Anda di halaman 1dari 12

PARTISIPASI POLITIK DI NEGARA NON MUSLIM

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Muqaranah
Mazahib Fiqh Siyasah
Dosen Pengampu:
Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag.

Disusun Oleh : kelompok 10 PM-6A


Muhammad Fa’lan Arbaul Hakim 11200430000007
Kumalasari Dewi 11200430000014
Virly Andira Puspitasari 11200430000017
Adam Ramadhan 11200430000032
Lutfi Babul Rizki 11200430000046
Toriq Muhammad Yusuf 11200430000055

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1444 H/2023 M
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................. i


BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang ................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 2
A. Pendapat Yang Membolehkan Partisipasi Politik Di Negara Non-Muslim ....... 2
B. Pendapat Yang Melarang Partisipasi Politik Di Negara Non-Muslim............... 5
C. Analisis Pendapat ............................................................................................... 7
BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 9
A. Kesimpulan ........................................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 10

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aturan hukum merupakan hal penting yang harus ada dalam hidup
bermasyarakat. Hal itu bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang teratur dari
berbagai hal. Oleh karena itu pembentukan dan perancangan aturan-aturan hukum
haruslah dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan untuk
memahami norma-norma yang ada di masyarakat.
Orang-orang yang membuat aturan hukum berasal dari politik. Sehingga
hukum bisa dikatakan sebagai produk yang dihasilkan oleh politik. Hukum yang
dihasilkan juga terdapat kepentingan-kepentingan para perumusnya. Oleh karena
itu, semua kalangan berlomba-lomba agar perwakilan dari kelompoknya dapat
berpartisipasi dan bahkan memenangkan pesta politik. Hal itu bertujuan agar
kepentingan-kepentingan mereka terpenuhi melalui kehadiran perwakilan
kelompoknya dalam jajaran pembuat hukum.
Kaum muslim juga harus berpartisipasi dalam politik. Hal ini tentu saja
agar kepentingan-kepentingan kaum muslim terpenuhi, terutama dalam hal
kemudahan beribadah. Negara yang mayoritas penduduknya Islam tentunya akan
memiliki sangat banyak kandidat politisi yang beragama Islam pula. Seperti di
Indonesia yang politisinya kebanyakan beragama Islam. Bahkan partai politik
yang menjadi wadah politisi-politisi bernaung di Indonesia juga ada yang
berlabelkan Islam.
Tersebarnya Islam di dunia bukan berarti menjadikan semua negara
memiliki mayoritas penduduk muslim. Pada beberapa negara kaum muslim
menjadi minoritas. Semangat kaum muslim untuk menerapkan hukum Islam tak
pernah redup. Oleh karena itu, meskipun menjadi minoritas kaum muslimin juga
tetap bersemangat untuk berpartisipasi dalam politik di negaranya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendapat Yang Membolehkan Partisipasi Politik Di Negara Non-


Muslim
Ulama yang membolehkan adanya partisipasi politik bagi seorang muslim
di negara yang mayoritasnya non-muslim adalah Yusuf al-Qaradhawi, Ibnu
Taimiyah, dan Mujar Ibnu Syarif. Ibnu Taimiyah memiliki pendapat yang tegas
mengenai pembolehan muslim berpartisipasi politik di pemerintahan non-muslim.
Menurutnya seorang pemimpin non Islam perlu didukung dengan syarat ia
mempunyai komitmen untuk berjuang mewujudkan keadilan dan menghapus
kezaliman sesuai dengan kemampuannya, dan kepemimpinannya lebih
mendatangkan kebaikan bagi kaum muslimin daripada kepemimpinan orang lain,
dan kekuasaannya atas wilayah lebih baik daripada kekuasaan orang lain, maka
dia boleh tetap menjalankan tugas dan menduduki kekuasaannya. Dia tidak
berdosa karena itu, bahkan kelangsungan kepemimpinannya lebih baik daripada
dia tinggalkan, kecuali bila ada orang yang lebih baik yang akan
menggantikannya.1 Adanya dukungan kaum muslim dengan cara berpartisipasi
dalam politik, diharapkan dapat menciptakan harmonisasi antar agama
sebagaimana yang telah dicita-citakan sebelumnya.
Yusuf al-Qaradhawi berpendapat pada dasarnya bekerjasama dengan
orang-orang zalim adalah haram. Yang kita maksud dengan dasar di sini adalah
kaedah dasar atau kaedah umum. Artinya, ada beberapa kondisi yang syariat
sendiri membolehkan kita keluar dari kaedah dasar tersebut berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu.
Mujar Ibnu Syarif berpendapat bahwa, jika kaum muslim tidak ikut
berpartisipasi dalam politik di negara non-muslim akan menyulitkan dan
merugikan umat Islam itu sendiri. Walaupun umat Islam sudah ikut berpartisipasi

