Anda di halaman 1dari 8

Machine Translated by Google

International Journal Of Health Science Vol 1 No.3 (November 2021) Hal


49-56 E-ISSN : 2827-9603 P-ISSN : 2827-959X

Tautan JURNAL INTERNASIONAL ILMU KESEHATAN : https://


ejurnal.politeknikpratama.ac.id/index.php/ijhs
Halaman: https://ejurnal.politeknikpratama.ac.id/index.php

APLIKASI TERAPI WARNA BIRU UNTUK MENURUNKAN TINGKAT STRES PADA LANJUT
IN THE AREA PUSKESMAS ROWOSARI SEMARANG

Muhammad Wisnu Prayogaa , tidak. Margiyati, M.Kepb


a DIII Keperawatan, wisnuprayoga@gmail.com, Akademi Keperawatan Kesdam IV/ Diponegoro Semarang.
b DIII Keperawatan nsmargiyati@gmail.com, Akademi Keperawatan Kesdam IV/ Diponegoro Semarang

ABSTRAK

Menurunnya kemampuan fisik, munculnya penyakit, dan perubahan psikososial merupakan sumber stres
pada lansia yang dapat berkembang menjadi depresi bahkan bunuh diri. Pengobatan dengan antidepresan
dalam jangka panjang menimbulkan efek samping yang berbahaya. Terapi warna biru merupakan terapi
komplementer yang aman dengan menggunakan spektrum radiasi elektromagnetik yang menghasilkan efek
relaksasi dan mengurangi stres pada lansia. Terapi ini merupakan salah satu terapi non farmakologi yang dapat
menurunkan tingkat stres pada lansia di wilayah puskesmas rowosari semarang.jenisnya Penelitian yang digunakan adalah metode
Subyek yang digunakan berjumlah 2 orang dengan kriteria bersedia menjadi lawan, tidak menderita buta warna,
lansia dengan tingkat stres ringan sampai sedang, lansia yang menyukai warna biru. Pengukuran tingkat stres
menggunakan skala depresi kecemasan stres (DASS42), intervensi terapi warna biru selama 7 hari berturut-
turut, hasil analisis diperoleh subjek 1 menurun dari 20 (stres sedang) menjadi 14 (stres ringan), subjek II dari
22 (stres sedang) hingga 16 (stres sedang). Hasil studi kasus menyimpulkan bahwa terjadi penurunan tingkat
stres mencapai 6 skor DASS42. Penerapan terapi warna biru direkomendasikan sebagai intervensi keperawatan
dalam penatalaksanaan penurunan tingkat stres pada lansia. penerapan terapi warna biru efektif dalam
menurunkan stres pada lansia, sehingga direkomendasikan sebagai intervensi keperawatan dalam
penatalaksanaan pengurangan stres pada lansia. tingkat stres pada lansia Kata
Kunci : Lansia, Blue Therapy, Skala Stres

1. PERKENALAN
Keluarga adalah dua individu atau lebih yang disatukan oleh darah, perkawinan, dan adopsi dalam satu
rumah tangga, yang berinteraksi satu sama lain dalam peran dan menciptakan serta memelihara suatu budaya.1
Keluarga mempunyai fungsi pelayanan kesehatan yang mempengaruhi status keluarga satu sama lain. 2
Keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dalam perawatan seluruh anggota keluarga, termasuk lansia
yang tinggal di rumah. Peran keluarga yang baik akan menunjang derajat kesehatan lansia dan sebaliknya jika
peran
keluarga kurang maka derajat kesehatan lansia akan menurun. Lansia adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60 tahun. 4 Lansia bukanlah suatu penyakit, namun merupakan suatu proses stadium
lanjut yang ditandai dengan menurunnya kemampuan tubuh beradaptasi terhadap tekanan lingkungan. 5
Perubahan psikososial pada lansia seperti masa pensiun juga menjadi sumber stres utama karena disalahpahami
oleh lansia sebagai bentuk kepasifan dan isolasi.6 Perubahan lainnya bersifat struktural dan fisiologis (menurun)
pada lansia, yaitu menurunnya kemampuan fisik. dibarengi dengan menurunnya daya tahan tubuh dan
meningkatnya risiko berbagai penyakit yang membuat segala pekerjaan yang tadinya bisa dilakukan sendiri, kini harus dibantu oleh
menyebabkan stres. Penurunan kemampuan fisik ini dapat menyebabkan lansia menjadi
stres. Stres merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh interaksi individu dengan lingkungan
sehingga menimbulkan persepsi antara yang bersumber dari situasi yang berasal dari sistem biologis,
psikologis, dan sosial seseorang. Stres merupakan reaksi alami tubuh untuk mempertahankan diri dari tekanan
psikologis. Tubuh manusia dirancang khusus untuk dapat merasakan dan merespons gangguan psikologis ini.
Tujuannya agar mampu merasakan dan merespon serta siap
menghindari bahaya.9 Stres mempunyai dampak total terhadap individu seperti dampaknya: fisik, sosial,
intelektual, psikologis, dan spiritual. Pada lansia, stres sendiri menyebabkan penurunan kualitas hidup pada
lansia.10 Stresor yang tinggi dan peristiwa hidup yang tidak menyenangkan menimbulkan permasalahan mental
dan psikososial pada lansia seperti ingatan jangka pendek (gangguan memori), frustasi, kecemasan, kesepian, hingga depresi. Depr

