Anda di halaman 1dari 15

KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KEDOKTERAN JIWA

JOURNAL READING
Major Depressive Disorder: Understanding the Significance of Residual
Symptoms and Balancing Efficacy with Tolerability

Oleh:
Fatimatus Tsania Rachman
H1A016029

PEMBIMBING
dr. Lusiana Wahyu Ratna Wijayanti, Sp.KJ

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT JIWA MUTIARA SUKMA NTB
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Segala Rahmat dan Berkah yang
diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penugasan Journal Reading yang
berjudul Major Depressive Disorder: Understanding the Significance of Residual
Symptoms and Balancing Efficacy with Tolerability tepat pada waktunya. Tugas
ini merupakan salah satu prasyarat dalam rangka mengikuti kepaniteraan klinik
madya di bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
Rumah Sakit Jiwa Mutiara Sukma Provinsi NTB.
Tugas ini tidak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, baik
dari dalam institusi maupun dari luar institusi Fakultas Kedokteran Universitas
Mataram dan jajaran RSJ Mutiara Sukma. Melalui kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada dr.
Lusiana Wahyu Ratna Wijayanti, Sp.KJ selaku pembimbing dan juga seluruh
pihak yang membantu baik secara langsung maupun tidak langsung.

Mataram, Februari 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Pendahuluan

Major depressive disorder (MDD) atau gangguan depresi berat merupakan


gangguan psikiatri yang kompleks dan paling sering terjadi dibandingkan dengan
gangguan psikiatri yang lainnya. Gangguan depresi berat memiliki prevalensi
tertinggi selama kehidupan yakni 10-25% untuk perempuan dan 5-12% untuk laki-
laki (Kaplan). Gangguan depresi berat ini sangat terkait dengan terganggunya
kualitas hidup dan hilangnya produktivitas seseorang dalam bekerja. Hal ini
diakibatkan karena seseorang dengan gangguan depresi berat akan mengalami
penurunan energi dan minat, rasa bersalah, sulit berkonsentrasi, kehilangan nafsu
makan, serta terdapat pikiran mengenai kematian dan bunuh diri. (Cullpeper) dan
Kaplan.

Tujuan Penulisan

Gangguan depresi berat dapat menyebabkan gangguan dari segala aspek,


baik dari gangguan fungsi interpersonal, sosial maupun pekerjaan. Hal ini tentu
saja membutuhkan penanganan yang tepat sesuai dengan gejala yang dialami oleh
pasien. Penanganan gangguan depresi berat sampai ke tahap remisi merupakan
kunci utama dalam pemulihan fungsi seorang individu dan dapat mencegah
relaps/kekambuhan. Akan tetapi, pasien yang mengalami remisi dapat mengalami
gejala residual yang mengganggu fungsi seorang individu.

Beberapa studi yang dilakukan menunjukkan bahwa pasien dengan


gangguan depresi berat yang telah mengalami remisi total masih dapat mengalami
setidaknya satu gejala residual setelah pengobatan. Gejala residual yang paling
sering ditemukan adalah gangguan tidur, gangguan berat badan atau nafsu makan,
masalah kognitif, dan kekurangan energi. Hal ini tentu saja mempengaruhi kualitas
hidup dan fungsi seseorang dalam beraktivitas sehari-hari. Oleh sebab itu,
diperlukan pemahaman tentang gejala residual dari gangguan depresi berat dan
penanganannya secara tepat.
BAB II

ISI

Definisi dan Epidemiologi

Gangguan depresi berat merupakan salah satu gangguan mood, dimana


gangguan ini merupakan sekelompok tanda dan gejala yang bertahan selama
berminggu-minggu hingga berbulan-bulan sampai menunjukkan penyimpangan
nyata dalam fungsi habitual seseorang. Pada gangguan depresi berat, mood yang
dirasakan adalah mood yang menurun (Kaplan). Berikut merupakan kriteria
diagnosis dari gangguan depresi berat:

1.

Gangguan depresi berat merupakan penyebab utama kecacatan di seluruh


dunia. Secara global, kondisi ini mempengaruhi sekitar 350 juta orang (Oluboka).
Insiden gangguan depresi berat sebesar 10% pada pasien yang berobat di fasilitas
kesehatan primer dan 15% di tempat rawat inap. Prevalensi gangguan depresi berat
lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan
2:1, dengan usia awitan antara usia 20-50 tahun. Dimana rata-rata awitan gangguan
depresi berat sekitar 40 tahun (Kaplan).

