Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PARTISIPASI POLITIK DI NEGARA NON-MUSLIM


Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
“Muqaranah al-Mazahib Fi al-Siyasah”
Dosen Pengampu: Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag.

Disusun oleh:
Kelompok 8
Navis Yusrizal 11210430000000
Wahyu Dwi Kanang 112104300000127
Nur al-Aina Shoba Kamila 11210430000000
Ririn Nuraini 11210430000124
Khairudin 11210430000000
Ahmad Yazid 11210430000000
Dandi Eko 11210430000000

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur terpanjatkan atas kehadirat


Allah SWT, yang telah memberikan nikmat yang tak terhitung banyaknya.
Pun shalawat dan salam semoga tersampaikan kepada junjungan Nabi besar
Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, sampai pada pengikutnya.

Terucap pula syukur kepada Allah, karena atas izinnya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah pada mata Kuliah “Muqaranah Mazahib fi al-
Siyasah” dengan judul “Partisipasi Politik di Negara Non-Muslim”
dengan baik dan tepat pada waktunya. Tak lupa kami mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag., selaku dosen pengampu
mata kuliah muqaranah mazahib fi al-siyasah yang telah memberikan tugas
ini sehingga kami dapat menambah pengetahuan serta pemahaman terkait
Partisipasi politik di Negara non-Muslim.

Adapun tujuan penulisan makalah ini ialah untuk memenuhi tugas


pada mata kuliah Muqaranah Mazahib fi al-Siyasah yang sangat
disemogakan dapat berguna dan menjadi bekal pengetahuan pada masa yang
akan mendatang. Terlepas dari itu semua, kami menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami sangat berharap
akan kritik serta saran yang positif guna penyempurnaan makalah ini.

Ciputat, 02 November 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Definisi Partisipasi politik dan Negara Non-Muslim.......................4
C. Pendapat Ulama yang Melarang......................................................4
D. Dasar Hukum yang Melarang..........................................................6
E. Pendapat Ulama yang Membolehkan..............................................6
F. Dasar Hukum yang Membolehkan................................................10
G. Pendapat Yang Rajih......................................................................10
H. Kesimpulan....................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................11

iii
A. Latar Belakang

Secara umum partisipasi politik merupakan salah satu aspek


penting dalam suatu demokrasi. Adanya keputusan politik yang dibuat
dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi
kehidupan warga Negara, maka warga Negara berhak ikut serta dalam
menentukan isi keputusan politik.1 Berdasarkan hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa bagaimana pun kondisi dan situasi di suatu negara,
setiap warga negara, baik kelompok mayoritas maupun minoritas,
masing-masing memiliki hak untuk andil dalam keputusan politik
tersebut.

Bertolak dari pernyataan tersebut, dalam Islam, sebagian ulama


terdahulu melarang dengan tegas seorang non-Muslim menjadi seorang
pemimpin, bahkan di antaranya sampai menolak non-Muslim untuk
melibatkan diri dalam segala urusan umat Muslim, dalam hal ini urusan
politik.2

Al-Jashshash berpendapat bahwasanya tidak boleh ada


sedikitpun kesempatan dibuka oleh orang Islam untuk orang kafir
berkuasa atas mereka, serta ikut campur dalam menangani sekecil
apapun urusan intern umat Islam. Dia mendasarkan pendapatnya pada
surat Ali Imran ayat 28. Pada ayat tersebut dia memberikan cacatan
bahwanya ayat ini dan ayat-ayat yang lain yang memiliki isi yang
senada denganya, maka ada petunjuk bahwa dalam hal apapun orang
kafir tidak boleh berkuasa atas umat Islam. Dengan keyakinan seperti
itulah, al-Jashshash tidak hanya melarang umat Islam mengangkat non-
1
Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Kencana, 2010) hlm. 180.
2
Ulama-ulama terdahulu yang menolak non-Muslim sebagai kepala negara
diantaranya ialah al-Jashsash, al-Alusi, Ibn Arabi, Kiya al-Harasi, Ibn Katsir, al-Shabuni,
al-Zamakhsyari, Ali al-Sayis, Thabathabai, al-Qurthubi, Wahbah al-Zuhaili, al-Syaukani,
al-Thabari, Sayyid Quthub, al-Mawardi, al-Juwaini, Abdul Wahhab Khallaf, Muhammad
Dhiya al-Din al-Rais, Hasan al-Bana, Hasan Ismail Hudaibi, al-Maududi, dan Taqi al-Din
al-Nabhani, dalam Buku: Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim
(Tinjauan Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia), Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2006, hal. 79.)

