Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI


OSTEOARTHRITIS GENU

Pembimbing:
dr. Marcus Anthonius Yoyakim, Sp.KFR

Penyusun:
Erlin Siauwono 20200420062

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH


BAGIAN KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI
RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. RAMELAN
SURABAYA
2022
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
OSTEOARTHRITIS GENU

Referat berjudul “Osteoarthritis Genu” ini telah diperiksa, disetujui, dan


diterima sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
klinik di bagian Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi RSAL Dr. Ramelan Surabaya.

Surabaya, 10 Januari 2022

Mengesahkan,
Dokter Pembimbing

dr. Marcus Anthonius Yoyakim, Sp.KFR

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya bisa menyelesaikan referat dengan judul
“Osteoarthritis Genu” ini dengan lancar. Referat ini disusun sebagai salah satu
penilaian tugas untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi RSAL Dr. Ramelan Surabaya. Penulis berharap referat ini
dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis
maupun pembaca. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pihak-pihak yang membantu penulis dalam penyusunan referat ini, yaitu:
1. dr. Marcus Anthonius Yoyakim, Sp.KFR selaku pembimbing referat,
2. Para dokter di bagian Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi RSAL Dr.
Ramelan Surabaya,
3. Para perawat dan pegawai di bagian Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
RSAL Dr. Ramelan Surabaya.
Penulis menyadari bahwa referat yang disusun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan. Semoga referat ini dapat memberi manfaat.

Surabaya, 10 Januari 2022

Penulis,
Erlin Siauwono

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................2

2.1 Definisi.....................................................................................................2

2.2 Epidemiologi...........................................................................................2

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko....................................................................3

2.4 Patofisiologi.............................................................................................6

2.5 Tanda dan Gejala...................................................................................8


2.5.1 Gejala Klinis....................................................................................8
2.5.2 Tanda................................................................................................9

2.6 Diagnosis...............................................................................................10

2.7 Manajemen...........................................................................................12
2.7.1 Manajemen Non-Farmakologis................................................................12
2.7.1.1 Edukasi……………………………………………………...……13
2.7.1.2 Penurunan Berat Badan…………………………………………..13
2.7.1.3 Fisioterapi………………………………………………….……..13
2.7.2 Manajemen Farmakologis.............................................................20
2.7.3 Manajemen Bedah..........................................................................23

BAB III PENUTUP..............................................................................................26

3.1 Kesimpulan............................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27

iv
DAFTAR GAMBAR

2.1 Skema Patofisiologi Osteoarthritis


2.2 Osteoarthritis Genu
2.3 Kriteria Kellgren – Lawrence
2.4 Latihan Tahap I untuk Osteoarthritis Genu
2.5 Latihan Tahap II untuk Osteoarthritis Genu
2.6 Latihan Tahap III untuk Osteoarthritis Genu
2.7 Latihan Tahap IV untuk Osteoarthritis Genu

v
BAB I
PENDAHULUAN

Osteoarthritis merupakan gangguan sendi yang paling sering dijumpai dan


biasa menyerang sendi pinggul, lutut, tangan, dan kaki (Wijaya, 2018). Menurut
World Health Organization, prevalensi osteoarthritis di seluruh dunia adalah
masing-masing sebesar 9.6% dan 18% pada pria dan wanita di atas 60 tahun
(Ahmad et al., 2018). Sedangkan di Indonesia, prevalensinya mencapai 5% pada
kelompok usia < 40 tahun, 30% pada kelompok usia 40-60 tahun, 65% pada
kelompok usia > 61 tahun, dan diperkirakan pada tahun 2025 prevalensi ini akan
meningkat sebesar 40% akibat adanya peningkatan populasi lansia serta orang
dengan obesitas (Rachmat et al., 2021).
83% dari total kasus osteoarthritis yang ada merupakan osteoarthritis genu
(Wijaya, 2018). Prevalensi osteoarthritis genu juga terus mengalami peningkatan
tajam selama 6 dekade terakhir dan menjadi salah satu penyebab utama nyeri dan
kecacatan, dimana osteoarthritis genu termasuk satu dari 20 kontributor teratas
kecacatan dari semua kondisi kesehatan secara global (Shen et al., 2021).
Penyakit ini menyebabkan gangguan progresif pada jaringan sendi seperti
kartilago, sinovium, dan tulang subkondral. Pada akhirnya, kartilago sendi
mengalami degenerasi sehingga permukaan sendi mengalami fisura, ulserasi, dan
menjadi tipis (Wijaya, 2018). Prevalensi yang tinggi dan sifatnya yang kronik-
progresif, menyebabkan osteoarthritis memiliki dampak sosio-ekonomi yang
besar. Diperkirakan pada abad mendatang, tantangan terhadap dampak
osteoarthritis akan lebih besar karena semakin banyaknya populasi lansia (Setiati
et al., 2014).
Manajemen umumnya terdiri dari manajemen farmakologis, non-
farmakologis, dan bedah (Setiati et al., 2014). Kini manajemen osteoarthritis tidak
lagi berpusat pada terapi farmakologis dan bedah saja, tetapi dikombinasikan
dengan fisioterapi (Arovah, 2015). Fisioterapi, edukasi, dan penurunan berat
badan menjadi terapi lini pertama yang direkomendasikan (Dantas et al., 2021).
Namun, pada dasarnya semua terapi bertujuan untuk mengurangi nyeri,

1
meningkatkan fungsi sendi, dan memperlambat perkembangan penyakit dengan
harapan dapat meningkatkan kualitas hidup penderitanya (Sprouse et al., 2020).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Osteoarthritis merupakan suatu gangguan kronis sendi sinovial di mana
terjadi pelunakan progresif dan disintegrasi kartilago artikular disertai dengan
pertumbuhan baru kartilago dan tulang pada tepi sendi (osteofit), pembentukan
kista dan sklerosis pada tulang subkondral, sinovitis ringan dan fibrosis kapsul
(Apley, 2010).
2.2 Epidemiologi
Osteoarthritis merupakan salah satu penyakit kartilago yang paling umum,
kronis dan degeneratif yang secara epidemiologis mempengaruhi orang tua,
terutama wanita (Tsokanos et al., 2021). Osteoarthritis merupakan tantangan
kesehatan masyarakat yang signifikan, dengan implikasi penting bagi individu
yang terkena, sistem perawatan kesehatan, dan biaya sosial ekonomi yang besar.
Insiden osteoarthritis umumnya meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan
wanita memiliki tingkat insiden yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria,
terutama pada usia di atas 50 tahun (Hamood et al., 2021). Menurut World Health
Organization, prevalensi osteoarthritis di dunia adalah masing-masing sebesar
9.6% dan 18% pada pria dan wanita di atas 60 tahun (Ahmad et al., 2018).
Sedangkan di Indonesia, prevalensi osteoarthritis mencapai 5% pada kelompok
usia < 40 tahun, 30% pada kelompok usia 40-60 tahun, 65% pada kelompok usia
> 61 tahun, dan diperkirakan bahwa pada tahun 2025 prevalensi ini akan
meningkat sebesar 40% akibat adanya peningkatan populasi lansia dan orang
dengan obesitas (Rachmat et al., 2021).
Osteoarthritis sendiri umumnya dapat terjadi pada setiap sendi termasuk
sendi-sendi pada ekstremitas atas maupun sendi pada tulang belakang, tetapi
osteoarthritis paling banyak terjadi terutama pada lutut/genu (Tsokanos et al.,
2021). Osteoarthritis genu mempengaruhi sebagian besar individu, dimana
prevalensinya diperkirakan masing-masing mencapai 10% dan 13% pada pria dan