Diterima 30 Agustus 2021; Revisi 2 September 2021; Diterima 22 September 2021


Machine Translated by Google

merupakan salah satu dampak stres yang mengalami gangguan pada alam perasaan (affective mood) yang
ditandai dengan kemurungan, lesu, lesu, kehilangan gairah hidup, kurang semangat, dan merasa tidak berdaya,
merasa bersalah atau putus asa, sehingga menimbulkan perasaan tidak berdaya. dari ide bunuh diri. Suicide)
atau perilaku bunuh diri, sebanyak 40% penderita depresi mempunyai ide untuk bunuh diri, dan hanya kurang
dari 15% yang berhasil melakukannya.
Penelitian Raden (2015) menunjukkan tingkat stres yang tinggi pada lansia, yaitu 21,25% menunjukkan
keluhan berat dan 18,75% menunjukkan keluhan sedang. Nussbaum (1998) melaporkan bahwa prevalensi stres
antara 2% dan 8% pada lansia yang tinggal di komunitas. Skala ini meningkat menjadi 10% untuk lansia di
institusi pelayanan kesehatan dan 15% untuk lansia di panti jompo atau perawatan intensif. Skala stres yang
biasa terjadi pada lansia secara konsisten berkisar antara 18% hingga 40%.10
Tingginya angka depresi akibat stres yang tidak terselesaikan dan banyaknya dampak stres pada lansia
membuat stres perlu ditangani sedini mungkin. Penanganan secara farmakologi biasanya dilakukan untuk
menurunkan tingkat stres dengan pemberian obat antidepresan, pemberian obat tersebut pada lansia perlu
pertimbangan khusus karena bahan kimia yang dikonsumsi dalam jangka waktu lama dapat mempengaruhi
keseimbangan mobilitas, pusing, mual, muntah, sembelit dan memperberat kerja ginjal. . . Lansia yang
mengkonsumsi obat antidepresan dalam jangka waktu lama akan menyebabkan kebingungan, kehilangan
konsentrasi dan mengganggu daya ingat pada lansia. 12 Hal ini menjadi pertimbangan untuk memberikan pengobatan non farmakolo
Terapi warna pada tubuh manusia bekerja pada aspek fisiologis dan psikologis. Kombinasi warna tertentu
secara psikologis juga dapat menyebabkan kondisi manusia menjadi rileks, rileks, dan tenang, misalnya warna
kuning dan biru.13 Terapi warna disebut juga dengan chromotherapy, merupakan terapi komplementer dengan
menggunakan spektrum tampak (warna) dari radiasi elektromagnetik. untuk menyembuhkan penyakit. Energi
warna mampu menyeimbangkan tubuh seseorang mulai dari fisik, emosional, spiritual dan mental
Teori Holzberg & Alberth menyatakan bahwa paparan warna menghasilkan cahaya, bila masuk ke mata
direduksi menjadi 3 komponen RBD (Merah, Hijau, Biru) kemudian cahaya diteruskan melalui 3 saluran, merah-
besar, biru-kuning, hitam -putih, dan dikirim ke sistem limbik melalui saluran retnohipotalamus. diikuti oleh
sistem saraf ke Nervus Otonom (ANS) ke sistem endokrin. Hal ini akan merangsang hormon serotonin dan
endorfin sehingga meningkatkan mood, membuat rileks dan mengurangi ketegangan otot dan stres.12 Salah
satu warna yang terbukti dapat mengurangi stres adalah Biru. Warna biru mempunyai karakter dengan panjang
gelombang yang pendek berkisar antara 380-780 nanometer. Gelombang ini dapat meningkatkan sirkulasi darah
dan memberikan efek relaksasi. Paparan warna biru menghasilkan getaran sejuk dan menenangkan yang dapat
menurunkan tekanan darah dan detak jantung, sehingga dapat meredakan kecemasan dan stres.11
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terapi warna biru dapat memberikan efek positif terhadap tingkat
stres pada lansia. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Ni Wayan dkk (2016) menunjukkan bahwa terapi
warna biru efektif dalam menurunkan tingkat stres pada lansia di Unit BPSTW Provinsi DIY Budi Kasihan Bantul,
dengan hasil terdapat penurunan pada lansia sebesar 9,73%. dengan stres.6 Penelitian lain yang dilakukan oleh
Devi (2012) menunjukkan bahwa terapi warna hijau dapat menurunkan stres pada lansia di Panti Sosial Tresna
Werdha Wana Seraya Denpasar sebesar 80%, baik pada lansia dengan stres ringan maupun stres berat.25.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan studi kasus dengan judul “Penerapan Terapi
Warna Biru Terhadap Tingkat Stres Pada Lansia Di Wilayah Sasaran Puskesmas Rowosari Semarang”

