Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

BENCANA TSUNAMI
DI KOTA PALU, PROVINSI SULAWESI TENGAH

Disusun Oleh:
Alwiyandari
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat


rahmat-Nya penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Bencana Tsunami
dan Implikasinya Di Kota Palu,. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata
kuliah Manajemen Bencana Geologi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan
bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan
bagi kita semua.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i


KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
1.3 Batasan Masalah............................................................................................. 2
1.4 Maksud dan Tujuan ........................................................................................ 3
1.4.1 Maksud .................................................................................................. 3
1.4.2. Tujuan .................................................................................................. 3
1.5 Manfaat Penulisan .......................................................................................... 3
BAB II ISI ................................................................................................................. 4
2.1 Pengertian Tsunami ........................................................................................ 4
2.2 Penyebab Terjadinya Tsunami ....................................................................... 4
2.3 Proses Terjadinya Tsunami ............................................................................ 6
2.4 Dampak Tsunami ........................................................................................... 6
2.5 Tektonik Pulau Sulawesi ................................................................................ 7
2.6 Sejarah Gempa dan Tsunami Kota Palu dan Karakteristik Kota Palu ........... 11
2.7 Karakteristik Wilayah Kota Palu ................................................................... 13
2.8 Permodelan Zona Genangan Tsunami di Sekitar Kota Palu .......................... 14
2.9 Zona Baha Tsunami ....................................................................................... 16
2.10 Zona Kerentanan Tsunami ........................................................................... 17
2.11 Zona Resiko Bencana Tsunami .................................................................... 18
2.12 Lokasi Rawan dan Lokasi Evakuasi ............................................................ 19
2.13 Rute Evakuasi............................................................................................... 20
2.14 Mitigasi Bencana Tsunami........................................................................... 21
BAB III KESIMPULAN .......................................................................................... 27
3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 27
3.2 Saran ............................................................................................................... 28
BAB IV PENUTUP .................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 30
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sabuk Gempa Pasifik (Ring of Fire) merupakan daerah berbentuk seperti
tapal kuda yang mengelilingi Samudera Pasifik mencakup panjang 40.000 km.
Sekitar 90% gempa bumi terjadinya di daerah ini dan 81% gempa bumi terbesar
terjadi di sepanjang Cincin Api tersebut. Indonesia masuk ke dalam Sabuk Gempa
Pasifik sehingga sering terjadi gempa bumi dan letusan gunung berapi. Seringnya
Indonesia dilanda gempa bumi menyebabkan resiko terjadinya tsumami akan
semakin besar pula. Resiko tersebut akan semakin meningkat karena Indonesia
berada pada pertemuan lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia.

Gambar 1.1. Ring Of Fire (Kusdiantara, 2011:1)


Berdasarkan pengalaman historis, kejadian tsunami sangat membahayakan
bagi komunitas masyarakat di wilayah pesisir pantai, meskipun daerah tersebut
jauh dari kawasan yang rawan gempa bumi (tektonik maupun vulkanik) bawah
laut. Dampak yang dapat ditimbulkan akibat bencana tsunami sangatlah besar,
yaitu dapat berupa kematian, kehilangan harta benda, kehancuran sarana dan
prasarana khususnya didaerah pesisir pantai, menimbulkan gangguan ekonomi
dan bisnis, bahkan dapat mengganggu keadaan psikologis (traumatik) masyarakat.
Negara-negara atau kota yang rentan terhadap bencana tsunami sudah
selayaknya memiliki suatu tindakan preverentif dan mitigasi untuk menghadapi
serangan tsunami baik itu pra maupun pasca agar mengurangi resiko yang
ditimbulkan bencana tsunami, sesuai dengan Undang-undang No. 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain
dengan pembuatan dokumen mitigasi bencana, pembangunan lokasi evakuasi
yang dapat digunakan baik yang bersifat alamiah berupa bukit, maupun buatan
berupa bangunan khusus untuk penampungan masyarakat saat terjadi bencana.
Selain itu, pembuatan rambu evakuasi dan rute evakuasi serta penyuluhan kepada
masyarakat agar masyarakat menjadi terlatih dan tidak panik saat bencana tsunami
benar-benar terjadi.
Salah satu dari sekian banyak wilayah di bagian timur Indonesia yang
menyimpan potensi tsunami yang cukup besar adalah Kota Palu dan sekitarnya.
Tercatat telah terjadi tiga kali kejadian di sekitar Teluk Palu, yaitu pada tahun
1927, 1968 dan 1996, sementara sekitar Kota Palu (Sulawesi Tengah) terdapat 6
kejadian. Wilayah Kota Palu dan sekitarnya terdapat beberapa potongan sesar
yang sangat berpotensi membangkitkan gempa bumi yang cukup kuat. Sesar
tersebut adalah Sesar Palu-Koro yang memanjang dari Palu ke arah Selatan dan
Tenggara melalui Sulawesi Selatan bagian Utara menuju ke selatan Bone sampai
di Laut Banda.
Tujuan utama dari penulisan ini adalah untuk mengetahui zona genangan
tsunami dan implikasinya terhadap kegiatan mitigasi bencana di Kota Palu.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahan
yang muncul dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana zona genangan tsunami dan implikasinya terkait kegiatan
mitigasi bencana di Kota Palu?
2. Sistem mitigasi bencana apasajakah yang telah dilakukan di Kota
Palu, baik oleh pemerintah maupun pemerintah daerah?

1.3. Batasan Masalah


Agar tidak terjadi perluasan pembahasan, maka perlu adanya pembatasan
masalah. Batasan masalah dalam penulisan ini meliputi :
1. Dalam penulisan ini ruang lingkup yang diambil adalah di Kota Palu.
2. Data yang digunakan dalam penyusunan penulisan ini berupa data-
data yang diperoleh dari jurnal dan studi literature yang telah
dilakukan sebelumnya. Jenis data tersebut berupa data kualitatif dan
kuantitatif.
3. Hasil yang diperoleh dari penulisan ini adalah bencana tsunami dan
implikasinya serta sistem mitigasi bencana yang dilakukan oleh
pemerintah maupun pemerintah daerah di Kota Palu.

1.4. Maksud dan Tujuan


1.4.1 Maksud
Maksud dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui implikasi bencana
tsunami serta sistem evakuasi berbasis jalur terpendek dan waktu evakuasi
minimum di Kota Palu.
1.4.2 Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui zona genangan tsunami dan implikasinya terkait kegiatan
mitigasi bencana di Kota Palu.
2. Mengetahui sistem mitigasi bencana yang dilakukan oleh pemerintah
maupun pemerintah daerah di Kota Palu.

