Anda di halaman 1dari 8

Historiografi Islam

Nidaa Zulfa Isnaini

Al Maqrizi, seorang ulama,geografi, dan ekonom terkemuka, yang mana tinggal di Mesir pada masa
Mamluk. Dia memberikan kontribusi yang signifikan terhadap beasiswa,analisis sosio-ekonomi , dan
geografi. Ia mengajar berbagai disiplin ilmu antara lain: Hadis, Tafsir, Dan Fiqih. Serta memberikan
pendidikan formal Islam. Karya dari Al Maqrizi ialah perpustakaan yang terkemuka yang ada di Mesir,
Terkenal dengan pengetahuannya yang luas mengenai geografi, sejarah, dan arkeologi.Ia juga
memberikan informasi rinci tentang kehidupan Mesir pada masa itu, termasuk topografi,monument,
institusi politik, dan ekonomi. Al –Maqrizi juga menekankan pentingnya perdagangan,infrastruktur yang
efisien, dan perencanaan strategis dalam hubungan perdagangan mesir. Al Maqrizi seorang pemikir
strategis,menganalisis hubungan mesir dengan negara lain dan mengembangkan jalur yang
menghubungkan Mesir dengan Afrika ,dan tengah. Dia focus pada budaya mesir dan warisan uniknya. Al
Maqrizi juga mempelajari inbah al ruwat fi tarikh al misr wa al qahira , sebuah ensiklopedia biografi
tentang kehidupan dan kontribusi mesir. Al suluk li ma’rifatduwal al muluk , sebuah ensiklopedia sejarah
memberikan informasi tentang berbagai negara dan kontribusinya. Karya terakhir Al- Maqrizi al ittihad
wa Al Tarikh menekankan pentingnya ilmu. Tradisi al-Ayyam memberikan pengaruh pada gaya menulis
sejarawan Islam yang menceritakan kisah Nabi berdasarkan peperangan-peperangan penting yang dilalui
nabi. Al-Ansab mempengaruhi gaya sejarah Islam dalam menulis kisah atau biografi Nabi.

Kemudian proses penulisan sejarah menggunakan metode khabar atau penyampaian secara Awal
penulisan sejarah dalam Islam didorong oleh motif keagamaan. Figur nabi Muhammad sebagai seorang
manusia sempurna dan perilaku beliau yang dapat dijadikan suri tauladan menjadi penyebab agar kisah
hidup beliau dituliskan, selain itu kitab suci al-Quran mengajarkan bahwa seorang manusia bisa
mempelajari sesuatu dari sejarah. Islam sebagai agama, berhasil membangunkan kesadaran sejarah dalam
komunitas arab awal Islam.

Adapun corak penulisan sejarah awal Islam dipengaruhi oleh 2 tradisi pra-Islam yaitu tradisi al-
Ayyam dan al-Ansab. Tradisi al-Ayyam memberikan pengaruh pada gaya menulis sejarawan Islam yang
menggunakan sumber oral atau lisan oleh orang yang menyaksikan peristiwa tersebut.

Pada perkembangan selanjutnya, ketika kekuasaan Islam meluas sampai ke Persia dan negeri Syam,
bangsa Arab sebagai penakluk mulai mendirikan garnisun dan tinggal menetap di kota penduduk
taklukannya. Bangsa Arab mulai memiliki kesadaran untuk hidup sebagai satu komunitas. Hal ini
mempengaruhi motif penulisan sejarah. Setidaknya ada dua motif dalam menulis sejarah di masa ini
yaitu pertama munculnya ide persatuan dan hidup sebagai komunitas tunggal (ummat Islam), kedua untuk
menyampaikan misi kenabian yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Al Tabari penulis terakhir yang menandai penulisan sejarah periode awal Islam menggunakan
pendekatan hadis dalam menuliskan sejarahnya. Dia menuangkan ide terkait dengan misi kenabian dan
juga menuangkan ide persatuan melalui memori kolektif yang dialami umat. Menurutnya, penulisan
sejarah yang dilakukannya merupakan hal yang dikehendaki sang Ilahi (Divine Will). Keinginan Tuhan
terwujud dalam perilaku umat manusia.