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.


Keluarga
Keluarga adalah anggota rumah tangga yang paling erat hubungannya melalui ikatan darah, pengangkatan anak atau
perkawinan.13 Keluarga adalah dua individu atau lebih yang dipersatukan oleh hubungan darah, perkawinan, dan
pengangkatan anak dalam satu rumah tangga, yang saling berinteraksi dalam peran dan menciptakan serta memelihara
suatu budaya.1 Keluarga merupakan unit terkecil yang hidup bersama, sehingga mempunyai ikatan emosional dan berkembang dalam hubungan s

2.2. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua:
1. Hipertensi primer (esensial)
Hipertensi primer adalah peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui penyebabnya (ideopatik).
2. Hipertensi sekunder (non esensial)
Hipertensi sekunder merupakan peningkatan tekanan darah yang diketahui penyebab utamanya antara
lain kelainan pembuluh darah, penyakit ginjal, kelainan kelenjar tiroid, diabetes melitus, penyakit yang
berhubungan dengan kehamilan dan kelainan kelenjar adrenal. (15)

2.3. Tua

50
Machine Translated by Google

Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Tahap ini merupakan tahap dimana
tubuh seseorang mencapai titik perkembangan maksimal. Setelah itu tubuh mulai mengecil atau mengalami
penurunan volume dan kepadatan baik organ maupun tulang akibat berkurangnya jumlah sel dalam tubuh.19

Tubuh lansia juga akan mengalami penurunan fungsi secara bertahap sehingga tidak mampu menahan
serangan infeksi dan kerusakan sel. Sel-sel dalam tubuh akan mengalami kerusakan yang progresif dan
menyeluruh di dalam tubuh. Proses ini dikenal dengan proses penuaan. Proses penuaan ini merupakan hal yang
wajar dan tidak dapat9dihindari oleh semua makhluk hidup.
2.4. Stress
Stres adalah reaksi alami tubuh untuk mempertahankan diri dari tekanan secara psikis. Tubuh manusia
dirancang khusus agar bisa merasakan dan merespon gangguan psikis ini. Tujuannya agar bisa merasakan dan
merespon dan saip untuk menghindari bahaya.9 Stres memberikan rangsangan kepada seseorang dalam hal
mencapai suatu tahapan perubahan dalam hidupnya. Stres yang terlalu banyak mengakibatkan perasaan negatif,
gangguan dalam mencapai realitas, tidak mampu menyelesaikan masalah dalam hidupnya dan bahkan
mengakibatkan masalah kesehatan pada seluruh sistem yang ada dalam tubuh manusia.12

Gambar 1. Stres Lansia


2.5. KONSEP TERAPI WARNA BIRU UNTUK MENGURANGI TINGKAT STRES PADA PT
ELDERLY
Chromotherapy adalah pita sempit dalam spektrum energi elektromagnetik kosmis, yang dikenal manusia
sebagai spektrum warna yang terlihat. Ini terdiri dari merah, hijau, biru dan turunan gabungan mereka,
menghasilkan warna yang dapat dipahami yang jatuh antara ultraviolet dan rentang inframerah energi atau
getaran. Warna-warna visual ini dengan panjang gelombang dan osilasi uniknya, ketika dikombinasikan dengan
sumber cahaya dan secara selektif diterapkan pada organ-organ atau sistem kehidupan yang terganggu,
menyediakan energi penyembuhan yang diperlukan oleh tubuh. Cahaya mempengaruhi tubuh fisik dan eterik.

