JOURNAL READING
Major Depressive Disorder: Understanding the Significance of Residual
Symptoms and Balancing Efficacy with Tolerability
Oleh:
Fatimatus Tsania Rachman
H1A016029
PEMBIMBING
dr. Lusiana Wahyu Ratna Wijayanti, Sp.KJ
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Segala Rahmat dan Berkah yang
diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penugasan Journal Reading yang
berjudul Major Depressive Disorder: Understanding the Significance of Residual
Symptoms and Balancing Efficacy with Tolerability tepat pada waktunya. Tugas
ini merupakan salah satu prasyarat dalam rangka mengikuti kepaniteraan klinik
madya di bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Rumah Sakit Jiwa Mutiara Sukma Provinsi NTB.
Tugas ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, baik
dari dalam institusi maupun dari luar institusi Fakultas Kedokteran Universitas
Mataram dan jajaran RSJ Mutiara Sukma. Melalui kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dr.
Lusiana Wahyu Ratna Wijayanti, Sp.KJ selaku pembimbing dan juga seluruh
pihak yang membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Pendahuluan
Tujuan Penulisan
ISI
1.
Patofisiologi
Diagnosis dari gangguan depresi berat terdiri dari banyak bentuk karena
banyaknya gejala unik yang muncul dari pasien. Gejala psikiatri yang ditimbulkan
pada pasien mungkin berhubungan dengan malfungsi dari sirkuit otak. Malfungsi
dari sirkuit otak ini dapat disebabkan oleh gen yang mengkode untuk abnormalitas
molekular. Apabila terdapat abnormalitas molekuler pada sirkuit otak yang spesifik,
maka terdapat potensi untuk mengubah efisiensi dari pengolahan informasi di otak.
Berikut merupakan hipotesis yang menghubungkan antara sirkuit otak dengan
gejala domain dan biomarker:
Gambar 1. Hipotesis yang menghubungkan antara sirkuit otak dengan gejala
domain dan biomarker
Berdasarkan gambar diatas, ditunjukkan bahwa sirkuit otak mengalami
malfungsi akibat adanya abnormalitas molekuler, dapat menimbulkan pengolahan
informasi yang abnormal pula. Sehingga, hal ini dapat menimbulkan gejala-gejala
yang dialami oleh pasien. Oleh sebab itu, strategi diagnostik saat ini adalah
berusaha menghubungkan domain gejala di berbagai gangguan psikiatri dengan
proses pengolahan informasi yang tidak efisien di sirkuit otak tertentu. Sirkuit otak
yang mengalami malfungsi dapat divisualisasikan menggunakan functional
magnetic resonance imaging scanner. Akan tetapi, malfungsi dari sirkuit otak yang
menyebabkan timbulnya gejala gangguan depresi berat dapat diperkirakan tanpa
alat tersebut. Hal ini dikarenakan neurotransmitter dopamin, norepinefrin, dan
serotonin memiliki efek pada sirkuit otak yang berbeda. Meningkatkan aktivitas
neurotransmiter yang berada di area otak yang mengalami gangguan dapat
mengembalikan aktivitas normal seorang individu.
Gambaran Klinis
Penatalaksanaan
Sekitar 2/3 pasien akan memiliki gejala residual setelah mendapatkan terapi
selama 12 minggu, dan 20% dari pasien tersebut akan memiliki gejala yang berat
atau sangat berat. Alasan utama kurangnya respon seseorang terhadap pengobatan
adalah kesalahan diagnosis, penanganan yang tidak tepat, atau kegagalan dalam
mendeteksi gangguan lain yang ada.
Terapi pilihan untuk pasien dengan gejala residual
Terdapat beberapa pilihan terapi lain bagi pasien yang tidak mengalami
remisi dalam waktu 12 minggu setelah mendapatkan inisial terapi. Berikut
merupakan terapi pilihan yang dapat digunakan:
- Atypical antipsychotics
Atypical antipsychotics seperti quetiapine dan aripiprazole telah diuji
secara klinis bahwa dapat meningkatkan respon antidepresan pada inisial
terapi. Akan tetapi, penggunaan obat-obatan ini dapat meningkatkan efek
samping yang merugikan seperti mulut kering, somnolen, pusing,
insomnia, sakit kepala, akathisia, dan kelelahan.
- Mirtazapine
Merupakan antidepresan multifungsional yang meningkatkan pelepasan
norepinefrin dan serotonin. Efek samping yang ditimbulkan adalah
sedasi dan peningkatan berat badan.
- Penggantian obat dengan kelas yang sama (within-class) dibandingkan
dengan kelas yang berbeda (across-class)
Studi meta analisis yang membandingkan antara penggantian obat
selective serotonin inhibitor therapy within- vs across-class,
menunjukkan bahwa tingkat remisi ternyata lebih tinggi pada across-
class dibandingkan dengan within-class.
2. Strategi dengan Suggested Efficacy
- S-adenosylmethionine
Obat ini bekerja dengan cara menambahkan sebuah grup metil ke
neurotransmitter. Dalam studi terbaru, penggunaan obat ini dapat
mengatasi depresi ringan-sedang dan depresi sedang-berat pada dosis
400-1600 mg per hari.