1.5. Manfaat Penulisan


Dari penelitian yang saya lakukan nanti diharapkan mampu memberikan
informasi mengenai bencana tsunami dan implikasinya serta sistem mitigasi
bencana tsunami yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah di Kota
Palu.
BAB II
ISI

2.1. Pengertian Tsunami


Tsunami merupakan gerakan badan air yang disebabkan perubahan
permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. Perubahan permukaan laut dapat
disebabkan oleh gempa yang berasal dari bawah laut, letusan gunung berapi
bawah laut, longsor bawah laut, atau di laut atau meteor. Gelombang tsunami
mampu merambat ke segala arah. Energi yang terdapat dalam gelombang tsunami
sangatlah besar.
Tsunami terkadang dianggap sebagai gelombang air pasang. Hal tersebut
karena saat mencapai daratan, gelombang ini memang lebih mirip air pasang yang
tinggi daripada menyerupai ombak biasa yang mencapai pantai. Akan tetapi,
sebenarnya gelombang tsunami sama sekali tidak berkaitan dengan peristiwa
pasang surut air laut.
Gelombang tsunami mampu merambat ke segala arah. Di laut yang dalam,
gelombang tsunami merambat dengan kecepatan mencapai 1000 km per jam,
menyamakan kecepatan pesawat terbang. Ketinggian gelombang di laut yang
dalam hanya berkisar 1 meter. Dengan demikian, laju gelombang tidak terlalu
terasa oleh kapal yang sedang berada di laut.Akan tetapi, ketika mendekati pantai,
kecepatan gelombang tsunami menurun. Namun, ketinggiannya sudah meningkat
sampai puluhan meter.

2.2. Penyebab Terjadinya Tsunami


1. Gempa dibawah laut
Gempa bumi yang terjadi di bawah laut merupakan penyebab paling sering
terjadinya tsunami. Gerakan vertikal pada kerak bumi (gempa) dapat
menyebabkan dasar laut naik atau turun secara mendadak, yang menyebabkan
gangguan keseimbangan air yang ada di atasnya. Kondisi ini mengakibatkan
terjadinya aliran energi laut, yang ketika tiba di pantai menjadi tsunami.
Walaupun demikian, tidak semua gempa yang terjadi di bawah laut
mampu menyebabkan tsunami. Gempa bumi bawah laut yang menyebabkan
terjadinya tsunami adalah gempa bumi yang memenuhi kriteria seperti berikut :
• Pusat gempa kurang dari 30 kilometer dibawah permukaan laut
• Gempa bumi yang berkekuatan minimal 6,5 SR
• Gempa bumi yang diakibatkan pola sesar naik atau turun
2. Meletusnya Gunung Berapi
Gunung berapi banyak terdapat di seluruh penjuru dunia. Letusan dari
gunung berapi mampu menyebabkan terjadinya gempa vulkanik (gempa yang
terjadi karena letusan gunung berapi). Meskipun sangat jarang terjadi, tsunami
yang disebabkan letusan gunung berapi berdampak sangat dahsyat. Ditambah lagi
jika posisi gunung berapinya ada di bawah laut.
3. Longsor Bawah Laut
Longsor bawah laut umumnya terjadi akibat hantaman antara lempeng
benua dan lempeng samudera yang disebabkan gempa dan perubahan air laut.
Keadaan ini membentuk paling laut secara tiba-tiba mempengaruhi pergerakan
volume air yang mendadak. Pada skala tertentu bisa menyebabkan tsunami. Ciri-
ciri tsunami yang disebabkan oleh longsor bawah laut adalah gempa yang
berskala kecil tapi mampu mengakibatkan tsunami yang dahsyat.
4. Hantaman Meteor
Tsunami juga bisa terjadi akibat jatuhnya meteor ke lautan. Selain itu,
meteor yang jatuh ke permukaan laut juga bisa menyebabkan ketidakseimbangan
lempeng di bawah laut yang menimbulkan terjadinya gempa. Hal ini jarang
terjadi, akan tapi berakibat tejadinya tsunami yang sangat besar.
5. Ulah Manusia
Beberapa ulah manusia juga memungkinkan untuk merusak bumi.
Misalnya, untuk menguji senjata untuk perang seperti bom nuklir. Jika pengujian
tersebut dilakukan di lautan, hal ini berpotensi menimbulkan gempa di bawah laut
yang berpotensi menimbulkan tsunami.
2.3. Proses Terjadinya Tsunami
Tsunami bisa terjadi disebabkan gangguan yang dapat menyebabkan
perpindahan air dalam jumlah yang besar, seperti letusan gunung berapi, gempa
bumi, tanah longsor atau meteorit yang jatuh menimpa permukaan bumi. Namun,
90 % tsunami disebabkan oleh gempa yang berpusat di bawah laut.
Gerakan vertikal di kerak bumi bisa menyebabkan kenaikan dasar laut atau
menjatuhkan secara mendadak, yang mampu mengakibatkan gangguan
keseimbangan air di dalamnya. Kondisi ini mengakibatkan aliran energi air laut,
yang ketika tiba di pantai menjadi gelombang tsunami yang dihasilkan besar.
Kecepatan gelombang tsunami bergantung pada kedalaman laut tempat
sumber gempa terjadi, dimana kecepatannya mampu mencapai ratusan kilometer
per jam. Ketika tsunami mencapai pantai, kecepatannya akan menjadi berkurang.
Di tengah, tinggi gelombang tsunami laut hanya mencapai beberapa
sentimeter sampai beberapa meter. Akan tetapi, saat mencapai pantai, tinggi
gelombang mampu mencapai puluhan meter karena ditambah jumlah air di
sebelumnya. Ketika tsunami mencapai pantai, gelombang akan menjalar menjauhi
dari garis pantai dengan jangkauan beberapa ratus meter bahkan dapat mencapai
beberapa kilometer.

