Anda di halaman 1dari 67

PROPOSAL PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG

Kegiatan dakwah pada awalnya dilakukan oleh Nabi Muhammad


Saw. yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in,
dan sampailah kepada para da’i (Ridla, dkk, 2017: 21). Kegiatan dakwah
dilakukan dengan menggunakan empat metode dakwah, yaitu: tablig,
irshad, tadbir, tathwir, atau tamkin yang dilakukan dengan cara bil
hikmah, maw’izhah al-hasanah, dan mujadalah. Seiring dengan adanya
perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia, kegiatan dakwah juga
ikut mengalami perkembangan. Dakwah tidak hanya sebatas pada teknik
ceramah (tabligh), tetapi sudah mulai mengarah pada perumusan berbagai
profesi yang dimungkinkan diperankan oleh seorang da’i (Supena, dkk.,
2020: 1). Hal itu membuat pendalaman terhadap profesi dakwah mulai
berkembang.

Pengembangan profesi dakwah telah difokuskan pada beberapa


perguruan tinggi Islam, salah satunya di Universitas Negeri Islam (UIN)
Walisongo. Melalui Fakultas Dakwah dan Komunikasi, pengembangan
profesi ini dikelompokkan ke dalam lima bidang prodi yang telah
dilandaskan pada kompetensi yang dikembangkan. Prodi-prodi tersebut
adalah Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Bimbingan dan
Penyuluhan Islam (BPI), Manajemen Dakwah (MD), Pengembangan
Masyarakat Islam (PMI), dan Manajemen Haji dan Umrah (MHU).
Adanya pengembangan profesi ini diharapkan mampu memudahkan para
da’i dalam mempelajari materi-materi dakwah yang mampu membantu
menyelasaikan berbagai tantangan sosial kemasyarakatan yang menjadi
objek dakwah.

Melalui prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam, dakwah dipelajari


secara mendalam. Sarana yang digunakan pada prodi Bimbingan dan

1
Penyuluhan Islam ini adalah dengan dakwah irsyad yang diajarkan secara
teori maupun dalam praktiknya (Tajiri, 2008: 68). Pengembangan dalam
Bimbingan dan Penyuluhan Islam merupakan pengembangan ilmu tentang
bagaimana cara berdakwah secara profesional, dakwah fardhiah (dakwah
secara perorangan), berdakwah dengan cara-cara persuasif, dengan
menjadi pendengar keluhan, permasalahan, pemikiran dan harapan-
harapan dari mad'u-nya, kemudian direspon melalui teknik bicara
(wawancara konseling) yang bersumber pada teratasinya masalah yang
dihadapi oleh mad'u-nya (kliennya) (Yusuf, 2013: 8-9). Dengan adanya
pengembangan profesi ini diharapkan mampu memudahkan para da’i
dalam mempelajari materi-materi dakwah yang mampu membantu
menyelasaikan berbagai tantangan sosial kemasyarakatan yang menjadi
objek dakwah.

Da'i yang profesional perlu memiliki kualifikasi di bidang


pendidikan secara akademis dan praktis agar dapat berdakwah secara
profesional (Wangsanata, 2020: 106). Da’i dalam pengembangan dakwah
bidang Bimbingan dan Penyuluhan Islam berupa konselor, penyuluh, dan
pembimbing rohani. Menjadi da’i yang bergerak di bidang Bimbingan dan
Konseling memerlukan ilmu pengetahuan yang memadahi untuk
menjalankan tugasnya sebagai da’i (konselor, penyuluh, dan pembimbing
rohani) agar kegiatan dakwah (konseling, penyuluhan, dan bimbingan)
berjalan dengan lancar. Pencapaian itu dapat tercapai jika da’i memiliki
kompetensi yang mendukung sebagai profesional. Salah satunya untuk
menjadi konselor profesional, ia harus memiliki kualisifikasi
lisensi/sertifikat yang yang tepat sesuai dengan minat khusus dan nilai
yang dapat mempengaruhi pekerjaaannya nantinya. Hal ini dikarenakan
konselor tidak boleh memaksakan dirinya untuk menempati posisi tertentu
jika mereka tidak minat atau tidak berkualisifikasi. Dalam pekerjaaannya,
konselor bertanggung jawab secara profesional untuk berpraktik dalam
batas-batas kemampuannya (Gibson, 2011: 624).