2
wanita di atas 60 tahun dengan standar prevalensi global mencapai 3.8% [(Preece
et al., 2021); (Jang et al., 2021)]. Prevalensi osteoarthritis genu terus mengalami
peningkatan tajam selama 6 dekade terakhir, dimana sekitar 10% dari populasi
dunia berusia 60 tahun ke atas diperkirakan memiliki osteoarthritis genu (Shen et
al., 2021). Prevalensi osteoarthritis genu di Indonesia sendiri cukup tinggi, yaitu
mencapai 15.5% pada pria, dan 12.7% pada wanita dari total penduduk Indonesia
yang berjumlah 255 juta orang (Setiati et al., 2014). Pada umumnya osteoarthritis
genu terjadi pada usia lanjut, namun tidak menutup kemungkinan juga dapat
terjadi pada usia muda yang mungkin diakibatkan oleh adanya aktivitas yang
menimbulkan stres dan trauma pada persendian (Rachmat et al., 2021).
Osteoarthritis genu adalah salah satu penyebab utama nyeri dan kecacatan
pada orang dewasa, dimana secara global, osteoarthritis genu termasuk salah satu
dari 20 kontributor teratas untuk kecacatan dari semua kondisi kesehatan (Shen et
al., 2021). Di antara penderita osteoarthritis genu, sekitar 80% penderita
mengalami keterbatasan gerak dan 25% mengalami keterbatasan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari (Rachmat et al., 2021). Karena prevalensi yang
cukup tinggi dan sifatnya yang kronik-progresif, osteoarthritis memiliki dampak
sosio-ekonomik yang besar, baik di negara maju maupun di negara berkembang.
Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat akibat
osteoarthritis. Pada abad mendatang, tantangan terhadap dampak osteoarthritis
akan lebih besar karena semakin banyaknya populasi yang berusia lanjut (Setiati
et al., 2014).
2.3 Etiologi dan Faktor Resiko
Selama ini osteoarthritis sering dipandang sebagai akibat dari suatu proses
degenerative yang tidak dapat dihindari. Namun, beberapa pakar berpendapat
bahwa osteoarthritis merupakan penyakit yang terjadi akibat adanya gangguan
homeostasis dari metabolism kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan
kartilago dengan penyebab yang belum jelas (Setiati et al., 2014). Faktor resiko
untuk osteoarthritis sendiri meliputi:
2.3.1 Usia lanjut
Insidensi osteoarthritis meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Perubahan primer pada matriks kartilago secara

3
teoritis dapat melemahkan strukturnya dan dengan demikian menjadi
predisposisi terjadinya kerusakan kartilago. Kartilago sendiri
menunjukkan adanya penurunan selularitas, penurunan konsentrasi
proteoglikan, hilangnya elastisitas dan penurunan kekuatan seiring
bertambahnya usia. Tetapi, perubahan progresif yang terkait dengan
perburukan klinis dan radiologis hanya terbatas pada sendi tertentu,
dan pada area tertentu dari sendi tersebut, sementara area lain
menunjukkan sedikit atau tidak ada perubahan seiring bertambahnya
usia (Apley, 2010).
2.3.2 Variabel genetik
Sejumlah penelitian menunjukkan adanya peningkatan
signifikan prevalensi osteoarthritis pada kerabat tingkat pertama pasien
osteoarthritis. Osteoarthritis pada sendi besar sendiri sering disebabkan
oleh adanya variasi anatomi, seperti displasia acetabular dan bentuk
lain dari displasia epifisis. Variasi anatomi inilah yang bersifat
herediter dibandingkan dengan kecenderungan untuk mengembangkan
osteoarthritis sebagai kelainan primer. Pada tingkat molekuler, defek
genetik pada kolagen tipe II juga ditemukan dalam beberapa kasus
(Apley, 2010).
2.3.3 Jenis kelamin perempuan
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor resiko osteoarthritis,
dimana wanita memiliki osteoarthritis genu yang lebih parah daripada
pria (Hamood et al., 2021). Hal ini mungkin disebabkan akibat
terjadinya menopause yang mempengaruhi kondisi hormonal,
menyebabkan penurunan signifikan kadar estrogen yang berperan
penting dalam perkembangan osteoarthritis [(Ahmad et al., 2018);
(Rachmat et al., 2021)]. Disparitas pada kedua jenis kelamin juga
mungkin terkait dengan faktor genetik dan perbedaan kekuatan tulang,
keselarasan, kelemahan ligamen, kehamilan, dan kekuatan
neuromuskular (Hamood et al., 2021).
2.3.4 Overweight dan obesitas

4
Body Mass Index (BMI) merupakan salah satu faktor risiko
lokal untuk osteoarthritis. BMI terutama sangat berhubungan dengan
overweight/obesitas yang dialami oleh pasien osteoarthritis genu.
Adanya peningkatan beban pada sendi akibat massa tubuh yang
berlebih dapat mengakibatkan kerusakan pada sendi sinovial, ligamen,
serta struktur lainnya (Rachmat et al., 2021). Studi memperkirakan
bahwa penurunan berat badan sebesar 5 kg dapat menurunkan risiko
osteoarthritis genu sebesar 50% (Hamood et al., 2021).
2.3.5 Riwayat trauma
Kerusakan pada kartilago sendi dapat diakibatkan oleh adanya
trauma. Riwayat trauma seperti robekan pada ligamentum cruciatum
anterior/robekan pada meniscus dapat meningkatkan resiko
osteoarthritis genu sebesar 3.86 kali. Kerusakan kartilago akan memicu
sekresi enzim oleh sel sinovial dan leukosit yang menyebabkan
pelepasan proteoglikan dari matriks dan sekresi interleukin-1 (IL-1)
yang kemudian dapat menekan sintesis proteoglikan [(Apley, 2010);
(Sprouse et al., 2020); (Jang et al., 2021)].
2.3.6 Pekerjaan dengan beban fisik yang berat atau penggunaan sendi yang
repetitif
Pada kebanyakan kasus, penyebab osteoarthritis adalah
peningkatan stres mekanis pada beberapa bagian permukaan sendi. Hal
ini dapat disebabkan oleh peningkatan beban (misalnya pada
deformitas yang mempengaruhi sistem ‘tuas’ di sekitar sendi) atau
karena pengurangan area kontak sendi (misalnya pada kondisi dengan
ketidakstabilan sendi) (Apley, 2010). Latar belakang pekerjaan
seseorang terutama pekerjaan yang menempatkan beban berat pada
persendian tubuh merupakan faktor risiko dari osteoarthritis, terutama
osteoarthritis genu. Pekerjaan yang memiliki aktivitas dengan gerakan
merangkak, membungkuk, pergetaran pada tubuh, gerakan berulang,
berlutut, jongkok, berdiri dalam waktu lama (> 2 jam / hari),
mengangkat benda berat (> 10 kg) dan melompat, semuanya
berkontribusi pada peningkatan risiko untuk mengalami osteoarthritis

5
genu. Aktivitas-aktivitas seperti diatas terutama sering ditemukan pada
pekerja konstruksi, pemadam kebakaran, pekerja di bidang pertanian,
nelayan dan pekerja pabrik. Tetapi, individu yang tidak bekerja dan
memiliki pola aktivitas sedenter menyebabkan penurunan kemampuan
sendi dan otot tubuh yang dapat memperburuk kondisi osteoarthritis
(Rachmat et al., 2021).