2.4. Dampak Tsunami


A. Dampak Positif
• Tumbuhnya kerjasama untuk menolong korban bencana
• Timbulnya rasa kemanusiaan
• Mengetahui sampai kekuatan konstruksi bangunan yang telah ada serta
kelemahannya sehingga bisa dilakukan inovasi baru untuk kekuatan
konstruksi yang lebih baik
B. Dampak Negatif
• Banyak terdapat kerusakan rumah dan fasilitas umum
• Banyak menimbulkan korban jiwa
• Muncul kekacauan ekonomi dan politik
• Timbul penyakit
2.5. Tektonik Pulau Sulawesi
Pulau Sulawesi terletak pada zona pertemuan diantara tiga pergerakan
lempeng besar yaitu pergerakan lempeng Hindia Australia dari selatan dengan
kecepatan rata 7 cm/tahun, lempemg Pasifik dari timur dengan kecepatan sekitar 6
cm/tahun dan lempeng Asia bergerak relatif pasif ke tenggara. Posisi Sulawesi
yang berada pada kawasan lempeng tektonik microplate sangat rawan terhadap
gerakan dan benturan ketiga lempeng bumi tersebut yang akan menimbulkan
fenomena geologi dan dampak merugikan pada kehidupan manusia, terutama
ancaman gempa dan tsunami yang disetiap saat dapat terjadi. Perkembangan
tektonik di kawasan Pulau Sulawesi berlangsung sejak zaman Tersier hingga
sekarang, sehingga Pulau Sulawesi termasuk daerah teraktif di Indonesia dan
mempunyai fenomena geologi yang kompleks dan rumit. Manifestasi tektonik
yang ditimbulkan berupa patahan dan gunungapi, seperti patahan Walanae
(Sulawesi Selatan), Palu Koro (dari Flores, Palu hingga Selat Makassar), Patahan
Gorontalo, patahan Batui (Sulawesi Tengah), patahan naik Selat Makassar dan
patahan Matano, Lawanoppo dan Kolaka (Sulawesi Tenggara). Dari fenomena
geologi dan tektonik tersebut di atas, maka di kawasan Pulau Sulawesi terdapat
beberapa daerah rawan terhadap bencana terutama masalah gempa dan tsunami,
seperti daerah-daerah yang berada pada jalur Patahan Walanae, Palu Koro, Selat
Makassar terutama bagian tengah dan utara, perpotongan antara patahan Kolaka
dan Palu Koro, patahan Gorontalo, Batui, Matano dan patahan Kolaka. Daerah-
daerah yang harus mendapat perhatian dan harus diwaspadai adalah daerah
perpotongan atau persinggungan di antara patahan, karena di daerah ini gempa
dapat bergenerasi dan berpotensi menimbulkan bencana geologi. Sebagai contoh,
gempa yang terjadi di Makassar pada tanggal 12 Desember 2010 dengan kekuatan
5,9 SR pusat gempa terletak 232 km ke arah baratdaya Makassar, berada pada
daerah perpotongan patahan Selat Makassar dengan patahan Laut Flores Barat.
Gambar 2.1. Geologi Pulau Sulawesi (cottam et al, 2011)
Perkembangan tektonik di kawasan Pulau Sulawesi berlangsung sejak
zaman Tersier hingga sekarang, sehingga bentuknya yang unik menyerupai huru
“K”, dan termasuk daerah teraktif di Indonesia, mempunyai fenomena geologi
yang kompleks dan rumit. Manifestasi tektonik yang ditimbulkan berupa patahan
dan gunungapi dapat menibulkan gempa, tsunami dan bencana geologi lainnya.
Secara tektonik/struktur dan sejarah perkembangannya, Pulau Sulawesi
dibagi dalam 4 (empat) mintakat geologi (Endarto dan Surono, 1991) yaitu busur
volkanik Sulawesi Barat, kontinental kerak Banggai Sula, oseanik kerak Sulawesi
Timur dan kompleks metamorf Sulawesi Tengah. Keempat mintakat tersebut
dipisahkan oleh batas – batas tektonik yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Sehubungan dengan kejadian gempa dan tsunami akibat aktivitas tektonik
diatas, maka ada beberapa daerah yang harus diwaspadai yaitu pada daerah
perpotongan atau persinggungan diantara patahan, karena pada dasarnya di daerah
inilah gempa dapat bergenerasi dan berpotensi menimbulkan bencana geologi.
Secara tektonik Pulau Sulawesi dibagi dalam empat mintakat yang didasari
atas sejarah pembentukannya yaitu Sulawesi Barat, Sulawesi Timur, Banggai-Sula
dan Sulawesi Tengah yang bersatu pada kala Miosen – Pliosen oleh interaksi
antara lempeng Pasifik, Australia tehadap lempeng Asia.
Interaksi ketiga lempeng tersebut memberikan pengaruh cukup besar
terhadap kejadian bencana alam geologi di Sulawesi pada umumnya dalam wujud
gempa bumi, tsunami, gerakan tanah, gunungapi dan banjir yang senantiasa
terjadi seiring dengan berlangsungnya aktivitas tektonik. Terletak di laut Sulawesi
sebelah utara Pulau Sulawesi memanjang dari barat ke timur. Subduksi lempeng
ini menunjam masuk ke selatan di bawah Sulawesi Utara dan Gorontalo. Subduksi
lempeng laut Sulawesi yang aktif diduga membentuk gunungapi Una-una dan
deretan gunungapi Manado-Sangihe. Zona subduksi lempeng Laut Maluku
terbentang di utara Sulawesi dari utara ke selatan di sebelah timur Manado.
Lempeng Laut Maluku menunjam ke barat masuk di bawah busur Manado-
Sangihe, berhubungan dengan volkanisme dan gempa di kawasan ini. Patahan-
patahan yang terdapat di sulawesi, yaitu :
1. Patahan Walanae
Patahan Walanae berada di bagian selatan Sulawesi Selatan membentang
dari selatan (sebelah timur Pulau Selayar) ke utara melalui Bulukumba, Sinjai,
Bone, Soppeng, Sidrap, Pinrang dan Majene - Mamuju dan berakhir di Selat
Makassar. Sifat pergerakan adalah sinistral atau mengiri. Patahan Walanae
merupakan percabangan dari lanjutan patahan Palu-Koro yang melalui Teluk
Bone dan di ujung baratlaut menerus hingga patahan Paternoster di Selat
Makassar.
2. Patahan Palu-Koro
Patahan Palu-Koro memanjang dari utara (Palu) ke selatan (Malili) hingga
teluk bone sepanjang ± 240 km. Bersifat sinistral dan aktif dengan kecepatan
sekitar 25-30 mm/tahun (Kertapati, 2001 dan Permana, 2005). Patahan Palu-Koro
berhubungan dengan patahan Matano-Sorong dan Lawanoppo-Kendari, sedang di
ujung utara melalui Selat Makassar berpotongan dengan zona subduksi lempeng
Laut Sulawesi.
3. Patahan Matano dan Lawanoppo
Patahan Matano dan Lawanoppo berpotongan atau menyatu di ujung utara
dengan patahan Palu-Koro, yang mendapat energi dari perpanjangan patahan
Sorong dan Tukang Besi di Laut Banda. Kedua patahan ini bersifat sinistral dan
aktif, berhubungan dengan pembentukan danau Matano, Towuti dan beberapa
depresi kecil lainnya.
4. Patahan Kolaka
Dampak dari pada perkembangan tektonik Kuarter Laut Banda
membentuk patahan geser Kolaka yang bersifat sinistral dan aktif. Patahan ini
memanjang dari tenggara ke baratlaut melalui Kolaka hingga Teluk Bone
memotong patahan Palu-koro (bawah laut) berlanjut ke kota Palopo ke arah
puncak Palopo-Toraja.
5. Patahan Paternoster
Patahan ini terbentang memanjang dari tenggara ke baratlaut di Selat
Makassar bersifat destral (menganan) dan aktif. Patahan ini berhubungan dengan
patahan Walanae di daratan Sulawesi. Pada bagian selatannya sejajar dengan
patahan Flores Barat yang memotong patahan naik Selat Makassar yang juga
sifatnya destral.
6. Patahan Gorontalo
Patahan Gorontalo terbentang melalui kota Gorontalo dari tenggara ke
baratlaut. Pembentukannya berhubungan dengan keaktifan subduksi lempeng Laut
Sulawesi. Sifatnya destral dan aktif.
7. Patahan naik (thrust) Batui-Balantak
Patahan Batui-Balantak terbentuk oleh pengaruh pergerakan lempeng
Pasifik Barat ke barat melalui patahan Sorong dan Matano membentuk patahan
naik yang aktif.
8. Subduksi lempeng Laut Sulawesi
Terletak di laut Sulawesi sebelah utara Pulau Sulawesi memanjang dari
barat ke timur. Subduksi lempeng ini menunjam masuk ke selatan di bawah
Sulawesi Utara dan Gorontalo. Subduksi lempeng laut Sulawesi yang aktif diduga
membentuk gunungapi Una-una dan deretan gunungapi Manado-Sangihe.
9. Subduksi lempeng Laut Maluku
Zona subduksi lempeng Laut Maluku terbentang di utara Sulawesi dari
utara ke selatan di sebelah timur Manado. Lempeng Laut Maluku menunjam ke
barat masuk di bawah busur Manado-Sangihe, berhubungan dengan vulkanisme
dan gempa di kawasan ini.

