalah-masalah yang berhubungan.
II.1.4 Komposisi Emulsi

Emulsi mempunyai 3 komponen umum yaitu ; fase terdispersi atau


fase internal, fase kontinyu atau fase eksternal, dan bahan pengemulsi.

II.1.5 Tipe-tipe emulsi dan ukuran tetes emulsi

1. M/A (minyak/air)
Suatu emulsi dimana minyak terdispersi sebagai tetesan-tetesan
dalam fase air dan diistilahkan emulsi minyak dalam air.
2. A/M (air/minyak)
Jika air adalah fase terdispersi dan minyak adalah medium
pendispersi, maka emulsi disebut emulsi air dalam minyak.
3. Emulsi ganda telah dikembangkan berdasarkan pencegahan
pelepasan bahanaktif. Dalam tipe emulsi ini dihadirkan 3 fase
yang disebut bentuk emulsi A/M/A atau M/A/M atau disebut
emulsi dalam emulsi”. Kebanyakan emulsi yang berlaku dalam
farmasi mempunyai partikel terdispersi dengan diameter dalam
range 0,1-100 m.
Jika tetesan-tetesan minyak didispersikan dalam fase air, fase
kontinyu, maka emulsi disebut minyak dalam air (M/A). Jika minyak
merupakan fase kontinyu, emulsi merupakan tipe air dalam minyak
(A/M). Telah diamati bahwa emulsi M/A kadang-kadang berubah
menjadi emulsi A/M atau sebaliknya (inversi).
Dua tipe emulsi tambahan yang digolongkan sebagai emulsi
ganda, tampaknya diterima oleh para ahli kimia. Secara keseluruhan
memungkinkan untuk membuat emulsi ganda dengan karakteristik
minyak dalam air dalam minyak (M/A/M) atau air dalam minyak
dalam air (A/M/A).
Ukuran partikel dari fase terdispersi menentukan penampilan
sutau emulsi berkisar dari 0,25-10 . Ditetapkan bahwa partikel-
partikel terdispersi yang cukup baik mempunyai suatu diameter
kurang dari ¼ panjang gelombang cahaya tampak sehingga
transparan pada mata. Dalam suatu mikroemulsi, ada bola-bola
terdispersi yang mempunyai jari-jari dibawah kisaran 10-75 nm.
II.1.6 Cara Memprediksi tipe Emulsi

Untuk memprediksi tipe emulsi yang terbentuk di bawah kondisi tertentu,


maka interaksi dari parameter harus dipertimbangkan :
a. Jika amfifil adalah larutan air yang esensial (misalnya sabun
kalium/polioksietilen alkil dengan unit etilenoksida  5) Bisaanya
membantu pembentukan emulsi M/A, juka surfaktan terutama larut
dalam bagian lemak (sabun kalium, polioksietilen alkil dengan unit
etilenoksida 5) dapat membantu pembentukan emulsi A/M jika kondisi
lain diberikan.
b. Bagian polar dari emulgator Bisaanya adalah barier yang lebih baik
koalesens daripada bagian hidrokarbonnya. Oleh karena itu,
memungkinkan untuk membuat emulsi M/A dengan volume fase
internal yang relatif tinggi. Di lain pihak emulsi A/M (bariernya adalah
hidrokarbon alam) terbatas dalam bagian ini dan berubah dengan
mudah jika jumlah air yang ada sama. Contohnya ; air, minyak mineral,
sorbitan monooleat, Bisaanya ditujukan untuk pembentukan emulsi A/M
karena kurangnya unit etilenoksida hanya mungkin jika jumlah air < 40
% dari volumenya. Jumlah air yang lebih tinggi akan membentuk emulsi
M/A.
c. Bahkan jika airnya 20-30 %, emulsi A/M akan tetap terbentuk jika air
ditambahkan pada minyak pada pencampuran. Penambahan kedua
fase bersama-sama diikuti dengan pencampuran menunjukkan emulsi
M/A pada seluruh konsentrasi air diatas 10 %.
d. Terakhir, tipe emulsi yang terbentuk dipengaruhi oleh viskositas
masing-masing fase, peningkatan viskositas dari fase membentuk fase
luar. Meskipun terdapat kesulitan ini, seseorang dapat mengharapkan
suatu pengemulsi yang larut dalam air secara dominant membentuk
emulsi M/A. Sedangkan kebalikannya adalah besar untuk surfaktan
yang pada dasarnya larut dalam minyak.
II.1.7 Cara menentukan tipe emulsi

1. Uji pengenceran.
Metode ini tergantung pada kenyataan bahwa suatu emulsi M/A
dapat diencerkan dengan air dan emulsi A/M dengan minyak. Saat
minyak ditambahkan, tidak akan bercampur ke dalam emulsi dan
dan akan nampak nyata pemisahannya. Tes ini secara benar
dibuktikan bila penambahan air atau minyak diamati secara
mikroskop.
2. Uji Konduktivitas.
Emulsi dimana fase kontinyu adalah cair dapat dianggap memiliki
konduktivitas yang tinggi dibanding emulsi dimana fase kontinyunya
adalah minyak. Berdasarkan ketika sepasang elektrode
dihubungkan dengan sebuah lampu dan sumber listrik,
dimasukkan dalam emulsi M/A, lampu akan menyala karena
menghantarkan arus untuk kedua elektrode. Jika lampu tidak
menyala, diasumsikan bahwa sistem A/M.
3. Uji Kelarutan Warna.
Bahwa suatu pewarna larut air akan larut dalam fase berair dari
emulsi. Sementara zat warna larut minyak akan ditarik oleh fase
minyak. Jadi ketika pengujian mikroskopik menunjukkan bahwa zat
warna larut air telah ditarik untuk fase kontinyu, uji ini diulangi
menggunakan sejumlah kecil pewarna larut minyak, pewarnaan
fase kontinyu menunjukkan tipe A/M.
II.1.8 Pembentukan dan Pemecahan tetesan fase terdispersi