- Asam lemak omega 3
Beberapa studi menunjukkan bahwa penambahan asam lemak omega 3
pada pengobatan depresi ternyata lebih efektif dibandingkan hanya
dengan penggunaan obat antidepresan saja.
- L-methylfolate
Outcome pasien yang menjalani terapi untuk gangguan depresi dan
mengalami kesulitan untuk mengubah folat menjadi L-methylfolate akan
lebih buruk. Suatu studi menunjukkan bahwa penggunaan suplementasi
L-methylfolate pada pasien dengan kesulitan tersebut mengalami
perbaikan skor HAM-D (Hamilton Rating Scale for Depression). Akan
tetapi, studi tambahan perlu dilakukan untuk mencari hubungan antara
depresi dengan L-methylfolate.
- Modafinil
Merupakan suatu mood enhancer, yang digunakan sebagai terapi
tambahan pada beberapa pasien dengan gangguan depresi berat. Akan
tetapi hal ini masih belum disetujui/diakui. Ketika modafinil
ditambahkan pada terapi antidepresan, modafinil mungkin saja dapat
mengurangi gejala somnolen dan kelelahan pada pasien dengan gejala
residual.
- Bupropion dan buspirone
Studi yang dilakukan pada kedua obat ini menunjukkan bahwa tingkat
remisi berdasarkan skor HAM-D adalah sebesar 30%. Akan tetapi, kedua
obat belum diakui sebagai terapi tambahan pada gangguan depresi berat.
3. Strategi dengan Unclear Efficacy
- Pindolol
Suatu studi meta analisis yang menguji pemberian pindolol dengan
selective serotonin reuptake inhibitor sebagai terapi menunjukkan bahwa
terdapat perbaikan gejala selama 2 minggu di awal terapi, tetapi hal ini
tidak ditemukan pada minggu ke 4 sampai ke 6. Efikasi dan keamanan
obat ini juga belum dianjurkan untuk terapi tambahan pada pasien dengan
gangguan depresi berat.
- Penggantian antidepresan
Penggantian antidepresan mungkin saja dapat meningkatkan tingkat
remisi dan meminimalisir resiko yang berhubungan dengan adanya
polifarmasi. Penggantian antidepresan mungkin dapat menyebabkan
penambahan manfaat dalam terapi pada beberapa pasien, tetapi juga
dapat menimbulkan efek samping yang mungkin membatasi pasien
dalam menerima pengobatan.
- Litium
Merupakan obat yang digunakan untuk menangani mania dan gangguan
bipolar. Selain itu, lithium juga digunakan sebagai mood stabilizer untuk
mencegah bunuh diri pada pasien dengan gangguan bipolar episode
depresi. Sudah dilakukan studi tentang strategi penambahan lithium
dalam menangani gangguan depresi yang mengalami resistensi terhadap
pengobatan, tetapi belum diakui. Terapi menggunakan lithium memiliki
efek samping seperti peningkatan berat badan, tremor, dan efek pada
kognitif. Selain itu, terapi menggunakan lithium memerlukan monitoring
untuk mencegah terjadinya toksisitas lithium.
- T3
Pasien dengan kelainan pada tiroid akan lebih rentan untuk mengalami
gangguan depresi dan depresi juga bisa saja dibarengi dengan adanya
abnormalitas pada fungsi tiroid. Sudah dilakukan studi terkait
augmentasi atau penambahan T3 pada terapi untuk gangguan depresi,
tetapi penggunaan T3 belum diakui untuk indikasi ini.
4. Intervensi Non-farmakologi
Terdapat modalitas terapi lain yang digunakan oleh psikiater untuk
menangani pasien dengan gangguan depresi yang resisten terhadap
pengobatan, termasuk stimulasi magnetik transkranial berulang, terapi
elektrokonvulsif, terapi kejang magnetik, stimulasi nervus vagal, dan deep
brain stimulation.
5. Terapi kontinu/pemeliharaan
Setelah pasien dengan gangguan depresi berat mengalami remisi, pasien
harus tetap melanjutkan terapi tambahan selama 6-9 bulan. Pasien dengan
episode depresi berulang (≥3 kali), atau 2 kali episode depresi yang parah
dan sulit ditangani mungkin saja membutuhkan pengobatan tambahan yang
lebih lama. Pada terapi pemeliharaan ini, obat dan dosis yang sama harus
dilanjutkan. Selain itu, bisa dipertimbangkan juga untuk memberikan
psikoterapi interpersonal atau cognitive behavioral therapy. Psikoedukasi
seperti efek samping obat, mengenali tanda rekurensi dari depresi, gejala
withdrawal, gejala residual, dan bagaimana cara memanajemen peristiwa
hidup yang berat juga harus disediakan saat terapi pemeliharaan pasien.
6. Kepatuhan pasien
Kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat-obatan antidepresan
dipengaruhi oleh komunikasi antara pasien dengan dokter dan kepercayaan
pasien terhadap terapi yang akan diberikan.
BAB III
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
Culpepper,