Warna menghasilkan impuls listrik dan arus magnetik atau medan energi yang merupakan aktivator
utama dari proses biokimia dan hormonal dalam tubuh manusia, stimulan atau obat penenang yang diperlukan
untuk menyeimbangkan seluruh sistem dan organnya.12 Warna biru menggambarkan pengetahuan serta memilik
efek menenangkan. Jika digunakan secara baik, warna biru mampu memberi ketenangan serta meningkatkan
komunikasi terhadap lingkungan sekitar.24

Gambar 2. Terapi Kromoterapi

3. METODOLOGI PENELITIAN

51
Machine Translated by Google

3.1. Objek Studi Kasus


Kriteria inklusi dalam studi kasus ini antara lain: 1.
Bersedia menjadi responden.
2. Tidak menderita buta warna.
3. Tidak mempunyai kelainan mata (gangguan penglihatan : katarak).
4. Tidak mengalami masalah kognitif yang berat.
5. Tidak bingung soal warna 6.
Lansia dengan tingkat stres ringan hingga sedang.
7. Senior yang menyukai warna biru.
3.2. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah penerapan terapi warna biru terhadap tingkat stres pada lansia.
3.3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi terstruktur tingkat stres pada lansia, sebelum dan
sesudah pemberian terapi warna biru. Langkah-langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1. Mengelola perizinan dengan Puskesmas Rowosari untuk melakukan studi
kasus 2. Menjelaskan maksud, tujuan, dan waktu penelitian kepada kepala puskesmas atau perawat penanggung
jawab lokasi studi kasus dan meminta persetujuan untuk melibatkan subjek dalam studi kasus
3. Mencari dan menentukan responden yang sesuai dengan kriteria inklusi dan
eksklusi 4. Meminta pasien menandatangani informed consent sebagai bukti persetujuan studi kasus atas nama
subjek 5.
Mengukur tingkat stres pada lansia.
6. Identifikasi dan diskusikan dengan subjek penerapan terapi warna biru terhadap tingkat stres pada lansia,
serta kontrak waktu pelaksanaan tindakan. 7. Menepati kontrak waktu
pertemuan dan melakukan penilaian tingkat stres sebelum memberikan warna biru
terapi warna menggunakan lembar observasi Depression Arxiety Stress (DASS 42).
8. Lakukan intervensi terapi warna biru dengan durasi 10 menit.
9. Meninjau kembali tingkat stres lansia sebagai data post test.
10. Buatlah kontrak untuk pertemuan berikutnya dan ulangi prosedur pada poin 7, 8, 9 & 10 hingga 7 pertemuan
untuk 1 minggu.

11. Melakukan pengolahan data.


12. Menyajikan hasil pengolahan data atau hasil penelitian dalam bentuk tabel dan narasi.
3.4. Lokasi dan Waktu Studi Kasus Penelitian
dilakukan di wilayah binaan Puskesmas Rowosari pada tanggal 09-21 Maret 2020.

3.5. Analisis dan Penyajian Data


Pengolahan data menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif merupakan proses pengolahan data
dengan cara mendeskripsikan dan merangkum data secara alami dalam bentuk tabel dan grafik. Pengolahan data ini
dilakukan untuk mengetahui perubahan tingkat stres pada lansia dengan menggunakan terapi warna biru. Tingkat
stres dapat diukur dengan menggunakan lembar kuesioner DASS 42 yang terdiri dari 14 pertanyaan, dengan
interpretasi hasil: Kriteria penilaian: 18 1. Normal : 0-14
2. Stres Ringan:
15-18 3. Stres Sedang:
19-25 4. Stres Berat: 26-33 5.
Sangat Berat: Di atas 34

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1.


Gambaran Umum Subjek Studi Kasus
Subjek I
Peneliti melakukan penilaian awal pada tanggal 9 Maret 2020 pukul 10.00 WIB. Hasil penelitian diperoleh data,
Subjek I berumur 60 tahun, berjenis kelamin laki-laki, pendidikan terakhir SMP. Subjek I adalah seorang petani,
dengan keluhan kaki pegal akibat kecelakaan setahun yang lalu. Subyek tidak buta warna, bisa duduk, tidak
mempunyai gangguan penglihatan dan menyukai warna biru. Subjek I mengatakan bahwa dirinya belum pernah
mengikuti terapi warna biru untuk menurunkan tingkat stres.
Subjek I tinggal bersama istri, anak, menantu dan cucu, termasuk tipe keluarga besar, keluarga dengan tahap
perkembangan usia paruh baya, fungsi pengasuhan keluarga afektif, sosial ekonomi, reproduksi baik dan fungsi
pelayanan kesehatan cukup baik. Hasil penelitian terhadap 5 fungsi keperawatan keluarga diperoleh data subjek dan
keluarga mengetahui subjek sulit untuk rileks dan terkadang