a. Proses dispersi untuk membentuk tetesan-tetesan


Berdasarkan dua fase cair yang tidak saling bercampur melalui tes
tube. Untuk mendispersikan suatu cairan sebagai tetesan-tetesan
dalam cairan lainnya, antar muka antara dua cairan tersebut harus
dihambat dan diperluas pada derajat yang cukup sehingga “jari-jari”
atau benang-benang dari cairan yang satu masuk ke dalam cairan
yang lainnya dan vice versa. Benang-benang ini tidak stabil dan
menjadi bercabang-cabang dan berembun. Embun-embun ini akan
terpisah menjadi bulatan-bulatan. Bergantung pada agitai atau shera
rate yang digunakan, tetesan yang lebih besar juga tidak terbentuk
untuk menjadi benang-benasng kecil,. Di mana berubah menjadi
tetesan yang lebih kecil.
Waktu agitasi sangat penting karena ukuran utama dari tetesan
menurun dengan cepat pada beberapa detik pertama dari agitasi.
Pembatasan ukuran range secara umum dicapai dalam waktu 1-5
menit dan dihasilkan dari jumlah tetesan koalesen yang menjadi
equivalen terhadap jumlah tetesan yang baru terbentuk.

Cairan dapat teragitasi atau terputus oleh beberapa alasan.


Pengocokan umumnya dikembangkan, khususnya saat komponennya
memiliki viskositas rendah. Pengocokan intermitten Bisaanya lebih
efisien dibanding pengocokan berlanjut, mungkin karena interval waktu
yang singkat antara pengocokan benang-benang yang didorong
sepanjang waktu antar muka untuk menghancurkannya menjadi
tetesan-tetesan yang kemudian diisolasi menjadi fase yang
berlawanan.

Agitasi cepat berlanjut dimaksudkan untuk menghalangi


penghancuran membentuk tetesan. Sebuah lumpang dan alu sering
digunakan dalam pembuatan emulsi, meruapakan tehnik yang sangat
tidak efisien dan tidak digunakan pada skala besar.

Peningkatan dispersi dicapai melalui penggunaan mikser


berkecepatan tinggi, blender, koloid mill dan homogenizer, tehnik
ultrasonic juga telah dikembangkan.

b. Penggabungan tetesan-tetesan
Koalesen adalah proses tersendiri dari flokulasi (agregasi) yang
umumnya mengawali flokulasi. Sementara flokulasi adalah penyatuan
partikel sedangkan koalesen adalah penggabungan aglomerat menjadi
tetesan yang lebih besar atau tetesan-tetesan. Koalesen Bisaanya lebih
cepat jika 2 cairan yang tidak saling bercampur dikocok bersama, sejak
tidak ada energi barier yang besar untuk mencegah penggabungan
tetesan dan reformasi dari fase bersama aslinya. Jika suatu bahan
pengemulsi ditambahkan ke dalam system, flokulasi masih dapat terjadi
tetapi koalesen dikurangi menjadi lebih sedikit tergantung manjurnya
bahan pengemulsi untuk membentuk kestabilan lapisan koheren antar
muka. Karena itu, sebaiknya membuat emulsi yang diflokulasi sebelum
berkoalesen. Dalam penambahan lapisan antar muka sekatar aksi
tetesan sebagi barier mekanik, teteasan juga dicegah dari
pembentukan koalesen dengan adanya lapisan tipis dari fase kontinu
antara partikel yang berkumpul bersama.
II.1.9 Teori Emulsifikasi

Dalam semua cairan terdapat tekanan yang menyebabkan tetesan


dari cairan yang mempunyai bentuk pada permukaan paling bawah dengan
hubungannya dengan ukuran yaitu bentuk bola. Karena itu, jika dua tetesan
dalam kontak satu sama lain, mereka berkoalesen membentuk satu tetesan
yang lebih besar karena hasil ini dalam penurunan total permukaan
ditunjukkan oleh massa cairan yang dihadirkan kembali. Tanggung jawab
kekuatan untuk keadaan ini dapat diukur dan dikenal sebagai tegangan
permukaan dari cairan jika kontak dengan udara atau dengan uapnya sendiri
dan “Tegangan antar muka” jika cairan kontak dengan cairan yang lainnya.
Bahan yang mana bila ditambahkan ke dalam cairan, tegangan antar
mukanya lebih rendah apada batas cairan disebut juga surface agent atau
bahan pembasah.

Tegangan antar muka ini dapat diatasi dengan cepat untuk


membuat cairan hancur menjadi globul yang lebih kecil. Bagaimanapun, jika
tidak dilakukan sesuatu untuk mencegah efek dari tegangan ini, globul akan
berkoalesens dan emulsi akan pecah. Dapat dilihat bahwa efek dari tegangan
ini dapat dicegah dengan tiga cara ; dengan maksud agar beberapa bahan
yang akan menurunkan tegangan antar muka antar cairan; dengan maksud
agar beberapa bahan dapat memutuskan teangan antar muka dari dua cairan
dan menahannya bersama-sama melalui kekuatan yang dahsyat; atau
dengan maksud agar beberapa bahan akan membentuk lapisan sekitar
globvul dari fase terdispersi dan menjaganya secara mekanik dari
pembentukan koalesen.

II.1.10 Emulgator dan Pembagian Emulgator

Emulgator adalah bahan aktif permukaan yang menurunkan


tegangan antar muka antara minyak dan air dan mengelilingi tetesan
terdispersi dengan membentuk lapisan yang kuat untuk mencegah
koalesensi dan pemisahan fase terdispersi.

1. Bahan pengemulsi sintetik


 Anionik pada sub bagian ini ialah sulfaktan bermuatan (-)
Contoh : Na, K dan garam-garam ammonium dari asam
oleat dan laurat yang larut dalam air dan baik sebagai bahan
pengemulsi tipe o/w. Bahan pengemulsi ini rasanya tidak
menyenangkan dan mengiritasi saluran pencernaan

 Kationik. Aktivitas permukaan pada kelompok ini bermuatan


(+). Komponen ini bertindak sebagai bakterisid dan juga
menghasilkan emulsi antiinfeksi sepertimpada lotion kulit dan
krem
 Non ionic. Merupakan surfaktan tidak berpisah ditempat
tersebar luas digunakan sebagai bahan pengemulsi ketika
kerja keseimbangan molekul antara hidrofik dan lipofilik
2. Emulgator alam
Banyak emulgator alam (tumbuhan, hewan). Bahan alam yang
diperkirakan hanyalah gelatin, kritin dan kolesterol.
3. Padatan terbagi halus
Bagian emulgator ini membentuk lapisan khusus disekelilin
tetesan terdispersi dan menghasilkan emulsi yang meskipun
berbutr kasar, mempunyai stabilitas pisik. Hal ini dapat
menyebabkan padatan dapat bekerja sebagai emulgator dari
efek yang ditimbulkan dari pewarna dan serbuk halus.
II.1.11 Kerusakan yang terjadi pada emulsi

