Anda di halaman 1dari 230

HARMONISASI UMAT

BERAGAMA:
Merawat Keberagaman dalam
Bingkai Kebhinekaan

Yosep Belen Keban, Ps. Dr. Talizaro Tafonao, Dwi Indah Nursita,
Baiq Ismiati, Misdianto, I Ketut Putu Suardana, Eka Yulianti,
Mohammad Rifqi Junaidi, Ahmad Mufit Anwari, Mochamad Fadlani
Salam, Nur Wahyuni, Sayu Kadek Jelantik, Rieka Yulita Widaswara,
Sholihatul Atik Hikmawati, Rosidin, Muhammad Holimi, Antoni
Manurung, Siti Muawanatul Hasanah, Ilham
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2002
TENTANG HAK CIPTA

PASAL 72
KETENTUAN PIDANA
SANKSI PELANGGARAN

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan


perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,


mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan
atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

2 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Yosep Belen Keban, Ps. Dr. Talizaro Tafonao, Dwi Indah Nursita,
Baiq Ismiati, Misdianto, I Ketut Putu Suardana, Eka Yulianti,
Mohammad Rifqi Junaidi, Ahmad Mufit Anwari, Mochamad Fadlani
Salam, Nur Wahyuni, Sayu Kadek Jelantik, Rieka Yulita Widaswara,
Sholihatul Atik Hikmawati, Rosidin, Muhammad Holimi, Antoni
Manurung, Siti Muawanatul Hasanah, Ilham

HARMONISASI UMAT
BERAGAMA:
Merawat Keberagaman dalam
Bingkai Kebhinekaan
HARMONISASI UMAT BERAGAMA:
Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan

Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia


oleh Penerbit Global Aksara Pres

ISBN: 978-623-95865-6-0
xvi+ 212 hal; 14,8 x 21 cm

Cetakan Pertama, Januari 2021

copyrigh © 2021 Global Aksara Pres

Penulis : Yosep Belen Keban, dkk.


Penyunting : M. Yusuf
Desain Sampul : Ahmad Nahid Awwalur Rahman
Layouter : M. Yusuf

Hak Cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan
bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit.

Diterbitkan oleh:

CV. Global Aksara Pres


Jl. Wonocolo Utara V/18 Surabaya
+628977416123/+628573269334
globalaksarapres@gmail.com

iv Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Kata Pengantar
Prof. Dr. Hj. Husniyatus Salamah Zainiyati, M.Ag.
(Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya)

Indonesia merupakan negara yang memiliki


penduduk muslim terbanyak di dunia, menjadi sorotan
penting dalam masalah moderasi beragama. Kata moderasi
disinyalir sebagai bentuk ideal bagi sikap keberagamaan
seorang muslim, baik dalam konteks pemikiran,
pemahaman, maupun pengama-lannya. Seorang yang
moderat tidak akan terjebak pada sikap ekstrim, baik ke
kiri, yang biasa dikenal dengan “kaum liberal”, maupun ke
kanan, yang biasa dikenal dengan “kaum radikal atau
fundamentalis”. Seorang moderat akan bersikap wajar,
tidak berlebihan, juga tidak bersikap ekstrim. Bila ditinjau
dari kata moderasi itu sendiri yang berasal dari bahasa
Inggris, moderation, yang berarti sikap sedang atau sikap
tidak berlebihan. Artinya, seorang yang moderat selalu
berada di tengah-tengah, baik dalam menyelesaikan
masalah, yakni tidak memihak kepada salah satu pihak,
maupun ketika bersikap dan berprilaku, yakni tidak
berprilaku ekstrim, baik ke kiri maupun ke kanan, yang
selalu ia tonjolkan adalah kearifannya, bukan semata-mata
keunggulan ilmunya. Sedangkan dalam bahasa Arab,

Harmonisasi Umat Beragama v


moderasi diistilahkan dengan wasath atau wasathiyah;
orangnya disebut wasith. Contoh, dermawan, yaitu sikap di
antara kikir dan boros, pemberani, sikap di antara penakut
(al-jubn) dan tanpa perhitungan (tahawur), dll. Karena itulah,
sangat wajar bila moderasi menjadi isu dunia, bahkan
menjadi idaman bagi semua pemeluk agama. Sebab, tidak
ada satu agama pun yang dapat menolerir sikap ekstrim.
Makanya, perbincangan tentang hal ini seringkali diadakan
baik di tingkat regional maupun internasional, demi
memperoleh formulasi yang tepat tentang apa itu sikap
moderat, juga demi membangun komitmen bersama untuk
mewujudkan sikap moderat tersebut.
Moderasi beragama ini diperlukan karena sikap
ekstrem dałam beragama tidak sesuai dengan esensi ajaran
agama itu sendiri. Perilaku ekstrem atas nama agama juga
sering mengakibatkan lahirnya konflik, rasa benci,
intoleransi, dan bahkan peperangan yang memusnahkan
peradaban. Contoh, ketika seorang pemeluk agama
mengafirkan saudaranya sesama pemeluk agama yang sama
hanya gara-gara mereka berbeda dalam paham keagamaan.
Seseorang juga bisa disebut berlebihan dalam beragama
ketika ia sengaja merendahkan agama orang lain, atau
gemar menghina figur atau simbol suci agama tertentu.
Dalam kasus seperti ini ia sudah terjebak dalam ekstremitas
yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip moderasi
beragama. Sikap-sikap seperti itulah yang perlu dimoderasi.
Dalam moderasi beragama ada dua prinsip yang perlu
diperhatikan, yaitu adil dan berimbang. Bersikap adil
berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya serta
melaksanakannya secara baik dan secepat mungkin.

vi Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Term ‟adl juga berarti keseimbangan/keserasian, sebagai-
mana firman Allah dalam QS. Al-Infitār [83]: 7, artinya: Yang
telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu
dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Ayat ini
pada mulanya menginformasikan tentang kekuasaan dan
kebijaksanaan Allah dalam menciptakan manusia dengan
sebaik-baik bentuk, sehingga kata „adala di sini berarti
menjadikan bentuk manusia sesuai dengan bentuk
ciptaannya (al-Biqa‟i, 358). Mencermati beberapa makna
yang dikandung oleh term „adl, maka sikap moderasi
hanyalah salah satu makna yang dicakup oleh term „adl
tersebut, yaitu seimbang, serasi dan tidak memihak.
Masalah ibadah misalnya, seorang moderat yakin bahwa
beragama adalah melakukan pengabdian kepada Tuhan
dalam bentuk menjalankan ajaran-Nya yang berorientasi
pada upaya untuk memuliakan manusia. Sementara orang
yang ekstrem sering terjebak dalam praktek beragama atas
nama Tuhan hanya untuk membela keagungan-Nya saja
seraya mengenyampingkan aspek kemanusiaan. Orang
beragama dengan cara ini rela membunuh sesama manusia
“atas nama Tuhan” padahal menjaga kemanusiaan itu
sendiri adalah bagian dari inti ajaran agama.
Term moderasi secara historis sudah lama dikenal
sebagai prinsip hidup dalam sejarah umat manusia. Dalam
mitologi Yunani kuno misalnya, prinsip moderasi sudah
dikenal dan dipahatkan pada inskripsi patung Apollo di
Delphi dengan tulisan Meden Agan, yang berarti "tidak
berlebihan". Prinsip moderasi saat itu sudah dipahami
sebagai nilai untuk melakukan segala sesuatu secara
proporsional. tidak berlebihan. Moderasi juga dikenal

Harmonisasi Umat Beragama vii


dalam tradisi berbagai agama. Dalam Islam ada konsep
wasathiyah, di dalam tradisi Kristen ada konsep golden mean.
Dalam tradisi agama Buddha ada Majjhima Patipada. Dalam
tradisi agama Hindu ada Madyhamika. Dalam Konghucu juga
ada konsep Zhong Yong. Begitulah, dalam tradisi semua
agama, selalu ada ajaran "jalan tengah". (Yaqin: 2005) Dari
sini dapat diketahui bahwa setiap agama itu mengacu pada
satu titik makna yang sama yaitu memilih jalan tengah di
antara dua kutub ekstrem dan tidak berlebih-lebihan
merupakan sikap beragama yang paling ideal.
Di Indonesia, moderasi beragama adalah bagian dari
strategi bangsa ini dalam merawat kemajemukan dan
keragamannya. Sebagaimana kesepakatan founding father
bangsa bahwa Indonesia bukan negara agama, tapi juga
tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari
warganya. Nilai-nilai agama dijaga, dipadukan dengan nilai-
nilai kearifan dan adat-istiadat lokal. Beberapa hukum
agama juga dilembagakan oleh negara, ritual agama dan
budaya berjalin berkelindan dengan rukun dan damai.
Itulah sesungguhnya jati diri Indonesia, negeri yang sangat
agamis, dengan karakternya yang santun, toleran, dan
mampu berdialog dengan keragaman. Moderasi beragama
harus menjadi bagian dari strategi kebudayaan untuk
merawat jati diri kita tersebut.
Mencermati tinjauan historis tersebut, maka setiap
komponen bangsa harus yakin bahwa Indonesia memiliki
modal sosial untuk memperkuat moderasi beragama. Modal
sosial itu berupa nilai-nilai budaya lokal, kekayaan
keragaman adat istiadat, tradisi bermusyawarah, serta
budaya gotong-royong yang diwarisi masyarakat Indonesia

viii Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


secara turun temurun. Modal sosial itu harus di rawat, demi
menciptakan kehidupan yang harmoni dan damai dalam
keragaman budaya, etnis, dan agama. Karena itulah
pemahaman tentang moderasi beragama harus dipahami
secara kontekstual bukan secara tekstual, artinya moderasi
beragama di Indonesia bukan Indonesia yang dimoderatkan,
tetapi cara pemahaman dalam beragama yang harus
moderat karena Indonesia memiliki banyak kultur, budaya
dan adat-istiadat.
Buku yang berada di tangan pembaca ini berjudul
“Moderasi Beragama Merajut Persaudaraan Antar Ummat
Beragama” merupakan kumpulan artikel atau gagasan
tentang moderasi beragama atau tema2 terkait dengan
Islam Rahmatan Lil „Alamin. Dengan harapan buku ini dapat
memberikan wacana atau informasi bagi para pembaca
tentang keberagaman dan perbedaan dalam beragama dan
bagaimana implementasi moderasi beragama di Indonesia.
Selamat membaca dan menikmati buku ini, mohon
maaf bila terdapat kekhilafan dan semoga bermanfaat.

Surabaya, Januari 2021

Prof. Dr. Hj. Husniyatus Salamah Zainiyati, M.Ag.


Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya

Harmonisasi Umat Beragama ix


Kata Sambutan
Dr. (C). Muhamad Basyrul Muvid, S.Pd.I., M.Pd.
(Direktur CV. Global Aksara Pers Surabaya)

Agama diturunkan untuk mewujudkan perdamaian,


kesejukan dan keharmonisan dalam kehidupan manusia.
Eksistensi agama akan terus dinanti dan diharapkan oleh
semua manusia yang ingin mendapatkan kebahagiaan dan
kesejukan di tengah dinamika zaman yang terus berlanjut.
Agama tidak bisa dimanfaatkan dan digunakan untuk
memecah belah umat dengan alasan apapun dan juga tidak bisa
digunakan sebagai alat untuk menentang pemerintah yang sah
dalam konteks kenegaraan.
Tidak ada satu pun agama yang dilahirkan untuk
menggiring umatnya kepada perbuatan keji dan mungkar, jika
dipahami secara esensi semua agama mengajarkan kepada
keluhuran budi, keluhuran etika, moral dan susila serta akhlak
yang digunakan sebagai “media” untuk menghiasi diri dalam
kehidupannya. Hiasan moral akan mewujudkan pola interaksi
sosial yang lembut dan saling menghargai yang pada akhirnya
membentuk pribadi yang toleran.
Perbedaan tidak bisa dijadikan alasan untuk berkonflik
antar golongan, agama, suku, budaya, ormas maupun
kelompok. Adanya perbedaan merupakan sebuah kodrat
Tuhan yang Maha Esa. Perbedaan yang ada sebagai wujud
kekuasan-Nya dan kehendak-Nya sehingga barangsiapa yang

x Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


menafikkan adanya perbedaan sama halnya ia menentang
takdir-Nya. Mereka yang menentang takdir Tuhan sama saja
telah durhaka terhadap-Nya baik disadari maupun tidak. Oleh
karena itu, tidak dibenarkan adanya kelompok atau individu
yang bersikap intoleran, radikal dan gerakan ekstremis lainnya
yang berusaha memecah belah kehidupan yang penuh
keberagaman ini.
Keberagaman harus dijadikan sebagai anugerah yang
diberikan Tuhan kepada umat manusia yang harus senantiasa
dijaga, dijunjung dan dirawat dengan sebaik-baiknya.
Keberagaman yang dijaga dengan baik akan melahirkan
kehidupan yang damai dan tenang. Kedamaian dan ketenangan
akan bermuara kepada aktivitas manusia dan keberlangsungan
hidup yang aman. Dengan demikian, pembangunan sumber
daya manusia, alam dan juga negara akan berjalan lancar.
Dalam hal ini bisa kita maknai bahwa aspek
keberagaman menjadi penting untuk terus dikaji, ditelaah dan
didiskusikan dengan harapan untuk memberikan aspek
pendidikan kepada masyarakat dan juga generasi penerus agar
tetap menjunjung tinggi keberagaman di tengah kehidupan
sampai kapan pun demi terwujudnya kemaslahatan secara
universal. Kemaslahatan universal menjadi tujuan dari
terawatnya sebuah keberagaman yang ada.
Konflik yang terjadi di berbagai tempat, daerah bahkan
negara secara umum disebabkan kurangnya rasa menghargai,
menghormati adanya perbedaan dan juga lebih
mengedepankan egoisme dibanding sikap humanis. Sikap
toleransi dan juga sikap humanisme menjadi kunci utama
untuk merawat keberagaman, sehingga manusia tidak akan
mudah menyalahkan sebuah perbedaan.

Harmonisasi Umat Beragama xi


Buku bersama yang digagas oleh pimpinan penerbit CV.
Global Aksara Pers Surabaya ini patut kita syukuri dan sambut
dengan baik sebagai wujud kontribusi untuk tetap menjaga
keberagaman yang ada dengan tidak mudah menyalahkan dan
merasa paling benar. Sisi kemanusiaan dan “kewelasan” harus
tertanam dalam-dalam pada diri kita agar tidak menjadi
manusia yang keji. Buku hasil nulis bersama ini semoga bisa
menjadi referensi bagi masyarakat secara umum untuk
menghadirkan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan
beragama. Akhirnya, kami mengucapkan terimakasih yang
sebanyak-banyaknya dan memberikan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada para penulis semoga senantiasa
keberkahan menyelimuti kehidupan kita. Amiin.
Selamat membaca dan salam sukses…………….!!

Surabaya, 10 Januari 2021

Dr. (C). Muhamad Basyrul Muvid, S.Pd.I., M.Pd.


Direktur CV. Global Aksara Pers Surabaya

xii Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Daf tar Is i

Prof. Dr. Hj. Kata Sambutan iii


Husniyatus
Salamah
Zainiyati, M.Ag.

Dr. (C). Kata Pengantar iv


Muhamad
Basyrul Muvid, S.
Pd.I., M.Pd.

- Daftar Isi xiii

Yosep Belen Meretas Damai dalam Praksis Hidup 1


Keban Beragama (Sebuah Upaya
Mengakhiri Konflik Agama di
Indonesia)

Ps. Dr. Talizaro Keberagaman Agama di Indonesia 15


Tafonao Sebuah Anugerah Tuhan
Berdasarkan Sosiologi Pendidikan
Kristen

Dwi Indah Peran Keluarga dalam 28


Menumbuhkan Sikap Moderasi

Harmonisasi Umat Beragama xiii


Nursita Beragama Pada Anak

Baiq Ismiati Kali>matun Sawa’: Dasar 39


Membangun Ekonomi Rakyat

Misdianto Merawat Keharmonisan Antarsuku 49


Dan Agama; Melejitkan Kemajuan
Daerah

I Ketut Putu Moderasi Beragama Di Tengah 60


Suardana Gempuran Cyiber Communications,
Cyber Journalism Dan Cyber
Religion

Eka Yulianti Moderasi Beragama Kunci 70


Terciptanyatoleransi dan Kerukunan
Dalam Lingkungan Masyarakat

Mohammad Rifqi Eksistensi Bahasa Arab Dalam 78


Junaidi Membentuk Karakter Muslim
Moderat

Ahmad Mufit Moderasi Beragama: Menjaga 90


Anwari Toleransi Antar Umat Beragama di
Indonesia

Mochamad Pendidikan Moderasi Beragama 100


Fadlani Salam Untuk Generasi Milenial

Nur Wahyuni Pentingnya Semangat Toleransi 115


Dalam Masyarakat Plural

Sayu Kadek Penyuluh Agama Hindu Sebagai 124


Jelantik Agen Moderasi Beragama

Rieka Yulita Kampanye Moderasi Beragama Di 131


Widaswara Media Sosial

xiv Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Sholihatul Atik Inovasi Pengembangan Media Sosial 138
Hikmawati Dalam Membumikan Moderasi
Beragama

Rosidin Toleransi Beragama Dalam Menjaga 148


Harmonisasi Masyarakat

Muhammad Internalisasi Moderasi Beragama 160


Holimi Dalam Kurikulum Pondok Pesantren

Antoni Kristologi Teosentris (Suatu 167


Manurung Pemikiran Untuk Merajut
Persaudaraan Antar Umat
Beragama)

Siti Muawanatul Nilai Persatuan Dan Kesatuan 182


Hasanah Melalui Perdamaian Beragama

Ilham Implementasi Toleransi Dalam 200


Kerukunan Umat Beragama Di
Negara Pancasila

Harmonisasi Umat Beragama xv


xvi Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan
Meretas Damai dalam Praksis Hidup Beragama

(Sebuah Upaya Mengakhiri Konflik Agama di

Indonesia)

Oleh:
Yosep Belen Keban, S.S., M.M.
(Dosen Sekolah Tinggi Pastoral Reinha Larantuka-Flores Timur)

Indonesia dikenal dengan negara pluralisme. Kepluralismean itu


dijumpai dalam eksistensi masyarakat Indonesia yang majemuk
baik itu dari segi suku, bahasa, ras, budaya, maupun agama.
Kemajemukan tersebut menjadi keunikan sekaligus kekayaan
bagi Indonesia. Dengan demikian, masyarakat Indonesia disebut
sebagai “plural society” (Nasikun, 1989: 31). Masyarakat plural
berarti dalam mengadanya sebagai manusia Indonesia selalu
bersentuhan secara langsung atau hidup berdampingan dengan
aneka keberagaman yang ada. Keragaman atau kepluralitasan
Indonesia merupakan kekuatan atau integrating force untuk
mengikat masyarakat Indonesia. Inilah ciri khas keindonesiaan
kita yang patut dibanggakan. Bahkan dunia mengakui bahwa
Indonesia memiliki keragaman budaya sehingga masyarakatnya
disebut masyarakat multikultural. Masyarakat multikultural kini
merupakan sebuah peristiwa alami terlahir dan merupakan
emblem persuaan berbagai budaya, dijalinnya relasi berbagai
individu atau etnis tertentu dengan membawa serta berbagai

Harmonisasi Umat Beragama 1


keunikan dalam budayanya serta ekspresi keberagaman tiap
keunikan budaya yang ditampilkan. Singkat kata keragaman
seperti budaya, suku, etnis dan atau agama berinteraksi dalam
komunitas masyarakat Indonesia.
Relasi antar suku, etnis, budaya dan juga lebih-lebih agama
dalam komunitas atau masyarakat pada daerah tertentu sering
berbuntut pada konflik. Konflik agama menjadi sering
dipertontonkan dewasa ini sehingga menggambarkan wajah
agama yang kejam dalam ruang publik. Rentetan peristiwa
konflik agama di tanah air bermunculan menghiasi dinding-
dinding media massa baik itu dari konflik verbal sampai pada
konflik nonverbal yang mengatasnamakan agama. Menurut data
yang dihimpun oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBI) mencatat bahwa terdapat 38 kasus penodaan agama yang
terjadi di Indonesia selama Januari hingga Mei 2020
(Kompas.com, 2020). Kasus tersebut terjadi di beberapa daerah
misalnya di Sulawesi, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera, Ambon
dan juga di DKI. Kerusuhan atau konflik tersebut menandai
bahwa Indonesia sedang berada pada fase disintegrasi yang
menodai toleransi dalam hidup bersama. Praktek intoleransi
demikian tentu saja menodai dan mengancam kebhinekaan kita.
Walaupun kehidupan agama dibawah kendali ketat negara
namun terus saja memperlihatkan praktek kerusuhan atau
konflik dalam ada bersama.
Seperti yang diketahui bahwa negara kita mengakui
adanya enam agama yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu,
Budha, dan Konhucu. Pengakuan negara terkait eksistensi enam
agama ini hemat saya merupakan sebuah pengakuan dengan
muatan politis sehingga terus saja menampilkan diskriminasi
antar sesama umat beragama dalam ada bersama. Selain itu pula,
kecendrungan adanya intimidasi terhadap kaum minoritas oleh
kaum atau kelompok tertentu sebagai mayoritas dalam ada
bersama dalam societas terus saja terjadi dan hal tersebut

2 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


menyimpang dari nilai-nilai dasar Pancasila. Persekusi kerap kali
dipertontonkan terhadap kaum atau kelompok yang dianggap
memiliki ajaran atau keyakinan yang berbeda. Sungguh ironis
wajah agama kini. Potret agama seakan buram, kusut dan
beringas sebab memperlakukan orang lain yang berbeda (Liyan/
the other) sebagai neraka bagiku. Adagium kuno yang
dikumandangkan ole Thomas Hobbes seorang filosof ternama
mendapat tempat pada predikasi ini-homo homini lupus. Manusia
cendrung membunuh sesamanya ibarat seekor serigala yang
hendak menerkam mangsanya. Itulah realitas praksis beragama
kontemporer yang selalu menampilkan wajah beringas.

Menilik Penyebab Konflik Agama


De facto pluralisme agama di Indonesia adalah sebuah
keniscayaan. Senada dengan itu, Hans Kung dan Avery, David
Tracy (dalam Riyanto, 2010: 225) mengatakan bahwa situasi
perkembangan telogi saat ini adalah pluralisme. Pluralisme yang
ada mengharuskan para teolog dari agama-agama baik itu Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan juga Konghucu untuk
melakukan dialog. Aneka dialog lintas agama sudah dijalankan
namun masih dijumpai aneka persoalan atau konflik yang
mengatasnamakan agama. Padahal dari definisi agama secara
etimologis diartikan sebagai tidak kacau; keadaan tanpa
kekacauan. Berangkat dari definisi tersebut dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa apapun agama di dunia ini selalu mengajarkan
jalan kedamian bukan konflik. Lalu, bagaimana dengan konflik
yang mengatasnamakan agama? Pertanyaan tersebut menjadi
dasar permenungan dan pergulatan saya untuk mengangkat
kepermukaan sebagai bahan diskursus dalam tulisan ini.
Sebagai warga negara kita patut berbangga karena negara
kita Indonesia merupakan tempat pertemuan agama-agama besar
di dunia, Hindu, Budha, Islam, Kristen namun di lain sisi kita
harus mengakui adanya disintegrasi dalam ada bersama atau

Harmonisasi Umat Beragama 3


dalam keberagamaan tersebut. Aneka konflik terlahir
mengatasnamakan agama sehingga sangat runyam mewujudkan
toleransi dalam hidup bersama. Kerusahan atau konflik agama
terjadi oleh karena beberapa sikap demikian. Raimundo Panikkar
(dalam Armada Riyanto, 2010: 239) mengatakan bahwa sikap
ekslusif menjadi pemicuh lahirnya konflik agama. Sedangkan
menurut Armahedi Azar terdapat lima (5) patologi dalam agama
yang menelurkan konflik antar agama itu yakni: absolutisme,
eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme, dan juga agresivisme (Basuki,
2011: 283). Kelima sikap dalam agama tersebut acapkali kita
temukan dalam praksis beragama.
Terminologi absolutisme dalam agama dipahami sebagai
keyakinan seseorang atau kelompok agama tertentu yang
mengatakan bahwa agama yang dianutnya adalah absolut atau
mutlak atau benar. Agamaku adalah absolut jika dibandingkan
dengan agamamu. Inilah persoalan konflik itu sebab secara tidak
langsung kita sedang membangun tembok atau menafikan agama
lain dalam ada bersama dalam kehidupan sosial. Sedangkan sikap
ekslusivisme diartikan sebagai sikap sombong seseorang dalam
beragama di mana orang lebih mengagungkan atau membangga-
banggakan agamanya, keyakinannya dari pada agama atau
kelompok lainnya. Sikap fanatisme dalam agama lebih
menekankan soal kebenaran atau kesalahan dalam beragama.
Fanatik terhadap agama saya karena agama saya adalah benar dan
menganggap ajaran agama lain adalah salah. Jelas anggapan ini
keliru sebab orientasi tiap agama yang ada adalah bermuara pada
sumber yang sama. Sikap ini kemudian melahirkan fanatisme
sempit. Ekstremisme diartikan sebagai sikap berlebihan dalam
beragama misalnya berkaitan dengan dogma atau ajaran
keagamaan. Sedangkan agresif berkaitan dengan tindakan
berlebihan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan
keyakinan yang sama untuk menciderai atau menghancurkan
rumah ibadah kelompok lainnya.

4 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Kelima penyakit yang dijelaskan diatas merupakan akar
konflik dalam praksis hidup beragama di Indonesia. Apabila
sikap tersebut tetap dipelihara maka bukan tidak mungkin akan
sangat runyam mewujudkan sikap toleransi itu sendiri. Salah
satu cara mengatasi konflik beragama adalah adanya sikap
terbuka dan sikap saling menerima satu dengan yang lainnya
melalui jalan dialog.

Dialog: Solusi Mengatasi Konflik Agama


Dewasa ini konflik agama menjadi trending topik sejumlah
media di tanah air. Banyak wacana baik itu berasal dari menteri
agama sampai pada para teolog berusaha untuk menyudahi
konflik agama ini. Menteri agama silih berganti, konflik agama
pun tak pernah usai. Saat ini tongkat estafet dimandatkan pada
sosok yang memiliki komitmen besar dan penuh pada
kemajemukan agama atau komitmen pada toleransi antar agama.
Ia adalah Gus Yaqut Cholil Qoumas, menteri agama. Dalam
pidatonya seusai dilantik, ia mengatakan bahwa fokus utama
yang akan dikerjakan adalah menjadikan agama sebagai inspirasi.
Agama sebagai inspirasi dapat dipahami sebagai upaya
membangun relasi dialogis antar umat beragama dalam praksis
beragama. Niat pak menteri disini sebagai upaya untuk
menyudahi konflik agama dengan berdialog damai antar agama
atau lintas agama.
Sarbini (2017: 30) mengatakan bahwa apabila dalam ada
bersama menampilkan atau mempertontonkan wajah agama yang
beringas maka sudah saatnya mewujudkan agama yang damai.
Meminjam istilah yang disampaikan oleh Paul Tillich yakni “the
holy”. Istilah tersebut merupakan sebuah upaya mengembalikan
potret agama yang buram atau beringas atau brutal menjadi
potret yang suci-bersih. Keberingasan agama dipertontonkan
karena sikap-sikap agama seperti ekslusif, agresif, absolutisme
dan lain sebagainya.

Harmonisasi Umat Beragama 5


Dalam Ajaran Sosial Katolik terdapat beberapa bentuk
dialog interreligius yang menawarkan kedamian dalam hidup
bersama. Dokumen Gereja yakni Ecclesiam Suam terlebih khusus
pada Bab III, mengatakan dengan gamblang bahwa dialog
interreligius pada prinsipnya selalu dan harus mengungkapkan
atau membawa pesan keselamatan (Armada Riyanto, 2010: 211).
Hal tersebut berarti dalam dialog interreligus yang harus
mengungkapkan keselamatan, yang tercetus dalam perdamaian
antar sesama, kerja bersama, persaudaraan dalam ada bersama,
pengalaman dekat dengan Allah dan juga mencintai sesama
dalam ada bersama. Adapun bentuk dialog interreligius
sebagaimana terdapat dalam dokumen Dialogue and Mission (28-35)
adalah dialog kehidupan, dialog karya, dialog pandangan teologis,
dan dialog pengalaman keagamaan.
Dialog kehidupan merupakan level dialog paling mendasar
dan berkaitan erat dengan fenomena kehidupan real manusia.
Dalam dialog ini masing-masing individu dipanggil untuk
merajuk kasih dalam persaudaraan dan mau berbagi dengan yang
lainnya termasuk pengalaman kehidupan walaupun berbeda
secara keyakinan. Dialog karya, berarti dialog yang
mengedepankan kerja sama secara intens untuk tujuan bersama.
Dialog ini dilakukan secara bersama-sama tanpa melihat latar
belakang agama. Tujuan dilakukan dialog ini adalah
pembangunan manusia dan peningkatan martabat manusia
semata. Dialog pandangan teologis berarti dialog yang dilakukan
oleh para ahli teolog untuk mendiskursuskan ajarannya masing-
masing lalu memperkaya diri dengan pemahaman ajaran atau isi
keyakinan agama lainnya. Dialog ini tidak bermaksud untuk
menyerang ajaran agama yang lainnya tetapi lebih pada sikap
keterbukaan menerima ajaran rekan dialognya. Dialog penga-
laman keagamaan atau dialog pengalaman iman bermaksud
untuk memperkaya diri dalam pengahayatan imannya dengan
mendengar dan berbagi pengalaman keagamaan orang lain.

6 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Senada pandangan Gereja Katolik soal dialog interreligius,
A. Mukti Ali (1992: 233) juga mengatakan pendapatnya mengenai
hal tersebut. Ia membuat klasifikasi dialog antar umat beragama
antara lain sebagai berikut: dialog kehidupan, dialog kegiatan
sosial, dialog komunikasi, dialog doa, bersama, dan juga dialog
untuk berdiskusi masalah telogis. Bentuk dialog yang diajurkan
ini membuat para rekan doalog harus hadir tanpa merasa curiga
terlebih dahulu. Kecurigaan dan kekhawatiran harus
disingkirkan sebelum dilakukan dialog. Sementara itu, mazhab
neo modernis mengelompokan dialog antarumat bergama
menjadi dua bentuk dialog yang dapat dihidupi atau
diwujudnyatakan dalam praksis beragama, yakni dialog teologis-
spiritual dan dialog sosial kemanusiaan (Stephanus Rahmat, 2017:
187). Berkaitan dengan dialog teologis-spiritual tentu yang
didambakan adalah masing-masing agama hadir menjadi rekan
dialog yang terbuka, berani untuk menyampaikan perbedaan
keyakinan dalam forum dialog, berani untuk menggugat,
mempertanyakan dan mengoreksi diri sendiri sesudah memahami
pengalaman keagamaan ajaran orang lain. Apabila dialog ini
tercapai, maka akan lahir sifat inklusif, terbuka, dan tidak mudah
menyalahkan keyakinan keagamaan orang lain. Sedangkan dialog
sosial-kamanusian mengharuskan semua pemeluk agama melihat
realitas sosial dan segala problematikanya dan kemudian mencari
tindakan solutif untuk mengatasi masalah tersebut secara
bersama.
Berhubungan dengan dialog antaragama, tentu yang
diharapkan adalah sebuah kesadaran untuk membangun
relasional dengan yang lainnya (agama lain). Dalam dialog
tersebut kesadaran aku (self) hendak membangun relasi dialogis
dengan yang lain (Thou) dan tidak memandang yang lainnya
sebagai obyek melainkan sebagai rekan atau subyek dalam
berdialog. Adalah Martin Buber mendeklarasikan sebuah seruan
profetik mengenai manusia yang berelasi melalui kesadaran diri.

Harmonisasi Umat Beragama 7


Dengan kesadaran diri dalam berelasilah manusia kemudian
membangun sebuah kedamian dalam kehiduapan. Kesadaran aku
dalam berdialog juga menyangkut soal kesadaran aku yang belum
penuh. Senada dengan pandangan itu, Ortega y Gaset (Riyanto,
2011: 18) mengatakan bahwa kesadaran aku sebagai subyek dialog
dalam berdialog selalu merasa kehadiran yang belum penuh
sehingga membutuhkan orang lain, pengalaman hidup orang lain,
ajaran agama orang lain agar aku menjadi pribadi yang penuh.
Dengan adanya dialog antarumat beragama dalam kehidupan
beragama maka akan terlahirnya toleransi.
Terminologi toleransi berasal dari bahasa Inggris
“toleration”. Kata tersebut merupakan turunan dati kata bahasa
Latin tolerare” yang berarti sikap sabar terhadap sesuatu, sikap
menahan diri, membiarkan orang berpendapat, bersikap lapang
terhadap pandangan orang lain (Yusnita dan Andrayani, 2018:
42). Sedangkan United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO) mengartikan toleransi sebagai sikap
“saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai
ditengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan
karakter manusia”. Defini tersebut mau mengatakan bahwa
toleransi semestinya didukung oleh keluasan pengetahuan,
keterbukaan dalam bersikap, dialog itens yang dibangun,
kebebasan berfikir dan juga beragama. Toleransi menurut Magnis
Suseno (2003: 104) dapat terwujud apabila adanya rasa hormat
penuh bukan asimilasi terhadap identitas masing-masing, di
mana identitas masing-masing tersebut tidak sama. Oleh karena
perbedaan identitas tersebutlah menuntut tiap kita untuk
bertoleransi. Jadi, toleransi itu berarti membuat sederajat atau
sama semua agama yang ada. Sementara itu, dalam Al-Quran
surat Al Hujuraat 13 menegaskan bahwa Allah telah menciptakan
manusia dengan bermacam-macam suku bangsa agar manusia
saling mengenal. Bahwa perbedaan tidak boleh menjadi ajang
konflik, karenanya harus dihargai (Agus Akhmadi, 2019:48).

8 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Pandangan ini berarti perbedaan adalah sebuah anugerah dalam
kehidupan. Oleh karena anugerah atau rahmat maka tiap kita
harus memberikan respect bagi perbedaan tersebut.
Wujud dari toleransi dalam praksis hidup beragama di
Indonesia adalah tidak boleh memaksakan kebebasan orang lain
(agama lain) untuk memeluk agama kita walaupun mereka
adalah minoritas, tidak mencelah atau menjelekan agama lain
walaupun mereka berbedah dengan alasan apapun itu, dan juga
tidak mengganggu jalannya peribadahan agama yang lain, serta
memberikan ruang bagi agama lain walaupun mereka minoritas
untuk membangun rumah ibadah mereka. Wujud toleransi
tersebut apabila dipraktikkan dalam hidup bersama maka akan
indah dan terwujudnya situasi kehidupan yang damai. Hans
Kung, seorang teolog Kristen mengatakan bahwa setiap agama
memiliki bentuk dogma tersendiri yang membuat mereka
berbeda dengan yang lainya, tetapi etika dan perilaku agama-
agama memiliki banyak kesamaan (Kommaruddin Hidayat dan
Gaus Af, 1998: xi). Perbedaan dalam dogma tidak harusnya
dinafikan atau diolok-olok tetapi perbedaan dalam dogma
menggambarkan kekayaan pengalaman beragama. Tiap agama
tetantu memiliki perbedaan namun etika dan perilaku hidup
kaum beragama memiliki kesamaan. Atas dasar demikian, maka
semua agama yang ada memiliki hak yang sama untuk hidup
berdampingan-bereksistensi secara damai bersama dalam
kehidupan. Kosep ini disebut pendekatan ko-eksistensi. Namun
tidak berhenti di situ dalam konteks toleransi beragama.
Agama-agama yang ada tidak hanya sekadar menuntut hak
eksistensinya sendiri dan kewajiban untuk mengakui serta
memberikan respek bagi eksistensi agama lainya, tetapi lebih dari
pada itu yakni menuntut untuk memberikan perhatian serius
kepada agama lain. Artinya bahwa dalam praksis kehidupan
beragama, para kaum beragam tidak hanya berko-eksistensi
tetapi juga pro-eksistensi (Norbertus Jegalus, 2011:103). Kata

Harmonisasi Umat Beragama 9


kunci dari pendekatan pro-eksistensi dalam praksis beragama
adalah peduli akan situasi atau agama lainnya dalam kehidupan.
Di sini agama sudah mulai menyadari kesalingketerkaitannya
dengan orang lain baik itu seagama maupun bukan. Relasi
antaragama dalam kemajemukan patut dirawat atau dijaga.
Hans Kung (dalam Riyanto, 2013: 89) pernah mengatakan
bahwa perdamaian di dunia ini tidak mungkin ada atau tidak
mungkin bisa terjadi tanpa perdamaian agama-agama. Kalimat
tersebut tentu saja menggugah siapapun apalagi kaum teolog
untuk mengaungkan gong perdamaian melalui agama baik itu
dalam kelas-kelas diskursus atau pun dalam seminar keilmiahan
lainnya. Kung mengaitkan situasi damai dengan agama tentunya
sebab baginya agama mampu menciptakan situasi damai itu
sendiri. Dengan demikian, agama dimengerti sebagai entitas
keharusan dalam damai. Paus Yohanes Paulus II juga pernah
menegaskan bahwa musuh bersama kita adalah umat manusia
dan dunia yang semakin sekular dan ateistik sehingga
diperlukannya jalan tengah yakni dialog. Pesan tersebut
disampaikan pada suatu kesempatan di Marokko dalam
sambutannya (19 Agustus 1985).
Pesan yang disampaikan mendiang Paus Yohanes Paulus II
mau mengatakan bahwa kedamaian dan kesatuan agama
diperlukan untuk melawan musuh yang ada didepan kita. Bukan
lagi kita bertentangan siapa yang benar, agama siapa yang lebih
baik dan sebagainya tetapi kita bersatu memerangi musuh
bersama yakni sekularisasi dan ateisme. Persatuan agama-agama
untuk melawan musuh bersama agama itu merupakan panggilan
umat beriman yang nampak jelas dalam dialog-dialog kedamaian.
Praksis beragama di Indonesia dalam kepluralitasnnya akan
mendapat tempatnya apabila menjalankan praktek kedamaian
antar sesama umat beragama. Armada Riyanto (2013: 90)
mengatakan bahwa damai tak mungkin tanpa kesadaran akan
pluralitas. Artinya tata damai bisa terwujud apabila adanya

10 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


koeksistensi dan proeksistensi terhadap kemajemukan dalam ada
bersama. Diakhir ulasan ini saya mengajak kita untuk
melepaskan mantol agama kita masing-masing dan bergandengan
tangan membangun dialog-dialog lintas agama agar terciptanya
moderasi antarumat beragama di tanah air kita Indonesia. Kita
harus mengakui bahwa kamajemukan agama adalah rahmat bagi
kita.

Daftar Pustaka
Ali, A. Mukti. 1992. “ Ilmu Perbandingan Agama Dialog, Dakwah
dan Misi”. Dalam Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan
Belanda, diedit oleh Burhanuddin Daja dan Herman Leonard
Beck. Jakarta: INIS.

Akhmadi, Agus. 2019. “Moderasi Beragama dalam Keragamaan


Indonesia”. Dalam Jurnal Diklat Keagamaan. Vol. 13. No. 2.
Februari.

Armada Riyanto., Marcellius Ari Christy., Paulus Punjung


Widodo.Ed. 2011. Aku & Liyan: Kata Filsafat dan Sayap.
Malang: Widya Sasana Publication.

Armada Riyanto. 2013. Menjadi Mencintai: Berfilsafat Teologis Sehari-


hari. Yogyakarta: Kanisius.

_________.2010. Dialog Interreligius, (historitas, Tesis, Pergumulan, Wajah.


(Yogyakarta: penerbit Kanisius.

Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF. Ed. 1998. Passing Over:
Melintas Batas Agama. Jakarta: Pustaka Utama.

Jegalus, Norbertus. 2011. Membangun Kerukunan Beragama dari Ko-


eksistensi sampai Pro-eksistensi. Maumere: Ledalero.

Magis-Suseno, Frans. 2003. “Membongkar Kedok Pluralisme,


Merayakan Inklusivisme”. Dalam A. Sudiarja & A. Bagus

Harmonisasi Umat Beragama 11


Laksana (editor). Berenang di Arus Zaman: Tantangan Hidup
Religius di Indonesia Kini. Yogyarkarta: Kanisius.

Nasikun. 1989. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Rahmat, Stephanus Turibius. 2017. ”Dialog Antropologis


Antaragama Dengan Spiritualitas Passing Over”. Dalam
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosologis Budaya. Desember.

Sarbini, Peter B. 2017. “Wajah Agama Yang Beringas di Ruang


Publik” dalam Raharso, Alphonsus Tjatur, Paulinus Yan
Ola, Yustinus. Mengabdi Tuhan dan Mencintai Liyan:
Pengahayatan Agama di Ruang Publik yang Plural. Malang:
Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana.

Yusnita, Eti dan Andriani. 2018. “Toleransi Bermazhab Di


Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam (Uin)
Raden Fatah Palembang”. Dalam Nurani, Vol. 18. No. 2.
Desember.

12 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Biografi Penulis

Yosep Belen Keban, S.S., M.M. lahir


di Desa Lewotana Ole-Flores Timur-
Nusa Tenggara Timur pada 20 Maret
1991. Anak kedua dari Stefanus Toti
Keban dan Maria Kelala Gapun.
Setelah menamatkan pendidikan
dasar di Sekolah Dasar Negeri
Lamaole pada tahun 2003, ia
melanjutkan ke Sekolah Menengah
Pertama Negeri Pamakayo- Solor
Barat dan lulus tahun 2005. Setelah itu, ia melanjutkan di SMA
PGRI Larantuka dan lulus pada tahun 2009. Berangkat dari SMA,
ia melanjutkan ke formasi seminari di Ruteng-Manggarai dan
menyelesaikan masa Novisiat pada tahun 2013 di Ordo Hamba-
Hamba Maria (OSM). Setelah itu melanjutkan studi Filsafat
Teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana
Malang dan lulus pada tahun 2017. Setelah menyelesaikan studi,
ia langsung melanjutkan studi Magister Manajemen khususnya
dalam Pendidikan di Pascasarjana Universitas Merdeka Malang
dan lulus pada tahun 2019.
Ketika sedang melanjutkan studi magister, ia berkarya di
Yayasan Bhakti Luhur Malang sebagai staff administrasi di
Sekolah Dasar Katolik Bhakti Luhur Malang. Pada tahun 2017, ia
mengajar di SMPK Marsudisiwi Malang. Sekarang bekerja
sebagai tenaga pendidik di Sekolah Tinggi Pastoral Reinha

Harmonisasi Umat Beragama 13


Larantuka-Flores Timur-NTT. Karya-karya yang dihasilkan
adalah buku Interpretasi Slametan (2019), Wu‟u Lolo Lamaole: Kearifan
Lokal Lamaholot (2019), dan beberapa tulisan yang dimuat di
jurnal seperti “Orang Lamaole dan Pendidikan Karakter” (2017),
“SWOT Analysis and Its Implementation Strategies in Educational
Management” (2019), “Membangun Kepuasan Pelanggan Melalui Kualitas
Pendidikan” (2020), Gemohing: Kearifan Lokal Lamaholot di pualu Solor
(2020), Membangun Pendidikan Indonesia Berkelas Dunia (2020). Saat
ini penulis berdomisili di Larantuka-Flores Timur-NTT dan bisa
dihubungi via email yosephbelen@gmail.com dan nomor HP/WA:
085235312315.

14 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Keberagaman Agama di Indonesia
Sebuah Anugerah Tuhan Berdasarkan

Sosiologi Pendidikan Kristen

Oleh:
Ps. Dr. Talizaro Tafonao, M.Pd.K.
(Dosen Sekolah Tinggi Teologi REAL Batam)

Pendahuluan
Dalam menjaga kehidupan keberagaman agama di Indonesia
sangat membutuhkan kerjasama yang baik dari berbagai pihak.
Kerukunan keberagaman agama adalah salah satu modal dalam
memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selaras dengan pernyataan Mas‟udi mengatakan bahwa keru-
kunan beragama menjadi salah satu modal berharga yang harus
dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat demi menciptakan
kehidupan yang luhur (Mas‟udi, 2018). Bila diamati secara
menyeluruh, pada dasarnya hubungan lintas budaya dan agama di
Indonesia telah menghasilkan sikap pluralis dan toleran dalam
menyikapi setiap perbedaan yang ada. Hal ini terbukti bangsa
Indonesia telah menyatukan suku, agama, ras adat-istiadat,
budaya dan golongan dengan hidup berdampingan dan memiliki
ruang negosiasi yang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari
yang kita kenal dengan toleransi (Digdoyo, 2018). Tetapi

Harmonisasi Umat Beragama 15


berbanding lurus dengan apa yang terjadi sekarang ini, penulis
melihat bahwa kehidupan keberagaman agama di Indonesia telah
mengarah pada perpecahan antara satu dengan yang lain. Salah
satu pokok persoalan yang sering terjadi saat ini yakni adanya
ruang bagi kebebasan berekspresi serta menguatnya aspirasi
kelompok-kelompok tertentu yang memicu terjadinya kekerasan,
termasuk kekerasan berbasis agama (Sefriyono, 2014). Akibatnya,
kita sering kali menyaksikan adanya gesekan sosial akibat
perbedaan cara pandang masalah keagamaan, sehingga sangat
mengganggu suasana kerukunan dan damai yang kita idam-
idamkan bersama.
Berikut ini uraian fakta empiris tentang kasus intoleransi
agama yang terjadi pada tahun 2020 ini yakni: Pertama, pada
tanggal 29 Januari 2020 di Minahasa Utara, konflik antara
masyarakat Kristen dan Muslim di sebuah perumahan yang
menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat maupun para ahli
agama, sosial dan politik. Pasalnya, umat Kristen menjadi
tersangka dalam peristiwa ini, karena mereka melakukan aksi
pengrusakan balai pertemuan agama Islam yang juga digunakan
sebagai Mushola yang belum memiliki izin. Kedua, di awal bulan
Februari 2020 terjadi masalah antara umat Khatolik dan umat
agama „lain‟ karena renovasi gedung gereja Khatolik di Riau yang
dilarang oleh Aliansi Peduli Karimun (APK) dengan alasan
renovasi total gedung gereja akan mengubah ikon kota tersebut.
Ketiga, bulan April 2020 sikap intoleransi diperlihatkan oleh dua
orang pendeta besar di Indonesia dalam menyikapi Covid-19.
Mereka saling mengkritik dan melemparkan ujaran kebencian
melalui khotbah di mimbar yang memancing reaksi khalayak
ramai dan mengadu-domba para pengikutnya. Keempat, Juni 2020
reaksi sekelompok orang anti keberagaman agama terhadap
Alkitab digital (Injil dalam bahasa Minangkabau) yang akhirnya
di hapus dari play store oleh Dirjen aplikasi informatika dan masih
banyak lagi yang belum terugkapkan disini.