52
Machine Translated by Google

cemas, namun menganggap hal tersebut merupakan hal yang wajar terjadi pada lansia, karena penyebab dan
pengobatannya tidak mereka ketahui sehingga tidak melakukan perawatan di rumah untuk mengatasi kondisi
tersebut. Tingkat kemandirian keluarga berada pada level I karena subjek dan keluarga tidak memahami tentang
stres pada lansia dan tidak melakukan pengobatan apapun karena menganggap gejala yang muncul adalah hal yang wajar.
Hasil penilaian tingkat stres awal klien tidak mengetahui jika dirinya mengalami gangguan tingkat stres sedang
dengan skor 20. Hasil penilaian dengan DASS42 menunjukkan klien sering merasa marah, tidak mampu merasakan
pikiran positif, tidak mampu melakukan aktivitas, dan cenderung berlebihan dalam suatu situasi. Klien pernah
merasa goyah (kaki ingin lepas), sulit rileks, merasa berada dalam situasi yang sangat cemas dan akan lega jika
semuanya berakhir. Klien sudah merasa tidak ada hal yang dinantikan di masa depan, mudah tersinggung, dan
menghabiskan banyak energi untuk merasa cemas. Klien merasa sedih, tertekan, dan tidak sabar bila terjadi
keterlambatan. Klien menyampaikan bahwa rasa cemas dan depresi yang timbul pasca kecelakaan dan cedera pada
kakinya masih terasa nyeri meskipun sudah dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Hal ini
meresahkan klien karena mempunyai keterbatasan fisik akibat kakinya yang nyeri. Data obyektif pada subjek I klien
terlihat tegang.
Subjek II
Penelitian ini dilakukan penilaian awal pada tanggal 9 Maret 2020 pukul 14.00 WIB. Hasil penelitian subjek II
diperoleh data umur 64 tahun, berjenis kelamin perempuan dengan pendidikan terakhir SD. Subjek II tidak berfungsi,
tidak ada keluhan lain. Subyek tidak buta warna, bisa duduk, tidak mempunyai gangguan penglihatan dan menyukai
warna biru. Subjek II mengatakan belum pernah mengikuti terapi biru untuk menurunkan tingkat stres.

Subjek II tinggal sendiri di rumah dan merupakan keluarga dalam tahap lanjut usia, fungsi pengasuhan
keluarga bersifat afektif, sosial ekonomi, fungsi pelayanan kesehatan kurang baik dalam upaya mencegah subjek
jarang berobat ke puskesmas. Tingkat kemandirian keluarga berada pada level I karena subjek dan keluarga tidak
memahami tentang stres pada lansia dan tidak melakukan pengobatan apapun karena menganggap gejala yang
muncul adalah hal yang wajar.
Hasil penilaian tingkat stres awal, tingkat stres sedang dengan skor 22. Hasil pemeriksaan DASS menunjukkan
klien sering merasa marah, tidak mampu merasakan pikiran positif, dan cenderung berlebihan dalam bersikap.
sebuah situasi. Klien sulit untuk rileks, merasa dirinya berada pada situasi yang membuatnya sangat cemas dan
akan merasa lega jika semua ini selesai. Klien sudah merasa tidak ada hal yang dinantikan di masa depan, mudah
tersinggung, dan menghabiskan banyak energi untuk khawatir. Klien merasa sedih, tertekan, tidak sabar apabila
terjadi penundaan. Klien merasa was-was karena kini hanya di rumah saja, anaknya sudah menikah dan tidak
serumah dengan klien, untuk keuangan klien hanya bisa mengandalkan pemberian anaknya karena klien sudah tidak
ada di rumah lagi.