1. Creaming dan sedimentasi


Creaming adalah gerakan ke atas dari tetesan relatif zat terdispersi ke
fase kontinu,sedagkan sedimentasi adalah proses pembalikan yaitu
gerakan ke bawah dari partikel. Dalam beberapa emulsi, suatu proses
atau lebih tergantung pada censitas dari fase terdispersi atau fase
kontinu. Kecepatan sedimentasi tetesan atau partuikel dalam cairan
dihubungkan dengan hukum stokes. Sementara persamaan hukum
stokes untuk system bermassa telah dikembangkan,hukum ini sangat
berguna untuk menunjukkan faktor yang dapat mempengaruhi
kecepatan sedimentasi atau creaming antara lain diameter tetesan
yang terdispersi, viskositas medium pendispersi, dan perbedaan berat
jenis antara fase terdispersi dan medium pendispersi. Pengurangan
ukuran partikel yang terkonstribusi meningkatkan atau mengurangi
creaming.

2. Agregasi dan koalesensi


Lebih jauh, tetesan dapat diredispersikan kembali dengan
pengocokan. Stabilitas dari emulsi dapat ditentukan dengan proses
agregasi dan koalesensi. Dalam agregasi (flokulasi) tetesan yang
terdispersi datang bersama namun tidak bercampur. Koalaesensi
komplit penyatuan tetesan, diarahkan untuk mengurangi jumlah
tetesan dan pemisahan dua fase yang tidak saling bercampur.
Agregasi mendahului koalesensi dalam emulsi. Namun demikian,
koalesensi tidak perlu mengikuti agregasi. Agregasi dalam beberapa
jumlah bersifat reversible. Walaupun tidak seserius koalesensi, ini
akan mempercepat creaming atau sedimentasi ketika agregat
bertindak sebagai tetesan tunggal.

Sementara agregasi dihubungkan dengan potensial elektrikal.


Tetesan, koalesensi tergantung pada sifat struktur lapisan interfase.
Emulsi distabilkan dengan emulgator. Tipe surfaktan membbentuk
lapisan monomolekuler. Koalesensi dilawan dengan elastisitas dan
juga gaya kohesif lapisan film antara dua tetesan.

3. Inversi
Emulsi dikatakan membalik ketika perubahan emulsi dari M/A ke A/M
atau sebaliknya. Inversi kadang-kadang terjadi dengan penambahan
elektrolit atau dengan mengubah rasio fase volume. Sebagai contoh
emulsi M/A yang mengandung natrium stearat sebagai pengemulsi
dapat ditambahkan kalsium klorida karena kalsium stearat dibentuk
sebagai bahan pengemulsi lipofilik dan mengubah pembentukan
produk A/M.

Inversi dapat dilihat ketika emulsi disiapkan dengan pemanasan dan


pencampuran dua fase kemudian didinginkan. Hal ini terjadi kira-kira
karena adanya daya larut bahan pengemulsi tergantung pada
perubahan temperatur. Temperatur pada fase inversi. Telah
ditunjukkan bahwa nilai dipengaruhi oleh nilai HLB dari surfaktan.
Semakin tinggi nilai ALT, semakin besar tahanan untuk berubah
(inversi).
II.1.12 Metode Pembuatan Emulsi

1. Metode Gom Basah


Metode ini cocok untuk emulsi yang dibuat dengan mucilago atau gom
yang tidak larut sebagai emulgator. Metode ini penting digunakan
meski lebih lembab dan tidak sebaik metode kontinental. Penting juga
digunakan jika emulgator yang tersedia hanya dalam bentuk air atau
harus dilarutkan lebih dahulu sebelum digunakan.
Caranya :
Gom dibuat dengan jumlah kecil lalu sejumlah kecil minyak di
tambahkan dengan pengadukan teratur. Setelah emulsi sangat visko,
ditambahkan lagi dengan pengadukan teratur sampai semua minyak
tercampur. Setelah semua minyak ditambahkan, campuran
dicukupkan volumenya dengan air.

2. Metode Gom Kering


Metode ini cocok untuk emulsi yang dibuat dari emulgator gom kering.
Caranya :
Gom kering (dengan jumlah setara dari 1 – 4 dari jumlah minyak),
dideskripsikan sekaligus dengan pengadukan teratur sampai semua
minyak tercampur dengan volume air ½ X jumlah minyak.
Ditambahkan sekaligus dengan pengadukan teratur. Perbandingan 4
bagian dari minyak, 2 bagian air dan 1 bagian emulgator. Kemudian
pengadukan dilanjutkan dengan kecepatan tinggi menggunakan
gerakan spiral sampai terbentuk emulsi utama yang kembali, suara
khas akan terdengan saat emulsi utama yang stabil telah jadi.
3. Metode Botol
Metode ini digunakan khusus untuk emulsi yang mengandung minyak
menguap dan minyak encer lainnya untuk mencegah zat tersebut
terpercik.
Caranya :
Minyak dimasukkan dulu dalam botol besar lalu segera ditambahkan
gom kering dan dikocok dengan cepat. Penting untuk menambahkan
air dengan segera setelah gom terdispersi. Emulsi utama akan
dibentuk melalui pengocokan.
4. Metode Beker
Metode ini digunakan jika emulsi yang dibuat terdiri dari dua jenis
emulgator (ada yang larut air dan ada yang larut minyak.
Caranya :
Masing-masing emulgator dimasukkan dalam beker terpisah diatas
water batch dan dipanaskan sampai suhunya 70 o C. setelah itu kedua
emulgator mencapai suhu yang sama maka fase internal dimasukkan
dalam fase eksternal dengan pengadukan dan terus diaduk sampai
minyaknya hampir dingin, kalau tidak, maka lapisan minyak akan naik
kepermukaan campuran dan memadat membentuk cake, maka
sedapat mungkin terdispersi secara seragam sampai sediaan jadi.
II.1.13 HLB (Hidrofilik Lipofilik Balance)

