Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Yovika Putri
(12020127243)
Rudi Azhari
((12020115742))
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhanahu Wata‟ala yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-
NYA tentu kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Sholawat
serta salam semoga terlipahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wasallam.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Subhanahu Wata‟ala atas limpahan nikmat
sehat-NYA baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas individu dari mata kuliah “Fiqih
Perbandingan Munakahat”. Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini
nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak
kesalahan dalam makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terkhususnya kepada teman-teman yang telah
membantu saya dalam menulis makalah ini. Demikian semoga makalah ini dapat
bermanfaat.Terima kasih.
penulis
1
DAFTAR ISI
II
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Elli N Hasbianto, Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan Perempuan Dalam
Perkawinan. Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Perlindungan Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan
seksual. UGM Yogyakarta, 6 November 1996.
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Konsep idial relasi kemanusiaan dalam Islam sebagaimana termaktub dalam al-
Qur‟an dan Hadits sebagai sumber ajaran Islam, dalam praktiknya mengalami „distorsi‟
sebagai akibat interpretasi terhadap teks keagamaan (Qur‟an-Hadits) yang tampak bias
gender dengan menampakan adanya pemihakan terhadap jenis kelamin tertentu dan
mensubordinasikan jenis kelamin lainya. Pada posisi ini, maka tidak jarang berbagai
manifestasi ketidakdilan gender (kekerasan, peminggiran, stereotipe dan subordinasi)
justeru lahir karenamendapat justifikasi agama.
Beberapa konsep ajaran agama Islam (hasil interpretasi teks) yang dianggap bias
gender dan memberikan kontribusi signifikan untuk lahirnya kekerasan berbasis gender
antara lain sebagai berikut:
1. Kekerasan Fisik
Salah satu tindak kekerasan fisik yang „dilegitimasi‟ oleh syara‟ adalah
pemukulan terhadap isteri yang nusyuz. Dalam beberapa literature Islam, pemukulan
terhadap isteri yang nusyuz oleh suami adalah sesuatu yang dibolehkan. Legitimasi
bolehnya memukul terhadap isteri yang nusyuz merujuk pada al-Qur‟an surat an-
Nisa‟ ayat 34 yang berbunyi:
ۚ ْط َو ب ِ َم ا أ َو ْ ف َ ق ُ ىا ِم ْه أ َ ْم َى ا نِ ِه م ٍ ْ ان ِّز َج ا ُل ق َ َّى ا ُم ى َن ع َ ه َ ى ان ى ّ ِ س َ ا ِء ب ِ َم ا ف َ عَّ َم َّللاَّ ُ ب َ ع ْ عَ هُ ْم ع َ ه َ ٰى ب َ ع
خ ا ف ُ ى َن و ُ ش ُ ى َس ه ُ َّه ف َ ِع ظ ُ ى ه ُ َّه َّ ح ف ِ ظ َ َّللاَّ ُ ۚ َو
َ َ انَّل ح ِ ً ح َ ث ن ِ ه ْ غ َ ٍ ْ ب ِ ب ِ َم ا
ٌ ث َح ا ف ِ ظ َ اٌ ث ق َ ا و ِ خ َا
ُ حا َ ِ ف َ ان صَّ ا ن
ٍَّل ۗ إ ِ َّن َّللاَّ َ ك َ ا َن ْ ج ُز و ه ُ َّه ف ِ ً ان ْ َم عَ ا ِج ع ِ َو ا
ظ ِز ب ُى ه ُ َّه ۖ ف َ إ ِ ْن أ َغ َ ع ْ ى َ ك ُ مْ ف َ ََّل ح َ ب ْ غ ُ ىا ع َ ه َ ٍ ْ ِه َّه س َ ب ِ ا ُ َْو ا ه
ع َ ه ِ ٍ ا ك َ ب ِ ٍ از ا
Menurut riwayat yang kuat (yang umumnya di catat oleh para mufassir), ayat
ini turun berkenaaan dengan kasus Sa‟id ibn Rabi‟ yang memukul isterinya yang
durhaka, Habibah bin Zaid ibn Kharijah ibn Abi Zahr. Kemudian bapak Habibah
3
mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah. Jawaban Rasulullah terhadap
laporan ini adalah “ Ia (Habibah) berhak membalas kepada suaminya yang memukul
setimpal dengan apa yang dilakukan suaminya”. Sebagai tindak lanjutnya, Habibah
dan bapaknya berusaha menemui suami Habibah untuk membalas, namun
Rasulullah tiba-tiba melarang dan menyuruh Habibah dan bapaknya untuk kembali
ke rumah dan mengurungkan niatnya, dengan alasan malaikat Jibril sudah turun
membawa firman Allah surat an-Nisa‟ ayat 34.