Kemudian di abad pertengahan (1000-1500) penulisan sejarah Islam mengalami perkembangan dibanding
awal periode Islam. Pada periode ini sejarawan banyak menulis perkembangan suatu kota atau daerah.
Hal ini bisa terlihat dari karya yang dihasilkan Ibn Abi Tahir Tayfur yang berjudul Tarikh
Baghdad (Sejarah Baghdad) dan Al Azdo yang berjudul; Ta’rikh al-Mawsil (Sejarah Mosul).
Regionalisasi penulisan sejarah ini disebabkan oleh adanya desentralisasi politik yaitu melemahnya
kekuasaan sentral Abbasiyah, membuat dominasi kekuasaan Arab-Islam surut di kawasan Persia,
Samanid di Transoxania dan Khurasan, Buyid di Iran dan Iraq juga dinasti ghaznawi.

Di periode ini berkembang genre sejarah yaitu biografi sejarah. Penulisan mengenai tokoh religius banyak
dituliskan. Hal ini disebabkan kebutuhan dalam mempelajari hadis, untuk mengetahui kualitas hadis
tersebut shahih atau tidak maka investigasi tokoh perawi hadis diperlukan. Para ulama atau syeikh dan
pengikutnya menjadi fokus utama dalam penulisan sejarah dan bukan orang-orang awam. Selanjutnya, di
periode ini sejarawan mulai memperlihatkan ketertarikan pada peristiwa sehari-hari. Para penulis
cenderung untuk melaporkan atau mencatat peristiwa yang terjadi di kampung halaman mereka. Hal ini
telah membuat penulisan sejarah mengalami transformasi menjadi sejarah popular.

Dari abad sebelas hingga seterusnya ada perubahan dalam ilmu sejarah. Sejarah sebagai ilmu mulai
menggunakan metode sains. Contoh karya yang dihasilkan adalah Muqadimmah yang ditulis oleh Ibnu
Khaldun yang mengembangkan teori sejarah politik. Ibnu Khaldun juga menuliskan pemikiran
historiografinya di Afrika Utara dan alasan mengapa perlu menulis sejarah, menurutnya dengan menulis
sejarah kita dapat menghindari kesalahan sama di masa depan. Yang paling penting, penulisan di masa ini
mulai meninggalkan tradisi khabar. Penulis sejarah tidak lagi hanya menuliskan informasi yang berasal
dari saksi sejarah tetapi juga mulai menyatakan pendapatnya dan menuliskan pemaknaan baru tentang
peristiwa sejarah tersebut.

Selain itu, ada satu hal pokok yang perlu disoroti pada periode ini yaitu berubahnya tradisi penulisan
sejarah Islam yang didasarkan pada tulisan dan bukan sumber lisan atau oral. Transmisi ilmu pengetahuan
dalam bidang sejarah dilakukan melalui tulisan, hal ini disebabkan oleh murahnya harga kertas sebagai
tempat untuk menulis bahkan penulisan Al-Quran mulai dituliskan di kertas. Bukti bahwa tulisan menjadi
metode menyampaikan ilmu pengetahuan dapat kita lihat dari koleksi perpustakaan Dar al-Hikmah yang
terdapat di Baghdad, perpustakaan Umayah, koleksi perpustakaan dinasti Fatimiyah di Kairo dan juga
perpustakaan kecil di Damaskus memiliki 2000 buku yang bertema kan sejarah, terdapat buku klasik
didalamnya seperti Al-Tabari dan kisah penaklukan awal Islam oleh al-Azdi,Sayf bin Umar, Ibn A’tham,
dan al-Baladhuri juga buku yang ditulis oleh pengarang abad ke-13 seperti Ibn al-Athir, Imad al-din, dan
Ibn Shaddad.