Hydrophilic-Lyphophilic Balance adalah harga yang harus dimiliki oleh


sebuah emulgator sehingga pertemuan antara fase lipofil dengan air dapat
menghasilkan emulsi dengan tingkat dispersitas dan stabilitas yang
optimal (Voigth, 1995).
Sistem keseimbangan hidrofilik-lipofilik digunakan untuk menyatakan
perbandingan sifat hidrofilik dan lipofilik dari suatu emulgator. Emulgator
dengan nilai HLB rendah, dapat larut atau terdispersi dalam minyak.
Sedangkan emulgator dengan nilai HLB tinggi dapat larut atau terdispersi
dalam air (Michael, EA. 1988).
Emulgator sering dikombinasikan untuk mengunakan emulsi yang lebih
baik yaitu emulgator dengan keseimbangan hidrofilik dan lipofilik yang
diinginkan, meningkatkan kestabilan dan sifat kohesi dari lapisan antarmuka
serta mempengaruhi konsistensi dan penampakan emulsi (Gennaro, 1990).
Emulgator dengan nilai HLB dibawah 7 umumnya menghasilkan emulsi
air dalam minyak (A/M) sedangkan emulgator dengan nilai HLB diatas 7
umumnya menghasilkan emulsi minyak dalam air. Tetapi sistem HLB tidak
memberikan indikasi tentang konsentrasi yang digunakan. Sebagai aturan,
emulgator dengan konsentrasi 2 % adalah jumlah yang cukup dalam suatu
formula walaupun konsentrasi yang lebih kecil dapat memberikan hasil yang
lebih baik. Jika konsentrasi emulgator lebih dari 5 % maka emulgator akan
menjadi bagian utama dari formula dan hal ini bukanlah tujuan dari
pengunaan emulgator (Martin, 1971).
II.1.14 Evaluasi Emulsi
1. Organoleptik
           Organoleptis : Meliputi pewarnaan, bau, rasa dan dari sediaan emulsi
pada penyimpanan pada suhu rendah 5 oC dan tinggi 35oC pada
penyimpanan masing-masing 12 jam.
2. Volume Terpindahkan
     Untuk penetapan volume terpindahkan, pilih tidak kurang dari 30
wadah, dan selanjutnya ikuti prosedur berikut untuk bentuk sediaan
tersebut. Kocok isi dari 10 wadah satu persatu.
3.  Volume terpindahkan
       Untuk penetapan volume terpindahkan, pilih tidak kurang dari 30
wadah, dan selanjutnya ikuti prosedur berikut untuk bentuk sediaan
tersebut. Kocok isi dari 10 wadah satu persatu.
4.  Daya Hantar Listrik
           Emulsi yang sudah dibuat dimasukkan dalam gelas piala kemudian
dihubungkan dengan rangkaian arus listrik. Jika mampu menyala maka
emulsi tipe minyak dalam air. Jika sistem tidak menghantarkan listrik maka
emulsi tipe air dalam minyak.
5. Metode Pengenceran
Emulsi yang sudah dibuat dimasukkan dalam gelas piala kemudian
diencerkan dengan air. JIka dapat diencerkan maka emulsi tipe minyak
dalam air dan sebaliknya.
6. Metode Percobaan cincin
       Jika satu tetes emulsi yang diuji diteteskan pada kertas saring maka
emulsi minyak dalam air dalam waktu singkat membentuk cincin air
disekeliling tetesan.
7. Metode Warna

      Beberapa tetes larutan bahan pewarna lain ( metilen ) dicampurkan


ke dalam contoh emulsi. Jika selurih emulsi berwarna seragam maka
emulsi yang diuji berjenis minyak dalam air, oleh karena air adalah fase
luar. Sampel yang diuji bahan warna larut sudan III dalam minyak
pewarna homogen pada sampel berarti sampel tipe air dalam minyak
karena pewarna pelarut lipoid mampu mewarnai fase luar.
II.2 Struktur Kulit
II.2.1 Gambar struktur kulit

Struktur dari kulit manusia dewasa sangat kompleks. Dapat


dikalsifikasikan dengan baik sekali kedalam 3 lapis : (1) Epidermis
(kutikula), (2) dermis (korium atau kulit nyata), dan (3) jaringan
subkutan (hypoderm).
Lapidsan ketiga seringkali dipertimbangkan sebagai bagian
dari dermis dan kandungan jaringan subkutan fibrous dan sel
adiposa. Bagian vertikal dari kulit ditunjukkan secara skematis pada
gambar sel.
Karena epidermis adalah bagian luar atau sebelah luar dari
kulit dimana tempat penggunaan kosmetik dan sediaan obat topikal
dan oleh karena itu, adalah perhatian khusus dari farmasis dan ahli
kulit. Epidermis bervariasi ketebalannya dari 1 mm pada telapak
tangan dan tumit kaki hingga 0,1 mm atau lebih kurang pada bagian
wajah dan badan. Dimana ditutupi dengan lapisan permukaan yang
disusun dari lemak teremulsi. Lapisan ini tidak berlanjut dan
tahanannya sangat sedikit untuk penetrasi molekul.
Menurut ahli histologi epidermis diklasifikasikan kedalam 5
lapisan:

1. Stratum corneum atau lapisan tanduk


2. Stratum lusidum, kadang-kadang disebut “lapisan
penghalang” (Barier layer).
3. Stratum granulosum atau lapisan granular
4. Stratum malpighii, lapisan sel berduri.
5. Stratum germinativum, lapisan sel basal.
Harus diingat bahwa pembagian ini menghadirkan perubahan
dalam struktur sel karena satu bergerak terhadap permukaan
dibandingkan perbedaan lapisan yang memisah, lapisan ini digabung
ke lapisan satu yang lain hampir selalu tidak kelihatan.

Stratum corneum atau lapisan tanduk, terdiri dari beberapa


lapisan sel pipih yang disusun oleh keratin. Lapisan ini lebih tebal
pada tumit kaki dan telapak tangan (0,6-0,8 mm) dan sangat tipis
pada wajah.