2
Badriyah Fayumi, „Islam danMasalah Kekerasan Terhadap Perempuan‟ dalam Amirudin Arani (Ed),
Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan (Yogyakarta: LkiS-Rahima, 2002), hal. 110
4
qawwam(pemimpin) pada lingkup rumah tangganya. Otoritas qawwamtersebut
sebagai atribut melekat pada seorang suami karena ini diberi kelebihan-kelebihan
serta posisinya sebagai penanggungjawab ekonomi keluarga. Dengan demikian,
kekerasan ini lahir karena ada pola relasi kekuasaan suami isteri yang timpang di
mana salah satu pihak menjadi subordinat pihak lain. Pada umumnya para ahli tafsir
memahami surat an-Nisa‟ ayat 34 sebagai kebolehan seorang suami untuk memukul
isterinya yang nusyuz dalam kapasitas seorang suami sebagai pemimpin, pendidik
dan penanggungjawab kehidupan ekonomi keluarga. Dengan demikian, tindakan
kekerasan suami terhadap isterinya lahir karena konstruk peran gender yang melekat
pada posisi masing-masing suami isteri.
2. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual (sexual violence) dalam sejarah ummat manusia sudah
menjadi fenomena umum. Dalam wacana kontemporer, kita mengenal apa yang
disebut traffickingatau perdagangan orang (perempuan) dengan cara mengekplotasi
tubuh seseorang termasuk eksploitasi seksual untuk kepentingan ekonomi para
pemilik modal. Empat belas abad yang lalu, praktek serupa pernah terjadi. Kisah
sedih itu menimpa seorang perempuan budak bernama Mu‟adzah yang dijual oleh
majikanya, Abdullah bin Ubay bin Salul gembong kaum munafik, kapada lelaki
Quraisy yang menjadi tawanan Ubay. MotifUbay hanya satu yaitu jika Mu‟adzah
hamil dan melahirkan anak, lelaki Quraisy itu akan menebusnya dengan jumlah
tertentu. Menyikapi hal itu, Mu‟adzah yang mukminah itu menolak dan membawa
persoalanya kepada Rasulullah.3
Pengaduan ini serta merta mendapat jawaban dari Allah dan menjadi sebab
turunya ayat 33 surat an-Nur:
Artinya : Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian
(diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.
Dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian,
3
Ibid, hal. 116
5
hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui
ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian
dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah
kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari
keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.