4.2. Diskusi
Hasil pengkajian awal keperawatan yang diperoleh adalah subjek I mengalami gangguan stres sedang dengan
skor 20 pada subjek I dan skor 22 pada subjek II. Peneliti mengukur data awal menggunakan kuesioner DASS42
yang terdiri dari 42 pertanyaan. Diagnosa yang dimunculkan dari kedua subjek adalah Coping In Effectiveness
(00069) dengan Intervensi Pengelolaan Lingkungan (0450), dan tindakan yang dilakukan untuk menurunkan tingkat
stres adalah terapi warna biru yang fokus pada penurunan tingkat stres pada lansia.
Data awal yang diperoleh meliputi jenis kelamin subjek I laki-laki dan subjek II perempuan. Subjek I berusia 60
tahun dan subjek II berusia 64 tahun, tingkat stres subjek I mengalami gangguan stres sedang dan subjek II
mengalami gangguan stres sedang. Data ini sesuai dengan gambaran faktor psikososial yang menunjukkan bahwa
sebagian besar lansia mengalami peningkatan tingkat stres. Pertambahan usia menyebabkan penurunan kemampuan
fisik disertai penurunan daya tahan tubuh dan peningkatan risiko berbagai penyakit. Akibatnya pekerjaan yang bisa
dilakukan sendiri kini terkadang dibantu oleh orang lain sehingga memicu terjadinya stres.6 Menurut penelitian
Yudha T (2011) usia merupakan faktor penting penyebab terjadinya stres, semakin bertambah usia maka semakin
mudah pula terjadinya stres. untuk mengalami stres. Hal ini disebabkan menurunnya berbagai kemampuan seperti
kemampuan penglihatan, berpikir, mengingat dan mendengar
Faktor yang mempengaruhi tingkat stres subjek II lebih tinggi dibandingkan subjek I adalah jenis kelamin dan
aktivitas subjek sehari-hari. Subjek II adalah seorang wanita lanjut usia, literatur menyebutkan ketika memasuki usia
tua, wanita sudah tidak mampu lagi memproduksi hormon estrogen & progesteron. Hormon ini mempengaruhi
perubahan suasana hati secara tiba-tiba, sehingga wanita lebih mudah stres.22 Subjek I juga memiliki aktivitas yang
produktif dan menyenangkan dibandingkan Subjek II karena subjek pertama setiap pagi pergi ke sawah dan sering
jalan-jalan bersama keluarganya, sedangkan Subjek II hanya menghabiskan waktu seharian. perawatan rumah.
cucunya. Aktivitas memiliki peran penting dalam tingkat stres. Stres dapat dicegah dengan berolahraga secara
teratur, mengatur pola makan, meningkatkan spiritualitas dan menyalurkan hobi. Aktivitas yang menyenangkan akan
memicu keluarnya hormon endorfin yang membuat perasaan nyaman dan tenang.22 Faktor penyebab stres pada subjek I adalah faktor fis

53
Machine Translated by Google

kaki setelah kecelakaan. Faktor penyebab stres pada subjek II adalah faktor keluarga dan keuangan, klien
tinggal sendirian di rumah karena suaminya telah meninggal dunia dan anaknya tidak serumah dengan klien,
keuangan klien hanya mengandalkan pemberian anaknya karena klien sudah tidak ada lagi. bekerja.
Terapi warna biru dengan menggunakan kain biru merupakan terapi yang masih belum diketahui oleh
para lansia karena kurangnya informasi mengenai terapi ini. Intervensi berupa terapi warna biru pada subjek
I dan subjek II telah dilaksanakan sesuai SOP. Dalam proses pemberian terapi warna biru, penulis melibatkan
pihak keluarga yaitu istri dan anaknya pada subjek I serta anak cucu pada subjek II.
Adanya keterlibatan keluarga dalam proses keperawatan bertujuan untuk meningkatkan kemandirian
keluarga dalam merawat anggota keluarga lanjut usia yang mengalami peningkatan tingkat stres. Keluarga
mempunyai peranan yang besar terhadap kejadian stres pada lansia karena dukungan keluarga dapat
menjauhkan stres pada lansia. Dukungan sosial dinilai penting bagi kebahagiaan lansia, karena membuat
lansia merasa keberadaannya masih berarti bagi keluarga dan orang lain di sekitarnya.7 Keluarga kedua
subjek sama-sama memberikan dukungan selama menjalani terapi. Subjek I saat terapi didampingi oleh istri
dan anak, keluarga membantu jika cucu klien mengganggu jalannya terapi. Subjek II didampingi oleh salah
satu anaknya selama terapi. Keluarga kedua subjek bersedia membantu melanjutkan terapi warna ini.
Peneliti melakukan penelitian selama 7 hari berturut-turut yang dimulai pada tanggal 9-15 Maret 2020.
Tahap awal yang dilakukan peneliti adalah meminta persetujuan subjek dan keluarga kemudian meneliti
tingkat stres kedua subjek. Peneliti dibantu pihak keluarga menyiapkan media kain biru yang dipasang
disekitar ruang tamu. Setelah lingkungan terapi siap, subjek diinstruksikan untuk masuk lalu duduk santai
sambil mengamati warna biru pada kain selama 10 menit.
Peneliti mengunjungi Subjek I untuk memberikan terapi setiap pukul 13.00-14.00 WIB, sedangkan Subyek II
dilaksanakan setiap pukul 10.00-11.00 WIB. Respon kedua subjek setelah diberikan terapi adalah keduanya
menyatakan lebih tenang dan rileks, serta lebih bisa mengendalikan pikiran ketika menghadapi sesuatu.
Pengukuran tingkat stres dengan DASS 42 dilakukan kembali pada hari ke 7 setelah rangkaian terapi selesai.