Lapisan tanduk kasar dan merupakan lapisan yang relatif


tidak sensitif yang secara terus menerus terkelupas dan digantikan.
Sel-sel mati, yang secara tetap terkelupas, digantikan oleh klarifikasi
dari sel lain yang tumbuh dari germinal, atau basal, lapisan dan
dipoliferasi atau ditekan dari bawah. Komposisi kimia dari stratum
corneum adalah protein 85% (kira-kira 15% larut air, 65% keratin atau
protein sitoplasma dan 5% membran protein), lemak 7-9% (C 10-C18
asam lemah jenuh dan tidak jenuh dan ester-ester, trigliserida dan
kolesterol dan sterol yang berhubungan); yang lain 6-8%
(mukopolisakarida, karbohidrat, mucin, asam lipo amino, dll).
Lapisan lemak menutupi stratum corneum biasanya
mempunyai pH 4,5-6,5. Berdasarkan uji bagian dengan pH wanita
biasanya sedikit lebih tinggi (kurang asam) daripada pria. Perbedaan
drastis pada pH ini disebut “mantel asam”, mungkin menurunkan
kemampuan kulit untuk menahan serangan bakteri. Jacobi dan
Heinrich memilih mantel asam pada kulit sebagai garis awal dari
ketahanan tubuh melawan pengaruh luar.

Peck, dkk menitikberatkan bahwa keasaman persen tidak


membuat mantel asam suatu penghalang waktu serangan bakteri
dan jamur. Sifat bakteriostatik dari mantel asam mungkin
dihubungkan dengan kapasitas mendapar dari mantel asam pada
kulit, baiknya dengan kapasitas mendapar dari mantel asam. Keringat
dan sebum sekat bakteriostatik dan fungistatik berhubungan dengan
adanya asam amino bebas, protein debis, asam lemak, asam laktat
dan karbonat dan laktat.

Karena lapisan tanduk disusun sebagian besar oleh keratin,


protein yang menyerap sejumlah besar air dan senyawa polar
lainnya, mungkin menjadi tempat penyimpanan untuk bahan
penetrasi, dengan cara demikian mempertahankan gradien
konsentrasi maksimum hanya kira-kira pada stratum lusidum.
Penetran seperti ion-ion dan zat pewarna dapat mengikat stratum
corneum dan peningkatan penetrasinya melewati lubang dari folikel
rambut.

Kemampuan dari keratin epidermal untuk menyerap air dapat


mempengaruhi penetrasi dengan cara lain. Ketika lapisan tanduk
dihidrasi dengan baik, senyawa hidrofilik dan hidrofobik dapat
berpenetrasi ke stratum lusidum lebih cepat. Jadi, absorbsi perkutan
dari beberapa senyawa dapat ditingkatkan dengan formulasi
farmasetis untuk menghasilkan lapisan oklusif pada permukaan kulit.
Penutupan kulit dengan lapisan oklusif, seperti wragging dengan
lapisan plastik, adalah seperti menghasilkan derajat yang lebih tinggi
dari oklusif daripada diperoleh dengan salep. Pengaruh dari oklusif
dihubungkan dengan hidrasi yang lebih baik dari stratum corneum
dan suatu peningkatan dalam temperatur permukaan dari kulit.
Mekenzie dan stoughter telah menunjukkan bahwa konsentrasi efektif
yang minimal secara topikal digunakan kortikosteroid adalah ditandai
pengurangan saat tepat penggunaan dioksklusi.

Lapisan terluar adalah sel pipih terkeratinisasi dalam stratum


corneum diajarkan dengan beberapa untuk mengurangi pengemasan
yang penuh daripada berbatasan untuk lapisan granular menekankan
dari daerah antara stratum corneum dan lapisan granular (stratum
lusidum) sebagai “zona penghalang”, zona ini yang ketebalannya
beberapa mikron, dilaporkan untuk beraksi sebagai penghalang untuk
transfer air yang melalui kulit. Daerah penghalang dilaporkan
mencegah penetrasi molekul yang mempunyai berat molekul lebih
besar dari 200-300. Eksistensi dari zona penghalang tidak
membuktikan secara benar, dan beberapa teori mengenai absorbsi
perkutan dibandingkan seluruh stratum corneum sebagai lapisan
yang tersusun kompak (10-50 mikron tebalnya) yang bertindak
sebagai penghalang utama untuk penetrasi. Setelah penetrasi pada
stratum corneum, penetran dipaparkan pada lapisan dengan tebal
200 mikron dari jaringan yang tinggal, dermis, yang dapat menjadi
penghalang yang baik untuk molekul non polar karena sifat berairnya.
Kemudian molekul yang berpenetrasi pada stratum corneum baik
yang terlihat pada epidermis paling bawah atau dermis, atau yang
terbawa oleh cairan jaringan dalam dermis ke aliran darah dan
limfatik.

