Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PERBANDINGAN FIQIH MUNAKAHAT

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT AGAMA ISLAM DAN UU


PKDRT DI INDONESIA DAN NEGARA ISLAM DI DUNIA

UIN SUSKA RIAU

Dosen Pengampu : Kemas Muhammad Gemilang, S.HI M.H

Disusun Oleh Kelompok VI :


M. Yazid Al Bustomi Siregar
((12020117033))

Yovika Putri
(12020127243)

Rudi Azhari
((12020115742))

JURUSAN HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2023

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wata‟ala yang telah memberikan kami kemudahan

sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-

NYA tentu kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat

serta salam semoga terlipahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wasallam.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu Wata‟ala atas limpahan nikmat

sehat-NYA baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk

menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas individu dari mata kuliah “Fiqih

Perbandingan Munakahat”. Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata

sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu,

penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini

nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak

kesalahan dalam makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terkhususnya kepada teman-teman yang telah

membantu saya dalam menulis makalah ini. Demikian semoga makalah ini dapat

bermanfaat.Terima kasih.

Pekanbaru, 03 Oktober 2023

penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i


DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3
A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Agama Islam .................................................. 3
B. UU PKDRT di Indonesia dan negara Islam di dunia ............................................................ 8
BAB III PENUTUP ............................................................................................................................. 13
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA

II
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam


rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Pandangan negara tersebut didasarkan pada
pasal. 28 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, beserta
perubahannya. Pasal. 28 g ayat (1) Undang- Undang Dasar tahun 1945 menentukan
bahwa setiap, orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang berada di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.
Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial
yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para
penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang
akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang
lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan
keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada
istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga,
keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal
yaitu perkawinan.1
Hadirnya Islam sebagai agama pembebas dari ketertindasan dan penistaan
kemanusiaan dengan visi rahmatan lil „alaminmembawa misi untuk mengikis habis
praktik-praktik tersebut. Dalam Islam, manusia baik laki-laki dan perempuan adalah
sama-sama sebagai mahluk Tuhan yang bermartabat (human dignity) di mana
parameter kemulian seorang manusia tidak diukur dengan parameter biologis sebagai
laki-laki atau perempuan, tetapi kualitas dan nilai seseorang diukur dengan kualitas
taqwanya kepada Allah SWT.

1
Elli N Hasbianto, Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan Perempuan Dalam
Perkawinan. Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Perlindungan Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan
seksual. UGM Yogyakarta, 6 November 1996.

1
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kekerasan dalam rumah tangga menurut agama islam?

2. Bagaimana UU PKDRT di Indonesia dan negara Islam di dunia?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui kekerasan dalam rumah tangga menurut agama islam

2. Untuk mengetahui UU PKDRT di Indonesia dan negara Islam di dunia

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Agama Islam

Konsep idial relasi kemanusiaan dalam Islam sebagaimana termaktub dalam al-
Qur‟an dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam, dalam praktiknya mengalami „distorsi‟
sebagai akibat interpretasi terhadap teks keagamaan (Qur‟an-Hadits) yang tampak bias
gender dengan menampakan adanya pemihakan terhadap jenis kelamin tertentu dan
mensubordinasikan jenis kelamin lainya. Pada posisi ini, maka tidak jarang berbagai
manifestasi ketidakdilan gender (kekerasan, peminggiran, stereotipe dan subordinasi)
justeru lahir karenamendapat justifikasi agama.