2.4 Patofisiologi
Sendi diartrodial merupakan sendi yang menghubungkan dua tulang yang
berdekatan, ditutupi dengan lapisan kartilago artikular khusus, dan dibungkus
dengan bursa sinovial (Jang et al., 2021). Kartilago sendi menanggung bagian
terberat akibat perubahan degeneratif pada osteoarthritis. Kartilago sendi normal,
menjalankan dua fungsi: (1) bersama cairan sinovial, mencegah gesekan di dalam
sendi; dan (2) pada sendi yang menahan beban, kartilago menyebarkan beban
melewati permukaan sendi sehingga tulang di bawahnya dapat mengabsorpsi
beban yang ada. Fungsi ini membutuhkan kartilago yang elastik dan memiliki
kekuatan meregang yang tinggi (Kumar et al., 2016). Kartilago sendi terdiri dari
air (> 70%) dan komponen organik matriks ekstraseluler, terutama kolagen tipe II,
aggrecan, dan proteoglikan lainnya (Jang et al., 2021). Sifat kartilago yang elastik
ini terutama akibat adanya proteoglikan dan kolagen tipe II, yang keduanya
diproduksi oleh kondrosit (Kumar et al., 2016).
Kartilago umumnya dapat melakukan perbaikan dimana kondrosit akan
mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru. Proses perbaikan ini
dipengaruhi oleh faktor-faktor pertumbuhan seperti insulin-like growth factor-1
(IGF-1), growth hormone, transforming growth factor beta (TGF-b), dan colony
stimulating factors (CSF), dimana faktor-faktor ini akan menginduksi kondrosit
untuk mensintesis DNA dan protein seperti kolagen serta proteoglikan. Selain itu,
TGF-b juga memiliki efek inhibisi terhadap stromelisin (MMP-3) yang berperan
dalam degradasi proteoglikan, memiliki efek untuk meningkatkan produksi
prostaglandin E2 (PGE2), serta memiliki efek untuk melawan inhibisi sintesis
prostaglandin E2 oleh interleukin-1 (IL-1). Hormon lain yang mempengaruhi
sintesis komponen kartilago adalah testosteron, b-estradiol, platelet derivate

6
growth factor (PDGF), fibroblast growth factor, dan kalsitonin (Setiati et al.,
2014).
Tetapi, adanya faktor stimulus seperti usia, stres mekanik, genetik, dan
factor lainnya termasuk adanya ketidakseimbangan di dalam ekspresi, aktivitas
dan isyarat dari sitokin dan faktor pertumbuhan dapat menyebabkan terjadinya
degradasi dan kerusakan matriks (Kumar et al., 2016). Stres mekanik dan
perubahan matriks periseluler akan dideteksi oleh kondrosit melalui reseptor pada
komponen matriks ekstraseluler, dimana perubahan respon terhadap stimulasi
mekanik atau inflamasi akan menghasilkan upregulasi enzim aggrecanase dan
collagenase. Aggrecanase dan collagenase merupakan dua enzim utama
pendegradasi matriks tulang rawan (Jang et al., 2021). Aggrecanase yang
merupakan bagian dari A-Disintegrin and Metalloproteinase with
Thrombospondin Motifs (ADAMTS) terlibat dalam metabolisme kartilago dan
bertindak sebagai penghambat aggrecan yang merupakan proteoglikan utama dari
kartilago. Sedangkan collagenase besama dengan gelatinase, stromelysin,
metalloelastase, matrilysin, dan metalloproteinase tipe membran yang termasuk
dalam matrix metalloproteinase (MMP) berperan dalam degradasi matriks
ekstraselular (Rezu, 2021). Peningkatan degradasi akan mengubah keseimbangan
metabolism kartilago dan kelebihan produk hasil degradasi matriks kartilago
cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan sendi serta
mengawali suatu respon imun yang menyebabkan inflamasi sendi (Setiati et al.,
2014). Ketidakseimbangan antara sintesis dengan degradasi kartilago akan
menyebabkan terjadinya osteoarthritis (Kumar et al., 2016). Perbandingan antara
sintesis dan degradasi matriks kartilago pada pasien osteoarthritis kenyataannya
lebih rendah dibanding normal yaitu 0.29 berbanding 1 (Setiati et al., 2014).

7
Gambar 2.1 Skema patofisiologi osteoarthritis
(Apley, 2010)

Ketika kartilago kehilangan integritasnya, maka beban akan semakin


terkonsentrasi di tulang subkondral. Hal ini akan menyebabkan degenerasi
trabekular fokal dan pembentukan lesi kistik, serta peningkatan vaskularisasi dan
sklerosis reaktif di zona dengan pembebanan maksimal. Awalnya, perubahan ini
hanya terjadi pada bagian yang menahan beban terbesar, dimana akan terjadi
pelunakan atau chondromalacia pada kartilago yang biasanya halus dan berkilau.
Sedangkan kartilago di tepi sendi akan mengalami hiperplasia dan osifikasi
endokondral yang lebih aktif, sehingga menimbulkan osteofit. Disintegrasi
kartilago yang progresif akan menyebabkan terjadinya eburnasi, suatu keadaan
dimana kartilago terkikis sehingga tulang di bawahnya menjadi terlihat dan tulang
dapat menjadi halus dan mengkilat seperti gading. Tulang dibawah kartilago yang
rusak akan menjadi padat dan sklerotik, dan seringkali di dalam area sklerotik ini,

Gambar 2.2 Osteoarthritis genu


(Wijaya, 2018)

terdapat satu atau lebih kista yang mengandung bahan gelatin yang kental. Kista
ini dapat timbul dari stres disintegrasi trabekula kecil, dari area lokal
osteonekrosis, atau dari pemompaan kuat cairan sinovial melalui celah retakan
pada lempeng tulang subkondral. Kapsul sendi biasanya menunjukkan penebalan
dan fibrosis, dan lapisan sinovial tampak sedikit meradang (Apley, 2010).
2.5 Tanda dan Gejala
2.5.1 Gejala Klinis
Pasien biasanya datang setelah usia paruh baya, dan umumnya
mengatakan bahwa keluhan telah berlangsung lama tetapi berkembang

8
secara perlahan [(Setiati et al., 2014); (Wijaya, 2018)]. Keluhan dan gejala
yang spesifik meliputi nyeri terutama bila digerakkan, kaku terutama di
pagi hari, suara krepitasi, dan keterbatasan dalam bergerak (Kumar et al.,
2016).
Nyeri merupakan gejala yang paling sering muncul. Nyeri
seringkali cukup luas atau mungkin dapat menjalar ke tempat lain. Nyeri
muncul dan meningkat secara perlahan selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun. Nyeri dapat diperparah dengan aktivitas dan berkurang
dengan istirahat, meskipun penurunan nyeri ini akan terus berkurang
seiring waktu. Pada tahap akhir, pasien mungkin mengalami nyeri bahkan
saat tidur di malam hari. Ada beberapa kemungkinan penyebab nyeri,
yaitu peradangan sinovial ringan, fibrosis kapsular dengan nyeri saat
jaringan yang menyusut mengalami peregangan; kelelahan otot, dan
mungkin tekanan tulang akibat kongesti vaskular dan hipertensi
intraosseous (Apley, 2010).
Kekakuan pada persendian juga merupakan gejala yang timbul dari
osteoarthritis lutut. Kekakuan merupakan sensasi ketat dan bengkak pada
persendian, terutama jaringan lunak dan otot, yang membuat persendian
sulit dan lambat untuk digerakkan (Rachmat et al., 2021). Kekakuan
umumnya terjadi setelah imobilitas dalam waktu yang cukup lama, tetapi
seiring waktu dapat menjadi konstan dan progresif. Selain itu, dapat terjadi
pembengkakan pada sendi yang dapat terjadi secara intermiten
(menandakan adanya efusi sendi) atau secara kontinyu (dengan penebalan
kapsul atau osteofit yang besar) (Apley, 2010).
Seiring waktu, dapat terjadi deformitas sendi akibat kontraktur
kapsular atau ketidakstabilan sendi. Kehilangan fungsi seringkali
merupakan gejala yang paling menyulitkan. Pasien mengalami kesulitan
berjalan, kesulitan menaiki tangga, pembatasan jarak berjalan kaki, atau
ketidakmampuan progresif untuk melakukan tugas sehari-hari pada
akhirnya dapat mendorong pasien untuk mencari bantuan. Biasanya, gejala
osteoarthritis bersifat intermiten, dengan periode remisi yang terkadang
dapat berlangsung selama berbulan-bulan (Apley, 2010).