Pada periode modern, kekuatan Barat mendominasi wilayah Islam. Keberhasilan barat ini dikarenakan
birokrasi yang efisien, kemajuan sains dan ilmu pengetahuan, kesatuan tentara yang efektif dan
persenjataan yang lebih mutakhir (modern) dibandingkan kekuatan Islam di masa itu. Penetrasi barat ke
jantung wilayah Islam menimbulkan ketertarikan barat pada dunia Islam. Pengkajian dunia Islam saat itu
menjadi proyek besar, khususnya ketika Napoleon menginvasi Mesir. Penguasa saat itu yang
menyaksikan kedigdayaan kekuatan Eropa mulai berpikir untuk melakukan upaya modernisasi Mesir
dengan meniru gaya Barat. Pelajar-pelajar Mesir kemudian dikirim ke Eropa untuk mempelajari ilmu
pengetahuan mereka. Al-Tahtawi merupakan salah satu intelektual yang dikirim ke Prancis dan
menerjemahkan buku-buku sejarah. Setelah studi di Prancis, al-tahtawi kemudian menerapkan metode
barat dalam mengkaji sejarah Islam. Dari sini dapat kita lihat gambaran kecil bagaimana perkembangan
penulisan sejarah Islam di masa modern, tulisan ini ditujukan untuk menjelaskan lebih lanjut bagaimana
perkembangan penulisan sejarah Islam di masa modern ditinjau dari aspek metode, gaya penulisan
sejarawan periode ini yang dapat dilihat dari karyanya dan latar belakang yang menyebabkan
perkembangan penulisan sejarah terjadi di masa modern. Historiografi modern di kawasan ini bermula
saat Muhammad Ali naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1805 dan menghancurkan tatanan kekuasaan
dinasti Mamluk Mesir. Di tahun 1830 Muhammad Ali melakukan gerakan penerjemahan buku-buku
Eropa ke dalam bahasa mereka. Para translator dan penulis yang telah mengenyam pendidikan Barat
kemudian mendirikan sekolah bahasa di tahun 1835. Rifa’a Rafi’ al-Tahtawi(1801-1873) ditunjuk
menjadi direktur institusi ini dan memulai gaya penulisan yang baru. Beberapa bahasa Eropa
diterjemahkan ke dalam bahasa Turki dan Arab. Dia juga menjelaskan bagaimana selama 5 tahun belajar
dan menetap di Paris, lalu menceritakan perbedaan kebudayaan antara tempat negaranya menetap dan
tempat negaranya berasal.

Muhammad Ali menganggap sejarah, khususnya biografi sejarah sebagai pembelajaran dari pengalaman
seseorang yang bisa kita contoh hal baiknya dan kita hindari kesalahan yang dialami tokoh tersebut. Oleh
karena itu, al-Tahtawi lebih banyak menerjemahkan buku sejarah sesuai dengan yang diinginkan
penguasa saat itu. Buku-buku yang diterjemahkan di antaranya karya Voltaire ‘Histoire de Charlex XII
dan Histoire de l’empire de Russie sous pierre le grand’, selain itu ada karya dari Robertson yang berjudul
History of the Reign of the Emperor Charles, buku-buku ini adalah buku utama yang diterjemahkan.

Buku-buku ini kemudian membanjiri dunia Arab. Anak dari Muhammad Ali bernama Ibrahim Pasha
membangun sekolah militer di beberapa kota di Suriah. Buku-buku yang tersebar di Aleppo, Damaskus
bergenre bermacam-macam seperti sejarah, geografi, sains.

Muhammad Ali kemudian mendorong Tahtawi untuk mempublikasi karyanya, lalu ia memberikan
Tahtawi uang yang banyak dan tanah yang luas, bahkan menganugerahkannya tanda kehormatan militer.
Tahtawi kemudian mempersembahkan buku terjemahan Geografi pada tahun 1834, karena pekerjaannya
ini, dia dipromosikan ke pangkat major di militer Mesir. Takhlis al-ibriz diterjemahkan ke bahasa Turki
atas usul Pasha dan mewajibkannya agar dibaca oleh tentara dan pejabat sipil negeri.

Penulisan sejarah bagi Tahtawi menjadi bahan untuk menyoroti penguasa di masa lalu dan menyamakan
penguasa saat itu (Muhammad Ali) dengan kehebatan Alexander the Great. Alexander the Great
digambarkan sebagai penguasa yang adil, sabar dan toleran terhadap agama setempat. Dia kemudian
memuji Muhammad Ali sebagai penguasa yang dapat meraih pencapaian sehebat Alexander the Great.