16 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Huda melihat persoalan di atas bahwa perbedaan selama
ini sering kali dijadikan sebagai alat legitimasi untuk saling
berseteru atau bermusuhan. Konflik sosial dan agama hanya
karena adanya kesalahpahaman dalam menyikapi perbedaan
paham, baik ajaran maupun tradisi sosial keagamaan. Dari
beberapa kasus intoleransi agama dapat ditemukan konflik atau
permusuhan dikarenakan perbedaan Suku, Agama, Ras dan
Golongan (SARA) (Huda, 2018). Berdasarkan bukti-bukti
tersebut menunjukkan bahwa kasus intoleransi agama di
Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini, tentu
memperlihatkan menurunnya semangat untuk hidup bersama
dengan rukun di negara Pancasila ini. Agama masih menjadi isu
yang paling sensitif yang mampu membakar emosi sehingga
mengakibatkan berbagai konflik di dalam kehidupan beragama di
Indonesia. Lalu, bagaimana cara menyikapinya hal ini? Mem-
bungkamnya tidak mungkin, karena itu bagian dari kebebasan
ekspresi beragama. Jika dibiarkan maka semakin membahayakan
persatuan dan kesatuan di dalam masyarakat Indoenesia.
Salah satu cara menghadapi persolan dalam keberagaman
agama ini adalah harus adanya jalan tengah, yang disebut dengan
„moderasi beragama‟. Moderat adalah sebuah kata sifat, turunan
dari kata moderation, yang berarti tidak berlebih-lebihan atau
sedang. Kata moderasi sendiri berasal dari bahasa Latin
moderâtio, yang berarti ke-sedang-an, tidak kelebihan, dan tidak
kekurangan, alias seimbang. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), kata moderasi didefinisikan sebagai pengu-
rangan kekerasan, atau penghindaran keekstreman (Moeliono &
Susanto, 2013). Jika kata moderasi disandingkan dengan kata
beragama, menjadi moderasi beragama, istilah tersebut berarti
merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari
keekstreman dalam cara pandang, sikap, dan praktik beragama.
Artinya bahwa yang dimoderasi itu adalah cara pemahaman

Harmonisasi Umat Beragama 17


dalam beragama yang harus dimoderat karena Indonesia memiliki
banyak kultur, budaya dan adat-istiadat (Fahri & Zainuri, 2019).
Itulah sebabnya, Maksum menyarankan bahwa masya-
rakat harus diberi kesadaran penuh tentang rasa cinta dan
bangga terhadap tanah air sendiri melalui proses pendidikan.
Pendidikan berbasis nilai-nilai budaya dapat dijadikan sebagai
sebuah alternatif untuk menumbuhkembangkan rasa bangga
yang akan melandasi munculnya rasa cinta tanah air (Maksum,
2018). Kita harus mengakui bahwa keberagaman agama adalah
sebuah anugerah yang harus dijaga bersama. Seharusnya
perbedaan keyakinan (agama) tidak perlu dibenturkan dengan
kehidupan sosial dalam masyarakat, karena keyakinan seseorang
adalah urusan pribadi dengan Sang Pencipta itu sendiri. Namun
yang terpenting disini adalah masyarakat didorong untuk
memiliki kesadaran dan perilaku sosial yang positif terhadap
masyarakat yang berbeda kepercayaan dengannya, agar
masyarakat dengan masyarakat memiliki hubungan sosial yang
harmonis satu dengan lain, sehingga gesekan-gesekan sosial yang
sering terjadi selama ini dapat teratasi dengan baik.
Apa yang dijelaskan di atas adalah harapan bersama, tetapi
fakta yang terjadi saat ini bahwa salah satu penyebab rendahnya
tingkat toleransi antar agama di masyarakat Indonesia adalah
lemahnya peran pemerintah dan pemimpin agama sebagai motor
penggerak dan teladan umat (Hutabarat & Panjaitan, 2016).
Dengan kondisi ini, Siahaan mengingatkan supaya umat (gereja)
terlibat aktif dalam membangun rasa nasionalisme umat. Gereja
tidak hanya berfokus pada penanaman konsep teologis yang
mendominasi pengajarannya bagi umat, namun mengabaikan
tanggung jawabnya untuk mendidik warganya cinta tanah air.
Siahaan mendorong agar gereja menjadi saksi dengan tidak
bersikap eksklusif dan alergi terhadap hal-hal sekuler. Karena di
sisi lain, gereja mempertahankan hidup yang saleh tetapi tidak
mengabaikan kehidupan sosial sebagai umat beragama di

18 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Indonesia. Menurutnya, berbagai pengaruh radikalisme dan
intoleransi yang menggerus semangat nasionalisme, seharusnya
mendorong gereja terlibat aktif dengan berjuang mengobarkan
semangat nasionalisme warganya (Siahaan, 2017). Boleh dika-
takan bahwa gereja sesungguhnya tempat diamana Pendidikan
Kristen diselenggarakan untuk mendidik warga (jemaat)
(Tafonao, 2016), agar umat ini memiliki kepedulian terhadap
masyarakat lain, dimana masyarakat saat ini membutuhkan
bimbingan yang selaras dengan nilai-nilai yang terkandung
Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia, karena
pancasila adalah nyawa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia. Pancasila yang telah memberikan nafas bagi
kehidupan agama-agama (Mukhlis, 2016).
Dengan melihat penjelasan tersebut, maka Pendidikan
Agama Kristen memiliki tugas penting dalam memainkan
perannya di ruang publik sebagai bukti kehadirannya dalam
masyarakat (sosial) serta mampu meminimalisir setiap tindakan
yang meresahkan masyarakat (Tafonao & Yuliyanto, 2020), atau
yang mengganggung aktifitas umat beragama. Sampai saat ini,
umat Kristen dituntut terus untuk mengafirmasi imannya di
dalam Yesus Kristus dan berusaha untuk hidup menurut ajaran-
ajaran Kristen, sekalipun pada saat yang sama dapat hidup
dengan tetangganya yang bukan Kristen (Campbell, 2015:1),
bahkan pratek-pratek ini sering kita jumpai, misalnya
perkawinan beda agama, seperti laki beragama Kristen dan Istri
bergama Islam atau sebaliknya, dan sejauh ini tidak ada masalah
dalam masyarakat Indonesia. Secara hukum kebenaran (teologis)
sangat tidak diperbolehkan dan ini yang selalu diributkan dan
diperdebatkan oleh para pemuka agama selama ini termasuk para
Pendeta-Pendeta, karena disini telah memainkan tafsiran-tafsiran
berdasarkan ayat Kitab Suci yang ada tetapi secara ilmu sosial
hal-hal seperti ini sah-sah saja sejauh itu mereka saling cinta dan
bertanggung jawab.

Harmonisasi Umat Beragama 19


Artinya bahwa masyarakat Indonesia sampai saat ini masih
mempertahankan hidup rukun dan damai sekalipun berbeda
keyakinan dan tidak dipermasalahkan keyakinan tersebut karena
kepercayaaan seseorang sifatnya pribadi. Dan ini salah satu isi
pengajaran Pendidikan Kristen selama ini, yaitu menekankan
saling menghormati satu dengan lain dan saling menolong tanpa
mempertimbangkan atau melihat latar belakang seseorang
sebagaimana yang pesankan oleh Yesus dalam Injil Matius bahwa
“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Mat. 22:39.
Hidup dalam masyarakat yang berbeda seharusnya didasarkan
pada kasih yang tulus tanpa pamrih. Penulis sangat yakin bahwa
setiap agama yang ada saat ini tidak pernah mengajarkan hal-hal
yang buruk kepada umatnya serta bertentangan dengan
kebenaran yang tertulis (disabdakan) dalam Kitab Suci.
Masyarakat perlu tahu bahwa moderasi beragama adalah cara
kita dalam beragama demi menjaga Indonesia dari aksi-aksi teror
yang meresahkan kehidupan umat beragama, baik ormas maupun
individu yang terlibat dalam aksi radikalisme (Mukhlis, 2016).
Untuk itu, peran Pendidikan Agama Kristen dalam mendidik
masyarakat sangat diharapakan (Tafonao, 2018), agar warga
mampu hidup berdampingan dalam keberagaman agama tersebut
sebagai bukti cinta terhadap kesatuan dalam perbedaaan.
Dengan melihat berbagai persolan dan penjelasan di atas,
maka dalam bagian ini penulis menguraikan beberapa hal yang
harus dikembangkan dalam menjaga keberagaman agama di
Indonesia:
1. Masyarakat didorong untuk mengembangkan sikap hidup
bertoleransi
Dalam menjaga keberagaman agama di Indonesia tidak
ada cara lain selain kita hidup bertoleransi satu dengan yang
lain dan sikap bertolenasi adalah wujud dari kebenaran yang
diyakini selama ini yang tidak bertentangan dengan ideologi
Pancasila yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-

20 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


hari, yakni saling mengerti, memahami dan menerima setiap
perbedaan yang ada. Toleransi berasal dari bahasa latin
tolerantia, berarti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan
dan kesabaran (AS, 1995). Hakikat dari toleransi adalah
mengasihi satu dengan yang lain. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Maulana menjelaskan bahwa hidup
bertoleransi dalam kehidupan orang Kristen adalah kasih
sebagai hukum utama (Maulana, 2017). Maka tidak heran jika
dalam Suratnya Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus
menekankan bahwa “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia
tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong”
(1Kor. 13:4). Paulus sangat mengerti kondisi umat yang ada
disana, dimana jemaat berhadapan langsung dengan
kehidupan sosial dalam masyarakat yang berbeda, seperti,
keyakinan/agama, suku dan golongan. Tetapi Paulus
mengajarkan hal penting bagi umat yakni hendaknya setiap
pribadi mengembangkan sikap peduli terhadap yang lain yang
didasarkan pada kasih. Tetapi disisi lain ia menolak perbuatan
yang tidak sopan, kemunafikan, dan perbuatan buruk yang
mengganggung keharmonisan dalam masyarakat (1Kor. 13:5;
Mat. 23:13).
2. Masyarakat didorong untuk memahami keberagaman agama
sebagai karya Tuhan.
Kita tidak dapat mengabaikan berbagai kisah dalam
Perjanjian Lama yang memperlihatkan kasih Allah bagi bangsa
lain (identik dengan agama lain), di mana Allah sering
memakai dan melibatkan mereka (agama lain) dalam kehi-
dupan bangsa pilihan-Nya yaitu Israel untuk menggenapi
rencana-Nya. Misalnya, Hagar yang adalah seorang Mesir
yang menjadi budak Sara (Kej. 16), Asnath seorang anak dari
imam Mesir yang menjadi istri Yusuf dan melahirkan Manasye
dan Efraim (Kej. 41:50-52), Putri Firaun yang mengambil
Musa dari air, merawat dan membesarkannya, Zipora anak

Harmonisasi Umat Beragama 21


seorang imam Midian yang menjadi istri Musa (Kel. 2), Rut
yang merupakan kisah paling fenomenal tentang bangsa lain
(penyembah allah lain) yang akhirnya menjadi nenek moyang
Daud, Ayub merupakan kisah bangsa lain yang hidupnya
benar di hadapan Allah dan terakhir bangsa Niniwe yang
turut dipakai Allah untuk membentuk karakter Yunus
(Campbell, 2015:46-51).
Berdasarkan penjelasan ini, maka ada beberapa hal yang
perlu kita perhatikan berkaitan dengan karya Allah dalam
keberagaman agama, yakni: (1). Allah mengasihi semua
manusia yang ada dibumi ini (2) Semua manusia adalah
ciptaan Allah (3) Keberagaman bahasa, budaya (selanjutnya
agama) merupakan rencana Allah bukan hukuman (4) Allah
hadir dan aktif dalam pribadi-pribadi dan bangsa-bangsa di
luar Israel (Campbell, 2015:53). Inilah dasar pemikiran dari
Perjanjian Lama yang memberikan pemahaman baru dan
membuka cakrawala berpikir tentang agama lain yang dapat
menjadi dasar pengajaran gereja bagi umat untuk memahami
keberagaman agama. Di dalam kekristenan, pemahaman
tentang kasih Allah berlaku bagi semua ciptaan, tentu
merupakan hal yang benar dan tidak dapat dibantah
3. Masyarakat didorong untuk mengembangkan sikap saling
menerima sebagai bukti mengasihi sesama.
Kita tidak mudah menerima orang lain yang berbeda
dengan kita. Apa lagi berbeda suku, agama dan budaya. Tetapi
dalam pembahasan ini kita didorong untuk melakukan hal itu,
karena ini bagian dari menjaga kerukunan didalam
masyarakat. Selain itu menerima orang lain adalah
implementasi dari kasih dan karya Allah itu sendiri. Rasul
Yohanes mengingatkan kita “Saudara-saudaraku yang
kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal
dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah
dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak

22 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih” (1Yohanes 4:7-8).
Ini salah satu cara Allah membawa kita untuk memahami
keberagaman agama supaya mengembangkan sikap menerima
satu dengan lain, sehingga kita dituntut untuk menjadi orang
pribadi yang peduli terhadap kehidupan dalam keberagaman
agama dan situasi ini merupakan cara Allah untuk menolong
kita memahami iman dalam perbedaan. Dengan demikian ada
beberapa tugas umat dalam keberagaman agama, yaitu (1)
Orang-orang Kristen dipanggil untuk memiliki kerendahan
hati terkait pertanyaan tentang kebenaran agama (2) Kita
dipanggil untuk memperlakukan yang lain dengan hormat dan
bukan semata-mata dengan „toleransi‟ (3) Orang-orang
Kristen dipanggil untuk „bekerja dengan yang lain demi
keadilan, kemerdekaan, dan perdamaian‟, yang memiliki
implikasi-implikasi yang signifikan untuk membangun
komunitas masyarakat sipil (4) Orang-orang dipanggil untuk
terlibat dalam dialog dengan orang lain dengan tujuan untuk
belajar dan terbuka terhadap transformasi di dalam prosesnya.
(Campbell, 2015:118).

Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan ini, maka salah satu cara menjaga
keberagaman agama di Indonesia adalah lewat pendidikan.
Pendidikan memiliki ruang yang sangat strategis dalam mendidik
masyarakat untuk memiliki pemahaman yang benar tentang
keberagaman agama. Dengan demikian yang menjadi langkah
konkrit adalah memperlengkapi dan mendidik (secara formal dan
non formal) agar setiap umat mampu hidup berdampingan dalam
kemajemukan yang ada. Sebab kehidupan keberagaman agama
adalah karya Allah yang harus dirawat bersama. Oleh karena itu
mengembangkan moderasi beragama adalah tanggung jawab
bersama sebagai praktik hidup dalam beragama sebagaimana
penjelasan dalam artikel ini.

Harmonisasi Umat Beragama 23


Daftar Pustaka

AS, H. (1995). Oxford Advanced Learner‟sDictionary. Oxford:


University Printing House,.

Campbell, C. M. (2015). Berkat yang melimpah pendekatan Kristiani


terhadap keberagaman agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Digdoyo, E. (2018). Kajian Isu Toleransi Beragama, Budaya, dan


Tanggung Jawab Sosial Media. JPK: Jurnal Pancasila dan
Kewarganegaraan, 3(1), 42–60.

Fahri, M., & Zainuri, A. (2019). Moderasi Beragama di Indonesia.


Intizar, 25(2), 95–100.

Huda, S. (2018). Keluarga Multikultural : Pola Relasi Keluarga.


Sholihul Huda, 1(1), 1–25.

Hutabarat, B. A., & Panjaitan, H. H. (2016). Tingkat toleransi


antar agama di masyarakat Indonesia. Societas Dei: Jurnal
Agama dan Masyarakat, 3(1), 8–34.

Maksum, D. (2018). Hubungan Pemahaman NKRI dan Kesadaran


Akan Keragaman Budaya Lokal dengan Sikap Cinta Tanah
Air di Kelas V Sekolah Dasar Di Gugus VI Kecamatan
Sukaraja Kabupaten Bogor Djadja. MODELING: Jurnal
Program Studi PGMI, 5(September), 213–224.

Mas‟udi, M. (2018). KERUKUNAN DALAM


KEANEKARAGAMAN: Struktur Keberagamaan
Masyarakat Pucakwangi. Jurnal THEOLOGIA, 29(2), 243.

24 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Maulana, M. A. (2017). Pelaksanaan Toleransi Keberagamaan
Dalam Proses Pendidikan Agama Di Geeta School Cirebon.
OASIS : Jurnal Ilmiah Kajian Islam, 1(2), 17–38.

Moeliono, A. M., & Susanto, M. (Eds). (2013). Kamus Besar Bahasa


Indonesia Pusat Bahasa-Edisi Empat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Mukhlis, F. H. (2016). Teologi Pancasila: Teologi Kerukunan


Umat Beragama. Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi
Keagamaan, 4(2), 171.

Sefriyono. (2014). HARMONI DALAM PERBEDAAN: Strategi


Pengelolaan Keragaman Beragama. Turãst: Jurnal Penelitian &
Pengabdian, 2(1), 1–16.

Siahaan, H. E. (2017). Mengajarkan Nasionalisme Lewat


Momentum Perayaan Paskah : Refleksi Kritis Keluaran 12 :
1-51. DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani, 1(2),
140–155.

Silaen, V. (2012). Bertahan di Bumi Pancasila belajar dari Kasus GKI


Yasmin. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih.

Suhendra, R. H. (2019). Imparsial Temukan 31 Kasus Intoleransi


selama Setahun. ‫ אוחזר‬22 ‫ יולי‬2020, ‫ מתוך‬CCN Indonesia
website:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191117163821-
32-449096/imparsial-temukan-31-kasus-intoleransi-
selama-setahun

Tafonao, T. (2016). Pendidikan Agama Kristen dalam Masyarakat


Majemuk. Yogyakarta: illumiNation Publishing.

Tafonao, T. (2018). Peran Pendidikan Agama Kristen dalam


Keluarga Terhadap Perilaku Anak. Edudikara: Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran, Vol 3 (2), 2018 ISSN 2541-0261, 3(2),

Harmonisasi Umat Beragama 25


121–133.

Tafonao, T., & Yuliyanto, P. (2020). Peran pendidikan agama


kristen dalam memerangi berita hoaks di media sosial.
Jurnal Ilmiah Religiosity Entity Humanity (JIREH), 2(1), 1–12.

Widodo, P., & Karnawati, K. (2019). Moderasi Agama dan


Pemahaman Radikalisme di Indonesia. PASCA : Jurnal
Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, 15(2), 9–14.

Wijaya, C. (Wartawan). (2019). Setidaknya 200 gereja disegel


atau ditolak dalam 10 tahun terakhir, apa yang seharusnya
dilakukan pemerintah? ‫ אוחזר‬22 ‫ יולי‬2020, ‫ מתוך‬BBC News
Indonesia website:
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49494326.

26 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Biografi Penulis

Ps. Dr. Talizaro Tafonao, M.Pd.K Lahir di


Hilimbowo (Nias Selatan), 14-06-1987.
Penulis beralamat rumah Weron, Balong
RT 002 RW 012, Umbulharjo, Cangkringan,
Sleman - Yogyakarta. Penulis menyelesai-
kan Sarjana Teologi pada tahun 2011 di STT
Biwara Wacana Yogyakarta. Tahun 2014
menyelesaikan Magister Pendidikan Agama Kristen di STT
KADESI Yogyakarta. Selanjutnya pada Tahun 2018
menyelesaikan Program Doktor Teologi Konsentrasi: Pendidikan
Agama Kristen di STT KADESI Yogyakarta. Saat ini beliau Dosen
Tetap di Sekolah Tinggi Teologi REAL Batam. Selain sebagai
dosen beliau juga sebagai Pendeta Pembantu (Pdp) di GBI
Teleios Yogyakarta dan beliau juga penulis buku dan jurnal
Nasional serta Mitra Bestari/Reviewer dan Editor di beberapa
Jurnal di Perguruan Tinggi Agama Kristen dan Universitas di
Indonesia. Penulis dapat dihubungi melalu WA: 085228423107 &
talizarotafonao@gmail.com dan bisa juga mengunjungi dan
mensitasi beberapa karya yang telah ditulis oleh beliau melalui
https://scholar.google.co.id/citations?user=IlCdMJsAAAAJ&hl=e
n#

Harmonisasi Umat Beragama 27


Peran Keluarga Dalam Menumbuhkan

Sikap Moderasi Beragama Pada Anak

Oleh:
Dwi Indah Nursita, S.Pd.I., M.Pd.
(Dosen IAI Uluwiyah, Mojokerto)

Dalam kehidupan beragama, sering terdengar adanya istilah


“Islam moderat”, “Hindu Moderat”, atau “Kristen moderat” dan
lainnya. Jika dikatakan, “orang itu bersikap moderat”, berarti
bahwa orang itu bersikap wajar, biasa-biasa saja, dan tidak
ekstrem. Moderat, berasal dari kata moderasi dari Bahasa Latin
moderâtio, yang berarti ke-sedangan (tidak kelebihan dan tidak
kekurangan). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
moderasi mempunyai arti pengurangan kekerasan dan
penghindaran keekstreman. (KBBI Online). Moderat Secara
umum, berarti mengedepankan keseimbangan dalam hal
keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang
lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan
institusi negara.
Moderasi adalah ajaran inti agama Islam. Moderasi
beragama dimaknai sebagai sikap beragama yang seimbang

28 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


antara pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan
kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan
(inklusif). Sehingga keseimbangan atau jalan tengah dalam
menjalankan beragama ini akan menghindarkan sikap ekstrem
berlebihan, fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama.
Prinsip keseimbangan (balance) dan adil (justice) dalam konsep
moderasi berarti bahwa dalam beragama, seseorang tidak boleh
ekstrem pada pandangannya, melainkan harus selalu mencari
titik temu, prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah selalu
menjaga keseimbangan di antara dua hal. Setiap agama
mengajarkan penyerahan diri seutuhnya kepada Tuhan Yang
Maha Esa, sang Maha Pencipta. Penghambaan kepada Tuhan ini
diwujudkan dalam kesiapan mengikuti petunjuk- Nya dalam
kehidupan. Ajaran untuk menjadi moderat bukanlah semata
milik satu agama tertentu saja, melainkan ada dalam tradisi
berbagai agama dan bahkan dalam peradaban dunia. Dengan
demikian, moderasi beragama akan mendorong masing-masing
umat beragama untuk tidak bersifat ekstrem dan berlebihan
dalam menyikapi keragaman, termasuk keragaman agama dan
tafsir agama, melainkan selalu bersikap adil dan berimbang
sehingga dapat hidup dalam sebuah kesepakatan bersama. (Luh
Riniti Rahayu dan Putu Surya Wedra Lesmana, 2020)
Sikap moderat pada dasarnya merupakan keadaan yang
dinamis, selalu bergerak, karena moderasi pada dasarnya
merupakan proses pergumulan terus-menerus yang dilakukan
dalam kehidupan masyarakat. Sehingga sebagai syarat moderasi
beragama adalah dimilikinya pengetahuan yang luas dan
mempunyai pemahaman keagamaan yang baik. Dalam konteks
Indonesia, untuk dapat digunakan mengenali seberapa kuat
moderasi beragama yang dipraktikkan oleh seseorang di

Harmonisasi Umat Beragama 29


Indonesia, serta seberapa besar kerentanan yang dimiliki
terdapat indikator moderasi beragama yang digunakan yaitu
komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan dan akomodatif
terhadap kebudayaan lokal. (Kementerian Agama RI, 2019) Islam
moderat adalah paham keagamaan yang sangat relevan dalam
konteks keberagaman dalam segala aspek, baik agama, adat
istiadat, suku dan bangsa itu sendiri. (Edy, 2019) Islam yang
moderat dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan,
kebangsaan, dan kenegaraan. Sikap moderat adalah bentuk
manifestasi ajaran Islam sebagai rahmatan lil „alamin; rahmat bagi
segenap alam semesta. Sikap moderat perlu diperjuangkan untuk
lahirnya umat terbaik (khairu ummah). (Khoirul, 2018)
Pemahaman dan praktik amaliah keagamaan seorang
muslim moderat memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Tawassuth
(mengambil jalan tengah) yaitu pemahaman dan pengamalan
yang tidak ifrâth (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrîth
(mengurangi ajaran agama), Tawâzun (berkeseimbangan) yaitu
pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang
meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi,
tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara
inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf (perbedaan), I‟tidâl (lurus dan
tegas) yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional,
Tasâmuh (toleransi) yaitu sikap toleran terhadap perbedaan yang
masuk dalam wilayah perbedaan/masalah ikhtilaf, bukan berarti
mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda. Tasammuh
dimaknai juga sebagai sikap permisif terhadap kebatilan serta
mencampur aduk antara haq dan bathil) atau sikap toleran
terhadap perbedaan, baik dalam masalah keagamaan, terutama
dalam hal-hal yang bersifat furu‟ atau menjadi masalah khilafiyah,

30 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan, Musâwah
(egaliter) yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain
disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi dan asal usul seseorang,
Syûra (musyawarah) yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan
jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip
menempatkan kemaslahatan diatas segalanya, Ishlâh (reformasi)
yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan
lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman
dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah „ammah)
dengan tetap berpegang pada prinsip al-muhafazhah „ala al-qadimi
al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan tradisi lama
yang masih relevan, dan menerapkan hal-hal baru yang lebih
relevan), Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas) yaitu
kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus
diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan dengan
yang kepentingannya lebih rendah, Tathawwur wa Ibtikâr (dinamis
dan inovatif) yaitu selalu terbuka untuk melakukan perubahan-
perubahan sesuai dengan perkembangan zaman serta
menciptakan hal baru untuk kemaslahatan dan kemajuan umat
manusia, Tahadhdhur (berkeadaban) yaitu menjunjung tinggi
akhlak mulia, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu
ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban. (Afrizal
Nur dan Mukhlis Lubis, 2015)
Dalam rangka untuk menghasilkan generasi yang baik,
tentunya harus disertai dengan adanya peran keluarga untuk
mendidik anak sejak kecil bahkan sejak dalam kandungan.
Keterlibatan orangtua tentunya akan sangat penting dalam
membentuk suatu generasi yang berkualitas. Keluarga adalah
tempat pendidikan yang pertama dan utama dalam hidup seorang
anak yang akan menjadi dasar penting dalam pembentukan

Harmonisasi Umat Beragama 31


karakter manusia itu sendiri. Peran orangtua dalam mendidik
anak sangat besar pengaruhnya dalam proses perkembangan
anak, meskipun perlu didukung oleh lembaga-lembaga sosial
seperti sekolah dan juga lingkungan. Begitu juga sikap suami
terhadap istri dan sebaliknya, sangat berpengaruh dalam
pendidikan dikeluarga, karena hal ini akan dapat mempengaruhi
karakteristik atau perilaku anak. Keberhasilan seorang anak
dalam mengembangkan karakter yang baik, sangat ditentukan
oleh keluarga, karena dalam keluargalah anak pertama kali
mendapat pendidikan.
Orangtua yang bijaksana, akan mendidik anak-anaknya
dengan rasa cinta kasih dan sayang, agar menghasilkan anak-
anak yang berprestasi dan mempunyai karakter yang baik. Anak
adalah investasi yang tiada nilainya bagi orangtua untuk
kebahagiaan dunia maupun akhirat. Orangtua manapun tentu
mengharapkan agar anak-anaknya mewarisi sifat-sifat atau
kepribadian yang baik, disamping kecerdasan yang memadai.
Oleh karena itu orangtua dituntut untuk belajar bagaimana
membesarkan, mendidik dan merawat anak agar si anak dapat
menjadi permata dan bermanfaat bagi agama, keluarga, dan
bangsa. Pendidikan anak dimulai saat bayi masih ada dalam
kandungan ibu, dengan cara memberikan makanan yang halal,
komunikasi, mendengarkan ayat-ayat suci Al-Quran, dan juga
musik klasik yang dapat membantu perkembangan otak anak.
Beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua untuk membentuk
watak dan kepribadian anak yang baik:
1. Mengenalkan Allah SWT sejak dini. Menurut Ery Soekresno,
psikolog yang sekarang menjadi konsultan pendidikan di
Yayasan IQRO, pengenalan kepada Allah SWT seharusnya
sudah dimulai sejak anak masih berada dalam kandungan.
Pada saat itu, bayi sudah dapat mendengar, oleh karea itu saat

32 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


mengandung, seorang ibu disunnahkan untuk banyak
berdzikir dan menjauhi majelis ghibah dengan tujuan agar
anak hanya mendengar hal yang baik saja. Ayah dari calon
bayi dapat berperan serta dengan mengenalkan Allah SWT
dengan cara menempelkan pipi pada perut sang bunda, dan
mulai berbicara dengan sang bayi, atau dapat juga sholat
berjamaah antara suami dengan istri selesai sholat si istri
menyimak tilawah suami. Dari kegiatan tersebut akan terpatri
dibenak bayi kelak tentang Allah SWT, aqidah, serta
kebersamaan kedua orangtuanya. Apabila orangtua akan pergi
atau pulang ke rumah hendaknya mulai dengan ucapan
“Assalamu‟alaikum”. Pada saat kelahiran seorang bayi
disunnahkan untuk segera mengadzankan sang bayi ditelinga
kanan dan mengiqomatkan ditelinga kiri. Menurut Dr.
Abdullah Ulwan, dalam buku Pedoman Pedidikan Anak
Dalam Islam, upaya ini mempengaruhi penanaman dasar
aqidah, tauhid dan iman bagi anak. Biasakan bayi
mendengarkan kata Allah, Subhanallah, dan Alhamdulillah,
Astaghfirullah serta Allahuakbar dan doa-doa lain. Lebih lanjut
psikolog lulusan UI ini menjelaskan ketika anak memasuki
usia satu tahun, biasakan membuka hari mereka dengan
kalimat Laailaahailaallah. Bangunkan anak untuk bangun saat
adzan subuh mulai berkumandang dengan peluk, cium dan
tindakan kasih sayang yang lain, bukan dengan marah dan
jangan biarkan dia tidur setelah subuh hingga waktu dhuha.
Biasakan pula anak untuk mengucap kalimat thoyibbah.
2. Menjauhkan kata-kata tidak baik dihadapan anak. “Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati
agar kamu bersyukur.” (QS.16:78). Setiap hari seorang bayi
menangkap kata-kata ibu dan ayahnya. Ibu adalah orang yang
paling sering dekat dengan si bayi dan yang paling sering

Harmonisasi Umat Beragama 33


memeluknya dalam sehari, karenanya daya hidup sang bayi
menyerap suara ibunya bersamaan dengan setiap aspek
keberadaan ibunya. Sama seperti sebuah perekam, bayi akan
menggunakan nalurinya untuk menyerap setiap hal di
lingkungannya ketika ia sedang belajar menjadi manusia.
Setiap kali terjadi sesuatu disekelilingnya, perkembangan
jiwanya akan terpengaruh. Oleh karena itu biasakanlah
mengatakan hal-hal yang baik saja dan hindari kata-kata yang
buruk (umpatan, makian dan semacamnya). Bila ada
pertengkaran antara suami-istri jangan pernah
melakukannya dihadapan anak, karena akan menyebabkan
trauma bagi si anak. Seorang anak akan berpikir bahwa ayah
dan ibunya tidak baik. Apabila anak mendengar kata-kata
yang jorok di luar rumah atau televisi, orangtua harus
mengatakan bahwa itu tidak baik dan tidak boleh ditiru serta
beri alasannya yang benar mengapa hal tersebut tidak baik.
3. Biasakan anak untuk jujur. Berhati-hatilah terhadap kata-kata
yang kita ajarkan dan ucapkan, jangan sampai didalamnya
terdapat benih-benih kebohongan. Orangtua adalah teladan
bagi anak.
4. Beri contoh dalam menjaga amanah. Anak adalah seorang
peniru yang ulung, maka orangtua berkewajiban memberi
contoh yang baik. Ajaklah anak sholat tepat waktu, ketika
umurnya tujuh tahun, saat anak melalaikan sholat tegur dia,
hal ini dikarenakan untuk mengajari dia dalam menjaga
amanah atau belajar tanggung jawab. Apabila anak waktunya
belajar tetapi dia masih menonton televisi maka tegur dia lalu
matikan televisinya, suruh si anak untuk belajar dan kita
jangan menyalakan lagi televisi itu. Sebaiknya orangtua
menemani anak untuk belajar dan menanyakan kesulitan-
kesulitannya.
5. Mendengarkan kritikan anak. Mendengarkan serta
menghargai kritikan anak bukanlah sebuah hinaan yang akan

34 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


merendahkan martabat sebagai orangtua, namun merupakan
anugrah bagi orangtua memiliki anak yang kritis, akan tetapi
kita harus mengajarkan cara mengkritik yang santun.
6. Berbuat Adil. Anggaplah kita sebagai hakim yang adil dalam
menghadapi masalah yang dialami oleh anak-anak baik antara
kakak dengan adik maupun antara anak kita dengan orang
lain. Lihat dulu apa permasalahannya, siapa yang salah, dan
jangan asal menyalahkan.
7. Luangkan waktu untuk anak. Luangkan waktu untuk
bermain bersama anak, mendengarkan keluh kesahnya
sehingga anak akan merasa lega dengan berkurangnya beban
yang ada di hatinya.
8. Ajaklah anak untuk mengambil setiap ilmu dimana saja ia
berada. Sediakan bacaan yang bermutu bagi anak di rumah,
kondisikan agar ia mau dan senang membaca. Ajarkan bahwa
mendapatkan ilmu bisa dari siapa saja, ini juga mengajarkan
untuk menghargai orang lain. (Darosy, 2011)
Ada beberapa manfaat ketika orangtua mengenalkan sikap
moderasi beragama kepada anak sejak dini, yakni:
1. Lebih memaknai perbedaan. Ketika bertambahnya usia, anak
akan semakin mengenal dan menemukan banyak perbedaan
yang ada disekitar mereka. Untuk itu peran orangtua harus
bisa menjelaskan dengan baik dan gamblang tentang ragam
perbedaan, baik itu pemahaman tentang perbedaan agama,
suku, budaya, maupun beberapa hal lainnya. Sikap toleran
akan dapat membuatnya menghargai perbedaan yang ada
pada diri orang lain. Selain itu juga dirinya bisa membuka diri
terhadap pandangan dan keyakinan baru tanpa perlu
membeda-bedakan satu sama lain.
2. Memahami keadaan orang lain. Pemahaman dan penjelasan
yang orangtua berikan mengenai sikap moderasi beragama
bisa membentuk pola pikir anak menjadi lebih positif. Saat

Harmonisasi Umat Beragama 35


berteman, anak mampu bersikap toleran dan siap menolong
teman yang memiliki problem.
3. Bisa menahan diri dalam bertindak. Sikap moderasi beragama
itu menjadi salah satu kunci sukses anak dalam menjalin
hubungan sosial dengan masyarakat karena sikap toleransi itu
menjadi awal dari sikap menerima kenyataan bahwa
disekelilingnya ada banyak perbedaan.
4. Menciptakan ketentraman. Jika anak diajarkan tentang
pemahaman mengenai sikap toleransi atau bermoderasi, tidak
akan ada lagi sikap saling mengejek, merendahkan hingga
mempermasalahkan perbedaan di sekitar anak. Maka dengan
begitu pasti akan tercipta suasana aman, tentram dan damai.
5. tali silaturahmi. Anak perlu ditumbuhkan sikap toleransi agar
mempunyai kesadaran dalam dirinya terhadap rasa saling
menghormati dan menghargai sehingga semakin mempererat
tali silaturahmi dan meningkatkan rasa kebersamaan antar
sesama individu atau kelompok.
Namun, pada prinsipnya memberikan pengertian tentang
moderasi beragama tidak cukup hanya diberikan oleh keluarga
saja, akan tetapi ada lembaga pendidikan yang dimulai dari usia
dini hingga perguruan tinggi yang berguna untuk memupuk
pengetahuan kita tentang moderasi beragama tersebut. (Anis,
2020). Jadi peran keluarga dan juga lembaga pendidikan
sangatlah penting untuk menumbuhkan sikap moderasi
beragama pada anak sebagai bekal ketika anak menjadi dewasa
nanti dalam menghadapi keberagaman Indonesia. Dengan
tumbuhnya sikap moderasi beragama sejak dini diharapkan
ketika dewasa nanti dapat diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari untuk menciptakan kedamaian dalam hidup
berbangsa dan bernegara.

Daftar Pustaka

36 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Afrizal Nur dan Mukhlis Lubis. Konsep Wasathiyah Dalam Al-Quran;
(Studi Komparatif Antara Tafsir Al-Tahrîr Wa At-Tanwîr Dan
Aisar At-Tafâsîr). Jurnal: An-Nur, Vol. 4 No. 2, 2015.

Anis Fadlilah. “Pentingnya Menanamkan Prinsip Moderasi Beragama


pada Anak Sejak Usia Dini” dalam
https://www.kompasiana.com/anis98230/5fd1ae308ede
483f494b60b2/pentingnya-menanamkan-prinsip-
moderasi-beragama-pada-anak-sejak-usia-dini?/diakses
8 Januari 2021

Hyoscyamina, Darosy Endah. 2011. Peran Keluarga Dalam


Membangun Karakter Anak. Jurnal Psikologi Undip Vol. 10,
No.2

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online

Kementerian Agama RI. 2019. Moderasi Beragama. Badan Litbang


dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia. -
Cet. Pertama. - Jakarta: Kementerian Agama RI

Khoirul Mudawinun Nisa. Integrasi Nilai-Nilai Moderasi Pada


Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Living Values Education
(Lve). Annual Conference for Muslim Scholars

Luh Riniti Rahayu dan Putu Surya Wedra Lesmana. 2020. Potensi
Peran Perempuan dalam Mewujudkan Moderasi Beragama di
Indonesia. Pustaka Vol. XX. No. 1. P-ISSN: 2528-7508. E-
ISSN: 2528-7516

Sutrisno, Edy. 2019. Aktualisasi Moderasi Beragama di Lembaga


Pendidikan. Jurnal Bimas Islam Vol 12 No. 1. ISSN 2657-
1188 (online) ISSN 1978-9009.

Harmonisasi Umat Beragama 37


Biografi Penulis

Dwi Indah Nursita, lahir di Jombang pada


tanggal 26 Januari 1995. Saat ini tinggal di
desa Mojotengah, Kecamatan Bareng,
Kabupaten Jombang. Pada tahun 2006 telah
menyelesaikan sekolah dasar di SDN Bareng
II. Kemudian lanjut ke SMPN 1 Bareng dan
berhasil lulus di tahun 2009, dan pada tahun
2012 telah lulus dari SMAN Bareng. Tidak
berhenti disitu, lanjut ke jenjang Sarjana dan Pascasarjana di UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang dan berhasil lulus S1 tahun 2016
dan S2 tahun 2018. Selama masa kuliah aktif dibidang olahraga
dan beberapa kali mengikuti kejuaraan baik tingkat lokal
maupun nasional. Selanjutnya meniti karir menjadi dosen di IAI
Uluwiyah mulai tahun 2019 sampai sekarang. (085646563937)

38 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Kali>matun Sawa’:
Dasar Membangun Ekonomi Rakyat

Oleh:
Baiq Ismiati
(Dosen Universitas Alma Ata Yogyakarta)

Keunikan Indonesia salah satunya yaitu mempunyai masyarakat


yang beragam, pluralistik, atau multikulturalistik. Tentu kondisi
ini sebagai wujud kekayaan yang tidak ternilai. Bernad
mengungkapkan Indonesia adalah ruang transisi (liminal)
dengan posisi diantaranya beragam imajinari sosial dan ragam
cara menghadapi modernitas. (Bernard,2015) Namun yang
menjadi persoalan bahkan kekhawatirkan bangsa dewasa ini
terkait ketahanan ekonomi rakyat di tengah pandemi Covid-19.
Semua elemen masyarakat takut negeri ini akan kehabisan, atau
mengalami krisis ekonomi yang serius, lebih khawatir lagi
dengan ketersediaan sumberdaya ekonomi negara. Terlihat
berbagai bentuk pesan atau nasihat telah disampaikan oleh
pemerintah dan para elit agama. Mereka mengajak masyarakat
melalui trem “bersama melawan Corona”, “bersatu melawan
Corona”, atau “dengan bersama kita bisa menghadapi Corona”
atau lainnya. Himbauan moral dan spiritualitas serius ini
ditujukan pada seluruh elemen bangsa (rakyat) agar

Harmonisasi Umat Beragama 39


menyemaikan cinta kasih atau kepedulian pada siapapun,
khususnya dari aspek ekonomi bangsa (rakyat).
Terasa terilhami dengan istilah “Kata bersama” (common
word/kalimatun sawa‟) yang merupakan respon dari sebuah
peristiwa, bahkan kebenaran absolut hanya satu adanya yakni
kebenaran yang bersumber dari Tuhan, tetapi kebenaran ini
kemudian memancar dalam spektrum kebenaran yang plural.
(Nur Kholik,2020) Tidak berarti sedang melebur agama-agama
dalam kebenaran universal melainkan mengakui sakralitas yang
dimiliki oleh agama yang berbeda tersebut sebagai anugerah dari
Ilahi/heaven/surga.
Dalam sudut pandang antropologi bila melihat agama
Islam dan non-Islam sebagai obyek kajian studi, Amin Abdullah
membaginya menjadi enam dimensi yang perlu diperhatikan;
pertama, perform certain activities (Ritual), kedua, believe certain things
(kepercayaan, dogma), ketiga invest authority in certain personalities
(leadership; kepemimpinan), keempat hallow certain text (kitab
suci, sacred book), kelima telling various stories (sejarah dan
institusi), dan keenam legitimate morality (moralitas). Ciri paling
menonjol dari studi agama atau yang membedakannya dari studi
sosial dan budaya, adalah keterkaitan keenam dimensi tersebut
dengan keyakinan kuat dari para penganutnya tentang adanya
apa yang disebut dengan “non-falsifiable postulated alternate reality”
(Realitas tertinggi yang tidak dapat difalsifikasi). Keenam
dimensi keberagamaan tersebut jika dikontekskan dengan agama
Islam, maka kurang lebih akan menjadi sebagai berikut : pertama
Ibadah, kedua Aqidah, ketiga Nabi atau Rasul, keempat al-Qur‟an
dan al-Hadis, kelima al- Tarikh atau al-Sirah dan keenam al-Akhlaq.
Keenam dimensi tersebut lalu dikaitkan dengan Allah (yang
bersifat non-falsifiable alternate reality) juga. (Amin Abdullah,2013)

40 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Lanjut Amin Abdullah menjelasakan;
Realitas tertinggi yang tidak dapat difalsifikasi tersebut
menjadi sebuah General Pattern dari agama-agama dunia,
tetapi begitu keenam dimensi keberagamaan manusia
tersebut masuk ke wilayah praktik sehari-hari di lapangan,
maka ia akan masuk ke wilayah Particular Pattern.
Wilayah Particular Pattern dari agama-agama tersebut
adalah ketika agama bergumul dan masuk dalam konteks
perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya, juga
geografi, perbedaan iklim dan kondisi alam yang berbeda-
beda. Semuanya akan jatuh ke wilayah diversitas atau
kepelbagaian. Dalam pandangan studi agama, lebih-lebih
dalam perspektif antropologi agama, agama- agama di
dunia tidak ada yang sama. Kepelbagaian ada disitu. Dalam
local practices dari ke enam dimensi tersebut, yang ada
hanyalah kepelbagaian dan keanekaragamaan. Tapi,
dengan muncul dan tumbuhnya kesadaran akan
pentingnya martabat kemanusiaan (human dignity), maka
para tokoh agama-agama tersebut juga menggarisbawahi
pentingnya General Pattern (atau, dalam bahasa Islam :
Kalimatun sawa) yang ada di balik diversifikasi Partcular
Pattern tersebut. (Amin Abdullah,2013)
Dalam menyikapi pluralitas ini harus dilakukan dengan
bijaksana sebab jika tidak, maka agama akan jatuh menjadi
instrumen pemicu konflik dan itu bukan spirit asli agama. Lain
dari itu, pada saat yang sama kalimatun sawa‟ juga menyoroti isu-
isu horizontal, soal kepemimpinan dan perkembangan hukum
(yang menekankan cinta kepada sesama) dalam konteks
tantangan-tantangan internasional seperti isu pembangunan,
lingkungan hidup, dan hak-hak asasi manusia. (Amin
Syukur,2005)
Secara tegas al-Qur‟an menjelaskan bahwa manusia pada
mulanya merupakan satu kesatuan, kemudian terpecah-pecah
karena wahyu-wahyu Allah Swt yang disampaikan lewat para-
Nabi pada era-sejarah yang berbeda-beda. Pertanyaan mendasar

Harmonisasi Umat Beragama 41


mengapa wahyu-wahyu tersebut malah menjadi sumber dan
kekuatan yang memecah-belah umat beragama?, itu merupakan
murni Rahasia Allah, karena bila Dia (Allah Swt) menghendaki
niscaya Dia mempersatukan mereka semua, tetapi Tuhan tidak
melalakuakan hal itu. Uraian ini dapat dijumpai dalam al-
Baqarah (2): 213; Hud (11): 118, dan Yunus (10): 19. Ketika
manusia pengikut nabi-nabi terdahulu terpecah-pecah menjadi
kaum-kaum, dan dalam intern satu agama ada beberapa madzhab
(kelompok-kelompok kecil), maka di situlah permulaan
munculnya keragaman dan pluralitas hokum agama. Keragaman
umat, agama, etnis, bahasa, suku dan ras merupakan sunnatullah.
Karena itu, yang diperlukan adalah etika pergaulan antar
berbagai kelompok yang berbeda-beda, baik di lingkungan intern
maupun ekstern umat beragama. Etika pergaulan social yang
disebut dalam al-Qur‟an adalah saling mengenal, saling bertegur
sapa, saling menghormati dan tidak saling menghina, tidak
berprasangka buruk, menjauhi sikap keras kepala, dan hidup
harmonis antar berbagai kelompok agama dan masyarakat yang
beragama (QS 49; 13; 3; 159). (Waleed El-Ansary,2019 ) Dalam
Injil Markus misalya ayat 29-31:
“...Tuhan Allah kita,Tuhan itu esa, /kasihilan Tuhan, Allahmu dengan
segenap hatimu dan segenap jiwamu dengan segenap akal budimu dan
dengan segenap kekuatanmu. /dan hukum kedua ialah Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain
yang lebih utama dari pada kedua hukum ini”. (Nur Kholik,2020)
Secara konstitusionalitas, dalam pasal 28E ayat (1)
Undang-undang Dasar 1945 menggariskan, bahwa setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
Selanjutnya dalam ayat (2) berbunyi, setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya. Dasar konstiusi ini mengatur
realitas keberagaman atau kebinekaan di tengah masyarakat,
yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun.