Hasil evaluasi keperawatan diperoleh setelah dilakukan perlakuan selama 7 kali pertemuan, pada kedua
subjek terjadi penurunan tingkat stres. Subjek I mengalami penurunan skor DASS42 sebesar 6 dari 20
menjadi 14 pada awalnya, subjek II juga mengalami penurunan skor DASS42 sebesar 6 dari 22 menjadi 16.
Hasil ini menunjukkan bahwa kedua subjek mengalami penurunan rata-rata skor DASS42 sebesar 6 poin.
Hasil ini mendukung penelitian sebelumnya dari Devi (2012) yang menunjukkan terapi warna hijau dapat
menurunkan stres pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya Denpasar sebesar 80% baik pada
lansia dengan stres ringan maupun stres sedang.6 Penelitian lain yang dilakukan oleh Ni Wayan Yeni Pratiwi
(2016) juga menunjukkan bahwa terapi warna biru dapat menurunkan tingkat stres pada lansia yang tinggal di unit BPTSW Budi
Hasil penelitian (Ni Wayan Yeni 2016) menunjukkan bahwa energi warna biru mampu menyeimbangkan
tubuh seseorang baik fisik, emosional, spiritual dan mental sehingga dapat mengurangi stres. Terapi warna,
juga dikenal sebagai chromotherapy, adalah terapi komplementer yang menggunakan spektrum radiasi
elektromagnetik (warna) yang terlihat untuk mengobati penyakit. Energi warna mampu menyeimbangkan
tubuh seseorang mulai dari fisik, emosi, spiritual dan mental.12 Salah satu warna yang terbukti dapat
mengurangi stres adalah Biru. Warna biru mempunyai karakter dengan panjang gelombang yang pendek
berkisar antara 380-780 nanometer. Gelombang ini dapat meningkatkan sirkulasi darah dan memberikan
efek relaksasi. Paparan warna biru menghasilkan getaran sejuk dan
menenangkan yang dapat menurunkan tekanan darah dan detak jantung sehingga dapat meredakan
kecemasan dan stres.11 Penurunan tingkat stres pada subjek I dan subjek II sama yaitu 6 skor DASS42
untuk Subjek I dan subjek II . Hal ini dipengaruhi oleh faktor internal yaitu dukungan yang baik dari kedua
keluarga selama proses terapi. Setelah kedatangan peneliti, fungsi pelayanan kesehatan keluarga dan tingkat
kemandirian keluarga meningkat. Informasi yang diperoleh keluarga tentang cara merawat keluarga yang
sakit, termasuk mengalami berbagai perubahan yang memicu terjadinya stres, menjadikan keluarga lebih
paham dalam merawat lansia. Terdapat peningkatan tingkat kemandirian pada kedua keluarga, pada keluarga
subjek I dari tingkat kemandirian I ke III karena keluarga kini memahami penanganan stres pada lansia,
memutuskan untuk berobat ke puskesmas untuk pemeriksaan kesehatan terkait kaki. nyeri yang dialami
klien dan bersedia melakukan terapi warna biru secara mandiri. Keluarga subjek II juga meningkat dari
tingkat kemandirian I menjadi II karena keluarga menyampaikan memahami manajemen stres pada lansia, memberikan dukungan

5. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan studi kasus dan pembahasan tingkat stres pada lansia setelah diberikan
intervensi keperawatan berupa terapi warna biru dengan pendekatan asuhan keperawatan keluarga, maka
dapat disimpulkan bahwa perawat keluarga dapat berperan sebagai pendidik dan pemberi asuhan kepada
meningkatkan 5 fungsi pelayanan kesehatan dan tingkat kemandirian keluarga, terdapat penurunan tingkat stres setelah diberika

54
Machine Translated by Google

7 pertemuan dalam 2 minggu menjadi lebih baik (menurun). Subjek I mengalami penurunan tingkat stres
dari skor 20 (stres sedang) menjadi 14 (normal). Subjek II mengalami penurunan tingkat stres dari skor 22
(stres sedang) menjadi 16 (stres sedang).