Patofisiologi

Diagnosis dari gangguan depresi berat terdiri dari banyak bentuk karena
banyaknya gejala unik yang muncul dari pasien. Gejala psikiatri yang ditimbulkan
pada pasien mungkin berhubungan dengan malfungsi dari sirkuit otak. Malfungsi
dari sirkuit otak ini dapat disebabkan oleh gen yang mengkode untuk abnormalitas
molekular. Apabila terdapat abnormalitas molekuler pada sirkuit otak yang spesifik,
maka terdapat potensi untuk mengubah efisiensi dari pengolahan informasi di otak.
Berikut merupakan hipotesis yang menghubungkan antara sirkuit otak dengan
gejala domain dan biomarker:
Gambar 1. Hipotesis yang menghubungkan antara sirkuit otak dengan gejala
domain dan biomarker
Berdasarkan gambar diatas, ditunjukkan bahwa sirkuit otak mengalami
malfungsi akibat adanya abnormalitas molekuler, dapat menimbulkan pengolahan
informasi yang abnormal pula. Sehingga, hal ini dapat menimbulkan gejala-gejala
yang dialami oleh pasien. Oleh sebab itu, strategi diagnostik saat ini adalah
berusaha menghubungkan domain gejala di berbagai gangguan psikiatri dengan
proses pengolahan informasi yang tidak efisien di sirkuit otak tertentu. Sirkuit otak
yang mengalami malfungsi dapat divisualisasikan menggunakan functional
magnetic resonance imaging scanner. Akan tetapi, malfungsi dari sirkuit otak yang
menyebabkan timbulnya gejala gangguan depresi berat dapat diperkirakan tanpa
alat tersebut. Hal ini dikarenakan neurotransmitter dopamin, norepinefrin, dan
serotonin memiliki efek pada sirkuit otak yang berbeda. Meningkatkan aktivitas
neurotransmiter yang berada di area otak yang mengalami gangguan dapat
mengembalikan aktivitas normal seorang individu.

Gambaran Klinis

Gejala-gejala pada gangguan psikiatri berhubungan dengan


neurotransmitter tertentu. Gejala residual pada gangguan depresi berat dapat
dibedakan berdasarkan aktivitas neurotransmitternya:
Tabel 1. Gejala Residual Umum berdasarkan Aktivitas Neurotransmitter

Gejala yang berhubungan dengan Gejala yang berhubungan dengan


aktivitas Serotonin: aktivitas Norepinefrin:

 Ansietas  Reaksi berlebihan terhadap


 Komunikasi yang terhambat stres sosial
 Disfungsi perilaku  Kelelahan
 Neurotisme yang tinggi  Iritabel
 Ansietas fisik dan somatik  Interpersonal friction
 Perasaan bersalah dan
penurunan kepercayaan diri
 Perasaan putus asa
 Gangguan dalam bekerja dan
minat
 Gejala seksual
 Anhedonia
 Kekurangan motivasi
 Disabilitas psikososial

Penatalaksanaan

Pemberian obat-obatan antidepresan dapat dilakukan untuk menangani


pasien dengan gangguan depresi berat. Suatu studi yang dilakukan menyatakan
bahwa sepertiga pasien dengan gangguan depresi akan mengalami perbaikan gejala
setelah mendapat pengobatan antidepresan lini pertama. Akan tetapi apabila
seorang pasien tidak berespon dengan inisial terapinya, maka penting untuk
menangani gejala residual pasien tersebut dengan cara mengganti obat yang
memiliki mekanisme kerja yang lain atau menambahkan obat-obatan yang memiliki
mekanisme kerja yang lain.
Penggunaan kombinasi obat antidepresan yang memiliki mekanisme kerja
berbeda ternyata terbukti lebih efektif saat pasien tidak berespon pada penggunaan
satu jenis antidepresan. Hal ini diperkirakan terjadi karena sirkuit otak manusia
yang diregulasi oleh lebih dari satu jenis neurotransmitter. Penting untuk diketahui
bahwa bukan tentang obat apa yang akan ditambahkan, tetapi kapan obat tambahan
tersebut diberikan. Karena beberapa jenis antidepresan ternyata lebih efektif
diberikan saat awal terapi depresi dan tidak ada satupun obat-obatan yang bekerja
dengan baik setelah pasien mengalami beberapa kegagalan terapi.