1
Agus Salim. 2008. Studi Komparasi Pendapat Ibnu Taimiyah Dan Yusuf Qardawi Tentang Partisipasi
Seorang Muslim Dalam Pemerintahan Non Islam. Iain Walisongo Semarang. Hlm 6-7

2
dalam pemerintahan non-muslim juga belum menjamin aspirasi kaum muslim
mudah tersalurkan. Terlebih lagi jika tidak berpartisipasi, maka akan lebih sulit
bagi umat Islam untuk mewujudkan dan memperjuangkan aspirasi politiknya di
negara-negara non-muslim. 2
Adapun dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat para ulama terebut
membolehkan seorang muslim untuk berpartisipasi dalam politik di negara non
muslim adalah:
1. QS. Yusuf ayat 55-56
ِۚ ِ ‫قَا َل اجْ عَ ْلنِ ْي َع ٰلى خَزَ ۤا ِٕى ِن ْاْلَ ْر‬
ٌ ‫ض اِنِ ْي َح ِف ْي‬
. ‫ظ َع ِل ْي ٌم‬
Dia (Yusuf) berkata, “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir);
karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan
berpengetahuan.”
ِ ُ‫صيْبُ بِ َرحْ َم ِتنَا َم ْن نَّش َۤا ُء َو َْل ن‬
‫ِ ْي ُُ اَجْ َر‬ ِ ُ‫ْث يَش َۤا ُۗ ُء ن‬ ِ ‫ف فِى ْاْلَ ْر‬
ُ ‫ض يَتَبَ َّوا ُ ِم ْن َها َحي‬ ُ ‫َوك َٰذلِكَ َم َّكنَّا ِلي ُْو‬
َ ‫س‬
. َ‫ْال ُمحْ ِسنِيْن‬
Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri
ini (Mesir); untuk tinggal di mana saja yang dia kehendaki. Kami
melimpahkan rahmat kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak
menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.
Wajhul istidlal dari ayat tersebut adalah bolehnya partisipasi politik di
pemerintahan non-muslim sebagaimana yang dilakukan Nabi Yusuf. Nabi
Yusuf pernah berpartisipasi menjadi bendaharawan (mentri keuangan) negara
Mesir yang kala itu dipimpin oleh raja non-muslim, yaitu Raja Heksus.3
2. QS. At-Taghabun ayat 16
َ َ‫ّٰللاَ َما ا ْست‬
. ‫ط ْعت ُ ْم‬ ‫فَاتَّقُوا ه‬
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”

2
Mujar Ibnu Syarif. 2006. Presiden Non-Muslim Di Negara Muslim (Tinjauan Dari Perspektif Politik
Islam Dan Relevansinya Dalam Konteks Indonesia). PT Pustaka Sinar Harapan; Jakarta. Hlm
111-112
3
Mujar Ibnu Syarif. 2006. Presiden Non-Muslim Di Negara Muslim (Tinjauan Dari Perspektif Politik
Islam Dan Relevansinya Dalam Konteks Indonesia). PT Pustaka Sinar Harapan; Jakarta. Hlm
112