1
Muslim menjadi pemimpin, tapi juga tidak boleh melibatkan non-
Muslim dalam segala urusan umat Muslim, sekalipun ada pertalian
darah dengannya.3

Lebih lanjut, Ibnu Katsir menyatakan, bahwa ayat 28 surat Ali


Imran merupakan larangan Allah kepada hambanya yang beriman,
berteman akrab dengan orang-orang kafir atau menjadinya sebagai
pemimpinya, dengan meninggalkan orang-orang yang beriman. Sebab
ini merupakan wujud cinta kasih kepada orang-orang kafir. Namun Ibnu
Katsir memberikan keringanan jika di beberapa negara dan dalam
beberapa kesempatan tertentu seorang Muslim takut terhadap kejahatan
orang-orang kafir, maka ia diberi keringanan untuk ber-taqiyyah di
hadapan mereka, namun hanya secara zahirnya saja, tidak dalam batin
dan niatnya. Ibnu Katsir mendasarkan pendapatnya ini kepada hadits
yang artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya kami (sering) tersenyum di
hadapan beberapa kaum, sedangkan (sebenarnya) hati kami
mengutuknya,” (H.R. al-Bukhari). Selain hadits tersebut, Ibn Katsir
mendasarkan pendapatnya pada surat an-Nahl ayat 106.4

Berbeda ulama yang lain, Wahbah al-Zuhaili menyatakan bahwa


yang dilarang hanyalah menyerahkan jabatan-jabatan publik yang
strategis, mulia, dan terhormat semisal kepala negara kepada orang
kafir. Di luar itu, semisal menjadi sektretaris negara ataupun jabatan-
jabatan kurang strategis lainya, dapat diserahkan kepada non-Muslim.5

Lebih lanjut, di samping menolak presiden di negara mayoritas


Muslim, al-Zuhaili juga memajukan Q.S. Ali Imran ayat 28 dan ayat-
ayat lain yang isinya senada, yang melarang bermuwalah dengan non-
3
Abu Bakar Ahmad Ibn Ali al-Razy al-Jashshash, Ahkam Al-Qur’an, (Al-Qahirah:
Syirkah Maktabah Wa Mathba’ah, t.th), jilid 2, hal. 290.
4
Imam Abi al-Fida al-Hafidz Ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-Azhim,
(Beirut: Dar al-Fikr, 1992), jilid 1, hal. 439. Lihat juga Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non-
Muslim di Negara Muslim, hal. 98.
5
Muhammad Ali Zaki, Pemimpin Non Muslim Dalam Pandangan Nahdlatul
Ulama Dki Jakarta (Studi Kasus Gubernur Non-Muslim di DKI Jakarta), Jakarta: Fakultas
Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017, hal. 42.

2
Muslim, sebagai dalil mengenai tidak bolehnya seorang Muslim
berpartisipasi di negara non-Muslim. Hal ini dapat di artikan bahwa
hukum berpartisipasi politik di negara non-Muslim ada kaitannya atau
bahkan sama sebagaimana hukum mendukung non-Muslim sebagai
presiden.

Sebagaimana pendapat para ulama terkait seorang non-Muslim


yang menjadi seorang pemimpin, mengenai hukum berpartisipasi politik
di negara non-muslim pun terdapat perselisihan pendapat terkait boleh
atau tidaknya melakukan hal tersebut, hal ini tergantung pada hukum
dan sistem politik di negara non-muslim, serta prinsip-prinsip agama
yang dipatuhi oleh individu yang ingin berpartisipasi. Hal demikian
dikarenakan, kebijakan dan aturan yang mengatur partisipasi politik
dapat sangat berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.