9
2.5.2 Tanda
Pembengkakan sendi mungkin merupakan hal pertama yang
diperhatikan. Pembengkakan sendi pada osteoarthritis umumnya asimetris
dan dapat timbul akibat efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak (<
100 cc) atau akibat adanya osteofit. Selain itu, terjadi krepitasi akibat
gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakan atau
dimanipulasi secara pasif. Deformitas sendi dapat timbul akibat kontraktur
sendi yang berlangsung lama dan perubahan permukaan sendi/tulang
(Setiati et al., 2014). Ketidakstabilan sering terjadi pada tahap akhir
kerusakan sendi dan dapat disebabkan oleh hilangnya kartilago dan tulang,
kontraktur asimetris kapsul dan/atau kelemahan otot (Apley, 2010).
Hambatan gerak seringkali dapat ditemukan bahkan pada
osteoarthritis yang masih dini (secara radiologis). Biasanya hambatan akan
bertambah seiring dengan berat penyakit, sampai sendi hanya dapat
digoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat bersifat
konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah
gerakan saja). Perubahan gaya berjalan hampir selalu berhubungan dengan
nyeri karena menjadi tumpuan berat badan. Terakhir, dapat muncul tanda-
tanda peradangan pada sendi seperti nyeri tekan lokal, rasa hangat yang
merata dan warna kemerahan, dan dapat disertai dengan gangguan gerak
akibat adanya synovitis. Namun, biasanya tanda-tanda ini tak terlalu
menonjol dan timbul belakangan (Setiati et al., 2014).
2.6 Diagnosis
Diagnosis osteoarthritis genu dapat ditegakkan melalui temuan klinis saja
atau dengan pemeriksaan radiologi penunjang. Anamnesis meliputi pertanyaan
mengenai pekerjaan, riwayat keluarga, riwayat trauma, onset nyeri, kualitas dan
kuantitas nyeri, nyeri menjalar atau tidak, factor yang memperberat/memperingan
nyeri (nyeri pada osteoarthritis diperparah dengan aktivitas), kekakuan sendi < 30
menit setelah bangun pagi/imobilitas dalam jangka waktu yang lama, dan gejala-
gejala inflamasi seperti bengkak, hangat, dan kemerahan. Pemeriksaan fisik
meliputi pemeriksaan indeks massa tubuh, tanda-tanda osteoarthritis (nyeri,

10
krepitasi, deformitas, pembengkakan, tanda-tanda inflamasi, dll), dan perubahan
gaya berjalan/kesulitan untuk beraktivitas.
Menurut The European League Against Rheumatism (EULAR), diagnosis
osteoarthritis memerlukan tiga gejala dan tiga tanda. Tiga gejala terdiri dari nyeri
persisten, kekakuan sendi di pagi hari, dan menurunnya fungsi sendi, sedangkan
tiga tanda meliputi krepitasi, penurunan range of motion, dan pembesaran tulang.
Makin banyak gejala dan tanda, makin besar kemungkinan OA. Jika semua tanda
dan gejala terpenuhi, kemungkinan menemukan OA pada radiografi adalah 99%.
Sedangkan kriteria diagnosis osteoarthritis yang dikembangkan oleh American
College of Rheumatology meliputi:
a. Kriteria klinis yang meliputi nyeri lutut ditambah minimal 3 dari berikut ini:
- Krepitasi pada gerakan sendi aktif
- Kaku di pagi hari dengan durasi kurang dari 30 menit
- Usia >50 tahun
- Pembesaran tulang lutut saat pemeriksaan
- Nyeri tekan pada lutut saat pemeriksaan, dan
- Tidak teraba hangat
b. Kriteria klinis ditambah radiografi meliputi nyeri lutut dan adanya osteofit
pada pemeriksaan radiografi ditambah 1 dari berikut ini: krepitasi pada
gerakan aktif, kaku di pagi hari dengan durasi kurang dari 30 menit, dan usia >
50 tahun
c. Kriteria klinis ditambah laboratorium meliputi nyeri lutut ditambah minimal 5
dari berikut ini: krepitasi pada gerakan aktif, kaku di pagi hari dengan durasi
<30 menit, usia >50 tahun, nyeri tekan tulang saat pemeriksaan, pembesaran
tulang, tidak teraba hangat, LED < 40mm/jam, rheumatoid factor (RF) < 1:40,
dan analisis cairan sinovial sesuai tanda osteoarthritis (Wijaya, 2018).

Pemeriksaan laboratorium penunjang pada osteoarthritis biasanya tidak


terlalu berguna, dimana pemeriksaan darah tepi dan imunologi umumnya berada
dalam batas normal (Setiati et al., 2014). Pemeriksaan radiografi juga tidak terlalu
diperlukan untuk mendiagnosis osteoarthritis genu, tetapi pemeriksaan radiografi
dapat membantu memastikan diagnosis dengan menilai derajat dan lokasi
osteoarthritis serta untuk mengesampingkan kondisi patologi lain (Sprouse et al.,

11
2020). Gambaran radiografi sangat khas sehingga bentuk pencitraan lain jarang
diperlukan. Tanda kardinalnya meliputi hilangnya kartilago yang asimetris
(penyempitan ruang sendi), sklerosis subkondral di bawah area yang kehilangan
kartilago, kista subkondral, osteofit pada tepi sendi, dan remodeling ujung tulang
pada kedua sisi sendi. Pada tahap lanjut mungkin dapat terjadi dislokasi sendi dan
destruksi tulang (Apley, 2010).
Berdasarkan gambaran radiologis, osteoarthritis genu umumnya dapat
diklasifikasikan dalam lima grade menurut Kellgren – Lawrence, yaitu:
- Grade 0 (normal): tidak ditemukan penyempitan ruang sendi atau perubahan
reaktif (tidak ada gambaran patologis dari osteoarthritis).
- Grade 1 (meragukan): penyempitan ruang sendi yang meragukan dengan
kemungkinan terdapat bentukan osteofit.
- Grade 2 (ringan): osteofit tampak jelas disertai dengan kemungkinan
penyempitan ruang sendi
- Grade 3 (sedang): osteofit berukuran sedang, penyempitan ruang sendi tampak
jelas, tampak adanya sklerosis, dan ada kemungkinan deformitas pada ujung
tulang.
- Grade 4 (berat): osteofit berukuran besar, penyempitan ruang sendi tampak
jelas, tampak ada sklerosis berat, dan ada deformitas pada ujung tulang
(Wijaya, 2018).