2.6. Sejarah Gempa dan Tsunami Kota Palu


Daerah Palu dan sekitarnya, selain sangat rawan gempabumi juga rawan
terhadap tsunami. Kerawaan gempabumi dan tsunami daerah ini sudah dibuktikan
dengan beberapa catatan sejarah gempabumi dan tsunami yang berlangsung sejak
tahun 1927, seperti Gempabumi dan Tsunami Palu 1927, Gempabumi dan
Tsunami Parigi 1938 dan Gempabumi dan Tsunami Tambu 1968.
Gempabumi dan Tsunami Palu 1 Desember 1927 bersumber di teluk Palu
dan mengakibatkan kerusakan parah diKota Palu, Palu, Biromaru dan sekitarnya.
Gempabumi juga dirasakan dibagian tengah Pulau Sulawesi yang jaraknya sekitar
230 kilometer. Selain menimbulkan kerusakan sangat parah, gempabumi ini juga
memicu tsunami di Teluk Palu.
Gelombang Tsunami yang tingginya mencapai 15 meter ini terjadi segera
setelah terjadi gempabumi. Banyak bangunan rumah di kawasan pantai
mengalami kerusakan parah. Bencana ini menyebabkan 14 orang meninggal, dan
50 orang luka-luka. Tsunami juga menimbulkan kerusakan dipelabuhan. Tangga
dermaga Pelabuhan Talise hanyut akibat terjangan tsunam ini,sementara itu
berdasarkan laporan dasar laut setempat mengalami penurunan sedalam12 meter.
Gempabumi dan Tsunami Parigi 20 Mei 1938 terjadi sangat dahsyat,
hingga dirasakan hampir diseluruh bagian Pulau Sulawesi dan Bagian timur pulau
Kalimatan. Daerah yang menderita kerusakan paling parah adalah kawasan Teluk
Parigi. Di tempat ini dilaporkan 942 unit rumah roboh. Kerusakan yang
ditimbulkan ini meliputi lebih dari 50 % rumah yang ada wilayah tersebut,
sedangkan 184 rumah lainnya rusak ringan.
Di Teluk Parigi dilaporkan 16 orang tewas tenggelam, dan di Ampibabo
satu orang tewas tersapu gelombang tsunami. Dermaga Pelabuhan Parigi hanyut,
dan menara suar penjaga pantai mengalami rusak berat. Binatang ternak dan
pohon kelapa juga banyak yang hanyut tersapu gelombang tsunami. Beberapa
ruas jalan di daerah Marantale mengalami retak-retak dengan lebar 50 cm disertai
keluar lumpur, bahkan sebuah rumah bergeser hingga 25 meter, namun daerah
Palu mengalami kerusakan ringan. Di daerah Poso dan Tinombo dirasakan
getaran sangat kuat, tetapi tidak menimbulkan kerusakan.
Gempabumi dan Tsunami Tambu 14 Agustus 1968 merupakan
gempabumi kuat yang bersumber di lepas pantai barat laut Sulawesi. Akibat
gempabumi tersebut, di Teluk Tambu, antara Tambu dan Sabang, terjadi
fenomena air surut hingga kira-kira 3 meter dan selanjutnya terjadi hempasan
gelombang tsunami.Pada beberapa tebing terjadi longsoran dan terjadi retakan
tanah yang disertai munculnya pancaran air panas.
Di Daerah Sabang dilaporkan bahwa tsunami dating dengan suara
gemuruh. Tsunami tersebut juga menyerang di sepanjang pantai Palu. Menurut
laporan, ketinggian gelombang tsunami mencapai 10 meter dan limpasan tsunami
ke daratan mencapai 500 meter dari garis pantai. Daerah yang mengalami
kerusakan paling parah adalah kawasan Mapaga. Ditempat ini ditemukan160
orang meninggal dan 40 orang dinyatakan hilang, serta 58 orang luka parah.
Terakhir, Gempabumi dan Tsunami Toli-Toli dan Palu 1996 (M6.3),
menyebabkan 9 orang tewas,serta kerusakan parah di Desa Bangkir, Toli-Toli,
Tonggolobibi, dan Palu. Gempabumi ini juga memicu tsunami denganketinggian
2 meter dengan limpasan air laut ke daratan sejauh 400 meter (Suparto et al.
2006).
Tingginya aktivitas gempabumi di Daerah Palu berlangsung hingga
sekarang. Dalam beberapa tahun terakhir, gempabumi kuat masih terjadi dan
mengguncang kawasan ini, seperti Gempabumi Palu-Palu yang terjadi
padatanggal 24 Januari 2005 yang menyebabkan satu orang meninggal dan 4
orang luka-luka.
Bagi masyarakat Palu dan sekitarnya, kondisi alam yang kurang
bersahabat ini adalah sesuatu yang harus diterima sehingga mau tidak mau, suka
tidak suka, semua itu adalah risiko yang harus dihadapi sebagai penduduk yang
tinggal di kawasan seismik aktif.
Bagi kalangan ahli kebumian dan instansi terkait dalam penanganan
bencana, labilnya Daerah Palu secara tektonik merupakan tantangan berpikir
untuk menyusun strategi mitigasi yang tepat untuk memperkecil risiko jika
sewaktu-waktu terjadi bencana bencana gempabumi dan tsunami di Daerah Palu
dan sekitarnya seperti yang terjadi pada masa lalu.

2.7. Karakteristik Wilayah Kota Palu


A. Batas Administrasi dan Letak Geografis Kota Palu
Kota Palu secara geografis berada di tengah wilayah Kabupaten Donggala.
Tepatnya sepanjang bibir pantai Teluk Palu atau memanjang dari timur ke barat,
terletak di sebelah utara garis katulistiwa pada koordinat 0,35°–1,20° Lintang
Utara dan 120°–122,09° Bujur Timur. Luas wilayah Kota Palu adalah 369,46 km2
atau 36.946 ha dan terdiri atas 8 Kecamatan. Lebih jelas mengenai batas
administrasi dan letak geografis Kota Palu, dapat dilihat pada Gambar 2.2.
B. Penggunaan Lahan Kota Palu
Penjelasan mengenai jenis dan luasan penggunaan lahan Kota Palu dapat
dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Luas Penggunaan Lahan Kota Palu Tahun 2012
Jenis Penggunaan Luas Luas
Lahan Wilayah Wilayah
(Km2) (%)
Hutan 186,315 50,43
Semak Belukar 69,327 18,76
Kebun 39,439 10,76
Ladang 5,215 1,41
Lahan Kosong 11,962 3,24
Pemukiman 35,401 9,58
Rumput 0,221 0,06
Sawah 12,215 3,31
Jalan 4,025 1,09
Tambak 0,257 0,07
Sungai 5,083 1,38
Total 369,46 100,00
Sumber: RTRW Kota Palu Tahun 2006 – 2025 dan Data Spasial Kota Palu Tahun
2012.
Gambar 2.2. Peta Administrasi Kota Palu (sumber: Komunitas Atlas
Geografi, 2015)