Di beberapa negara non-muslim mengizinkan warganya,


termasuk masyarakat muslim, untuk berpartisipasi dalam proses politik.
Namun, di beberapa negara non-Muslim mungkin memiliki aturan atau
praktik tertentu yang dapat membatasi partisipasi masyarakat Muslim
dalam hal politik. Seperti misalnya, mungkin, termasuik ketentuan yang
membatasi masyarakat Muslim untuk memegang jabatan tertentu, atau
mereka mungkin dihadapkan pada diskriminasi atau kendala tertentu
dalam proses politik. Semua itu sangat bergantung pada hukum dan
praktik di negara tersebut.

Penting bagi seorang Muslim untuk mengetahui dan memahami


hukum serta peraturan di suatu negara yang akan di tinggali jikalau
berniat untuk berpartisipasi dalam politik. Untuk itu, makalah ini kami
buat sebaik mungkin untuk membahas terkait bagaimana hukumnya
seorang Muslim berpartisipasi politik di dalam negara non-muslim.

3
B. Definisi Partisipasi politik dan Negara Non-Muslim

….

C. Pendapat Ulama yang Melarang6

Terkait boleh atau tidaknya seorang Muslim ikut berpartisipasi


dalam hal politik di negara non-Muslim, para ulama terbagi dalam dua
golongan, yakni, golongan yang melarang seorang Muslim ikut
berpartisipasi politik di negara non-Muslim dan golongan yang
membolehkan, (bahkan) menganjur untuk seorang Muslim ikut
berpartisipasi. Kedua golongan tersebut, dalam hal mengeluarkan
pendapatnya, tentu didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang jelas.

Ulama yang menentang keras seorang Muslim berpartisipasi


politik di Negara non-Muslim salah satunya ialah al-Zuhaili. Beliau
memajukan Q.S. Ali Imran ayat 28 dan ayat-ayat lain yang isinya
senada, seperti Q.S. al-Maidah ayat 51, Q.S. al-Mumtahanah ayat 1,
Q.S. al-Maidah ayat 57, Q.S. Ali Imran 118, dan Q.S. al-Mujadilah ayat
22, Q.S. an-Nisa ayat 144, Q.S. al-Anfal ayat 73, Q.S. al-Taubah ayat
71, Q.S. al-Taubah ayat 8, Q.S. Ali Imran ayat 100, Q.S. an-Nisa ayat
141, yang melarang seorang Muslim bermuwalah dengan non-Muslim,
sebagai dalil tentang tidak bolehnya seorang Muslim berpartisipasi
dalam Pemerintahan negara-negara non-Muslim. Seperti misalnya,
bekerja sebagai anggota dinas inteljen negara non-Muslim, dan
sebagainya.

Pendapat al-Zuhaili tersebut senada dengan pendapat Al-


Maududi. Partisipasi dalam negara sekuler, tegas al-Maududi, tidak jauh
berbeda dengan penentangan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Seterusnya,
menurut beliau pun semua Muslim yang berada di India ataupun di

6
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim (Tinjauan Perspektif
Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2006), hal.79-122.

4
negara sekuler lainnya, yang ikut berpartisipasi politik ialah orang-orang
yang mendustakan Tuhan dan Rasul-Nya. Mereka menjalani hidup
dengan bergelimang dosa dan halal dibunuh, karena dalam Islam
hukuman yang setimpal bagi orang-orang yang ingkar terhadap
agamanya ialah hukuman mati.

Selanjutnya al-Maududi berpendapat bahwa kaum Muslim di


negara non-Muslim harus menjauhkan diri dari proses pemerintahan.
Dengan alasan, sebagai Muslim yang baik mereka tidak boleh turut serta
dalam segala kegiatan yang berbau kekufuran, dan pemerintah non-
Muslim tentu memiliki karakter seperti itu. Hal tersebut berarti bahwa
kaum Muslim lebih baik menjadi warga Negara kelas dua, tanpa
menikmati hak-hak politik, dari pada harus menjadi bagian dar
pemerintahan sekuler yang beresiko terkena murka Tuhan.

Alasan tersebut di atas juga yang menjadikan Jama’at di India


tidak berperan serta dalam pemilihan umum dan tidak pula menduduki
jabatan politis. Tentunya Maududi pun tidak menghendaki mereka
menjadi bagian dari mesin pemerintahan yang dikontrol oleh para
politisi sekuler.