Beberapa konsep ajaran agama Islam (hasil interpretasi teks) yang dianggap bias
gender dan memberikan kontribusi signifikan untuk lahirnya kekerasan berbasis gender
antara lain sebagai berikut:

1. Kekerasan Fisik
Salah satu tindak kekerasan fisik yang „dilegitimasi‟ oleh syara‟ adalah
pemukulan terhadap isteri yang nusyuz. Dalam beberapa literature Islam, pemukulan
terhadap isteri yang nusyuz oleh suami adalah sesuatu yang dibolehkan. Legitimasi
bolehnya memukul terhadap isteri yang nusyuz merujuk pada al-Qur‟an surat an-
Nisa‟ ayat 34 yang berbunyi:
ۚ ْ‫ط َو ب ِ َم ا أ َو ْ ف َ ق ُ ىا ِم ْه أ َ ْم َى ا نِ ِه م‬ ٍ ْ ‫ان ِّز َج ا ُل ق َ َّى ا ُم ى َن ع َ ه َ ى ان ى ّ ِ س َ ا ِء ب ِ َم ا ف َ عَّ َم َّللاَّ ُ ب َ ع ْ عَ هُ ْم ع َ ه َ ٰى ب َ ع‬
‫خ ا ف ُ ى َن و ُ ش ُ ى َس ه ُ َّه ف َ ِع ظ ُ ى ه ُ َّه‬ َّ ‫ح ف ِ ظ َ َّللاَّ ُ ۚ َو‬
َ َ ‫انَّل ح ِ ً ح‬ َ ‫ث ن ِ ه ْ غ َ ٍ ْ ب ِ ب ِ َم ا‬
ٌ ‫ث َح ا ف ِ ظ َ ا‬ٌ ‫ث ق َ ا و ِ خ َا‬
ُ ‫حا‬ َ ِ ‫ف َ ان صَّ ا ن‬
‫ٍَّل ۗ إ ِ َّن َّللاَّ َ ك َ ا َن‬ ْ ‫ج ُز و ه ُ َّه ف ِ ً ان ْ َم عَ ا ِج ع ِ َو ا‬
‫ظ ِز ب ُى ه ُ َّه ۖ ف َ إ ِ ْن أ َغ َ ع ْ ى َ ك ُ مْ ف َ ََّل ح َ ب ْ غ ُ ىا ع َ ه َ ٍ ْ ِه َّه س َ ب ِ ا‬ ُ ْ‫َو ا ه‬
‫ع َ ه ِ ٍ ا ك َ ب ِ ٍ از ا‬

Terjemahnya : “Para isteri yangkamu khawatirkan nusyuznya maka nasihatilah


mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan
pukulah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha tinggi lagi Maha besar.”

Menurut riwayat yang kuat (yang umumnya di catat oleh para mufassir), ayat
ini turun berkenaaan dengan kasus Sa‟id ibn Rabi‟ yang memukul isterinya yang
durhaka, Habibah bin Zaid ibn Kharijah ibn Abi Zahr. Kemudian bapak Habibah

3
mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah. Jawaban Rasulullah terhadap
laporan ini adalah “ Ia (Habibah) berhak membalas kepada suaminya yang memukul
setimpal dengan apa yang dilakukan suaminya”. Sebagai tindak lanjutnya, Habibah
dan bapaknya berusaha menemui suami Habibah untuk membalas, namun
Rasulullah tiba-tiba melarang dan menyuruh Habibah dan bapaknya untuk kembali
ke rumah dan mengurungkan niatnya, dengan alasan malaikat Jibril sudah turun
membawa firman Allah surat an-Nisa‟ ayat 34.

Secara sepintas ayat ini tampak membolehkan pemukulan terhadap isteri.


Pandangan ini bisa muncul bila kita memahami berdasarkan pada makna yang
tersurat dari ayat di atas atau ketika berpegang pada makna dzahir dari ayat tersebut.
Pertanyaan yang kemudian diajukan kemudian adalah apakah memang pemukulan
itu merupakan anjuran al-Qur‟an, ataukah sebagai pintu darurat kecil yang
semestinya tidak dilakukan?. Pertanyaan ini memang penting dikemukakan
mengingat al-Qur‟an diturunkan pada masyarakat yang tidak memanusiakan
perempuan. Jangankan dipukul, perempuan pada masa pra–Islam bahkan berhak
dibunuh, dijadikan benda warisan dan sebagainya tanpa boleh membela diri. Dengan
demikian, pemukulan terhadap isteri yang nusyuz(meninggalkan rumah tanpa izin
atau berbuat melawan suami) pada saatitu termasuk kekerasan yang ringan
dibanding prilaku yang biasa dilakukan masyarakat pra-Islam.2