42 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Dengan jelas dipahami suatu keharusan “bersatu” atau
“bersama” merupakan pesan agama-agama dan kebangsaan yang
menunjukkan, bahwa tidak ada hal mustahil yang tidak bisa
diatasi atau diselesaikan jika dilakukan dengan mengutamakan
semangat dan aksi bersama atau bersatu, khususnya dalam
menghadapi serangan Covid-19. Teringat, negara kita pernah atau
berkali-kali menghadapi krisi ekonmi, tetapi faktanya tetap bisa
keluar dari masalah. Keragaman sosial, agama, dan khususnya
ekonomi mampu membawa kesatuan hidup, sehingga bisa
memecahkan masalah bangsa. Dalam pandangan penulis untuk
membangun ekonomi di masa Covid-19 tidak bisa dihadapi
sendirian, melainkan membutuhkan kekuatan kebersamaan atau
dengan bahasa lain gotong rorong.
Gotong royong yang dimaksud adalah gotong royong
masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial. "Dapat
dikatakan bahwa Covid-19 dapat menjadi modal untuk
membangun keguyuban. Strategi gotong royong dapat meredam
potensi gesekan atau konflik sosial di antara warga, terlebih daya
tahan masyarakat bisa terbangun dengan baik apabila berbagai
pihak, terutama masyarakat luas, sama-sama memiliki komitmen
saling mendukung dan bahu-membahu, baik secara ekonomi
maupun sosial, (gotong royong merupakan strategi yang dinilai
paling sesuai untuk mengatasi pandemi Covid-19 di Indonesia).
John Howkins (dalam Mauled Moelyono, 2010), tokoh yang
pertama kali mengenalkan ekonomi dalam bukunya yang
berjudul “Creative Economy, How People Make Money from
Ideas”, menjelaskan bahwa ekonomi adalah kegiatan ekonomi
yang menjadikan kreativitas, budaya, warisan dan lingkungan
sebagai tumpuan masa depan. (Mauled Moelyono, 2010)
Sehingga seseorang atau sekelompok orang dari pihak atau
golongan apapun berusaha terus menerus mengembangkan
dirinya sebagai subyek pelindung dan pengadvokasi hak
keberagaman. Progresifitas guna menciptakan dan membumikan

Harmonisasi Umat Beragama 43


kultur saling memanusiakan atau mengapresiasi antar masing-
masing orang dalam keragamannya, khususnya saat ada banyak
“saudaranya” yang mengalami kesulitan, terutamaka kesulitan
ekonomi di tengah hantaman pandemi Covid-19.
Dapatlah penulis katakan jikalau prinsip kesatuan dan
kebersaman diwujudkan, maka negeri ini akan menjadi kuat dan
progresif dalam kultur kebinekaan dan sedikit demi sedikit
mampu mereduksi masifikasi Corona, setidaknya meminimalisasi
beban kesulitan ekonomi “saudaranya” yang terhambat
mendapatkan instrumen medis (kesehatan) yang harganya
dijadikan obyek kompetisi di kalangan “rezim” pasar. Jika dalam
menghadapi Corona ini, masing-masing subyek sosial, politik,
agama, budaya, lainnya “berkompetisi” dalam menjalankan,
menabur dan menyuburkan kebajikan (kemanusiaan) untuk
semua, maka jargon “bersama melawan Corona” atau apalah
sebutanya akan bisa terwujud atau berhasil membumi di tengah
masyarakat. Kekayaan berbentuk kebinekaan di berbagai sisi
kehidupan tidak selalu dimiliki oleh setiap bangsa di dunia,
meski di setiap bangsa ini, selalu ada kebinekaan atau keragaman.
Bangsa Indonesia memiliki kebinekaan akibat banyak aspek yang
mempengaruhinya.( Kholilurrahman Saad,2015) Tak di elakkan
kekayaan besar yang dimiliki bangsa Indonesia ini merupakan
anugerah Tuhan yang tidak ternilai, untuk memuliakan anugerah
besar-Nya ini, tergantung bagaimana manusia Indonesia
mensyukurinya. Keragaman budaya, agama, sosial, etnis, dan
lainnya tidak perlu dipertentangkan, karena masing-masing
mengandung keistimewaan. (Fauzan,2020)
Logis jika dikatakan ajaran agama menuntut kita supaya
berusaha maksimal mengerahkan kemampuan untuk menjadi
hamba-hamba Allah Swt yang memiliki cinta, rasa kasih sayang
kepada sesama, selalu mengupayakan kedamaian di tengah-
tengah masyarakat, serta mengedepankan rasa persaudaraan
dalam berbagai aktivitas kehidupan, seperti aktifitas ekonomi.

44 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Kondisi perekonomian sesamanya harus dijaga oleh saudaranya,
meski berbeda agama, sosial, budaya, dan lainnya. Dengan tegas
penulis utarakan di era pandemi Covid-19 sekarang ini, idealnya
setiap pelaku sosial, politik, agama, dan segenap segmen bangsa
yang berseberangan jalan dan kepentingan untuk menyatukan
dan mensucikan serta menguatkan bangunan kehidupan
kemasyarakatan dan kebangsaan ini, sehingga mereka bisa
menyatukan langkah guna memakmurkan Republik (rakyat) ini
di segala aspeknya. Penyatuan strategi ini merupakan wujud
konvergensi antara keyakinan dengan langkah (aksi) nyata dalam
menjalankan pekerjaan besar di tengah masyarakat.

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin, 2013. “Urgensi Pendekatan Antropologi


untuk Studi Agama dan Studi Islam”, dalam,
www.aminabd.wordpress.com/, di akses pada tanggal 10
Januari 2021, pukul 20.15 WIB.

Adeney-Risakotta, Bernard, 2015. imajinari sosial indonesia dan


barat, Yogyakarta: PT. Mizan Pustaka.

El-Ansary, Waleed., Linnan, David K. 2019. Kata Bersama Antara


Muslim dan Kristen, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.

Fauzan, Menjaga Keragaman Ekonomi Rakyat Di Tengah


Pandemi Covid-19 (Suatu kajian Islam untuk Bangsa
Indonesia), Volume 4 Nomor 1, Februari 2020.

Kholik, Nur, Dialog-Wacana Kata Bersama; Aspek Teologis-Filosofis,


https://kotakopini.com/ 2020/09/03/dialog-wacana-kata-
bersama-aspek-teologis-filosofis/, di akses pada tanggal
10 Januari 2021, pukul 22.15 WIB

Harmonisasi Umat Beragama 45


Moelyono, Mauled, 2010. Menggerakkan Ekonomi Kreatif: Antara
Tuntutan Dan Keutuhan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Saad, Kholilurrahman, 2015. Kewajiban Bela Negara: Menjaga


Kebinekaan Indonesia, Bandung: Kalimas.

Syukur, Amin, 2005. Pengantar, dalam Hasyim Muhammad,


Kristologi Qur‟ani Telaah Kontekstual Doktrin Kekrtistenan dalam Al-
Qur‟an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

46 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Biografi Penulis

Baiq Ismiati, S.E.I., M.H., M.E. Lahir di


Pendem, pada tanggal 12 Mei 1994. Yang
berdomisili di Jl. Kapten Piere Tendean,
Gang Puntadewa No. 15C Wirobrajan,
Yogyakarta. Anak dari bapak H. Lalu
Muhtar dan Hj. Baiq Hilwati ini memulai
pendidikan SD di SDN Ketangga Lombok
Tengah. Selanjutnya penulis melanjutkan
pendidikannya ke MTS Salman Al-Farisi Ketangga Lombok
Tengah, sedangkan untuk Madrasah Aliyahnya penulis
menyelesaikannya di Pondok Pesantren Nurul Hakim (MA. DI.
PI. Nurul Hakim Putri Lombok Barat NTB).
Penulis merupakan anak terakhir dari sepeluh saudara Bapak
H. Lalu Muhtar dan Ibu Hj. Baiq Hilwati. Pada tahun 2016
penulis menyelesaikan S1 di Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta Jurusan Ekonomi dan Perbankan
Islam (UMY). Pada tahun 2016 bulan September penulis
melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 Jurusan Hukum Bisnis
Syariah Program Pascasarjana Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (lulus
dengan predikat Cumlaude, 2018). Tak hanya itu, pada Agustus

Harmonisasi Umat Beragama 47


2017, penulis melanjutkan kembali studi S2 Pascasarjana
Fakultas Agama Islam Universitas Islam Indonesia Jurusan
Ekonomi Islam (lulus dengan predikat Cumlaude, 2019). Penulis
merupakan salah satu dosen tetap Prodi Ekonomi Syariah
Universitas Alma Ata Yogyakarta sampai sekarang. Terkait
dengan karya, penulis pernah menulis tentang “Zakat Produktif
“Tinjauan Yuridis-Filosofis dalam Kebijakan Publik”, Analisis
Program Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Di Rumah
Zakat Yogyakarta, Metodologi Pemikiran KH Sahal Mahfudh
Tentang Penetapan Zakat Uang Kertas, Pengelolaan Zakat
Produktif (Studi Atas Kebijakan Pemerintah Melalui BAZNAS
D.I.Y.”. Sedangkan terkait dengan kontak, penulis dapat
dihubungi di alamat email baiqismiati@almaata.ac.id.

48 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Merawat Keharmonisan Antarsuku Dan
Agama; Melejitkan Kemajuan Daerah

Oleh:
Misdianto, M.Pd.
(Guru SMA Negeri Plus, Provinsi Riau)

Keanekaragaman budaya, suku, agama, bahasa, adat istiadat, dan


agama yang dimiliki oleh masyarakat merupakan ciri utama dari
masyarakat majemuk. Masyarakat majemuk (plural societies),
yakni masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang
hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di
dalam suatu kesatuan politik (Furnivall dalam Nasikun: 1991).
Keberagaman yang dipersatukan diikat oleh sistem
nasional juga terdapat pada negara Indonesia. Indonesia adalah
masyarakat majemuk yang terdiri dari 500 suku yang
dipersatukan sebagai bangsa Indonesia oleh sistem nasional
Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan, terdiri dari
gugusan pulau- pulau besar dan kecil yang membentang dari
Sabang sampai Merauke yang memiliki beragam suku dan agama.
Keberagaman suku dan agama tersebut memunyai kepribadian
khas dari tiap suku maupun agama. Kepribadian tersebut
dikuatkan oleh bahasa-bahasa daerah dari tiap-tiap suku.
Keberagaman berbagai macam suku dan agama dapat

Harmonisasi Umat Beragama 49


menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak negatif yang
timbul akibat dari keberagaman berbagai macam suku dan
agama, antara lain keberagaman masyarakat yang tidak disikapi
bijaksana akan memupuk bibit konflik yang berujung
perpecahan di dalam masyarakat. Konflik yang muncul dari
keberagaman tersebut bisa menghambat pembangunan nasional.
Apabila tidak dibarengi dengan toleransi, maka pergesekan
antargolongan dan antaragama sulit dihindari. Sulit untuk
mewujudkan persatuan dan kesatuan. Juga sulit untuk
menciptakan keseragaman dalam masyarakat sehingga
pengelolaan menjadi lebih sulit. Sedangkan, dampak positif yang
timbul akibat dari keberagaman berbagai macam suku dan
agama, antara lain, pertama, masyarakat yang beragam akan
menjadikan interaksi lebih dinamis. Kedua, keberagaman
masyarakat menjadi salah satu modal dalam perkembangan dan
kemajuan daerah sebab kreatifitas dan inovasi akan jauh lebih
berkembang jika terdapat perbedaan dalam berpikir dan
berkreasi. Ketiga, melatih untuk saling menghormati, menghargai
perbedaan, dan memupuk rasa toleransi. Keempat, dapat
mencontoh kebiasaan baik yang kerap dilakukan oleh suatu suku.
Dan, kelima, terakhir, memotivasi untuk tetap menjaga persatuan
di tengah perbedaan.
Apabila tidak dilakukan kerjasama, baik antarsuku dan
agama yang satu dengan lainnya maka akan timbul berbagai
berbagai problematika di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu,
perlu diwujudkan kerjasama yang baik antarsuku dan agama
agar terciptanya dampak positif dari keberagaman suku dan
agamaa tersebut. Kerjasama antarsuku dan agama di suatu
daerah sangatlah penting. Tanpa adanya kerjasama antarsuku
dan agama, mustahil kemajuan di suatu daerah dapat tercapai.
Untuk mewujudkan keharmonisan antarsuku dan agama,
partisipasi warga sangat diperlukan kerjasama antarwarga
masyarakat dan pemerintah. Keduanya harus terjalin dengan

50 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


baik karena hampir mustahil jika hanya mengandalkan
pemerintah saja dan tentunya ini perlu diwujudkan dan
ditanggung secara bersama, maka hasilnya pun dirasakan seluruh
kalangan masyarakat.
Banyak hal yang perlu dilakukan demi terwujudnya
kerukunan antarsuku dan agama, mengingat maraknya kasus
perkelahian dan pentingnya keharmonisan itu sendiri. Berikut ini,
enam cara yang perlu dilakukan demi terjaganya keharmonisan
antarsuku dan agama, antara lain, pertama, tidak membeda-
bedakan antarsuku dan agama. Sikap tidak membeda-bedakan,
dalam artian fokus akan kesamaan yang kita punya. Merupakan
hal yang sangat diharapkan dapat diterapkan demi tercapainya
tujuan bersama. Tidak sedikit contoh yang kita temui di
lapangan bahwa mereka yang berbeda namun berpandangan
sama untuk sukses berhasil menjadi inspirasi yang baik
setelahnya.
Tidak membedakan bukan berarti berupaya meminta
orang lain untuk sama dengan apa yang kita punya dan percayai,
tetapi lebih kepada memberikan perlakuan yang sama tanpa
memandang dari suku dan agama apa dia berasal. Penerapan hal
ini sangat perlu ditunjukkan terutama dalam pelayanan
masyarakat. Sikap memperlakukan sama sangat penting
ditunjukkan agar tidak ada kesan memprioritaskan suku dan
agama tertentu yang nantinya berpotensi memicu keributan dan
rasa saling tidak memercayai. Apapun suku dan agamanya
dipastikan akan mendapat pelayanan yang sama.
Kedua, tidak saling menghina. Tidak dapat dipungkiri
bahwa kekayaan budaya dengan tradisinya yang dimiliki
Indonesia sangatlah dikenal dan membanggakan. Tentunya
perbedaanlah yang menjadi alasan hadirnya keanekaragaman itu.
Banyak hal yang berpotensi berbeda dari yang lain. Banyak hal
yang tidak biasa dimata mereka yang tidak memilikinya. Banyak
hal yang dirasa tidak tepat bagi mereka yang tidak

Harmonisasi Umat Beragama 51


melakukannya. Banyak perayaan yang terkesan aneh bagi yang
tidak memahami seperti mereka yang memahaminya. Di sinilah,
pentingnya sikap positif dalam menanggapi perbedaan itu.
Mungkin ungkapan “Jika tidak bisa melakukan sesuatu yang
menyenangkan, setidaknya jangan melakukan sesuatu yang memicu
keributan”. Tidak ada satupun, hal yang membenarkan tindakan
menghina pribadi ataupun golongan lain, justru sebaliknya, kita
mesti saling harga-menghargai satu dengan yang lainnya.
Ketiga, saling menghormati. Sikap saling menghormati
bukanlah berarti harus ambil bagian dari budaya, perayaan, atau
kegiatan tersebut. Tidak ada sebuah keharusan untuk menjadi
bagian dari hal tersebut, terutama bagi Muslim yang tidak
dibenarkan mengikuti cara yang terkait dengan aqidah kepada
Allah SWT. Namun, tetap harus saling menghormati dengan cara
memberikan kebebasan selagi tidak merugikan sesama. Yang
tidak merayakan akan memberikan kesempatan kepada yang
merayakan. Mereka yang merayakan pun tidak mengharuskan
yang lain untuk ikut berpartisipasi.
Keempat, tidak sombong terhadap budaya dan agama lain.
Kesadaran bahwa keberagaman bukanlah hal yang harus
diketahui, mana yang terbaik dan tidak merupakan sebuah
keharusan bagi setiap insan. Tidak perlu ada pembahasan budaya
dan agama mana yang lebih baik karena mereka memiliki
nilainya sendiri bagi yang memiliki. Perdebatan tentang
hebatnya agama dan budaya beserta tradisinya, tidak akan
menemukan ujung dan titik akhir. Dalam hal ini, tentunya
diharapkan tidak ada kesombongan antara yang satu dengan
lainnya yang menganggap bahwa budaya dan agamanya lebih
baik dan sebagainya. Kesombongan ini dikhawatirkan menjadi
alasan untuk saling pamer dan merendahkan yang lainnya,
langsung atau tidak langsung. Juga akan merusak keharmonisan
antarsuku dan agama.

52 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Kelima, berteman dengan orang yang berbeda suku dan
agama. Berteman adalah salah satu bentuk usaha untuk
mengenal satu sama lain. Tidak memilih teman, dalam artian,
selagi masih di jalan yang baik diharapkan mampu membangun
hubungan yang baik. Hal ini juga akan baik bila diterapkan
kepada setiap anak dengan memberikan kebebasan berteman
dengan siapa pun dan dari suku dan agama apapun dengan
catatan tetap mengontrol aktivitasnya. Hal ini didasari bahwa
banyaknya orang yang tidak mampu menghargai suku dan agama
lain karena mereka yang tidak mengenal budaya itu sendiri.
Dengan berteman, mereka diharapkan dapat mengenal satu sama
lainnya dan menghormatinya. Hubungan yang baik juga akan
memperkuat hati dari sifat sensitif yang merugikan. Rasa
persaudaraan akan membendung kemarahan jika terjadi sesuatu
yang tidak diinginkan.
Keenam, tidak menjelek-jelekkan budaya lain. Tidak
menjelek-jelekkan adalah kombinasi beberapa sikap yang telah
dijelaskan di bagian atas. Saling menghargai, menghormati, dan
mencintai perbedaan akan menghindari kita dari sikap mengejek
dengan sesama. Meskipun hubungan antar suku dan agama
pernah terjadi konflik. Namun pada umumnya hubungan antar
suku dan agama berjalan dengan baik dan harmonis.
Kerjasama antarsuku dan agama di berbagai bidang
kehidupan seperti bidang ekonomi, politik, pertanian, keamanan,
dan bidang lainnya berlangsung dengan lancar. Hal ini secara
tidak langsung mengakibatkan kemajuan bagi daerah. Kondisi
keamanan yang kondusif menyebabkan banyak investor datang
untuk menanamkan investasi. Dengan adanya peran swasta yang
berinvestasi, beban kerja pemerintah daerah untuk mening-
katkan pertumbuhan ekonomi agak berkurang. Pemerintah
daerah cukup membuat sarana dan prasarana serta kebijakan
agar iklim investasi yang kondusif dapat terjaga dan meningkat.
Beberapa bentuk kerjasama antarsuku dan agama,

Harmonisasi Umat Beragama 53


sebenarnya, bertujuan untuk memajusejahterakan daerah juga.
Diantaranya, pertama, kerjasama di bidang pemerintahan.
Aparatur Sipil Negara (ASN) di pemerintah provinsi dan
kabupaten/ kota berasal dari berbagai macam suku dan agama.
Selain ASN, kepala daerah dan wakil kepala daerah, seperti
gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta
walikota dan wakil walikota juga berasal dari bermacam suku.
Kedua, kerjasama di bidang politik. Beberapa partai politik yang
ada di daerah, baik itu pada level ketua dewan pimpinan daerah
provinsi ataupun kabupaten/ kota maupun pada level pengurus,
terdiri dari berbagai macam suku dan agama. Demikian juga
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi
maupun DPRD kabupaten/ kota terdiri dari beragam suku dan
agama.
Ketiga, kerjasama di bidang ekonomi. Untuk tenaga kerja
yang bekerja di seluruh sektor perekonomian berasal dari Suku
Minang, Jawa, Batak, Melayu, etnik Tionghoa, dan suku-suku
lainnya. Pemilik usaha maupun para tenaga kerja juga berasal
dari bermacam suku dan agama yang saling bekerjasama untuk
meningkatkan usaha untuk mendapat keuntungan yang sebesar-
besarnya. Roda perekonomian bergerak dan investasi pun
meningkat. Dengan meningkatnya investasi, maka semakin
banyak terbukanya peluang usaha dan semakin banyak tenaga
kerja yang terserap. Tingkat pengangguran berkurang dan
kesejahteraan masyarakat meningkat. Pembangunan di segala
sektor perekonomian yang dilakukan oleh pihak swasta juga
berdampak positif terhadap kemajuan dan kesejahteraan daerah.
Keempat, kerjasama di bidang pertahanan dan keamanan.
Personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertugas untuk
menjaga NKRI dari ancaman luar. Selain itu, juga personil
kepolisian yang bertugas menjaga keamanan daerah atau
wilayahnya berasal dari berbagai macam suku dan agama.
Dengan adanya kerjasama antarsuku dan agama di bidang

54 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


pertahanan dan keamanan, maka tercipta kondisi keamanan yang
kondusif sehingga secara tidak langsung ikut mewujudkan
kemajuan dan kesejahteraan di daerah.
Kelima, kerjasama di bidang sosial budaya. Kerjasama di
bidang sosial budaya antarsuku dan agama di daerah sudah
terjalin sedemikian lama. Terjadi pernikahan antarsuku yang satu
dengan suku yang lainnya. Bahkan pernikahan antarsuku sudah
berlangsung prakemerdekaan. Untuk bidang kesenian, suku lain
yang berada di daerah lainnya, saling bekerjasama untuk
mengembangkan kesenian didaerahnya. Meskipun bukan asli
suku tempatan, suku lain tetap menyumbangkan pikiran, tenaga,
materil, dan lainnya supaya kesenian daerah tempatan dapat
maju berkembang, baik di kancah nasional maupun internasional.
Masalah kerukunan dan keharmonisan antarsuku dan
agama bukanlah hal baru di negara Indonesian ini. Tidak sekali
pula masalah ini melahirkan peperangan dan perkelahian
panjang. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini juga
ikut memperlambat kemajuan negara karena pemerintah harus
disibukkan dengan aktivitas menenangkan mereka yang
bersitegang dibanding fokus untuk melakukan inovasi-inovasi
baru demi kemajuan negara.
Dengan terjaganya keharmonisan dan kerukunan
antarsuku dan agama, tentunya daerah-daerah akan memberi
banyak manfaat kepada pribadi, golongan, provinsi, maupun
negara, dalam skala besar. Antara lain, pertama, meningkatkan
kemampuan bekerjasama antarwarga. Kedua, membangun
kreativitas dengan kolaborasi budaya dalam berbagai hal dan
even. Ketiga, tidak mudah diadu domba, menumbuhkan pikiran-
pikiran positif dan saling memercayai. Keempat, hubungan yang
baik menjanjikan hadirnya dukungan yang lebih besar bagi
setiap orang, seperti dalam bidang ekonomi, dan lain-lain. Kelima,
keakraban yang dibangun akan menjadi contoh positif bagi
setiap orang yang melihatnya. Dan terakhir, keenam, memini-

Harmonisasi Umat Beragama 55


malisir kemungkinan terjadinya konflik. Karena sekecil apapun
konflik yang terjadi, tetap akan merugikan. Dengan penduduk
yang heterogen tentunya sangat dibutuhkan kesadaran dan
mengedepankan kepentingan bersama dibandingkan kepenti-
ngan pribadi yang juga tidak berujung.
Kita bisa mengambil hikmah di balik beberapa konflik
antarsuku dan agama yang pernah terjadi di negari ini di masa
lampau. Itu terjadi karena kurangnya rasa percaya suatu suku
dengan suku lainnya maupun agama lainnya sehingga
menimbulkan konflik dan terjadilah perang. Ujung-ujungnya
memakan korban jiwa. Jadi, ayolah kita mempererat rasa
kekeluargaan dan memercayai satu sama lainnya supaya tidak
terjadi sesuatu yang tak diinginkan karena bisa merusak citra
dan moral suatu suku bangsa dan agama.
Makanya, dapat kita mengetahui betapa pentingnya
kerukunan dan keharmonisan antarsuku dan agama demi maju
sejahtera di daerah-daerah. Kita mampu mengimplementasikan
hal-hal yang dapat membangun kerukunan dan keharmonisan
antarsuku dan agama, setidaknya kita mampu memulai
memahami dan menanamkan kesan bahwa perbedaan adalah hal
yang perlu disyukuri karena keindahan akan hadir dengan
keberagaman itu sendiri. Dengn kata lain, bahwa pentingnya
mempererat hubungan kerjasama antarsuku dan agama untuk
dapat mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan di daerah.
Tanpa adanya kerjasama yang baik antarsuku dan agama,
mustahil kemajuan dan kesejahteraan daerah akan dapat
terwujud.
Selanjutnya, nilai-nilai yang terkandung dalam objek
tulisan ini, yaitu senantiasa menjaga hubungan antarsuku dan
agama dengan baik. Segala permasalahan atau konflik yang
timbul antarsuku dan agama supaya diselesaikan dengan cara
damai dan kekeluargaan. Kemajuan suatu daerah tidak bisa
dilakukan oleh satu suku saja namun harus dilakukan secara

56 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


bersama-sama dengan suku-suku dan agama lainnya. Dan, selalu
menghormati budaya dan kebiasaan suku dan agama lainnya
karena setiap suku dan agama memunyai budaya dan kebiasaan
yang berbeda-beda. Dengan demikian, nilai-nilai yang diharapkan
adalah berupa nilai persatuan, tolong-menolong, hormat-
menghormati, tenggang rasa, kekeluargaan, saling menghargai,
dan saling percaya satu sama lain.
Dari pemaparan yang telah dikemukakan di atas, dapat
ditarik benang merahnya, dapat ditarik suatu simpulan bahwa
keberagaman berbagai macam suku dan agama dapat
menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap kemajuan di
daerah-daerah. Dampak negatif yang timbul dari keberagaman
suku dan agama harus di antisipasi dan dicegah sedini mungkin.
Jika hal ini tidak menjadi perhatian maka dikhawatirkan dapat
membuat permasalahan di daerah nantinya. Hubungan kerjasama
antarsuku dan agama di daerah-daerah yang sudah terjalin baik
sejak lama agar tetap dipertahankan dan ditingkatkan.
Keberagaman suku dan agama menjadi modal dasar bagi
kemajuan dan kesejahteraan. Dengan keberagaman suku dan
agama menjadikan daerah sebagai miniatur dari Indonesia.
Dengan adanya kerjasama yang baik antarsuku dan agama,
diharapkan daerah bisa lebih maju di segala bidang. ***

Daftar Pustaka
Armawi, Armaidy. 2019. Nasionalisme Dalam Dinamika Ketahanan
Nasional. Yogyakarta: UGM.

Budimansyah, Dasim. 2008. Pendidikan Kesadaran Masyarakat


Multikultural Cetakan ke-2. Bandung: Ganesindo.

Nasikun. 1991. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Harmonisasi Umat Beragama 57


Priyadi, Sugeng. 2015. Sejarah Lokal: Konsep, Metode dan
Tantangannya. Yogyakarta: Ombak.

Kompas.com. 2020. Arti Penting Keberagaman dalam masyarakat


Indonesia.

(https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/04/08000169/arti-
penting-keberagaman-dalam-masyarakat-indonesia?page=all).
Diakses pada tanggal 3 Januari 2021.

Media Indonesia.2020. Pentingnya menjaga


kerukunan.(https://mediaindonesia.com/read/detail/81565-
pentingnya-menjaga-kerukunan). Diakses pada tanggal
3 Januari 2021.

58 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Biografi Penulis

Misdianto, M.Pd., dilahirkan di Kota


Pekanbaru 4 Maret 1973. Jenjang
pendidikan dari Sekolah Dasar sampai
Sarjana S-1 ditempuhnya di kota ini.
Berkat bantuan beasiswa dari Pemerintah
Provinsi Riau maka ia diberi kesempatan
untuk melanjutkan pendidikan dan
akhirnya berhasil meraih gelar magister
(S-2) di UNP (Universitas Negeri Padang) di Kota Padang,
Provinsi Sumatera Barat pada 2015. Semasa pendidikan S-2 itu,
ia juga tetap mengajar di SMA Negeri Plus Provinsi Riau.
Pernah tulisannya dimuat di media-media massa lokal, baik
cetak maupun elektronik. Dan, ia juga menulis buku. ***

Harmonisasi Umat Beragama 59


Moderasi Beragama di Tengah
Gempuran Cyiber Communications,
Cyber Journalism Dan Cyber Religion

Oleh:
I Ketut Putu Suardana, M.I.Kom
(Institut Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram)

Moderasi beragama merupakan dambaan seluruh masyarakat


yang cinta akan kedamaian, keharmonisan dan kerukunan antar
umat beragama maupun intern umat beragama. Saifuddin (2019)
menyebut moderasi beragama merupakan sikap yang berorientasi
pada pengurangan kekarasan dan keekstreman dalam beragama.
Diskursus tentang moderasi beragama tersebut memposisikan
sikap beragama yang moderat, yakni tidak berlebihan dalam
melaksanakan peraktik beragama. Beragama sejatinya merupakan
sikap menghormati seluruh ajaran yang termuat dalam kitab suci,
baik kitab suci agama yang dianut sendiri maupun ajaran kitab
suci yang dianut oleh orang lain. Moderasi beragama menjadi
sebuah keharusan untuk direalisaikan dalam kehidupan nyata
masyarakat Indonesia.
Sikap masyarakat yang moderat dalam beragama sangat
penting diimplementasikan di Indonesia. Ajaran agama yang
dilaksanakan secara moderat dipandang mampu mengakomodir

60 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


nilai-nilai kebangsaan yang merupakan anugrah terindah di
tengah takdir beragamnya suku, agama, ras dan budaya bangsa.
Budaya moderasi beragama di dalam hidup multikultural adalah
sebuah kewajiban seluruh anak bangsa. Pelaksanaan dan
pengamalan ajaran agama secara esensial selayaknya tidak
bertentangan dengan sendi kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia. Seluruh elemen masyarakat harus mampu
menginternalisasi sikap moderat dalam menjalankan ajaran
agamanya. Hal ini sejalan dengan falsafah bangsa. Menjalankan
ajaran agama secara moderat merupakan bentuk upaya
menjalankan kewajiban sebagai warga negara yang baik. Begitu
pula sebaliknya, menjalankan kewajiban sebagai warga negara
merupakan bentuk pengamalan ajaran agama yang diidam-
idamkan. Begitu pentingnya sikap moderat dalam beragama yang
harus terus digalakan melalui berbagai daya dan upaya.
Memanfaatkan berbagai anugrah terindah sebagai ciptaan Tuhan
adalah sebuah keharusan anak bangsa.
Saat ini, salah satu anugrah terindah anak bangsa adalah
hidup ketika lahir dan berkembangnya teknologi komunikasi dan
informasi yang membawa masyarakat ke arah digitalisme.
Digitalisme ditandai dengan terjadinya digitalisasi media
komunikasi yang serba digital dan serba dalam jaringan (online).
Budaya serba online membawa masyarakat dalam berbagai
aktivitas komunikasi di dunia maya melalui media sosial (medsos)
yang berbasis intenet. Hadir dan berkembangnya teknologi
informasi dan komunikasi pasca penemuan komputer dan
jaringan komunikasi digital (internet) telah merubah budaya
komunikasi masyarakat. Cara manusia berkomunikasi berubah
secara signifikan. Komunikasi antar manusia saat ini begitu
mudah terjadi meskipun jaraknya berjauhan. Hal ini muncul dari
sebuah proses disrupsi media konvensional menuju media siber.
Komunikasi tatap muka secara langsung bahkan hampir
tergantikan melalui tatap muka di layar ponsel dan layer

Harmonisasi Umat Beragama 61


komputer melalui video konferensi. Aktivitas suarat-menyurat
yang dulunya melalui kertas manual kini hampir tergantikan
secara menyeluruh melalui surat digital. Aktivitas jurnalistik
media massa seperti surat kabar dan media massa lainnya yang
menyebarkan informasi secara konvensional kini juga tersaingi
bahkan telah menunjukkan tanda-tanda usia senja yang
berpotensi berakhir dan bertransformasi kearah jurnalisme siber
(cyber journalism). Terus berkembangnya komunikasi era internet
memunculkan era baru komunikasi yang dikenal dengan
komunikasi siber (cyber communications).
Revolusi komunikasi siber (cyber communications) terus
menggeliat dan tampak terang benderang dengan munculnya
teknologi media baru (new media). Bungin (2006) menyebutkan
bahwa era komunikasi siber (cyber communications) diawali dari
terjadinya revolusi komunikasi yang bermula dari era
komupterisasi, era teknologi informasi, era globalisasi informasi
dan era sistem informasi. Era komputerisasi tidak semata-mata
menjadi awal era komunikasi siber. Melainkan era komputerisasi
merupakan era cikal bakal lahir dan berkembangnya komunikasi
siber itu sendiri. Era komunikasi siber lebih identik dengan era
medium komunikasi baru (new media). Pada dasarnya era cyber
communications adalah era proses komunikasi dengan dukungan
teknologi media siber (komputerisasi dan internet). Media siber
sendiri menurut Andriana (2013) dapat berupa website, e-mail,
bulletin board, internet broadcasting, peer to peer, the RSS, MUDs, sosial
media. blog, wiki, dan aplikasi pesan.
Perkembangan komunikasi siber ditandai dengan
berkembangnya komunikasi melalui jejaring media sosial
maupun media jurnalistik siber yang berbasis internet. Era
komunikasi siber menguat ketika terjadi peningkatan pengguna
internet. Media berbasis internet telah merambah ke seluruh
pelosok dunia termasuk Indonesia (Suardana, 2020b). Data yang

62 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


dipublikasikan oleh We Are Sosial menunjukan sebanyak 175,4 Juta
pengguna internet di Indonesia. Data ini menunjukan sebanyak
64% penduduk telah menjelajah dunia maya (Pertiwi, 2020).
Hampir seluruh pengguna internet menggunakan sarana mobile,
yakni 98 % atau 171 Juta penggguna itu (Suardana, 2020a).
Pengguna internet didominasi oleh generasi yang lahir pada era
digital, yakni generasi melenial dan generasi Z. Peningkatan
pengguna internet yang mencapai angka 17% dalam setahun
merupakan bukti kuat eksistensi komunikasi siber. Capaian
melejit peningkatan komunikasi siber itu membuka peluang
terjadinya fenomena baru dalam hampir seluruh sendi kehidupan
manusia.
Munculnya jurnalisme berbasis siber juga menjadi penanda
berkembangnya komunikasi siber. Perkembangan jurnalisme
siber berjalan menopang berkembangnya komunikasi siber.
Selain itu, perkembangan cyber communication telah banyak
berpengaruh pada dunia pendidikan, sosial ekonomi, budaya
termasuk jurnalisme dan keagamaan. Pada sektor jurnalisme,
tampak jelas perubahan strategi dan aktivitas media massa yang
mengarah kepada digitalisme. Sedangkan pada bidang agama,
komunikasi siber telah mendukung terjadinya fenomena agama
siber (cyber religion). Agama siber adalah fenomena beragama
masyarakat yang memanfaatkan media siber untuk menggali
maupun menyebarluaskan ajaran agamanya. Agama siber dan
komunikasi siber seolah berjalan disatu rel yang sama. Dunia
siber (media siber) dijadikan perantara dalam mengkomunika-
sikan ajaran agama tertentu. Berbagai penyuluhan agama diikuti
oleh banyak orang melalui tontonan media sosial seperti YouTube
dan media sosial lainnya serta media massa mainstream yang telah
beradaptasi dengan sibernisme. Masyarakat beragama tidak lagi
kesulitan dalam mengajarkan maupun mempelajari agamanya
bahkan mencari innformasi tentang agama orang lain. Berbagai
ajaran agama disiarkan secara geratis melalui media siber. Bahkan

Harmonisasi Umat Beragama 63


ponsel pintar tidak sedikit dimanfaatkan bagaikan kitab suci
pada acara keagamaan. Ayat-ayat suci ditelusuri melalui ponsel
yang terhubung internet. Asumsi Hatta (2018) mengatakan
bahwa gairah remaja dalam belajar ilmu agama melalui media
sosial cendrung meningkat adalah realitas yang tidak dapat
pungkiri.
Fenomena agama siber (cyber religion) sesungguhnya adalah
peristiwa belajar agama memalui media digital dan online. Selain
itu, menjamurnya website dan situs-situs keagamaan di internet
dapat menjadi guru ngaji (acarya-Hindu) saat agama siber.
Keterlibatan pemuka agama dalam dakwah (dharma wacana-
Hindu) melalui media online adalah bentuk nyata berkembangnya
cyber religions. Berbagai fasilitas yang memudahkan aktivitas
masyarakat di dunia maya mendukung terhadap peningkatan
jumlah umat agama siber. Lebih-lebih ketika media siber begitu
menjanjikan keuntungan material kepada para pemuka agama
yang menyiarkan agama melalui media siber dalam proses
komodifikasi agama. Beragama melalui dunia maya dengan
perantara media cyber digital memang merupakan kejadian yang
tidak bisa dielakan saat dunia dibombardir oleh derasnya
digitalisasi. Kendati demikian, budaya komunikasi dan belajar
agama melalui media siber yang oleh sebagian besar orang
dimanfaatkan untuk menyebar hoak dan provokasi keagamaan,
baik provokasi untuk memeluk agamanya maupun menjelekkan
agama orang lain harus pula dikenadalikan untuk membawa
masyarakat ke arah beragama yang moderat. Media siber
termasuk media sosial harus dimanfaatkan untuk menyebarkan
ajaran positif demi tercapainya tujuan agama dan bangsa.
Media sosial adalah salah satu jenis media massa yang
memiliki pengaruh terhadap pola prilaku seseorang (Khotimah,
2016). Dengan demikian, berbicara tentang moderasi beragama
maka media sosial maupun media siber lainnya merupakan
pendorong terciptanya masyarakat yang moderat atau tidak,

64 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Media siber lebih-lebih media yang melakukan proses jurnalistik
siber menjadi salah satu pemicu masyarakat dalam berprilaku
moderat. Ketika seluruh media jurnalisme siber serta seluruh
pengguna media sosial menyebar informasi tentang persaudaraan
antar umat beragama maka moderasi beragama adalah sebuah
anugrah yang pasti terjadi. Media sosial tidak seharusnya
digunakan untuk menyebar berita provokasi keagamaan.
Masyarakat maya ini harus mampu memilah-milah info yang
layak untuk disebar kepada publik atau hanya untuk konsumsi
pribadi. Bermedia sosial khususnya harus mampu menyaring
sebelum mesharing. Terlibat dalam dunia maya harus dipahami
bahwa hampir semua orang terlibat dalam komunikasi kita.
Siapapun dapat mengakses informasi yang kita sebar baik secara
sengaja maupun tidak. Oleh karena itu, jika semua masyarakat
mampu mengimplementasikan kebijakan dalam penggunaan
media siber ini, maka dapat dipastikan kebahagiaan dalam
kebebasan beragama dapat terwujud.
Moderasi beragama di tengah gempuran cyber communication,
cyber journalism dan cyber religion merupakan kejadian yang sangat
dirindukan oleh semua umat. Walaupun demikian masyarakat
moderat pada era ini pasti dapat dilahirkan. Masyarakat moderat
itu pasti dapat dilahirkan ketika semua pengguna media siber
berbondong-bondong menyebarkan informasi keagamaan secara
moderat dan tidak berlebihan maupun tidak radikal. Ketika
seluruh masyarakat menjalankan dan menyikapi ajaran agama
secara moderat, maka peristiwa mencekam melalui berbagai
konflik berdarah tidak akan terjadi. Kasus perusakan pura,
perusakan masjid, perusakan gereja dan perusakan fasilitas
keagmaan lainnya pasti tidak akan terjadi. Penilaian negative
terhadap pemeluk agama lain tidak akan ditemukan jika semua
masyarakat memahami bahwa mereka adalah bagian yang sama
sebagai umat beragama siber.

Harmonisasi Umat Beragama 65


Moderasi beragama ini akan tercipta jika seluruh warga
mampu bersikap moderat dalam beragama. Perbedaan yang
muncul dari berbedanya agama seharusnya tidak
dipermasalahkan. Pemeluk agama seyogyanya mengedepankan
persamaan ajaran agama daripada menggaungkan perbedaan
antar agamanya. Lebih-lebih ketika gaungan superioritas dan
mayoritas pemeluk agama melalui media siber tidak dijustifikasi
hanya berdasarkan kuantitas semata melainkan berdasarkan
kualitas, maka masyarakat moderat akan menjamur dan
berserakan. Berkembangnya arus digitalisasi harus dimanfaatkan
menuju terciptanya tujuan bangsa dan negara Indonesia yang
berkualitas. Anugerah atas lahir dan berkembangnya media siber
sebagai buntut derasnya digitalisasi sejatinya harus dimanfaatkan
secara bijak demi kemaslahatan bangsa di tengah gejolak
intoleran.
Selama ini tidak sedikit akun media sosial justru menjadi
media provokasi massa yang mengarah kepada perpecahan
terkait suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) seharusnya
dihentikan atau diimbangi dengan penyebaran informasi positif
untuk terciptanya masyarakat rukun dalam beragama. Agama
harus dipandang sebagai tuntunan hidup bukan menjadi tujuan
hidup. Agama harus disikapi secara bijaksana bukan sebaliknya
agama lain dipandang sebagai pesaing semata. Seharusnya tidak
ada lagi provokasi terkait agama melalui media sosial atau media
jurnalisme sekalipun. Agama harus dijadikan penuntun untuk
menciptakan masyarakat yang bahagia di dunia maupun di
akhirat (moksata jagadhita ya ca iti dharma). Karena sesunggunya
seluruh manusia bersaudara (wasudewa kutumbhakam). Dengan
demikian maka cita-cita moderasi beragama melalui masyarakat
moderat di tengah gempuran cyber communications dan cyber religion
dapat terwujud.

66 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Daftar Pustaka
Andriana, N. (2013). Media Siber Sebagai Alternatif Jembatan
Komunikasi Antara Rakyat Dan Pemimpinnya. Jurnal
Penelitian Politik, 10 (2), 79–93.

Bungin, B. (2006). Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada


Media Group.

Hatta, M. (2018). Media Sosial Sebagai Sumber Keberagamaan


Alternatif Remaja dalam Fenomena Cyberreligion. Dakwah:
Jurnal Kajian Dakwah Dan Kemasyarakatan, 22 (1), 1–30.

Khotimah, H. (2016). Intensitas Terpaan Berita Kriminal Di Sosial


Media, Kecerdasan Emosi Dan Kecenderungan Berperilaku
Kriminal. Prosiding SEMNAS Penguatan Individu Di Era Revolusi
Informasi, 173–184.

Pertiwi, W. K. (2020). Penetrasi Internet di Indonesia Capai 64 Persen.


Kompas Tekno.

Saifuddin, L. H. (2019). Prolog. In Moderasi Beragama (pp. 1–14).


Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.

Suardana, I. K. P. (2020a). Integrasi Mobile Journalism Pada Era


Covid-19. In Prosiding Catatan Covid-19: Isu-isu Penangkalan
Corona Virus Disease dari Berbagai Perspektif (pp. 149–152).

Suardana, I. K. P. (2020b). Resolution of Jurnalistic Ethics on


Media Disruption Era. Media Bina Ilmiah, 14 (8), 3015–3026.

Harmonisasi Umat Beragama 67


Biografi Penulis

I Ketut Putu Suardana, M.I.Kom. lahir di


Malimbu, Lombok Utara, Provinsi Nusa
Tenggara Barat, Indonesia pada 31
Desember 1992. Penulis lahir sebagai anak
keempat dari pasangan I Gede Patra dan
Ni Luh Raka. Penulis akrab dipanggil
Putu. Penulis pernah menempuh
pendidikan formal diantaranya: SDN 5
Malaka (2004), SMPN 2 Gunungsari (2007), SMA Pariwisata
Tanjung (2010), S1 Program Studi Pendidikan Agama Hindu di
STAHN Gde Pudja Matarama (2014) dan S2 Program Studi Ilmu
Komunikasi Hindu di STAHN Gde Pudja Mataram (2016).
Penulis saat ini terdaftar sebagai salah satu dosen PNS di kampus
tempat ia menempuh studi S1 dan S2 tersebut sejak 2019.
Pengalaman bekerja penulis diantaranya: Guru di SMA
Pariwisata (2014-2019), Guru/Acarya di Pasraman Widya Giri
Malaka (2015-saat ini), Dosen di STMIK Bumigora Mataram
(2016), Penyuluh Agama Hindu di Kementerian Agama NTB
(2017-2018). Penulis aktif sebagai pengurus dan anggota lembaga
keagamaan dan kemasyarakatan, diantarnya: Pendiri dan Ketua
Pasraman Widya Giri Malaka (2015-sekarang), Ketua Forum
Pasraman Kab. Lombok Barat (2018-sekarang), Ketua Muda
Mudi Malaka (2015), Anggota Majelis Krama Desa Malaka Kab.

68 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Lombok Utara (2018-sekarang). Penulis aktif mengikuti berbagai
pertemuan ilmiah, seperti seminar, konferensi, workshop, dan
lain-lain, baik nasional maupun internasional. Beberapa tulisan
penulis telah dipublikasikan, diantaranya: Resolution of Jurnalistic
Ethics on Media Disruption Era (2020), Integrasi Mobile Journalism
pada Era Covid-19 (2020). Saat ini penulis beralamat di Dusun
Badung Desa Malaka Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok
Utara. Penulis dapat dihubungi via email ikp31suardana@stahn-
gdepudja.ac.id atau HP/WA 087864518141.

Harmonisasi Umat Beragama 69


Moderasi Beragama Kunci
Terciptanyatoleransi dan Kerukunan
Dalam Lingkungan Masyarakat

Oleh:
Eka Yulianti, M. Pd.
(STKIP Yapis Dompu)

Pendahuluan
Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki beragam
suku, agama, ras, dan budaya. Keberagaman tersebut merupakan
kekuatan yang dimiliki Indonesia, namun dalam
implementasinya, dinamika ekspresi keberagamaan di era
demokrasi terkadang berpotensi memunculkan ketegangan dan
konflik antar masyarakat, antar umat beragama atau bahkan
internal umat beragama. Oleh karena itu, diperlukan moderasi
salah satunya moderasi beragama untuk menjaga keharmonisan
dalam bermasyarakat. Moderasi dapat diukur dalam empat
indikator diantaranya toleransi, anti kekerasan, komitmen, serta
pemahaman dan perilaku beragama yang akomodatif terhadap
budaya lokal atau konteks masyarakat yang multi-kultural dan
multi-agama. Untuk itu, keempat indikator tersebut harus selalu
dijaga dan dilaksanakan oleh seluruh elemen masyarakat sebagai

70 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


upaya menciptakan kerukunan berbangsa dan bernegara yang
berkelanjutan.
“Tugas penguatan kerukunan umat beragama di samping
dilakukan oleh pemerintah, juga dilakukan oleh para tokoh
agama. Para tokoh agama ini merupakan modal yang berharga
bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan kerukunan umat
beragama dalam bermasyarakat” beberapa ketegangan antar
umat beragama yang pernah terjadi di lingkungan masyarakat
seperti perdebatan atas pendirian rumah ibadah, penodaan agama,
penyiaran agama, dan kontestasi politik yang dihubungkan
dengan agama. Namun ia melihat, ketegangan tersebut dapat
diselesaikan dengan baik dengan adanya musyawarah bersama
dengan baik.
para tokoh agama mampu menjadi jembatan strategis bagi
umat untuk menggerakkan moderasi beragama, baik dalam
keyakinan dan pemahaman keagamaan maupun tindakan
konkret dalam melakukan pencegahan, mediasi, dan penyelesaian
konflik antar umat beragama. Tokoh agama juga diharapkan
mampu menempatkan posisinya sebagai modal sosial yang amat
penting bagi masyarakat untuk mewujudkan kerukunan umat
beragama di Indonesia. Untuk mewujudkan gagasan tersebut
kerukunan antar umat beragama, semakin disadari peran dan
fungsi strategis tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat,
khususnya yang tergabung dalam lembaga dan organisasi
keagamaan untuk mendorong terwujudnya kerukunan umat
beragama di dalam bermasyarakat.
Indonesia harus memiliki cara berpikir dan bernarasi
sendiri agar tidak terjebak dalam sekat ruang-ruang sosial. Pada
titik ini, moderasi sosio-religius sebagai integrasi ajaran inti
agama dan keadaan masyarakat multikultural di Indonesia
dapat disinergikan dengan kebijakan-kebijakan sosial yang
diambil oleh pemerintah negara. Kesadaran ini harus

Harmonisasi Umat Beragama 71


dimunculkan agar generasi bangsa ini bisa memahami bahwa
Indonesia ada untuk semua.
Lukman Hakim, menyerukan agar moderasi beragama
menjadi arus utama dalam corak keberagamaan masyarakat
Indonesia. Alasannya jelas, dan tepat, bahwa ber-agama secara
moderat sudah menjadi karakteristik umat beragama, dan lebih
cocok untuk kultur masyarakat kita yang majemuk. Ber-agama
secara moderat adalah model beragama yang telah lama
dipraktikkan dan tetap diperlukan pada era sekarang. Apalagi
belakangan ini, keragaman Indonesia sedang diuji, dimana sikap
keberagamaan yang ekstrem diekspresikan oleh sekelompok
orang atas nama agama, tidak hanya di media sosial, tapi juga di
jalanan. Tidak hanya di Indonesia, bahkan dunia sedang
menghadapi tantangan adanya kelompok masyarakat yang
bersikap eksklusif, eskplosif, serta intoleran dengan
mengatasnamakan agama. Sebagaimana yang telah tampak
bahwa sekolah bagaikan ruang yang tak bertuan. Maksudnya,
sekolah menjadi tempat bertarung ideology transnasional yang
kerap menafikan kebangsaan. Menyusup dalam benak pikiran
peserta didik di dalam ruang kelas maupun di luar ruang
kelas sehingga minimnya pemahaman kebangsaan dan
menguatnya paham keagamaan yang formalis. Memahami
agama dengan setengah-tengah dan mementingkan tampak luar
dengan formalitas agama.
Dalam konteksi ini, narasi pentingnya jalan tenga (the
middle path) dalam beragama seperti yang ditulis
Fathorrahman Ghufron, Mengarusutamakan Islam Moderat,
sesungguhnya memiliki nilai urgensinya untuk terus-menerus
digaungkan oleh tokoh agama, akademisi kampus yang
memiliki otoritas, dan melalui saluran berbagai media.
Penggaungan narasi semacam itu khususnya untuk memberikan
pendidikan kepada publik bahwa bersikap ekstrem dalam
beragama, pada sisi manapun, akan selalu menimbulkan benturan.