Sementara itu, al-Jabarti hampir memiliki pandangan yang berbeda dengan Tahtawi, perbedaan itu dapat
terlihat dari opini al-Jabarti mengenai penguasa, kekuatan imperial, konsep politik dan juga pandangan
mengenai masa kejayaan Mesir. Hampir semua pandangan al-Jabarti berbanding terbalik dengan al-
Tahtawi. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan antara Tahtawi dan al-Jabarti, paragraf selanjutnya
akan menjelaskan bagaimana biografi dari kedua tokoh tersebut dan menjelaskan perbedaan kedua tokoh
tersebut dalam menilai keempat soal yang disebutkan sebelumnya. Selain itu, paragraf berikutnya akan
menjelaskan bagaimana corak, metode, karya mereka dan pandangan al-Tahtawi terkait sejarah.
Historiografi modern di kawasan ini bermula saat Muhammad Ali naik ke tampuk kekuasaan pada tahun
1805 dan menghancurkan tatanan kekuasaan dinasti Mamluk Mesir. Di tahun 1830 Muhammad Ali
melakukan gerakan penerjemahan buku-buku Eropa ke dalam bahasa mereka. Para translator dan penulis
yang telah mengenyam pendidikan Barat kemudian mendirikan sekolah bahasa di tahun 1835. Rifa’a
Rafi’ al-Tahtawi(1801-1873) ditunjuk menjadi direktur institusi ini dan memulai gaya penulisan yang
baru. Beberapa bahasa Eropa diterjemahkan ke dalam bahasa Turki dan Arab. Dia juga menjelaskan
bagaimana selama 5 tahun belajar dan menetap di Paris, lalu menceritakan perbedaan kebudayaan antara
tempat negaranya menetap dan tempat negaranya berasal.

Muhammad Ali menganggap sejarah, khususnya biografi sejarah sebagai pembelajaran dari pengalaman
seseorang yang bisa kita contoh hal baiknya dan kita hindari kesalahan yang dialami tokoh tersebut. Oleh
karena itu, al-Tahtawi lebih banyak menerjemahkan buku sejarah sesuai dengan yang diinginkan
penguasa saat itu. Buku-buku yang diterjemahkan di antaranya karya Voltaire ‘Histoire de Charlex XII
dan Histoire de l’empire de Russie sous pierre le grand’, selain itu ada karya dari Robertson yang berjudul
History of the Reign of the Emperor Charles, buku-buku ini adalah buku utama yang diterjemahkan.

Buku-buku ini kemudian membanjiri dunia Arab. Anak dari Muhammad Ali bernama Ibrahim Pasha
membangun sekolah militer di beberapa kota di Suriah. Buku-buku yang tersebar di Aleppo, Damaskus
bergenre bermacam-macam seperti sejarah, geografi, sains.

Muhammad Ali kemudian mendorong Tahtawi untuk mempublikasi karyanya, lalu ia memberikan
Tahtawi uang yang banyak dan tanah yang luas, bahkan menganugerahkannya tanda kehormatan militer.
Tahtawi kemudian mempersembahkan buku terjemahan Geografi pada tahun 1834, karena pekerjaannya
ini, dia dipromosikan ke pangkat major di militer Mesir. Takhlis al-ibriz diterjemahkan ke bahasa Turki
atas usul Pasha dan mewajibkannya agar dibaca oleh tentara dan pejabat sipil negeri.

Penulisan sejarah bagi Tahtawi menjadi bahan untuk menyoroti penguasa di masa lalu dan menyamakan
penguasa saat itu (Muhammad Ali) dengan kehebatan Alexander the Great. Alexander the Great
digambarkan sebagai penguasa yang adil, sabar dan toleran terhadap agama setempat. Dia kemudian
memuji Muhammad Ali sebagai penguasa yang dapat meraih pencapaian sehebat Alexander the Great.

Sementara itu, al-Jabarti hampir memiliki pandangan yang berbeda dengan Tahtawi, perbedaan itu dapat
terlihat dari opini al-Jabarti mengenai penguasa, kekuatan imperial, konsep politik dan juga pandangan
mengenai masa kejayaan Mesir. Hampir semua pandangan al-Jabarti berbanding terbalik dengan al-
Tahtawi. Untuk mengetahui bagaimana perbedaan antara Tahtawi dan al-Jabarti, paragraf selanjutnya
akan menjelaskan bagaimana biografi dari kedua tokoh tersebut dan menjelaskan perbedaan kedua tokoh
tersebut dalam menilai keempat soal yang disebutkan sebelumnya. Selain itu, paragraf berikutnya akan
menjelaskan bagaimana corak, metode, karya mereka dan pandangan al-Tahtawi terkait sejarah. Al
Tahtawi terlahir di keluarga yang religius dan terpelajar, dia menempuh pendidikan di al-Azhar, gurunya
Shaykh Hasan al-Attar (1766-1835) banyak mempengaruhi pikirannya, al-Tahtawi kemudian pergi ke
Paris untuk studi. Dia kemudian mempelajari bahasa, budaya, literatur Perancis dan memulai
membandingkan ide barunya dengan gagasan Islam. Dia memperoleh pengetahuan tentang Mesir Kuno di
bawah pengawasan Ilmuwan Prancis seperti Edme Francois Jomard(1777-1862), Silvestre de Sacy (1755-
1838) dan Cauussin de Perceval ( 1759-1835).