2
Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam memberikan materi-materi
pembelajaran untuk menunjang mahasiswa agar menjadi konselor yang
profesional. Selain itu, juga terdapat progam penguatan dalam membentuk
kemampuan pengalaman praktis yang dihadirkan dalam program
praktikum. Program tersebut dirancang ke dalam Praktek Mata Kuliah
(PMK), Kuliah Kerja Lapangan (KKL), dan Praktek Pengalaman
Lapangan (PPL). Dengan adanya program-program ini sangat membantu
mahasiswa untuk menambah wawasan dan pengetahuan serta mengasah
kemampuannya terutama untuk menjadi konselor profesional.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah peneliti lakukan dengan


beberapa mahasiswa prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam mengenai
problematika akademik yang mereka alami, mahasiwa Bimbingan dan
Penyuluhan Islam memiliki beberapa permasalahan yang mereka rasakan
selama menjadi mahasiswa prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Salah
satunya yang dialami oleh UKN yang merasa kurangnya kompetensi yang
ia miliki karena terlalu banyak materi yang beragam sehingga membuat ia
kesulitan menentukan karirnya dimasa yang akan datang. Permasalahan
lainnya juga dirasakan oleh RIS, ia menyatakan bahwa ia belum memiliki
gambaran mengenai profesi yang linier dengan prodinya yang akan ia
ambil setelah lulus nantinya. Sedangkan menurut penuturan NN, prodi
Bimbingan dan Penyuluhan Islam memberikan begitu banyak teori
mengenai teknik-teknik konseling namun kurang dibarengi dengan
praktik yang nyata. Menurut KA, ia belum terlalu paham akan kompetensi
yang harus ia miliki ketika menjadi lulusan prodi Bimbingan dan
Penyuluhan Islam.

Berdasarkan pemaparan hasil wawancara yang telah peneliti


lakukan maka dapat disimpulkan bahwa beberapa mahasiswa Bimbingan
dan Penyuluhan Islam UIN Walisongo belum sepenuhnya paham akan
mengenai kompetensi yang seharusnya ia miliki ketika menjadi lulusan
prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam. Selain itu, ada juga yang belum

3
memiliki tujuan yang jelas setelah lulus dari kuliah karena kurangnya
pemahaman akan profesi mahasiswa setelah lulus. Mahasiswa juga ada
yang merasa kurang bahwa terlalu banyak teori yang didapatkan namun
sedikit untuk praktik secara nyata. Dengan demikian perlunya program
yang mampu membimbing mahasiswa menjadi lebih terarah dan yang
mampu membantunya untuk memperkaya kompetensi yang seharusnya ia
miliki. Hal ini juga dijelaskan dalam firman Allah pada surat Ar-Rad (13):
11,
‫ِب ِس ِه‬ ‫ِب ٍم‬ ‫ِإ‬
‫َّن الَّلَه اَل ُيَغِّيُر َم ا َق ْو َح ٰىَّت ُيَغِّيُر وا َم ا َأْنُف ْم‬
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
Dijelaskan dalam firman Allah swt. pada surat Ar-rad ayat 11 bahwa
Allah tidak akan memberikan sesuatu yang diinginkan hamba-Nya jika
hamba-Nya tidak melakukan usaha. Untuk itu perlu bagi mahasiswa
untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang membantunya untuk
mengembangkan kompetensinya. Dengan demikian maka perlu adanya
usaha mahasiswa dalam mengembangkan kompetensinya. Untuk itu,
prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam yang memberikan program
untuk mengembangkan kompetensi konselor sosial agama kepada
mahasiswanya melalui Benchmarking Kompetensi (BM).
Benchmarking merupakan suatu proses yang biasa digunakan
dalam manajemen atau umumnya manajemen strategis, dimana suatu
unit/bagian/organisasi mengukur dan membandingkan kinerjanya
terhadap aktivitas atau kegiatan serupa unit/bagian/organisasi lain yang
sejenis baik secara internal maupun eksternal (Shahindra, 2008: 1).
Kegiatan ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk
meningkatkan kompetensi teoretik maupun praktis mahasiswa jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan Islam agar mampu bersaing di dunia kerja,
serta untuk meningkatkan skill mahasiswa di bidang Bimbingan dan