Memperhatikan ketentuan ayat nusyuz di atas, tindakan pemukulan jelas


merupakan alternatif terakhir ketika upaya pertama yaitu memberi nasihat
(mauidzah) dancara kedua yaitu pisah ranjang tidak cukup efektif untuk membuat
isteri taat kepada suami dan menyadari kesalahannya. Dua alternatif solusi yang
diberikan al-Qur‟an dalam memberikan treatmentpada isteri yang nusyuz merupakan
indikator (qarinah) yang mengantarkan pada pemahaman bahwa pemukulan
sesungguhya bukan sesuatu yang harus dilakukan atau bahkan semangat dari ayat di
atas justeru dalam rangka meminimalisir praktek kekerasan suami terhadap isterinya
di tengah masyarakat yang penuh dengan budaya kekerasan terhadap perempuan.

Kewenangan untuk melakukan tindak kekerasan suami terhadap isterinya yang


nusyuz secara konseptual lahir karena pada diri suami melekat otoritas sebagai

2
Badriyah Fayumi, „Islam danMasalah Kekerasan Terhadap Perempuan‟ dalam Amirudin Arani (Ed),
Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan (Yogyakarta: LkiS-Rahima, 2002), hal. 110

4
qawwam(pemimpin) pada lingkup rumah tangganya. Otoritas qawwamtersebut
sebagai atribut melekat pada seorang suami karena ini diberi kelebihan-kelebihan
serta posisinya sebagai penanggungjawab ekonomi keluarga. Dengan demikian,
kekerasan ini lahir karena ada pola relasi kekuasaan suami isteri yang timpang di
mana salah satu pihak menjadi subordinat pihak lain. Pada umumnya para ahli tafsir
memahami surat an-Nisa‟ ayat 34 sebagai kebolehan seorang suami untuk memukul
isterinya yang nusyuz dalam kapasitas seorang suami sebagai pemimpin, pendidik
dan penanggungjawab kehidupan ekonomi keluarga. Dengan demikian, tindakan
kekerasan suami terhadap isterinya lahir karena konstruk peran gender yang melekat
pada posisi masing-masing suami isteri.

2. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual (sexual violence) dalam sejarah ummat manusia sudah
menjadi fenomena umum. Dalam wacana kontemporer, kita mengenal apa yang
disebut traffickingatau perdagangan orang (perempuan) dengan cara mengekplotasi
tubuh seseorang termasuk eksploitasi seksual untuk kepentingan ekonomi para
pemilik modal. Empat belas abad yang lalu, praktek serupa pernah terjadi. Kisah
sedih itu menimpa seorang perempuan budak bernama Mu‟adzah yang dijual oleh
majikanya, Abdullah bin Ubay bin Salul gembong kaum munafik, kapada lelaki
Quraisy yang menjadi tawanan Ubay. MotifUbay hanya satu yaitu jika Mu‟adzah
hamil dan melahirkan anak, lelaki Quraisy itu akan menebusnya dengan jumlah
tertentu. Menyikapi hal itu, Mu‟adzah yang mukminah itu menolak dan membawa
persoalanya kepada Rasulullah.3
Pengaduan ini serta merta mendapat jawaban dari Allah dan menjadi sebab
turunya ayat 33 surat an-Nur:

‫َ ِم َّم ا‬َ ‫ع ه ِ هِ ۗ َو ان َّ ذِ ٌ َه ٌ َ ب ْ خ َغ ُ ى َن ان ْ ِك خ َ ا‬ َ ‫ف ان َّ ذِ ٌ َه ََل ٌ َ ِج ذ ُو َن و ِ ك َ ا اح ا‬