BIBLIOGRAFI

1. Bailon & Maglaya, Pengantar keperawatan Keluarga, Jakarta : EGC ; 2010.

2. Nugroho, Hubungan Antara Peran keluarga Dengan Pemenuhan Aktivitas Fisik


Lanjut Usia (LANSIA) Di Desa Tomohalu Halmahera Utara, Manado : Jurnal Ilmiah
Farmasi ; 2016.

3. Putra, Hidayat dan Aisyah, Pengalaman keluarga Dalam Merawat Lansia Di Rumah,
Surabaya : Jurnal Ners Lentera ; 2017.

4. UU No.13/Tahun 1998, Buku Ajar Keperawatan Gerontik, Yogyakarta : Deepublish


; 2014.

5. Pudjiastuti, Pendidikan Keperawatan Gerontik, Yogyakarta : Andi Offset ; 2016.

6. Ni Wayan Yeni Pratiwi, Induniasih, Fajarina Lathu Asmarani, Pengaruh Terapi Warna
Terhadap Tingkat Stres Lansia Di BPTSW provinsi DIY Unit Budi Luhur Kasihan
Bantul : Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta ; 2016.

7. Buanasari A. Jurnal Gambaran tingkat stres pada lansia. 2019;7.

8. Ivancevich, Terapi Reminiscence Solusi Pendekatan Sebagai Upaya Tindakan


Keperawatan Dalam Menurunkan Kecemasan, Stress dan Depresi, Jakarta Timur :
Trans Info Media ; 2016.

9. Kartika IR. Pengaruh Reminiscence Therapy Terhadap Penurunan Tingkat Stress


Pada Lansia. Hum Care J. 2018.

10. Livana, P.H., Susanti, Y., Darwati, L.E., & Anggraeni,Gambaran Tingkat Depresi
Lansia, Kendal : Nurscope Jurnal Keperawatan Pemikiran Ilmiah ; 2018.

11. Azeemi & Raza, Modul Chromoterapy Blue Fabric, Yogyakarta : Fakulltas Ilmu
Kesehatan Universitas Respati Yogyakarta ; 2018.\

12. Yudha T. Terapi Modallitas keperawatan Pada Klien Psikogeriatrik. Jakarta:


Salemba Medika; 2011.

13. WHO. Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Sulawesi Selatan: Salemba
Medis; 2013.

14. Departemen Kesehatan RI. Keperawatan Keluarga Plus Contoh Askep Keluarga.
Yogyakarta: Nuha Medika; 2010.
15. Kementrian Kesehatan RI. Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga
- PISPK. Kementrian Kesehatan RI. 2017.

55
Machine Translated by Google

16. Friedman, Nursing Intervention Clasification dalam Keperawatan Gerontik, Jakarta


Selatan : Salemba Medika ; 2015.

17. Hawari PD dr. HD. MANAJEMEN STRES CEMAS DAN DEPRESI. 2nd ed. jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2013.

18. Friedman, Keperawatan Keluarga Dan Komunitas, Jakarta Selatan : Pusdik SDM
Kesehatan ; 2016.

19. Departemen Kesehatan RI, Keperawatan kesehatan Komunitas Teori Dan Praktik
Dalam Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika ; 2009.

20. Hamid, Meningkatkan Kualitas Hidup Lansia Konsep dan Berbagai Intervensi,
Malang : Wineka Medika ; 2018.

21. Efendi, Asuhan Keperawatan Gerontik, Yogyakarta : Andi Offset ; 2015.

22. Wahjudi Nugroho, Identifikasi Perubahan Psikososial Pada Lansia i Panti Sosial
Tresna Werdha Minaula, Kendari : Politeknik Kesehatan Kemenkes Kendari ; 2016.

23. Kementrian Kesehatan RI. rogram Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga
- PISPK. Kementrian Kesehatan RI. 2017.

24. Prihatin DM. TERAPI KOMPLEMENTER KONSEP DAN APLIKASI DALAM


KEPERAWATAN. Yogyakarta: PUSTAKA BARU; 2019.

25. Devi, P.s. Sawitri, K.A. NPOY. Pengaruh Terapi Warna Hijau Terhadap Stres Pada
Lansia Di Panti Sosial Tresn Werdha Wana Seraya Denpasar. 2012;

26. Sujarweni v. W. Metodologi Penelitian Keperawatan, Yogyakarta: Gava Medica


2014.

27. AA H. Riset Keperawatan dan Tekhnik Penulisan Ilmiah, Jakarta: Salemba Medika;
2009.

56

Anda mungkin juga menyukai