Lebih lanjut, berpartisipasi politik dalam konteks pemilihan


kepala Negara, di kalangan umat Islam yang tergolong paling keras
menolak hal ini ialah Sayyid Quthub. Lebih dari itu, ia bahkan
berpendapat bahwa untuk sekedar menolong dan mengadakan perjanjian
persahabatan dengan non-Muslim saja umat Islam tidak diperbolehkan.

Pada Q.S. Ali Imran ayat 28, Allah memang memberikan


rukhsah (dispensasi) bagi seorang Muslim di beberapa Negara dalam
kondisi tertentu, untuk ber-taqiyyah (berpura-pura) mendukung non-
Muslim sebagai pemimpinnya. Tapi menurut Quthub, taqiyyah tersebut
hanya dibenarkan sebatas ucapan lisan saja, bukan dalam hati dan
perbuatan. Hal tersebut berarti, secara lisan bisa saj aseorang Muslim

5
mendukung calon non-Muslim. Tetapi di bilik suara yang terjamin
kerahasiannya, ia tidak boleh memberikan suaranya pada non-Muslim.

Hal tersebut jelas sulit diterapkan di saat beberapa kandidat


kesemuanya beragama non-Muslim, semisal umat Islam berada dalam
kondisi minoritas, seperti halnya di Negara Amerika Serikat. Bila
pendapat Sayyid Quthub tersebut diterima apa adanya, dalam konteks
Amerika Serikat pun, umat Islam hanya boleh mendukung pencalonan
Presiden secara lisan saja, bukan dalam aksi pemberian suara dalam
pemilu. Menurutnya, seorang Muslim yang melakukan hal tersebut jelas
berdosa dan layak mendapat siksa Tuhan.

D. Dasar Hukum yang Melarang

Ali Imran ayat 28

E. Pendapat Ulama yang Membolehkan

Disamping pendapat Al-Zuhaili, al-Maududi dan Sayyid Quthub


yang melarang seorang Muslim berpartisipasi politik di Negara non-
Muslim, terdapat suatu pandangan lain yang membolehkan hal ini, salah
satunya yang berpendapat lain ini ialah Yusuf Qardhawi.

Menurut beliau terkait partisipasi seorang Muslim dalam politik


di negara non-Muslim, menyebutkan bahwa berdirinya sebuah negara
dimulai dari adanya keyakinan akan kebenaran Islam sebagai sistem
kehidupan yang lengkap termasuk di dalamnya kehidupan politik dan
hukum. Adanya keyakinan tersebutlah yang selanjutnya direalisasikan
secara konkret untuk menjadikannya sebagai pengaturan pemerintahan,
sehingga memungkinkan untuk membentuk daulah atau negara. 7
Namun, apabila hal tersebut sukar untuk dicapai dengan berbagai
alasan-alasan yang memaksa, maka demi kemaslahatan kaum Muslim
7
A. Aldino Romadhon, Pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi Tentang Partisipasi Politik
Seorang Muslim Dalam Pemerintahan Non Muslim, Lampung : Fakultas Syari’ah, UIN
Raden Intan Lampung, 2020, hal. 85.

6
diperbolehkan untuk bergabung dengan yang lain dan menerima
kekuasaan yang ada.

Lebih lanjut, keikutsertaan seorang Muslim dalam sebuah


diplomasi politik dijadikan sebagai salah satu bentuk upaya menciptakan
kerukunan dan membangun konsepsi Islam Rahmatan lil’alamin. Hal
tersebut menjadi sebuah landasan hidup berdampingan seorang Muslim
dengan non-Muslim.8

Upaya al-Qaradhawi untuk memberikan ahl adz-dzimmah hak


yang semestinya mereka dapatkan, sangat sesuai dengan konsep yang
tertuang didalam sebuah perjanjian yang lahir ketika Nabi Muhammad
memimpi umat Islam pada masanya yaitu yang disebut “shohifah
madinah” atau “piagam madinah” yang menyatakan bahwa mereka
mendapatkan hak perlindungan. Perlindungan ini sangat jelas tertulis
dalam Piagam Madinah. Dalam pasal 15 disebutkan “Jaminan Allah
satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat”. Dalam
piagam ini, dinyatakan bahwa setiap orang yang berada di Madinah
mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan perlindungan, meskipun
berbeda latar belakang agama dan suku.