َ اْل ُو ن َ ٰى ۖ َو أ َ ق ِ ْم َه ان صَّ ََّل ة َ َو آ ح ِ ٍ َه ان َّش ك َا ة ْ ِج ا هِ هِ ٍ َّ ت َ ْ ج ان َ َو ق َ ْز َن ف ِ ً ب ُ ٍ ُى ح ِ ك ُ َّه َو ََل ح َب َ َّز ْج َه ح َب َ ُّز
ج َو ٌ ُ ط َ هِّ َز ك ُ مْ ح َطْ ِه ٍ از ا
ِ ْ ٍ َ س أ َ هْ َم ان ْ ب
َ ب ع َ ى ْ ك ُ م ُ ان ِّز ْج ِ َ َو أ
َ ِغ ع ْ َه َّللاَّ َ َو َر س ُ ى ن َ ه ُ ۚ إ ِ و َّ َم ا ٌ ُِز ٌ ذ ُ َّللاَّ ُ ن ِ ٍ ُ ذ ْ ه
Artinya : Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
6
diserukan untuk bersenang-senang di dalam rumah.Kebanyakan ulama membaca
dengan fathah qaf-nya dengan penekanan perempuan hendaknya menetap di dalam
rumah.4
Menurut Ibn Katsir, perintah untuk tetap tinggal dirumah itu mencakup seluruh
perempuan dan tidak hanya dikhususkan hanya kepada ister-isteri Nabi saja. Dari
sini kemudian memunculkan perdebatan, apakah yang dipegangi dari ayat ini adalah
makna umumnya (umum al-lafdz) atau sebab-sebab khususnya (khusus al-sabab).
Namun demikian, pendapat yang menjadi mainstreamyang menghiasi kitab-kitab
klasik lebih berpegang pada makna umumnya lafadz dengan kaidahnya “ al-„ibrah bi
„umum lafdz la bi khusus al-sabab” (yang diperhitungkan adalah makna umumnya
lafadz bukan makna khususnya /kejadian spesifiknya).
Atas dasar pemikiran di atas, maka mayoritas ulama fiqh berpendapat, bahwa
tugas utama seorang isteri adalah di dalam rumah dan mengerjakan pekerjaan-
pekerjaan rumah. Dia tidak boleh meninggalkan suami begitu saja dan kalaupun
akan keluar rumah maka ia harus mendapat persetujuan suaminya. Para ahli fiqh
juga berpendapat apabila seorang isteri keluar rumah (untuk kerja) tanpa izin
suaminya, maka hak nafkahnya menjadi hilang. Seorang isteri boleh keluar rumah
meskipun tanpa izin suaminya apabila dalam keadaan darurat (memaksa).5
Alur fikir para ahli fiqh seperti di atas dengan demikian berangkat dari pilihan
kaidah kebahasaan yang kemudian melahirkan interpretasi yang cenderung „bias
gender‟ dengan menempatkan posisi isteri/perempuan menjadi sempit ruang
geraknya. Interpretasi demikian sudah barang tentu menjadikan perempuan pada
posisi selalu menjadi manusia domestik dan secara social terisolir dari komunitasnya
yang pada akhirnya menempatkan perempuan sebagai manusia yang tidak
mempunyai public spareyang sama dalam mengaktualisasikan potensi yang
dimilikinya.
4
asarudin Umar, Bias Jender Dalam Penafsiran Al-Qur‟an, Pidato pengukuhan Guru Besar dalam
Ilmu Tafsir, UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2002, hal. 21-23
5
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kyai atas WacanaAgama dan Gender, (Yogyakarta:
LkiS-Rahima, 2002), hal. 127-128
7
Persoalan kepemilikan harta pribadi bagi perempuan pernah mencuat pada
masa khalifah Umar ibn Khattab. Khalifah berusaha membatasi hak perempuan
dalam memperoleh mahar. Dalam suatu khutbahnya, khalifah menginstruksikan agar
mahar yang nantinya menjadi milik pribadi perempuan dibatasi maksimal empat
ratus dirham. Alasanya, Nabi dan para sahabat biasa memberikan mahar sejumlah
itu atau lebih kecil. Begitu khalifah turun, seorang perempuan Quraisy bangkit dan
mempertanyakan alasan pembatasan itu. Perempuan mengatakan bahwajika Allah
saja tidak membatasi jumlah yang diberikan kepada seorang perempuan seperti yang
tertera dalam surat an-Nisa‟ ayat 20, maka mengapa khalifah membatasi?.
Mendengar protes tersebut, khalifah langsung istighfar dan mencabut kembali
pernyataanya sambil mengakui bahwa perempuan itu benar.