4
Penyuluhan Islam terutama kompetensi konselor sosial agama.
Benchmarking memiliki filosofi yaitu untuk mengenali
kekurangan yang dimiliki dan mengakui bahwa seseorang melakukan
pekerjaan dengan baik. Selanjutnya mahasiswa belajar bagaimana untuk
melakukan dan mengimplementasikannya pada kegiatan tersebut. Dalam
benchmarking mahasiswa bisa belajar mengadopsi dan mengadaptasi
ide, praktek atau metode dengan seizin dari mitra benchmarking.
Benchmarking dapat diterapkan untuk produk, jasa, praktek organisasi,
dan secara luas untuk semua area yang kita ingin bandingkan kinerjanya
(Stapenhurst, 2009: 3). Benchmarking ini dapat dimasukkan ke dalam
jenis pelatihan. Pada dasarnya pelatihan merupakan suatu proses dalam
meningkatkan dan mengembangkan kualitas individu dalam menghadapi
dan menjawab berbagai tuntutan dan kebutuhan yang terus meningkat.
Kegiatan benchmarking yang dilakukan oleh prodi Bimbingan
dan Penyuluhan Islam berfokus pada kompetensi konselor sosial dan
penyuluh agama. Pelaksanaan benchmarking dilaksanakan bekerja sama
dengan Dewan Pengurus Pusat Perkumpulan Ahli Bimbingan dan
Konseling Islam (DPP PABKI), yang merupakan sebuah organisasi
profesi dan ilmuwan di bidang bimbingan, penyuluhan, dan koseling
Islam Nasional. Melalui kegiatan ini diharapkan mahasiswa Bimbingan
dan Penyuluhan Islam mampu meningkatkan kompetensi yang dimiliki
seperti konselor sosial dan penyuluh agama. Untuk desain benchmarking
untuk kompetensi konselor sosial adalah sebagai kegiatan pendidikan
dan pelatihan yang bukan hanya pengembangan teori tentang bimbingan
dan konseling Islam, tetapi dilengkapi pula dengan praktek profesi
konselor sosial keagamaan dalam berbagai latar kehidupan klien seperti
anak, remaja, lansia, pasien, dan keluarga (Supena, dkk., 2020: 9-10).
Peneliti dalam penelitian ini akan mengkaji bagaimana proses
benchmarking sehingga mampu meningkatkan kompetensi konselor pada
mahasiswa Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah
dan Komunikasi tahun 2020-2022. Karena selain program benchmarking

5
yang berfokus pada pembandingan juga terdapat pelatihan yang
menunjang pengembangan kompetensi konselor sosial agama. Menurut
Payaman Simanjuntak dalam Muhson (2012: 45), “Pendidikan dan
latihan merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengembangan
sumber daya manusia. Pendidikan dan latihan tidak hanya menambah
pengetahuan, namun juga meningkatkan keterampilan bekerja dengan
demikian meningkatkan produktifitas kerja” (Muhson, 2012: 45). Untuk
itu peneliti hendak meneliti program benchmarking tersebut.
Pemaparan bagaimana sistem benchmarking yang dilaksanakan di
Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Walisongo untuk meningkatkan kompeteni
mahasiswanya terutama pada konsentrasi konselor sosial agama akan
membantu Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam/Bimbingan dan
Konseling Islam di perguruan tinggi lain sebagai bahan acuan, selain itu
juga dapat bermanfaat untuk prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam
sendiri yaitu dengan mengetahui sejauh mana benchmarking mampu
meningkatkan kompetensi konselor dan dapat digunakan sebagai bahan
evaluasi ke depannya. Dan untuk mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan
Islam, benchmarking akan membantu mahasiswa agar memiliki
kompetensi yang profesional dibidang konseling.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan maka

dapat ditarik kesimpulan rumusan masalah yang dapat diambil adalah

1. Bagaimana pelaksanaan kegiatan Benchmarking Prodi Bimbingan


dan Penyuluhan Islam UIN Walisongo Semarang?
2. Bagaimana benchmarking mampu meningkatkan kompetensi
konselor mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam UIN
Walisongo Semarang?