Treger mempercayai bahwa fakta-fakta untuk mendukung


keberadaan zona penghalang pada dasar dari stratum corneum tidak
meyakinkan, karena jika lapisan seperti ini ada, satu diharapkan lebih
berubah secara kritis pada permeabilitas dengan pengelupasan
lapisan terluar dari kulit dan mendefenisikan hubungan kelarutan
penetran dengan permeabilitas.
Kligman telah mengajukan bahwa seluruh lapisan tanduk
termasuk dalam fungsi penghalang. Pandangan ini mendapat
penerimaan dari peneliti lain dan telah ditegaskan kembali oleh
Scheuplein, Matatsy dkk, memberikan bukti penyaranan bahwa
membran plasma protein dari sel tanduk dapat juga mengambil
bagian dalam fungsi penghalang.
Lapisan paling dalam dari epidermis, stratum germinativum
atau lapisan sel basal adalah lapisan yang produktif. Dalam lapisan
ini secara tetap terjadi mitosis, kemajuan sel anak akhir terhadap
permukaan kulit karena beberapa sel bermigrasi. Sel-sel tersebut
berubah dalam bentuk dan komposisinya sampai sel-sel ini menjadi
sel tanduk pada stratum corneum.
Dermis, atau kulit sejati, berbeda secara morfologi dari
epidermis. Dermis terdiri dari jaringan berserat tebal bersama dengan
pembuluh darah dari limpa, folikel rambut, dan kelenjar sebaseus dan
kelenjar keringat, aorta dan serabut saraf, karena lapisannya berair,
ini nmungkin bertindak sebagai penghalang untuk lewatnyab molekul
non polar.
BAB III
FORMULASI
III.1 Formula Asli
Tiap 15 gram mengandunng :
Hidrokuinon 2%
Isopropil Myristat 5%
Tween 60 4%
Span 60 4%
Vaselin Kuning 5%
Asam stearat 5%
Setil alcohol 5%
Gliserin 10 %
DMDM Hydantoin 0,1 %
Phenoxyethanol 0,0075 %
Alfa tokoferol 0,5 %
Oleum Rosae q.s
Aquadest ad 100 %
III.2 Dasar Formulasi
III.2.1 Dasar Pemilihan bentuk sediaan
Hidrokuinon diformulasikan dalam bentuk sediaan krim, karena dilihat
dari efektivitas dan mekanisme kerja hidrokuinon yakni, meghambat
pembentukan enzim tirosinase sehingga pigmen kulit (melanin) tidak
terbentuk, ketika pigmen kulit tidak terbentuk, maka akan memberikan hasil
warna kulit yang lebih cerah, atau putih. Serta melihat dipasaran untuk efek
farmakologi sebagai pemutih/pencerah wajah kebanyakan dibuat dalam
bentuk krim, karena target utamanya langsung ke lapisan stratum basal yang
terdapat pigmen pembentukan warna kulit. Tipe emulsi yang digunakan yakni
a/m air dalam minyak, karena krim ini akan digunakan pada malam hari
sehingga manfaat yang diperoleh sebagai pemutih lebih optimal, selain itu
penghambatan enzim tirosinase akan lebih maksimal ketika terjadi di tempat
yang gelap (malam hari) karena jika ada cahaya penghambatan enzim
tirosinase tidak akan terjadi secara maksimal.
III.2.1 Dasar pemilihan bahan aktif
Hidrokuinon dipilih sebagai bahan aktif dalam pemutih/pencerah kulit,
dengan cara biosintesis melanin yakni proses penghambatan enzim
tirosinase sehingga proses sintesis pigmen melanin tidak terbentuk.
III.2.2 Dasar Pemilihan Bahan Tambahan
1. Isopropil miristat
Salah satu peningkat penetrasi yang biasa digunakan dalam sediaan
topikal. Isopropyl miristat adalah pelembut tidak berminyak yang
mudah diserap oleh kulit. Bahan ini digunakan sebagai bahan
penyusun basis sediaan semi padat dan sebagai pelarut pada sediaan
topikal dan aman bagi konsumen dengan kulit normal dan sensitive
dan dalam waktu musim dingin mendorong penggunaan untuk
mencegah hilangnya kelembapan.
2. Emulgator (Tween 60 dan Span 60)
Emulgator tween 60 dan span 60 merupakan surfaktan/emulgator non
ionic yang luas penggunaannya sebagai bahan pengemulsi karena
memiliki keseimbangan hidrofilik dan lipofilik dalam molekulnya. Tidak
seperti tipe anionic dan kationik, emulgator noninik tidak dipengaruhi
perubahan pH dan penambahan elektrolit. Contoh paling banyak
digunakan tween dan span.
3. Humektan (Gliserin)
Gliserin digunakan sebagai bahan pelembab (humektan) dengan BM
yang lebih rendah didalam krim dengan maksud untuk meningkatkan
hidrasi kulit. Hidrasi pada kulit menjadikan jaringan menjadi lunak,
mengembang dan tidak berkeriput sehingga penetrasi suatu zat lebih
efektif . selain itu zat aktif hidrokuinon yang merupakan turunan fenol
yang akan mengalami oksidasi sehingga dibutuhkan bahan pelembab
sediaan agar hidrokuinon tidak membuat kulit kering dan iritasi.
4. Emolien ( Cetil Alkohol)
Banyak digunakan dalam kosmetik dan formulasi seperti emulsi dan
krim cetil alcohol digunakan sebagai zat pemngemulsi, emolien
pengabsorbsi yang meningkatkan stabilitas, memperbaiki tekstur dan
meningkatkan konsistensi emulsi minyak dalam air. Cetil alcohol juga
berfungsi sebagai bahan pengeras krim sehingga mampu
meningkatkan konsistensi krim sehingga krim yang diperoleh lebih
bagus.
5. Vaselin Kuning (Basis)
Vaselin kuning merupkan tipe basis hidrokarbon. Dimana, basis ini
memiliki sifat yang inert, sifat minyak yang dominan pada basis
hidrokarbon menyebabkan basis ini sulit terurai oleh air dan tidak
terabsorpsi oleh kulit sifat minyak yang hampir anhidrat juga
menguntungkan karena memberikan kestabilan yang optimum pada
zat aktif. Basis vaselin juga mampu meningkatkan hidrasi pada kulit
dengan menghambat hilangnya kandungan air dari sel-sel kulit dengan
membentuk lapisan film yang waterproof sehingga membuat kulit
senantiasa lembab.
6. Basis (Asam sterat)
Asam sterat digunakan untuk meningkatkan konsistensi dari krim
karena digunakan ekstrak yang memiliki kandungan air yang banyak
sehingga membutuhkan lahan pengeras atau pengental agar
konsistensi dari krim tidak encer.
7. DMDM Hydantoin
DMDM Hydantoin merupakan pengawet yang digunakan dalam
kosmetik yang merupakan turunan formaldehid yang berfungsi
sebagai bakteriostatik dan bakterisid.
8. Phenoxyethanol
Phenoxyethanol merupakan jenis pengawet minyak yang aman
digunakan dalam kosmetik, yang memiliki spectrum luas dapat
menghambat pertumbuhan mikroba, jamur, kapang/yeast.
9. Antioksidan (Alfa tokoferol )
Menghambat oksidasi atau memperlambat oksidasi melalui
penangkapan radikal bebas. antioksidan jenis ini sebagai antioksidan
primer.
10. Oleum Rosae
Pengaroma diperlukan dalam pembuatan krim karena selain
mencerahkan kulit, melembabkan kulit salah satu syarat untuk
sediaan topikal harus harum karena syarat emulsi sediaan tidak boleh
berbau tengik maka dari itu dipilih minyak mawar.
11. Aquadest
Pembawa yang umum digunakan yakni air yang memiliki sifat mampu
melarutkan dan menghomogenkan ekstrak sehingga dapat
bercampur dengan bahan tambahan.
II.3 Uraian Bahan
1. Polisorbat 60 (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : POLYSORBATUM 60
Nama lain : Polysorbatum 60
RM/BM : C64H126O26/1312
Pemerian :
Cairan kental, buram, kuning, bau agak

harum, atau bau minyak.