2.8. Permodelan Zona Genangan Tsunami di Sekitar Kota Palu


Permodelan zona genangan tsunami dilakukan dengan menggunakan lima
skenario ketinggian run-up pada garis pantai, yakni 1m, 2m, 5m, 10m, dan 15m.
Dari permodelan tersebut ditunjukkan bahwa pada skenario ketinggian run-up 1
meter, rendaman tsunami menggenangi wilayah Kota Palu seluas 328,2 Ha
dimana mayoritas wilayah yang tergenang masih berupa lahan kosong dan sedikit
permukiman. Genangan terluas terdapat di Kecamatan Palu Utara dengan luas
112,06 ha atau 34,14% dari total luas wilayah yang tergenang tsunami dengan
ketinggian 1 meter. Wilayah genangan terkecil berada di Kecamatan Palu Timur,
yang hanya seluas 14,60 ha atau 4,45% dari total luas wilayah genangan tsunami
1 meter.
Pada permodelan tsunami dengan ketinggian run-up 2 meter ini, genangan
tsunami menjalar hingga tambak-tambak penduduk. Total luas wilayah yang
tergenang dalam skenario ini adalah 706,25 Ha atau meningkat 53,52 % dari
luasan genangan tsunami pada skenario run-up 1 meter. Kecamatan dengan
wilayah genangan terbesar adalah Kecamatan Palu Utara seluas 202,5 ha atau
30,09%. Sedangkan wilayah genangan terkecil adalah Kecamatan Palu Timur
dengan luasan 33,85 ha dengan persentase 4,79%.
Pada permodelan tsunami dengan ketinggian run-up 5 meter, genangan
tsunami semakin menjalar ke wilayah daratan. Berdasarkan hasil permodelan
diperoleh hasil bahwa genangan tsunami dengan ketinggian 5 meter telah
memasuki wilayah permukiman penduduk ke arah pusat Kota Palu. Wilayah
dengan luas genangan terkecil adalah Kecamatan Palu Timur dengan luas 117,29
Ha, sedangkan wilayah dengan genangan terluas adalah Kecamatan Palu Utara
dengan luas 428,47 Ha (28,12% dari total luas wilayah genangan pada ketinggian
run-up 5 meter).
Pada ketinggian 10 meter, genangan tsunami telah menjalar hingga Sungai
Palu, wilayah permukiman di sekitar sungai, sebagian permukiman dan lahan
kosong di sepanjang pantai bagian barat sisi timur, dan permukiman-permukiman
lain yang mengarah ke arah pusat kota. Luas genangan pun semakin besar, yaitu
2380, 59 Ha, dimana luas genangan terbesar berada di Kecamatan Palu Utara
(619,39 Ha). Bahkan, Kecamatan Palu Selatan dan Kecamatan Tatanga yang
sebelumnya tidak tergenang tsunami, diprediksikan turut tergenang seluas 0,10 Ha
dan 7,92 Ha jika terjadi tsunami dengan ketinggian 10 meter.
Permodelan tsunami dengan ketinggian run-up 15 meter tergolong tingkat
bahaya sangat tinggi. Hasil permodelan pada ketinggian 15 meter menunjukkan
bahwa genangan tsunami semakin meluas dan menjalar ke arah pusat Kota Palu.
Luasan genangan tsunami mencapai 3458,56 Ha atau meluas 31,16% dari luasan
genangan tsunami pada ketinggian 10 meter. Luas genangan terbesar berada di
Kecamatan Palu Utara dan luas genangan terkecil berada di Kecamatan Palu
Selatan dengan luas masing-masing 842,84 Ha dan 34,94 Ha. Permodelan tsunami
dengan ketinggianrun-up15 meter dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Permodelan Tsunami dengan Run-Up 15 Meter (sumber:
Rahmat Aris P & Iwan Rudiarto, 2013)

2.9. Zona Bahaya Tsunami


Secara umum, luas bahaya tsunami Kota Palu adalah 3558,56 ha atau ±
9,63% dari luas wilayah Kota Palu (luas Kota Palu adalah 36.946 ha). Seluruh
wilayah kecamatan yang ada di Kota Palu memiliki potensi terkena bahaya
tsunami, baik mulai tingkat bahaya rendah hingga tingkat bahaya sangat tinggi,
kecuali Kecamatan Palu Selatan dan Kecamatan Tatanga yang tidak memiliki
bahaya tsunami yang sangat tinggi. Kecamatan yang mempunyai luas bahaya
tsunami terbesar adalah Kecamatan Palu Utara, yaitu 842,84 Ha. Luas Kecamatan
Palu Utara adalah 3171 Ha sehingga luas kecamatan yang diprediksikan tergenang
adalah 26,58% dari luas wilayah total. Kecamatan dengan luas bahaya tsunami
terkecil adalah Kecamatan Palu Selatan. Zona bahaya tsunami dapat dilihat pada
Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Zona Bahaya Tsunami Kota Palu (sumber: Rahmat Aris P &
Iwan Rudiarto, 2013)

2.10. Zona Kerentanan Tsunami


Parameter yang digunakan dalam penentuan tingkat kerentanan Kota Palu
terhadap tsunami adalah kepadatan bangunan, jumlah penduduk wanita, balita,
dan manula, serta kepadatan penduduk. Dari parameter tersebut, diperoleh 4
klasifikasi tingkat kerentanan tsunami di Kota Palu, yaitu kerentanan rendah,
sedang, tinggi, dan sangat tinggi.
Secara umum wilayah Kota Palu termasuk dalam klafisikasi kerentanan
tinggi terhadap tsunami. Wilayah yang mempunyai kerentanan tinggi di Kota
Paluadalah seluas 1190,91 Ha atau ±32,78% dari total wilayah rentan di Kota
Palu. Wilayah dengan kerentanan rendah seluas 1103,20 Ha, wilayah kerentanan
sedang seluas 1076,50 Ha, serta wilayah kerentanan sangat tinggi seluas 262,61
Ha. Jika dirinci per kategori kecamatan, kecamatan dengan luas kerentanan
rendah terbesar adalah Kecamatan Kecamatan Palu Utara (288,57 Ha), kecamatan
dengan luas kerentanan sedang terbesar adalah Kecamatan Mantikulore (304,61
Ha), kecamatan dengan luas kerentanan tinggi terbesar adalah Kecamatan
Mantikulore (359,87 Ha), dan kecamatan dengan luas kerentanan sangat tinggi
terbesar adalah Kecamatan Palu Selatan (179,54 Ha). Zona Kerentanan Tsunami
dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5. Zona Kerentanan Tsunami Kota Palu (sumber: Rahmat Aris
P & Iwan Rudiarto, 2013)