6
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses kegiatan

benchmarking bagi mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam dan

kaitannya terhadap peningkatan kompetensi konselor. Penelitian ini

memiliki manfaat:

1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi pada Fakultas
dakwah dan Komunikasi khususnya pada prodi Bimbingan dan
Penyuluhan Islam terkait dengan peningkatan kompetensi konselor
melalui benchmarking.
2. Manfaat Praktis

Dilakukannya penelitian ini, diharapkan kedepannya mampu


memberikan manfaat kepada:

a. Pembaca

Penelitian ini dapat bermanfaat untuk para pembaca karena


penelitian ini memberikan wawasan pengetahuan mengenai proses
benchmarking yang diselenggarakan oleh prodi Bimbingan dan
Penyuluhan Islam Universitas Islam Negeri Walisongo serta
keterkaitannya proses benchmarking dengan peningkatan
kompetensi mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam di
bidang konselor sosial agama.

b. Peneliti Lain

Dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat menjadikan bahan


untuk acuan mengenai program untuk meningkatkan kompetensi
mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam, khususnya dibidang
konselor sosial agama melalui benchmarking. Penelitian ini juga
memberikan wawasan, pengetahuan, serta informasi kepada

7
penulis khususnya mengenai program benchmarking prodi
Bimbingan dan Penyuluhan Islam.

c. Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam di Universitas Lain

Melalui benchmarking, prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam


atau Bimbingan dan Konseling Islam di universitas lain dapat
menjadikan prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam Universitas
Negeri Walisongo sebagai bahan studi banding mengenai upaya
yang dilakukan untuk menunjang kompetensi mahasiswanya
terutama di bidang konselor sosial agama.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan pencarian penulis, peneliti menemukan beberapa penelitian


terdahulu yang dapat dijadikan sebagai rujukan sebagai tinjauan pustaka
dan untuk menghindari adanya anggapan terjadinya plagiasi tertentu.
Adapun jurnal, skripsi, dan artikel penelitian yang memiliki relevansi
dengan penelitian yang peneliti teliti adalah sebagai berikut:

a. “Program Pelatihan Bimbingan dan Konseling untuk Meningkatkan


Kompetensi Profesional Konselor di Sekolah”, jurnal yang tulis oleh
Heriyanti. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen
dengan pendekatan kuantitatif. Fokus dalam penelitian ini adalah
pada efektifitas program pelatihan bimbingan dan konseling yang
efektif dalam meningkatkan kompetensi profesional konselor di
SMA Negeri Kota Pontianak. Populasi yang diambil dalam
penelitian ini adalah konselor di SMA Negeri Kota Pontianak dengan
background lulusan Sarjana Bimbingan dan Konseling. Kelompok
eksperimen yang telah diberikan penerapan program pelatihan
bimbingan dan konseling, kompetensi profesional konselor secara
keseluruhan terdapat perbedaan antara kelompok eksperimen dan
kontrol. Rata-rata kompetensi profesional konselor kelompok
eksperimen lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontol yang

8
berarti bahwa penerapan program pelatihan bimbingan dan
konseling pada kelompok eksperimen efektif dan meningkatkan
kompetensi profesional konselor. Menurut aspek-aspek kompentensi
profesional konselor, ada tiga aspek yang tidak diberikan dalam
pelatihan nilai p > 0,05 sehingga hipotesis minor diterima, yaitu
program pelatihan bimbingan dan konseling efektif untuk
meningkatkan kompetensi profesional konselor yang dilatihkan.