72 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Seruan moderasi agama juga belum lantang disuarakan oleh
semua tokoh yang mewakili agama besar di Indonesia, sehingga
lagi-lagi, narasi yang berkembang pun tidak berimbang. Kalau
tradisi Islam menawarkan konsep wasatiyah sampai sekarang
kita jarang mendengar konsep atau narasi tafsir moderate
dalam tradisi-tradisi agama selain Islam. Akibatnya, seruan agar
bersikap moderat sekarang ini seolah hanya ditujukan pada umat
Islam.Ini yang akhirnya membawa kesan bahwa seolah hanya
umat Islam yang tidak moderat dalam beragama, ekstrem,
intoleran, radikal, dan ujung-ujungnya terlibat aksi terorisme.
Hashim Kamali, menegaskan bahwa moderate, tidak
dapat dilepaskan dari dua kata kunci lainnya, yakni berimbang
(balance), dan adil (justice). Moderat bukan berarti kita
kompromi dengan prinsip-prinsip pokok (ushuliyah) ajaran
agama yang diyakini demi bersikap toleran kepada umat
agama lain; moderat berarti “... confidence, right balancing, and
justice...” Tanpa keseimbangan dan keadilan seruan moderasi
beragama akan menjadi tidak efekti. Dengan demikian,
moderat berarti masing-masing tidak boleh ekstrem di masing-
masing sisi pandangnya. Keduanya harus mendekat dan mencari
titik temu.
Moderasi adalah ajaran inti agama Islam.Islam moderat
adalah paham keagamaan yang sangat relevan dalam konteks
keberagaman dalam segala aspek, baik agama, adat istiadat, suku
dan bangsa itu sendiri.Tak pelak lagi, ragam pemahaman
keagamaan adalah sebuah fakta sejarah dalam Islam. Keragaman
tersebut, salah satunya, disebabkan oleh dialektika antara
teks dan realitas itu sendiri, dan cara pandang terhadap
posisi akal dan wahyu dalam menyelesaikan satu masalah.
Konsekuensi logis dari kenyataan tersebut adalah munculnya
terma-terma yang mengikut di belakang kata Islam. Sebut
misalnya, Islam Fundamental, Islam Liberal, Islam Progresif, Islam

Harmonisasi Umat Beragama 73


Moderat, dan masih banyak label yang lain. Karena moderasi ini
menekankan pada sikap, maka bentuk moderasi ini pun bisa
berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya, karena
pihak-pihak yang berhadapan dan persoalan-persoalan yang
dihadapi tidak sama antara di satu negara dengan lainnya. Di
negara-negara mayoritas Muslim, sikap moderasi itu minimal
meliputi: pengakuan atas keberadaan pihak lain, pemilikan
sikap toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat, dan
tidak memaksakan kehendak dengan cara kekerasan.
Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci
terciptanya toleransi dan kerukunan, baik ditingkat lokal,
nasional, maupung lobal. Pilihan pada moderasi dengan
menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama
adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban
dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masing-
masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain
secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama
dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat multikultural
seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan,
melainkan keharusan.
Moderasi Beragama Pada Masyarakat Multikultural
Menjadikan Lembaga Pendidikan Sebagai Basis Laboratorium.
Di sinilah pentingnya “batu pertama” moderasi beragama
dibangun atas dasar filosofi universal dalam hubungan sosial
kemanusiaan. Lembaga pendidikan menjadi sarana tepat guna
menyebarkan sensitivitas peserta didik pada ragam perbedaan.
Membuka ruang dialog, guru memberikan pemahaman bahwa
agama membawa risalah cinta bukan benci dan sistem di
sekolah leluasa pada perbedaan tersebut.Tidak hanya itu,
rekomendasi yang dikeluarkan risalah Jakarta salah satunya
berbunyi pemerintah harus memimpin gerakan penguatan
keberagamaan yang moderat sebagai arus utama, dengan

74 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


mempromosikan pentingnya kehidupan beragama secara
moderat sebagai panduan spiritual dan moral.
Dalam beberapa tahun terakhir, kecenderungan sikap
intoleran kita kian menguat, baik secara internal umat beragama
maupun secara eksternal. Kasus persekusi, pembakaran rumah
ibadah, dan semua bentuk tindakan kekerasan kerap menjadi
hal lumrah yang dikedepankan, tawuran antar pelajar menjadi
wajah buram bagi institusi pendidikan kita.
Dalam buku yang diterbitkan Maarif Institute, Menjaga
Benteng Kebhinekaan di Sekolah, melihat ada tiga pintu
utama bagaimana pemahaman radikal dan intoleransi
melakukan penetrasi di lingkungan sekolah; pertama, kegiatan
ekstrakurikuler. Kedua, peran guru dalam proses belajar
mengajar. Ketiga, melalui kebijakan sekolah yang lemah dalam
mengontrol masuknya radikalisme di sekolah. Jika kita melihat
data dan temua tersebut, kecenderungan intoleransi dan
menguatnya radikalisme di sekolah sudah sangat
memprihatinkan. Oleh karena itu, di sinilah letak strategisnya
pengarusutamaan moderasi beragama perlu dilakukan.
Ruang sekolah sejatinya menjadi lahan tersemainya
gagasan kebangsaan, menanamkan nilai-nilai multikulturalisme,
membawa pesan agama dengan lebih damai, dan menebarkan
cinta pada kemanusiaan. Hal itu mewujud dalam kurikulum yang
berorientasi pada moderasi beragama.

Kesimpulan
Di era demokrasi terkadang berpotensi memunculkan
ketegangan dan konflik antar masyarakat, antar umat beragama
atau bahkan internal umat beragama. Oleh karena itu, diperlukan
moderasi salah satunya moderasi beragama untuk menjaga
keharmonisan dalam bermasyarakat. Moderasi beragama lebih
mengedepankan sikap keterbukaan terhadap perbedaan yang ada
yang diyakini sebagai sunnatullah dan rahmat bagi manusia.

Harmonisasi Umat Beragama 75


Selain itu, moderasi beragama tercerminkan dalam sikap yang
toleran dan rukun antara sesama. Moderasi beragama lebih
mengedepankan persaudaraan yang berlandaskan pada asas
kemanusiaan, bukan hanya pada asas keimanan atau kebangsaan.
Moderasi dapat diukur dalam empat indikator diantaranya
toleransi, anti kekerasan, komitmen, serta pemahaman dan
perilaku beragama yang akomodatif terhadap budaya lokal atau
konteks masyarakat yang multi-kultural dan multi-agama.
Oleh karena itu untuk mengaktualisasikan konsep
moderasi beragama dalam konteks masyarakat multikultural:
Pertama, menjadikan lembaga pendidikan sebagai basis
laboratorium moderasi beragama. Lembaga pendidikan sangat
tepat menjadi laboratorium moderasi beragama. Seperti yang
telah dipahami bahwa bangsa Indonesia merupakan
bangsa yang memiliki ragam suku dan agama.

Daftar Pustaka
Darlis. 2017. Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat
Multikultural, Jurnal Rausyan Fikr,Vol. 13 No.2

Hamid, Zainul, Ahmad. 2007. NU dalam Persinggungan Ideologi:


Menimbang Ulng Moderasi Keislaman Nahdatul
Ulama. Afkar, Edisi No. 21.

Hasisah, Afifuddin. 2012. Islam: Eksklusivisme atau


Inklusivisme? Menemukan Teologi Islam Moderat,
dalam Kontruksi Islam Moderat. Yogyakarta: ICCAT
Press.

Ma‟arif, Syafi‟i, Ahmad. 2009. Islam dalam Bingkai


Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi
Sejarah. Bandung: Mizan.

Shihab, Alwi. 2007. Islam Inklusif: Menuju Sikap


Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan.

76 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Harmonisasi Umat Beragama 77
Biografi Penulis

Penulis lahir di Dompu, Nusa Tenggara


Barat, 01 Juli 1994, penulis merupakan
Dosen tetap di STKIP Yapis Dompu dalam
bidang ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, penulis menyelesaikan gelas
Sarjana Pendidikan Bahasa Sastra
Indonesia dan Daerah di Institusi
Keguruan dan Ilmu Pendidikan di
Universitas Muhammadiyah Mataram
(2015), dan gelar Magister Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia di Institusi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang (2018).

78 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Eksistensi Bahasa Arab dalam
Membentuk Karakter Muslim Moderat

Oleh:
Mohammad Rifqi Junaidi, S.Pd., M.Pd.I.
(Dosen Universitas Islam Malang)

Bahasa merupakan suatu kebutuhan dasar dan penting bagi


manusia,karena bahasa adalah media penyampai ide, gagasan, dan
pikiran manusia dalam bentuk ucapan atau tulisan dengan
maksud agar dipahami oleh orang lain. Seiring dengan perjalanan
waktu kehidupan manusia ragam bahasa pun semakin banyak,
diantaranya bahasa Arab, Inggris, China, Spanyol, Korea, Jepang,
dan lain-lain (Andriani, 2015).
Diantara bahasa-bahasa dunia tersebut bahasa Arab
menjadi bahasa tertua dan paling lama digunakan di dunia ini.
Sejak al-Qur‟an diturunkan dan agama Islam semakin
berkembang, penutur bahasa Arab semakin bertambah hingga
kini dituturkan oleh lebih dari 200.000 umat manusia. Bahasa ini
digunakan secara resmi oleh kurang lebih 20 negara. Alasan
lainnya karena bahasa Arab adalah bahasa kitab suci dan
tuntunan agama umat Islam sedunia, maka tentu saja ia
merupakan bahasa yang paling besar signifikansinya bagi
milyaran muslim sedunia, baik yang berkebangsaan Arab maupun
bukan Arab.
Bahasa Arab adalah Bahasa yang sangat istimewa. Sehingga
Allah SWT berkenan berbicara dengan manusia menggunakan
Bahasa Arab melalui Al-Qur‟an (Ma‟arif, 2018). Padahal, Al-
Qur‟an itu tidak ditujukan untuk orang Arab saja, akan tetapi
untuk seluruh umat manusia di muka bumi ini. Allah SWT
bukan tidak tahu bahwa manusia terdiri dari berbagai macam

Harmonisasi Umat Beragama 79


bentuk dan memiliki ribuan Bahasa yang berbeda, tapi Allah
ingin menyatukan manusia dengan satu Bahasa yang istimewa,
yaitu Bahasa Arab. Allah SWT memperkuat dalam Surat Ibrahim
Ayat 4
‫اّللُ َم ْن يَ َشاء‬
َ ‫ضل‬ِ ‫ان قَوِم ِو لِي بِي ََلم فَي‬ ِ ِِ ِ ٍ ِ
ُ ُْ َّ َُ ْ ‫َوَما أ َْر َس ْلنَا م ْن َر ُسول إال بل َس‬
ْ ‫َويَ ْه ِدي َم ْن يَ َشاءُ َوُى َو الْ َع ِز ُيز‬
‫اْلَ ِك ُيم‬
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa
kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada
mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan
memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah
Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”
Berbicara tentang Islam, tidak dapat dilepaskan dari al-
Qur„an dan al-Hadits sebagai dasar pijakannya. Moderat dalam
Islam diistilahkan dengan tawassuth. Allah SWT berfirman
tentang tawasuth dalam Surat Al-Baqarah ayat 143
‫ول‬ ِ ‫ك َج َعلْنَا ُك ْم أَُمةً َو َسطًا لِتَ ُكونُوا ُش َه َداءَ َعلَى الن‬
ُ ‫َاس َويَ ُكو َن الَر ُس‬ ِ
َ ‫َوَك َذل‬
…..‫يدا‬ ً ‫َعلَْي ُك ْم َش ِه‬
dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),
umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu.
Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits Nabi Muhammad
saw dalam kitab Sunan Abu Dawud Juz 3 Nomor Hadits 3592
‫ث بْ ِن َع ْم ِرو‬ ِ ‫اْلا ِر‬ ٍ
َْ ‫ َع ِن‬،‫ َع ْن أَِِب َع ْون‬،َ‫ َع ْن ُش ْعبَة‬،‫ص بْ ُن ُع َمَر‬ ُ ‫َحدَثَنَا َح ْف‬
‫اب ُم َع ِاذ‬
ِ ‫َصح‬ ِ ‫ ِمن أَى ِل ِِح‬،‫ عن أ ََُن ٍس‬،َ‫ب ِن أ َِخي الْمغِيةِ ب ِن ُشعبة‬
َ ْ ‫ص م ْن أ‬ َ ْ ْ ْ ْ َ َْ ْ َ ُ ْ
" ‫ال‬ ِ
َ َ‫ث ُم َعاذًا إ ََل الْيَ َم ِن ق‬ ِ َ ‫بْ ِن َجبَ ٍل أَ َن َر ُس‬
َ ‫اّلل ملسو هيلع هللا ىلص لَ َما أ ََر َاد أَ ْن يَْب َع‬
َ ‫ول‬
" ‫ال‬ َ َ‫ ق‬. ِ‫اّلل‬
َ ‫اب‬ ِ َ‫ضي بِ ِكت‬ ِ ْ‫ال أَق‬َ َ‫ ق‬. " ٌ‫ضاء‬ َ َ‫ك ق‬ َ َ‫ض ل‬ ِ
َ ‫ف تَ ْقضي إِ َذا َعَر‬ َ ‫َكْي‬
ْ‫ال " فَِإ ْن ََل‬ َ َ‫ ق‬. ‫اّللِ ملسو هيلع هللا ىلص‬
َ ‫ول‬ ِ ‫ال فَبِسن َِة رس‬
ُ َ ُ َ َ‫ ق‬. " ‫اّلل‬
َِ ‫اب‬ ِ َ‫فَِإ ْن ََل ََِت ْد ِِف كِت‬
ْ

80 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


‫َجتَ ِه ُد َرأْيِي َوالَ آلُو‬ َ َ‫ ق‬. " ِ‫اّلل‬
ْ ‫ال أ‬ َ ‫اب‬ِ َ‫اّللِ ملسو هيلع هللا ىلص والَ ِِف كِت‬
َ َ ‫ول‬ ِ ‫ََِت ْد ِِف سن َِة رس‬
َُ ُ
ِ ‫ول رس‬ ِ ِ ِ ِ
‫ول‬ ُ َ َ ‫اْلَ ْم ُد َّلل الَذي َوفَ َق َر ُس‬
ْ " ‫ال‬ َ َ‫ص ْد َرهُ َوق‬َ ‫اّلل ملسو هيلع هللا ىلص‬
َ ‫ول‬ ُ ‫ب َر ُس‬
َ ‫ضَر‬
َ َ‫ ف‬.
" ِ‫اّلل‬ َ ‫ول‬ َ ‫اّللِ لِ َما يُْر ِضي َر ُس‬
َ
“Abu Hafsh Bin Umar meriwayatkan dari Syu‟bah dari Abu Aun
dari Haris bin Ami bin Abi Mughiroh. Dari beberapa orang
penduduk Himsh, diceritakan dari beberapa sahabat Mu‟adz
bin Jabal, bahwa sesungguhnya saat Rasulullah bermaksud
mengutus Mu‟adz untuk berdakwah ke negeri Yaman, beliau
bertanya kepada Mu‟adz: Bagaimana caramu memutuskan
persoalan yang akan kamu hadapi? Mu‟adz menjawab: saya
akan memutuskannya berdasarkan Alqur‟an. Nabi bertanya lagi:
Jika dalam Alqur‟an tidak Kamu temukan jawabannya? Mu‟adz
menjawab: dengan Sunnah Rasulullah. Sang Nabi pun bertanya
lagi: andaikata di dua sumber itu tidak dijumpai jawabannya?
Mu‟adz pun menjawab: Saya akan berijtihad dengan
menggunakan akalku untuk menyelesaikan hal itu dan saya
tidak akan ceroboh dalam berijtihad. Setelah itu, Rasulullah saw.
menepuh dada Mu‟adz (sebagai pertanda setuju dan bangga
atas kecerdasan Mu‟adz bin Jabar), seraya bersabda: Segala puji
bagi Allah Yang telah memberi taufiq kepada utusannya
Rasulullah (Mu‟adz) sesuai yang dikehendaki oleh Rasulullah.”
Dalam ayat dan hadits di atas term moderat diungkapkan
dengan kata WASATHUN ‫( وسط‬bentuk mufrad/singular/
tunggal), dan kata AUSAATH ‫( أوساط‬bentuk jama‟/plural/
banyak), dan kata AUSATH ‫( أوسط‬bentuk isim tafdlīl/makna
lebih atau paling moderat). Tiga ungkapan tersebut berasal dari
akar kata yang sama yaitu WA SA THA ‫ و س ط‬yang artinya
tengah atau moderat. Dalam ayat dan hadits di atas hanya
dinyatakan tentang watak Islam adalah moderat dalam hal
bertindak (‫ )األعمال‬secara khusus seperti paparan hadits kedua,
dan moderat dalam segala urusan baik, tindakan, ucapan, atau
pikiran sebagaimana siratan hadits pertama. Kondisi moderat
dalam segala hal inilah yang diidealkan Islam dalam firman Allah
surat Al-Baqarah ayat 143 di atas.

Harmonisasi Umat Beragama 81


Secara etimologis, kata moderat (al-whasatiyah) merujuk
pada tiga makna yaitu: pertama, bermakna kebaikan dan
keadilan. Kedua, bermakna balance atau seimbang dalam segala
hal. Sikap seimbang yang terlindungi dari sikap melebihkan
(ekstrem kiri/ifrath) dan mengurangkan (ekstrem kanan/tafrith).
Ketiga, memiliki makna berada di tengah atau di antara dua
ujung sesuatu atau berada di tengah. tengah antara dua hal
(Dawood dkk, 2017).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa umat Islam
haruslah moderat dalam bidang aqidah, syari‟ah, tasawwuf dan
mua‟amalah.

Bidang Aqidah
Kalau ada sebagian manusia yang tidak meyakini adanya
Tuhan (atheisme) da nada pula yang mempercayai banyak Tuhan
(poletheisme) maka Islam tidak menganut keduanya. Islam
mengambil paham meyakini adanya satu Tuhan Yang Maha Esa
(monotheisme). (al-qardhawy, 1999). Pun ada sebagian manusia
yang menganggap bahwa dunia ini sebagai khayalan yang tidak
memiliki wujud. Ada juga yang menuhankan bahwa alam ini
adalah kenyataan abadi yang tidak memiliki akhir. Sifat moderat
Islam adalah alam ini merupakan sebuah hakikat yang tak
diragukan, namun di balik itu, ada hakikat lain yaitu Dzat Yang
Menciptakan dan Mengaturnya (Abidat, 2003). Bila ada sebagian
manusia yang menuhankan wahyu, pun ada yang menuhankan
akal. Islam moderat menganggap bahwa akal dan wahyu
merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting
yang sifatnya komplementer (saling mendukung antara satu sama
lain). Kalau diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi
sebagai syahid (saksi) sementara wahyu sebagai hakim, atau
sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara wahyu sebagai
syahid (Yusuf, 2018)

82 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Bidang Syari’ah
Bila agama Yahudi masyhur dengan perintah pelarangan
dan pengharaman (tahriim) terhadap segala sesuatu, dan agama
Nashrani terkenal dengan perintah pembolehan (ibaahah)
sehingga jarang ditemukan pelarangan. Islam Moderat
mengambil posisi tengah diantara dua hal tersebut. Pemilihan
tahriim dan ibaahah didasarkan atas petujuk dari Allah SWT
melalui ajaran Islam yang dibawa nabi Muhammad saw, dan
tidak semata-mata didasarkan atas keputusan umatnya sendiri
sebagaimana umat Yahudi dan Nashrani (Al-Qardhawy, 1997).
Sedangkan apabila ada kondisi kemaslahatan diantara umat
manusia, Islam mengutamakan kemaslahatan semuanya, namun
apabila bertabrakan antara kemaslahatan individu dan
kelompok, Islam Moderat akan mengutamakan kemaslahatan
kelompok (al-Zuhaily, 1985).

Bidang Tasawwuf
Inti tasawwuf adalah takholli, tahalli dan tajalli. Ketiga hal ini
saling berkaitan satu dengan lainnya sebagai satu kesatuan untuk
memandang segala sesuatu dari banyaksegi. Bila ada sebagian
manusia yang terlalu fokus di bidang syariat sehingga lupa
dengan hakikat, pun ada pula sebagian yang terlalu fokus dalam
hakikat sehingga lupa syariat, maka Islam Moderat mengambil
langkah tengah dengan cara mensinergikan antara keduanya.
Karena syariat tanpa hakikat merupakan kepalsuan dan hakikat
tanpa syariat merupakan omong kosong dan cenderung ingin
seenaknya sendiri dengan mengabaikan aturan hukum yang
berlaku. Hal ini senada dengan pepatah berikut (Umar, 1996)
ِ ‫َش ِري عةٌ بِالَح ِقي َق ٍة َب ِطلَةٌ وح ِقي َقةٌ بِالَ َش ِري ع ٍة ع‬
ٌ‫اطلَة‬ َ َْ ْ َ َ َ ْ َ َْ
Syariat tanpa Hakikat itu bohong dan hakikat tanpa syariat itu
kosong

Harmonisasi Umat Beragama 83


Disamping itu bila kelompok syariat lebih mementingkan
kebersihan jasad atau penampilan, dan kelompok hakikat lebih
mementingkan kebersihan jiwa, maka Islam Moderat akan
mengambil keseimbangan diantara keduanya, yaitu dengan
meningkatkan kualitas spiritual melalui tazkiyatun nafs dengan
tetap memperhatikan kebersihan dhohir seperti pakaian, tempat
tinggal dll.

Bidang Mu’amalah
Ada diantara manusia yang terlena dengan gemerlapnya
dunia dan sampai lupa tentang kehidupan akhirat yang abadi.
Pun ada pula sebagian manusia yang terlalu mementingkan
kehidupan akhirat sehingga melupakan atau bahkan bermalas-
malasan hidup di dunia. Islam tidak menghendaki keduanya.
Islam moderat menuntut keseimbangan diantara hidup dunia dan
akhirat. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al
Qashash ayat 77
‫َح ِس ْن َك َما‬ ِ َ ‫صيب‬ ِ ‫اّلل الد‬
ِ ‫اآلخرةَ وال تَْن‬ ِ
ْ ‫ك م َن الدنْيَا َوأ‬ َ َ‫س ن‬
َ َ َ ‫َار‬ َ َُ ‫آَت َك‬ َ ‫يما‬ َ ‫َوابْتَ ِغ ف‬
ِِ ِ َ ‫ض إِ َن‬
َ ‫اّللَ ال ُُيب الْ ُم ْفسد‬
‫ين‬ َ ‫اّللُ إِلَْي‬
ْ ‫ك َوال تَْب ِغ الْ َف َس َاد ِِف‬
ِ ‫األر‬ َ ‫َح َس َن‬ ْ‫أ‬
dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.
Dengan demikian, Islam Moderat bukan A dan bukan B,
misalnya konsep Islam tentang nafkah di atas adalah jalan tengah
di antara kikir (taqtir) dan boros (israf), artinya Islam
mengajarkan agar seseorang di dalam memberi nafkah tidak kikir
dan tidak pula boros, melainkan ada di antara keduanya (al-
Buwusury, 1928) . Contoh lain yaitu, konsep Islam tentang

84 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


paham adalah tawassuth di antara paham liberalisme dan
konservatifisme. Ini artinya, bahwa Islam tidak konservatif dan
tidak juga liberalis.
Dalam literatur kutub turats yang dibaca penulis, ada
beberapa sifat yang harus dijahui oleh Muslim Moderat, yaitu:
1. Sifat Berlebih-lebihan (ghuluww) . Islam merupakan satu-
satunya manhaj yang lurus (ash-sirāth al-mustaqīm). Karakter
inilah yang berbeda dengan tipe agama-agama sebelumnya.
Ajaran agama sebelumnya dikoreksi al-Qur‟an disebabkan
mereka bersikap ghuluw (berlebih-lebihan). Hal ini dikuatkan
hadits nabi yang diriwayatkan oleh an-Nasa‟i dari Abdullah
bin Abbas, dalam kitab Sunan an-Nasâ‟i, IV/228, hadits 3029.
‫ك َم ْن َكا َن قَ ْب لَ ُك ْم الغُلُ ّو ِِف ال ِّديْ ِن‬ ِ
َ َ‫ فَإََِّنَا أ َْىل‬،‫إِ ََّي ُك ْم َوالْغُلُ َو ِِف ال ّديْ ِن‬
“Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, sesungguhnya orang-orang
sebelum kamu hancur karena sikap berlebihan dalam agama.”

2. Sifat ekstrem (al-tanathu‟). Abdullah bin Mas‟ûd r.a.


meriwayatkan dari Rasulullah s.a.w., bahwa beliau pernah
bersabda dalam Kitab Shahîh Muslim, VIII/58, hadits no. 6955
‫ قَا ََلَا ثََال ًث‬،‫ك ال ُمتَ نَطُْو َن‬
َ َ‫َىل‬
“Celakalah orang-orang yang ekstrem!” Beliau mengucapkannya tiga
kali.”
3. Sifat memberat-beratkan diri (al-tasyaddud). sesuai hadits nabi
yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah, Shahîh
al-Bukhâriy, I/16, hadits no. 39
ِ ِ
ُ‫ َولَ ْن يُ َشد ال ّديْ َن إِالَ َغلَبَو‬،‫إِ َن ال ّديْ َن يُ ْسٌر‬
Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba
mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah (gagal)."

Harmonisasi Umat Beragama 85


4. Sifat melampaui batas syariat (al-I‟tida‟). Disandarkan pada
firman Allah dalam Surat Al-baqarah ayat 190
ِ ِ َ ‫اّللِ الَ ِذين ي َقاتِلُونَ ُكم وال تَعت ُدوا إِ َن‬ ِ ِ
‫ين‬
َ ‫اّللَ ال ُُيب الْ ُم ْعتَد‬ َْ َ ْ ُ َ َ ‫َوقَاتلُوا ِِف َسب ِيل‬
dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu,
(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
5. Sifat memaksa diri sendiri (al-takalluf) . disandarkan pada
firman Allah dalam Surat Shaad ayat 86
ِِ ِ ِِ
َ ‫َج ٍر َوَما أ َََن م َن الْ ُمتَ َكلّف‬
‫ي‬ ْ ‫َسأَلُ ُك ْم َعلَْيو م ْن أ‬
ْ ‫قُ ْل َما أ‬
Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun
padamu atas da'wahku dan bukanlah aku Termasuk orang-orang
yang mengada-adakan.
Dari paparan diatas secara tidak langsung penulis telah
menyajikan data menggunakan referensi dari kutub turats
berbahasa Arab. Secara tidak langsung bahasa Arab memiliki
fungsi sebagai berikut:
1. Bahasa Arab berperan sebagai bahasa wahyu, sehingga
menjadi bahasa yang istimewa
2. Peranan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi umat islam
kepada Allah SWT. Dalam agama Islam terdapat ibadah-
ibadah tertentu yaitu sholat, zikir dan do‟a yang dilakukan
dengan menggunakan bahasa Arab.
3. Bahasa Arab internasional. Bahasa Arab mempunyai peranan
penting dalam dunia internasional, digunakan dalam dunia
pendidikan Islam maupun pendidikan nonIslam, bahkan
menjadi kajian di universitas-universitas besar dunia seperti
Harvard university dan Oxford university. Di samping itu
bahasa Arab juga digunakan dalm forum beskala nternasional
lainnya seperti pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

86 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


4. Peranan bahasa Arab dalam kajian Islam. Bahasa Arab
digunakan dalam berbagai macam kitab-kitab Tafsir, Hadits,
Tassawuf, Fiqih, Hukum dan lain-lain. Sehingga untuk
memahami diperlukan penguasaan bhasa Arab secara
komprehensif agar tidak menimbulkan pemahaman yang salah
(Hudaniati, 2019).
Ada empat indikator moderasi beragama di Indonesia yaitu
(a) komitmen kebangsaan, (b) toleransi, (c) anti-kekerasan, dan
(d) akomodatif terhadap kebudayaan lokal (Balitbang, 2019).
Dengan pemahaman bahasa Arab yang baik,diharapkan seorang
Muslim di Indonesia mendukung moderasi beragama yang
digaungkan oleh Kementerian Agama. Karena moderasi beragama
sesungguhnya adalah gagasan untuk merealisasikan Islam
Rahmatan Lil Alaamiin, Islam membawa barokah perdamaian untuk
seluruh alam.

Daftar Pustaka
Abidat, Abd al-Karim Naufan. “Adillah al-Falasifah „ala Wujud Allah;
Dirasah Naqdiyyah” Jilid 19, Vol. I, Jami„ah Damisyqa:
Majalah, 2003

al-Burusuwiy, Isma„il Haqqiy. 1928. Ruh al-Bayan al-Masyhur bi


Tafsir Haqqiy, Jilid V, Juz XV, Istanbul: Utsmaniyyah

Al-Maktabah al-Syamilah. Software

Al-Nasai, Imam. Tanpa tahun. Sunan al-Nasai

Al-Qardhawy, Yusuf. 1997. Al-khashoish al-ammah fi al-Islam. Kairo:


Maktabah Wahbah

Al-Qardhawy, Yusuf. 1999. Al-Fiqh al-Islamy Baina al-Asholah wa al-


Tajdid. Kairo: Maktabah Wahbah

Harmonisasi Umat Beragama 87


Al-Zuhaily, Wahbah. 1985. Al-Fiqh al-Islamy wa adillatuhu.
Damaskus: Darul Fikr

Andriani, Asna. “Urgensi Pembelajaran Bahasa Arab Dalam


Pendidikan Islam”. Jurnal Ta‟allum Vol. 03, No. 01, Juni
2015

Dawood,M.M.E, S. H dan S.Asofa. 2017. Moderat dan Prinsip


Kemudahan. Yogyakarta: Idea Press

Hudaniati, Nur. “Urgensi Bahasa Arab” Jurnal Bahasa Arab


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sorong. Vol 1 Tahun
2019

Ma‟arif, A. Samsul dan Muhammad Rifqi Junaidi. 2018. Bahasa


Arab Untuk Ekonomi Islam. Malang: UIN Maliki Press

Yusuf, Achmad. “Moderasi Islam Dalam Dimensi Trilogi Islam”


Jurnal Al Murabbi Volume 3 Juni 2018

88 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Biografi Penulis

M. RIFQI JUNAIDI, Pria kelahiran


Pasuruan, 18 September 1990 ini
merupakan anak kedua dari empat
bersaudara. Menamatkan pendidikan
setara SMP di Mts Ma‟arif Sukorejo
Pasuruan, kemudian melanjutkan
kejenjang SMA ditempat yang sama
yakni di Madrasah Aliyah Ma‟arif
Sukorejo dan lulus pada tahun 2008.
Selama masa studi formalnya di
jenjang SMP dan SMA ia sembari
belajar di Pondok Pesantren Al
Hidayah Sukorejo Pasuruan yang
diasuh oleh KH. Izuddin Muslich.
Setelah menamatkan studinya Ia melanjutkan di UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang guna memperoleh gelar Sarjana
Pendidikan Bahasa Arab yang Ia dapatkan pada tahun 2012, lalu
kemudian melanjutkan pada jenjang Magister dengan bidang
keilmuan yang sama yang tamat pada tahun 2014.
Selama masa studi di Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang penulis aktif dalam mengikuti beberapa
pelatihan tentang pembelajaran bahasa Arab dengan beberapa
pembicara yang kompeten dalam bidangnya. Beberapa penelitian
dan pengabdian dibidang pengajaran bahasa Arab Ia lakukanan
untuk menunjang kemampuannya dalam mengajar. Penulis juga
menyiapkan Modul ajar bahasa Arab tingkat SMP dengan judul

Harmonisasi Umat Beragama 89


“Nukhibbul Lughoh Al Arobiyah” yang telah digunakan di beberapa
sekolah sebagai bahan ajar mata pelajaran bahasa Arab.
Saat ini Penulis adalah seorang pengajar di Prodi
Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Agama Islam Universitas Islam
Malang, selain menggeluti seputar kajian pengajaran bahasa,
penulis juga giat dalam kajian keagamaan seputar fiqh, tasawuf
dan aswaja.

90 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Moderasi Beragama: Menjaga Toleransi
Antar Umat Beragama di Indonesia

Oleh:
Ahmad Mufit Anwari, M.Pd.
(UIN Sunan Kalijaga)

Pendahuluan
Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk muslim
terbanyak di dunia menjadi sorotan penting dalam hal moderasi
Islam. Moderasi adalah ajaran inti agama Islam. Islam moderat
adalah paham keagamaan yang sangat relevan dalam konteks
keberagaman dalam segala aspek, baik agama, adat istiadat, suku
dan bangsa itu sendiri (Dawing, 2017).
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk,
ditandai dengan banyaknya etnis, suku, agama, bahasa, budaya,
dan-adat istiadat. Untuk persoalan agama, negara Indonesia
bukanlah sebuah negara teokrasi, melainkan secara
konstitusional negara mewajibkan warganya untuk memeluk
satu dari agama-agama yang diakui eksistensinya sebagaimana
tercantum di dalam pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Negara
memberi kebebasan kepada penduduk untuk memilih salah satu
agama yang telah ada di Indonesia yaitu agama Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu.
Kenyataan ini dengan sendirinya memaksa negara untuk terlibat
dalam menata kehidupan beragama.

Harmonisasi Umat Beragama 91


Oleh karena itu pemahaman tentang moderasi beragama
harus dipahami secara kontekstual bukan secara tekstual, artinya
bahwa moderasi dalam beragama di Indonesia bukan Indonesia
yang dimoderatkan, tetapi cara pemahaman dalam beragama
yang harus moderat karena Indonesia memiliki banyaknya kultur,
budaya dan adat-istiadat. Moderasi Islam ini dapat menjawab
berbagai problematika dalam keagamaan dan peradaban global.
Yang tidak kalah penting bahwa muslim moderat mampu
menjawab dengan lantang disertai dengan tindakan damai
dengan kelompok berbasis radikal, ekstrimis dan puritan yang
melakukan segala halnya dengan tindakan kekerasan (Fadl,
2005).
Islam dan umat Islam saat ini paling tidak menghadapi dua
tantangan; Pertama, kecenderungan sebagian kalangan umat
Islam untuk bersikap ekstrem dan ketat dalam memahami teks-
teks keagamaan dan mencoba memaksakan cara tersebut di
tengah masyarakat muslim, bahkan dalam beberapa hal
menggunakan kekerasan; Kedua, kecenderungan lain yang juga
ekstrem dengan bersikap longgar dalam beragama dan tunduk
pada perilaku serta pemikiran negatif yang berasal dari budaya
dan peradaban lain. Dalam upayanya itu mereka mengutip teks-
teks keagamaan (Al-Qur‟an dan Hadis) dan karya-karya ulama
klasik (turats) sebagai landasan dan kerangka pemikiran, tetapi
dengan memahaminya secara tekstual dan terlepas dari konteks
kesejarahan. Sehingga tak ayal mereka seperti generasi yang
terlambat lahir, sebab hidup di tegah masyarakat modern dengan
cara berfikir generasi terdahulu (Hanafi, 2013).
Heterogenitas atau kemajemukan/keberagaman adalah
sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Ia adalah sunnatullah
yang dapat dilihat di alam ini. Allah menciptakan alam ini di atas

92 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


sunnah heterogenitas dalam sebuah kerangka kesatuan. Dalam
kerangka kesatuan manusia, kita melihat bagaimana Allah
menciptakan berbagai suku bangsa. Dalam kerangka kesatuan
suatu bangsa, Allah menciptakan beragam etnis, suku, dan
kelompok. Dalam kerangka kesatuan sebuah bahasa, Allah
menciptakan berbagai dialek. Dalam kerangka kesatuan syari‟at,
Allah menciptakan berbagai mazhab sebagai hasil ijtihad masing-
masing. Dalam kerangka kesatuan umat (ummatan wahidah), Allah
menciptakan berbagai agama. Keberagaman dalam beragama
adalah sunnatullah sehingga keberadaannya tidak bisa dinafikan
begitu saja (Ali, 2010).
Dalam menghadapi masyarakat majemuk, senjata yang
paling ampuh untuk mengatur agar tidak terjadi radikalisme,
bentrokan adalah melalui pendidikan Islam yang moderat dan
inklusif (Alam, 2017). Dalam realitas kehidupan nyata, manusia
tidak dapat menghindarkan diri dari perkara-perkara yang
berseberangan. Karena itu al-Wasathiyyah Islamiyyah mengapresiasi
unsur rabbaniyyah (ketuhanan) dan insaniyyah (kemanusiaan),
mengkombinasi antara maddiyyah (materialisme) dan ruhiyyah
(spiritualisme), menggabungkan antara wahyu (revelation) dan akal
(reason), antara maslahah ammah (al-jamāiyyah) dan maslahah
individu (al-fardiyyah) (Almu‟tasim, 2019).
Penelitian ini bertujuan untuk menjadikan keberagaman
agama sebagai aset yang penting bagi negara Indonesia, yaitu
bagaimana cara moderat yang ditawarkan oleh Islam dapat
menjadi pemersatu bagi Indonesia. Jadi dalam pemahaman
beragama kita harus memiliki rasa toleransi yang tinggi, sehingga
tidak mudah untuk mengkafirkan atau megolok-olok agama lain.
Karena kita hidup di negara Indonesia ini memiliki macam-
macam agama, dalam istilah Islam ada agama samawi yaitu agama

Harmonisasi Umat Beragama 93


yang turun dari langit, dan agama ardi yaitu agama yang ada
dibumi atau sudah kita kenal dengan agama nenek moyang kita.

Menjaga Toleransi Antarumat Beragama di Indonesia


Menurut Webster‟s New American Dictionary arti tolerance
adalah liberty toward the opinions of others, patience with others yang
kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia artinya adalah
memberi kebebasan (membiarkan) pendapat orang lain, dan
berlaku sabar menghadapi orang lain (Ali, 1986). Jadi toleransi
adalah sikap lapang dada terhadap prinsip orang lain, tidak
berarti seseorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip
yang dianutnya melainkan harus tercermin sikap yang kuat atau
istiqamah untuk memegangi keyakinan atau pendapatnya sendiri.
Dengan adanya toleransi maka akan dapat melestarikan
persatuan dan kesatuan bangsa, mendukung dan menyukseskan
pembangunan, serta menghilangkan kesenjangan. Hubungan
antar umat beragama didasarkan pada prinsip persaudaraan yang
baik, bekerjasama untuk menghadapi musuh dan membela
golongan yang menderita. Prinsip mengenai toleransi antar umat
beragama yaitu: 1) tidak boleh ada paksaan dalam beragama baik
paksaan itu berupa halus maupun dilakukan secara kasar; 2)
manusia berhak untuk memilih dan memeluk agama yang
diyakininya dan beribadat menurut keyakinan itu; 3) tidak akan
berguna memaksa seseorang agar mengikuti suatu keyakinan
tertentu ; dan 4) Tuhan Yang Maha Esa tidak melarang hidup
bermasyarakat dengan yang tidak sefaham atau tidak seagama,
dengan harapan menghindari sikap saling bermusuhan ( Ali,
1986).
Negara berperan sebagai penata kehidupan nasional yang
harmonis di atas pluralitas agama-agama yang ada, sementara

94 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


tokoh agama berperan sebagai penyiar ajaran yang bijak dan
sinergis sehingga misi agama sebagai pencipta perdamaian dapat
terasa bagi kehidupan bernegara khususnya dalam hal
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Citra positif
agama melalui perilaku umat beragama yang toleran dan bijak
akan turut menentukan terhadap citra positif negara (Ihsan,
2009).
Menurut Quraish Shihab melihat bahwa dalam moderasi
(wasathiyyah) terdapat pilar-pilar penting yakni (Zamimah, 2018):
Pertama, pilar keadilan, pilar ini sangat utama, beberapa
makna keadilan yang dipaparkan adalah: pertama, adil dalam arti
“sama” yakni persamaan dalam hak. Seseorang yang berjalan
lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama,
bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang menjadikan
seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang
berselisih. Adil juga berarti penempatan sesuatu pada tempat
yang semestinya. Ini mengantar pada persamaan, walau dalam
ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Adil adalah memberikan
kepada pemilik hak-haknya melalui jalan yang terdekat. Ini
bukan menuntut seseorang memberikan haknya kepada pihak
lain tanpa menunda-nunda. Adil juga berarti moderasi “tidak
mengurangi tidak juga melebihkan”.
Kedua, pilar keseimbangan. Menurut Quraish Shihab,
keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di
dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan
tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap
bagian. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok itu dapat
bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya.
Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat
bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian

Harmonisasi Umat Beragama 95


berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya
ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.
Ketiga, pilar toleransi. Quraish Shihab memaparkan bahwa
toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau
pengurangan yang masih bisa diterima. Toleransi adalah
penyimpangan yang tadinya harus dilakukan menjadi tidak
dilakukan, singkatnya adalah penyimpangan yang dapat
dibenarkan.
Dalam konteks Indonesia, Islam Moderat yang
mengimplementasikan Ummatan Wasathan terdapat pada dua
golongan yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Keduanya mencerminkan ajaran Ahlussunnah wa al-Jama‟ah
yang mengakui toleransi serta kedamaian dalam berdakwah
(Hilmy, 2012).
Sikap moderasi NU pada dasarnya tidak terlepas dari
akidah Ahlusunnah wa al-Jama'ah (Aswaja) yang dapat digolongkan
paham moderat. Dalam Anggaran Dasar NU dikatakan, bahwa
NU sebagai Jam‟iyah Diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut
paham Ahlussunah wa al-Jama‟ah dengan mengakui mazhab empat,
yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Penjabaran secara
terperinci, bahwa dalam bidang akidah, NU mengikuti paham
Ahlussunah wa al-Jama‟ah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-
Asy'ari, dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi. Dalam bidang fiqih,
NU mengikuti jalan pendekatan (al-mazhab) dari Mazhab Abu
Hanifah Al-Nu'man, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad
ibn Idris Al-Syafi'i dan Ahmad ibn Hanbali. Dalam bidang
tasawuf mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Bagdadi dan
Imam al-Ghazali, serta imam-imam yang lain (Qomar, 2002).
Menurut Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB),
ruang-lingkup tasāmuḥ (toleransi), adalah:

96 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


1. Mengakui-hak orang-lain
Maksudnya-ialah suatu sikap-mental yang mengakui-
hak setiap orang didalam-menentukan sikap-atau tingkah
laku-dan nasibnya-masing-masing, tentu saja-sikap atau
perilaku-yang dijalankan-itu tidak melanggar hak-orang lain.

2. Menghormati-keyakinan orang-lain
Keyakinan seseorang ini biasanya berdasarkan
kepercayaan, yang telah tertanam-dalam hati dan-dikuatkan
dengan-landasan tertentu, baik-yang berupa-wahyu maupun-
pemikiran yang-rasional, karena itu-keyakinan seseorang
tidak-akan mudah untuk dirubah-atau dipengaruhi. Atas
kenyataan tersebut, perlu adanya kesadaran untuk-
menghormati keyakinan-orang lain.
3. Agree In-Disagrement
“Agree-In Disagrement” (setuju dalam-perbedaan) adalah
prinsip-yang selalu didengungkan-oleh mantan-Menteri
Agama-Prof. Dr. H. -Mukti Ali-dengan maksud bahwa-
perbedaan tidak-harus ada-permusuhan karena-perbedaan
selalu ada-dimanapun, maka-dengan perbedaan-itu
seseorang-harus menyadari adanya-keanekaragaman-
kehidupan ini.
4. Saling-Mengerti
Ini merupakan-salah satu unsur-toleransi yang paling-
penting, sebab dengan tidak-adanya saling pengertian-ini
tentu tidak-akan terwujud-toleransi.
5. Kesadaran dan-kejujuran
Menyangkut-sikap, jiwa-dan kesadaran-batin seseorang
yang sekaligus juga adanya kejujuran dalam bersikap,
sehingga tidak terjadi pertentangan antara sikap yang-
dilakukan dengan apa yang terdapat-dalam batinnya. (FKUB,
2009).

Harmonisasi Umat Beragama 97


Daftar Pustaka
Ali, Mohammad Daud, 1986. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum,
Sosial dan Politik. Jakarta: CV Wirabuana.

Ali, Z, 2010. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Almu‟tasim, A, 2019. Berkaca NU dan Muhammadiyah dalam


Mewujudkan Nilai-Nilai Moderasi Islam di Indonesia.
TARBIYA ISLAMIA: Jurnal Pendidikan Dan Keislaman, 8
(2), 199–212.

Dawing, D, 2017. MENGUSUNG MODERASI ISLAM DI


TENGAH MASYARAKAT MULTIKULTURAL.
Rausyan Fikr: Jurnal Studi Ilmu Ushuluddin Dan Filsafat,
13 (2), 225–255.

Fadl, K. A. El, 2005. Selamatkan Islam dari Muslim Purita. H.


Mustofa, Trans. Jakarta: Serambi.

Hanafi, M, 2013. Moderasi Islam. Ciputat: Pusat Studi Ilmu al-


Qur‟an.

Hilmy, M, 2012. Quo-Vadis Islam Moderat Indonesia. Jurnal


Miqot, 36 (2).

Ihsan, Bakir, 2009. Menebar Toleransi Menyemai Harmoni.


Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Qomar, M, 2002. NU Liberal Dari Tradisionalisme Ahlusunnah


ke Universalisme Islam. Bandung: Mizan.

Tim-Penulis FKUB, 2009. Kapita Selekta-Kerukunan Umat-Beragama,


Semarang: -Forum Kerukunan Umat-Beragama FKUB.

Zamimah, I, 2018. Moderatisme Islam dalam Konteks


Keindonesiaan. Al-Fanar, 1 (1), 75– 90.