Gambar 2.3 Kriteria Kellgren – Lawrence


(Jang et al., 2021)

12
Pencitraan radionuklida dengan 99mTc-HDP juga dapat dilakukan,
dimana hasil pencitraan umumnya menunjukkan peningkatan aktivitas di daerah
subkondral yang disebabkan oleh peningkatan vaskularisasi dan pembentukan
tulang baru. Pencitraan magnetic resonance imaging (MRI) dan computerized
tomography scan (CT-scan) terkadang diperlukan untuk masalah tertentu seperti
deteksi dini fraktur osteokartilaginosa, edema tulang, atau nekrosis avascular
(Apley, 2010).
2.7 Manajemen
Tujuan utama manajemen adalah untuk mengurangi nyeri, meningkatkan
fungsi sendi, dan memperlambat perkembangan penyakit (Sprouse et al., 2020).
Manajemen osteoarthritis umumnya terdiri dari manajemen farmakologis,
manajemen non-farmakologis, dan manajemen bedah (Setiati et al., 2014).
2.7.1 Manajemen Non-Farmakologis
Pedoman internasional merekomendasikan strategi non-farmakologis
sebagai terapi lini pertama untuk osteoarthritis genu. Fisioterapi, edukasi
pasien, dan penurunan berat badan merupakan strategi utama yang
direkomendasikan untuk mengelola osteoarthritis genu. Strategi ini terbukti
efektif mengurangi nyeri dan meningkatkan fungsi sendi serta kualitas hidup
pasien. Pada pasien dengan osteoarthritis genu yang memiliki dampak
signifikan pada ambulasi atau stabilitas sendi, atau dengan nyeri yang parah,
beberapa pedoman sangat merekomendasikan penggunaan penyangga lutut
tibiofemoral, tongkat atau alat bantu jalan, alas kaki ortopedi, dan teknologi
bantu lainnya (Dantas et al., 2021).
2.7.1.1 Edukasi
Tujuan edukasi adalah agar pasien mengetahui mengenai
penyakitnya, bagaimana menjaga agar penyakitnya tidak menjadi
semakin parah dan agar persendiannya dapat digunakan sebagaimana
mestinya (Setiati et al., 2014). Pasien harus paham mengenai tujuan
terapi serta pentingnya perubahan gaya hidup, latihan, dan
pengurangan berat badan yang akan mempengaruhi perjalanan
osteoarthritis (Wijaya, 2018). Dengan demikian, edukasi memainkan
peran penting dalam pengambilan keputusan, manajemen penyakit,

13
dan kepatuhan pengobatan individu dengan osteoarthritis genu (Dantas
et al., 2021).
2.7.1.2 Penurunan berat badan
Berat badan berlebih merupakan faktor yang dapat
memperberat osteoarthritis. Oleh karena itu, berat badan harus dijaga
dalam kondisi ideal (Setiati et al., 2014). Pasien yang mencapai dan
mempertahankan berat badan yang ideal memiliki potensi untuk
memperlambat perkembangan penyakit, dimana penurunan berat
badan sebesar satu pon menyebabkan pengurangan 4 kali lipat beban
yang diberikan pada lutut per langkah (Sprouse et al., 2020). Pasien
dengan indeks massa tubuh > 25 kg/m2 harus didorong untuk
menurunkan berat badannya. Hal ini dilakukan dengan membatasi diet
tinggi kalori yang dikombinasikan dengan latihan fisik (Wijaya, 2018).
2.7.1.3 Fisioterapi
Fisioterapi merupakan manajemen rehabilitasi fisik dengan
menggunakan berbagai modalitas fisik. Secara garis besar, modalitas
fisioterapi yang digunakan meliputi termoterapi dan hidroterapi, terapi
elektromagnetik, latihan fisik, dan terapi manual (Arovah, 2015).
2.7.1.3.1 Termoterapi
Termoterapi melibatkan penerapan panas atau dingin
pada sendi untuk memperbaiki gejala osteoartritis. Panas
bekerja dengan meningkatkan sirkulasi dan merelaksasi otot,
sementara dingin dapat mengurangi nyeri dan pembengkakan,
mengkonstriksi pembuluh darah dan memblokir impuls saraf
ke sendi (Brosseau et al., 2003). Teknik untuk termoterapi
termasuk penerapan moksibusi, hot packs, superficial heat, dan
melalui diatermi (penerapan energi elektromagnetik) (Shen et
al., 2021).
Cryotherapy mengaplikasikan es pada daerah yang
mengalami gangguan selama 1-3 menit, yang bertujuan untuk
menurunkan tingkat metabolisme pada daerah tersebut
sehingga cocok dilakukan pada keadaan akut (Arovah, 2015).

14
Terapi ini ditemukan dapat mengurangi rasa sakit, kekakuan
dan edema pada osteoarthritis (Karrar and Mackworth-Young,
2015). Kontraindikasi pada gangguan kardiovaskular dan saraf,
terutama saraf sensoris (Arovah, 2015).
Metode umum pemberian panas superfisial meliputi
electrical heating pads, aplikasi hot packs, handuk atau wax,
atau perendaman dalam air hangat atau wax bath. Aplikasi
panas jenis ini tidak ditemukan untuk meningkatkan fungsi atau
gejala pada penderita osteoarthritis, meskipun pemberian hot
packs telah ditemukan dapat menghilangkan nyeri sementara
(Karrar and Mackworth-Young, 2015).
Diatermi merupakan modalitas termoterapi yang sering
digunakan pada pasien osteoarthritis, yang terutama meliputi
ultrasound therapy, microwave diathermy, dan short wave
diathermy. Terapi-terapi ini akan meningkatkan suhu jaringan
serta aliran darah ke jaringan. Saat aliran darah meningkat,
perfusi jaringan dan aktivitas metabolisme juga meningkat, dan
relaksasi otot tercapai (Başar and Erhan, 2020).
Ultrasound therapy menggunakan gelombang suara
dengan frekuensi antara 500.000-3.000.000 siklus/detik yang
dihasilkan oleh getaran dari kristal tertentu (Arovah, 2015).
Gelombang suara frekuensi tinggi diterapkan ke jaringan
selama terapi yang akan meningkatkan penyembuhan jaringan,
mengurangi respons inflamasi, meningkatkan aliran darah,
meningkatkan aktivitas metabolisme, dan mengurangi nyeri
(Başar and Erhan, 2020). Kontraindikasi pada daerah sekitar
mata, telinga, ovarium, testis, uterus, kehamilan, area dengan
vaskularisasi minimal, dan kanker (Arovah, 2015).
Microwave diathermy menggunakan gelombang
dengan panjang antara gelombang infra merah dan short wave
diathermic. Gelombang diperoleh dengan memanaskan alat
yang disebut magnetron. Output ditransmisikan ke saluran kecil

15
dan gelombang mikro dikeluarkan dengan frekuensi 2.450
siklus/detik dengan panjang gelombang 12,25 cm.
Kontraindikasi pada kanker, tuberkulosis tulang, penggunaan
sinar X, dan gangguan sirkulasi (Arovah, 2015).
Short wave diathermy therapy mempergunakan arus
listrik dengan frekuensi 27.120.000 siklus/detik dengan
panjang gelombang 11 meter. Metode aplikasi melalui
condenser field method atau cable method. Kontraindikasi pada
demam, tekanan darah yang berfluktuasi, kulit sensitif,
epilepsi, orang dengan alat pacu jantung, gangguan ginjal dan
hati, wanita hamil, tuberkulosis tulang, dan kanker (Arovah,
2015).
2.7.1.3.2 Terapi Elektromagnetik
Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)
dan neuromuscular electrical stimulation (NEMS) dapat
mengaktifkan sabut saraf aferen Aβ secara selektif, sehingga
dapat menghasilkan analgesia segmental (Başar and Erhan,
2020). Selain itu, TENS dan NEMS dapat menstimulasi otot
quadriceps, sehingga mampu meredakan nyeri dan
memperkuat otot pada pasien dengan osteoarthritis genu
(Wijaya, 2018).
2.7.1.3.3 Terapi manual
Tujuam terapi adalah untuk mengurangi nyeri,
menormalisasi biomekanik sendi, dan meningkatkan fungsi
sendi (Wijaya, 2018). Terapi menual dapat mengurangi nyeri
pada pasien osteoarthritis, tetapi perbaikan hanya sementara
dan terapi dilakukan berulang kali (Apley, 2010).
Massage menggunakan rabaan untuk memberikan
tekanan pada kulit, otot, tendo, dan ligamen. Massage
digunakan untuk mengurangi ketegangan otot, meningkatkan
aliran darah, dan mengurangi kepekaan saraf terhadap nyeri.
Massage yang dilakukan meliputi stroking yang dilakukan

