Anda di halaman 1dari 3

Sedikit diolah, banyak cemarnya:

buruknya pengelolaan air limbah rumah


tangga Indonesia
Sebagai negara berpenduduk terbanyak keempat di dunia, Indonesia belum menyikapi
persoalan limbah rumah tangga secara serius. Apalagi di kota-kota di pulau Jawa yang
berpenduduk amat padat, persoalan limbah – karena polusi yang ditimbulkannya – membuat
risiko pencemaran kian tinggi.

Kajian saya yang berbasis telaah pustaka menemukan bahwa pengelolaan air limbah di
Indonesia masih sangat sedikit. Padahal, pengelolaan limbah cair rumah tangga yang benar
amat dibutuhkan untuk mencegah risiko pencemaran yang juga berdampak pada kualitas
hidup penduduk di tanah air.

Dua limbah yang terabaikan


Air limbah rumah tangga atau domestik terbagi menjadi dua kategori: yaitu air hitam (black
water) dan air kelabu (grey water). Air hitam adalah air buangan dari toilet (tinja dan urine)
yang mengandung kandungan organik, nitrogen, dan fosfor yang tinggi. Sementara, air
kelabu berasal dari selain toilet, di antaranya dari dapur, kamar mandi, dan pencucian baju.

Di Indonesia, limbah air hitam umumnya telah terpisah dari air kelabu. Timbulan air hitam
diperkirakan sekitar 8 juta m3 per hari. Mayoritas di antaranya (79%) diolah dalam tangki
septik. Instalasi tangki septik tidak membutuhkan lahan yang terlalu luas dan hanya
membutuhkan sistem perpipaan sederhana. Oleh karena itu, biaya pemasangan tangki septik
relatif lebih rendah dibandingkan sistem pengolahan lainnya.

Meski lebih murah dan mudah, sistem tangki septik masih belum dilengkapi sarana
pemantauan terhadap spesifikasi infrastruktur, operasi, dan pemeliharaan yang sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memperkirakan 83% tangki septik di
Indonesia mengalami kebocoran dan tidak memenuhi standar seperti kedalaman dan jarak
dengan sumber air tanah. Dua hal tersebut dapat mengakibatkan pencemaran mikroba dan zat
organik yang terkandung dalam air hitam ke air tanah. Hal ini tentu membahayakan apabila
air tanah tercemar tersebut dimanfaatkan untuk sumber air minum.

Penyedotan teratur, salah satu titik kritis pemeliharaan tangki septik, juga sering diabaikan
sehingga melampaui kapasitas. Akibatnya, proses penguraian tinja dalam tangki septik tidak
berjalan optimal karena prosesnya yang terlalu singkat dan ketidakseimbangan komposisi
mikroba di dalam tangki. Air hitam yang belum sepenuhnya terolah lalu memasuki saluran
drainase kota hingga mencapai air permukaan, menyebabkan pencemaran zat organik dan
eutrofikasi (pertumbuhan flora perairan yang tidak terkendali sehingga menyebabkan
pendangkalan dan berkurangnya oksigen terlarut.)
Konsumsi air bersih dan timbulan air limbah domestik di Indonesia (Gambar diadaptasi dari
publikasi di Environmental Science and Pollution Research, Springer Nature)

Sementara itu, volume limbah air kelabu yang diolah lebih mengenaskan: tak sampai
sepertiga dari total 22 juta m3 limbah yang dihasilkan. Akibatnya, ada sekitar 16 juta m3 air
kelabu yang terlepas ke badan air setiap hari. Air sebanyak itu bisa membuat penuh sekitar
2.600 kolam renang olimpiade.

Pengolahan limbah air kelabu sering diabaikan karena dianggap memiliki kandungan
pencemar makro yang lebih rendah. Meskipun demikian, air kelabu mengandung komponen
mikropolutan (pencemar mikro), yaitu material pencemar yang dapat mempengaruhi
ekosistem perairan dalam konsentrasi kecil.

Adapun mikropolutan ini berasal dari detergen, desinfektan, produk-produk perawatan tubuh,
dan obat-obatan. Penelitian oleh tim yang dipimpin Larissa Dsikowitzky dari Aachen
University, Jerman, menemukan keberadaan DEET (antiserangga), chloroxylenol dan
methyltriclosan (antiseptik), dan beberapa jenis obat-obatan dan senyawa aromatik di air
sungai dan Teluk Jakarta. Ini mengindikasikan senyawa-senyawa tersebut sulit terurai secara
alami dan dapat bertahan di badan air.