98 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Biografi Penulis

Ahmad Mufit Anwari, lahir di desa


Mulyorejo II, 10 Maret 1992, anak dari
pasangan Bapak Tukijo dan Ibu Siti
Aminah. Anak kedua dari tiga
bersaudara (1) Siti Maysaroh, (2)
Ahmad Mufit Anwari, (3) Arif Riyanto.
Tinggal di desa Mulyorejo II,
kecamatan Bunga Mayang, Kabupaten
Lampung Utara, Propinsi Lampung. Pendidikan Formal diawali
dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Mulyorejo II Bunga Mayang
Lampung Utara, (1998-2004). Kemudian melanjutkan ke Sekolah
Menengah Pertama (SMP) N 1 Bunga Mayang Lampung Utara,
(2004-2007). Setelahnya meneruskan pendidikan di Sekolah
Menengah Atas (SMA) N Bakti Mulya Bunga Mayang Lampung
Utara, (2007-2010). Menempuh pendidikan Strata Satu (S1) di
IAIN Raden Intan Lampung pada jurusan Pendidikan Agama
Islam (PAI), (2010-2014). Melanjutkan pendidikan Strata dua (S2)

Harmonisasi Umat Beragama 99


di Universitas Islam Indonesia pada program Megister Studi
Islam konsentrasi Pendidikan Islam, (2015-2017).
Saat ini penulis berdomisili di Yogyakarta, sedang nyantri
di pondok pesantren Al-Kandiyas Krapayak Yogyakarta pada
tahun 2015 hingga sekarang. Kemudian pada tahun 2019
mendaftar sebagai mahasiswa doktoral UIN Sunan Kalijaga
Yoyakarta, konsentrasi Kependidikan Islam. Adapun karya
ilmiah dalam bentuk buku yang pernah dipublikasikan yaitu
tentang; Potret Pendidikan Karakter di Pesantren; Aplikasi
Model Keteladanan dan Pembiasaan dalam Ruang Publik, (2020);
2) Politik dan Kebijakan Kementrian Agama (Upaya Membangun
Professionalisme Guru dan Dosen) (2020). Penulis bisa disapa
melalui; No Hp: 08972095098 atau email:
mufitanwari5@gmail.com

100 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Pendidikan Moderasi Beragama Untuk
Generasi Milenial

Oleh:
Mochamad Fadlani Salam, S.Pd.I., M.Pd.
(Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah
Bandung)

Presiden Jokowi pada Rabu tanggal 23 Desember 2020 telah resmi


melantik Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama
menggantikan Fachrul Razi yang menjabat sejak Oktober 2019
(Fitria, 2020), beberapa hari sebelum digantikan, Fachrul Razi
mengajak kaum muda dan milenial Indonesia ikut terlibat aktif
dalam proses penguatan moderasi beragama. Moderasi beragama
kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pembangunan
bangsa Indonesia. Ke depan, pembangunan tidak hanya
bertumpu pada kemajuan teknologi, infrastruktur, tetapi juga
dalam bidang keagamaan yang membawa kesejukan dan
kedamaian, ujar Menteri Agama (Menag) saat membuka
Webinar Nasional dengan tema “Pendidikan Toleransi dalam
Rangka Pencegahan Gerakan Terorisme dan Radikalisme Untuk
Generasi Milenial” (Endot, 2020).
Sudah 74 tahun lamanya Kementrian Agama menjadi
sebuah realitas politik yang tak terbantahkan. Artinya,

Harmonisasi Umat Beragama 101


Kementerian Agama selalu hadir dalam setiap Kabinet
Pemerintahan Republik Indonesia karena memang diperlukan
untuk melayani kepentingan umat beragama di Indonesia dan
siapapun Menteri Agama yang menjabat diharapkan untuk selalu
dapat menata akhlak serta moral anak bangsa, sejatinya
Kementerian Agama tampil sebagai role model bagi seluruh umat
beragama, terlebih lagi dalam upaya meningkatkan moderasi
beragama, yaitu menciptakan iklim keagamaan yang toleran,
moderat, damai, dan inklusif.
Menurut Hasanuddin, diantara berbagai masalah yang
menggerogoti bangsa Indonesia dalam konteks beragama, sampai
saat ini, kita berhadapan dengan setidaknya ada lima pokok
masalah yang harus dikaji lebih lanjut. Pertama, masih rendahnya
tingkat pendidikan umat beragama sehingga cenderung
mengembangkan cara hidup beragama yang cenderung tekstual,
ekskusif, mudah terprovokasi untuk bersikap intoleran, bahkan
mengarah ke radikalisme agama. Kedua, belum tercapainya
kesepahaman tentang definisi agama atau kepercayaan, bahkan
soal ajaran agama masing-masing. Sebagai misal, di kalangan
umat Islam sendiri, belum cukup kesepahaman mengenai manhaj
yaitu metodologi beragama yang meliputi aqidah, akhlak,
muamalah dan lain-lainnya. Akibatnya, masih ada umat Islam
yang saling menafikan satu sama lainnya. Ketiga, pendidikan dan
diskusi mengenai keberagaman yang belum intensif sehingga
masih cukup banyak warga bangsa yang belum dapat menerima
orang lain dengan latar belakang suku, ras/etnik, ataupun
agama/keyakinan yang berbeda. Keempat, belum seragamnya
perlakuan para pejabat publik, dari tingkat pusat hingga daerah
dalam menghadapi keberadaan dan melakukan pelayanan
terhadap, keberadaan kelompok yang berbeda agama dan

102 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


keyakinan. Dan, kelima, semakin maraknya ujaran yang bernuansa
kebencian dan fitnah, serta berita bohong (hoaks) mengenai
agama yang beredar di media sosial (Hasanuddin, 2021).
Oleh karena itu kita mengharapkan, pertama, supaya
Kemenag, mampu menjalankan tugas pokok dan fungsi
sebagaimana diatur oleh Pasal 11 Undang-Undang No. 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara dan Peraturan Presiden RI No.
83 tentang Kementerian Agama, secara profesional. Kemenag juga
perlu terus menguatkan kampanye atau kontra-narasi terhadap
gejala radikalisme. Salah satu caranya adalah dengan bekerjasama
dengan berbagai perguruan tinggi memproduksi kajian-kajian
yang moderat dan inklusif dalam sebuah rumah moderasi. Upaya
ini harus dapat dijalankan secara berkelanjutan, berlangsung
dalam jangka panjang dan harus menyentuh seluruh civitas
akademika. Kemenag hendaknya juga meningkatkan koordinasi
yang lebih intensif dengan Kementerian Telekomunikasi dan
Informatika (Kominfo) untuk mencegah dan meredam konten
bernuansa fitnah, ujaran kebencian dan berita kebohongan
menyangkut agama yang diproduksi dan dibagikan melalui media
sosial (Hasanuddin, 2021).
Dari paparan diatas, menarik untuk kita cermati terkait
dengan Pendidikan Keberagamaan dalam kaitannya dengan
perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan yang mana
sebagian besar civitas akademiknya adalah generasi milenial,
generasi yang tumbuh pada era internet booming, dan juga generasi
yang sangat akrab dengan penggunaan media sosial. Generasi
milenial saat ini seringkali kita jumpai dalam percakapan-
percakapan, tidak hanya di ruang akademik, tapi juga di ruang-
ruang publik.

Harmonisasi Umat Beragama 103


Setelah perang dunia ke 2, kelompok demografis
dibedakan menjadi empat generasi yaitu generasi baby boomer,
generasi X (Gen-Xer), geneasi millennial dan generasi Z. Generasi
baby boomer adalah generasi yang lahir setelah perang dunia kedua
(saat ini berusai 51 hingga 70 tahun). Disebut generasi baby boomer
karena di era tersebut kelahiran bayi sangat tinggi. Generasi X
adalah generasi yang lahir pada tahun 1965 hingga 1980 (saat ini
berusai 35 hingga 50 tahun). Generasi millennial adalah generasi
yang lahir antara tahun 1981-2000, atau yang saat ini berusia 15
tahun hingga 34 tahun (Rusdianto dan Rukmina, 2019).
Pada tahun 2010, Pew Research Center merilis laporan riset
dengan judul Millennials: A Potrait of Generation Next. Berdasarkan
penelitian-penelitian itu terdapat penjelasan terkait karakteristik
generasi milenial, yaitu: Pertama, Milenial lebih percaya User
Generated Content (UGC) daripada informasi searah. Kedua,
Milenial lebih memilih ponsel disbanding TV. Ketiga, Milenial
wajib punya media sosial. Keempat, Milenial kurang suka
membaca secara konvensional. Kelima, Milenial lebih tau
teknologi dibanding orangtua mereka. Keenam, Milenial
cenderung tidak loyal namun bekerja efektif, dan ketujuh, Milenial
mulai banyak melakukann transaksi secara cashless (Mulia, 2018).
Karakteristik-karakteristik tersebut menurut penulis tentunya
masih relevan pada saat ini.
Disamping itu, infrastruktur keagamaan mengalami
perkembangan, seiring perkembanagn zaman, berdirinya
perguruan tinggi memiliki peran diantaranya menghasilkan para
ahli agama. Misalnya, dalam institusi Pendidikan Tinggi Islam
terdapat Fakultas Ushuluddin yang berusaha menghasilkan
sarjana/ulama yang menguasai ilmu-ilmu pokok agama

104 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


(ushuluddin) Tafsir Hadits, Aqidah Filsafat, Tasawuf,
Perbandingan Agama, Sosiologi Agama, dan Pemikiran Politik
Islam. Realitas ini menyerupai proses di pesantren, dalam arti,
perguruan tinggi pun tidak mudah dan tidak sebentar, bahkan
juga memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk mendalami ilmu
ushuluddin ini. Melalui proses tersebut, dalam mendapatkan
pengetahuan dan pemahaman disertai dengan pengalaman yang
memadai, maka ekspresi keberislaman pun lebih komprehensif,
mendalam, holistik, dan mampu dipertanggungjawabkan baik
secara akademik maupun secara sosial.
Namun di era digital, proses keberagamaan generasi
milenial bukan hanya dipengaruhi oleh keluarga, lembaga
pendidikan, lingkungan pertemanan dan organisasi yang diikuti,
tetapi media sosial juga memberi kontribusi bagi pembelajaran
dan ekspresi keberislaman kaum muda (Syuhada, 2017). Melalui
media juga seseorang bisa berbagi informasi dan pengetahuan
dengan bebas. Kondisi yang demikian memberi ruang kepada
siapapun untuk (lebih tepatnya dianggap ahli) dalam bidang
apapun hanya dengan legitimasi jumlah pengikut, penyuka, dan
pembagi konten-konten yang diunggah melalui media sosial.
(Rusdianto dan Rukmina, 2019).
Setidaknya, terdapat tiga pola generasi milenial dalam
belajar dan mengekspresikan Islam melalui internet, yaitu praktis,
instan, dan insidental. Praktis ketika yang dipelajari melalui
internet hanya sebatas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang ingin diketahui jawabannya pada saat itu. Instan, yaitu
prosesnya tidak melalui jenjang secara sistematis. Insidental yaitu
proses belajar dan ekspresi disesuaikan dengan insiden viral yang
sedang diikutinya. Fenomena inilah yang menyebabkan peran
keluarga, lembaga pendidikan dan organisasi keislaman yang
cenderung formal semakin berkurang dan tak disukai oleh

Harmonisasi Umat Beragama 105


generasi milenial. Lembaga pendidikan sebagai wadah
transformasi pengetahuan digantikan oleh kehadiran media
informasi digital. Dalam konteks keberagamaan dampaknya
berupa pemahaman yang tidak mondial, sehingga generasi
milenial ini rawan terjebak pada arogansi religiusitas atau
keberagaman yang arogan, cenderung menyukai dan menerima
apa yang sesuai dengan perasaan tanpa peran pikiran/nalar,
ragam ekspresi hidupnya akan cenderung praktis emosional.
Ekspresi keberislaman generasi internet cenderung terpolarisasi
berdasar emosi kelompok, dan juga perasaan pribadi lebih
dominan dalam membentuk opini publik, menjadikan generasi
milenial ini rawan mengabaikan fakta-fakta objektif, ilmiah, dan
nalar argumentatif dan cenderung parsial.
Hal rawan lainnya adalah akan adanya sikap dan perilaku
intoleran dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Masih
terdapat kantong-kantong intoleransi, kerawanan konflik
komunal, dan elemen radikal, yang harus terus diperbaiki.
Termasuk di dalamnya adalah masalah intoleransi beragama atau
dalam aspek yang lebih luas, keharmonisan atau kerukunan
hidup beragama (Yedi Purwanto dkk, 2019). Sejumlah penelitian
dan kajian menunjukkan masih adanya gejala intoleransi di
masyarakat, seperti yang terjadi di kalangan mahasiswa dan
pelajar. Misalnya hasil survei Lingkaran Survei Indonesia yang
mengemukakan bahwa sebanyak 31% mahasiswa tidak toleran
(Ma‟arif, 2019).
Fanani menyebutkan bahwa penyebab lain intoleransi
pada anak muda adalah sekolah yang kurang melakukan kontrol
terhadap paham keagamaan yang berkembang di kalangan siswa.
Sekolah menjadi ruang yang terbuka bagi diseminasi paham apa
saja. Karena pihak sekolah terlalu terbuka, maka kelompok
radikalisme keagamaan memanfaatkan ruang terbuka ini untuk

106 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


masuk secara aktif mengampanyekan pahamnya dan memperluas
jaringannya. Kelompok-kelompok keagamaan yang masuk mulai
dari yang ekstrem hingga menghujat terhadap negara dan ajakan
untuk mendirikan negara Islam, hingga kelompok Islamis yang
ingin memperjuangkan penegakan syariat Islam (Fanani, 2013).
Akar-akar radikalisme di lembaga pendidikan akan sangat
mungkin muncul karena sekolah atau perguruan tinggi
merupakan arena yang sangat potensial. Lembaga pendidikan
sebagai arena akan menemukan titik perkembangannya ketika di
sana didapatkan adanya (modal sosial) seperti suntikan dari para
agency untuk mendapatkan pemahaman keagamaan yang radikal
itu sendiri.
Maka, sangat penting sekali untuk membekali para
generasi milenial ini, terlebih lagi bagi mereka yang berada di
lingkungan lembaga pendidkan, mereka adalah para generasi
pemimpin bangsa, harus mempunyai pemahaman keagamaan
yang damai, toleran, dan menghargai keragaman, karena
terjadinya suatu konflik bernuasa agama disebabkan oleh adanya
perbedaan pandangan yang tidak disertai dengan sikap moderat
atau moderasi.
Oleh sebab itu, pendidikan moderasi beragama untuk
generasi milenial ini harus dimulai dengan rasa persaudaraan
sebagai umat beragama. Setelah itu, rasa persaudaraan sebagai
bangsa dan rasa persaudaraan sebagai sesama manusia. Dan
apabila kita berbicara tentang moderasi beragama, tentu lebih
dahulu kita berbicara tentang moderasi antar Islam. Bicara
tentang ukhuwah islamiyah, bicara tentang ukhuwah wathoniah, dan
juga kita bicara tentang ukhuwah insaniah, gagasan tentang
moderasi harus bisa diaplikasikan dalam tindakan para generasi
milenial.

Harmonisasi Umat Beragama 107


Maka dengan kata lain, mesti ada proses internalisasi
pendidikan moderasi beragama terhadap generasi milenial, baik
yang ada di lembaga pendidikan maupun secara umum.
Internalisasi merupakan penghayatan terhadap suatu ajaran,
doktrin atau nilai, sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran
akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap
dan perilaku (Poerwadarminta, 2007). Bagi Lembaga Pendidikan
Islam misalnya, hendaknya kurikulum Pendidkan Agama
Islamnya mengacu pada pengajaran yang bercorak Islam yang
moderat atau Islam Rahmatan Lil‟alamin, bukan ajaran yang
mendoktrin peserta didik menjadi anti toleran dan berpaham
radikal. Setiap kegiatan keagamaannya harus menunjang
karakter peserta didik yang moderat. Sehingga para peserta didik
bisa mengetahui, menghayati dan bahkan mengamalkan nilai-
nilai Islam yang moderat sesuai visi Islam itu sendiri,
sebagaimana yang tertuang dalam Q.S. Al-Anbiya [121] ayat 107,
yang artinya: Tidak Kami utus engkau (Muhammad) melainkan menjadi
(bukti bahwa Islam) sebagai Rahmatan Lil‟alamin.
Pada tataran praksisnya, wujud moderat atau jalan tengah
dalam Islam dapat diklasifikasikan menjadi empat wilayah
pembahasan, yaitu: 1) moderat dalam persoalan akidah; 2)
moderat dalam persoalan ibadah; 3) moderat dalam persoalan
perangai dan budi pekerti; dan 4) moderat dalam persoalan tasyri‟
(pembentukan syariat) (Yasid, 2010).
Adapun yang secara umumnya adalah, bahwa kehadiran
informasi yang melimpah, mengharuskan adanya literasi di
internet atau media sosial yang memadai untuk menguatkan
kemampuan berpikir logis dan kritis agar generasi milenial
mampu membedakan informasi benar atau salah, tidak terjebak
pada ekspresi praktis, instan, dan insidental yang rawan hoax,

108 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


dan tidak terjebak pada emosional yang menyebabkan sesat
dalam berpikir.
Misalnya, lewat media sosial populer yang sering kita
sebut dengan nama facebook. Platform media sosial kedua dengan
pengguna teraktif dan terbanyak setelah youtube (Rulli, 2017).
Para pengguna (user) juga dapat bergabung dalam grup
komunitas sesuai dengan minatnya. Bisa berupa komunitas
warga kota, lingkup kerja atau profesi dan pendidikan.
Dikalangan remaja facebook sangat diminati bahkan membuat
para remaja lupa waktu (Hasnul, 2009).
Menurut Venus, facebook ini dinilai mampu menjadi media
yang tepat dalam mengkampanyekan moderasi beragama.
Kampanye adalah salah satu bentuk komunikasi yang bersifat
verbal dan nonverbal. Artinya pesan-pesan dapat disampaikan
dalam berbagai bentuk, seperti; poster, spanduk, papan reklame,
pidato, dan iklan diskusi (Antar Venus, 2010). Umumnya istilah
kampanye ini lebih bermuatan pada aspek komunikasi politik,
dan banyak muncul menjelang pemilihan umum. Tetapi ada
konsep penting dari kampanye yang dapat digunakan dalam
berbagai aspek komunikasi. Terkait elemen penting yang dapat
mendukung kampanye moderasi beragama di Facebook, yang
meliputi (Venus, 2004):
1. The Intended Effect.
Sebelum menentukan elemen pendukung kampanye,
efek yang diinginkan harus jelas, sehingga pencapainnya detil
dan signifikan.
2. Competing Communication
Perlu memperkirakan potensi-potensi pengganggu
jalannya kampanye, sehingga kampanye dapat terlaksana
dengan efektif.

Harmonisasi Umat Beragama 109


3. The Communication Objective
Perlu menetapkan tujuan jangka panjang agar
kampanye terarah dan terukur.
4. Target Population and The Receiving Group
5. Target mengacu pada seluruh kelompok yang dilayani dalam
program yang dirancang. Target populasi bersifat general
denga berbagai karakteristik.

6. The Channel
Saluran komunikasi yang digunakan harus terkait
dengan pesan dan keseharian kelompok penerima. Saluran
yang akrab dan menyentuh kelompok penerima secara
interpersonal.
7. The Message
Kampanye harus menyajikan pesan yang edukatif,
informatif dan mempengaruhi perilaku sasaran.
Adapun jika dilihat dari bentuknya, Widjaja membagi
bentuk pesan menjadi tiga yaitu (Widajaja, 1988);
1. Pesan Informatif.
Pesan ini berisi keterangan fakta dan data, atas dasar itu
komunikan mengambil keputusan dan kesimpulan sendiri.
Pesan informatif disaat tertentu menjadi sangat penting dan
berarti.
2. Pesan Persuasif.
Pesan ini berisi bujukan dan rayuan yang
membangkitkan pengertian dan kesadaran manusia bahwa
apa yang disampaikan akan merubah sikap seseorang.
3. Pesan Koersif.
Pesan ini bersifat memaksa dan berbentuk perintah
dengan sanksi-sanksi. Pesan ini memberikan penekanan yang

110 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


menumbuhkan tekanan batin dan ketakutan di kalangan
publik.
Elemen kampanye maupun bentuk pesan-pesan yang
dijelaskan diatas, tentunya kita bisa maksimalkan penggunaanya
untuk konten-konten tentang pendidikan moderasi beragama
bagi generasi milenial yang dapat terus kita kembangkan.
Gagasan besar moderasi beragama di Indonesia, selain
menjadi tugas besar pemerintah lewat kementrian agamanya,
juga harus disadari oleh seluruh umat beragama di Indonesia
tentunya. Seluruh umat beragama juga memiliki peran yang sama
untuk mengkampanyekan moderasi beragama kepada generasi
milenial, dari mulai stakeholder atau para sivitas akademik di
lembaga-lembaga pendidikan, maupun para penggiat media
sosial di media apapun.

Daftar Pustaka
Arifin, Hasnul. (2009). Nongkrong Asyik di Internet Dengan Facebook.
Jakarta: Buku Kita.

A.W. Widajaja. (1988). Ilmu Komunikasi Pengantar Studi. Jakarta:


Bina Aksara.

Brilliantono, Endot. Jurnal-idn.com (2020, 15 Desember). Menag


Ajak Kaum Milenial Ikut Penguatan Moderasi Beragama.
Diakses pada 08 Januari 2021, dari: https://www.jurnal-
idn.com/menag-ajak-kaum-milenial-ikut-penguatan-
moderasi-beragama/.

Chusna Farisa, Fitria. Kompas.com. (2020, 23 Desember). Pagi Ini,


Jokowi Dijadwalkan Lantik 6 Menteri Baru Hasil Reshuffle.
Diakses pada 08 Januari 2021, dari:
https://nasional.kompas.com/read/2020/12/23/07253831/pa
gi-ini-jokowi-dijadwalkan-lantik-6menteri-baru-hasil-
reshuffle?page=all.

Harmonisasi Umat Beragama 111


Fuad Fanani, Ahmad. (2013). Fenomena Radikalisme di Kalangan
Kaum Muda, Jurnal Maarif: Arus Pemikirian Islam dan Sosial.
Vol.8 No.1.

Maarif, M.A., 2019. Internalisasi Nilai Multikulutural Dalam


Mengembangkan Sikap Toleransi (Studi Di Di Pesantren
Mahasiswa Universitas Islam Malang). Nazhruna: Jurnal
Pendidikan Islam, 2 (1).

Mulia, M. (2018). Identitas dan Globalisasi; Menakar Kesadaran Budaya,


Politik, Ekonomi, dan Teknologi Masyarakat. Salatiga

Nasrullah, Rulli. (2017). Etnografi Virtual. Bandung: Simbiosa.

Poerwadarminta,W.J.S. (2009). Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi


Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Purwanto, Yedi. Qowaid. Lisa‟diyah Ma‟rifataini. Ridwan Fauzi.


(2019). Internalisasi Nilai Moderasi Melalui Pendidikan
Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum. EDUKASI: Jurnal
Penelitian Pendidikan Agama Dan Keagamaan, 17 (2).

Rusdianto dan Rukmina Gonibala. (2019). Pola Keberislaman


Generasi Milenial Manado di Era Post-Truth. Fikrah; Jurnal
Ilmi Aqidah dan Studi Keislaman, Vol.7 No.1.

Syuhada, K.D. (2017). Etika Media di Era Post-Truth. Jurnal


Komunikasi Indonesia, V No.1.

Venus, Antar. (2010). Manajemen Kampanye. Bandung: Simbiosa


Rekatama Media.

Venus, Antar. (2004). Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan


Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung:
Simbiosa Rekatama.

112 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Wahid, Hasanuddin. Kompas.com. (2020, 08 Desember).
Berharap pada Kementrian Agama. Diakses pada 08 Januari
2021, dari:
https://nasional.kompas.com/read/2021/01/08/16551131/ber
harap-pada-kementerian-
agama?utm_source=dlvr.it&utm_medium=twitter.

Yasid, A. (2010). Membangun Islam Tengah. Yogyakarta: Pustaka


Pesantren.

Harmonisasi Umat Beragama 113


Biografi Penulis

Penulis bernama lengkap Mochamad


Fadlani Salam, lahir di Bandung
Provinsi Jawa Barat pada tanggal 29
Maret 1986 merupakan anak kedua dari
empat bersaudara. Penulis lahir dari
pasangan suami istri Bapak Zulkifli
Burhanudin Salam dan Ibu
Komalaningsih. Penulis sekarang
bertempat tinggal di RT.06 RW.11 Komplek Pasir Jati, Jl. Jatiluhur
VI Blok D230 Desa Jatiendah Kecamatan Cilengkrang Kabupaten
Bandung. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah
Dasar Negeri Gatot Subroto Bandung lulus pada tahun 2000, lalu
melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di SLTP Negeri 27
Bandung dan lulus pada tahun 2003, melanjutkan pendidikan di
SMK Putra Pajajaran Bandung lulus pada tahun 2006, kemudian
melanjutkan jenjang pendidikan S-1 di Sekolah Tinggi Agama
Islam Muhammadiyah (STAIM) Bandung dan lulus pada tahun
2015, dan melanjutkan jenjang Pendidikan S-2 di Universitas
Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung dan menjadi
asisten Dosen Pendidikan Agama Islam di Universitas

114 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Muhammadiyah Bandung pada tahun 2016. Saat ini menjadi
Dosen Tetap Pendidikan Agama Islam di Universitas
Muhammadiyah Bandung dari tahun 2018.

Harmonisasi Umat Beragama 115


Pentingnya Semangat Toleransi Dalam
Masyarakat Plural

Oleh:
Nur Wahyuni, M.Pd.
(STKIP Yapis Dompu)

Sikap Toleransi
“Toleransi berasal dari bahasa latin, yaitu tolerantia, berarti
kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran”
(Halim, 2008). Toleransi secara luas adalah suatu perilaku atau
sikap manusia yang tidak menyimpang dari aturan, dimana
seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang
dilakukan orang lain. Secara umum istilah toleransi mengacu
pada sikap terbuka, lapang dada, suka rela dan kelembutan.
Toleransi merupakan sikap manusia untuk saling menghargai
dan menghormati baik antar individu maupun kelompok.
Indonesia adalah salah satu negara yang selalu menyunyung
tinggi sikap toleransi bahkan hingga masuk ke dalam hukum
negara. Hal ini bisa terjadi karena Indonesia memiliki beragam
agama, suku dan budaya. Menurut (Michael Walzer, 1997)
toleransi harus didukung oleh wawasan pengetahuan yang luas,
bersikap terbuka, dialog, kebebasan berpikir dan beragama.

116 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Toleransi sama halnya dengan sikap positif, dan menghargai
orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan hak asasi
sebagai manusia.
Di era reformasi seperti sekarang ini, kemajemukan dalam
masyarakat indosenia cenderung menjadi beban daripada modal
bangsa itu sendiri. Hal ini dapat terlihat dari munculnya berbagai
masalah yang sumbernya berbau kemajemukan, khususnya dalam
bidang agama. Kini mulai terjadi kemunduran atas rasa dan
semangat kebersamaan yang sudah dibangun selama ini.
Intoleransi semakin menebal ditandai dengan semakin
meningkatnya rasa ketidak pedulian akan sekitar dan saling
curiga diantara sesama. Kini toleransi sebagai jalan keluar untuk
mengatasi berbagai persoalan yang membuat bangsa ini terpuruk.
Agama bisa menjadi energy positif untuk membangun nilai
toleransi guna mewujudkan Negara yang adil dan sejahtera.
Menurut (Soekanto, 1982) Kadang-kadang toleransi timbul
secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal ini disebabkan
karena adanya watak orang perorangan atau kelompok manusia,
untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu
perselisihan. Dari sejarahnya bangsa Indonesia memang sudah
dikenal sebagai bangsa yang memiliki sikap toleran yang cukup
baik, hal ini bertujuan untuk sedapat mungkin menghindarkan
diri dari perselisihan-perselisihan yang akan muncul dikemudia
waktu. Untuk itu toleransi harus didukung oleh cakrawala
pengetahuan yang luas, bersikap terbuka, dialog, kebebasan
berfikir dan beragama.
Singkatnya sikap toleransi adalah sikap yang baik dan
menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan
asasi sebagai manusia. Terdapat dua model sikap toleransi, yaitu :
1. Toleransi pasif, yakni sikap menerima perbedaan sebagai
sesuatu yang bersifat faktual.

Harmonisasi Umat Beragama 117


2. Toleransi aktif, melibatkan diri dengan yang lain ditengah
perbedaan dan keragaman.
Toleransi yang dimaksud adalah sikap saling menghormati,
saling menghargai, dan saling menerima ditengah keragaman
budaya, suku, agama dan kebebasan berekspresi. Dengan adanya
sikap toleransi, warga suatu komunitas dapat hidup
berdampingan secara damai, rukun, dan bekerja sama dalam
mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi dilingkungannya,
dengan tujuan agar kehidupan beragama dapat terbina harmonis.
Kehidupan bergama dalam masyarakat plural akan terjalin
harmonis bila semua umat yang berbeda agama memiliki sikap
toleransi terhadap satu sama lain. Sejarah mencatat banyak
pertumpahan darah atas nama agama terjadi akibat tidak adanya
kesalah pahaman antara satu sama lain, yang semestinya
terwujud dalam sikap toleransi.

Masyarakat Plural
Plural berasal dari kata pluralisme yang dalam bahasa
Inggris adalah pluralism, yang terdiri dari dua suku kata yaitu
Plural (beragam) dan isme (paham) yang berarti paham atas
keberagaman. Secara luas, pluralisme merupakan pemahaman
yang menghargai adanya perbedaan dalam suatu masyarakat dan
memperbolehkan kelompok yang berbeda tersebut untuk tetap
menjaga keunikan budayanya masing-masing. Seperti halnya
manusia yang beragama secara sosial tidak bisa menafikan bahwa
mereka harus mampu beradaptasi dengan baik bukan hanya
dengan kelompoknya sendiri, tetapi juga dengan kelompok
berbeda agama, suku maupun budaya. Umat beragama harus
mampu memunculkan sikap untuk saling menjaga kestabilan

118 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


sosial sehingga tidak terjadi benturan-benturan ideologi dan fisik
di antara umat manusia.
Semestinya kita harus mampu untuk mulai bergerak agar
bisa menyelamakan bangsa dengan cara kembali kepada nilai-
nilai luhur yang pasti sudah melekat pada sebagian besar dari
masyarakat kita. Tetapi persoalannya yang akan kita hadapi
sekang adalah tidak setiap orang atau kelompok yang mau untuk
mengakui pluralisme dan multikulturalisme. Padahal, menurut
(A‟la, 2008) dengan saling mengenal, kelompok masyarakat yang
plural dapat mengembangkan apresiasi, penghormatan, bahkan
kerjasama antara yang satu dengan yang lain, sedangkan menurut
(Subkhan, 2007) pluralisme tidak semata menunjuk pada
kenyataan tentang adanya kemajemukan.
Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai dimana-
mana. Didalam masyarakat tertentu misalnya ditempat umum
pasti akan selalu kita jumpai dimanapun kita berada. Tapi
seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut
apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan sekitarnya.
Dengan kata lain pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk
agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan persamaan
guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.
Masyarakat kompleks atau masyarakat multikultural
tersusun dari keanekaragaman budaya, masyarakat dan struktur
sosial. Keanekaragaman adalah fakta yang tidak bisa dielakkan
dalam kehidupan kolektif dan tidak bisa diharapkan
eksistensinya atau tidak dapat ditekan tanpa tingkat kekerasan
yang bisa diterima. Terlebih lagi sejak manusia terikat dan
dibentuk oleh kebudayaan, penghormatan diri mereka secara erat
terikat dengan penghormatan pada kebudayaannya.
Penghormatan pada kebudayaan ini menumbuhkan rasa

Harmonisasi Umat Beragama 119


kesetiaan, memberi rasa percaya diri dan keberanian untuk
berinteraksi dengan kebudayaan lain.
Menurut (Intan, 2007) menyatakan pluralisme agama yang
berpondasikan solidaritas individual niscaya membuahkan
beberapa implikasi positif:
1. Pemahaman kemajemukan agama bukan lagi sekedar
“kenyataan”, melainkan menjadi “keharusan” yang tidak dapat
dihilangkan. Pada realitas ini muncul usaha saling
memperhatikan yang lahir dari kesadaran interpendensi. Pada
kondisi ini, agama didorong memberi kontribusi karena
interdependensi agama mensyaratkan ketidakaktifan satu
agama akan berpengaruh kepada hasil-hasil yang akan dicapai.
Jika kesadaran interdependensi agama terus bertumbuh,
partisipasi agama-agama dapat dimaksimalkan.
2. Pluralisme agama berbasis solidaritas intelektual menjunjung
prinsip take and give. Dialog yang baik akan menghasilkan
perubahan kedua belah pihak.
3. Berdasarkan solidaritas intelektual, pluralisme agama
mengharuskan kebebasan beragama bukan sebatas negatif
immunity, bahwa agama harus bebas dari cengkraman sosial-
politik termasuk negara.
4. Pluralisme agama dengan solidaritas intelektual berpotensi
menghasilkan nilai-nilai yang mengandung common good.
Yang dimaksudkan dengan masyarakat plural adalah
masyarakat majemuk yang ditandai dengan adanya beragam suku
bangsa, agama, budaya atau adat istiadat. Kondisi masyarakat
yang demikian diperlukan kerjasama dengan sikap toleransi
dalam menghadapi berbagai tantangan untuk memperkuat
ketahanan sosial suatu komunitas. (Misrawi, 2008)
menyebutkan, ada dua cara pandang tentang toleransi yaitu
konsep yang dilandasi pada otoritas negara (permission conception)
dan konsepsi yang dilandasi pada kultur dan kehendak untuk

120 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain
(respect conception). Pada masyarakat majemuk atau plural, secara
horizontal ditandai dengan adanya kesatuan-kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat, dan
perbedaan kedaerahan, dan sebagainya. Solusi yang ditawarkan,
yaitu dengan pendekatan toleransi sebagai nilai kebijakan dalam
kehidupan bersama.
Masyarakat kompleks atau masyarakat multikultural
tersusun dari keanekaragaman budaya, masyarakat dan struktur
sosial. Keanekaragaman adalah fakta yang tidak bisa dielakkan
dalam kehidupan kolektif dan tidak bisa diharapkan
eksistensinya atau tidak dapat ditekan tanpa tingkat kekerasan
yang bisa diterima. Terlebih lagi sejak manusia terikat dan
dibentuk oleh kebudayaan, penghormatan diri mereka secara erat
terikat dengan peng- hormatan pada kebudayaannya.
Penghormatan pada kebudayaan ini menumbuhkan rasa
kesetiaan, memberi rasa percaya diri dan keberanian untuk
berinteraksi dengan kebu- dayaan lain. Munculnya kesadaran
antar umat beragama yang diwujudkan dalam toleransi bisa
menekan atau meminimalisasi bentrokan di antara mereka.
Toleransi beragama mampu memberikan dukungan bagi
terbentuknya masyarakat madani yang diinspirasi oleh nilai-nilai
supra- natural.

Simpulan
Di era reformasi kemajemukan masyarakat cenderung
menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia. Hal ini terlihat
dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau
kemajemukan, khusuunya bidang agama. Agama yang seharusnya
menjadi solusi atas berbagai masalah sosial, justru memicu

Harmonisasi Umat Beragama 121


timbulnya permasalahan sosial. Hal ini disebabkan kurang
adanya pembahasan tentang tanggung jawab sosial umat
beragama. Karena kini semangat kebersamaan semakin menurun,
dan toleransi semakin menebal ditandai dengan meningkatnya
rasa benci dan saling curiga diantara anak bangsa. Hal ini
disebabkan semua kelompok agama belum yakin bahwa inti
dasar setiap agama adalah toleransi, perdamaian, anti kekerasan.
Kini dengan berkembangnya toleransi, maka terjalinnya
hubungan antar anggota-anggota dari berbagai kelompok, hal ini
dapat menetralisir terjadinya konflik sosial dan tidak khawatir
akan terjadi fanatisme sempit serta sentiment yang bersifat
primordial. Disamping itu, interaksi yang dilakukan dalam
kehidupan bersama mengacu kepada nilai-nilai umum yang
dijunjung oleh semua warga masyrakat plural/majemuk.
Toleransi beragama tidak berarti bahwa seseorang yang
telah mempunyai keyakinan kemudian berpindah atau merubah
keyakinannya untuk mengikuti dan berbaur dengan keyakinan
atau peribadatan agama-agama lain, tidak pula dimaksudkan
untuk mengakui kebenaran semua agama atau kepercayaan,
melainkan bahwa akan tetap pada suatu keyakinan yang diyakini
kebenarannya, serta memandang benar keyakinan orang lain.
Masyarakat multikultural terpola oleh keragaman budaya
termasuk keragaman agama. Di dalam perjalanannya, agama-
agama yang muncul dalam masyarakat multikultural kemudian
dipahami oleh umatnya. Di antara mereka, ada yang
memahaminya secara rasional dan ada pula yang memahaminya
secara irrasional atau mistis.

Daftar Pustaka
A‟la, abd. 2008. “Kebebasan Anarkis”, Kompas.

122 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Halim, Abdul. 2008. “Menggali Oase Toleransi”, Kompas.

Intan, Benyamin F. 2007. “Solidaritas Intelektual”, Kompas.

Misrawi, Zuhairi. 2008. “Toleransi Sebagai Kuasa Nilai”, Kompas.

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV.


Rajawali.

Subkhan, Imam. 2007. Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya,


Yogyakarta: Kansius.

Walzer, Michael. On Toleration Castle Lectures in Ethics, Politics, and


Economics. New York: Yale University Press, 1997.

Harmonisasi Umat Beragama 123


Biografi Penulis

Penulis lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat, 11


Nopember 1990, penulis merupakan Dosen di
STKIP Yapis Dompu dalam bidang ilmu
Pendidikan Bahasa Inggris, penulis
menyelesaikan gelar Sarjana Pendidikan
Bahasa Inggris di Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Mataram (2013), dan gelar Magister Pendidikan di
selesaikan di Universitas Muhammadiyah Surakarta Program
Studi Magister Pengkajian Bahasa (2017).

124 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Penyuluh Agama Hindu Sebagai Agen
Moderasi Beragama

Oleh:
Sayu Kadek Jelantik, M.I.Kom.
(Institut Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram)

Penyuluh Agama Hindu diibaratkan sebagai lampu yang


memberikan penerangan dan pencerahan kepada Umat Hindu
dan juga sebagai fasilitator kebijakan dan aturan dari
kementerian Agama Untuk diterapkan di kehidupan beragama di
Indonesia. Dengan adanya penyuluhan, diharapkan terjadi
peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap kearah yang
lebih baik. Penyuluh Agama Hindu berperan sebagai agen
moderasi beragama. Peran Penyuluh Agama Hindu yaitu
berupaya untuk lebih mengedepankan apa yang disebut dengan
moderasi beragama. Tidak perlu berlebihan dalam memahami
serta mengamalkan ajaran agama. Rangkul dan ajak mereka yang
paham agamanya tidak sesuai dengan ajaran dalam kitab suci.
Kemajemukan dan keberagaman yang ada di Indonesia inilah
yang justru membuat kita harus bersatu dan dijaga
kebersamaannya, penyuluh sebagai agen moderasi beragama di
tengah perubahan kebiasaan kehidupan beragama yang menuju
masa kehidupan digitalisasi.

Harmonisasi Umat Beragama 125


Tugas Penyuluh Agama Hindu sebagai agen moderasi
beragama saat ini dihadapkan pada suatu kondisi masyarakat
yang berubah dengan cepat yang mengarah pada masyarakat
fungsional, masyarakat teknologis, masyarakat teknologi dan
sumber informasi. Terus menerus meningkatkan pengetahuan,
wawasan dan pengembangan diri serta teknik dalam
penyampaian ke masyarakat sehingga ada korelasi faktual
terhadap kondisi dan kebutuhan masyarakat, tantangan para
Penyuluh Agama Hindu sebagai agen moderasi beragama
tidaklah ringan. Tentunya akan melalui proses yang diawali
dengan pembinaan diri pribadi dan keluarga. Setelah itu baru
meningkat pada pembinaan masyarakat. Oleh karena itu,
penyuluh agama Hindu harus bisa menjadi suri teladan yang baik
di masyarakat. Para penyuluh Agama Hindu disamping
memberikan kajian-kajian ilmu dan pemahaman agama, untuk
selalu memberikan pembinaan dalam moderasi beragama.
Penyuluh Agama Hindu harus memposisikan diri ikut ambil
bagian dalam moderasi beragama pada setiap kegiatan
penyuluhannya sebagai agen moderasi beragama mari kita
tingkatkan peran penyuluh agama dalam penguatan nilai-nilai
agama dan moderasi beragama. Penyuluh Agama Hindu memiliki
peran penting dan strategis dalam rangka mendorong
keharmonisan dalam kehidupan beragama di tengah-tengah
masyarakat.
Penyuluh Agama Hindu memiliki tugas yang mulia, hadir
di tengah masyarakat sebagai penyejuk dan pembina bagi
masyarakat baik sebagai Penyuluh Agama PNS maupun non-PNS
di lingkungan Kementerian Agam Hindu. Penyuluhan Agama
Hindu harus mampu meningkat pelayanan dalam pelaksanaan
kegiatan penyuluhan agama, semakin profesionalitas,
pengamalan serta pemahaman ajaran keagamaan di masyarakat
semakin berkualitas, moderasi beragama mampu menempatkan
posisi Penyuluh Agama Hindu sebagai penganyom, penengah,

126 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


serta solusi permasalahan di masyarakat. Penyuluh agama
mempunyai peran strategis, untuk membina dan menyampaikan
kebijakan pemerintah pada masyarakat. Meningkatkan kembali
kesadaran berbangsa bernegara (wawasan kebangsaan),
memahami mengamalkan Pancasila, menyadari bahwa konflik,
pemberontakan, terorisme akan menguntungkan bangsa lain,
berpikir optimis untuk kejayaan masa depan, perkuat empat pilar
Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, Undang-Undang Dasar
1945, Sejarah lahirnya Indonesia (Sumpah pemuda), Visi Misi
Kemenag : moderat, narasi moderasi di berbagai lini (Era Digital),
serta jadikan kita bagian dari solusi masalah bangsa.
keberagamaan (inklusivisme). Baik beragam dalam mazhab
maupun beragam dalam beragama. Perbedaan tidak menghalangi
untuk menjalin kerja sama, dengan asas kemanusiaan (Darlis,
2017).
Penyuluh Agama adalah ujung tombak pemerintah dalam
menyampaikan pesan-pesan agama maupun pesan-pesan
program pemerintah. Peran penyuluh agama dalam masyarakat
sangat penting karena sebagian masyarakat masih memandang
pentingnya sosok ideal sebagai figur atau patron dalam
kehidupan masyarakat, oleh karena itu penyuluh agama memiliki
potensi untuk didudukkan sebagai figur atau tokoh agama di
masyarakat. Menurut teori strukturisasi, eksistensi penyuluh
agama dapat dilihat sebagai agen yang dapat membentuk
struktur dalam masyarakat. Aktifitas para penyuluh agama
melalui praktik atau tindakan yang berulangulang akan menjadi
contoh atau sebagai aktor. Penyuluh agama sebagai agen akan
mengembangkan kebiasaan sehari-hari yang tak hanya
memberikan perasaan aman kepada aktor, tetapi juga
memungkinkan mereka menghadapi kehidupan sosial mereka
secara efisien. Untuk menjalankan fungsi penyuluh agama secara
optimal, maka dalam naskah akademik (Kementerian Agama RI,
2015) disebutkan pokok pokok kemampuan yang diperlukan,

Harmonisasi Umat Beragama 127


yaitu : 1] Kemampuan untuk mengidentifikasi dan memonitor
variabel-variabel dan isu-isu penting bagi vitalitas masyarakat
(sebagaimana fungsi tersebut dilakukan misalnya isu demografis,
ekonomi, pelayanan manusia, lingkungan dan lain-lain) dan
kemampuan untuk menggunakan dan menerapkan variabel-
variabel dalam memprioritaskan program, perencanaan dan
penyerahan atau disebut Proses aksi sosial 2] kesadaran,
komitmen dan kemampuan termasuk rasa memiliki terhadap
berbagai budaya yang berbeda, asumsi-asumsi, norma-norma,
kepercayaan dan nilai-nilai multi-budaya, atau Keanekaragaman
budaya. 3] Kemampuan merencanakan, mendesain, penerapan,
mengevaluasi, menghitung dan menjual program penyuluhan
untuk memperbaiki mutu hidup sasaran penyuluhan atau
Pemograman bidang penyuluhan. 4] Kemampuan untuk
mengenali, memahami, memudahkan peluang dan sumber daya
yang diperlukan sebagai respon terbaik terhadap kebutuhan dari
individu dan masyarakat binaan (Perikatan). 5] Menguasai
keterampilan berkomunikasi baik lisan dan tulisan, penerapan
teknologi dan metode-metode penyuluhan untuk mendukung
program-program penyuluhan dalam memandu perubahan
perilaku kelompok sasaran penyuluhan (Penyampaian
pendidikan dan informasi). 6] Kemampuan interaksi yang efektif
dengan individu dan kelompok binaan yang beragam untuk
mewujudkan kerjasama, membangun jaringan dan sistem
dinamis (Hubungan antara pribadi). 7] Pemahaman sejarah,
filsafat dan karakteristik dari penyuluhan (Pengetahuan tentang
organisasi) 8] Kemampuan untuk mempengaruhi individu dan
kelompokkelompok binaan yang berbeda secara positif, atau
pengelolaan organisasi penyuluh 9] kemampuan untuk
menetapkan struktur, mengorganisir proses, pengembangan, dan
memonitor sumber daya serta memimpin perubahan untuk
memperoleh hasil-hasil penyuluhan secara efektif dan efisien atau
fungsi kepemimpinan. 10] Kemampuan memperagaan perilaku

128 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


yang mencerminkan tingginya tingkat dari kinerja penyuluh,
mencerminkan etika kerja yang kuat, komitmen untuk
pendidikan berkesinambungan sesuai visi, misi dan sasaran
penyuluhan dalam rangka meningkatkan efektifitas individu dan
organisasi (Profesionalisme).
Menurut Fahrudin, 2019, dalam upaya mewujudkan
keharmonisan hidup berbangsa dan beragama, maka
membutuhkan moderasi beragama, yaitu sikap beragama yang
sedang atau di tengah-tengah dan tidak berlebihan. Tidak
mengklaim diri atau kelompoknya yang paling benar, tidak
menggunakan legitimasi teologis yang ekstrem, tidak
menggunakan paksaan apalagi kekerasan, dan netral dan tidak
berafiliasi dengan kepentingan politik atau kekuatan tertentu.
Sikap moderasi tersebut perlu disosialisasikan, dididikkan,
ditumbuh-kembangkan dengan suri teladan para penyuluh
agama. Para penyuluh dapat memposisikan diri ikut ambil bagian
dalam moderasi beragama, yang menghadirkan kedamaian
beragama pada setiap kegiatan penyuluhannya. Bangunan
masyarakat yang toleran, damai perlu dioptimalkan oleh para
penyuluh melalui kegiatan atau tahapan : melakukan
perencanaan kegiatan, mengorganisir kegiatan, melaksanakan
kegiatan serta melakukan monitoring untuk evaluasi program
moderasi beragama. Jadi jelas bahwa moderasi beragama sangat
erat terkait dengan menjaga kebersamaan dengan memiliki sikap
„tenggang rasa‟, sebuah warisan leluhur yang mengajarkan kita
untuk saling memahami satu sama lain yang berbeda dengan kita.
Peran penyuluh agama Penyuluh agama merupakan salah
satu jabatan fungsional di Kementerian Agama Republik
Indonesia. Untuk menumbuhkan motivasi dan melakukan
tindakan-tindakan membangun kesadaran dan sikap moderasi
beragama tersebut, penyuluh agama diharapkan berfungsi
sebagai : 1] informatif dan edukatif; penyuluh agama
memposisikan sebagai juru dakwah yang berkewajiban

Harmonisasi Umat Beragama 129


mendakwahkan ajaran agamanya, menyampaikan penerangan
agama dan mendidik masyarakat dengan sebaik-baiknya sesuai
ajaran agama 2] Fungsi Konsultatif : penyuluh agama
menyediakan dirinya untuk turut memikirkan dan memecah-kan
persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat, baik secara
pribadi, keluarga maupun sebagai masyarakat umum. 3] Fungsi
administratif: penyuluh agama memiliki tugas untuk
merencanakan, melaporkan dan mengevaluasi pelaksanaan
penyuluhan dan bimbingan yang telah dilakukannya (Amirulloh,
2016). Sikap moderasi berupa pengakuan atas keberadaan pihak
lain, pemilikan sikap toleran, penghormatan atas perbedaan
pendapat, dan tidak memaksakan kehendak dengan cara
kekerasan. Diperlukan peran pemerintah, tokoh masyarakat, dan
para penyuluh agama untuk mensosialisasikan, menumbuh-
kembangkan wawasan moderasi beragama terhadap masyarakat
Indonesia untuk terwujudnya keharmonisan dan kedamaian.