Yusuf Qaradhawi juga mengungkapkan bahwasanya keikut-


sertaan Muslim dalam pemerintahan non-muslim diberikan titik kuat
dalam bentuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruhnya, maka
kepimpinan no-muslim dalam pemerintahan harus ditaati. Diberikan
keluasan dan hak-haknya dengan tidak mengabaikan kewajibanya
sebagai warga Negara. Diberikan hak membangun tempat ibadah dan
menjalankan syariat agamanya serta melakukan rutinitas agamanya
seperti biasanya dengan tidak menyakiti hati umat muslim. Dengan
kondisi sebaliknya, Muslim diperintahkan taat pada kepimpinan

8
Sugianto, dkk, Partisipasi Politik dalam Pemerintahan Non Muslim Perspektif
Yusuf Qardawi, Jurnal: Istinarah: Riset Keagamaan, Sosial, dan Budaya, Vol. III (2),
2021, hal. 65.

7
mayoritas dalam pemerintahan non-Muslim dengan pemerintahan
tersebut mengakomodir kebutuhan Muslim.9

Dari pandangan Yusuf al-Qaradhawi di atas dapat disimpulkan


bahwa mengenai Partisipasi Politik seorang Muslim di Negara non-
Muslim, seorang Muslim harus dilaksanakan dalam bingkai tatanan
kehidupan bernegara dan bermasyarakat sebagai pelaksanaan dari
ketaatan kepada Pemimpin atau Uliamri. Adapun dasar-dasar hukum
Yusuf Qaradhawi memperbolehkan partisipasi politi seorang Muslim di
Negara non-Muslim, didasari atas rasa interpretasi nilai-nilai Islam yang
rahmatan lil a’alamin, setiap perkara mesti diletakkan ditempatnya
dengan seimbang dan lurus, tidak lebih dan tidak kurang.

Lebih lanjut, jika melihat pendapat al-Maududi tadi yang


menentang keras seorang Muslim untuk ikut berpartisipasi politik di
negara non-Muslim, dan jika kaum Muslim yang berada di negara non-
Muslim mengikutinya untuk tidak akan menempati posisi kemiliteran,
kepolisian, atau pejabat kepegawaian lain yang bergelut di bidang
politik, maka mereka hanya akan dapat menjalani profesi mandiri atau
berwirausaha. Tak pelak lagi, ajakan Maududi tersebut justru sangat
menyusahkan kaum Muslim yang tinggal di Negara Non-Muslim.10

Berdasarkan hal tersebut juga, Bapak Dosen Mujar Ibnu Syarif


selaku dosen pengampu mata kuliah ini, dalam bukunya yang berjudul
Presiden Non-Muslim di Negara Muslim, menyatakan bahwa pendapat
al-Zuhaili dan al-Maududi yang dikutip sebelumnya sebaiknya ditolak
saja, karena bila diterima, pendapat tersebut tentu akan menyulitkan dan
merugikan umat Islam. Argumentasinya jelas karena, jangankan tidak
berpartisipasi, ikut serta ambil bagian dalam pemerintahan non-Muslim

9
A. Aldino Romadhon, Pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi Tentang Partisipasi Politik
Seorang Muslim Dalam Pemerintahan Non Muslim, Lampung : Fakultas Syari’ah, UIN
Raden Intan Lampung, 2020, hal. 86.
10
Ashgar Ali Enginer, Devolusi Agama Islam, terj. Imam Muttaqin dari Islamic
State, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet. Ke-1, hal. 214.