Kelarutan : Larut dalam air, dalam minyak biji kapas, praktis
tidak larut dalam minyak mineral dapat
bercampur dengan aseton dan dengan droksan
P.
Fungsi : Emulgator fase air.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
Konsentrasi : 4%
2. Sorbitan monostearat (Rowe, 2009)
Nama resmi : SORBITAN MONOSTEARAT
Nama lain : Span 60
RM/BM : C24H26O6/431
Pemerian : Ester sorbitan terjadi sebagai cairan atau
padatan berwarna kuning keemasan dengan bau
dan rasa khas.
Kelarutan :
Ester sorbitan umumnya larut atau terdispersi
dalam minyak. Larut juga dalam kebanyakan
pelarut organik.
Fungsi : Emulgator fase minyak.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat kering dan sejuk.
Konsentrasi : 4%
3. α tokoferol (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : TOCOPHEROLUM
Nama lain : Vitamin E
RM/BM : C29H50C2/430,72
Pemerian : Kuning jernih, tidak berasa/sedikit berasa, tidak
berbau dan sedikit berbau, cairan seperti
minyak.
Kelarutan :
Praktis tidak larut dalam air, sukar larut dalam

air alkali, larut etanol (95%) P dan eter P, aseton

P, dalam minyak nabati, sangat mudah larut

dalam kloroform p.
Fungsi : Antioksidan
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat terlindung dari
cahaya.
Konsentrasi : 0,001%
4. Gliserin (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : GLYCEROLUM
Nama lain : Gliserol
RM/BM : C3H8O3/92,10
Pemerian : Tidak berwarna, jernih, rasa manis, diikuti rasa
hangat, tidak berbau dan cairan seperti sirup.
Kelarutan : Dapat campur dengan air, dengan etanol (95%)
P, praktis tidak larut dalam kloroform P, dalam
eter P dan dalam minyak lemak.
Fungsi : Emolien
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Konsentrasi : 10%
5. Isopropil myristat (Rowe, 2009)
Nama resmi : ISOPROPYL MYRISTAT
Nama lain : Isopropil myristat
RM/BM : C17H34O2 / 270,5
Pemerian : Tidak berwarna
Kelarutan : Larut dalam aseton, kloroform, etanol 95%, etil
asetat, praktis tidak larut dalam gliserin, gliserol
dan air.
Fungsi : Zat penetrasi
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, tempat sejuk dan
kering.
Konsentrasi : 5%
6. Vaselin kuning (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : VASELINUM FLAVUM
Nama lain : Vaselin kuning
Pemerian : Berwarna kuning, tidak berasa, tidak berbau,
massa semi solid.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, tidak larut dalam
etanol (95%) P.
Fungsi : Basis
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Konsentrasi : 10%
7. Asam stearat (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : ACIDUM STEARICUM
Nama lain : Asam oktadekanoatm, asam stearat
RM/BM : C18H36O2 / 284,47
Pemerian : Warna putih, kuning pucat, bentuk zat padat
hablur.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam 20
bagian etanol 95%, dalam 2 bagian kloroform,
dan dalam 3 bagian eter.
Fungsi : Peningkat viskositas
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Konsentrasi : 5%
8. Setil alkohol (Rowe, 2009)
Nama resmi : CETYL ALCOHOL
Nama lain : Setil alkohol
RM/BM : C16H34O
Pemerian : Berbentuk granul, kotak, memiliki bau khas,
samar dan rasa hambar.
Kelarutan : Larut dalam etanol 95% dan eter, kelarutan
meningkat dengan meningkatnya suhu, praktis
tidak larut dalam air.
Fungsi : Emolien
Penyimpanan : Disimpan dalam wadah tertutup rapat.
Konsentrasi : 5%
9. Oleum Rosae (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : OLEUM ROSAE
Nama lain : Minyak mawar
Pemerian : Cairan, tidak berwarna atau kuning, bau
menyerupai bunga mawar.
Kelarutan : Larut dalam 1 bagian kloroform
Fungsi : Pengaroma
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Konsentrasi : Secukupnya
10. Aquadest (Dirjen POM, 1979)
Nama resmi : AQUA DESTILLATA
Nama lain : Air suling
RM/BM : H2O / 18,02
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, tidak
berbau.
Fungsi : Pembawa
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Konsentrasi : Dicukupkan hingga 100%
III.4 Metode Kerja
III.4.1 Alat dan Bahan
Adapun alat-alat yang digunakan pada formulasi ini yaitu batang
pengaduk, cawan porselin,Erlenmeyer, gelas kimia, gelas ukur, timbangan
analitik, pot obat, hot plate, homogenizer, lumpang dan alu, magnetic stirrer,
pH meter.
Adapun bahan-bahan yang digunakan pada formulasi ini yaitu
hidrokuinon 2 %, asam stearat, isopropyl miristat, vaselin kuning, tween
sorbitan 60, polysorbat 60, gliserin, cetyl alcohol, DMDM , phenoxyethanol, α-
tokoferol, oleum rosae, dan aquadest.
III.4.2 Cara Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Ditimbang semua bahan sesuai perhitungan
3. Dipisahkan fase minyak (vaselin kuning, asam stearat, ceytl alkhol,
sorbitan 60, phenxyethanol, isoprpil miristat) dan fase air
(aquadest,gliserin, polisorbat 60, DMDM)
4. Dilebur masing-masing kedua fase hingga 70 O c
5. Dimasukkan fase eksternal (fase minyak) kedalam lumpang,
kemudian dimasukkan fase internal (fase air) sehingga homogen
sehingga membentuk basis krim
6. Dimasukkan hidrokuinon setelah fase air dan minyak dingin, digerus
hingga homogen terbentuk krim
7. Ditambahkan α-tokoferol digerus hingga homogen
8. Ditetesi oleum rose
9. Dimasukkan dalam pot obat
10. Diberi etiket, brosur, dan kemasan
III.5 Perhitungan Bahan
1. Hidrokuinon =2 × 15 = 0,3 g
100
2. Tween = 0.8