b. Jurnal karya Herdi (2012) dengan judul “Model pelatihan untuk


meningkatkan kompetensi calon konselor multikultural”. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Research &
Development (R & D). Sampel yang diambil dalam penelitian ini
adalah mahasiswa kelas nonregular Jurusan Bimbingan Konseling
Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) di Universitas Negeri Jakarta
angkatan 2009 yang tengah mengikuti Perkuliahan Kajian Sosial-
Budaya dalam Bimbingan dan Konseling. Hasil penelitiannya adalah
yang pertama profil kompetensi calon konselor multicultural yang
beirisi mahasiswa (sebagai calon konselor) di jurusan Bimbingan
Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) di Universitas Negeri
Jakarta kelas non-reguler angkatan 2009 tahun akademik 2011/2012
yang telah mencapai kompetensi konseling multikultural pada
kategori kompeten 67,5% dan 34,3% sisanya belum kompeten. Hasil
pada subkompetensi kesadaran calon konselor tentang asumsi-
asumsi, nilai-nilai,keyakinan-keyakinan, dan polemik diri sendiri
berada pada ketegori kompeten 57,1% dan 42.9% sisanya belum
kompeten. Subkompetensi pengetahuan dan pemahaman terhadap
pandangan hidup konseli berada pada kategori kompeten 44,3% dan
sisanya belum kompeten 45,7%. subkompetensi keterampilan dalam
mengembangkan teknik dan strategi konseling yang tepat berada
pada kategori kompeten 77,1% dan sisanya belum kompeten 22,9%.
Kedua, model pelatihan/pendidikan (hipotetik) untuk
mengembangkan kompetensi calon konselor multikultural yang

9
dihasilkan dari penelitian ini terdiri atas: komponen kerangka kerja,
tahapan pelatihan, format pelatihan, kurikulum (isi, metode dan
proses) pelatihan, norma pelatihan, peran pendidik konselor dan
calon konselor, dan evaluasi pelatihan.

c. Skripi karya Iszul Rouf Alfansuri yang berjudul “:Upaya


Peningkatan Kompetensi Lulusan Mahasiswa Melalui Fasilitas
Penunjang Pendidikan”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kualitatif dengan metode observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Adapun dalam analisis data, penulis menggunakan
teknik yang meliputi reduksi data, display data dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa:
(1) Institut Agama Islam Negeri Ponorogo mampu mengembangkan
kompetensi lulusan mahasiswa dengan mengelompokkanya ke dalam
beberapa bidang dan ke dalam pembagian berbagai jurusan di
masing-masing fakultas dan jurusan yang dijalankan oleh para dosen
dan pihak terkait. (2) Institut Agama Islam Negeri Ponorogo
memiliki beragam fasilitas pendidikan yang diberikan dan dikelola
oleh masing-masing fakultas dan jurusan dengan harapan mampu
dimanfaatkan oleh akademisi Institut Agama Islam Negeri Ponorogo.

d. Artikel dengan judul “Konseling Religi Untuk Mengembangkan


Karakter Konseling” yang ditulis oleh Arisatul Maulana dan
Hernisawati (2017). Penelitian ini menjelaskan tentang bagaimana
konseling religi yang berperan secara strategis dalam menjaga dan
membentuk karakter peserta didik. Pembentukan karakter yang
dilakukan oleh konselor religi adalah melakukan bimbingan dan
konseling pada anak berdasarkan lima dimensi aspek religius. Hal ini
dikarenakan karakter religius ini sangat dibutuhkan oleh siswa dalam
menghadapi perubahan zaman dan degradasi moral, dalam hal ini
siswa diharapkan mampu memiliki dan berprilaku dengan ukuran
baik dan buruk yang di dasarkan pada ketentuan dan ketetapan

10
agama.