16
dengan memberikan tekanan berirama sehingga dapat
merilekskan otot; effleurage yang dilakukan dengan
memberikan tekanan sekaligus menggerakkan tangan dengan
kecepatan tertentu untuk mengurangi ketegangan otot dan
meningkatkan aliran darah; kneading yang memberikan
tekanan diikuti dengan periode pelepasan secara bergantian;
picking up yang mengangkat massa otot dan segera
melepaskannya kembali; dan wringing yang mengangkat massa
otot kemudian memutarnya sebelum dilepaskan kembali
(Arovah, 2015).
Relaxed passive movement dilakukan dengan
menggerakkan otot dan persendian pasien secara pasif. Terapi
ini dilakukan untuk mendapatkan jangkauan gerak secara
maksimal pada sendi, menimbulkan efek relaksasi,
mengaktifkan kembali otot yang selama ini pasif, dan
meningkatkan drainase limfatik (Arovah, 2015).
Manual training dilakukan dengan tujuan spesifik
seperti berjalan. Pada terapi ini dilakukan latihan agar pasien
dapat mempergunakan alat bantu jalan sampai pada akhimya
dapat berjalan tanpa banluan alat bantu. (Arovah, 2015).
2.7.1.3.4 Latihan fisik
Terapi fisik diarahkan untuk mempertahankan mobilitas
sendi dan meningkatkan kekuatan otot (Apley, 2010). Berbagai
pilihan latihan tersedia untuk osteoarthritis genu, dimana
program latihan harus bersifat individual dan berpusat pada
pasien dengan mempertimbangkan aspek-aspek seperti usia,
komorbid, dan minat penderita. Secara umum, terapi latihan
yang direkomendasikan untuk penderita osteoarthritis meliputi
latihan fleksibilitas, kekuatan, dan aerobik (Arovah, 2015).
Latihan kekuatan meliputi latihan isometrik, isotonik,
isokinetik, konsentrik dan ecco-concentric (Arovah, 2015).
Latihan penguatan otot quadriceps dan hamstring menjadi

17
pilihan utama karena dapat memperkuat otot-otot di sekitar
sendi lutut, sehingga dapat menstabilkan sendi lutut(Wijaya,
2018). Latihan aerobik bisa dilakukan di air (water based
exercise) atau di darat (land based exercise). Latihan di darat
dapat berupa bersepeda dan berjalan, sedangkan untuk di air
bisa berupa berenang dan berjalan di dalam air (Wijaya, 2018).
Jenis latihan aerobik yang paling sering direkomendasikan
untuk pasien osteoarthritis meliputi berjalan, berenang, yoga,
dan Tai Chi. Latihan kekuatan umumnya bermanfaat pada
jangka pendek (misalnya untuk mengurangi nyeri), sedangkan
latihan aerobik dapat bermanfaat untuk meningkatkan fungsi
persendian dalam jangka waktu yang lebih panjang (Arovah,
2015).
Umumnya, program latihan pada osteoarthritis meliputi
lima tahap. Tahap I meliputi mobilisasi terkontrol untuk
mengatasi nyeri. Pada tahap ini tujuan terapi adalah untuk
memulihkan jangkauan sendi dan mengatasi penurunan kontrol
motorik dan kekuatan otot quadriceps (Arovah, 2015).

Gambar 2.4 Latihan Tahap I untuk Osteoarthritis Genu


(Arovah, 2015)

Pada tahap II, latihan bersifat open kinetic-chain tanpa


pembebanan untuk melatih otot yang mendukung sendi lutut.
Latihan diawali dengan latihan kontraksi isometrik dan latihan

18
elevasi kaki pada posisi duduk untuk memberikan pembebanan
pada quadriceps (Arovah, 2015).

Gambar 2.5 Latihan Tahap II untuk Osteoarthritis Genu


(Arovah, 2015)

Pada tahap III, latihan bersifat closed kinetic-chain.


Latihan bermanfaat untuk meningkatkan keseimbangan dan
kemampuan propioseptor. Leg press biasanya dilakukan
sebagai latihan pembuka. Apabila pasien mampu mengangkat
setidaknya separuh dari berat badannya, maka latihan dapat
ditingkatkan menjadi mini-squat dan step down. Setelah latihan
tersebut dapat dikuasai, dapat dilakukan pro-fitter untuk
melatih stabilitas dan koordinasi. Latihan yang selanjutnya
dapat dilakukan adalah latihan sepeda statis karena kartilago
memerlukan gerakan teratur (kompresi-dekompresi) untuk
memicu remodeling secara aktif. Latihan dilakukan tiga hari
dalam seminggu selama 20-30 menit, dimana latihan ini
sekaligus dapat meningkatkan ketahanan sistem kardiovaskular
serta kekuatan quadriceps dan hamstring (Arovah, 2015).

19
Gambar 2.6 Latihan Tahap III untuk Osteoarthritis Genu
(Arovah, 2015)

Pada tahap IV dilakukan latihan konsentrik dan


eksentrik pada latihan closed kinetic-chain dengan pembebanan
minimal pada persendian yang mengalami osteoarthritis untuk
meningkatkan koordinasi neuromuskular. Tahap ini dimulai
apabila pasien setidaknya memiliki jangkauan sebesar 120°,
mampu berjalan secara normal, menaiki dan menuruni tangga,
serta mampu berlari tanpa nyeri (Arovah, 2015).

Gambar 2.7 Latihan Tahap IV untuk Osteoarthritis Genu


(Arovah, 2015)

Pada tahap V, dilakukan edukasi untuk mengurangi


risiko terjadinya cedera dan memotivasi penderita agar tetap
melakukan latihan rutin yang harus dilakukan 2-3 kali dalam
seminggu dengan melibatkan jenis latihan yang dapat
meningkatkan keseimbangan, kekuatan, fleksibilitas,
ketahanan, dan kemampuan propioseptor (Arovah, 2015).
2.7.1.3.5 Brace dan Orthosis
Brace dan orthosis dapat digunakan untuk memperbaiki
gaya berjalan dan membantu meringankan beban lutut sehingga

20
mengurangi nyeri. Namun brace dan orthosis tidak dapat
menggantikan fungsi latihan fisik. Jenis yang sering digunakan
adalah valgus brace dan lateral wedge insoles. Penggunaan
valgus knee brace dan lateral wedge insoles sama-sama dapat
mengurangi nyeri dan memperbaiki gambaran radiologis pada
pasien osteoarthritis, di mana valgus knee brace hasilnya lebih
baik. Pada 2013, AAOS tidak lagi menyarankan penggunaan
lateral wedge insoles dengan kekuatan rekomendasi moderat,
sedangkan rekomendasi penggunaan valgus knee brace bersifat
inkonklusif (Wijaya, 2018).
2.7.2 Manajemen Farmakologis
Mengurangi rasa nyeri sangat penting dalam penanganan osteoarthritis.
Jenis analgesik yang ada meliputi obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS),
analgesik opioid, dan analgesik non-opioid lain. OAINS menghambat
biosintesis prostaglandin selama proses inflamasi dengan menghambat kerja
enzim siklooksigenase (COX), dan terdiri dari inhibitor COX non-spesifik dan
inhibitor COX-II spesifik. Contoh inhibitor COX non-spesifik adalah
ibuprofen, diklofenak, meloxicam, dan aspirin, sedangkan contoh inhibitor
COX-II spesifik adalah celecoxib (Wijaya, 2018). Penggunaan OAINS topikal
maupun oral dalam pengelolaan osteoarthritis genu sangat di rekomendasikan,
tetapi pasien dan dokter harus berhati-hati terhadap penggunaan OAINS oral
jangka panjang karena potensi efek samping jantung, ginjal, gastrointestinal,
dan efek samping lainnya [(Dantas et al., 2021); (Sprouse et al., 2020)].
Analgesik non-opioid lain yang dapat digunakan adalah asetaminofen.
Obat ini dapat meredakan nyeri meskipun tidak sebaik OAINS, tetapi efek
sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan OAINS (Wijaya, 2018). Oleh
karena itu, sebaiknya asetaminofen hanya digunakan bagi pasien dengan
pilihan farmakologis terbatas akibat intoleransi/kontraindikasi terhadap
penggunaan OAINS, dimana asetaminofen hanya diberikan untuk penggunaan
jangka pendek dan episodik (Kolasinski et al., 2020).
Opioid merupakan turunan opium yang memiliki kemampuan
analgesik dengan menghambat transmisi nosiseptif secara langsung (Wijaya,