3. Span = 0.2

4. Isopropyl miristat =

5. Gliserin =

6. Vaselin kuning =

7. Asam stearat =

8. Cethyl alkhol =

9. DMDM =

10. Phenoxyethanol =

11. α-tokoferol =
12. oleum rose = q.s

13. Aquadest =15-(0.3+0.8+0.4+0.75+1.5+1.5+

0.75+0.75+0.015+0.01125+0.00015)

=15-5.126

=9.87

III.6 Perhitungan HLB

1. Fase minyak
Cethyl alkohol 5% (HLB 15)
Asam stearat 5% (HLB 15)
Vaselin flavum 10% (HLB 8)

2. Perhitungan % fase minyak

Cethyl alkohol =

Asam stearat =

Vaselin flavum =

Perhitungan HLB butuh fase minyak

Cethyl alcohol =
Asam stearat =

Vaselin flavum =

A= HLB emulgator hidrofilik (Tween 15)

B= HLB emulgator lipofilik (Span 4,3)

A=

A=100 -

A= 67.28

B=100-67.28

B=32.72

Jumlah emulgator yang ditimbang

Tween = 1.2 x =0.8 g

Span = 0.6 x =0.2 g


BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Berdasarkan tujuan percobaan dapat disimpulkan bahwa :
1. Hal yang perlu diperhatikan pada saat pre
formulasi yakni mengetahui sifat fisikia kimia dari zat aktif, agar
memudahkan formulator dalam memilih bentuk sediaan, memilih
bahan tambah yang sesuai yang dapat menstabilkan sediaan yang
akan dibuat.
2. Hal yang perlu diperhatikan ketika formulasi yakni
evaluasi sediaan,karena ketika sediaan dilakukan evaluasi kita dapat
mengetahui kestabilan dari sediaan yang dibuat meliputi uji
organoleptik, uji difusi, pengukuran pH, serta uji viskositas sehingga
jika hasil evaluasi yang diperoleh bagus maka sediaan dinyatakan
aman untuk dipasarkan/edarkan ke konsumen.
IV.2 Saran
Sebaiknya sebelum melakukan formulasi hal yang paling penting
dilakukan yakni pre formulasi, untuk formulasi yang paling penting
diperhatikan yakni evaluasi mutu sediaan.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar. E. 2012. Eksipien Dalam Sediaan Farmasi. Dian Rakyat : Jakarta.

Ansel C,Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. ITB : Bandung

Bauman, L. 2002. Cosmetic Dermatology : Principle and Practice, The Mc-


Graw-Hill Company, New York.
Lachman, L. Lieberman, H.A. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri II.
Universitas Press. Jakarta

Nurul dan Aisyah Fatmawaty. 2017. Pengaruh Isopropil Miristat Sebagai


Bahan Peningkat Penetrasi Terhadap Laju Difusi Krim Pemutih
Ekstrak Etanol Daun Murbei (Morus alba.L). Jurnal Ilmiah Manuntung
Makassar.

Parrot, E.L. 1971. Pharmaceutical Technology, Burgess Publishing, USA.

Voight, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, UGM-Press. Yogyakarta.

MAKALAH
TEKNOLOGI SEDIAAN CAIR
“KRIM PEMUTIH HIDROKUINON 2 %”
OLEH :
KELOMPOK TIGA
TRANSFER D 2017
YUNITA MANGAMPA 17.01.416
NURUL FAHIMAH SUDIRMAN 17.01.402
RIKA RATIH 17.01.450
SAKINATUL HUSNA 17.01.423
MELDA RIZKI 17.01.409
 SUPRIATI 17.01.426
      LUTFI AMALIA MAYANG 17.01.436
RYAN STEVANO TANTOLU 17.01.439
MUTIA SRI DEWI 17.01.429
WAODE St.NAKHRUL HAYAT 17.01.448
ERNI UNUSA 17.01.459
FATAN ALFHAD 17.01.446
IKBAL 17.01.418
WAHYUNI 17.01.425
NURHAEDA PALANGDA 13.01.044

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI


MAKASSAR
2017
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I (Pendahuluan)
I.1. Latar Belakang
I.2. Tujuan Formulasi
BAB II (Uraian)
II.1. Teori Umum
II.1.1. Pengertian Emulsi
II.1.2. Keuntungan Emulsi
II.1.3. Kerugian Sediaan
II.1.4. Komposisi Emulsi
II.1.5. Tipe-tipe Emulsi
II.1.6. Cara Memprediksi Tipe Emulsi
II.1.7. Cara Menentukan Tipe Emulsi
II.1.8. Pembentukan dan Pemecahan Tetesan Fase Terdispersi
II.1.9. Teori Emulsifikasi
II.1.10. Emulgator dan Pembagian Emulgator
II.1.11. Kerusakan yang Terjadi pada Emulsi
II.1.12. Metode Pembuatan Emulsi
II.1.13. HLB
II.1.14. Evaluasi Emulsi
II.2. Struktur Kulit
II.2.1. Gambar Struktur Kulit
BAB III (Formulasi)
III.1. Formula Asli
III.2. Dasar Formulasi
III.2.1. Dasar Pemilihan Bentuk Sediaan
III.2.2. Dasar Pemilihan Bahan Aktif
III.2.3. Dasar Pemilihan Bahan Tambahan
III.3. Uraian Bahan
III.4. Metode Kerja
III.4.1. Alat dan Bahan
III.4.2. Cara Kerja
III.5. Perhitungan
III.6. Perhitungan HLB
BAB IV (Penutup)
IV.1. Kesimpulan
IV.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah yang berjudul “Formulasi
Krim Pemutih”.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan


mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini ke depannya.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang Formulasi


Krim Pemutih ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap
pembaca.

Makassar, 18 Desember 2017

Penulis

Anda mungkin juga menyukai