Corak penulisan berkembang yang pada awalnya hanya seputar aktivitas politik sekitar istana (pergantian
raja) menjadi diperluas hingga pembahasan daerah Arab pra-Islam. Al-Tahtawi menulis sejarah dengan
semangat, harga diri bangsa Mesir dan sebuah tulisan bernada patriotik ‘Mesir ibu dari dunia’. Tahtawi
merupakan orang Mesir yang pertama kali menulis sejarah Mesir kuno. Meskipun pekerjaannya
merupakan kumpulan dari sumber Eropa dan Arab tetapi karyanya menuangkan ide orisinilnya dan juga
memberikan asumsi teoritis, konsepsi sejarah sebagai suatu disiplin ilmu dan yang paling penting buku ini
sangat berkontribusi pada historiografi Arab Modern. Al-Tahtawi juga banyak menjelaskan konsep
sejarah, memperbarui metode sejarah & kegunaan sejarah secara umum.

Dia mulai dengan menekankan pada kemampuan natural seorang laki-laki dalam bersosial dan wataknya
berkenaan dengan peradaban. Seorang laki-laki menurutnya dipaksa untuk hidup dalam keadaan politik di
bawah sebuah pemerintahan.

Selanjutnya, dia menjelaskan tentang kegunaan sejarah. Kegunaan sejarah menurutnya adalah untuk
memelihara suatu hal agar terhindar dari kemusnahan. Peristiwa masa lalu, jika tidak dilihat melalui
kacamata sejarah hanya akan menjadi debu yang terbawa oleh angin. Manfaat sejarah ditujukan untuk
para elite dan orang-orang biasa. Sejarah dan kisah-kisahnya berisikan nasihat atau pelajar bagi setiap
orang, baik itu presiden, perdana menteri, wakil rakyat, ataupun masyarakat biasa. Selain itu orang yang
mempelajari sejarah menurutnya akan mendapat skill baru dan akan memperluas wawasan dengan
mengetahui informasi tentang keadaan di masa lalu. Berkaitan dengan metode, Tahtawi menggunakan
sumber Arab & Eropa. Dia kemudian membandingkan sumber-sumber tersebut, memberikan penilaian
terhadap informasi yang kontradiksi mengenai satu peristiwa dan menghasilkan sintesa yang memuaskan.
Penulisan sejarah Mesir muncul sebagai konsep baru yaitu sebuah daerah geografis tempat silih
bergantinya kekuasaan : Firaun dengan kekuatan militernya yang mendominasi daerah tetangganya,
kedatangan Alexander the Great dan penggantinya Ptolomeus, Romawi, kedatangan penakluk Muslim
yang membuat Mesir kuat dan sejahtera dibanding dengan kerajaan lainnya dan seterusnya.

Al-Tahtawi membuat konsep baru lainnya yaitu periodisasi sejarah, dia membagi periodisasi sejarah
menjadi dua yaitu sakral dan manusia. Sejarah yang bersifat sakral adalah sejarah yang menceritakan
kisah orang-orang saleh yang terdapat di dalam kitab suci. Sedangkan sejarah manusia dibagi menjadi 2
periode yaitu kuno dan modern. Subjek penulisannya adalah manusia di masa kuno hingga masa modern.
Dia banyak menjelaskan tentang kerajaan yang pernah ada di Mesir, Afrika Utara, Babilonia, Persia,
India dan Yunani. Lebih lanjut lagi dia membagi sejarah Mesir (negaranya sendiri) menjadi tiga bagian
yaitu : masa kebodohan (jahiliyah), Kristen, kedatangan Islam hingga masa modern.