8
pun umat Islam belum tentu bisa menyalurkan dan memperjuangkan
aspirasi politiknya di Negara-negara non-Muslim. Jika harus memilih
pun, umat Islam yang menjadi warga Negara non-Muslim, sebaiknya
turut berpartisipasi dan berusaha seoptimal mungkin untuk merebut
posisi-posisi strategis, terutama posisi sebagai kepala Negara.
Sebagaimana halnya kaum non-Muslim yang selalu berusaha mengusai
posisi stategis semacam itu di Negara-negara Muslim.11

Pendapat tersebut di atas kiranya tidak menyimpang dari Al-


Qur’an. Sebagaimana dikisahkan masa lalu Nabi Yusuf di dalam al-
Qur’an Surah Yusuf ayat 55-56, di mana Nabi Yusuf pernah
berpartisipasi menjadi bendaharawan (menteri keuangan) di Mesir yang
ketika itu dipimpin oleh raja non-Muslim, yakni Raja Heksus.

Karir politik sebagai bendaharawan yang pernah dicapai Nabi


Yusuf di masa lalu, dan di masa kini atas keberhasilan seorang Muslim
di India, Abul Pakir Jainul Abdeen Abdul Kalam yang menjadi presiden
India yang mayoritas beragama Hindu, kiranya perlu dicontoh politisi
Muslim lain yang menjadi minoritas di Negara non-Muslim.

Lebih lanjut, berpartisipasi dalam hal memberikan suara pada


pemilihan kepala Negara, Bapak Dosen Mujar Ibnu Sarif pun jelas
menolak pendapat Sayid Quthub yang menyatakan larangannya untuk
memilih kepala presiden non-Muslim sekalipun berada di Negara non-
Muslim.

Menurut beliau, di saat seorang Muslim berada dalam kondisi


minoritas, umat Islam tidak hanya boleh ber-taqiyyah dalam lisan saja,
tetapi dalam aksi pun seorang Muslim di Negara non-Muslim boleh saja
memberikan suaranya untuk mendukung kandidat presiden non-Muslim.
Kebolehan ini bahkan dapat mengambil bentuk dukungan yang

11
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim (Tinjauan
Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia), Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2006), hal.111-112.

9
sebenarnya, bukan dalam rangka ber-taqiyyah dan berpura-pura. Sebab
menurut beliau, larangan Allah untuk memilih pemimpin non-Muslim
baru dapat diberlakukan jika umat Muslim berada dalam kondisi
mayoritas dan tahu persis bahwa non-Muslim tersebut akan menyakiti
kaum Muslim, serta jelas-jelas memusuhi Allah dan Rasul-Nya.12

F. Dasar Hukum yang Membolehkan

Q.S. Yusuf: 55-56

G. Pendapat Yang Rajih

H. Kesimpulan

12
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim (Tinjauan
Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia), Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2006), hal. 122.

10
DAFTAR PUSTAKA

Buku, Jurnal, & Skripsi

A. Aldino Romadhon, Pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi Tentang Partisipasi


Politik Seorang Muslim Dalam Pemerintahan Non Muslim,

Lampung : Fakultas Syari’ah, UIN Raden Intan Lampung, 2020.

Abu Bakar Ahmad Ibn Ali al-Razy al-Jashshash, Ahkam Al-Qur’an, Al-
Qahirah: Syirkah Maktabah Wa Mathba’ah, t.th.

Anggi Nita Sari Sihombing, Tinjauan Fiqh Siyasah Tentang Partisipasi


Politik Masyarakat dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota
Medan Tahun 2020 Pada Masa Pandemi Covid-19, Medan: Fakultas
Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara,
2021.

Ashgar Ali Enginer, Devolusi Agama Islam, terj. Imam Muttaqin dari
Islamic State, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Damsar, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: Kencana, 2010.

Imam Abi al-Fida al-Hafidz Ibn Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Quran al-
Azhim, Beirut: Dar al-Fikr, 1992

Muhammad Ali Zaki, Pemimpin Non Muslim Dalam Pandangan Nahdlatul


Ulama Dki Jakarta (Studi Kasus Gubernur Non-Muslim di DKI
Jakarta), Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017

Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim (Tinjauan


Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks
Indonesia), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006).

11
Sugianto, dkk, Partisipasi Politik dalam Pemerintahan Non Muslim
Perspektif Yusuf Qardawi, Jurnal: Istinarah: Riset Keagamaan,
Sosial, dan Budaya, Vol. III (2), 2021.

12

Anda mungkin juga menyukai