Sehingga, pengobatan gangguan depresi berat biasanya menggunakan


pengobatan yang paling efektif di awal terapinya. Baik dengan cara memberikan
kombinasi dua obat antidepresan yang berbeda mekanisme kerjanya atau
memberikan satu jenis obat yang multimodal/multifungsi, karena obat ini memiliki
mekanisme kerja dengan target molekuler yang berbeda. Selanjutnya, pendekatan
non-farmakologis seperti dukungan, latihan fisik, konseling, dan psikoterapi juga
dapat bermanfaat bagi pasien yang mengalami gangguan depresi berat.

Meningkatkan outcome pasien

Semua obat-obatan antidepresan memiliki efikasi dan mekanisme kerja


yang mirip. Sehingga dalam pemilihan obat antidepresan, faktor-faktor lain dapat
diperhatikan. Berikut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan obat:

Tabel 2. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan dalam Pemilihan Obat

 Tingkat kenyamanan pasien pada saat penggunaan obat


 Efikasi perawatan sebelumnya atau perawatan anggota keluarga
 Komorbiditas medis
 Komorbiditas psikiatri
 Ditanggung insuransi, harga obat untuk pasien
 Interaksi obat-obatan
 Efek samping obat
 Tolerabilitas, baik jangka pendek maupun jangka panjang
 Potensi dosis dan biaya untuk menggunakan dosis yang lebih tinggi
daripada yang telah ditetapkan oleh FDA

FDA = Food and Drug Admission

Setelah melakukan pemilihan obat untuk terapi, dibutuhkan tindakan


follow-up yang teratur untuk dapat melihat efikasi dan tolerabilitas dari obat yang
telah dipilih.

Tabel 3. Panduan Manajemen Aktif setelah Inisial Terapi


 Kedatangan pertama
 Memberikan edukasi tentang kondisi depresi merupakan suatu
gangguan biologis. Selain itu, pengobatan untuk depresi dapat
meningkatkan keinginan untuk bunuh diri dan menimbulkan
efek samping bahkan sebelum mencapai dosis untuk terapeutik
 Penilaian efek obat dalam 48-72 jam
 2-3 minggu
 Menilai respon awal, efek samping dan keinginan bunuh diri
 Mempertimbangkan kembali dosis untuk terapi (menggunakan
kelas obat yang sama atau mengganti obat dengan mekanisme
kerja yang berbeda) bila dibutuhkan
 3-6 minggu
 Menilai response trajectory
 Mempertimbangkan kembali dosis untuk terapi (menggunakan
kelas obat yang sama atau mengganti obat dengan mekanisme
kerja yang berbeda) bila dibutuhkan
 6-12 minggu
 Monitoring lebih lanjut

Sekitar 2/3 pasien akan memiliki gejala residual setelah mendapatkan terapi
selama 12 minggu, dan 20% dari pasien tersebut akan memiliki gejala yang berat
atau sangat berat. Alasan utama kurangnya respon seseorang terhadap pengobatan
adalah kesalahan diagnosis, penanganan yang tidak tepat, atau kegagalan dalam
mendeteksi gangguan lain yang ada.
Terapi pilihan untuk pasien dengan gejala residual
Terdapat beberapa pilihan terapi lain bagi pasien yang tidak mengalami
remisi dalam waktu 12 minggu setelah mendapatkan inisial terapi. Berikut
merupakan terapi pilihan yang dapat digunakan:

Gambar 2. Tabel Terapi Pilihan Lanjutan yang dapat Digunakan untuk


Menangani Gangguan Depresi Berat
Sangat penting untuk mengevaluasi faktor-faktor yang dapat menimbulkan
respon terapi yang buruk, seperti adanya komorbid psikiatri maupun medis. Setelah
melakukan evaluasi ini, dapat dilakukan 4 strategi klasik yang dapat meningkatkan
efikasi obat antidepresan yaitu: optimisasi, augmentasi, terapi kombinasi, dan
penggantian agen.
Berikut merupakan penjelasan mengenai masing-masing terapi:
1. Strategi dengan Clear Efficacy
- Monoamine oxidase inhibitor
Merupakan obat antidepresan pertama dan memiliki mekanisme kerja
untuk memblok isoenzim monoamine oxidase-A atau monoamine
oxidase-B. Isoenzim monoamine oxidase-A dapat ditemukan di otak dan
bisa juga ditemukan di seluruh tubuh, termasuk di usus. Sedangkan
isoenzim monoamine oxidase-B ditemukan di otak, limfosit, platelet, dan
pada neuron norepinefrin.
Inhibisi pada monoamine oxidase-A pada otak sangat dibutuhkan dalam
memunculkan efek antidepresan, tetapi inhibisi dari monoamine oxidase-
A pada usus dapat menimbulkan absorpsi tyramine yang berlebihan. Hal
ini dapat menyebabkan krisis hipertensi.
Inhibisi pada monoamine oxidase-B yang utamanya memetabolisme
dopamin, dapat menimbulkan efek anti-Parkison. Inhibitor monoamine
oxidase-B yang selektif (Selegiline) merupakan obat transdermal patch
pertama yang digunakan untuk menangani gangguan depresi.
- Berikut merupakan obat-obatan yang dikontraindikasikan dengan
Monoamine oxidase inhibitor:

Gambar 3. Tabel Obat-Obatan yang Dikontraindikasikan dengan


Monoamine oxidase inhibitor Akibat Adanya Interaksi Obat

- Atypical antipsychotics
Atypical antipsychotics seperti quetiapine dan aripiprazole telah diuji
secara klinis bahwa dapat meningkatkan respon antidepresan pada inisial
terapi. Akan tetapi, penggunaan obat-obatan ini dapat meningkatkan efek
samping yang merugikan seperti mulut kering, somnolen, pusing,
insomnia, sakit kepala, akathisia, dan kelelahan.
- Mirtazapine
Merupakan antidepresan multifungsional yang meningkatkan pelepasan
norepinefrin dan serotonin. Efek samping yang ditimbulkan adalah
sedasi dan peningkatan berat badan.
- Penggantian obat dengan kelas yang sama (within-class) dibandingkan
dengan kelas yang berbeda (across-class)
Studi meta analisis yang membandingkan antara penggantian obat
selective serotonin inhibitor therapy within- vs across-class,
menunjukkan bahwa tingkat remisi ternyata lebih tinggi pada across-
class dibandingkan dengan within-class.
2. Strategi dengan Suggested Efficacy
- S-adenosylmethionine
Obat ini bekerja dengan cara menambahkan sebuah grup metil ke
neurotransmitter. Dalam studi terbaru, penggunaan obat ini dapat
mengatasi depresi ringan-sedang dan depresi sedang-berat pada dosis
400-1600 mg per hari.
- Asam lemak omega 3
Beberapa studi menunjukkan bahwa penambahan asam lemak omega 3
pada pengobatan depresi ternyata lebih efektif dibandingkan hanya
dengan penggunaan obat antidepresan saja.
- L-methylfolate
Outcome pasien yang menjalani terapi untuk gangguan depresi dan
mengalami kesulitan untuk mengubah folat menjadi L-methylfolate akan
lebih buruk. Suatu studi menunjukkan bahwa penggunaan suplementasi
L-methylfolate pada pasien dengan kesulitan tersebut mengalami
perbaikan skor HAM-D (Hamilton Rating Scale for Depression). Akan
tetapi, studi tambahan perlu dilakukan untuk mencari hubungan antara
depresi dengan L-methylfolate.
- Modafinil
Merupakan suatu mood enhancer, yang digunakan sebagai terapi
tambahan pada beberapa pasien dengan gangguan depresi berat. Akan
tetapi hal ini masih belum disetujui/diakui. Ketika modafinil
ditambahkan pada terapi antidepresan, modafinil mungkin saja dapat
mengurangi gejala somnolen dan kelelahan pada pasien dengan gejala
residual.
- Bupropion dan buspirone
Studi yang dilakukan pada kedua obat ini menunjukkan bahwa tingkat
remisi berdasarkan skor HAM-D adalah sebesar 30%. Akan tetapi, kedua
obat belum diakui sebagai terapi tambahan pada gangguan depresi berat.
3. Strategi dengan Unclear Efficacy