Daftar Pustaka

Amirulloh, Mas‟ud. 2018. Strategi Moderasi Antar Umat Beragama.


Jakarta: Kompas.

Darlis. (2017). Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat


Multikultural. Rausyan Fikr, Vol.13 No. 2 Desember, 225-255.

Fahrudin. (2019). Pentingnya Moderasi Beragama bagi Penyuluh Agama.


Jakarta: Republika.

Kementrian Agama RI. (2015). Naskah Akademik Bagi Penyuluh


Agama Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Jakarta.

Mas‟ud, A. (2018). Strategi Moderasi Antarumat Beragama. Jakarta:


Kompas.

130 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Biografi Penulis

Sayu Kadek Jelantik, lahir di Mataram,


ibu kota Provinsi NTB, pada 15 Maret
1990. Telah menempuh pendidikan S-1
pada Program Studi Penerangan Agama
Hindu di STAHN Gde Pudja Mataram
tahun 2014, pendidikan S-2 pada Program
Studi Komunikasi Hindu di STAHN Gde
Pudja Mataram. Penulis saat ini terdaftar
sebagai salah satu staf pengajar di STAHN
Gde Pudja Mataram sejak 2019. Penulis aktif mengikuti berbagai
pertemuan ilmiah, seperti seminar, konferensi, workshop, dan
lain-lain, baik nasional maupun internasional. Beberapa tulisan
penulis telah dimuat antara lain; Komodifikasi Sarana Upacara
Umat Hindu di Pasar Karang lelede Kota Mataram dan Retorika
Politik Calon Legislatif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Pada Pemilihan Umum Tahun 2014. Motivational Appeal Konten
Dharma Wacana untuk Ketahanan Mental Umat Hindu
menghadapi Pandemi Covid-19. Peran Bahasa dalam Komunikasi
Pendidikan Daring di Era New Normal. Penulis dapat dihubungi
via email sayujelantik@gmail.com atau HP/WA 087864077625.

Harmonisasi Umat Beragama 131


Kampanye Moderasi Beragama di Media
Sosial

Oleh:
Rieka Yulita Widaswara, M.I.Kom.
(Institut Agama Hindu Negeri Gde Pudja Mataram)

Dunia kini telah berada di era digital, kecanggihan teknologi


berbasis internet membuat sumber informasi menjadi serba cepat
dan mudah. Era digital dengan ciri massifnya penggunaan media
online yakni media sosial yang hampir menyita seluruh lapisan
masyarakat. Media sosial memungkinkan pengguna berinteraksi,
berbagi dan berkomunikasi yang membentuk ikatan sosial secara
virtual dalam masyarakat jejaring (networking society) yang
ditandai dengan munculnya jurnalisme warga (citizen
journalism), fenomena ini menempatkan media sosial sebagai
garda terdepan dalam komunikasi model baru sekaligus berperan
membentuk opini publik. Media sosial kini menjadi salah satu
sumber favorit untuk mencari berita atau informasi. Dengan
pesatnya kemajuan teknologi, kini memungkinkan setiap orang
membuat dan menyebarkan berita dalam hitungan detik. Dalam
perkembangannya, penggunaan media sosial tidak lagi hanya
sekedar berperan sebagai kanal menyampaikan pesan dan
menyerap informasi, tetapi lebih jauh berperan dalam
mempengaruhi persepsi dan perilaku publik, mempengaruhi

132 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


pengambilan keputusan institusi, kelompok masyarakat dan
turut andil dalam pengembangan kesadaran kolektif dalam
pembentukan opini publik.
Perkembangan media sosial yang semakin masif juga
mempengaruhi pandangan keagamaan penggunanya. Hal ini
menyebabkan terjadinya paradoks, seperti misalnya semakin
mudahnya mengakses konten keagamaan. Ditengah
kecenderungan ekslusifitas beragama yang meningkat akhir-
akhir ini, banyak kalangan menganjurkan konsep moderasi
beragama. Munculnya konsep moderasi beragama tidak terlepas
dari meluasnya ancaman radikalisme dalam beragama di
Indonesia. Konsep ini muncul untuk menangkal gerakan
radikalisme dalam beragama yang semakin meluas. Tokoh-tokoh
pro konsep ini secara aktif mengkampanyekannya di ruang-ruang
publik maupun di ruang maya melalui ragam acara seperti
diskusi, bedah buku, webinar dan sebagainya.
Pada prinsipnya, moderasi beragama ingin menarik
kembali nilai-nilai yang moderat dan tidak mengandung unsur
ekstrim/berlebihan, baik ekstrim kanan maupun ekstrim kiri.
Salah satu unsur penting dalam mengkampanyekan ide ini adalah
media. Inilah yang dimanfaatkan oleh pa ra penceramah agama,
mereka tidak harus melakukan ceramah secara langsung di
tempat-tempat keagamaan maupun pada saat acara keagamaan
saja. Kelebihan fasilitas yang disediakan oleh media sosial
menjadi kelebihan tersendiri bagi masyarakat virtual khususnya
bagi para penceramah dalam menyampaikan atau membagikan
informasi tanpa harus secara langsung bertemu dengan mereka
untuk mengkampanyekan moderasi beragama di media sosial.
Media sosial adalah media online yang mendukung
interaksi sosial. Sosial media menggunakan teknologi berbasis
web yang mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif.
Beberapa situs media sosial yang populer sekarang ini antara lain:
Blog, Twitter, Facebook, Instagram, Path, dan Wikipedia.

Harmonisasi Umat Beragama 133


Definisi lain dari sosial media juga di jelaskan oleh Van Dijk
media sosial adalah platform media yang memfokuskan pada
eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka dalam
beraktivitas maupun berkolaborasi. Karena itu, media sosial
dapat dilihat sebagai fasilitator online yang menguatkan
hubungan antar pengguna sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial,
(Michael,2010). Senada dengan hal tersebut Menurut Shirky
media sosial dan perangkat lunak sosial merupakan alat untuk
meningkatkan kemampuan pengguna untuk berbagi (to share),
bekerja sama (to cooperate) diantara pengguna dan melakukan
tindakan secara kolektif yang semuanya berada diluar kerangka
institusional meupun organisasi. Media sosial adalah mengenai
menjadi manusia biasa. Manusia biasa yang saling membagi ide,
bekerjasama, dan berkolaborasi untuk menciptakan kreasi,
berpikir, berdebat, menemukan orang yang bisa menjadi teman
baik, menemukan pasangan, dan membangun sebuah komunitas.
Intinya, menggunakan media sosial menjadikan kita sebagai diri
sendiri, (Nasrullah,2017).
Kampanye adalah salah satu bentuk komunikasi yang
bersifat verbal dan nonverbal. Artinya pesan-pesan dapat
disampaikan dalam berbagai bentuk, seperti; poster, spanduk,
papan reklame, pidato, dan iklan diskusi. Umumnya istilah
kampanye ini lebih bermuatan pada aspek komunikasi politik,
dan banyak muncul menjelang pemilihan umum. Tidak hanya
bertemu secara langsung kampanye juga dapat dilakukan melalui
media sosial. Tetapi ada konsep penting dari kampanye yang
dapat digunakan dalam berbagai aspek komunikasi. Seperti apa
yang diuraikan (Venus,2004) terkait elemen penting yang dapat
mendukung kampanye moderasi beragama di media sosial yaitu:
1. The Intended Effect
Sebelum menentukan elemen pendukung kampanye,
efek yang diinginkan harus jelas, sehingga pencapainnya detil

134 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


dan signifikan, dalam hal ini yang dimaksud yakni
menimbulkan efek pemahaman moderasi beragama.
2. Competing Communication
Perlu memperkirakan potensi-potensi pengganggu
jalannya kampanye, sehingga kampanye dapat terlaksana
dengan efektif, dalam penggunaan kampanye moderasi
beragama melalui media sosial hal yang sering menjadi
kendala adalah jaringan maupun perangkat yang digunakan.

3. The Communication Objective


Perlu menetapkan tujuan jangka panjang agar
kampanye terarah dan terukur, di era digital kampanye
moderasi beragama melalui media sosial adalah cara yang
tepat untuk dilakukan.
4. Target Population and The Receiving Group
Target mengacu pada seluruh kelompok yang dilayani
dalam program yang dirancang. Target populasi bersifat
general dengan berbagai karakteristik.
5. The Channel
Saluran komunikasi yang digunakan harus terkait
dengan pesan dan keseharian kelompok penerima. Saluran
yang akrab dan menyentuh kelompok penerima secara
interpersonal.
6. The Message
Kampanye harus menyajikan pesan yang edukatif,
informatif dan mempengaruhi perilaku sasaran. Pesan yang
disampaikan yakni megenai konsep moderasi beragama yakni
Menghadapi keragaman, maka diperlukan sikap moderasi,
bentuk moderasi ini bisa berbeda antara satu tempat dengan
tempat lainnya. Sikap moderasi berupa pengakuan atas
keberadaan pihak lain, pemilikan sikap toleran, penghor-
matan atas perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan
kehendak dengan cara kekerasan.

Harmonisasi Umat Beragama 135


Di lain sisi ini setiap aktivitas kampanye komunikasi
setidaknya harus mengandung empat hal:
1. Tidakan kampanye yang ditujukan untuk menciptakan efek
atau dampak tertentu,
2. Jumlah khalayak sasaran yang besar,
3. Biasanya dipusatkan dalam kurun waktu tertentu,
4. Melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisasi.
Beberapa pengertian diatas tentang penggunaan media
sosial maka dapat disimpulkan penggunaan media sosial adalah
proses atau kegiatan yang dilakukan seseorang dengan sebuah
media yang dapat digunakan untuk berbagi informasi, berbagi
ide, berkreasi, berfikir, berdebat, menemukan teman baru dengan
sebuah aplikasi online yang dapat digunakan melalui smartphone
(telefon genggam), yang dalam hal ini yakni mewujudkan
moderasi beragama melalui media sosial.

Daftar Pustaka
Haenlein, Michael, 2010. Users of the world, unite! The challenges and
opportunities of Social Media. Business Horizons

Nasrullah, Rulli, 2017. Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan


Sosioteknologi, Bandung: Remaja Rosdakarya

Venus, Antar, 2004. Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan


Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi. Bandung:
Simbiosa Rekatama.

136 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Biografi Penulis

Rieka Yulita Widaswara, lahir di Mataram,


ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat,
Indonesia pada 14 Juli 1988. Telah menmpuh
pendidikan S-1 pada Program Studi
Pendidika Bahasa Inggris di Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)
Mataram tahun 2010, pendidikan S2 pada
Program Studi Ilmu Komunikasi Hindu di
Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri
(STAHN) Gde Pudja Mataram pada tahun
2015. Penulis saat ini terdaftar sebagai salah
satu staf pengajar di Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Gde
Pudja Mataram sejak 2019. Penulis aktif mengikuti berbagai
pertemuan ilmiah, seperti seminar, konferensi, workshop, dan
lain-lain, baik nasional maupun internasional. Beberapa tulisan
penulis telah dimuat antara lain; Pendekatan Komunikatif
Pembelajaran Bahasa Inggris Komunikasi Pada Mahasiswa
Jurusan Dharma Duta STAHN Gde Pudja Mataram pada tahun
2018; Komunikasi Interpersonal dalam Menghadapi Anak Korban
Bullying pada tahun 2018; Bahasa Bali Sebagai Media Komunikasi
Interpersonal Suku Bali TK Pelangi pada tahun 2020;
Implementasi Public Speaking Penyuluh Balai Kesatuan
Pengelolaan Hutan Rinjani Barat pada tahun 2020; Framing
Analysis of Covid-19 News On Social Media Instagram Lombok pada
tahun 2020. Melawan Covid-19 Melalui Literasi Jurnalistik pada
tahun2020. Pendekatan Komunikatif Pembelajaran Bahasa

Harmonisasi Umat Beragama 137


Inggris Berbasis Daring Di Era New Normal pada tahun 2020.
Saat Ini Penulis Beralamat Di Jalan Gajah Mada No. 16
Pagesangan, Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Penulis dapat dihubungi via email riekawidaswara@gmail.com
atau HP/WA 081 757 650 49.

138 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Inovasi Pengembangan Media Sosial
dalam Membumikan Moderasi Beragama

Oleh:
Sholihatul Atik Hikmawati, M.Pd.I
(Dosen IAI Sunan Kalijogo Malang)

Meminjam sebuah istilah “muslim kagetan” yang sudah terbiasa


didengar dimedia sosial. Entah kapan istilah ini bermula, namun
faktanya istilah ini pernah disampaikan oleh Gus Mus di acara 7
hari wafatnya K. H. Sahal Mahfudz di Kajen “Ciri-ciri orang
memiliki ilmu yang nyegoro (luas laksana lautan) salah satunya
adalah tidak kagetan. Ada syiah kaget, ada Ahmadiyah kaget,”
tutur beliau dalam kesempatan (Priyanto 2018). Hal ini
mengisyaratkan bahwa hidup itu tidak hanya hitam dan putih
namun disana ada ruang untuk bernegosiasi tentang suatu hal,
yakni dengan cara belajar dan belajar lebih banyak kepada
sumber yang valid dan menjadi pribadi yang terbuka, termasuk
terhadap sebuah perkara yang berbeda dengan pemikirannya.
Celakanya orang yang berhenti belajar dan malas untuk
mencari sumber yang benar adalah ia akan mudah sekali
memberikan justifikasi dan labelling terhadap sesuatu yang belum
diketahui secara jelas. Dan lebih bahaya lagi bagi generasi bebek
yang hanya ikut-ikutan terhadap statemennya dan kemudian
menshare statemen tersebut. Senada dengan kata Gus Dur, beliau

Harmonisasi Umat Beragama 139


menyebut guru terbaik bagi dirinya dalah realitas (Barton 2002),
tentu saja kita bisa juga mempelajarinya. Dari realitas pula kita
akan memahami pola yang terjadi dalam masyarakat keagamaan
kita, yang begitu gampangnya mengikuti arus tanpa mengulik
sumber terlebih dahulu.
Kasus yang sempat viral di media sosial, sandal jepit yang
bertuliskan bahasa arab yamiin (kanan) dan syimaal (kiri)
(Camelia 2018). Gambar tersebut beredar dari satu akun ke akun
lainnya dengan cepat disertai beragam komentar yang mengecam
tindakan tersebut karena mereka menganggap tindakan itu tidak
patut dilakukan, bahkan melabelinya dengan tindakan oran kafir,
karena tidak paham bahasa Arab menganggapnya ini sebagai
penghinaan terhadap ayat Al-Qur‟an, tanpa tabayun dahulu.
Kasus lain, sempat beredar video Al-Qur‟an yang tulisannya tidak
umum sebagaimana lazimnya di Indonesia. Beberapa orang
menganggapnya sebagai upaya penyesatan terhadap Al-Qur‟an.
Padahal, cara penulisan yang diperdebatkan merupakan salah
satu bentuk cara penulisan Maghribi yang mutawatir.
Dan masih banyak lagi kasus serupa dengan alur yang
sama. Tentunya hal ini menjadi paradok. Belajar agama sangatlah
mudah dengan media internet seseorang bisa leluasa untuk
memilih literatur sesuai dengan minatnya baik berupa teks, audio
maupun video. Namun kemudahan ini tak menjadikan sebagian
orang itu bijaksana dalam mengambil sikap. Malah sebaliknya,
manakala ada kasus tak serta merta dikaji atau tabayun dahulu.
Namun, dengan langsung mereka mencecar, mencemooh dengan
kata-kata kasar bahkan mengecam. Hal inilah yang membuat
situasi menjadi kurang kondusif.
Dampak social yang dirasakan saat ini adalah munculnya
kelompok-kelompok eksklusif yang merasa paling benar. Dan
menyalahkan gagasan-gagasan yang tidak senada dengan
pemahamannya. Tak hanya itu, mereka juga mempengaruhi
masyarakat lainnya untuk menyepakati pemikirannya. Perbedaan

140 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


pandangan ini tidak muncul begitu saja, akan tetapi disebabkan
oleh sikap acuh dan tidak menghargai yang menyebabkan
munculnya sebuah sikap fanatisme berlebihan yang kemudian
akan memacu adanya anggapan bahwa dirinya lah yang paling
benar dan orang lain lah yang salah. Sehingga norma, ajaran,
pemahaman, sikap dan persepsi telah diidentifikasikan sebagai
penyebab munculnya tindakan intoleransi (Yahya 2017).
Ancaman disharmoni di negara Indonesia berasal dari
globalisasi dan isu agama (Bolo et al. 2020). Dalam konteks
fundamentalisme agama, untuk meminimalisir gesekan atau
menghindari disharmoni suatu bangsa maka diperlukan cara
beragama yang moderat. Yakni, cara beragama yang inklusif dan
tidak menyikapi perbedaan dengan cara yang berlebihan. Dalam
bahasa Arab kata moderat berarti Al-wasathiyah, seperti dalam
sebuah hadist wasathus syai‟i maa baina tharfaihi artinya “sesuatu
yang berada ditengah, diantara dua sisi” yakni sebaik-baik
persoalan adalah yang berada di tengah-tengah.
Dengan demikian moderasi beragama merupakan sebuah
jalan tengah di tengah keberagaman agama di Indonesia.
Moderasi merupakan budaya Nusantara yang berjalan seiring,
tepo seliro, saling menghargai dan tidak saling membenturkan
antara agama dan kearifan lokal (local wisdom). Tidak saling
mempertentangkan namun mencari penyelesaian dengan toleran
(Akhmadi 2019). Moderasi beragama itu sendiri adalah menerima
secara terbuka tentang keberagaman dalam beragama, perbedaan
tidak menghalangi seseorang untuk saling berbagi, tolong
menolong dan bekerjasama atas dasar kemanusiaan. Meyakini
agama yang benar adalah tidak melecehkan agama lain dan
menciptakan suasana yang tenang damai sehingga terwujud cita-
cita luhur yang tertuang dalam sila ketiga yakni persatuan
Indonesia.
Berbagai konflik dan ketegangan antar umat manusia
dalam keragaman agama, suku, faham dan sebagainya yang tak

Harmonisasi Umat Beragama 141


hanya terjadi di Indonesia namun juga belahan dunia lainnya
telah memunculkan ketetapan internasional lewat Perserikatan
Bangsa Bangsa yang menetapkan tahun 2019 ini sebagai ”Tahun
Moderasi Internasional” (The International Year of Moderation).
Penetapan ini jelas sangat relevan dengan komitmen Kementerian
Agama untuk terus menggaungkan moderasi beragama
(Sirajuddin 2020).
Strategi yang tepat dalam menggaungkan moderasi
beragama adalah dengan mengkapanyekannya melalui media
sosial. Mengingat banyaknya pengguna media social di Indonesia.
Menurut laporan (Hootsuite 2020), setidaknya ada 338,2 juta
koneksi seluler di Indonesia pada Januari 2020. Jumlah koneksi
seluler di Indonesia meningkat 15 juta (4,6 persen) antara Januari
2019 dan Januari 2020. Jumlah koneksi seluler di Indonesia pada
Januari 2020 sudah setara dengan 124 persen dari total populasi.
Hadirnya media sosial memberikan dampak positif dan
negatif, adapun salah satu dampak positif bagi influenser yakni
dalam memberikan pengaruh bisa lebih efektif dan bisa
masuk latar belakang apapun, dan mungkin bagi para pengguna
medsos yang sibuk dengan kerja bisa belajar melalui sosial media
lebih praktis, mungkin tidak perlu berkunjung ke tempat
tertentu, bisa juga live streaming via channel Youtube atau
bahkan aplikasi apa saja yang bisa diunduh dengan gratis.
Dalam ruang lingkup komunikasi, komunitas masuk ke
dalam konteks komunikasi organisasi dimana individu yang
bersama-sama, melalui suatu hirarki pangkat dan pembagian
kerja berusaha mencapai tujuan tertentu (Rogers and Kincaid
1981). Dalam praktiknya telah dilakukan oleh jama‟ah kopdariyah
yang berada di Magelang Jawa tengah. Komunitas ini
merupakan komunitas lintas iman, lintas budaya, lintas usia,
lintas daerah, lintas segalanya. Awal mula kelahiran Jamaah
Kopdariyah adalah para pemuda risau dan prihatin atas pola
perkembangan zaman, terutama cara berkomunikasi dengan

142 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


media social (Mazid and Prabowo 2020). Komunikasi melalui
medsos yg seringkali dilakukan kurang sopan dan kurang
tatakrama. Medsos dipenuhi dengan penyebaran hoax,ujaran
kebencian, saling mengklaim, saling menggurui, saling mencaci
dan bahkan saling memaksakan klaim kebenaran. Lalu masing-
masing anggota membagikan hasil diskusi dan ide-ide yang
tergali dengan cara masing-masing, baik melalui cara-cara online
dengan youtube, tik tok, facebook, telegram atau cara offline
dengan obrolan, ceramah, diskusi dan media lain yang
memungkinkan.
Beberapa inovasi media social yang dikembangkan dalam
rangka mengkapanyekan moderasi beragama dibagi menjadi
beberapa bentuk, yakni:
1. Webinar, merupakan seminar berbasis web atau aplikasi
dimana pemateri bisa menjelaskan materinya melalui media
elektronik. Webinar ini biasa digunakan oleh kalangan
akademisi, pemerintahan, para CEO atau komunitas dalam
skala besar. Karena dengan webinar ini, kegiatan seminar
berjalan secara teratur dan terkondisikan. Aplikasi yang
digunakan bisa berupa zoom, google meet, google classroom dan lain
sebagainya. Contohnya adalah webinar berseri berupa
pelatihan secara online yang dilakukan oleh kementrian
agama yang mengusung tema “Pelatihan mengakampanyekan
moderasi beragama dengan vlog” Kepala BLA Semarang Dr.
Samidi, M.S.I., mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan
program pengembangan untuk memperluas jangkauan ide-ide
moderasi agama kepada anak muda. Workshop pembuatan
vlog ini dimaksudkan untuk memancing kreativitas anak-
anak muda (Musyafak 2020). Sehingga cara ini efisien untuk
melahirkan agen-agen yang akan turut andil dalam
mengakampanyekan moderasi keberagaman di berbagai
kalangan.

Harmonisasi Umat Beragama 143


2. Live streaming adalah konten video yang disiarkan secara
langsung melalui internet dimana seseorang tidak perlu
melakukan editing dan post-production. Mereka hanya perlu
menyalakan kamera dan mulai merekam kapanpun yang
mereka inginkan. Sehingga kegiatan live streaming ini bisa
lebih fleksibel karena tidak dilakukan secara terorganisir.
Beberapa aplikasi yang memfasilitasi kegiatan live streaming
contohnya adalah youtube, facebook, instagram, tik tok dan lain
sebagainya. Contohnya adalah live streaming melalui media
facebook yang dilakukan oleh Ditjen Pendis Kemenag.
Mengusung tema Penguatan Kompetensi Moderasi Beragama
Implementasi KMA No. 184 Tahun 2019. Tujuan dari kegiatan
ini adalah menguatkan tindakan moderat dalam beragama di
seluruh lapisan masyarakat. Sehingga live streaming ini,
pengguna bisa secara langsung menikmati kegiatan tanpa
registrasi terlebih dahulu. Dan memiliki jangkauan luas yang
tak terbatas.
3. Short movie adalah film yang dikemas secara sederhana
dengan durasi yang pendek dan bertujuan untuk
menyampaikan pesan tertentu. Aplikasi yang memfasilitasi
untuk menggunggah karya video ini adalah youtube, facebook,
instagram, dan lain sebagainya. Contohnya film pendek yang
diciptakan oleh sekelompok pemuda kreatif dengan judul
“Moderasi beragama untuk keutuhan NKRI” yang diunggah di
youtube oleh pemilik akun youtube @SKSP channel.
4. Film documenter adalah film yang bertujuan untuk
mendokumentasikan sebuah peristiwa penting yang
memberikan pesan tertentu bagi penontonnya. Aplikasi yang
memfasilitasi untuk menggunggah karya video ini adalah
youtube, facebook, instagram, dan lain sebagainya. Contohnya film
dokumenter yang diciptakan oleh mahasiswa UIN Walisongo
dengan judul “Mewarisi semangat walisongo dalam moderasi

144 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


beragama” yang diunggah di youtube oleh pemilik akun
youtube @UIN Walisongo.
5. Vlog adalah kegiatan literasi yang menggunakan media suara,
gambar atau video. Aplikasi yang memfasilitasi untuk
menggunggah karya video ini adalah youtube, facebook, instagram,
dan lain sebagainya. Contohnya vlog yang dimiliki oleh Habib
Husein Ja‟far Al-Hadad dengan nama akun di youtube @Jeda
nulis. Selalu mengangkat tema-tema sederhana yang dihadapi
oleh masyarakat misalnya: haramkah mengucapkan natal?,
perempuan dimata islam, bagaimana beragama, dan ada vlog
khusus yang berjudul moderasi beragama dan lain sebagainya.
Vlog beliau ini memberikan andil dalam mengaungkan
moderasi beragama.
6. Blog sebuah website berbentuk postingan dalam bentuk teks
yang terkadang ditambahi gambar, link dan video yang ditulis
oleh satu atau beberapa penulis dengan tujuan tertentu. Jadi,
secara sederhana pengertian blog adalah Website yang berisi
konten tulisan. Contohnya adalah blog https://gusdurian.net/
yang dimiliki langsung oleh komunitas penerus kiprah tokoh
kemanusiaan KH. Abdurrahman Wahid yang biasa disapa
Gus Dur.
7. Feed atau update status adalah ekspresi singkat yang
dilakukan oleh masyarakat melalui media social seperti
facebook, Instagram, tik tok, telegram dan lain sebagainya. Contoh
facebook milik tokoh agama Prof. Nadhirsyah Hosein, P.hD
yang selalu menggaungkan moderasi beragama. Sekaligus
memberikan referensi dan penjelasan terhadap permasalahan
yang mengancam keutuhan NKRI.
Pada dasarnya di era digital ini banyak sekali media social
yang dikembangkan untuk menggaunggkan moderasi beragama
oleh siapapun. Siapapun bisa mengambil bagian dan turut
berpartisipasi dalam merawat keutuhan NKRI. Karena
hakikatnya moderasi beragama merupakan jembatan yang

Harmonisasi Umat Beragama 145


menghubungkan semangat beragama dengan komitmen
berbangsa dan bernegara. Dan sesungguhnya berindonesia itu
adalah beragama. Moderasi beragama harus dijadikan sebagai
sarana mewujudkan kemaslahatan kehidupan beragama dan
berbangsa yang rukun, harmonis, damai, toleran, serta taat
konstitusi, sehingga tercapainya cita-cita luhur dari bangsa
Indonesia Sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945
disebutkan bahwa cita-cita luhur bangsa Indonesia ialah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi.
“cinta negara sebagian dari iman, bukti cinta terjamin rasa
aman”.

Daftar Pustaka
Akhmadi, Agus. 2019. “Moderasi Beragama Dalam Keragaman
Indonesia.” Inovasi-Jurnal Diklat Keagamaan 13 (2): 45–55.

Barton, Greg. 2002. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of


Abdurrahman Wahid. LKIS PELANGI AKSARA.

Bolo, Andreas Doweng, Arnaldo J R Soares, Ely Elprida Sigiro,


Fransiskus Borgias, Ganjar Muhammad Ganeswara,
Kristining Seva, Samson Ganda J Silitonga, Sophan Ajie
Setiarmo, Sylvester Kanisius Laku, and Stephanus
Djunatan. 2020. Pancasila Dalam Pendidikan Humaniora:
Interkulturalisme Dan Globalisasi-Internasionalisasi. Inteligensia
Media (Kelompok Penerbit Intrans Publishing).

Camelia. 2018. “Sandal Jepit Bertuliskan Arab Dikecam Netizen.”


Liputan6, 2018.
https://www.liputan6.com/citizen6/read/3536255/sandal-
jepit-bertuliskan-huruf-arab-dikecam-netizen-faktanya.

146 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Hootsuite. 2020. “Indonesian Digital Report.” 2020. https: //
hootsuite-we-are-social-%0Aindonesian- digital-report-
2020.

Mazid, Sukron, and Wahyu Prabowo. 2020. “Strategi Dakwah


Jamaah Kopdariyah Dalam Merawat Kebhinekaan.” Civic-
Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKN Dan Sosial Budaya 4 (1):
327–36.

Musyafak. 2020. “Pelatihan Mengkampanyekan Moderasi


Keberagaman Memlalui Vlog.” 2020.
https://kemenag.go.id/berita/kampanye-moderasi-agama-
melalui-vlog.

Priyanto, Dedik. 2018. “Muslim Kagetan Di Sekitar Kita.” Islami.Co,


2018. https://islami.co/muslim-kagetan-di-sekitar-kita/.

Rogers, Everett M, and D Lawrence Kincaid. 1981. Communication


Networks: Toward a New Paradigm for Research. Free Press.

Sirajuddin, Sirajuddin. 2020. “Buku Literasi Moderasi Beragama


Di Indonesia.” Penerbit. Zigie Utama.

Yahya, Ahmad Syarif. 2017. Ngaji Toleransi. Elex Media


Komputindo.

Harmonisasi Umat Beragama 147


Biografi Penulis

Sholihatul Atik Hikmawati, M.Pd.I


adalah merupakan Dosen tetap sekaligus
Kaprodi Pendidikan Bahasa Arab di IAI
Sunan Kalijogo Malang. Ia dilahirkan di
Malang pada 23 Agustus 1987.
Mengenyam S1 Pendidikan Bahasa Arab
Universitas Negeri Malang 2010, S2
Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
2013 dan S3 Pendidikan Bahasa Arab di
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (Promovendus). Ia pernah
Menjadi presenter di beberapa Seminar dan aktif mengikuti
kegiatan kemasyarakatan sebagai bentuk pengabdian
masyarakat. Ia juga aktif menulis karya ilmiah di beberapa jurnal
dan buku sebagai bahan ajar yang berjudul Pengantar Linguistik
Bahasa Arab (2019) dan Bahasa Arab untuk Perbankan (2000). Ia
juga produktif dalam mengembangkan media pembelajaran baik
media berbasis digital atau produk seperti papan logico piccolo,
scrable, kotak icon, dan kahoot. Untuk korespondensi bisa melalui
e-mail: sholihatulatik@iaiskjmalang.ac.id / HP 081230200460.

148 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Toleransi Beragama Dalam Menjaga
Harmonisasi Masyarakat

Oleh:
Rosidin, S.Sos.I, M.Pd.I.
(Dosen Sekolah Tinggi Islam Kendal)

Toleransi berasal dari bahasa latin tolerantia, berarti kelonggaran,


kelembutan hati, keringanan dan kesabaran (Hornby AS, 1995).
Secara umum istilah toleransi mengacu pada sikap terbuka,
lapang dada, suka rela dan kelembutan. Unesco mengartikan
toleransi sebagai sikap saling menghormati, saling menerima,
saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan
berekspresi dan karakter manusia (Michael Walzer, 1997).
Toleransi harus didukung oleh cakrawala pengetahuan yang
luas, bersikap terbuka, dialog, kebebasan berpikir dan beragama.
Pendek kata toleransi setara dengan sikap positif, dan
menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan
asasi sebagai manusia.
Toleransi beragama adalah toleransi yang mencakup
masalah-masalah keyakinan dalam diri manusia yang
berhubungan dengan akidah atau ketuhanan yang diyakininya.
Seseorang harus diberikan kebebasan untuk meyakini dan
memeluk agama (mempunyai akidah) yang dipilihnya masing-
masing serta memberikan penghormatan atas pelaksanaan
ajaran-ajaran yang dianut atau diyakininya (J. Cassanova, 2008).

Harmonisasi Umat Beragama 149


Toleransi beragama merupakan realisasi dari ekspresi
pengalaman keagamaan dalam bentuk komunitas. Ekspresi
pengalaman keagamaan dalam bentuk kelompok ini, menurut
Joachim Wach, merupakan tanggapan manusia beragama
terhadap realitas mutlak yang diwujudkan dalam bentuk jalinan
sosial antar umat seagama ataupun berbeda agama, guna
membuktikan bahwa bagi mereka realitas mutlak merupakan
elanvital keberagamaan manusia dalam pergaulan sosial, dan ini
terdapat dalam setiap agama, baik yang masih hidup bahkan
yang sudah punah (Joachim Wach, 1958).
Menurut Fritjhof Schuon, agama secara eksoteris terlahir
di dunia ini berbeda-beda. Akan tetapi terlepas dari perbedaan
yang muncul dalam agama-agama, secara esoterik agama-agama
yang ada di dunia memiliki prinsip yang sama, yaitu bersumber
dan tertuju pada Supreme Being. Cara Schuon membedakan kedua
aspek agama ini bisa diterapkan sebagai panduan bagaimana
manusia yang berbeda agama bertemu satu sama lain dalam
memberikan peran mereka sebagai hamba TuhanYang Esa di
dunia ini.
Toleransi merupakan bentuk akomodasi dalam interaksi
sosial (Graham C. Kinloch, 2005). Manusia beragama secara
sosial tidak bisa menafikan bahwa mereka harus bergaul bukan
hanya dengan kelompoknya sendiri, tetapi juga dengan
kelompok berbeda agama. Umat beragama musti berupaya
memunculkan toleransi untuk menjaga kestabilan sosial
sehingga tidak terjadi benturan-benturan ideologi dan fisik di
antara umat berbeda agama.
Keragaman agama adalah bagian dari desain Allah, itu
merupakan sunnatullah. Perbedaan terjadi bukan saja pada rupa
bentuk material-empirikal, tapi juga dalam bentuknya yang
immaterial non-empirikal, seperti pemikiran, kepercayaan, idea,
hatta agama pun diciptakan Tuhan dalam bentuk dan namanya
yang berbeda-beda. Berbagai agama-agama, seperti Islam,

150 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain adalah fakta yang ada di
sekitar kita sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
sosial. Konsekuensi logis yang seharusnya muncul dari
kenyataan ini adalah terbentuknya kesadaran saling memahami
dan saling menghargai. Kalaupun ada kompetisi dalam beragama,
mestinya adalah kompetisi yang alamiah, yaitu penghayatan
terhadap Tuhan yang dimunculkan dalam sikap hidup yang
ilâhiyah. Sebagaimana Rasulullah bersabda“takhalluq bi akhlâq
Allâh” yaitu berlomba-lomba dalam menciptakan perilaku positif
“seperti Tuhan” (Haidar Bagir, 2015), (Nur Kolis, 2017).
Fenomena ini menunjukkan bahwa sejak awal Islam yang
tumbuh di Indonesia memiliki karakter yang moderat. Istilah
moderat dalam konteks ini dapat didefinisikan toleran dan
simpatik. Sebuah bentuk keberagamaan yang menghormati
identitas kebudayaan dan tradisi lokal. Karakter toleran dan
simpatik, serta menjunjung tinggi budaya lokal itulah yang
sebetulnya mengakar kuat dalam perkembangan Islam
selanjutnya. Meski pada perkembangan berikutnya muncul
karakter lain, yaitu puritan, akibat dari dialektika dan
perjumpaan intelektual Muslim Nusantara, terutama yang
berasal dari daerah Aceh dan Sumatera Barat dengan Muslim
Haramain (Mekah dan Madinah). Kondisi ini terjadi seiring
dengan persaingan politik antara Turki Utsmani dengan
penguasa-penguasa Eropa di abad ketujuh belas Masehi.
Kesamaan identitas agama dan ketegangan dengan bangsa Eropa
mendorong menguatnya konsolidasi kekuatan antar penguasa
Muslim.
Menurut Kaelan (Nopitasari, 2016) pada era modren saat
ini, bangsa Indonesia dituntut untuk memiliki visi misi yang
kuat agar bisa mempertahankan keutuhan dan keberagaman
dimasyarakat. Karena jika budaya luar banyak masuk ke
Indonesia akan memberikan pengaruh atau dampak terhadap
masyarakat Indonesia. Rakyat Indonesia harus memiliki

Harmonisasi Umat Beragama 151


kecintaan terhadap negara sehingga bisa menyaring masuknya
budaya pengaruh lain yang dapat merusak kehidupan
masyarakat Indonesia.
Dengan adanya rasa nasionalisme dan nilai-nilai Pancasila
yang dimiliki masyarakat Indonesia dapat menjadi alat
pemersatu untuk membentuk identitas bangsaIndonesia
sehingga terwujud masyarakat yang harmonis.Harmonisasi
budaya akan terbentuk jika masyarakat sadar dan menghormati
keberagaman budaya masyarakat lain. Hal ini dapat menjadi
faktor pendorong terbentuknya kerukunan danketertiban secara
alamiah untuk menjaga nilai luhur lingkungan sekitar .Nilai-nilai
luhur tersebut harus selalu dijaga dan dihormati agar tidak
terjadi kebudayaan yang mendominasi yang dapat memicu
lunturnya sikap toleransi antar masyarakat (Hadi, 2016).
Interaksi dilakukan oleh masyarakat agar terjalinnya
kerukunan dalam suatu kelompok sosial. Kerukunan dalam
pergaulan dapat tercapai apabila sekelompok masyarakat saling
bekerjasama dalam mewujudkan tujuan bersama (Muslim, 2013).
Seorang individu pasti melakukan interaksi dengan orang lain
dalam kehidupan sehari-hari. Interaksi tersebut terjalin dalam
bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan dan lainnya
(Kusumawardhani, 2013). Interaksi tersebut dikenal sebagai
dasar proses sosial yang melahirkan hubungan sosial yang baik
sesama masyarakat. Proses sosial dapat dilihat ketika kelompok
masyarakat bertemu serta menentukan hubungan timbal balik
antar masyarakat dalam kehidupan bersama.
Menurut H. Bonner (Alawiyah, 2009) menjelaskan bahwa
interaksi sosial merupakan hubungan saling mempengaruhi serta
memperbaiki tingkah laku individu. Menurut Soekanto
(Mocomdompis, 2015) interaksi sosial menyangkut hubungan
sosial yang dinamis antar individu dengan individu lainnya
maupun antar individu dengan kelompok lainnya. Interaksi
sosial yang terbentuk antar kelompok-kelompok manusia

152 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


tersebut merupakan sutau bantuk kesatuan yang terjadi di
masyarakat. Hubungan dan ikatan sosial antar manusia dapat
membentuk struktur masyarakat yang didasarkan pada
komunikasi antar masyarakat (Halikin, 2014). Hubungan
tersebut dapat mewujudkan perubahan dan perkembangan antar
masyarakat baik dalam bentuk Individu maupun kelompok yang
mempunyai bentuk-bentuk yang kongkrit dan sesuai dengan
nilai sosial yang dianut masyarakat.
Perbedaan yang sangat menonjol pada aspek agama,
suku, ras, dan golongan dapat memicu terjadinya kerusuhan
antar manusia. Kerusuhan yang sering terjadi menimbulkan
tindakan kekerasan dan menjadikan agama sebagai kambing hitam.
Masing-masing agama mengajarkan berbuat baik terhadap
sesama manusia maupun Tuhan pencipta alam semesta,dalam
Al-Quran disebut Rahmatan Lil- Al-„alamin (Rahmat dan
kedamaian bagi semesta). Namunselain menjadi alat pemersatu,
agama juga sering menjadi unsur utama penyebab konflik
(Hashemi, 2017). Agama tidak hanya dipandang sebagai suatu
cara menyembah Tuhan dan segala aturan maupun ajaran yang
terdapat di kitab suci. Namun perbedaan dalam simbol-simbol
yang dimiliki penganut agama tersebut dapat menjadi pemisah
antar kelompok sosial. Oleh karena itu, selain dijadikan sebagai
alat pemersatu agama juga bisa menjadi pemicu terjadinya
konflik antar penganutnya (Rahman, 2018).
Selanjutnya Fukuyama dalam Lawrence E. Harison
and Samuel P. Hutington, Cultural Maters: How Values Shape
Human Progress (2000), mengatakan bahwa norma untuk
membentuk keteraturan sosial dapat diciptakan berdasarkan
otoritas atau kekuasaan terpusat dan hirarkhis maupun sebagai
hasil interaksi sosial yang spontan dan terdesentralisasi. Norma
yang diciptakanberdasarkan otoritas diwujudkan dalam bentuk
kitab suci, dan hukum serta aturan tertulis. Sementara itu norma
yang muncul secara spontan dalammasyarakat bersifat informal

Harmonisasi Umat Beragama 153


yang tidak tertulis atau dipublikasikan. Disampingmelihat
terbentuknya norma dari kontinum hirarkhis-spontan, norma
jugadapat dilihat dari kontinum rasional dan anrasional.
Norma rasional dimaksudkanapabila norma yang
disepakati merupakan hasil perdebatan rasional, sedangkan
norma a-rasional adalah norma yang bersifat fungsional seperti
keyakinan dan ajaran agama yang terbentuk tanpa melibatkan
perdebatan yang rasional (Hayat, 2012).
Salah satu doktrin yang penting adalah mengajarkan
kepada anak didik bahwa agama/keyakinan yang dianutnya
adalah yang paling benar, tetapi di sisi lain harus ditekankan
pula bahwa mereka harus mengakui serta menghormati
agama/keyakinan pemeluk agama lain. Harmoni yang terbangun
hendaknya merupakan bentuk dan suasana hubungan yang tulus
yang didasarkan pada motif-motif suci dalam rangka pengabdian
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penguatan terhadap kualitas
harmoni hubungan antarumat beragama yakni hubungan yang
serasi, selaras, saling menghormati, saling mengasihi, saling
menyayangi, dan tenggang rasatersebut semestinya juga
diarahkan pada pengembangan nilai- nilai dinamis yang
direpresentasikan dengan suasana hubungan interaktif, aktif,
bersemangat dan bergairah dalam mengembangkan nilai
kepedulian, kearifan, dan kebajikan bersama. Salah satu upaya
untuk membangun kerukunan antarumat beragama yaitu dengan
adanya komunikasi yang baik antarpemeluk agama, sehingga
tiap-tiap pemeluk agama merasa memiliki kedudukan yang
sama, saling menghormati, menghargai pandangan dan pendapat
pemeluk agama lain. Ini merupakan salah satu jembatan dalam
membangun komunikasi positif sebagai upaya membangun
kerukunan antar umat beragama.
Nilai-nilai humanisme dapat diterapkan melalui (Abdul
Rouf, 2010): pertama, toleransi yaitu sikap yang dikembangkan
untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati

154 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


aktivitas yangdilakukan oleh orang lain. Toleransi
memungkinkan adanya kesadaran setiap individu atau kelompok
untuk menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas
yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lainyang berbeda.
Kedua, pluralisme yaitu sikap untuk menciptakan sebuah tatanan
kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam
konteks kehidupan sehari-hari. Ketiga, Hak Asasi Manusia
(HAM) yaitu salah satu pilar kewargaan masyarakat yang
hakikatnya adalah membangun kebebasan yang manusiawi.
HAM dalam konteks tulisan ini bermakna bahwa manusia
berhak memilih agamanya berdasarkan keyakinannya. Al-Qur‟ân
dalam surat al-Baqarah ayat 256 dan surat alKâfirûn ayat 6.
Keempat, keadilan sosial yang berarti keseimbangan dan
pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap
warga negara yang mencakup semua aspek kehidupan, termasuk
beragama dan berkeyakinan. Hal ini memungkinkan tidak
adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan,
termasuk agama, pada satu kelompok masyarakat. Secara
esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh
kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah termasuk
di dalamnya kebebasan menjalankan agama.
Dapat disimpulkan dari pemaparan di atas bahwa,
toleransi beragama merupakan langkah yang tepat dan efektif
dalam menjaga keharmonisan dalam lingkungan masyarakat
terutama di indonesia yang penduduknya merupakan
multikultural dan menganut berbagai ragam agama. Masyarakat
multikultural terpola oleh keragaman budaya termasuk
keragaman agama. Di antara mereka, ada yang memahaminya
secara rasional an sich dan ada pula yang memahaminya secara
irrasional atau mistis. Dampak heterogenitas agama ini bisa
menmunculkan konflik di antara umat berbeda agama. Toleransi
sangat dibutuhkan untuk menciptakan keseimbangan dan
kohesi sosial dalam masyarakat multikutral. Untuk menciptakan

Harmonisasi Umat Beragama 155


sikap toleransi beragama yang proposional dalam masyarakat
multikultural perlu menumbuhkan sikap toleransi yang tinggi.
Sikap toleransi ini mutlak diperlukan tanpa kompromi agar
mereka bisa menjalankan harmonisasi masyarakat.

Daftar Pustaka
Abdul Rouf, 2010, NU dan Civil Islam di Indonesia, Jakarta: Intimedia.

Alawiyah, S, 2009, Agama dan Interaksi Sosial Studi Kasus Relasi


Aktivis Rohis dan Aktivis Rohkris Dengan Pemeluk Agama Lain di
SMAN 79 Jakarta Selatan.

Bagir, Haidar, 2011, Risalah Cinta dan Kebahagiaan, Bandung: Mizan.

Gina Libra, Ikhwan Ikhwan, 2019, Pola Interaksi Sosial Masyarakat


Muslim dengan Masyarakat Non Muslim di Jorong Sentosa Nagari
Panti Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman, Jurnal.

Graham C. Kinloch, 2005, Sociological Theory:Develop- ment and


Major Paradigm, Bandung: Pustaka Setia.

Hadi, R, 2016, Pola Interaksi Umat Beragama di Banyumas. Jurnal.

Halikin, 2014, Analisis Pola Interaksi Masyarakat Pendatang Terhadap


Masyarakat Lokal di Sumatera Barat Studi di Kecamatan Maluk
Sumbawa Barat.

Hashemi, A, 2017, Interaksi Antar Umat Beragama studi kasus islam -


kristen di kecamatan Sukakarya Kota Sabang.

Hayat, Bahrul, 2012. Mengelola Kemajemukan Umat Beragama.


Jakarta: PT. Saadah Cipta Mandiri

156 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Hornby AS, 1995, Oxford Advanced Learner‟sDictionary, Oxford:
University Printing House, 1995.

J. Cassanova, 2008, Public Religions In The Modern World, Chicago:


Chicago University Press.

Joachim Wach, 1958, The Comparative Study of Religion, New York:


Colombia University Press.

Kolis, Nur, 2017, Wahdat Al-Adyan, Moderasi Sufistik atas


Pluralitas Agama, Jurnal Pemikiran Keislaman dan
Kemanusiaan, Vol. 1 No. 2 Oktober.

Kusumawardhani, A, 2013, Interaksi Sosial Antara Siswa Muslim


Dengan Siswa Non Muslim di SMA Katolik Yos Soedarso Pati.

Michael Walzer, 1997, On Toleration Castle Lectures in Ethics, Politics,


and Economics, New York: Yale University Press.

Mocomdompis, 2015, Pola Interaksi Sosial Masyarakat Dalam


Menunjang Pelaksanaan Pemerintah Desa Studi Kasus di Desa
Pokol Kecamatan Tamako Kabupaten Sangihe. Jurnal, tk, tp.

Muslim, A, 2013, Interaksi Sosial Dalam Masyarakat Multi Etnis. Jurnal,


tk, tp.