ْ َ ‫ح خ َّ ٰى ٌ ُ غ ْ ى ِ ٍ َ هُ م ُ َّللاَّ ُ ِم ْه ف‬ ِ ِ ‫َو ن ْ ٍ َ سْ خ َع ْ ف‬
‫خ ٍ ْ از ا ۖ َو آ ح ُى ه ُ مْ ِم ْه َم ا ِل َّللاَّ ِ ان َّ ِذ ي آ ح َا ك ُ مْ ۚ َو ََل‬ َ ْ‫ج أ َ ٌ ْ َم ا و ُ ك ُ مْ ف َ ك َا ح ِ ب ُى ه ُ مْ إ ِ ْن ع َ ه ِ ْم خ ُمْ ف ِ ٍ ِه م‬ ْ َ ‫َم ه َ ك‬
َ ْ ‫ض ان‬
‫ح ٍ َ ا ة ِ ان ذ ُّ و ْ ٍ َ ا ۚ َو َم ْه ٌ ُ كْ ِز هْ هُ َّه‬ َ ‫ح ُكْ ِز ه ُىا ف َ خ ٍَ َ ا ح ِ ك ُ مْ ع َ ه َ ى ان ْ ب ِ غ َا ِء إ ِ ْن أ َ َر د ْ َن ح َ َح صُّ ى ا ا ن ِ خ َب ْخ َغ ُ ىا ع َ َز‬
ٌ ‫ف َ إ ِ َّن َّللاَّ َ ِم ْه ب َ ع ْ ِذ إ ِ كْ َز ا هِ ِه َّه غَ ف ُ ى ٌر َر ِح ٍ م‬

Artinya : Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian
(diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.
Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian,

3
Ibid, hal. 116

5
hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui
ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian
dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah
kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari
keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.

Ayat al-Qur‟an ini dengan mendasarkan pada sebab-sebab turunya


memberikan legitimasi bagi penolakan terhadap upaya eksploitasi seksual oleh
seorang majikan terhadap budak perempuan untuk kepentingan komersial.
Mendasarkan pada informasi asbabun nuzul ayat di atas juga tergambar jelas, bahwa
kelompok masyarakat yang rentan untuk menjadi korban kekersan seksual adalah
kaum perempuan yang karena posisinya lemah di hadapan majikan. Pola relasi
kekuasaan antara majikan dan atasan dalam relasi pekerjaan yang tidak terdapat
mekanisme kontrol seringkali rentan untuk melahirkan kekerasan seksual.

3. Kekerasan Psikologis (Domestifikasi Peran)


Proses perumahan perempuan dalam konteks relasi social biasanya mengacu
pada al-Qur‟an surat al-Ahzab ayat 33:

َ ‫اْل ُو ن َ ٰى ۖ َو أ َ ق ِ ْم َه ان صَّ ََّل ة َ َو آ ح ِ ٍ َه ان َّش ك َا ة‬ ْ ِ‫ج ا هِ هِ ٍ َّ ت‬ َ ْ ‫ج ان‬ َ ‫َو ق َ ْز َن ف ِ ً ب ُ ٍ ُى ح ِ ك ُ َّه َو ََل ح َب َ َّز ْج َه ح َب َ ُّز‬
‫ج َو ٌ ُ ط َ هِّ َز ك ُ مْ ح َطْ ِه ٍ از ا‬
ِ ْ ٍ َ ‫س أ َ هْ َم ان ْ ب‬
َ ‫ب ع َ ى ْ ك ُ م ُ ان ِّز ْج‬ ِ َ ‫َو أ‬
َ ِ‫غ ع ْ َه َّللاَّ َ َو َر س ُ ى ن َ ه ُ ۚ إ ِ و َّ َم ا ٌ ُِز ٌ ذ ُ َّللاَّ ُ ن ِ ٍ ُ ذ ْ ه‬

Artinya : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.