- Pindolol
Suatu studi meta analisis yang menguji pemberian pindolol dengan
selective serotonin reuptake inhibitor sebagai terapi menunjukkan bahwa
terdapat perbaikan gejala selama 2 minggu di awal terapi, tetapi hal ini
tidak ditemukan pada minggu ke 4 sampai ke 6. Efikasi dan keamanan
obat ini juga belum dianjurkan untuk terapi tambahan pada pasien dengan
gangguan depresi berat.
- Penggantian antidepresan
Penggantian antidepresan mungkin saja dapat meningkatkan tingkat
remisi dan meminimalisir resiko yang berhubungan dengan adanya
polifarmasi. Penggantian antidepresan mungkin dapat menyebabkan
penambahan manfaat dalam terapi pada beberapa pasien, tetapi juga
dapat menimbulkan efek samping yang mungkin membatasi pasien
dalam menerima pengobatan.
- Litium
Merupakan obat yang digunakan untuk menangani mania dan gangguan
bipolar. Selain itu, lithium juga digunakan sebagai mood stabilizer untuk
mencegah bunuh diri pada pasien dengan gangguan bipolar episode
depresi. Sudah dilakukan studi tentang strategi penambahan lithium
dalam menangani gangguan depresi yang mengalami resistensi terhadap
pengobatan, tetapi belum diakui. Terapi menggunakan lithium memiliki
efek samping seperti peningkatan berat badan, tremor, dan efek pada
kognitif. Selain itu, terapi menggunakan lithium memerlukan monitoring
untuk mencegah terjadinya toksisitas lithium.
- T3
Pasien dengan kelainan pada tiroid akan lebih rentan untuk mengalami
gangguan depresi dan depresi juga bisa saja dibarengi dengan adanya
abnormalitas pada fungsi tiroid. Sudah dilakukan studi terkait
augmentasi atau penambahan T3 pada terapi untuk gangguan depresi,
tetapi penggunaan T3 belum diakui untuk indikasi ini.
4. Intervensi Non-farmakologi
Terdapat modalitas terapi lain yang digunakan oleh psikiater untuk
menangani pasien dengan gangguan depresi yang resisten terhadap
pengobatan, termasuk stimulasi magnetik transkranial berulang, terapi
elektrokonvulsif, terapi kejang magnetik, stimulasi nervus vagal, dan deep
brain stimulation.
5. Terapi kontinu/pemeliharaan
Setelah pasien dengan gangguan depresi berat mengalami remisi, pasien
harus tetap melanjutkan terapi tambahan selama 6-9 bulan. Pasien dengan
episode depresi berulang (≥3 kali), atau 2 kali episode depresi yang parah
dan sulit ditangani mungkin saja membutuhkan pengobatan tambahan yang
lebih lama. Pada terapi pemeliharaan ini, obat dan dosis yang sama harus
dilanjutkan. Selain itu, bisa dipertimbangkan juga untuk memberikan
psikoterapi interpersonal atau cognitive behavioral therapy. Psikoedukasi
seperti efek samping obat, mengenali tanda rekurensi dari depresi, gejala
withdrawal, gejala residual, dan bagaimana cara memanajemen peristiwa
hidup yang berat juga harus disediakan saat terapi pemeliharaan pasien.
6. Kepatuhan pasien
Kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat-obatan antidepresan
dipengaruhi oleh komunikasi antara pasien dengan dokter dan kepercayaan
pasien terhadap terapi yang akan diberikan.

BAB III

KESIMPULAN

Major depressive disorder (MDD) atau gangguan depresi berat merupakan


gangguan psikiatri yang kompleks dan paling sering terjadi dibandingkan dengan
gangguan psikiatri yang lainnya. Penanganan gangguan depresi berat sampai ke
tahap remisi merupakan kunci utama dalam pemulihan fungsi seorang individu dan
dapat mencegah relaps/kekambuhan. Akan tetapi, pasien dengan gangguan depresi
berat yang telah mengalami remisi total masih dapat mengalami setidaknya satu
gejala residual setelah pengobatan. Semua obat antidepresan memiliki efikasi yang
hampr sama, meskipun beberapa obat mungkin tidak efektif diberikan untuk
pasien. Sehingga, seorang dokter memerlukan pemahaman neurobiologi pada
depresi dengan baik untuk dapat memberikan keputusan rasional dalam melakukan
pemilihan obat pada pasien.

Daftar Pustaka

Culpepper,

Romera I, Pérez V, Ciudad A, et al. Residual symptoms and functioning in


depression, does the type of residual symptom matter? A post-hoc analysis. BMC
Psychiatry. 2013;13:51.

Anda mungkin juga menyukai