3
Wajhul istidlal dari ayat tersebut adalah Siapa yang sanggup
mengurangi kezaliman dan kekejian, serta merubuhkan kekuatan-kekuatan
yang mendukungnya, dengan suatu cara atau dengan lainnya, maka sebaiknya
dia lakukan. Membantu orang yang membutuhkan, menolong orang yang
teraniaya, membeking orang lemah, mempersempit ruang lingkup kekejian
dan dosa semampunya merupakan suatu hal yang diharapkan.
3. QS Yusuf ayat 39-40
. ُ ُۗ ‫احد ُ ْالقَ َّه‬
‫ار‬ ِ ‫ّٰللاُ ْال َو‬
‫احبَي ِ السِجْ ِن َءا َ ْربَابٌ ُمتَفَ ِرقُ ْونَ َخي ٌْر ا َ ِم ه‬
ِ ‫ص‬َ ‫ٰي‬
“Wahai kedua penghuni penjara! Manakah yang baik, tuhan-tuhan
yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa, Mahaperkasa?”
Seperti diketahui, bahwa raja Mesir dan kaumnya orang kafir pasti
punya kebiasaan mengambil uang dan membagi-bagikannya untuk keluarga,
karib kerabat, tentara dan rakyatnya. Kebiasaan ini tidak berlaku di kalangan
para nabi. Nabi Yusuf sendiri tidak mampu melakukan semua yang
diinginkannya, sesuai dengan nilai-nilai agama Allah. Sebab, bangsa kafir itu
tidak akan mematuhinya. Namun demikian, dia tetap berusaha mewujudkan
keadilan dan kebajikan semaksimal mungkin. Sehingga, dengan
kekuasaannya dia dapat memuliakan orang-orang beriman dari kalangan
keluarganya. Hal itu tidak mungkin diwujudkannya kecuali dengan
kekuasaan.
4. QS Al-Mu’min ayat 34
ِ ‫ف ِمن قَ ْب ُل ِبٱ ْل َب ِي ٰ َن‬
ۖ ‫ت فَ َما ِز ْلت ُ ْم فِى ش ٍَّك ِم َّما َجا ٓ َء ُكم ِب ِهۦ‬ ُ ‫َولَقَدْ َجا ٓ َء ُك ْم يُو‬
ُ ‫س‬
Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa
keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa
yang dibawanya kepadamu.

4
B. Pendapat Yang Melarang Partisipasi Politik Di Negara Non-Muslim
Ulama yang melarang seorang muslim untuk berpartisipasi politik di
negara yang mayoritasnya non muslim antara lain Al-Shabuni, Wahbah Zuhaili,
dan Al-Maududi. Para ulama tersebut mengatakan bahwa jika ikut dalam
partisipasi politik di pemerintahan non-muslim sama halnya dengan mendukung
kezaliman. Selain itu juga diartikan sebagai penentangan terhadap Allah dan
Rasul-Nya.4
Adapun dalil-dalil yang menjadi landasan pendapat para ulama terebut
melarang seorang muslim untuk berpartisipasi dalam politik di negara non
muslim adalah:
1. QS. Al-Ahzab ayat 36
ِ ‫س ْولُ ْ ٓه ا َ ْم ْرا ا َ ْن يَّ ُك ْونَ لَ ُه ُم ْال ِةيَ َرْ ُ ِم ْن اَ ْم ِر ِو ْم َُۗو َم ْن َّي ْع‬
ُ ‫ّٰللاُ َو َر‬
‫ِى ه‬َ َ‫َو َما َكانَ ِل ُمؤْ ِم ٍّن َّو َْل ُمؤْ ِمنَ ٍّة اِذَا ق‬
‫ض ٰل ًْل ُّم ِب ْينْ ُۗا‬ َ ْ‫س ْولَهْ فَقَد‬
َ ‫ض َّل‬ ُ ‫ّٰللاَ َو َر‬
‫ه‬
Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah
tersesat, dengan kesesatan yang nyata.
Wajhul istidlal ayat ini menjelaskan bahwa ketidakbolehan seorang
muslim ikut berpartisipasi dalam pemerintahan yang tidak memungkinkan
untuk menerapkan syariat Allah dalam menjalankan tugas yang
diembannya. Ketidakbolehan ini merujuk pada kemungkinan adanya
pelanggaran perintah dan larangan Allah dan Rasulullah saat menjalankan
tugasnya dalam pemerintahan.
2. QS. Al-Maidah ayat 2
ِ ‫اْلثْ ِم َو ْالعُد َْو‬
‫ان‬ ِ ْ ‫َوت َ َع َاونُ ْوا َعلَى ْال ِب ِر َوالت َّ ْق ٰوى َو َْل تَ َع َاونُ ْوا َعلَى‬

4
Mujar Ibnu Syarif. 2006. Presiden Non-Muslim Di Negara Muslim (Tinjauan Dari Perspektif Politik
Islam Dan Relevansinya Dalam Konteks Indonesia). PT Pustaka Sinar Harapan; Jakarta. Hlm
110-111