Kata waqarnadengan dibaca fathah pada huruf qaf berarti “menetaplah di


dalam rumah kalian” dan dibaca waqirnadengan kasrah pada huruf qaf berarti
“hemdaklah kalian bersenang-senang dan tenang di rumah”. Jika dibaca dengan
fathahhuruf qaf-nya, maka dengan tegas perempuan diserukan untuk menetap di
dalam rumah, sedangkan kalau dibaca kasrahhuruf qaf-nya, maka perempuan

6
diserukan untuk bersenang-senang di dalam rumah.Kebanyakan ulama membaca
dengan fathah qaf-nya dengan penekanan perempuan hendaknya menetap di dalam
rumah.4

Menurut Ibn Katsir, perintah untuk tetap tinggal dirumah itu mencakup seluruh
perempuan dan tidak hanya dikhususkan hanya kepada ister-isteri Nabi saja. Dari
sini kemudian memunculkan perdebatan, apakah yang dipegangi dari ayat ini adalah
makna umumnya (umum al-lafdz) atau sebab-sebab khususnya (khusus al-sabab).
Namun demikian, pendapat yang menjadi mainstreamyang menghiasi kitab-kitab
klasik lebih berpegang pada makna umumnya lafadz dengan kaidahnya “ al-„ibrah bi
„umum lafdz la bi khusus al-sabab” (yang diperhitungkan adalah makna umumnya
lafadz bukan makna khususnya /kejadian spesifiknya).

Atas dasar pemikiran di atas, maka mayoritas ulama fiqh berpendapat, bahwa
tugas utama seorang isteri adalah di dalam rumah dan mengerjakan pekerjaan-
pekerjaan rumah. Dia tidak boleh meninggalkan suami begitu saja dan kalaupun
akan keluar rumah maka ia harus mendapat persetujuan suaminya. Para ahli fiqh
juga berpendapat apabila seorang isteri keluar rumah (untuk kerja) tanpa izin
suaminya, maka hak nafkahnya menjadi hilang. Seorang isteri boleh keluar rumah
meskipun tanpa izin suaminya apabila dalam keadaan darurat (memaksa).5

Alur fikir para ahli fiqh seperti di atas dengan demikian berangkat dari pilihan
kaidah kebahasaan yang kemudian melahirkan interpretasi yang cenderung „bias
gender‟ dengan menempatkan posisi isteri/perempuan menjadi sempit ruang
geraknya. Interpretasi demikian sudah barang tentu menjadikan perempuan pada
posisi selalu menjadi manusia domestik dan secara social terisolir dari komunitasnya
yang pada akhirnya menempatkan perempuan sebagai manusia yang tidak
mempunyai public spareyang sama dalam mengaktualisasikan potensi yang
dimilikinya.

4. Kekerasan Ekonomi: Hak Perempuan atas Harta yang dimilikinya

4
asarudin Umar, Bias Jender Dalam Penafsiran Al-Qur‟an, Pidato pengukuhan Guru Besar dalam
Ilmu Tafsir, UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2002, hal. 21-23
5
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kyai atas WacanaAgama dan Gender, (Yogyakarta:
LkiS-Rahima, 2002), hal. 127-128