Al-Tahtawi mengkhususkan sebuah serial untuk menulis sejarah Nabi. Dengan merujuk pada sumber
Sirah Nabawiyah dari Ibn Ishaq ( 767 Masehi) dan resensi Sirah Ibn Ishaq oleh Ibn Hisyam (834 Masehi).
Dia menuliskan kisah hidup nabi Muhammad, anggota keluarganya, istrinya, para sahabatnya, para
pembantunya, dan siapapun yang pernah berinteraksi dengan beliau. Al-tahtawi kemudian menjelaskan
persoalan politik, militer, sosial dan institusi ekonomi yang dibangun oleh Nabi untuk kesejahteraan
komunitas Muslim secara detail.

Studi & penulisan sejarah menjadi bagian integral dari kebagkitan Mesir. Sejarah tidak lagi menjadi
pembicaraan di kelas-kelas tetapi kemudian menjadi objek studi. Masyarakat mulai tertarik untuk
membaca & menulis sejarah. Seorang Pasha mendukung gerakan intelektual ini, didorong rasa ingin
tahunya tentang kerajaan-kerajaan sebelumnya yang pernah ada di Mesir. Dengan mengetahui hal itu,
menurutnya kita tidak hanya bisa mempelajari peristiwa masa lampau tapi kita juga dapat mengetahui apa
yang harus dilakukan untuk menghindari kesalahan yang pernah dilakukan di masa lalu.

Al-Tahtawi sempat diasingkan ke Sudan di masa pemerintahan pemerintahan Abbas (1849-1854).


Kemudian dia kembali ke Mesir di masa pemerintahan Sa’id (1854-1863), di masa ini beliau menganalisa
karya Muqaddima Ibnu Khaldun (1857) dan literatur Arab klasik lainnya. Al-Tahtawi penulis periode ini
terbilang sebagai pionir dalam penulisan sejarah modern di kawasan Islam, munculnya penulis di masa ini
menandai berkembangnya penulisan historiografi professional di kawasan ini.

Aljabariti merupakan seorang ilmuwan yang religius, tidak kalah pentingnya dia merupakan seseorang
yang menjadi saksi atas dua peristiwa besar yaitu invasi dan pendudukan Napoleon ke Mesir selama
1798-1801, serta kebangkitan penguasa Ottoman di Mesir yang bernama Muhammad Ali (1805-1848).
Karya besar beliau yaitu Aja’ib al-athar fi al-tarajim wa al-akhbar merupakan sebuah karya yang terdiri
dari 4 volume yang banyak menceritakan peristiwa sejarah Mesir dan biografi tokoh-tokoh besarnya
dalam rentan waktu 1688-1821, karyanya ini menggambarkan dua tradisi historiografi Islam tradisional
dan lahirnya sekolah cendekiawan Arab. Dua judul lainnya menjelaskan tentang pendudukan Prancis di
Mesir. Dua karya ini berjudul Muzhir al-taqdis bi dhahab Dawlat al-faransis dan Tarikh muddat al-
faransis. Di ketiga karyanya, Al- Jabarti berfokus pada sejarah Mesir, setiap peristiwanya disesuaikan
dengan kalender Islam. Berbeda dengan karya sejarawan Muslim lainnya yang banyak mengutip
peristiwa sejarah dari sumber yang sudah tertera meskipun banyak memiliki kontradiksi tentang
penceritaan suatu peristiwa, Al-Jabarti melakukan penilaian terhadap referensi yang dirujuk, menyatakan
kecenderungan penulisannya yang berorientasi pada kepentingan negaranya (bercorak nasionalis). Dia
juga menulis karyanya dalam bentuk kombinasi biografi dan kronikel (khabar). Kelebihan dari karya al-
Jabarti yaitu dapat memberikan potret utuh masyarakat Mesir dan menjelaskan peristiwa sejarah Mesir
secara tematis. Penjelasan sejarah yang dilakukan oleh Al-Jabarti jauh dari kepentingan politik dan fokus
penulisan sejarahnya adalah sejarah dan biografi kalangan ulama dan penguasa Dinasti Mamluk. Al-
Jabarti dan Tahtawi berbeda pandangan tentang Muhammad Ali, peran mereka dalam administrasi, dan
teori politik mereka. Al-Jabarti mengkritik Muhammad Ali sebagai seorang tiran yang melanggar norma
Islam dan membebankan pajak kepada masyarakat, sementara Tahtawi menghormati otoritasnya. Ia juga
berbeda pendapat mengenai peran Nabi dan ulama, karena Nabi adalah tokoh kunci dalam negara Islam

Anda mungkin juga menyukai