Nopitasari, 2016, Integrasi Sosial Kelompok Muslim Dengan Kelompok


Non Muslim di Jorong Jambak Jalur V Nagari Koto Baru
Kecamatan Luhak Nan Duo Kabupaten Pasaman Barat, Artikel.

Rahman, R. 2018, Interaksi Sosial Masyarakat Muslim dan Non Muslim


di KelurahanBalangnipa Kecamatan Sinjai Utara Kabupaten
Sinjai, tk, tp.

Rahmatullah, Islam Moderat dalam perdebatan, Jurnal Dialog Vol. 71,


No. 1, Tahun.

Harmonisasi Umat Beragama 157


Shihab, Alwi. 2005, Islam Inklusif. Jakarta: Taraju Press.

XXXIV, Juli 2011.

Yunus Yunus, Arhanuddin Salim, 2018, Eksistensi Moderasi Islam


dalam Kurikulum Pembelajaran PAI di SMA, Al-Tadzkiyyah:
Jurnal Pendidikan Islam, Volume 9, No. 2.

158 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Biografi Penulis

Rosidin, S.Sos.I, M.Pd.I, Lahir di Desa


Krajan Kulon Kaliwungu Kendal Jateng
pada 25 April 1987. Anak kedua dari
Bapak Achmadah dan Ibu Nadhiroh.
Jenjang Pendidikan dasar ia tempuh di
SDN 1 Pidodowetan (1993-1999),
Meneruskan ke Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama di SLTP Takhassus Al
Qur‟an serta Mondok di PPTQ Al Asy Ariyyah kalibeber
Wonosobo Jawa tengah yang diasuh oleh KH. Muntaha Al
Hafidz (1999-2002), kemudian meneruskan ke Sekolah
Menengah Kejuruan di SMK Darussalam (2002-2005). Setelah
itu, ia melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di Sekolah Tinggi
Agama Islam Darussalam (STAIDA) dengan mengambil Jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) di Fakultas Dakwah (2005-
2009). Setelah lulus Strata satu (S.1), ia melanjutkan Strata dua
(S.2) di Universitas Sunan Giri (UNSURI) Surabaya, mengambil
Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) pada tahun 2010-2012.
Ketika ia menghabiskan waktu belajarnya di tingkat
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tahun 2002 sampai pada
tahun 2013, ia menempat di Pon. Pes. Darussalam Blokagung

Harmonisasi Umat Beragama 159


Banyuwangi yang di asuh oleh KH. Ahmad Hisyam Syafa‟at, S.
Sos. I, M.H.
Ia Memulai Karirnya sebagai tenaga pendidik (Guru
Agama) di SMP Plus Darussalam bokagung banyuwangi (2009-
2013), kemudian ia menjadi tenaga pendidik di MDTU NU 20
Miftahul Huda Pidodowetan Kendal dan diangkat menjadi
Kepala Madrasah serta Kepala TPQ NU 20 Miftahul Huda pada
tahun 2018 Akhir (2013-Sekarang), selain itu, ia diangkat menjadi
tenaga sosial bidang validasi dan verifikasi desa pidodowetan
(2015-2017), di lanjutkan menjadi tenaga Fasilitator SLRT Dinas
Sosial Kabupaten Kendal (2016-2017), kemudian Sebagai Tenaga
pendidik di MTs. Nu 04 Muallimin Weleri dan tenaga Pendidik
di Madrasah SMP NU 01 Muallimin Weleri Serta menjadi Dosen
di Sekolah Tinggi Islam Kendal (STIK) pada tahun 2016,
Kemudian pada tahun 2017 ia diangkat menjadi Dosen tetap di
Sekolah Tinggi Islam Kendal (STIK) sampai sekarang.
Di antara karya tulis Jurnal yang ia hasilkan di antaranya:
Pendidikan Agama dalam lingkingan keluarga (2017), Pemahaman
keagamaan masyarakat Nelayan (2018), Implementasi nilai-nilai
Humanisne dalam pendidikan Islam (2018). Kemudian buku yang
dihasilkan dengan judul Inovasi Pendidikan Islam di era digital
(Kuningan: Goresan pena 2020). Study Ulumul Qur‟an (Sukabumi:
Haura Utama 2020).

160 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Internalisasi Moderasi Beragama Dalam
Kurikulum Pondok Pesantren

Oleh:
Muhammad Holimi, S.Pd.,M.Pd.I
(Dosen Institut Agama Islam Sunan Kalijogo Malang)

Agama memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat


meliputi politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dan lain sebagainya.
Namun akhir-akhir ini kehidupan umat beragama mengalami
dinamika yang sangat keras. Terutama dengan munculnya kasus
radikalisme dan terorisme. Maraknya aksi-aksi radikalisme dan
terorisme tersebut membuat umat islam semakin terpojok.
Sampai saat ini kasus radikalisme dan terorisme masih
terus bermunculan dengan mengatasnamakan agama, bahkan
sudah menyebar di berbagai lembaga pendidikan (Ahmad Agis
Mubarok: 2018). Berbagai aksi radikalisme dan penyebarannya
disebabkan oleh doktrin-doktrin agama yang ekstrim. Aksi
radikalisme dan terorisme tersebut sangat tidak sesuai dengan
pancasila sebagai falsafah dan ideologo Negara dan Bangsa
Indonesia.
Dari berbagai kasus tersebut, berbagai upaya sudah
dilakukan untuk meminimalisir perilaku dan tindakan yang

Harmonisasi Umat Beragama 161


dapat memperbesar konflik kekerasan yang lahir dari perbedaan.
Diantaranya adalah munculnya wacana moderasi beragama yang
dianggap sebagai langkah dan sikap dalam memandang
keberagaman keagamaan di Indonesia. Gagasan konsep ini
dianggap juga sebagai alternatif dalam menerapkan nilai-nilai
kebangsaan yang dirasa semakin kerdil akibat dari globalisasi
dan eksisnya gerakan-gerakan intoleransi sebagai akibat dari geo
politk global.
Latar belakang Negara Indonesia yang multikultural
menjadikan moderasi agama sebagai sebuah keharusan dalam
menjaga persatuan dan kesatuan. Dalam konteks kekinian,
Pesantren mampu memerankan diri sebagai benteng pertahanan
dari imperialisme budaya yang begitu kuat mewarnai kehidupan
masyarakat, khususnya perkotaan.
Pesantren berasal dari pe-santri-an yakni tempat
berkmpulnya sekelompok santri (Imam Bawani: 280). Pesantren
didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran
yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama
sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen (Mujamil
Qomar: 1). Jadi pesantren adalah tempat berkumpulnya
sekelompok orang sebagai seorang peserta didik atau “santri”
yang sedang belajar agama Islam.
Pesantren yang termasuk sebagai lembaga pendidikan
Islam yang cukup banyak peminat dan sekaligus menjadi sumber
tumbuhnya generasi-generasi bangsa. Perlu mengokohkan peran
institusi pendidikan Islam pondok pesantren sebagai benteng
menanggulangi radikalisme dan terorisme di Indonesia. Sejalan
dengan yang dicanangkan oleh Kementerian agama untuk
mencegah kekerasan dan radikalisme di pesantren, pihak

162 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Kementerian Agama (Kemenag) sudah meluncurkan moderasi
agama sebagai panduan pembelajaran di pesantren.
Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderâtio, yang
berarti kesedangan (tidak kelebihan dan tidak kekurangan).
Moderasi beragama adalah adil dan berimbang dalam
memandang, menyikapi, dan mempraktikkan semua konsep yang
berpasangan di atas. Dalam KBBI, kata “adil” diartikan: 1) tidak
berat sebelah/tidak memihak; 2) berpihak kepada kebenaran; dan
3) sepatutnya/tidak sewenangwenang (Kementrian Agama RI: 15)
Jadi, moderasi beragama adalah meyakini secara absolut ajaran
agama yang kita yakini dan memberikan ruang terhadap agama
yang diyakini oleh orang lain.
Dalam UU pesantren juga menyebutkan bahwa pesantren
memegang fungsi dakwah atau penyebarluasan ajaran agama
Islam. Pasal dan ayat dalam ketentuan ini sebenarnya bukan
merupakan aturan, namun merupakan penegasan mengenai
model dakwah yang selama ini dijalankan pesantren. Pesantren
adalah pusat dakwah Islam yang moderat (tawassuth),
menghargai tradisi masyarakat dan menggelorakan semangat
cinta tanah air Indonesia.
Moderasi beragama menjadi suatu hal yang penting dalam
sebuah Negara yang homogen, memberikan pemahaman bahwa
nilai-nilai bersikap dalam knteks keberagaman menjadikan kita
tidak egoisme, intoleran,diskriminatif dan sebagainya. menjawab
bagaimana cara berislam dalam masyarakat yang plural, dan
bernegara dalam masyarakat yang religious. Ajaran ini
menekankan pentingya keseimbangan, tidak berdiri pada kutub
ekstrim, baik dalam pemahaman dan pengamalan. Moderatisme
dalam Islam juga mengajarkan inklusifme, persaudaraan,
toleransi, perdamaian dan Islam sebagai rahmatan lil‟alamin
(Sumarto: 21).

Harmonisasi Umat Beragama 163


Sebagai wujud mengokohkan dan menguatkan peran
pesantren dalam menangkal radikalisme dan ekstrimisme perlu
adanya internalisasi moderasi beragama dalam kurikulum
pesantren. Yang bertujuan untuk menengahi kedua kutub
ekstrem ini, dengan menekankan pentingnya internalisasi ajaran
agama secara substantif di satu sisi, dan melakukan
kontekstualisasi teks agama di sisi lain.
Bentuk internalisasi dalam kurikulum pesantren yaitu
pada Hidden curriculum dan core kurikulum. pada Hidden
curriculum menjadi efek penggiring terhadap materi pelajaran.
Dalam pengembangannya, kurikulum tersembunyi memainkan
peran dari segi afektif pendidik yang ditiru/dijadikan contoh dan
mengandung pesan moral serta niai-nilai positif yang berkenaan
dengan moderasi beragama. Misalnya dalam indicator moderasi
beragama terdapat 4 hal; 1) komitmen kebangsaan; 2) toleransi; 3)
anti kekerasan; dan 4) akomodatif terhadap kebudayaan lokal
(Kementrian Agama RI: 43). Pada sikap toleransi, santri selalu
disertai dengan sikap hormat, menerima orang yang berbeda
sebagai bagian dari diri kita, dan berpikir positif.
Implementasinya pada saat pelaksanaan pembelajaran
berlangsung, pendidik berusaha memadukan materi
pembelajaran dengan nilai-nilai atau pesan-pesan moral dengan
konteks moderasi beragama.
Core curriculum merupakan kurikulum yang memuat
pengetahuan umum untuk semua santri sebagai pengalaman
belajar. Konten atau materi pembelajaran memang diarahkan
untuk membentuk karakter moderat bagi santri. Hal tersebut
secara tersurat diajarkan dalam setiap materi yang berhubungan
langsung dengan pembentukan karakter santri yang moderat. Hal
ini juga tidak jauh beda dengan pelaksanaan dalam kurikulum
tersembunyi, yaitu dalam pelaksanaannya harus diawali pendidik

164 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


terlebih daluhu, karena pendidik sebagai role model, yaitu
pendidik senantiasa dituntut menjadi sebuah model dalam
pendidikan karakter dan penanaman nilai-niai moral (Thomas
Gunawan Wibowo: 65). Moderasi beragama dimasukkan dalam
materi sebagai bahan ajar yang diintegrasikan dengan pendidikan
multicultural, yaitu menurut Ainurrafiq Dawam adalah proses
pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai
pluralitas, dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman
budaya, etnis, suku dan aliran (Ngainun Naim: 50). Dengan
begitu, lembaga pendidikan pesantren mampu berperan dalam
menyiapkan seperangkat pengetahuan praktis tentang moderasi
beragama di dalam kurikulum dan setiap akademisi akan
memiliki acuan nilai yang eksplisit.
Hal ini penting untuk dicapai karena memiliki sikap
moderat bagi santri sebagai sebuah keharusan dalam
meminimalisir dampak negatif dari bahaya radikalisme di
pesantren. Tidak hanya santri yang moderat tapi juga melaui
santri peningkatan dan keseimbangan anatara kemampuan untuk
menjadi manusia yang baik dan memiliki kecakapan dan
pengetahuan untuk hidup secara layak bersama dengan
kebhinekaan (plurality) di lingkungan masyarakat.

Daftar Pustaka
Bawani, Imam. Pesantren Buruh Pabrik: Pemberdayaan Buruh Pabrik
Berbasis Pendidikan Pesantren. Yogyakarta: LKiS Pelangi
Aksara, 2011

Kementerian Agama RI. Moderasi Beragama. Jakarta: Badan


Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2019

Harmonisasi Umat Beragama 165


Mubarok, Ahmad Agis., Diz Gandara Rustam. “Islam Nusantara:
Moderasi Islam Indonesia.” Jounal of Islamic Studies and
Humanities Vol. 3, No. 2 (2018) 153-168

Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. Pendidikan Multicultural Konsep


dan Aplikasi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011

Qomar, Mujamil. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju


Demokratisasi Institusi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002

Sumarto dan Emmi Kholilah Harahap. “Mengembangkan


Moderasi Pendidikan Islam Melalui Peran Pengelolaan
Pondok Pesantren.” RIAYAH, Vol. 4 No. 01 Januari-Juni
2019, hlm.21

Wibowo, Thomas Gunawan. Menjadi Guru Kreatif. Jawa Barat:


Media Maxima,2016

166 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Biografi Penulis

Muhammad Holimi, M.Pd.I., lahir di


Probolinggo, tanggal 13 Mei 1984.
Penulis adalah putra pertama dari 4
saudara dari pasangan H. Moh.
Masduki (Alm) & Siti Hotidjah.
Tinggal di Perumahan Pondok
Mutiara Asri Desa Pandanlandung
Kecamatan Wagir Kabupaten
Malang, bersama Istri (dr. Mega
Wiragrenda Alif Fiola dan seorang
putra (Muhammad Hisyam Hulaimy).
No HP. 082141893598. Email:
halimi15@gmail.com.
Pendidikan Formal: -Lulus SD Sukoharjo I Probolinggo
tahun 1989, -Lulus SMPN 3 Probolinggo tahun 1999, -Lulus MI,
MTs dan MA Madrasah Miftahul Ulum Pon.Pes. Sidogiri
Pasuruan tahun 2008, -Lulus Strata-1 Jurusan Pend. Bahasa Arab
kampus UIN Malang 2012 dan lulus Strata Pasca Sarjana PBA
kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang 2014.

Harmonisasi Umat Beragama 167


KRISTOLOGI TEOSENTRIS
(Suatu Pemikiran untuk Merajut Persaudaraan Antar
Umat Beragama)

Oleh:
Antoni Manurung
(Dosen Sekolah Tinggi Teologi Gereja Methodist Indonesia)

Pengantar
Kemajemukan Dan Perbedaan Adalah Suatu Realitas Dan
Keniscayaan Ditengah-Tengah Kehidupan Ini. Demikian Juga
Halnya Dalam Agama, Realitas Yang Ada Adalah Pluralitas Dan
Adanya Perbedaan Agama Dan Penganutnya. Sejatinya Perbedaan
Yang Ada Haruslah Menjadi Sesuatu Yang Disyukuri Dan Dilihat
Sebagai Kekayaan Yang Mewarnai Kehidupan Bersama. Disana
Perbedaan Dikelola Dan Dijadikan Menjadi Kekayaan Yang
Dapat Memperkaya Satu Sama Lainnya. Agama Memberikan
Kontribusi Dan Inspirasi Kepada Masyarakat Dalam Membangun
Perdamaian. Sejarah Peradaban Hidup Manusia Telah
Menunjukkan Itu, Banyak Bukti-Bukti Yang Menunjukkan
Bahwa Upaya Membangun Perdamaian Dilakukan Oleh
Penganut Agama, Pemimpin-Pemimpin Agama Tingkat Nasional
Atau Internasional, Badan-Badan Oikumene Dan Antar Agama,
Serta Masyarakat Biasa Yang Tidak Lepas Dari Pengaruh Agama.
Akan Tetapi Fakta Sejarah Yang Lain Menunjukkan Dan Tidak
Dapat Ditutupi Bahwa Perbedaan Agama Yang Ada Telah

168 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Menjadi Potensi Dan Sering Memicu Terjadinya Ketegangan
Bahkan Konflik Terbuka Ditengah-Tengah Masyarakat. Keadaan
Demikian Sudah Tentu Menjadi Pergumulan Yang Menuntut
Perlunya Dilakukan Pengembangan Pemikiran, Gagasan Dan
Inspirasi Untuk Diwujudkan Dalam Tindakan Konkret Sebagai
Upaya Merajut Persaudaraan Yang Rukun Dan Damai Diantara
Umat Beragama. Untuk Itulah Karya Ilmiah Ini Menjadi Sangat
Urgent Dan Diharapkan Memberikan Sumbangan Pemikiran
Konstruktif Dalam Merajut Persaudaraan Ditengah Kepelbagaian
Agama Khususnya Di Indonesia.

Pluralitas Agama Sebagai Konteks Yang Tidak Terhindarkan


Pluralitas Agama Di Indonesia Sudah Merupakan Sebuah
Realitas Yang Dapat Dijumpai Di Tengah-Tengah Kehidupan
Masyarakat. Hal Itu Dapat Kita Lihat Dari Kehadiran Berbagai
Agama Besar Dunia Yang Berkembang Dan Menjadi Anutan
Masyarakat Indonesia. Ada Agama Islam Yang Berkembang
Merata Di Seluruh Nusantara Sebagai Anutan Mayoritas
Masyarakat Indonesia. Ada Agama Kristen, Baik Katolik Maupun
Protestan , Agama Hindu, Agama Budha Dan Kongfucu. Selain Itu
Ada Juga Agama-Agama Asli, Misalnya Di Kalimantan Di Kenal
Agama Kaharingan Yang Dianut Oleh Suku Dayak Dan Agama
Parmalim Di Daerah Batak (Djohan Effendi, 1994:16)
Indonesia Sebagai Negara Yang Besar Selain Dikenal
Dengan Keanekaragaman Suku Dan Budayanya, Juga Merupakan
Sebuah “Pertemuan” Dan Sekaligus Sebagai “Kumpulan” Yang Ramai
Bagi Pengaruh Agama-Agama Dunia. Realitas Itu Sudah
Merupakan Fakta Sejarah Bahwa Dari Dahulu di Indonesia Sudah
Ada Dan Ditemukan Pelbagai Agama Yang Berbeda-Beda.
Keadaan Itu Tidak Hanya Menjadi Dokumen Dan Fakta Historis
Saja Tetapi Telah Turut Menginspirasi Para Founding Fathers
Bangsa Ini Dalam Merumuskan Apa Yang Menjadi Dasar Negara.

Harmonisasi Umat Beragama 169


Pemilihan Pancasila Sebagai Dasar Negara Bukan Sebuah
Kebetulan Tetapi Menegaskan Adanya Pluralitas Agama di
Indonesia. Pencantuman Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Tidak
Lain Berakar Pada Realitas Kemajemukan Agama Yang Dianut
Oleh Bangsa Indonesia. (Th.Sumartana (Ed), 2001:101).
Sejarah Diatas Memastikan Bahwa Pluralitas Agama Di
Negeri Ini Merupakan Realitas Empirik Yang Tidak Bisa Lagi
Dipungkiri. Kenyataan Tersebut Bukanlah Kondisi Yang Dibuat-
Buat Tetapi Merupakan Realitas Yang Harus Diterima Dan
Disyukuri Sebagai Rahmat Dari Tuhan. Realitas Yang Yang
Membuat Bangsa Ini Berbeda Dari Bangsa-Bangsa Lainnya Yang
Harus Dirawat Bersama-Sama Dan Dikelola Untuk Menjadi
Kekayaan Dan Sumber Kedamaian Dan Kekuatan Berbangsa.
Kesadaran Inilah Yang Membuat Para Pendiri Bangsa Ini Memilih
Pancasila Sebagai Dasar Negara Yang Secara Implisit
Mewariskan Dan Memberikan Dasar-Dasar Yang Kuat Bagi
Warga Bangsa Ini Untuk Menerima Dan Menghargai
Kepelbagaian Yang Ada Dengan Bersikap Toleran Serta
Menjunjung Tinggi Perbedaan Yang Ada, Termasuk Pluralitas
Agama. Pancasila Menjadi Cerminan Pluralitas Agama Ditengah-
Tengah Bangsa Ini. Dengan Demikian Pluralitas Agama Yang Ada
Bukanlah Malapetaka Dan Tidak Boleh Dijadikan Sumber
Malapetaka, Tetapi Harus Dikelola Dan Dijadikan Sebagai
Kekayaan Bersama Dan Kekuatan Berbangsa.( Th Sumartana
(Ed), 2001:V).

Pluralitas Agama Sebagai Konteks Yang Problematis


Sejarah Kemajemukan Agama Yang Ada Di Indonesia Telah
Memberikan Makna Dalam Dua Sisi Yang Brbeda. Pada Satu Sisi
Mencerminkan Keindahan Dan Kekayaan Tanah Air Indonesia
yang Memungkinkan Setiap Anak Bangsa Untuk Melihat Dan

170 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Mempelajari Hal-Hal Yang Berbeda Antara Satu Sama Lainnya.
Proses Seperti Itu Berpeluang Untuk Memperkaya Setiap Orang
Dalam Keyakinannya. Akan Tetapi Pada Sisi Lain Konteks
Pluralitas Agama Dengan Sendirinya Ternyata Tidak Selalu
Berarti Demikian. Pluralitas Agama Telah Menjadi Konteks Yang
Problematis Dan Menjadi Salah Satu Konteks Pergumulan Dalam
Berbangsa Dan Bernegara Sepanjang Sejarah Bahkan Hingga Saat
Ini. Disebutkan Demikian Karena Dalam Kemajemukan Agama
Yang Ada Bisa Muncul Sikap-Sikap Yang Intoleran Bahkan
Tindakan-Tindakan Radikal Yang Dapat Mengancam Dan
Merusak Persatuan Dan Kesatuan Berbangsa. Perbedaan Agama
Dan Para Penganut Yang Ada Sangat Potensial Untuk
Menimbulkan Ketegangan Bahkan Sangat Memungkinkan
Terjadinya Konflik. Sejarah Bangsa Indonesia Menunjukkan
Pluralitas Agama Sering Menjadi “Ladang” Atau “Pemicu”
Terjadinya Hal – Hal Yang Menakutkan Dan Menimbulkan
Penderitaan, Pertikaian, Permusuhan, Kekerasan Bahkan
Pembunuhan. (Th. Sumartana (Ed), 2001: Xiv) Akibatnya
Ratusan Rumah Ibadah Dirusak, Dihancurkan Dan Dibakar.
Korban Berjatuhan, Fasilitas Umum Dirusak, Kerugian Material
Tidak Terhitung Jumlahnya Dan Meninggalkan Trauma Yang
Mendalam Dan Sulit Dipulihkan. (Th.Sumartana, 2001 : 64)
Problematis Pluralitas Agama Yang Digambarkan Di Atas
Memunculkan Pertanyaan Besar Kepada Kita, Mengapa Bisa
Demikian?. Hendro Puspito Menyebutkan Bahwa Salah Satu
Bentuk Konflik Sosial Yang Dapat Diakibatkan Agama Adalah
Karena Perbedaan Doktrin Dan Sikap. Perbedaan Doktrin
Menjadi Salah Satu Penyebab Utama Terjadinya Konflik. Dalam
Konteks Ini Sadar Atau Tidak Sadar Setiap Pihak Mempunyai
Gambaran Tentang Ajaran Agamanya, Membandingkannya
Dengan Ajaran Agama Yang Lain, Memberikan Penilaian Atas

Harmonisasi Umat Beragama 171


Agama Sendiri Dan Agama Yang Lain. Dalam Skala Penilaian
Yang Dibuat Secara Subyektif Nilai Tertinggi Selalu Diberikan
Kepada Agamanya Sendiri Dan Agamanya Sendiri Selalu
Dijadikan Kelompok Patokan (Referensi Group), Sedangkan
Yang Lain Dinilai Menurut Patokan Itu. Klaim Seperti Ini
Menempatkan Suatu Agama Dalam Posisi Superior Sedangkan
Agama Lain Bersifat Inferior. Kebenaran Satu Agama Menjadi
Acuan Kebenaran Agama-Agama Yang Lainnya. Pada Akhirnya
Klaim Seperti Ini Mendorong Munculnya Penolakan Terhadap
Agama Lain, Itu Sama Artinya Dengan Tidak Mengakui
Keberadaan Agama Orang Lain. Keadaan Seperti Inilah Yang
Sering Memicu Terjadinya Ketegangan Bahkan Konflik Diantara
Penganut Agama-Agama Yang Berbeda Dan Sering Menjadi Salah
Satu Pemicu Terjadinya Kekerasan Dan Konflik Agama (Hendro
Puspito, 1983 :152).
Kimball Memberi Pandangan Senada, Salah Satu Penyebab
Yang Dapat Membuat Agama Menjadi Masalah Adalah Klaim
Exclusive Suatu Agama Terhadap Kebenaran Agamanya Sebagai
Kebenaran Yang Mutlak Dan Satu-Satunya. Kebenaran
Agamanya Dianggap Sebagai Kebenaran Yang Paling Unggul
Daripada Kebenaran Yang Lainnya. Klaim Itu Didasarkan Atas
Ajaran Otoritatif Dari Orang Yang Dianggap Sebagai Orang Suci
Atau Interpretasi Atas Teks Suci. Klaim Seperti Ini Sering Dibuat
Menjadi Titik Tolak Untuk Meniadakan Pemeluk Agama Lain,
Karena Mereka Dianggap Mempunyai Pengertian Yang Tidak
Benar Tentang Tuhan. Agama Yang Dianut Tidak Lagi Membuat
Manusia Menjadi Sesama Terhadap Yang Lainnya. Bila Hal Ini
Terjadi Maka Penganut Agama Tersebut Akan Melakukan Apa
Saja Untuk Membenarkan Dan Mendukung Klaim Kebenarannya
(Charles Kimball, 2002:15-16).
Gambaran Persoalan Diatas Menunjukkan Bahwa Salah
Satu Persoalan Serius Dalam Pluralitas Agama Adalah Pesoalan
Teologis Yang Berpotensi Dan Akhirnya Bisa Disusupi Persoalan

172 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Politis Hingga Menimbulkan Persoalan Yang Semakin Eskalatif
Dalam Kehidupan Umat Beragama. Persoalan Teologis Yang
Dimaksud Adalah Klaim Exclusive Yang Dilakukan Oleh Agama
Tertentu. Satu Agama Tertentu Melihat Kebenaran Agamanya
Sebagai Satu-Satunya Kebenaran Tunggal, Absolute, Universal
Dan Bersifat Normative Terhadap Agama-Agama Yang Lain.
Superioritas Seperti Ini Dapat Berdampak Lebih Jauh Hingga
Tidak Mengakui Orang Lain Dalam Masyarakat Dan Kehidupan
Politik Berbangsa. Kalim Exclusive Seperti Ini Dapat Menjadi
Akar Fundamentalisme Agama Yang Sangat Menakutkan
(Stanley J Samartha, 1994: 80-82). Klaim Teologi Yang Exclusive
Dapat Menimbulkan Konsekwensi Dalam Bidang Politik,
Menimbulkan Arogansi Dan Ketidakadilan Sosial Di Tengah-
Tengah Masyarakat. Sebab Setiap Klaim Akan Membuat Satu
Komunitas Agama Kesulitan, Bahkan Tidak Mungkin Dapat
Hidup Bersama-Sama Dalam Damai Dengan Komunitas Agama
Lain Yang Berbeda Untuk Mencapai Tujuan Bersama Dalam
Sebuah Masyarakat. Kalim Exclusive Akan Mengasingkan Satu
Komunitas Iman Dari Saudara-Saudaranya Yang Beragama Lain,
Menciptakan Ketegangan, Ketidakadilan, Kekerasan Dan
Mengganggu Hubungan Komunitas Di Tengah-Tengah
Masyarakat. Dalam Situasi Seperti Ini Kita Tidak Akan Mungkin
Dapat Menjadi Sesama Dan Mengasihi Orang Lain Sebagaimana
Kita Mengasihi Diri Kita Sendiri. Dalam Konteks Seperti Itu
Sudah Pasti Akan Sulit Dirajut Persaudaraan Yang Rukun
Diantara Pemeluk Agama Yang Berbeda-Beda. (Stanley J
Samartha, 1991:76). Kondisi Seperti Itu Sekaligus Menantang
Setiap Kita Untuk Selalu Memikirkan Upaya Yang Dapat
Dilakukan Untuk Merajut Persaudaraan Ditengah-Tengah
Kepelbagaian Agama Yang Ada.

Harmonisasi Umat Beragama 173


Kristologi Theosentris, Sebuah Pemikiran Dalam Upaya
Merajut Persaudaraan Antar Umat Beragama
Penulis Memilih Pemikiran Stanley J Samartha Untuk
Menjelaskan Kristologi Teosentris Sebagai Sebuah Pemikiran
Untuk Merajut Persaudaraan Antar Umat Beragama. Stanley J
Samartha Adalah Salah Seorang Teolog Kristen Yang
Mengembangkan Pemikiran Tentang Kristologi Teosentris.
Pemikiran Ini Digagas Dan Dikembangkan Untuk Dapat
Menolong Agama-Agama, Khususnya Kekristenan Dalam
Memahami Dan Mengkomunikasikan Keyakinannya Di Tengah
Konteks Pluralitas Agama. Menurut Samartha, Dalam Kristologi
Teosentris Ada Dua Faktor Yang Perlu Diperhitungkan. Pertama
Adalah Menerima Mysteri (Sense Of Mystery) Dan Kedua Adalah
Menolak Sikap Exclusive Terhadap Hal Yang Terutama
(Ultimate). Mysteri Adalah Realitas Yang Keberadaannya Lebih
Besar Dan Melampaui Pandangan Partikular Kita Kepadanya,
Sesuatu Yang Dapat Dialami Tetapi Kita Tidak Dapat
Menguasainya. Sifat Mysteri Adalah Tidak Menerima Klaim
Exclusive Dari Satu Komunitas Agama Untuk Dijadikan Sebagai
Keunikan Atau Pengetahuan Akhir Tunggal Terhadap Segala-
Galanya. Semua Respon Manusia Dan Agama Terhadap Mystery
Adalah Relative, Karena Setiap Respon Di Pengaruhi Oleh Faktor
Sejarah Dan Budaya Yang Ada (Eeutwout Klootwijk, 1992:226-
228).
Kristologi Teosentris Yang Dikembangkan Ini Membangun
Hubungan Kekristenan Pada Posisi Relational Distinctiveness Of
Christ. Relational Karena Keberadaan Kristus Tidak Hanya Berelasi
Dengan Orang Kristen, Agama-Agama Lain Juga Mempunyai
Relasi Dengan Kristus Walaupun Tidak Dalam Relasi Yang Sama
Dengan Orang Kristen. Distinctiveness Karena Relasi Antara Satu
Sama Lainnya Adalah Berbeda-Beda. Setiap Agama Memiliki
Partikularitas Yang Membedakannya Dengan Agama Yang Lain.

174 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Perbedaan Itulah Yang Memungkinkan Satu Sama Lain Dapat
Saling Memperkaya. Jadi Orang Kristen Dalam Relasional
Distinctiveness Ini Adalah Orang Kristen Yang Mengakui Keunikan
Yesus Kristus, Tetapi Keunikan Itu Berada Dalam Relasi Dengan
Allah Yang Bersifat Universal. Dengan Demikian, Kekhususan
Yang Ada Akan Menghindari Exclusivisme Baik Yang Terang-
Terangan Maupun Yang Tersembunyi Dan Mendorong Lahirnya
Keterbukaan Antara Satu Sama Lainnya. Jika Respon Manusia
Terhadap Mystery Adalah Plural Dan Diartikulasikan Dalam
Cara Yang Berbeda, Hal Yang Sama Juga Terjadi Terhadap
Pengalaman Keselamatan Dan Makna Hal Itu Bagi Pengikut
Tradisi Keagamaan Yang Lain. Klaim Terhadap Keunikan Dari
Satu Komunitas Agama Tertentu Adalah Normative Bagi
Anggotanya Saja, Contoh; Yesus Kristus Sebagai Juruselamat
Adalah Normative Bagi Orang Kristen; Tetapi Pengakuan Iman
Ini Tidak Dapat Dibuat Menjadi Absolute Tunggal, Normative
Dan Menentukan Pada Keyakinan Yang Dimiliki Oleh Orang
Lain. Kita Sungguh-Sungguh Komit Kepada Yesus Kristus
Sebagai Jalan Dan Keselamatan Bagi Orang Kristen, Tetapi
Mengakui Juga Adanya Kemungkinan Jalan Keselamatan Yang
Lain Di Samping Yesus Kristus. Sebab Agama-Agama Lainpun
Mempunyai Tradisi Dan Figur Yang Diyakini Sebagai Jalan
Keselamatan Bagi Mereka. Setiap Agama Dan Figurnya Adalah
Terbatas Dan Tidak Ada Agama Yang Dapat Dibenarkan
Mengklaim Dirinya Menjadi Menentukan Bagi Semuanya. Harus
Dipahami Bahwa Klaim Exclusive Setiap Agama Akan
Mengisolasikan Dirinya Dari Saudara-Saudaranya Yang Beragama
Lain Ditengah-Tengah Pluralitas Agama Yang Ada. Klaim Yang
Demikian Akan Membuat Teologi Agama Tersebut Teralienasi -
Tidak Terkontekstualisasi Dan Melemahkan Spritualitas Mereka.
Secara Khusus Bagi Kekristenan, Di Tengah Kepelbagaian Agama
Yang Ada Di Masyarakat, Sikap Itu Akan Membuat Kekristenan
Sulit Hidup Berdamai Dan Bekerjasama Dengan Saudara-Saudara

Harmonisasi Umat Beragama 175


Dari Agama Yang Lain (Stanley J Samartha, 1991:118). Menurut
Samartha Kristologi Teosentris Adalah Kristologi Yang Dapat
Menghindari Kekristenan Dari Bahaya Itu Dan Sangat Menolong
Kekristenan Untuk Menentukan Hubungan Yang Baru Dengan
Saudara-Saudara Dari Agama Lain (Stanley J Samartha, 1991:86).
Kristologi Teosentris Yang Menerima Mystery Dan
Menolak Sikap Exclusive Terhadap Realitas Yang Utama
Membuat Kekristenan Mempertahankan Kesetiaannya Kepada
Kristus Dan Terbuka Terhadap Agama-Agama Yang Lain. Dalam
Pandangan Ini Kekristenan Akan Melihat Posisi Allah Sebagai
Pusat. Dialah Yang Menciptakan Dan Menyelamatkan Seluruh
Kehidupan Manusia Di Dunia. Dia Adalah Allah Yang Dapat
Ditemukan Dalam Semua Agama, Dan Setiap Agama Mempunyai
Respon Yang Berbeda-Beda Terhadap Keselamatannya. Yesus
Kristus Di Lihat Sebagai Salah Satu Penyelamat Di Antara Figur-
Figur Penyelamat Yang Lainnya, Dia Sungguh-Sungguh Tetapi
Bukan Satu-Satunya. Yesus Kristus Adalah Unik Dalam
Otoritasnya Sebagai Penyataan Allah, Tetapi Di Sini Dapat Ada
Figur Penyelamat Lain Yang Berbeda Dan Sungguh-Sungguh
Menjadi Jalan Keselamatan (Veli-Matti Karkkaeinen, 2003:317)
Kristologi Teosentris Akan Membangun Hubungan
Kekristenan Yang Bersifat Relational Distinctiveness Pada Kristus.
Kristus Dipahami Memiliki Relasi Dengan Agama Lain
Walaupun Tidak Dalam Relasi Yang Sama Seperti Relasi Yang
Dimiliki Oleh Kekristenan. Perbedaan Itulah Yang
Memungkinkan Agama Kristen Dan Agama-Agama Lain Dapat
Saling Memperkaya. Dalam Hubungan Yang Seperti Ini Akan
Terbuka Kemungkinan Bahwa Orang Kristen Akan Memperkaya
Dan Diperkaya Oleh Orang Lain. Mengikuti Pemikiran
Banawiratma, Menerima Pluralitas Agama Tidak Hanya Berarti
Mengakui Kemajemukan Religius An Sich, Tetapi Juga Menerima
Nilai Dari Pengalaman Religius Yang Lain. Kepedulian Kita
Bukanlah Hanya Memahami Pengalaman Agama Lain Dari

176 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Persefktif Iman Kita Sendiri. Lebih Dari Itu, Refleksi Mengenai
Pluralitas Agama Juga Ingin Memperkaya Dan Memperdalam
Iman Sendiri Dengan Belajar Dari Iman Lain. Kita Ingin
Memasuki Pengalaman Religius Lain Dan Kembali Ke Tradisi
Kita Sendiri Dengan Insight Yang Baru Yang Lebih Mendalam
(JB.Banawiratma, 2000:76). Geerit Singgih Menyebutnya Dialog
Yang Terwujud Dalam “Passing Over And Coming Back”
(Emanuel Geerit Singgih , 2002:161).
Kristologi Teosentris Akan Mendorong Terjadinya Dialog
Di Antara Agama-Agama Yang Ada. Dialog Yang Didasari Oleh
Komitmen Semua Pihak Terhadap Iman Mereka Masing-Masing
Dan Keterbukaan Mereka Terhadap Wawasan Pihak Lain Serta
Tetap Menghargai Integritas Agama Yang Ada. Tujuannya
Bukanlah Untuk Mencapai Konsensus, Melainkan Pengayaan
Dari Semua Dalam Rangka Penemuan Dimensi-Dimensi
Kebenaran Yang Baru. Di Sana Orang Kristen Dan Orang Dari
Agama-Agama Lain Dapat Menyaksikan Keyakinannya,
Berbicara Terus Terang Dan Saling Mendengarkan. Tujuannya
Untuk Belajar Dari Pengalaman Dan Penghayatan Lain, Untuk
Saling Memperkaya Kehidupan Beriman Dan Beragama. Sebab,
Perjumpaan Dengan Iman Dan Agama Lain Menantang Orang
Yang Bersangkutan Untuk Bersikap Kritis Dan Mengolah Iman
Dari Tradisinya. Kita Dapat Mengatakan, To Be Religious Today Is
To Be Inter-Religious. Identitas Dan Tradisi Yang Plural Selayaknya
Bergerak Secara Dialogis Dan Transformatif Bagi Keseluruhan
Demi Kehidupan Bersama Yang Lebih Adil Dan Manusiawi (JB.
Banawiratma, 2000:82)
Pemikiran Stanley J Samartha Mengenai Kristologi
Teosentris Akan Memberikan Banyak Ruang Kepada Orang
Kristen Untuk Hidup Bersama-Sama Dengan Saudara-Saudara
Dari Agama Yang Lain. Itu Membuat Kita Sungguh-Sungguh

Harmonisasi Umat Beragama 177


Komit Kepada Allah Dalam Yesus Kristus Tanpa Bersikap
Negatif Kepada Saudara-Saudara Yang Beragama Lain. Komit
Kepada Yesus Kristus Sebagai Jalan Keselamatan Dan Mengakui
Adanya Jalan Keselamatan Di Samping Kristus. Pemikiran Yang
Seperti Ini Dapat Menjadi Konsep Kerangka Kerja Yang Lebih
Komprehensif Untuk Berdialog Dengan Saudara-Saudara Dari
Agama Lain Supaya Dapat Berbagi Dan Saling Memperkaya.
Dialog Seperti Itu Akan Menjadi Suatu Jalan Yang Normal Dalam
Hubungan Di Antara Orang Yang Berbeda Agama, Bukan Lagi
Menjadi Model Berkomunikasi Yang Penuh Kepalsuan. Dialog
Yang Demikian Akan Mengubah Penekanan Dari Suatu Yang
Normative Menjadi Suatu Sikap Yang Relasional Kepada
Saudara-Saudara Yang Beragama Lain. Sehingga Hubungan Yang
Baru Dapat Diperlihatkan Melalui Mengakui Perbedaan Daripada
Memperlihatkan Keseragaman. Menolak Dikothomi Antara Kami
Dan Mereka Atau Yang Di Dalam Atau Yang Di Luar. Kristologi
Teosentris Membuat Kemungkinan Untuk Mengakui Makna
Teologis Dari Pernyataan Dan Pengalaman Lain Terhadap
Keselamatan. Membuka Kemungkinan Orang Kristen Dapat
Memperkaya Dan Diperkaya Oleh Orang Lain. Keadaan
Demikian Akan Menjadi Tempat Bekerjasama Antara Orang
Kristen Dan Agama-Agama Lain Untuk Berpartisipasi Dengan
Semua Manusia Dalam Meneruskan Misi Allah Di Dunia - Untuk
Menyembuhkan Kehancuran Yang Dialami Oleh Manusia.
Ditengah Upaya Merajut Persaudaraan Dalam
Kepelbagaian Agama Di Indonesia, Pemikiran Stanley J Samartha
Tentang Kristologi Teosentris Diharapkan Akan Dapat Membuat
Kekristenan Dan Semua Orang Dari Berbagai Keyakinan Dapat
Hidup Berdamai Untuk Mencapai Tujuan Bersama Yang Lebih
Adil Dan Manusiawi Di Tengah-Tengah Masyarakat. Di
Indonesia, Hal Ini Merupakan Imperatif Terhadap Kekristenan

178 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Dan Agama-Agama Lainnya. Agama Kristen Dan Agama-Agama
Lainnya Harus Bergerak Dan Bekerjasama Dalam Menghadirkan
Kehidupan Yang Lebih Inclusive, Adil Dan Manusiawi Di
Tengah-Tengah Masyarakat Indonesia. Hal Ini Penting Untuk
Membangun Pemahaman Teologi Yang Benar Antara Satu Sama
Lainnya Sehingga Dapat Menjernihkan Kesalahpahaman-
Kesalahpahaman Atau Stereotipe-Stereotipe Yang Ada Selama Ini.
Kemudian Potensi-Potensi Konflik Di Tengah-Tengah
Masyarakat Yang Dapat “Meletup” Pada Setiap Saat Akan Dapat
Di Atasi Dan Solidaritas Serta Kebersamaan Akan Dapat
Dibangun Dalam Menghadapi Dan Mengatasi Persoalan
Kemanusiaan Yang Sangat Besar Di Indonesia Sekarang Ini.
Dalam Hal Inilah Makna Pluralitas Agama Di Indonesia Akan
Bermakna Konstruktif Dan Menjadi Kekayaan Bersama.

Penutup
Dalam Konteks Kepelbagaian Agama Di Indonesia,
Pemikiran Tentang Kristologi Teosentris Akan Membuat
Kekristenan Melihat Agama Lain Secara Positif, Sebagai Sahabat
Dan Saudara Yang Sama-Sama Berjalan Untuk Menuju Tujuan
Yang Sama Dalam Rajutan Persaudaraan. Keselamatan Tidak
Hanya Ditentukan Oleh Satu Jenis Agama Saja, Agama-Agama
Lain Termasuk Kekristenan Adalah Representasi Dari Banyak
Jalan Untuk Menuju Allah Yang Sama. Di Sanalah Klaim Teologi
Yang Exclusive Dapat Ditanggalkan Dan Hubungan Yang
Inclusive Serta Dialogis Dapat Dikembangkan. Disana Sikap
Menghargai Kebenaran Agama Lain Akan Tumbuh Berkembang,
Potensi Konflik Dan Kekerasan Yang Akan Terjadi Diminimalisir
Dan Persaudaraan Diantara Kepelbagaian Umat Beragama Akan
Dapat Dirajut Dalam Semangat Kebangsaan.

Harmonisasi Umat Beragama 179


Daftar Pustaka

Effendi, Djohan, Pluralitas keagamaan di Indonesia, dalam GEMA


Dutawacana, 1994, UKDW -Yogyakarta.

Geerit Singgih, Emanuel, 2002, Iman dan Politik dalam era reformasi
di Indonesia, Jakarta: BPK-GM.

Hendropuspito, 1983, Sosiologi Agama, Jakarta:BPK-GM

JB.Banawiratma, Kristologi Pluralisme, dalam Jurnal Filsafat dan


Teologi Orientasi Baru, No 13 Desember 2000, Yogyakarta-
Fakultas Teologi Sanatha Dharma.

Karkkainen, Veli-Matti, 2003, An introduction Theology of Religion,


Illionis-InterVarsity Press.

Kimblal, Charles,2002, Kala agama jadi bencana, Bandung-Mizan.

Klootwijk, Eeutwout,1992, Commitmen and openness, Uitgeverij


Boekencentrum-Netherland.

Samartha J Stanley, 1991, One Christ Many Religion, Orbis Book-New


York.

Samartha J Stanley, The Future of Inter-Religious Dialog, Threat and


Promise, dalam Journal of Dharma, No 1 Vol XIX January –
Maret, 1994.

Sumartana, Th (ed), 2001, Pluralisme agama,konflik dan pendidikan


agama Kristen, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

180 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Biografi Penulis

Pdt Antoni Manurung lahir pada tanggal 17 Oktober 1976 di


Hutapadang, Sumatera utara. Ia menyelesaikan pendidikan strata
1 teologinya dari STT GMI Bandar Baru pada tahun 2000 dan
menyelesaikan Magister Teologinya dari Fakultas Teologi
Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Yogyakarta pada
tahun 2008.
Pdt Antoni Manurung ditahbiskan sebagai pendeta pada
tahun 2003 dan menjadi anggota Konferensi Tahunan Gereja
Methodist Indonesia (GMI) Wilayah I. Adapun pengalaman
pelayanannya di GMI Wilayah I, yaitu:
- Ia melayani sebagai pendeta jemaat di daerah Pekanbaru, Riau
- Sekretaris Eksekutif Badan Evangelisasi dan Pembinaan
- Sekretaris Yayasan Pendidikan GMI Wilayah 1
- Ketua PKY (Pelaksana Kerja Yayasan) Universitas Methodist
Indonesia (UMI)
- Sejak 2018 sampai dengan sekarang menjadi dosen di STT
GMI Bandar Baru sekaligus sebagai Ketua PKY (Pelaksana
Kerja Yayasan) STT GMI Bandar Baru.

Harmonisasi Umat Beragama 181


Bersama dengan istri tercinta, Pdt Apriani Magdalena
Sibarani, MSi.Teol dan ketiga buah hati mereka, yaitu: Graciella,
Angelina dan Irene mereka berdomisili di Medan.

182 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Nilai Persatuan dan Kesatuan Melalui
Perdamaian Beragama

Oleh:
Siti Muawanatul Hasanah, S.Pd.I., M.Pd.
(Dosen Universitas Islam Raden Rahmat Malang)

Pendahuluan
Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai banyak suku, etnis,
budaya, bahasa, adat istiadat dan beragam agama, maka
Indonesia disebut dengan bangsa yang majemuk. Indonesia
memberikan kesempatan pada setiap masyarakat di seluruh
tanah air untuk memilih agama yang dipeluknya sesuai dengan
keyakinan masing-masing. Yang demikian ini berdasarkan pada
Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 29 ayat 1 yang berbunyi
“Negara Indonesia memberikan kebebasan kepada warga negara
Republik Indonesia untuk memilih salah satu di antara agama
yang ada yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan
Konghucu”. (UUD 45: Batang Tubuh). Dari sinilah persatuan dan
kesatuan bangsa wajib terjalin demi keberlangsungan
perdamaian bangsa Indonesia.
Hidup rukun dengan agama lain merupakan upaya
langsung dan penting dilakukan dalam rangka mewujudkan

Harmonisasi Umat Beragama 183


integrasi nasional yang menjadi kebutuhan dalam rangka
menjaga stabilitas nasioanal yang aman, tenteram, dan damai
demi mewujudkan persatuan bangsa. Hal tersebut dapat
terealisasi jika antar pemeluk agama bisa saling mengedepankan
nilai-nilai persatuan dan kesatuan yang dapat diejawantahkan
dalam satu rasa dan satu jiwa meski berbeda agama, yaitu
meliputi rasa saling menyayangi, rasa saling menghargai, rasa
saling tepa slira (bahasa jawa), rasa saling tolong menolong, rasa
saling menghormati, rasa saling menolong, dan rasa saling
menyatukan perbedaan (toleransi). (Abdul Mukti, 1999: 50).
Dari sinilah nilai persatuan dan kesatuan melalui
perdamaian beragama menjadi topik menarik, karena dalam hal
ini negara menjadi soko bangunan sebagai penata kehidupan
nasional dengan pluralitas agama-agama yang berbeda, sehingga
para pemeluk agama dituntut untuk bijaksana dalam menyikapi
problematika dan perbedaan yang muncul dalam tiap agama yang
ada. Dengan demikian agama diharapkan menjadi pencipta
perdamaian bagi masing-masing agama yang ada dinegara
tercinta republik Indonesia. Serta diharapkan agama mampu
memberikan citra positif melalui prilaku pemeluknya.