21
2018). Penggunaan opioid untuk osteoarthritis genu sebaiknya dihindari
karena ada bukti yang menunjukkan bahwa opioid hanya memiliki sedikit efek
pada nyeri dan fungsi fisik pada individu dengan osteoarthritis genu, dan
pasien yang menggunakan opioid memiliki risiko 3-4 kali lebih tinggi untuk
mengalami efek samping serius dan/atau drop-out karena efek samping
tersebut (Dantas et al., 2021). Namun, ada keadaan di mana opioid mungkin
diperlukan dalam pengobatan seperti ketika pasien memiliki kontraindikasi
terhadap OAINS, terapi lain tidak efektif, atau tidak dapat menjalani
pembedahan. Jika opioid memang diperlukan, tramadol lebih
direkomendasikan dibandingkan dengan opioid non-tramadol. Penggunaan
harus diberikan dalam dosis serendah mungkin dan dalam jangka waktu
sesingkat mungkin (Kolasinski et al., 2020).
Selain analgesik, terdapat golongan nutraceutical yang merujuk pada
makanan/suplemen makanan yang memiliki keuntungan kesehatan. Contoh
nutraceutical yang paling sering diberikan untuk osteoarthritis genu adalah
glukosamin dan kondroitin sulfat (Wijaya, 2018). Glukosamin dan kondroitin
memiliki sedikit efek samping, tetapi bukti untuk mendukung penggunaannya
dalam manajemen osteoarthritis genu masih menjadi perdebatan. Berbagai
penelitian menunjukkan tidak ada manfaat, hasil yang tidak konsisten, atau
manfaat terbatas dari penggunaannya dalam pengobatan osteoarthritis genu.
Oleh karena itu, American Academy of Orthopaedic Surgeons (AAOS) dan
American College of Rheumatology (ACR) tidak merekomendasikan
glukosamin dan kondroitin dalam manajemen osteoarthritis genu (Sprouse et
al., 2020). Sedangkan Osteoarthritis Research Society International (OARSI)
menempatkan glukosamin dan kondroitin sebagai tingkat rekomendasi
terendah dalam manajemen osteoarthritis genu (Dantas et al., 2021).
Selain obat-obatan topikal dan oral, sering dilakukan injeksi
intraartikular yang meliputi injeksi intraartikular asam hialuronat,
kortikosteroid, dan platelet rich plasma (Wijaya, 2018). Terapi lokal dengan
injeksi intraartikular diharapkan memiliki lebih sedikit efek samping sistemik
dengan efek kerja obat yang lebih efisien oleh karena penempatan langsung
obat di dalam sendi (Jang et al., 2021).

22
Injeksi intraartikular asam hialuronat diharapkan bisa mengembalikan
viskoelastisitas cairan sendi lutut, sehingga dapat memperbaiki fungsi sendi
lutut yang terkena osteoarthritis (Wijaya, 2018). Namun, hanya ada sedikit
bukti yang menunjukkan mengenai manfaat injeksi intraartikular asam
hyaluronat. American Medical Society for Sports Medicine merekomendasikan
penggunaan injeksi intraartikular asam hialuronat terutama untuk pasien > 60
tahun dengan osteoarthritis genu ringan-sedang. Sebaliknya, American
Academy of Orthopaedic Surgeons (AAOS) tidak merekomendasikan
penggunaannya, dan American College of Rheumatology (ACR) tidak
merekomendasikan maupun menentang penggunaan injeksi intraartikular
asam hyaluronat pada pasien dengan osteoarthritis genu (Sprouse et al., 2020).
Dalam beberapa tahun terakhir, injeksi intraartikular asam hialuronat
direkomendasikan pada beberapa kondisi tertentu untuk mengontrol gejala
sendi ketika injeksi glukokortikoid atau intervensi lain gagal (Jang et al.,
2021).
Injeksi intraartikular kortikosteroid biasanya digunakan untuk
meredakan nyeri pada pasien dengan osteoarthritis genu sedang hingga berat.
Ada bukti bahwa injeksi tunggal intraartikular kortikosteroid dapat sedikit
meredakan nyeri hingga jangka waktu 6 minggu, meskipun ada kekhawatiran
bahwa injeksi intraartikular kortikosteroid yang berulang malah dapat
mempercepat kehilangan tulang rawan. American Academy of Orthopaedic
Surgeons (AAOS) tidak merekomendasikan maupun menentang
penggunaannya, tetapi American College of Rheumatology (ACR) malah
sangat merekomendasikan penggunaan injeksi intraarticular kortikosteroid.
Mengingat bukti yang tersedia, penggunaan konservatif injeksi intraartikular
kortikosteroid tetap menjadi pilihan untuk pasien dengan osteoarthritis genu
sedang hingga berat yang refrakter (Sprouse et al., 2020).
Injeksi intraarticular platelet-rich plasma telah muncul sebagai salah
satu alternatif terapi untuk osteoarthritis genu (Jang et al., 2021). Platelet-rich
plasma diharapkan dapat mengurangi inflamasi sendi, meskipun mekanisme
pastinya masih belum diketahui (Dantas et al., 2021). Namun, ada
kekhawatiran mengenai heterogenitas dan kurangnya standarisasi dalam

23
persiapan yang tersedia dan teknik yang digunakan (Kolasinski et al., 2020).
Selain itu, penelitian yang telah dilakukan belum dapat menunjukkan manfaat
yang jelas dari injeksi intraartikular platelet-rich plasma (Dantas et al., 2021).
American Academy of Orthopaedic Surgeons (AAOS) tidak
merekomendasikan maupun menentang penggunaannya, sedangkan American
College of Rheumatology (ACR) tidak merekomendasikan penggunaan injeksi
intraarticular platelet-rich plasma untuk osteoarthritis genu (Sprouse et al.,
2020).
2.7.3 Manajemen Bedah
Tujuannya adalah untuk mengurangi nyeri, meminimalkan kecacatan,
dan meningkatkan kualitas hidup (Jang et al., 2021). Intervensi bedah
biasanya merupakan pilihan terakhir untuk manajemen osteoarthritis genu
yang dipertimbangkan jika pasien tidak membaik dengan tatalaksana
konservatif dan modalitas nonfarmakologi [(Dantas et al., 2021); (Wijaya,
2018)]. Umumnya, terdapat empat pilihan pembedahan, yaitu knee
osteostomy, knee replacement, knee arthroscopy, dan knee cartilage repair-
restoration (Jang et al., 2021).
Total knee replacement surgery/total arthroplasty memotong bagian
ujung tibia dan femur yang rusak dan kemudian menutup keduanya
menggunakan prosthesis yang tersusun dari komponen plastik yang tahan
lama. Pemulihan parsial membutuhkan waktu 6 minggu dan pemulihan total
membutuhkan waktu hingga 1 tahun. Partial knee replacement
surgery/unicompartmental arthroplasty merupakan alternatif untuk pasien
yang penyakitnya terbatas pada satu area lutut, seperti kompartemen
medial/lateral tibiofemoral saja (Jang et al., 2021).
Knee osteotomy (high tibial osteotomy atau femoral osteotomy) adalah
operasi untuk meluruskan kembali sendi lutut. Operasi ini terutama penting
pada kerusakan kartilago atau osteoarthritis genu kompartemen medial dengan
deformitas varus. Knee arthroscopy paling sering dilakukan untuk mengobati
osteoarthritis genu atau masalah meniscus (Jang et al., 2021). Debridement
sendi melalui arthroscopy (pembersihan loose bodies, cartilage tag, osteofit
yang mengganggu, atau labrum acetabular/glenoid yang robek) dapat

24
memberikan perbaikan (Apley, 2010). Knee cartilage repair-restoration
sendiri dikembangkan untuk mengatasi defek fokal dari kartilago. Strategi
operasi kartilago termasuk paliatif (kondroplasti dan pembuangan debris);
perbaikan (perforasi dan fraktur mikro); atau restorasi (transplantasi sel auto-
chondral, osteochondral autograft, dan cartilage allograft) (Jang et al., 2021).