7
Persoalan kepemilikan harta pribadi bagi perempuan pernah mencuat pada
masa khalifah Umar ibn Khattab. Khalifah berusaha membatasi hak perempuan
dalam memperoleh mahar. Dalam suatu khutbahnya, khalifah menginstruksikan agar
mahar yang nantinya menjadi milik pribadi perempuan dibatasi maksimal empat
ratus dirham. Alasanya, Nabi dan para sahabat biasa memberikan mahar sejumlah
itu atau lebih kecil. Begitu khalifah turun, seorang perempuan Quraisy bangkit dan
mempertanyakan alasan pembatasan itu. Perempuan mengatakan bahwajika Allah
saja tidak membatasi jumlah yang diberikan kepada seorang perempuan seperti yang
tertera dalam surat an-Nisa‟ ayat 20, maka mengapa khalifah membatasi?.
Mendengar protes tersebut, khalifah langsung istighfar dan mencabut kembali
pernyataanya sambil mengakui bahwa perempuan itu benar.
Seorang perempuan sebagai pribadi dalam kapasitas sebagai subjek hukum
mempunyai otonomi secara penuh terhadap hak harta yang dimilikinya. Sebagai
subjek hukum, seorang perempuan bisa melakukan transaksi hukum terhadap harta
yang dimilikinya tanpa menggantungkan dengan kehendak suaminya. Kepemilikan
harta seorang perempuan bisa juga melalui proses pewarisan atau hibah dari
muwarrisnya atau dari seseorang yang menghibahkan pada dirinya.

B. UU PKDRT di Indonesia dan negara Islam di dunia


Kebutuhan akan adanya undang-undang yang khusus mengatur Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (KDRT) sebagai kejahatan dan memberikan perlindungan tertentu bagi
korban, sudah dikemukakan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat selama
bertahun-tahun. Sebuah draft yang berisikan Rancangan Undang-undang Anti Kekerasan
Dalam Rumah Tangga telah disampaikan oleh sejumlah LSM kepada komisi VII DPR RI
dan Badan Legislasi DPR RI. Berbagai kajian hukum telah juga didiskusikan dan
diseminarkan di berbagai daerah. Undang-undang mengenai KDRT yang dibutuhkan
tersebut meliputi rumusan pengertian tindak pidana yang dianggap sebagai kejahatan,
upaya-upaya hukum yang dapat diakses oleh korban dan saksi kejahatan tersebut
termasuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan.6
Dalam perjalanan proses penyusunan RUU ini melampaui beberapa perubahan
baik dari sisi substansi maupun judul. Rancangan awalRUU ini berjudul RUU Anti
Kekerasan dalamRumah Tangga, kemudian diganti RUU Anti Kekerasan Domestik.

6
Rita Serena Kolibonso, “Kejahatan Itu Bernama Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Jurnal
Perempuan, No. 26 Tahun 2002, hal. 18

8
Setelah melalui pembahasan di DPR berubah menjadi RUU Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Kemudian terhitung sejak tanggal 22 September 2004, RUU ini
disahkan menjadi UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.7
Dalam konsideran Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dijelaskan bahwa kebanyakan korban KDRT adalah
perempuan yang harusmendapat perlindungan negara dan/atau masyarakat agar terhindar
dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Di samping itu, perlunya Undang-
undang ini disahkan karena system hukum yang ada belum dinilai bisa menjamin
perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.
Adapun terkait dengan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga menurut
undang-undang ini terdiri dari empat macam,8 yaitu:
1. Kekerasan Fisikadalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat. Dalam konteks relasi personal, bentuk-bentuk kekerasan fisik yang
dialami perempuan korban mencakup, antara lain, tamparan, pemukulan,
penjambakan, penginjak-injakan, penendengan, pencekikan, lemparan benda keras,
penyiksaan menggunakan benda tajam, seperti pisau, gunting, setrika serta
pembakaran. Sedangkan dalam konteks relasi kemasyarakatan, kekerasan fisik
terhadap perempuan bisa berupa penyekapan ataupun pemerkosaan terhadap
pembantu perempuan oleh majikan ataupun pengrusakan alat kelamin (genital
mutilation) yang dilakukan atas nama budaya atau kepercayaan tertentu.
2. Kekerasan Psikisadalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang. Bentuk kekerasan secara psikologis yang
dialami perempuan mencakup makian, penghinaaan yang berkelanjutan untuk
mengecilkan harga diri korban, bentakan dan ancaman yang diberi untuk
memunculkan rasa takut. Pada umumnya kekerasan psikologis ini terjadi dalam
konteks relasi personal.