Seorang perempuan sebagai pribadi dalam kapasitas sebagai subjek hukum
mempunyai otonomi secara penuh terhadap hak harta yang dimilikinya. Sebagai
subjek hukum, seorang perempuan bisa melakukan transaksi hukum terhadap harta
yang dimilikinya tanpa menggantungkan dengan kehendak suaminya. Kepemilikan
harta seorang perempuan bisa juga melalui proses pewarisan atau hibah dari
muwarrisnya atau dari seseorang yang menghibahkan pada dirinya.
6
Rita Serena Kolibonso, “Kejahatan Itu Bernama Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Jurnal
Perempuan, No. 26 Tahun 2002, hal. 18
8
Setelah melalui pembahasan di DPR berubah menjadi RUU Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Kemudian terhitung sejak tanggal 22 September 2004, RUU ini
disahkan menjadi UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.7
Dalam konsideran Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dijelaskan bahwa kebanyakan korban KDRT adalah
perempuan yang harusmendapat perlindungan negara dan/atau masyarakat agar terhindar
dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Di samping itu, perlunya Undang-
undang ini disahkan karena system hukum yang ada belum dinilai bisa menjamin
perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga.
Adapun terkait dengan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga menurut
undang-undang ini terdiri dari empat macam,8 yaitu:
1. Kekerasan Fisikadalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat. Dalam konteks relasi personal, bentuk-bentuk kekerasan fisik yang
dialami perempuan korban mencakup, antara lain, tamparan, pemukulan,
penjambakan, penginjak-injakan, penendengan, pencekikan, lemparan benda keras,
penyiksaan menggunakan benda tajam, seperti pisau, gunting, setrika serta
pembakaran. Sedangkan dalam konteks relasi kemasyarakatan, kekerasan fisik
terhadap perempuan bisa berupa penyekapan ataupun pemerkosaan terhadap
pembantu perempuan oleh majikan ataupun pengrusakan alat kelamin (genital
mutilation) yang dilakukan atas nama budaya atau kepercayaan tertentu.
2. Kekerasan Psikisadalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau
penderitaan psikis berat pada seseorang. Bentuk kekerasan secara psikologis yang
dialami perempuan mencakup makian, penghinaaan yang berkelanjutan untuk
mengecilkan harga diri korban, bentakan dan ancaman yang diberi untuk
memunculkan rasa takut. Pada umumnya kekerasan psikologis ini terjadi dalam
konteks relasi personal.
7
Ida Budhiati, Pembaruan Hukum Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Makalah seminar
Regional tentang Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Merespon UU PKDRT, PSG STAIN Purwokerto-KPI
Jateng, tanggal 11 Juni 2005
8
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, hal. 1-5
9
3. Kekerasan Seksualadalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap
orang yang menetap dalam rumah tangga atau pemaksaan hubungan seksual
terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk
tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan yang bernuansa seksual
termasuk berbagai perilaku yang tak diinginkan dan mempunyai makna seksual, atau
sering disebut „pelecehan seksual‟, maupun berbagai bentuk pemaksaan hubungan
seks yang sering disebut sebagai perkosaan.
4. Penelantaran Rumah Tanggayaitu seseorang tidak melaksanakan kewajiban
hukumnya terhadap orang dalam lingkup rumah tangga berupa mengabaikan
memberikan kewajiban kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Termasuk dalam kategori penelantaraan rumah tangga adalah memberikan
batasan atau melarang seseorang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah sehingga korban berada dalam kendali orang tersebut.
9
Deklarasi perserikatan bangsa-bangsa tentang penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan,
pasal 1, hal. 12
10
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Yogyakarta: Pusat Studi Gender, 2006), hal, 2
10
Dalam konsideran deklarasi tersebut, dikatakan bahwa kekerasan terhadap
perempuan adalah efek dari ketimpangan historis dari hubungan kekuasaan antara laki-
laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi laki-laki atas
perempuan.
