Anda di halaman 1dari 3

A.

KONSEP MODERASI BERAGAMA

1. Akar Sejarah dan Urgensi Moderasi Beragama

“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat). kecuali orang-
orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk
itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya)
telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam
dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.”

Begitu kurang lebih arti dari Qur’an surat Yunus ayat 118-119, yang jika
disimpulkan, maka kita akan menemukan dua kalimat pesan, pertama, Tuhan
menciptakan manusia berbeda-beda, kedua, karena perbedaan itulah manusia
diciptakan di bumi. Keragaman dan perbedaan sebagai fitrah manusia di bumi
menjadi potensi kekuatan jika dikelola dengan baik, sebaliknya ia akan jadi
boomerang yang akan berakibat pada pertikaian bahkan pertumpahan darah jika
tidak dikelola dengan baik. Dari berbagai kasus di Dunia, kekerasan, perusakan,
pertikaian antar kelompok dan tindakan anarkis lainnya lebih sering
dilatarbelakangi karena fanatisme beragama yang berlebihan serta minimnya rasa
keberterimaan terhadap hadirnya pemeluk agama lain di sekitarnya. Sebagai
contoh, di India, konflik antar pemeluk agama Hindu dan Islam seakan menjadi
Pekerjaan Rumah (PR) yang tak kunjung terselesaikan. Berawal dari komentar
seorang elite politik yang menyudutkan agama lain, kemudian pada ahirnya
memicu ketidakharmonisan hubungan antara kelompok Muslim dan Hindu.
Akibatnya, beberapa tempat ibadah rusak bahkan terjadi pembunuhan keji yang
dilakukan antar kelompok tersebut. Kedua, di Indonesia, kita juga tentu mengingat
tragedi Poso di awal tahun 2000. Kejadian memilukan yang mengakibatkan 577
korban tewas, 384 terluka, 7.932 rumah hancur, dan 510 fasilitas umum terbakar
ini tidak lepas bermula dari gesekan dan sentimen antar umat-beragama.
Sejumlah tragedi kemanusiaan sebagaimana di atas yang terjadi di beberapa
Negara menginisiasi terjadinya pertemuan bersejarah dua tokoh agama besar
dunia, Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al Azhar, Syekh Ahmad AlTayyeb,
pada 4 Februari 2019 lalu. Pertemuan tersebut telah menghasilkan dokumen
persaudaraan kemanusiaan (human fraternity document), yang di antara pesan
utamanya menegaskan bahwa musuh bersama kita saat ini sesungguhnya adalah
ekstremisme akut (fanatic extremism), hasrat saling memusnahkan (destruction),
perang (war), intoleransi (intolerance), serta rasa benci (hateful attitudes) di
antara sesama umat manusia, yang semuanya mengatasnamakan agama. 1 Dari
peristiwa pertemuan penting ini, resolusi PBB kemudian mendeklarasikan 4 Februari
sebagai Hari Persaudaraan Manusia Internasional yang bertujuan untuk mendukung
semua upaya dalam mengarusutamakan budaya hidup berdampingan dan untuk
memerangi diskriminasi, rasisme, dan kebencian.
Dokumen Persaudaraan tersebut, seperti apapun isinya, hanya akan menjadi
seonggok prasasti tanpa arti jika tidak ada komitmen bersama dalam menjaga dan
melaksanakannya. Maka dari itu, untuk mengelola segenap perbedaan yang ada,
dibutuhkan sebuah cara pandang atau cara bersikap yang tepat yang disebut sebagai
moderasi beragama.
2. Definisi dan Batasan Moderasi Beragama
Kata moderasi berasal dari Bahasa Inggris moderate, yang berari average in
amount (sama rata) atau not extreme (tidak ekstrim). Sedangkan dalam Bahasa
Arab, moderasi lebih sering diartikan dengan kata wasathiyah yang diambil dari
kata wasth/wasath/wustho. Secara harfiah, kata ini mempunyai arti tengah,
pertengahan, suatu tempat yang berada di titik tengah antara dua sisi yang
sama jaraknya (titik diameter pada lingkaran). Berdasarkan pengertian di atas,
maka moderasi adalah menempatkan diri dan bersikap berada di tengah, tidak
ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Sehingga, moderasi beragama yang dimaksud
adalah moderasi di dalam pemikiran dan pelaksanaan ajaran agama atau sikap
dan perilaku keberagamaan yang dipraktikkan oleh umat beragama.
Banyak kalangan yang masih memahami moderasi beragama dengan
modernisasi agama yang bertujuan menyampurkan agama-agama menjadi satu
atau mengkompromikan ajaran agama satu dengan yang lainnya. Jika pengertian
yang dimaksud adalah demikian maka keliru, ada juga yang mengatakan
moderasi agama, agama tidak perlu dimoderasi karena agama itu sendiri telah
mengajarkan prinsip moderasi, keadilan, dan keseimbangan. Moderasi dijadikan
sebagai cara pandang (perspektif) dalam seluruh praktik kehidupan beragama.
Moderasi harus dipahami sebagai komitmen bersama untuk menjaga
keseimbangan yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat, apa pun

1
Kementerian Agama, Moderasi Beraga
suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya harus mau saling
mendengarkan2
B. NILAI-NILAI MODERASI BERAGAMA
Agama Islam dalam al-Qur’an telah lama mengajarkan ajaran-ajaran moderasi
beragama.
Kesembilan nilai moderasi itu adalah:
1. tengah-tengah (tawassuth),
2. tegak-lurus (i’tidal),
3. toleransi (tasamuh),
4. musyawarah (syura),
5. perdamaian (ishlah),
6. kepeloporan (qudwah),
7. kewargaan/cinta tanah air (muwathanah),
8. anti kekerasan ( la ’unf)
9. dan ramah budaya (i’tibar al-‘urf).

2
Kementerian Agama, Moderasi Beragama Berdasarkan Nilai-nilai Islam…hal. 21

Anda mungkin juga menyukai