2.11. Zona Resiko Bencana Tsunami


Resiko bencana tsunami merupakan hasil interaksi antara potensi bahaya
(hazard) dengan tingkat kerentanan daerah (vulnerability). Luas wilayah beresiko
tsunami di Kota Palu yang adalah 1416l,02 Ha. Dari luas wilayah tersebut,
mayoritas merupakan wilayah beresiko tinggi, yaitu seluas 710,55 Ha. Jika dirinci
per kategori, wilayah beresiko rendah mempunyai luas 90,91 Ha dengan wilayah
terluas di Kecamatan Palu Utara (31,34 Ha), wilayah beresiko sedang seluas
402,59 Ha dengan wilayah terluas di Kecamatan Ulujadi (127,15 Ha), serta
wilayah beresiko sangat tinggi seluas 211,97 Ha dengan luasan terbesar di
Kecamatan Palu Timur (126,46 Ha). Resiko bencana tsunami dapat dilihat pada
gambar 2.6
2.12. Lokasi Rawan dan Lokasi Evakuasi
Lokasi rawan yaitu merupakan lokasi kawasan terbangun yang mengalami
penggenangan (termasuk zona resiko) ataupun yang dekat dengan lokasi
penggenangan. Berdasarkan kondisi dilapangan, terdapat 108 lokasi rawan yang
dijadikan bangkitan dalam penentuan rute evakuasi. Kemudian, berdasarkan
kriteria prioritas lokasi evakuasi di atas dan pengamatan di lapangan, diperoleh
lokasi evakuasi sebanyak 161 unit, dimana sebagian besar bangunan yang dapat
digunakan sebagai shelter berupa bangunan peribadatan dan juga bangunan
pemerintahan serta pendidikan. Lokasi Rawan dan Lokasi Evakuasi bisa dilihat
pada Gambar 2.7.

Gambar 2.6. Zona Resiko Tsunami Kota Palu (sumber: Rahmat Aris P &
Iwan Rudiarto, 2013)
Gambar 2.7. Lokasi Rawan dan Lokasi Evakuasi Bencana Tsunami Kota
Palu (sumber: Rahmat Aris P & Iwan Rudiarto, 2013)

2.13. Rute Evakuasi


Jaringan yang dipergunakan dalam pembuatan rute evakuasi tsunami yaitu
jaringan jalan. Nilai pada tiap segmen jalan adalah waktu tempuh tiap segmen
dengan memasukkan nilai waktu rata-rata orang berjalan yaitu sebesar 0,75
m/detik. Berdasarkan hasil penentuan rute evakuasi, diperoleh sebanyak 108 rute
evakuasi terpilih dan dari 161 bangunan/shelter yang dapat dijadikan sebagai
lokasi evakuasi, terdapat 50 lokasi yang terpilih. Lokasi tersebut terbagi lagi
dalam dua kelompok berdasarkan lokasinya yaitu didalam kawasan yang terkena
resiko tsunami maupun kawasan yang aman terhadap resiko tsunami. Rute
Evakuasi bisa dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Rute Evakuasi Bencana Tsunami Kota Palu (sumber:
Rahmat Aris P & Iwan Rudiarto, 2013)