Secara empiris penyebab terjadi KDRT itu dalam 4 bentuk. Pertama, penganiayaan
menyakiti fisik, seperti pukulan, tendangan, siraman dengan air panas, setrika dan
cubitan. Kedua penganiayaan secara fisikis atau emosional, seperti hinaan, ancaman dan
cemoohan. Ketiga, penganiayaan secara finansial seperti pengabaian uang belanja dan
kebutuhan keluarag. Keempat, penganiayaan seksual, seperti pemaksaan hubungan
seksual.
Dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan bahwa kedua belah pihak dapat
mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam (Pasal 45 KHI). Taklik talak juga tidak boleh
bertentangan dengan hukum Islam. Di samping itu, jika terjadi pelanggaran terhadap
perjanjian, talak akan jatuh apabila istri mengajukannya ke Pengadilan Agama. Taklik
talak juga tidak bisa dicabut kembali jika telah diperjanjikan (Pasal 46 KHI).
Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan juga memberikan hak kepada istri untuk
meminta pembatalan atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke
Pengadilan Agama (Pasal 51 KHI).
11
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Muslim World, (Bombay: Tripathi, 1972), hal. 101
11
perkawinan merupakan langkah awal dalam menghindari terjadinya KDRT. Dengan
adanya perjanjian, maka suami maupun istri akan berpikir sebelum melakukan
kekerasan. Hal ini karena ada perjanjian-perjanjian yang jika dilanggar akan berakibat
pada kehidupan keluarga mereka, seperti perceraian misalnya. Jika terjadi kekerasan
terhadap salah satu pihak, hal ini akan melanggar perjanjian yang telah dilakukan
sebelumnya. Sehingga memberikan peluang kepada salah satu pihak untuk
menjadikannya sebagai alasan perceraian
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pandangan hukum Islam dan hukum positif memandang bahwa kekerasan dalam
rumah tangga atau kekerasan terhadap istri adalah perilaku tercela dan terlalang. Hukum
Islam dan hukum positif sama-sama berpandangan bahwa kedudukan seorangistri sama
tingginya dengan seorang suami. Empat bentuk kekerasan yang juga dijelaskan dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis,
kekerasan seksual dan kekerasan ekonomi.
Korelasi tentang tujuan penghukuman dalam rangka menjaga kemaslahatan
manusia, keselarasan aturan hukum mengenai kekerasan fisik terhadap istri dan tindak
pidana atas selain jiwa (penganiayaan), namun secara khusus UU PKDRT mengatur
dalam lingkup keluarga. Dari segi hukuman dapat dikatakan bahwa hukuman berupa
penjara merupakan bentuk hukuman takzir dalam hukum pidana Islam.
13
DAFTAR PUSTAKA
Asarudin Umar, Bias Jender Dalam Penafsiran Al-Qur‟an, Pidato pengukuhan Guru Besar
dalam Ilmu Tafsir, UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2002
Badriyah Fayumi, „Islam danMasalah Kekerasan Terhadap Perempuan‟ dalam Amirudin
Arani (Ed), Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan, Yogyakarta: LkiS-
Rahima, 2002
Deklarasi perserikatan bangsa-bangsa tentang penghapusan tindak kekerasan terhadap
perempuan, pasal 1
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, Yogyakarta: Pusat Studi Gender, 2006
Elli N Hasbianto, Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan Perempuan
Dalam Perkawinan. Makalah Disajikan pada Seminar Nasional Perlindungan
Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan seksual. UGM Yogyakarta, 6
November 1996.
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kyai atas WacanaAgama dan Gender,
Yogyakarta: LkiS-Rahima, 2002
Ida Budhiati, Pembaruan Hukum Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Makalah
seminar Regional tentang Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Merespon UU
PKDRT, PSG STAIN Purwokerto-KPI Jateng, tanggal 11 Juni 2005
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Mahmood, Tahir, Family Law Reform in the Muslim World, Bombay: Tripathi, 1972
Rita Serena Kolibonso, “Kejahatan Itu Bernama Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Jurnal
Perempuan, No. 26 Tahun 2002
14