Beberapa mikropolutan juga dapat mempengaruhi organisme perairan baik secara langsung
maupun melalui bioakumulasi, antara lain dalam bentuk toksisitas akut, perubahan hormon
kelamin, menghambat pertumbuhan, dan pertumbuhan sel tidak terkendali atau karsinogenik.

Saat ini, belum ada kewajiban bagi rumah tangga untuk mengolah air kelabu yang
dihasilkannya. Sebab, pengolahan limbah ini membutuhkan lahan, teknologi, dan biaya yang
tidak dimiliki rumah tangga pada umumnya. Warga pun tidak merasakan langsung dampak
pencemaran limbah ini karena kebanyakan air kelabu mengalir ke saluran drainase kota.

‘Memanen’ air limbah domestik


Selain pengolahan setempat, limbah air kelabu maupun air hitam dapat diolah pada skala
perkotaan secara terpusat. Sistem ini mensyaratkan pengaliran air limbah dari rumah-rumah
ke lokasi instalasi pengolahan air limbah (IPAL).

Sayangnya, saat ini, hanya 12 (dari 514) kota di Indonesia yang memiliki sistem tersebut.
Cakupannya pun hanya sekitar 0,1-39% dari total volume air limbah domestik, kecuali
Denpasar yang memiliki cakupan 90%. Secara keseluruhan, hanya 1% rumah tangga di
seluruh Indonesia yang dilayani IPAL terpusat.

Untuk menjembatani sistem pengolahan setempat dan terpusat, limbah dapat diolah dengan
sistem terdesentralisasi (Decentralized Wastewater Treatment Systems, DEWATS). Sejak
tahun 2003, pemerintah memulai sistem ini melalui program berbasis warga SANIMAS
(Sanitasi oleh Masyarakat). Program ini mencakup lebih dari 15000 unit di 26 provinsi.
Setiap unit rata-rata melayani 20-50 rumah tangga.

Secara teknis, sistem ini dapat menggunakan teknologi pengolahan yang sama ataupun
berbeda dari IPAL terpusat. Bedanya, air limbah domestik dialirkan dari rumah tangga ke
IPAL dalam jarak yang relatif dekat. Perbedaan ini menyederhanakan sistem perpipaan
maupun peralatan yang dibutuhkan (misalnya pompa) lebih sederhana dibandingkan IPAL
terpusat. Meski demikian, karena sistem ini biasanya dikelola oleh masyarakat, penerapan
maupun keberlanjutan aktivitasnya belum seragam.

Pemerintah – terutama pemerintah kota – bisa mempertimbangkan pemberian subsidi untuk


pembangunan infrastruktur pengolahan air limbah domestik di skala rumah tangga maupun
komunal. Subsidi dapat diberikan pada tahap konstruksi (lahan, konstruksi, peralatan)
maupun tahap operasi seperti untuk menggaji operator. Hal ini harus dilakukan bekerja sama
dengan warga atau organisasi masyarakat untuk menjamin keberlanjutan sistem.

Subsidi diperlukan agar air limbah bisa dimanfaatkan kembali melalui proses daur ulang.
Pada sistem terdesentralisasi, misalnya, air limbah terolah dapat dimanfaatkan untuk
pertanian.

Sementara, dalam sistem terpusat, perusahaan air minum daerah dapat menjadi pengelola
IPAL. Pengolahan ini diperlukan untuk menjaga ketersediaan sumber air baku.

Aktivitas daur ulang potensial dikembangkan karena angka penggunaan air di Indonesia tidak
sedikit. Konsumsi air bersih rumah tangga di daerah perkotaan di Indonesia berkisar 89-244
(rata-rata 169) liter per orang per hari. Sedangkan di daerah pedesaan berkisar 34-194 (rata-
rata 82) liter per orang per hari.

Agar ‘panen’ air limbah domestik layak secara teknis dan ekonomi, upaya daur ulang air
limbah harus diperhitungkan sejak dalam perencanaan. Perlu adanya perubahan perspektif
untuk melihat pengelolaan sumber daya air secara keseluruhan.

Anda mungkin juga menyukai