5
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.”
Wajhul istidlal dari ayat tersebut setiap pelayanan, bantuan dan
pekerjaan yang diberikan kepada para pemimpin yang zalim dianggap
suatu tindakan kejahatan yang diharamkan. Sebab, syariat Islam menyuruh
untuk saling membantu dalam mewujudkan kebaikan dan ketakwaan,
serta melarang saling membantu untuk mendukung dosa dan
permusuhan.5 Oleh karena itu berpartisipasi politik untuk membantu
pemerintahan non-muslim dilarang, karena dianggap membantu
kezaliman.
3. QS. Hud ayat 113
َ ‫ّٰللاِ ِم ْن ا َ ْو ِليَ ۤا َء ث ُ َّم َْل تُ ْن‬
. َ‫ص ُر ْون‬ ُ ُۙ َّ‫س ُك ُم الن‬
‫ار َو َما لَ ُك ْم ِم ْن د ُْو ِن ه‬ َ َ‫َو َْل ت َْر َكنُ ْٓوا اِلَى الَّ ِذيْن‬
َّ ‫ظلَ ُم ْوا فَت َ َم‬
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang yang zalim yang
menyebabkan kamu disentuh api neraka, sedangkan kamu tidak
mempunyai seorang penolong pun selain Allah, sehingga kamu tidak akan
diberi pertolongan”
Wajhul Istidlal dari ayat tersebut adalah seorang muslim tidak
boleh condong dan bersimpati kepada kezaliman, sehingga dia disentuh
oleh api neraka, kehilangan bantuan dan perlindungan Allah.6
Memberikan bantuan kepada pemerintahan non-muslim dianggap zalim,
sehingga keterlibatannya akan menyebabkan hilangnya bantuan dan
perlindungan Allah, dan disentuh oleh api neraka.
4. QS. Ali Imran ayat 28
ٓ َّ ‫ش ْيءٍّ ا‬
‫ِْل ا َ ْن‬ َ ‫ي‬
ْ ِ‫ّٰللاِ ف‬ َ ‫َْل يَت َّ ِة ِذ ْال ُمؤْ ِمنُ ْونَ ْال ٰك ِف ِريْنَ ا َ ْو ِليَ ۤا َء ِم ْن د ُْو ِن ْال ُمؤْ ِم ِني ِْۚنَ َو َم ْن يَّ ْفعَ ْل ٰذلِكَ فَلَي‬
‫ْس ِمنَ ه‬
. ‫صي ُْر‬ ِ ‫ّٰللاِ ْال َم‬
‫ّٰللاُ نَ ْف َسهْ ُۗ َواِلَى ه‬ ‫تَتَّقُ ْوا ِم ْن ُه ْم ت ُ ٰقىةْ ُۗ َويُ َحذ ُِر ُك ُم ه‬

5
Agus Salim. 2008. Studi Komparasi Pendapat Ibnu Taimiyah Dan Yusuf Qardawi Tentang Partisipasi
Seorang Muslim Dalam Pemerintahan Non Islam. Iain Walisongo Semarang. Hlm 60
6
Agus Salim. 2008. Studi Komparasi Pendapat Ibnu Taimiyah Dan Yusuf Qardawi Tentang Partisipasi
Seorang Muslim Dalam Pemerintahan Non Islam. Iain Walisongo Semarang. Hlm 61

6
“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai
pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali
karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka.
Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada
Allah tempat kembali.”
Seorang muslim yang komit, dalam menghadapi pemerintahan yang zalim
dan kejam itu, diminta untuk mengadakan perlawanan dan perubahan, bukan
memberikan dukungan dan berpartisipasi dalam menjalankannya.7 Maka dari itu
pendapat ini menganjurkan agar umat Islam tidak ikut berpartisipasi politik di
negara yang mayoritasnya non-muslim, karena dianggap membantu kezaliman
kaum non-muslim (kafir).

C. Analisis Pendapat
Setelah kami sudah menyampaikan beberapa pendapat mengenai
permasalahan ini, kami mencoba untuk merajihkan jawaban dari semua pendapat
para fuqaha yang telah kami kumpulkan pada makalah ini. Dalam bagian tarjih ini
kami menimbang dari berbagai aspek-aspek yang bisa mencapai titik relevan.
Keikutsertaan umat muslim dalam politik di negara non-muslim
diperbolehkan dengan syarat tujuan dari perkembangan politik di negara non-
muslim tersebut tidak mengancam atau tidak juga menyulitkan aktifitas umat
muslim dari segi duniawi maupun akhirat.
Adapun alasan mengapa menjadi kebolehan bagi seorang muslim untuk
berpartisipasi berpolitik dalam negara non-muslim, hal ini karena bisa jadi politik
di negara non-muslim tersebut bisa menjadi dampat positif bagi umat muslim
secara keseluruhan (laki-laki maupun Wanita). Hal ini menjadi pertimbangan
Yusuf Qardhawi untuk membolehkannya partisipasi seorang muslim dalam
berpolitik dinegara non-muslim, karena Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa ini