Nilai Persatuan dan Kesatuan


Nilai persatuan dan kesatuan dalam beragama dapat
diciptakan dan dibentuk dalam masyarakat yang mempunyai
budaya. Dalam memainkan perannya, agama harus mampu
memberikan gambaran nilai yang berbudi luhur, yang eksis dalam
kehidupan para pemeluknya. Artinya dengan memeluk agama
tertentu, diharapkan seseorang dapat menjadi pribadi yang luhur
dan berbudi pekerti baik. Sebaliknya jika suatu agama berperan
menyempitkan pemahaman pemeluknya dan mengungkung

184 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


kebebasan untuk berpikir terbuka, maka agama tersebut belum
berpikiran terbuka dan masih sempit pemahamannya terhadap
agama lain, maka yang terjadi adalah konflik antar agama.
Mengapa demikian? Karena masing-masing agama meyakini
agamanya lebih baik dari agama orang lain. Inilah yang akan
menjadikan konflik besar dalam konteks keberagamaan.
Oleh sebab itu untuk menghindari konflik antar umat
beragama, maka persatuan dan kesatuan menjadi ujung tombak
yang wajib dilaksanakan secara langsung oleh semua pemeluk
agama di negara tercinta. Umat beragama harus bersatu dalam
segala aspek dalam rangka mencapai perdamaian Negara. Adapun
nilai persatuan tercermin dalam prilaku masyarakat yang
menghargai umat lain sedang melaksanakan ibadah dan
melaksanakan kegiatan-kegiatan peribadatan lainnya. (Nurcholis
Majid, 1997: 59).
Makna persatuan dan kesatuan dalamkonsepsi falsafah
bung karno disebut sebagai kebangsaan Indonesia (nasionalisme)
termaktub dalam pancasila pada sila ketiga “persatuan Indonesia”
pada sila ini mencerminkan sebuah formulasi dalam faham
individualisme, yaitu suatu faham jika dia berdiri sendiri tanpa
ada faham pendampinglainnya maka tidak ada dasar yang
menjadi tolak ukur dan akan lahir faham liberalisme. Maka dari
itu pada awalnya sila persatuan dan kesatuan ini menjadi sebuah
pengimbang terhadap konsepsi internasionalisme yang tidak
dapat tumbuh subur jika tidak berdampingan dengan konsep
nasionalisme. Maka disinilah sesungguhnya peran agama sebagai
figure nasionalisme pemersatu perdamaian bangsa menjadi
sangat penting dilaksanakan demi tercapainya kerukunan antar
umat beragama di Negara tercinta.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai persatuan
dan kesatuan meminjam pendapat dari notonegoro, tercermin

Harmonisasi Umat Beragama 185


nilai persatuan dan kesatuan dari beberapa aspek yang
menrupakan persatuan dan kesatuan secara majemuk. Di
antaranya adalah:
1. Kesatuan sejarah: bahwa bangsa Indonesia dalam proses
sejarahnya ada sejak zaman prasejarah mulai dari zaman
sriwijaya, majapahit, dan sampai pada deklarasi sumpah
pemuda pada tanggal 28 oktober 1928 yang sampai pada
proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 yang selanjutnya
membentuk Negara kesatuan Republik Indonesia.
2. Kesatuan nasib: bahwa rakyat Indonesia berada dalam satu
nasib yang sama yaitu melalui proses sejarah dengan
penderitaan penjajahan kala itu yang dilaluinya dengan suka
duka bersama.
3. Kesatuan kebudayaan: Indonesia terdiri dari berbagai suku,
bangsa, Bahasa yang berbeda, disinilah kesatuan budaya
melebur jadi satu menjadi kebudayaan nasional Indonesia.
4. Kesatuan wilayah: sesungguhnya bangsa Indonesia adalah
satu dan tidak bisa terpisahkan antara satu wilayah dengan
wilayah lainnya, disinilah disebut dengan wilayah tumpah
darah Indonesia.
5. Kesatuan asas kerohanian (asas keberagamaan): adanya asas
kerohanian dalam hal ini adalah asas beragma tidak lepas dari
amanat UUD tahun 1945 pada alenia kedua yang menyatakan
bahwa “Negara Indonesia adalah Negara yang berdaulat, adil,
dan makmur”. Yang mendukung paham beragama pada
setiap golongan, dan bukan Negara yang mengutamakan
paham perseorangan golongan, akan tetapi paham secara
kemajemukanlah yang menjadi landasan keberagamaan. (Asy
Arie Musa, 2002: 68). Disinilah tujuan mendirikan Negara
Indonesia adalah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dari nilai persatuan dan kesatuan tersebut, khususnya
pada nilai persatuan dan kesatuan yang ada pada point kelima,
sesungguhnya mengandung makna bahwa agama dan kebebasan

186 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


beragama serta menghargai keberagamaan yang ada di Indonesia,
menjadi hal mutlak yang wajib dilaksanakan oleg seluruh rakyat
Indonesia tanpa pandang jabatan, ras, suku dan golongan
tertentu. Masyarakat Indonesia wajib menjunjung tinggi nilai
persatuan dan kesatuan lewat keberagaman agama yang ada.
Dari sinilah, dapat kita pahami bersama bahwa sebagai
bangsa majemuk dengan beraneka ragam agama dan budaya
(khususnya keberagaman agama), maka ada beberapa hal yang
ditawarkan di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Memahami adanya dimensi ideologis (keyakinan).
Dimensi Idiologis berisi tentang berbagai pengharapan,
dimana penganut agama berpegang teguh pada pandangan
teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin
pada agama yang dianutnya tersebut. Bahwa semua penganut
agama memiliki prinsip di dalam keyakinannya, maka
dimensi inilah yang mendasari prinsip tersebut.
Keberagamaan didasari oleh sebuah keyakinan yang teramat
personal, sehingga dimensi ini merupakan sisi yang paling
sensitive dalam beragama. adapun dimensi ideologis jika
dalam ajaran agama Islam misalnya, dimaknai sebagai
persamaan dengan akidah dalam Islam. Pada dimensi ini
mengungkap masalah keyakinan manusia terhadap rukun
iman, kebenaran agama, serta masalah-masalah ghaib yang
diajarkan dalam ajaran agama Islam. Beda lagi makna dan
sudut pandang agama lainnya, misalkan nasrani, budha,
konghucu dan katolik serta hindu. Maka memaknai dimensi
idiologis ini akan juga berbeda makdna dan sudut pandang
yang berlaku dalam ajaran agamanya masing-masing.
(Abdullah, 2003: 19)
2. Memahami adanya dimensi ritualistik atau peribadatan

Harmonisasi Umat Beragama 187


Pada dimensi ritualistik atau peribadatan, dalam hal ini
mencakup adanya perilaku pada masing-masing agama
terhadap adanya pemujaan terhadap tuhannya,hal ini sebagai
salah satu bentuk ketaatan dan hal-hal yang dilakukan
pemeluk agama tersebut dalam rangka untuk menunjukkan
komitmen terhadap keyakinan beragama yang dianutnya.
Semua agama memiliki prilaku yang khas, terutama dalam
peribadatan. Maka peribadatan merupakan identitas yang
paling terlihat dari pada dimensi keberagamaan yang lainnya.
Dalam konteks ini, Peribadatan ini disebut sebagai
bentuk pemeluk aganya untuk melakukan dan melaksanakan
interaksi antara Tuhan yang dalam hal ini posisi Tuhan
adalah sebagai pemberi ruang dalam beribadah, dan manusia
sebagai pengemban amanat dengan melaksanakan ibadah
tersebut sebagai bentuk dari penghambaanya terhadap
Tuhannya. Dengan melaksanakan peribadatan inilah
pemeluk agama akan terlihat bukan hanya sekedar
melakukan prilaku beragama saja, melainkan pula sebagai
sebuah tanda kesungguhan dalam menjalankan beragama.
Maka pemeluk agama yang tidak melakukan peribadatan
secara sengaja, bisa dikatakan sebagai orang yang tidak patuh
terhadap titah Tuhannya dan tidak memiliki komitmen
keagamaan yang baik. Dimensi ritual sama halnya ibadah
dalam Islam, hanya saja, ibadah dalam Islam teramat luas
jangkauannya. Islam mengajarkan bukan hanya sekedar
ibadah ritual saja, melainkan harus melakukan peribadatan
lain di luar itu. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa di
dalam Islam dikenal dengan istilah syari„ah. Syariah inilah
yang menjadi jalan kehidupan umat Islam dalam
menjalannkan kehidupan baik secara teologis maupun sosial.
Artinya dimensi ritual memuat mengenai seberapa jauh

188 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


tingkat kepatuhan seorang muslimm, dalam mengerjakan
berbagai ritual peribadatan sebagaimana diperintahkan dan
serta dianjurkan oleh agamanya begitupula agama-agama
lainnya dengan konsepsi yang dibangun pada ajaran
agamanya tersebut tentulah mempunyai makna dan perilaku
peribadatan yang berbeda. Meskipun berbeda sesungguhnya
tujuannya adalah sama yaitu melaksanakan penghambaan
melalui peribadatan terhadap Tuhannya. (Az Zyumardi Azra,
2014: 102)
3. Memahami adanya dimensi eksperensial (penghayatan)
Pada dimensi ini memperhatikan adanya fakta bahwa
semua agama sesungguhnya mengandung pengharapan-
pengharapan tertentu. Meski tidak tepat bila dikatakan
seorang yang beragama baik akan mendapatkan puncak
dalam pengalaman keagamaan berupa mencapai sebuah
kekuatan supra natural tertentu. Dimensi ini hanya mengenai
pengalaman keagamaan, persepsi-persepsi dan sensasi yang
dialami seorang religious Meski memang di dalam realita
keberagamaan. di dialam Islam misalnya dikenal dengan wali
yang umumnya dipahami sebagai sosok yang berkomitmen
kuat dengan agamannya, serta memiliki kemampuan tertentu
yang dianggap luar biasa oleh kaum awam. Namun inti
penghayatan keagamaan bukan itu, karena manusia
beragama sebagai bentuk pengkhidmatan kepada Tuhan,
bukan bertujuan mencari kesaktian. Adapun ada yang
mengalami hal diluar kebiasaan, merupakan nilai tambah
seorang yang beragama. Maka dimensi eksperensial sebuah
sensasi individu dalam beragama, sebagai efek dari penjiwaan
akan tindakan keagmaan yang dianutnya.
4. Memahami adanya dimensi konsekuensial (pengalaman
keagamaan)

Harmonisasi Umat Beragama 189


Pada dimensi pengamalan atau konsekuensial ,
mengacu pada identifikasi pada akibat-akibat keyakinan
keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan
keagamaan dari hari-kehari dan waktu kewaktu. Hal
tersebut merupakan akumulasi dari berbagai sisi
keberagamaan yang ada. sesungguhnya berpengaruh pada
kepribadian pemeluknya dan bisa membentuk cara pandang
dan perbuatan seseorang dalam kehidupannya. Hal ini
menunjukan bahwa agama secara fungsional bukan hanya
sebagai jalan untuk mencurahkan keyakinan dan ketaatan
terhadap ajaran semata, melainkan bisa berpengaruh
terhadap sisi psikologis pemeluknya yang bedampak pada
segala aspek manusia. kemudian bisa melahirkan sebuah
tindakan bernilai religi dalam masyarakat.yang pada akhirnya
diharapkan mempererat nilai persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia.
5. Mengetahui dimensi intelektual (pengetahuan keagamaan)
Dimensi pengetahuan, dimensi ini mengacu pada
harapan bahwa orang yang beragama paling tidak memiliki
sejumlah pengetahuan mendasar, baik mengenai ritus-ritus,
kitab suci, serta tradisi-tradisi. Karena semua agama memiliki
sejumlah informasi khusus yang harus diketahui oleh
pemeluknya. Semisal ilmu fikih dalam Islam yang memuat
informasi mengenai peribadatan sebagai hasil dari fatwa para
ulama sebagai hasil pengkajian terhadap sumber ajaran Islam.
(Jalaluddin, 2005:46)
Dalam pemaknaan ini, dimensi pengetahuan keagamaan
merupakan sebuah unsur mendasar yang sesungguhnya bisa
menggerakan perilaku keberagamaan. Sebuah konsekuensi
logis yang ada nantinya bila penganut agama tidak memiliki
pengetahuan akan agama yang diyakininya, maka

190 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


keberagamaan sesorang bisa dikatakan sebagai tindakan
reflektif atau hanya sebatas meniru tanpa didasari maksud
dan tujuan yang jelas dalam beragama dalam Bahasa jawa
(angger melu-melu). Dan jika hal ini terjadi maka
sesungguhnya tujuan beragama tersebut tidak mengena,
maka pemeluk agama akan cenderung hanya melakukan apa
yang menjadi keinginan nafsunya saja. Dan karena tidak
mengetahui alasan mendasar dari yang dilakukannya, maka
jangan diharap eksistensi dia sebagai pemeluk agama akan
menjalankan agamanya secara keseluruhan. Dan jika
sebelumnya dimensi eksperensial sebagai finalitas dari
keberagamaan, pada dimensi intelektual ini bisa dikatakan
sebagai jalan dari keberagamaan yang meliputi seluruh aspek
keberagamaan pemeluk dalam mencapai puncaknya
,termasuk dalam membentuk Pengamalan atau peribadatan
sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Perdamaian dalam Beragama


Indonesia adalah Negara dengan berbagai ras, suku, agama
yang berbeda sesuai dengan penjelasan tersebut di atas. Maka
jika dalam konsepsi ajaran agam Islam, keberagaman di
Indonesia merupakan kehendak Allah SWT yang harus kita jaga.
Jika setiap masyarakat Indonesia selalu ingat dan berpegang
teguh pada semboyan Bhineka Tunggal Ika, maka tidak mudah
muncul konflik dalam kehidupan. Namun pada kenyataannya
Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari adanya konflik dan
kekerasan, hal ini dapat kita lihat dalam siaran berita di berbagai
media massa banyak diberitakan tentang kriminalitas,
perkelahian, perampokan, penganiayaan, bahkan pembunuhan,
baik disebabkan karena perbedaan pandangan dalam hal

Harmonisasi Umat Beragama 191


keyakinan agama, perbedaan pandangan dalam bidang politik
dan ekonomi, maupun dalam bidang pendidikan, dan sebagainya.
Dari adanya kejadian tersebut yang lebih memprihatinkan setiap
hari terjadi di wilayah Indonesia tercinta. (Achmad Nurcholis,:
93)
Fenomena tersebut sesungguhnya akan berakhir jika setiap
masyarakat benar-benar patuh terhadap ajaran agamanya
masing-masing. Karena sesungguhnya secara ideal agama
mengajarkan kebaikan, penghormatan terhadap hak-hak orang
lain, dan sebagainya. Dan Indonesia merupakan negara yang
mewajibkan seluruh warganya menganut agama sesuai
keyakinan masing-masing. Oleh sebab itu perdamaian dalam
beragama wajib dijunjung tinggi oleh seluruh masyarakat
Indonesia.
Makna perdamaian, memiliki banyak arti. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perdamaian berasal dari kata
“damai” yang berarti ketiadaan perang, penghentian permusuhan.
(M. Dahlan, Pius A Partanto, 2011: 15). Sedangkan menurut Johan
Galtung yang dikutip oleh Ahmad Nurcholish, perdamaian dapat
didefinisikan menjadi dua, yaitu perdamaian negatif (negative
peace) dan perdamaian positif (positive peace). Perdamaian negatif
diartikan sebagai ketiadaan kekerasan, permusuhan, dan konflik.
Sedangkan perdamaian positif diartikan sebagai terbentuknya
suasana yang harmonis sehingga perdamaian memiliki arti
penghentian permusuhan atau lebih tepatnya sebuah upaya
untuk menghentikan permusuhan, kerusuhan, konflik,
kekerasan, dan terbentuknya suasana yang harmonis.
Dalam kutipan oleh Erik Lincoln dan Irfan Amalee
mengutarakan ada beberapa nilai dasar yang tercermin dalam
perdamaian yaitu: 1. Menerima diri, 2. Prasangka. 3. Sukuisme, 4.

192 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Perbedaan Agama, 5. Perbedaan Jenis Kelamin, 6. Perbedaan
Status Ekonomi, 7. Perbedaan Kelompok atau Geng. 8.
Memahami Keragaman, 9. Memahami Konflik, 10. Menolak
Kekerasan, 11. Mengakui kesalahan, dan 12. Memberi Maaf.
(Ramayulis, 2002: 29)
Mengangkat konsepsi pandangan Islam dalam menaggapi
sebuah makna dari perdamaian, khususnya dalam hal ini adalah
perdamaian dalam beragama, sesungguhnya hal tersebut
mengandung sebuah nilai yang mempunyai orientasi
mempersatukan keberagaman antar umat beragama sehingga
diharapkan mereka bisa hidup berdampingan dengan bahagia,
saling toleransi, dan harmonis dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Adapun nilai-nilai tersebut bisa dilihat sebagai berikut:
1. Adanya larangan terhadap tindakan kedzaliman
Islam sebagai agama yang membawa misi perdamaian
dengan tegas mengharamkan kepada umat manusia
melakukan kedzaliman, kapan dan di mana saja.
Sebagaimana Firman Allah berikut ini:
"Dan barangsiapa di antara kamu yang berbuat zalim, niscaya
Kami rasakan kepadanya azab yang besar" (QS. A-
Furqaan:19).
Di samping itu Rasulullah bersabda:
“Wahai umatku sesungguhnya telah aku haramkan bagi diriku
perbuatan dzalim dan aku juga mengharamkannya di antara
kalian maka janganlah berbuat dzalim”.
Kedzaliman dalam beragama dapat dilihat dari
beberapa perilaku yang ada dimasyarakat misalnya:
mengganggu umat lain yang sedang menjalankan
peribadatan, menghancurkan tempat ibadah, tidak

Harmonisasi Umat Beragama 193


menghargai umat lain yang sedang melaksanakan
peribadatan, dan lain sebagainya. Jadi dapat disimpulkan
bahwa kedzaliman dalam beragama adalah sumber mala
petaka yang dapat merusak stabilitas perdamaian dunia.
Maka selayaknya setiap insan sadar bahwa kedzaliman
adalah pemicu pertikaian. Dengan demikian jika
menghendaki kehidupan yang damai maka tindakan
kedzaliman harus dijauhi dan dihindari. (Ahmad,
Salahuddin, 2008: 73).
2. Memahami adanya persamaan derajat
Dalam konsep perdamaian beragama Islam juga
menawarkan adanya anjuran kepada umatnya untuk saling
mengakui adanya kesetaraan dan Persamaan derajat di
antara manusia. Hal ini merupakan salah satu hal yang
ditekankan dalam Islam. Tidak ada perbedaan antara satu
golongan dengan golongan lain, semua memiliki hak dan
kewajiban yang sama. Kaya, miskin, pejabat, pegawai,
perbedaan kulit, etnis dan bahasa bukanlah alasan untuk
mengistimewakan kelompok atas kelompok lainnya.
Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
Artinya "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Dari sinilah Islam mengatur adanya persamaan derajad,
maka dalam beragamapun Islam menganjurkan adanya
pengakuan bahwa agama lain itu ada dan diakui
keberadaannya dan dalam melangsungkan kehidupan

194 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


seyogyanya mengakui perbedaan agama pada masing-masing
individu dalam wadah masyarakat yang majmuk dan plural.
Dengan demikian rasa benci, permusuhan, dan lain
sebagainya bisa dinetralisir dengan adanya sikap memahami
adanya persamaan derajad pada masing-masing individu.
3. Memberikan kebebasan
Islam menjunjung tinggi kebebasan, hal tersebut
terbukti dengan tidak adanya paksaan bagi siapa saja dalam
beragama, setiap orang bebas menentukan pilihannya.
Firman-Nya QS Al-Baqarah: 256:
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benardari pada jalan yang
salah (QS Al-Baqarah: 256).
Dalam ayat lain Allah berfirman QS Yûnus: 99:
"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya (QS Yûnus: 99).
Dengan adanya kebebasaan dalam memeluk agama,
maka setiap orang berhak untuk menentukan pilihannya
dalam menentukan agama yang diyakininya. Dalam hal ini
tidak ada yang merasa terkekang hingga berujung pada
munculnya kebencian. Dengan kebebasan ini, jalanmenuju
kehidupan damai semakin terbuka lebar bagi seluruh
masyarakat Indonesia.
4. Membangun toleransi antar umat beragama
Islam menganjurkan kepada umatnya saling toleransi
atas segala perbedaan yang ada, dalam rangka mencegah
terjadinya pertikaian yang dapat merugikan semua pihak.
Dalam firman-Nya QS Fushshilat: 34-35:

Harmonisasi Umat Beragama 195


"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah
(kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi
teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang
besar" (QS Fushshilat: 34-35).
Menanamkan sikap toleransi beragama kepada
pemeluk agama Islam menjadi hal yang mutlak yang selalu
diajarkan oleh agama Islam kepada pemeluknya, sehingga
dengan toleransi maka tercapailah kedamaian dalam
melaksanakan dan menjalankan peribadatan yang ada.
(Banni Suddin, 2012: 76).

Penutup
Nilai persatuan dan kesatuan melalui perdamaian agama,
sesungguhnya tercermin secara langsung dalam undang-undang
dasar 1945 dan dalam pengamalan pancasila pada sila ketiga.
Selanjutnya nilai tersebut tercermin dalam nilai persatuan dan
kesatuan dari beberapa aspek secara majemuk. Di antaranya
adalah adanya; Kesatuan sejarah, kesatuan nasib, kesatuan
wilayah, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kerohanian
(keberagamaan).
Adapun nilai-nilai persatuan Masyarakat Indonesia wajib
dijunjung tinggi. Yaitu melalui makna dari nilai persatuan dan
kesatuan lewat keberagaman agama yang ada.
Dari sinilah, dapat kita pahami bersama bahwa sebagai
bangsa majemuk dengan beraneka ragam agama dan budaya
(khususnya keberagaman agama), maka ada beberapa hal yang
ditawarkan di antaranya adalah sebagai berikut: Memahami

196 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


adanya dimensi ideologis (keyakinan), Memahami adanya
dimensi ritualistik atau peribadatan, Memahami adanya dimensi
eksperensial (penghayatan), Memahami adanya dimensi
konsekuensial (pengalaman keagamaan), Mengetahui dimensi
intelektual (pengetahuan keagamaan).
Sedangkan dalam menjalankan perdamaian beragama
dapat dilihat dari konsepsi yang ditawarkan oleh ajaran agama
Islam misalnya dengan memahami nilai dari beberapa aspek:
Adanya larangan terhadap tindakan kedzaliman, Memahami
adanya persamaan derajat, Memberikan kebebasan, Membangun
toleransi antar umat beragama.

Daftar Pustaka

Abdullah, Teologi Damai Rekonstruksi Paradigmatik Relasi


Kristen&Islam, Makasar: Alaudin Press.
Ahmad Nurcholis, Peace Education & Pendidikan Perdamaian Gus Dur,
Jakarta: Elex Media Komputindo,
Ays‟arie, Musa, Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan,
Yogyakarta: LESFI, 2002.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah
Tantangan Melinium III, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2014.
Abdul Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: CV.
Rajawali Pres, 1999.

Ahmad, Saiyad Fareed dan Saiyad Salahuddin Ahmad. 5 Tantangan


Abadi Terhadap Agama dan Jawaban Islam Terhadapnya,
Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008

Bani, Suddin. Strategi Pendidikan Islam Dalam Pembinaan Kehidupan


Sosial-Keagamaan Upaya Membumikan Pendidikan Nilai,
Makassar: Alauddin University Press, 2012

Harmonisasi Umat Beragama 197


Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, Bandung:
Mizan, 2005.
M. Dahlan Al Barry dan Pius A Partanto, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Untuk Pelajar, Jakarta: Badan Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
20011.
Nurcholis Majid, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina, 1997.
Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.

198 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Biografi Penulis

Siti Muawanatul Hasanah, S.Pd.I, M.Pd


adalah Dosen tetap di Universitas Islam
Raden Rahmat Malang dan Owner
Sekolah Tahfidz Al-Qur‟an Sawojajar
Malang. Saat ini menjabat sebagai
Kaprodi Pendidikan Agama Islam di
Unira Malang, dan sebagai Direktur
ALC (Al-Qur‟an Learning Center) di
Unira Malang. Pada tahun 2020
melanjutkan program doktoral (S3)
prodi Manajemen Pendidikan Islam di
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Penulis aktif dalam
kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur‟an sebagai peserta di MTQ
Tingkat Nasional RRI di Jakarta dan PIONIR di Kalimantan. dan
pernah menjuarai beberapa ajang perlombaan dan pernah meraih
juara pada cabang Qira‟at Sab‟ah di MTQ Jatim di Kabupaten
Banyuwangi. Beberapa prestasi sebagai dewan hakim adalah
menjadi juri dalam lomba MTQ Tingkat pelajar se-Malang Raya
di MAN 3 Malang., sebagai Juri MSQ Funun Islami se-Jawa Bali
di UIN Maliki Malang., sebagai Juri MSQ pada PIONIR Tingkat
PTAIN se-Indonesia di UIN Maliki. Dan sebagai juri MTQ
Kab.Malang dan lain sebagainya.
Dalam bidang karya tulis, penulis aktif menulis dibeberapa
Jurnal ilmiah diantara karya artikel yang sudah dimuat adalah:
Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengembangkan Budaya
Agama di SMK Telkom Sandhy Putra Malang (20017), jurnal
pengabdian masyarakat Progam Penghijauan dalam Rangka

Harmonisasi Umat Beragama 199


menanamkan Kesadaran Mencintai Lingkunga di Krebet
Senggrong Kecamatan Bululawang, Kab. Malang (2018),
Pengembangan Pendidikan Agama Islam Melalui Manajemen
Lembaga Pendidikan Islam Pondok Pesantren Al-Karomah,
Kepanjen Malang (2020), Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam
Meningkatan Mutu Pembelajaran di Era Pandemi COVID-19
(2020), Jurnal Pengabdian Masyarakat Evektivitas Metode Wafa
sebagai Inovasi dalam Pembelajaran Membaca Al-Qur‟an di TPQ
Al-Ihlas Pala‟an Ngajum Malang (2020), Pesantren dan
Tantangan Global (Upaya Memberdayakan Peran Pesantren
dalam Menyongsong Masa Depan Bangsa), Meningkatkan
Pemahaman Statistik Pendidikan Mahasiswa PAI dengan Teori
Apos (2020), Analisa Daya Saing dan Penerapan Strategi di
Lingkungan Pendidikan Islam (2020).

200 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Implementasi Toleransi dalam Kerukunan
Umat Beragama di Negara Pancasila

Oleh:
Ilham, M.Pd.
(Dosen STKIP Yapis Dompu)

Pendahuluan
Bangsa Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk atau
berbhineka mempunyai keanekaragaman hubungan sosial antar
suku, antar bahasa bahkan antar agama. Keanekaragaman suku,
bahasa, adat istiadat dan agama tersebut merupakan suatu
kenyataan yang harus kita terima sebagai kekayaan bangsa.
Namun, disamping itu didalam keanekaragaman atau pluralitas
juga mengandung kerawanan yang dapat memunculkan konflik-
konflik kepentingan antar kelompok yang berbeda-beda.
Agama bertugas menjaga kehidupan agar menjadi tertib
dan teratur. Maka agama berkecimpung dalam peraturan dan
hukum, dan ajaran. Agama hanya hidup dan punya arti dalam
situasi membumi. Sebab kalau tidak agama hanya merupakan
prinsip-prinsip yang mengambang diudara. Dalam realitas
praksis kehidupan terdapat tidak sedikit orang menganut secara
formal agama tertentu namun praktek kehidupannya ternyata
tidak mencerminkan sikap dan perilaku orang beragama.

Harmonisasi Umat Beragama 201


Agama sebagai pembawa damai sudah semestinya dapat
hidup berdamai dengan agama-agama yang berbeda. Oleh karena
itu, sebagai orang yang beragama, tidaklah pantas berbicara
tentang kedamaiaan tanpa berusaha untuk hidup damai dengan
pemeluk agama lain. Usaha untuk membangun jembatan
komunikasi antar agama harusnya tak mengenal putus asa, walau
beribu tantangan berat melintang didepannya. Oleh karena itu,
untuk memberikan jalan tengah perlu komitmen semua elemen
masyarakat untuk mewujudkan kerukunan hidup umat
beragama, yaitu berupa kajian-kajian yang sangat mendalam dan
membutuhkan kesabaran tentunya. Pengkajian kerukunan hidup
umat beragama paling tidak dapat dilakukan pada dua level
kajian, yaitu pengkajian pada level doktrin (ajaran) agama dan
pada level sosiologis-historis atau empirik realitas kehidupan
beragama secara nyata.
Istilah kerukunan umat beragama identik dengan istilah
toleransi. Istilah toleransi menunjukkan pada arti saling
memahami, saling mengerti, dan salingmembuka diri dalam
bingkai persaudaraan. Bila pemaknaan ini dijadikan pegangan,
maka ”toleransi” dan “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan
didambakan oleh masyarakat manusia.
Islam menjunjung tinggi toleransi. Konsep toleransi
beragama dalam Islam bukanlah membenarkan dan mengakui
semua agama dan keyakinan yang ada saat ini, karena ini
merupakan persoalan akidah dan keimanan yang harus dijaga
dengan baik oleh setiap pribadi muslim. Toleransi bukan
mengakui semua agama sama, apalagi membenarkan tata cara
ibadah umat beragama lain. Tidak ada toleransi dalam hal akidah
dan ibadah. Karena sesungguhnya bagi orang Islam agama yang
diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. Toleransi hanyalah dalam
urusan muamalah dan kehidupan sosial.

202 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja terhadap
sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang,
dan lingkungan hidup. Dengan makna toleransi yang luas
semacam ini, maka toleransi antar-umat beragama dalam Islam
memperoleh perhatian penting dan serius. Apalagi toleransi
beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi keyakinan
manusia terhadap Allah. Ia begitu sensitif, primordial, dan mudah
membakar konflik sehingga menyedot perhatian besar dari Islam.
Tulisan berikut akan mengulas tentang implementasi toleransi
baik pada tingkat paradigma, doktrin, teori maupun
implementasi toleransi dalam kehidupan manusia.

Pembahasan
1. Konsep Dasar Toleransi
Istilah Tolerance (toleransi) adalah istilah modern, baik
dari segi nama maupun kandungannya. Istilah ini pertama kali
lahir di Barat, di bawah situasi dan kondisi politis, sosial dan
budayanya yang khas. Toleransi berasal dari bahasa
Latin, yaitu tolerantia, yang artinya kelonggaran, kelembutan
hati, keringanan dan kesabaran. Dari sini dapat dipahami
bahwa toleransi merupakan sikap untuk memberikan hak
sepenuhnya kepada orang lain agar menyampaikan
pendapatnya, sekalipun pendapatnya salah dan berbeda.
Secara etimologis, istilah tersebut juga dikenal dengan sangat
baik di dataran Eropa, terutama pada revolusi Perancis. Hal
itu sangat terkait dengan slogan kebebasan, persamaan dan
persaudaraan yang menjadi inti revolusi di Perancis. Ketiga
istilah tersebut mempunyai kedekatan etimologis dengan
istilah toleransi. Secara umum, istilah tersebut mengacu pada
sikap terbuka, lapang dada, sukarela dan kelembutan. Kevin
Osborn mengatakan bahwa toleransi adalah salah satu
pondasi terpenting dalam demokrasi. Sebab, demokrasi hanya

Harmonisasi Umat Beragama 203


bisa berjalan ketika seseorang mampu menahan pendapatnya
dan kemudian menerima pendapat orang lain.
Toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk
saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling
bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama
yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian
mu‟amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama
yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di
mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan
menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya
masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun
hak-haknya. Sebagai pembawa agama toleransi Rasulullah
saw sangat menghargai hak-hak azasi manusia. Beliau
menganjurkan toleransi antar sesama umat lainnya. Namun
berbeda dalam mempertahankan aqidah. Ketika beliau diajak
oleh orang kafir untuk saling menukar waktu, tempat dan
bergantian menyembah tuhan, beliau menjawab tegas:
“LAKUM DÎNUKUM WALIYADÎN” (Agama kamu untukmu
dan agamaku untukku). Dalam kehidupannya, Rasulullah saw
sangat menghormati orang-orang non muslim. Beliau amat
bijaksana dan sabar ketika dizalimi dan dikhianati kaumnya.
Menurut Umar Hasyim, toleransi yaitu pemberian
kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga
masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur
hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama
dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak
melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas
terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.
Dari beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan
bahwa toleransi adalah suatu sikap atau tingkah laku dari
seseorang untuk memberikan kebebasan kepada orang lain
dan memberikan kebenaran atas perbedaan tersebut sebagai
pengakuan hak-hak asasi manusia.

204 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


2. Pluralitas Agama sebagai Keniscayaan
Tak Bisa dipungkiri, bumi sebagai tempat hunian umat
manusia adalah satu. Namun, telah menjadi sunnatullah, para
penghuninya terdiri dari berbagai suku, ras, bahasa, profesi,
kultur dan agama. Dengan demikian, kemajemukan adalah
fenomena yang tak bisa dihindari4. Keragamaan terdapat
dalam dipelbagai ruang kehidupan, termasuk dalam
kehidupan beragama. Pluralitas bukan hanya terjadi dalam
lingkup kelompok sosial yang besar seperti masyarakat suatu
negara, tetapi juga dalam lingkup kecil seperti rumah tangga.
Bisa jadi, individu-individu dalam satu rumah tangga
menganut agama yang berbeda.
Saat ini semakin sulit mencari suatu negara yang
seluruh masyarakatnya menganut agama yang seragam
(uniform). Bahkan kalaupun ada suatu masyarakat yang hanya
menganut satu agama pluralitas bisa terjadi pada level
penafsiran atas ajaran agama itu. Pluralitas pada wilayah tafsir
ini pada gilirannya akan melahirkan pluralitas pada level
aktualisasi dan pelembagaannya. Terjadi dilema yang begitu
besar dialami negara bangsa yang mengedepankan integritas
dalam kehidupan sosial. Disatu sisi ia mengakui bahwa
kemajemukan pluralitas adalah kondisi objektif masyarakat,
disisi lain jika keduanya memunculkan riak-riak perpecahan,
maka dianggap sebagai ancaman. Situasi ibarat lingkaran
setan. Kesalahan ditimpahkan pada berbagai pihak, baik dari
kalangan masyarakat umum institusi negara. Masyarakat
dianggap tidak cukup cerdas untuk memahami apa yang
disebut pluralitas, sementara negara dianggap kurang tanggap
dalam menerapkan kebijakan-kebijakan yang terkait dalam
urusan kesejahteraan.

Harmonisasi Umat Beragama 205


Kendala utamanya adalah masih minimnya tingkat
pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam
mengartikulasikan gagasan-gagasan ideal tentang pluralitas
dan kemajemukan pada level yang lebih luas dan lebih praktis.
Kalaupun sebagaian mereka telah memiliki keterampilan dan
tingkat pengetahuan yang cukup, mereka masih dihambat
oleh faktor kesadaran untuk berpartisipasi secara aktif. Hal
ini tidak lepas dari image sosial politik yang selama ini tidak
menguntungkan. Sebaliknya sebagian diantara mereka justru
mengartikulasikan persoalan ini dalam domain penentangan
sehingga menciptakan suasana yang tidak sehat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Masyarakat yang bersifat pluralistik, sebenarnya tidak
hanya ciri khas masyarakat modern. Dalam pengalamaan
paling dini historisitas keberagamaaan Islam era kenabian
Muhammad, masyarakat yang pluralistik secara religius telah
terbentuk dan sudah pula menjadi kesadaran umum pada saat
itu. Keadaan demikian, sudah sewajarnya lantaran secara
kronologis agama Islam memang muncul setelah terlebih
dahulu oleh berkembangnya agama Hindu, Budha, Kristen-
Katolik, Majusi, Zoroaster, Mesir Kuno maupun agama-agama
lain. Untuk itu dialog antar iman termasuk tema sentral yang
mewarnai Al Qur‟an.
Dialog dan kerukunan antar umat beragama masih
merupakan barang mewah dibanyak negara didunia ini. Di
Timur Tengah, India, Burma, Irlandia, belum lagi dinegara-
negara bekas Uni Soviet dan Yugoslavia, ketegangan antar
umat beragama masih sangat tampak menghiasi surat kabar.
Diberbagai negara, pluralitas keberagamaan manusia dapat
dengan mudah mencabik-cabik kesatuan dan persatuan
bangsa. Pluralitas agama di Indonesia, yang berpenduduk
mayoritas muslim, begitu banyak mendapat sorotan tajam
oleh banyak pengamat luar negeri. Meskipun beberapa

206 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


kalangan tertentu didalam negeri masih ada yang merasa tidak
puas terhadap kehidupan beragama di tanah air, namun para
pengamat dari luar mulai melihat model dialog dan kerukunan
hidup antar umat beragama di Indonesia sebagai alternatif
yang perlu di kembangkan.
Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang
kerjasama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam
hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia.
Penerimaan Islam akan kerjasama itu, tentunya akan dapat
diwujudkan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog
antar agama. Dengan kata lain, prinsip pemenuhan kebutuhan
berlaku dalam hal ini, seperti adagium ushul fiqh / teori legal
hukum Islam; “sesuatu yang membuat sebuah kewajiban
agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi
wajib pula”. Kerjasama tidak akan terlaksana tanpa dialog,
oleh karena itu dialog antar agama juga menjadi kewajiban

3. Implementasi Toleransi sebagai Upaya mewujudkan


Kerukunan Umat beragama
Kerukunan Hidup Umat Beragama, berarti perihal
hidup rukun yaitu hidup dalam suasana baik dan damai, tidak
bertengkar; bersatu hati dan bersepakat antar umat yang
berbeda-beda agamanya; atau antara umat dalam satu agama.
Dalam terminologi yang digunakan oleh Pemerintah secara
resmi, konsep kerukunan hidup beragama mencakup 3
kerukunan. yaitu: kerukunan intern umat beragama,
kerukunan antar umat yang berbeda-beda agama, dan
kerukunan antara (pemuka) umat beragama dengan
Pemerintah. Tiga kerukunan tersebut biasa disebut dengan
istilah "Tri Kerukunan ".
Upaya mewujudkan kerukunan hidup beragama tidak
terlepas dari faktor penghambat dan penunjang. Faktor
penghambat kerukunan hidup beragama selain warisan

Harmonisasi Umat Beragama 207


politik penjajah juga fanatisme dangkal, sikap kurang
bersahabat, cara-cara agresif dalam dakwah agama yang
ditujukan kepada orang yang telah beragama, pendirian
tempat ibadah tanpa meng¬indahkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dan pengaburan nilai-nilai ajaran
agama antara suatu agama dengan agama lain; juga karena
munculnya berbagai sekte dan faham keagamaan kurang¬nya
memahami ajaran agama dan peraturan Pemerintah dalam hal
kehidupan beragama.
Faktor-faktor pendukung dalam upaya kerukunan
hidup beragama antara lain adanya sifat bangsa Indonesia
yang religius, adanya nilai-nilai luhur budaya yang telah
berakar dalam masyarakat seperti gotong royong, saling
hormat menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agamanya, kerjasama di kalangan intern umat
beragama, antar umat beragama dan antara umat beragama
dengan Pemerintah.
Pada zaman kemerdekaan dan pembangunan sekarang
ini, faktor-faktor pendukung adalah adanya konsensus-
konsensus nasional yang sangat berfungsi dalam pembinaan
kerukunan hidup beragama, yakni Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di
bidang atau yang berkaitan dengan kerukunan hidup
beragama. Dari segi Pemerintah, upaya pembinaan kerukunan
hidup beragama telah dimulai sejak tahun 1965, dengan
ditetapkannya Penpres Nomor 1 Tahun 1965 tentang
Pencegahan Pe-nyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang
kemudian dikukuhkan menjadi Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1969. Pada zamam pemerintahan Orde Baru,
Pemerintah senantiasa memprakarsai berbagai kegiatan guna
mengatasi ketegangan dalam kehidupan beragama, agar
kerukunan hidup beragama selalu dapat tercipta, demi
persatuan dan kesatuan bangsa serta pembangunan.

208 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Dari segi Pemerintah, upaya pembinaan kerukunan
hidup beragama telah dimulai sejak tahun 1965, dengan
ditetapkannya Penpres Nomor 1 Tahun 1965 tentang
Pencegahan Pe-nyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang
kemudian di¬kukuhkan menjadi Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1969. Pada zamam pemerintahan Orde Baru,
Pemerintah senantiasa memprakarsai berbagai kegiatan guna
mengatasi ketegangan dalam kehidupan beragama, agar
kerukunan hidup beragama selalu dapat tercipta, demi
persatuan dan kesatuan bangsa serta pembangunan.
Dalam memantapkan kerukunan hidup umat beragama
perlu dilakukan suatu upaya-upaya yang mendorong
terjadinya kerukunan hidup umat beragama secara mantap
dalam bentuk :
a. Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar
umat beragama, serta antar umat beragama dengan
pemerintah.
b. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam
bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat
beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan
implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap
toleransi.
c. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif
dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan
agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi
pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat
beragama.
d. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya
nilai-nilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat
manusia yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman
bersama dalam melaksanakan prinsip-prinsip berpolitik
dan berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan
memperlihatkan adanya sikap keteladanan. Dari sisi ini

Harmonisasi Umat Beragama 209


maka kita dapat mengambil hikmahnya bahwa nilai-nilai
kemanusiaan itu selalu tidak formal akan mengantarkan
nilai pluralitas kearah upaya selektifitas kualitas moral
seseorang dalam komunitas masyarakat mulya
(Makromah), yakni komunitas warganya memiliki kualitas
ketaqwaan dan nilai-nilai solidaritas sosial.
e. Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang imple-
menttatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada
nilai-nilai Ketuhanan, agar tidak terjadi penyimpangan-
penyimpangan nilai-nilai sosial kemasyarakatan maupun
sosial keagamaan.
f. Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat
beragama dengan cara menghilangkan rasa saling curiga
terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan tercipta
suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi
oleh faktor-faktor tertentu.
g. Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam
kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu hendaknya hal
ini dijadikan mozaik yang dapat memperindah fenomena
kehidupan beragama.

Simpulan
Masyarakat yang bersifat pluralistik, sebenarnya tidak
hanya ciri khas masyarakat modern. Dalam pengalamaan paling
dini historisitas keberagamaaan Islam era kenabian Muhammad,
masyarakat yang pluralistik secara religius telah terbentuk dan
sudah pula menjadi kesadaran umum pada saat itu. Keadaan
demikian, sudah sewajarnya lantaran secara kronologis agama
Islam memang muncul setelah terlebih dahulu oleh
berkembangnya agama Hindu, Budha, Kristen-Katolik, Majusi,
Zoroaster, Mesir Kuno maupun agama-agama lain. Untuk itu
dialog antar iman termasuk tema sentral yang mewarnai Al
Qur‟an.

210 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Upaya mewujudkan kerukunan hidup beragama tidak
terlepas dari faktor penghambat dan penunjang. Faktor
penghambat kerukunan hidup beragama selain warisan politik
penjajah juga fanatisme dangkal, sikap kurang bersahabat, cara-
cara agresif dalam dakwah agama yang ditujukan kepada orang
yang telah beragama, pendirian tempat ibadah tanpa
meng¬indahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dan pengaburan nilai-nilai ajaran agama antara suatu agama
dengan agama lain; juga karena munculnya berbagai sekte dan
faham keagamaan kurang¬nya memahami ajaran agama dan
peraturan Pemerintah dalam hal kehidupan beragama.

Daftar Pustaka
AA GN Ari Dwipayana, 2010, Demokrasi Kita, Makalah Diskusi
Infest, Yogyakarta.

Abd. Moqsith Ghazali, 2009, Argumen Pluralisme Agama, Jakarta,


Kata Kita,

Abdurrahman Wahid, 2006, Islamku Islam Anda Islam Kita,


(Jakarta, The Wahid Institute.

Adlan Nawawi, “Pluralitas dan Kemandirian dalam Keragaman”


dalam Jurnal Bimas Islam Depag RI, Vol. 2 No. 2 Tahun
2009, Jakarta Pusat : Jurnal Bimas Islam.

Amin Abdullah, 2002, Studi Agama Normativitas atau


Historisitas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Anis Malik Thoha, 2005, Tren Pluralisme Agama, Jakarta: Perspektif.

Umar Hasyim, 1979, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam


Sebagai Dasar menuju Dialoq dan Kerukunan Antar Umat
Beragama, Surabaya: Bina Ilmu.

Harmonisasi Umat Beragama 211


Zuhairi Misrawi, , 2007, Alquran Kitab Toleransi, Jakarta : Pustaka
Oasis.

212 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan


Biografi Penulis

Ilham, M.Pd. Lahir di O‟o Dompu, 12


Maret 1993. Tamatan pendidikan Dasar
(SDN) 26 Dompu (lulus 2005),
Pendidikan Menengah ditempuh di
SMPN 2 Dompu (lulus 2008). SMAN 1
Pajo, Dompu (lulus 2011), mulai
menekuni dunia pendidikan (S1) masuk
di STKIP Bima dengan Jurusan
Pendidikan Biologi (lulus A 2016),
melanjutkan Program Magister (S2) di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dengan jurusan PGMI dan sekarang mengabdikan
diri di STKIP YAPIS DOMPU
Penulis beralamat di Desa O‟O, Kec. Dompu, Kab. Dompu,
NTB. Pengalaman 0rganisasi Intra maupun ekstra Kampus,
Pengurus HPMPS_PB Kabid Humas 2014-2015, Pengurus BEM
STKIP Bima Kabid Kerohanian 2015-2016, Kader IMM Cabang
Bima mulai dari 2012 dan pernah jadi, Seketaris Komisariat 2012-
2013, Ketua Umum Pimpinan Komisariat 2014-2015, Seketaris
Umum Pimpinan Cabang 2015-2016, Fokal IMM cabang Dompu
2017-Sekarang dan Pengurus Pemuda Muhammadiyah
Kabupaten Dompu. Karya, Buku Tematik Terpadu K13 (Bermain

Harmonisasi Umat Beragama 213


di Rumah Teman), odel-Model kepemimimpinan dalam
Perspektif pendidikan (Kepemimpinan Profetik), Integrasi
pembelajaran PKn tema Keberagaman Karakter Individu,
Perkembangan Emosianal dan Sosial Anak Usia Dini.

214 Merawat Keberagaman dalam Bingkai Kebhinekaan

Anda mungkin juga menyukai