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Osteoarthritis merupakan suatu gangguan kronis sendi sinovial di mana
terjadi pelunakan progresif dan disintegrasi kartilago artikular disertai dengan
pertumbuhan baru kartilago dan tulang pada tepi sendi (osteofit), pembentukan
kista dan sklerosis pada tulang subkondral, sinovitis ringan dan fibrosis kapsul.
Insiden umumnya meningkat seiring dengan bertambahnya usia, terutama pada
usia di atas 50 tahun. Osteoarthritis dapat terjadi pada setiap sendi, tetapi
osteoarthritis paling banyak terjadi pada lutut.
Osteoarthritis terjadi akibat adanya gangguan homeostasis dari
metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago dengan
penyebab yang belum jelas. Faktor resikonya meliputi usia lanjut, variable
genetik, jenis kelamin perempuan, overweight/obesitas, riwayat trauma, serta

25
pekerjaan dengan beban fisik yang berat atau penggunaan sendi yang repetitif.
Tanda dan gejala klinisnya meliputi nyeri, rasa kaku, pembengkakan, deformitas,
krepitasi, serta penurunan/hilangnya fungsi (kesulitan bergerak/beraktivitas).
Diagnosis osteoarthritis genu sendiri dapat ditegakkan melalui temuan klinis saja
atau dengan pemeriksaan radiologi penunjang.
Manajemen osteoarthritis genu bertujuan untuk mengurangi rasa sakit,
meningkatkan fungsi sendi, dan memperlambat perkembangan penyakit.
Manajemen ini terdiri dari manajemen farmakologis, non-farmakologis, dan
bedah. Terapi non-farmakologis yang terdiri dari fisioterapi, edukasi, dan
penurunan berat badan merupakan terapi lini pertama yang direkomendasikan.
Fisioterapi yang digunakan meliputi termoterapi dan hidroterapi, terapi
elektromagnetik, latihan fisik, dan terapi manual. Latihan fisik yang
direkomendasikan untuk osteoarthritis genu meliputi latihan fleksibilitas, latihan
kekuatan, dan latihan aerobik. Selain itu, dpaat diberikan terapi farmakologis,
dimana obat anti-inflamasi non-steroid topikal maupun oral menjadi analgesik
pilihan pada pasien osteoarthritis genu. Intervensi mungkin dapat
dipertimbangkan jika pasien tidak membaik dengan tatalaksana konservatif dan
modalitas non-farmakologi.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, I. W., Rahmawati, L. D. and Wardhana, T. H. (2018) ‘Demographic


Profile, Clinical and Analysis of Osteoarthritis Patients in Surabaya’,
Biomolecular and Health Science Journal, 1(1), p. 34. doi:
10.20473/bhsj.v1i1.8208.
Apley, G. (2010) ‘Apley’s System of Orthopaedics and Fractures’, 9th
ed(London: Hodder Arnold).
Arovah, N. I. (2015) ‘Fisioterapi Dan Terapi Latihan Pada Osteoartritis’,
Medikora, (1), pp. 18–41. doi: 10.21831/medikora.v0i1.4716.
Başar, B. and Erhan, B. (2020) ‘Comparative Evalaution of the Effects of Short-
Wave Diathermy, Ultrasound, and TENS on Pain and Physical Functions in Knee
Osteoarthritis’, Journal of Academic Research in Medicine, 10(3), pp. 288–293.
doi: 10.4274/jarem.galenos.2020.3667.

26
Brosseau, L. et al. (2003) ‘Thermotherapy for treatment of osteo-arthritis’,
Physiotherapy, 89(12), pp. 694–695. doi: 10.1016/s0031-9406(05)60490-7.
Dantas, L. O., Salvini, T. de F. and McAlindon, T. E. (2021) ‘Knee osteoarthritis:
key treatments and implications for physical therapy’, Brazilian Journal of
Physical Therapy, 25(2), pp. 135–146. doi: 10.1016/j.bjpt.2020.08.004.
Hamood, R. et al. (2021) ‘Prevalence and incidence of osteoarthritis: A
population‐based retrospective cohort study’, Journal of Clinical Medicine,
10(18). doi: 10.3390/jcm10184282.
Jang, S., Lee, K. and Ju, J. H. (2021) ‘Recent updates of diagnosis,
pathophysiology, and treatment on osteoarthritis of the knee’, International
Journal of Molecular Sciences, 22(5), pp. 1–15. doi: 10.3390/ijms22052619.
Karrar, S. and Mackworth-Young, C. (2015) ‘Local Therapies for Osteoarthritis
— An Update and a Review of the Literature’, Osteoarthritis - Progress in Basic
Research and Treatment. doi: 10.5772/60557.
Kolasinski, S. L. et al. (2020) ‘2019 American College of Rheumatology/Arthritis
Foundation Guideline for the Management of Osteoarthritis of the Hand, Hip, and
Knee’, Arthritis and Rheumatology, 72(2), pp. 220–233. doi: 10.1002/art.41142.
Kumar, V., Abbas, A. k. and Aster, J. C. (2016) Robbins Basic Phatology,
Elsevier.
Preece, S. J. et al. (2021) ‘A new integrated behavioural intervention for knee
osteoarthritis: development and pilot study’, BMC Musculoskeletal Disorders,
22(1), pp. 1–14. doi: 10.1186/s12891-021-04389-0.
Rachmat, N., Minulyo, A. J. and Zubaidi, A. (2021) ‘An overview of the quality
of life of Knee osteoarthritis patients at the Surakarta Orthopedic Hospital’,
Jurnal Keterapian Fisik, 6(1), pp. 38–48. doi: 10.37341/jkf.v0i0.271.
Rezu, E. (2021) ‘From Pathogenesis to Therapy in Knee Osteoarthritis ’:
Setiati, Siti; Alwi, Idrus; Sudoyono, Aru. W; K. Simadibrata, Marcellus;
Setiyohadi, Bambang; Syam Ari, F. (2014) Ilmu Penyakit Dalam, Ilmu Penyakit
Dalam.
Shen, C. et al. (2021) ‘Thermotherapy for knee osteoarthritis’, Medicine, 100(19),
p. e25873. doi: 10.1097/md.0000000000025873.
Sprouse, R. A., Harris, G. D. and Sprouse, G. D. E. (2020) ‘A practical approach

27
to knee OA’, Journal of Family Practice, 69(7), pp. 327–334. doi:
10.12788/JFP.0042.
Tsokanos, A. et al. (2021) ‘The efficacy of manual therapy in patients with knee
osteoarthritis: A systematic review’, Medicina (Lithuania), 57(7), pp. 1–12. doi:
10.3390/medicina57070696.
Wijaya, S. (2018) ‘Osteoartritis Lutut’, Cdk, 45(6), pp. 424–429.

28

Anda mungkin juga menyukai