7
Agus Salim. 2008. Studi Komparasi Pendapat Ibnu Taimiyah Dan Yusuf Qardawi Tentang Partisipasi
Seorang Muslim Dalam Pemerintahan Non Islam. Iain Walisongo Semarang. Hlm 71

7
merupakan salah satu terjalinnya hubungan minoritas dan mayoritas dalam
kehidupan bernegara (politik).
Selain itu pendapat dari Mujar Ibnu Syarif sangatlah sesuai, dengan
pendapat bahwa, jika kaum muslim tidak ikut berpartisipasi dalam politik di
negara non-muslim akan menyulitkan dan merugikan umat Islam itu sendiri.
Walaupun umat Islam sudah ikut berpartisipasi dalam pemerintahan non-muslim
juga belum menjamin aspirasi kaum muslim mudah tersalurkan. Terlebih lagi jika
tidak berpartisipasi, maka akan lebih sulit bagi umat Islam untuk mewujudkan
dan memperjuangkan aspirasi politiknya di negara-negara non-muslim. Oleh
karenanya kaum muslim sebaiknya turut berpartisipasi baik di negara yang
mayoritasnya Islam ataupun non-islam. Hal ini sangatlah membantu untuk
mendukung terlaksananya hukum-hukum Islam melalui jalur politik.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Terlibatnya seorang muslim dalam politik dan pemerintahan bersama non-
muslim mendapatkan beberapa perhatian ulama dengan pendapat yang berbeda-
beda. Sebagian kelompok membolehkan seorang muslim ikut berpartisipasi dan
bekerjasama dalam politik pemerintahan bersama non-muslim. Namun, sebagian
lainnya melarang hal tersebut.
Kelompok yang membolehkan adanya partisipasi politik seorang muslim
dalam pemerintahan non-muslim diantaranya ada Yusuf al-Qaradhawi, Ibnu
Taimiyah, dan Mujar Ibnu Syarif. Alasan para ulama tersebut membolehkan
ikutsertanya muslim dalam politik di negara non-muslim adalah untuk
mewujudkan keharmonisan antar umat beragama. Selain itu juga dengan
berpartisipasi dalam politik, umat Islam dapat lebih mudah untuk mewujudkan
aspirasi-aspirasinya.
Kelompok yang menolak adanya partisipasi politik seorang muslim dalam
pemerintahan non muslim diantaranya adalah Al-Shabuni, Wahbah Zuhaili, dan
Al-Maududi. Para ulama tersebut mengatakan bahwa jika ikut dalam partisipasi
politik di pemerintahan non-muslim sama halnya dengan mendukung kezaliman.
Selain itu juga diartikan sebagai penentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Penulis menetapkan tarjih dan memilih pendapat pertama, yaitu
membolehkan adanya partisipasi politik seorang muslim dalam pemerintahan
non-muslim. Hal ini dikarenakan alasan ulama-ulama yang membolehkan lebih
masuk akal dan sesuai dengan kemaslahatan umat zaman sekarang.

9
DAFTAR PUSTAKA
Fikriana, Askana. (2017) Memangku Jabatan Politik Oleh Muslim Di Bawah
Pemerintahan Non Muslim (Analisis Pemikiran Yusuf Al-Qaradhawy). Skripsi
thesis, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Ibnu Syarif, Mujar. 2006. Presiden Non-Muslim Di Negara Muslim (Tinjauan Dari
Perspektif Politik Islam Dan Relevansinya Dalam Konteks Indonesia). PT
Pustaka Sinar Harapan; Jakarta. Hlm 110-111
Ramadhan, Aldino. 2020. Pemikiran Yusuf Qaradhawi Tentang Partisipasi Politik
Seorang Muslim Dalam Pemerintahan Non Muslim. Universitas Islam Negeri
Raden Intan Lampung
Salim, Agus. 2008. Studi Komparasi Pendapat Ibnu Taimiyah Dan Yusuf Qardawi
Tentang Partisipasi Seorang Muslim Dalam Pemerintahan Non Islam. IAIN
Walisongo Semarang.

10

Anda mungkin juga menyukai