2.14. Mitigasi Bencana Tsunami


Secara umum pengertian mitigasi adalah pengurangan, pencegahan atau
bisa dikatakan sebagai proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk
meminimalisasi dampak negatif bencana yang akan terjadi. Pengertian dari
Mitigasi Bencana Geologi (Geological Hazard Mitigation) adalah pengurangan,
pencegahan atau proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk
meminimalisasi dampak negatif terhadap bencana alam geologi.
Definisi Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. (Definisi bencana
menurut UU No. 24 tahun 2007).
Mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada
tindakan untuk mengurangi dampak dari suatu bencana yang dapat dilakukan
sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan
pengurangan resiko jangka panjang. Dalam UU No. 24 Tahun 2007, usaha
mitigasi dapat berupa prabencana, saat bencana dan pasca bencana. Prabencana
berupa kesiapsiagaan atau upaya memberikan pemahaman pada penduduk untuk
mengantisipasi bencana, melalui pemberian informasi, peningkatan kesiagaan
kalau terjadi bencana ada langkah-langkah untuk memperkecil resiko bencana.
Penanganan bencana harus dengan strategi proaktif, tidak semata-mata
bertindak pascabencana, tetapi melakukan berbagai kegiatan persiapan untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana. Berbagai tindakan yang bisa
dilakukan untuk mengantisipasi datangnya bencana dengan membentuk sistem
peringatan dini, identifikasi kebutuhan dan sumber-sumber yang tersedia,
penyiapan anggaran dan alternatif tindakan, sampai koordinasi dengan pihak-
pihak yang memantau perubahan alam. Dalam mitigasi dilakukan upaya-upaya
untuk meminimalkan dampak dari bencana yang akan terjadi yaitu program untuk
mengurangi pengaruh suatu bencana terhadap masyarakat atau komunitas
dilakukan melalui perencanaan tata ruang, pengaturan tata guna lahan,
penyusunan peta kerentanan bencana, penyusunan data base, pemantauan dan
pengembangan
Mitigasi bencana merupakan kegiatan yang amat penting dalam
penanggulangan bencana karena kegiatan ini merupakan kegiatan sebelum
terjadinya bencana yang dimaksudkan untuk mengantisipasi agar korban jiwa dan
kerugian materi yang ditimbulkan dapat dikurangi. Masyarakat yang berada di
daerah rawan bencana maupun yang berada di luar sangat besar perannya,
sehingga perlu ditingkatkan kesadarannya, kepeduliannya dan kecintaannya
terhadap alam dan lingkungan hidup serta kedisiplinan terhadap peraturan dan
norma-norma yang ada. Istilah program mitigasi bencana mengacu kepada dua
tahap perencanaan yaitu: Pertama, perencanaan sebelum kejadian untuk
manajemen bencana, mencakup aktivitas-aktivitas mitigasi dan perencanaan
bencana; Kedua, perencanaan serta tindakan sesudah kejadian, meliputi
peningkatan standar teknis dan bantuan medis serta bantuan keuangan bagi korban
(Inoghuci et.al, 2003). Dalam mitigasi bencana dilakukan tindakan-tindakan
antisipatif untuk meminimalkan dampak dari bencana yang terjadi dilakukan
melalui perencanaan tata ruang, pengaturan tata guna lahan, penyusunan peta
kerentanan bencana, penyusunan data, pemantauan dan pengembangan. Di
negara-negara maju, kesalahan dalam pembangunan diimbangi melalui
perencanaan yang matang (Inoghuci et.al, 2003).
Informasi tempat pengungsian saat terjadi bencana alam sangat penting
sebab penduduk yang menyelamatkan diri saat terjadinya bencana seharusnya
tahu kemana mereka harus menyelamatkan diri. Keberadaan rambu-rambu
petunjuk arah penyelamatan seperti yang dilakukan di Jepang mutlak diperlukan
agar masyarakat tahu jalur yang akan dilaluinya untuk menyelamatkan diri
sebelum terjadi bencana. Dengan demikian akan berkurang kepanikan masyarakat
pada saat bencana akan terjadi sehingga masyarakat bisa dengan lebih tenang
dalam melakukan upaya mitigasi bencana. Penerapan informasi yang efektif dan
program-program pendidikan, masyarakat dapat menggunakan brosur, instruksi
satu lembar, uji coba sistem peringatan secara berkala, informasi media cetak dan
elektronik dan lain-lain.
Beberapa informasi ini ditujukan bagi institusi-institusi seperti sekolah-
sekolah, rumah sakit, fasilitas perawatan-pemulihan, dan komunitas yang tidak
bisa berbahasa setempat (para wisatawan). Upaya-upaya informasi dan pendidikan
ini penting diadakan secara rutin dan komprehensif. Kebijakan-kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah kota ditujukan untuk mengurangi kerugian dan
kerusakan akibat bencana yang sewaktu-waktu dapat melanda kota.
Pemerintah pada daerah yang rawan bencana gempa intensif melakukan
simulasi upaya evakuasi dan penyelamatan terhadap bencana. Demikian juga
media membantu dengan menayangkan program yang memberi informasi upaya
penyelamatan terhadap bencana gempa. Dalam hal bencana yang disebabkan oleh
gempa bumi di daerah perkotaan, berdasarkan fakta dan hasil penelitian beberapa
pakar, menunjukkan bahwa sebagian besar korban terjadi akibat keruntuhan dan
kerusakan bangunan, seperti jatuhnya atap, runtuhnya kolom, hancurnya dinding,
dll. Hal ini menunjukkan bahwa upaya mitigasi bencana gempa bumi melalui
pengembangan disain rumah tahan gempa sampai saat ini belum sepenuhnya
berhasil.
Kota Palu merupakan salah satu kota yang sangat rentan terhadap bencana
gempa bumi dan tsunami karena dilewati oleh sesar Palu – Koro yang
membentang hingga 800 kilometer diselat makassar. Sesar aktif tersebut bergerak
dengan kecepatan 1,7 cm per tahun sehingga suatu saat bisa terjadi gempa bumi
besar dan di khawatirkan dapat memicu tsunami. Pada tahun 1927 pernah terjadi
gempa berkekuatan 6,5 SR dan memicu tsunami di Teluk Palu hingga ketinggian
15m. Bencana tersebut menyebabkan 14 orang tewas dan ratusan rumah rusak
parah. Gempa bumi tidak bisa diprediksi dan tetap menjadi rahasia Tuhan.
Manusia hanya bisa mempersiapkan diri guna mengantisipasi jatuhnya banyak
korban jiwa.
Pemerintah Kota Palu sendiri telah membuat rambu-rambu evakuasi yang
dipasang di sejumlah jalan yang berada di sekitar Teluk Palu. Rambu persegi
panjang berwarna cokelat itu bertuliskan jalur evakuasi disertai gambar ombak
dan tanda panah yang mengarahkan ke titik aman. Namun hingga saat ini warga
belum jelas di mana tetak titik aman evakuasi ketika suatu saat tsunami benar –
benar terjadi. Namun jika dirunut secara seksama rambu petunjuk evakuasi
tsunami itu mengarah ke Lapangan Vatulemo yang berjarak sekitar lima kilometer
dari Palu. Pembuatan rambu evakuasi itu didasari pengalaman pada tahun 2005.
Saat itu Kota Palu dilanda gempa bumi berkekuatan 6,2 Skala Richter. Ratusan
warga saat itu berhamburan ke luar rumah sambil berlarian tak jelas ke mana arah
yang dituju. Saat itu ada pula hembusan isu yang mengatakan air laut akan naik,
padahal pusat gempa sendiri berada di darat dan tidak menyebabkan tsunami. Hal
semacam ini yang harus diwaspadai, agar masyarakat tidak panik dan bisa
menyelematkan diri dengan tenang.
Untuk lebih mudah mengajak masyarakat agar mawas diri saat bencana
melanda, Syamsul Maarif (Ketua BNPB) juga meminta kepada seniman lokal
menciptakan lagu tentang mitigasi bencana untuk mengurangi dampak bencana
yang ditimbulkan. Lagu tersebut selanjutnya bisa diputar di radio-radio atau
naskahnya dipampang di media massa agar masyarakat mudah menghafal dan
memahami liriknya. Dalam syair lagu tersebut bisa berisi tentang cara
penyelamatan diri saat terjadi gempa bumi seperti menjauhi kaca, melindungi
kepala, atau waspada ketika air tiba-tiba surut usai terjadi gempa besar. Dia
mengatakan untuk menghindari korban luka akibat bencana sebenarnya mudah.
Kalau terjadi gempa bumi, carilah tanah luas dan lapang. Kalau terjadi tsunami
segera cari tempat yang tinggi. Dia berharap lagu-lagu itu bisa diciptakan dengan
bahasa daerah masing-masing agar mudah dihapal dan dipraktikkan ketika suatu
saat terjadi bencana alam. Maarif juga meminta pemerintah daerah lebih
mengedepankan kearifan lokal untuk proses mitigasi bencana karena cara tersebut
dinilai efektif dan mudah dipahami masyarakat setempat. Kearifan lokal itu
seperti penggunakan kentongan (alat musik pukul dari bambu) yang ada di Pulau
Jawa, atau kalimat takbir (Allahu Akbar) seperti di daerah Sumatera. Gempa bumi
dan tsunami memang masih menjadi rahasia Ilahi, namun kewaspadaan harus
dilakukan sebagai bentuk antisipasi.
Hingga kini, Kota Palu baru memiliki satu unit sirene peringatan dini
bencana tsunami berdaya jangkau 3 kilometer. Padahal, sejarah Kota Palu yang
pernah dilanda tsunami pada 1927 lalu, jumlah tersebut terbilang tidak cukup,
terutama untuk menjangkau seluruh warga di ibukota provinsi Sulteng ini.
Karenanya, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Stasiun Geofisika Klas I Palu, Petrus Demon Sili menyatakan masih perlu
ditambah, sedikitnya dua unit lagi yang masing-masing bisa ditempatkan di sisi
Timur dan Barat Kota Palu. Saat ini kata Petrus, sirene tsunami itu berada tengah-
tengah kota, tepatnya di kawasan Taman GOR, Jalan Mohammad Hatta. Pusat
pengendali atau server sirene tersebut berlokasi di kantor Badan Penanggulangan
Badan Daerah (BPBD) Kota Palu. Petrus mengakui, terkait pemeliharaannya
menjaga agar kondisinya tetap berfungsi dilakukan uji coba atau aktivasi sirene
setiap tanggal 26 bulan berjalan, bersama BPBD Kota Palu.
Untuk mengantisipasi bencana tsunami lainnya yang telah dilaksanakan di
Kota Palu ada beberapa hal, yaitu dengan pembangunan Pangkalan Angkatan
Laut di Teluk Palu dan Teluk Rantai yang berfungsi sebagai pusat data dan
informasi kebencanaan maritim dapat menjadi lebih akurat dan menjadi begian
teknokratis pembangunan berkelanjutan yang berbasis pengurangan resiko
bencana. Dengan catatan pembangunan Pangkalan TNI AL dilaksanakan dengan
memenuhi beberapa kriteria tertentu guna mengurangi risiko bencana, di
antaranya perlu adanya diseminasi peta-peta gempa bumi di daerah yang akan
dibangun, konstruksi bangunan harus dibuat tahan gempa, penyesuaian bentuk
dermaga, serta SOP ataupun Emergency Response Plan yang baku apabila
sewaktu-waktu tsunami terjadi. (Siagaindonesia.com)
BAB III

KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan dari studi kasus ini yaitu:
1. Pulau Sulawesi terletak pada zona pertemuan diantara tiga pergerakan
lempeng besar yaitu pergerakan lempeng Hindia Australia dari selatan
dengan kecepatan rata 7 cm/tahun, lempemg Pasifik dari timur dengan
kecepatan sekitar 6 cm/tahun dan lempeng Asia bergerak relatif pasif
ke tenggara. Posisi Sulawesi yang berada pada kawasan lempeng
tektonik microplate sangat rawan terhadap gerakan dan benturan
ketiga lempeng bumi tersebut yang akan menimbulkan fenomena
geologi dan dampak merugikan pada kehidupan manusia, terutama
ancaman gempa dan tsunami yang disetiap saat dapat terjadi.
2. Kerawaan gempabumi dan tsunami daerah ini sudah dibuktikan
dengan beberapa catatan sejarah gempabumi dan tsunami yang
berlangsung sejak tahun 1927, seperti Gempabumi dan Tsunami Palu
1927, Gempabumi dan Tsunami Parigi 1938 dan Gempabumi dan
Tsunami Tambu 1968.
3. Untuk menilai sejauh mana potensi yang dimiliki oleh Kota Palu
terhadap bencana tsunami, maka dibuatlah beberapa permodelan
zonasi wilayah yang bahaya terhadap tsunami. Hasil dari permodelan
ini dapat dijadikan masukan secara langsung untuk mendeliniasi
wilayah yang bahaya terhadap tsunami. Tindakan yang dilakukan
sebagai implikasi terhadap bentuk mitigasi bencana tsunami di Kota
Palu adalah mitigasi pasif atau non fisik yaitu berupa kajian
kebencanaan meliputi analisa kawasan bahaya tsunami, kawasan
rentan tsunami, kawasan resiko bencana tsunami, dan penentuan
lokasi evakuasi berdasarkan ketentuan building code serta penentuan
rute evakuasi.
4. Terdapat beberapa kegiatan mitigasi bencana tsunami yang telah
dilaksanakan di Kota Palu, yaitu telah dibuat membuat rambu-rambu
evakuasi yang dipasang di sejumlah jalan yang berada di sekitar Teluk
Palu. Rambu persegi panjang berwarna cokelat itu bertuliskan jalur
evakuasi disertai gambar ombak dan tanda panah yang mengarahkan
ke titik aman. Selain itu, Kota Palu telah memiliki satu unit sirene
peringatan dini bencana tsunami berdaya jangkau 3 kilometer.
Pemerintah bekerjasama dengan seniman lokal guna membuat lagu
atau syair menggunakan bahasa yang mudah dipahami masyarakat dan
juga memanfaatkan kearifan lokal sebagai sarana peringatan dini, dan
juga menggunakan radio sebagai sarana peringatan dini bencana.

3.2. Saran
Berikut dibawah ini terdapat beberapa saran yang penulis cantumkan
bertujuan untuk pengembangan mitigasi bencana Kota Palu selanjutnya:
1. Menambah beberapa unit sirine peringatan dini bencana tsunami
2. Melakukan sosialisasi atau penyuluhan mengenai ancaman tsunami,
serta cara menghadapi tsunami kepada masyarakat
3. Membangun shelter yang terpilih sebagai bangunan evakuasi berada
di wilayah yang tidak beresiko tsunami.
4. Mengutamakan pengintegrasian tindakan mitigasi bencana tsunami di
Kota Palu ke dalam bentuk dokumen tata ruang seperti Dokumen
Peraturan Daerah (Perda) RTRW Kota Palu, RDTRK, izin lokasi, dan
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) sesuai dengan karakteristik potensi
bencana tsunami di Kota Palu.

.
PENUTUP

Sekian studi literatur yang telah saya penulis selesaikan dengan tujuan
mengetahui bencana tsunami serta implikasinya dan sistem mitigasi bencana di
Kota Palu, semoga dapat bermanfaat untuk para pembaca. Penulis mohon maaf
apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas,
dimengerti, dan lugas.
Kesan yang didapati selama penulisan ini yaitu disiplin, karena membantu
mahasiswa menjadi mandiri dengan menerapkan penjelasan dari dosen dan
mencari studi kasus dari materi kuliah, dan memacu mahasiswa untuk mencari
tahu lebih dalam mengenai tugas yang diberikan.
Pesan yang penulis miliki yaitu agar para dosen atau pengajar tetap
mempertahankan pola pengajaran seperti ini agar menerapkan kedisiplinan kepada
mahasiswa.
Kelebihan selama penulisan yaitu untuk mencari pustaka dapat
menggunakan internet dan menanyakan kesalah satu teman yang sedikit tahu
mengenai mitigasi di Kota Palu.
Kekurangan dalam mengerjakan penulisan ini yaitu minimnya data yang
penulis dapatkan dari internet mengenai sistem mitigasi apasaja yang sudah
terlaksana di Kota Palu.
DAFTAR PUSTAKA

• Aris Pratomo, Rahmat., & Rudiarto, Iwan. (2013). Permodelan Tsunami dan
Implikasinya Terhadap Mitigasi Bencana di Kota Palu. Biro Penerbit
Planologi Undip Vol. 9(2):174-18. Diakses 25 Maret 2018, pukul 18:44,
(https://www.researchgate.net/publication/317074396_Permodelan_Tsunami
_dan_Implikasinya_Terhadap_Mitigasi_Bencana_di_Kota_Palu)
• Daryono. 2011. “Tataan Tektonik dan Sejarah Kegempaan Palu, Sulawesi
Tengah. Artikel Kebumian. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika”.
Diakses 10 April, pukul 13:44,
(https://www.facebook.com/notes/wwwbmkggoid/tataan-tektonik-dan-
sejarah-kegempaan-palu-sulawesi-tengah/494939305788/)
• Dikmansyah, Dwi. (2017). Cara Pushidrosal Antisipasi Bencana Tsunami
TNI AL Kembangkan Pangkalan di Teluk Ratai Lampung dan Teluk Palu
Sulawesi Tengah. Diakses 26 Aril 2017, pukul 19:47
(http://www.siagaindonesia.com/171460/cara-pushidrosal-antisipasi-bencana-
tsunami.html)
• Ilmu Dasar. (2017). “Tsunami: Pengertian, Penyebab, Dampak, dan Proses”.
Diakses 10 April 2018, pukul 19:24,
(https://www.ilmudasar.com/2017/04/Pengertian-Dampak-Proses-Terjadi-
dan-Penyebab-Tsunami-adalah.html)
• Lageni, Nursang., Al Saban, M.I., Tarmizin., Pujiasih, Tri., Belafista.,
Israwati. (2015). Tektonik Pulau Sulawesi. Tugas Geologi Indonesia. Diakses
10 April, pukul 13:57,
(http://uchanklageni.blogspot.co.id/2015/11/tektonik-pulau-sulawesi.html)
• Maruto, Riski. (2012). Kota Palu Sudah Harus Miliki "shelter". Antara
Sulteng. Diakses 26 April 2018, pukul 19:22,
(https://sulteng.antaranews.com/berita/5218/kota-palu-sudah-harus-miliki-
shelter-oleh-riski-maruto)
• Noor, Djauhari. (2014). Pengantar Mitigasi Bencana Geologi. Yogyakarta:
Deepublish.
• Wikipedia. (2016). “Sistem Peringatan Dini Tsunami”. Diakses 10 April
2018, pukul 19:07,
(https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_peringatan_dini_tsunami)

Anda mungkin juga menyukai