7
Ida Budhiati, Pembaruan Hukum Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Makalah seminar
Regional tentang Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Merespon UU PKDRT, PSG STAIN Purwokerto-KPI
Jateng, tanggal 11 Juni 2005
8
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, hal. 1-5

9
3. Kekerasan Seksualadalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam rumah tangga atau pemaksaan hubungan seksual
terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk
tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan yang bernuansa seksual
termasuk berbagai perilaku yang tak diinginkan dan mempunyai makna seksual, atau
sering disebut „pelecehan seksual‟, maupun berbagai bentuk pemaksaan hubungan
seks yang sering disebut sebagai perkosaan.
4. Penelantaran Rumah Tanggayaitu seseorang tidak melaksanakan kewajiban
hukumnya terhadap orang dalam lingkup rumah tangga berupa mengabaikan
memberikan kewajiban kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Termasuk dalam kategori penelantaraan rumah tangga adalah memberikan
batasan atau melarang seseorang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah sehingga korban berada dalam kendali orang tersebut.

Bentuk-bentuk kekerasan sebagaimana diatur dalam Undang-undang PKDRT


sesungguhnya merupakan cermin dari berbagai bentuk kekerasan yang sering terjadi dan
menjadi fenomena umum di tengah-tengah masyarakat. Untuk jenis kekerasan yang
bersifat fisik, proses pembuktianya sangat mudah dengan merujuk pada ketentuan dalam
hukum pidana (KUHP) dengan tolok ukur yang jelas. Sedangkan untuk jenis kekerasan
psikis dan penelantaran rumah tangga proses pembuktianya memang sulit karena terkait
dengan rasa /emosi yang bersifat subjektif. Di sini seorang jaksa dan hakim ditantang
untuk merumuskanya sehingga dinilai sebagai perbuatan yang termasuk kategori
kekerasan.

Jelasnya kekerasan perempuan (istri sebagaimana yang tertuang dalam rumusan


deklarasi PBB,9 yaitu tentang penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan, adalah
segala tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin
berangkat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, psikologis,
termasuk ancaman tindak tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang baik yang terjadi didepan umum maupun dalam kehidupan
pribadi/keluarga.10

9
Deklarasi perserikatan bangsa-bangsa tentang penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan,
pasal 1, hal. 12
10
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Yogyakarta: Pusat Studi Gender, 2006), hal, 2

10
Dalam konsideran deklarasi tersebut, dikatakan bahwa kekerasan terhadap
perempuan adalah efek dari ketimpangan historis dari hubungan kekuasaan antara laki-
laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi laki-laki atas
perempuan.

Secara empiris penyebab terjadi KDRT itu dalam 4 bentuk. Pertama, penganiayaan
menyakiti fisik, seperti pukulan, tendangan, siraman dengan air panas, setrika dan
cubitan. Kedua penganiayaan secara fisikis atau emosional, seperti hinaan, ancaman dan
cemoohan. Ketiga, penganiayaan secara finansial seperti pengabaian uang belanja dan
kebutuhan keluarag. Keempat, penganiayaan seksual, seperti pemaksaan hubungan
seksual.

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan bahwa kedua belah pihak dapat
mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam (Pasal 45 KHI). Taklik talak juga tidak boleh
bertentangan dengan hukum Islam. Di samping itu, jika terjadi pelanggaran terhadap
perjanjian, talak akan jatuh apabila istri mengajukannya ke Pengadilan Agama. Taklik
talak juga tidak bisa dicabut kembali jika telah diperjanjikan (Pasal 46 KHI).
Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan juga memberikan hak kepada istri untuk
meminta pembatalan atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke
Pengadilan Agama (Pasal 51 KHI).

Sama halnya dengan Indonesia, Negara Irak juga menetapkan perjanjian


perkawinan. Hukum irak memberikan kewenangan kepada para pihak dalam perkawinan
untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum dalam perjanjian perkawinan. Jika suami
melanggar syarat-syarat atau ketentuan yang telah ditetapkan tersebut, istri boleh
mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan (Pasal 6 ayat 2, The Irak of Personal Status, No.
188/1959). Sehingga dapat dikatakan bahwa, pelanggaran terhadap perjanjian
perkawinan menjadi salah satu alasan yang membolehkan terjadinya perkawinan di Irak.

Tunisia juga menetapkan perjanjian perkawinan, di mana setiap calon dapat


mengadakan perjanjian perkawinan. Apabila perjanjian tersebut dilanggar, maka hal
tersebut dapat dijadikan alasan untuk mengajukan pembubaran perkawinan. Pembubaran
perkawinan tidak bisa melahirkan hak ganti rugi jika terjadi sebelum dhukul.11 Perjanjian

11
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Muslim World, (Bombay: Tripathi, 1972), hal. 101

11
perkawinan merupakan langkah awal dalam menghindari terjadinya KDRT. Dengan
adanya perjanjian, maka suami maupun istri akan berpikir sebelum melakukan
kekerasan. Hal ini karena ada perjanjian-perjanjian yang jika dilanggar akan berakibat
pada kehidupan keluarga mereka, seperti perceraian misalnya. Jika terjadi kekerasan
terhadap salah satu pihak, hal ini akan melanggar perjanjian yang telah dilakukan
sebelumnya. Sehingga memberikan peluang kepada salah satu pihak untuk
menjadikannya sebagai alasan perceraian

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pandangan hukum Islam dan hukum positif memandang bahwa kekerasan dalam
rumah tangga atau kekerasan terhadap istri adalah perilaku tercela dan terlalang. Hukum
Islam dan hukum positif sama-sama berpandangan bahwa kedudukan seorangistri sama
tingginya dengan seorang suami. Empat bentuk kekerasan yang juga dijelaskan dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis,
kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi.
Korelasi tentang tujuan penghukuman dalam rangka menjaga kemaslahatan
manusia, keselarasan aturan hukum mengenai kekerasan fisik terhadap istri dan tindak
pidana atas selain jiwa (penganiayaan), namun secara khusus UU PKDRT mengatur
dalam lingkup keluarga. Dari segi hukuman dapat dikatakan bahwa hukuman berupa
penjara merupakan bentuk hukuman takzir dalam hukum pidana Islam.

13
DAFTAR PUSTAKA

Asarudin Umar, Bias Jender Dalam Penafsiran Al-Qur‟an, Pidato pengukuhan Guru Besar
dalam Ilmu Tafsir, UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2002
Badriyah Fayumi, „Islam danMasalah Kekerasan Terhadap Perempuan‟ dalam Amirudin
Arani (Ed), Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan, Yogyakarta: LkiS-
Rahima, 2002
Deklarasi perserikatan bangsa-bangsa tentang penghapusan tindak kekerasan terhadap
perempuan, pasal 1
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, Yogyakarta: Pusat Studi Gender, 2006
Elli N Hasbianto, Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan Perempuan
Dalam Perkawinan. Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Perlindungan
Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan seksual. UGM Yogyakarta, 6
November 1996.
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kyai atas WacanaAgama dan Gender,
Yogyakarta: LkiS-Rahima, 2002
Ida Budhiati, Pembaruan Hukum Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Makalah
seminar Regional tentang Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Merespon UU
PKDRT, PSG STAIN Purwokerto-KPI Jateng, tanggal 11 Juni 2005
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Muslim World, Bombay: Tripathi, 1972
Rita Serena Kolibonso, “Kejahatan Itu Bernama Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Jurnal
Perempuan, No. 26 Tahun 2002

14

Anda mungkin juga menyukai