e. Artikel karya Saliyo (2017), “Akhlak Konselor Sosial Untuk


Pekerjaan Sosial dalam Perspektif Psikologi Islam”. Artikel ini
merupakan hasil dari eksplorasi literatur sumber bacaan yang
berkaitan dengan konseling sosial, pekerjaan sosial, dan psikologi
Islam dengan menggunakan metode deduktif induktif. Dengan hasil
yang diperoleh adalah jika konselor sosial hendak mendapatkan hasil
yang terbaiknya maka harus meniru akhlak Rasulullah Saw. Hal ini
dikarenakan akhlak Rasulullah juga melekat pada konselor sosial.
Berdasarkan kajian psikologi Islam, akhlak tersebut tertera pada
firman Allah dalam surat Al-Imran ayat 159. Pertama konselor sosial
senantiasa berdoa ketika dia hendak menjalankan tugas agar
mendapatkan rahmat dari Allah. Yang kedua konselor sosial
memiliki kepribadian lemah lembut. Ketiga konselor sosial tidak
memiliki akhlak yang kasar. Keempat konselor sosial memiliki
akhlak selalu memaafkan klien apabila klien bersalah dengannya.
Kelima konselor sosial selalu mengadakan musyawarah bersama
klien ketika akan memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan klien.
Keenam apabila konselor sosial memiliki tekad selalu bekerja dan
berusaha dengan keras disertai dengan tawakal kepada Allah.
Jurnal yang telah disampaikan diatas memiliki perbedaan dengan
yang akan peneliti teliti. Penelitian di jurnal pertama berfokus pada
efektivitas program yang akan digunakan untuk meningkatkan
kompetensi konselor di sekolah dan metode yang digunakannya adalah
kuasi eksperimen dengan pendekatan kuantitatif. Subjek dan variabel
penelitian pun tidak memiliki kesaaman dengan yang akan peniliti teliti.
Begitu pula pada jurnal kedua, dalam jurnal tersebut fokus penelitiannya
kepada model pelatihan untuk meningkatkan kompetensi calon konselor
multikultural dan metode yang digunakan adalah Research &
Development (R & D). Jurnal ketiga, pada skripsi tersebut penelitian
dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dengan metode

11
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Fokus penelitiannya pada
bagaimana upaya IAIN Ponorogo yang mampu meningkatkan
kompetensi mahasiswanya dengan fasilitas yang dimilikinya. Artikel
keempat berfokus pada peran konseling religi dalam menjaga dan
membentuk karakter peserta didik. Penelitian dalam jurnal kelima
dengan pembahasan bahwa untuk mendapatkan hasil konseling yang
terbaik, konselor harus memiliki akhlak yang meniru akhlak Rasulullah.
Dengan demikian tidak terdapat kesamaan antara judul yang peneliti
akan teliti dengan jurnal, skripsi, maupun artikel yang sebelelumnya
pernah diteliti. Adapun kajian yang akan peneliti teliti juga berbeda dan
metode penelitian yang peneliti juga berbeda sehingga tidak akan ada
unsur plagiarisme dalam penelitian ini.

E. KERANGKA TEORI
1. Benchmarking
a. Definisi Benchmarking
Benchmarking dalam Bahasa Indonesia memiliki arti sebagai
“Patok Duga” (Rachman, 2016: 1). Patok duga adalah proses
pembelajaran yang sistematis dan berkesinambungan untuk
menganalisis praktik kerja terbaik untuk menciptakan dan mencapai
tujuan dengan pencapaian prestasi pada kelas dunia, dengan
membandingkan setiap bagian dari perusahaan dengan perusahaan
pesaing paling terbaik di kelas dunia (Rahim, 2017: 189). Menurut
Gregory H. Watson (1996: 4), definisi dari benchmarking adalah,
“Benchmarking has been described as a search for best practices -
indeed, it is the process of comparing the performance and process
characteristics- tics between two or more organizations in order to
learn how to improve”, yang artinya benchmarking telah
digambarkan sebagai pencarian praktik terbaik, yang itu adalah
proses membandingkan kinerja dan karakteristik dari komunikasi
antara dua atau lebih organisasi untuk belajar bagaimana cara untuk

12
meningkatkan.

David T. Kearns (1991: 61), Chief Executive Officer (CEO)


dari perusahaan Xerox memberikan pendapatnya mengenai
benchmarking, “benchmarking is the continuing process of
measuring products, services, and practices against the toughest
competitors or those companies recognized as industry leaders”.
Benchmarking adalah proses pengukuran yang berkesinambungan
untuk mengukur produk, layanan dan praktik terhadap pesaing
terberat atau perusahaan yang diakui sebagai pemimpin industri.
Lalu Terry Wireman (2015: 81) mendefinisikan benchmarking,
“benchmarking is the process of continuously comparing and
measuring an organization with business leaders anywhere in the
world to gain information that will help the organization take action
improve its performance”, yang dapat diterjemahan sebagai berikut:
benchmarking adalah proses membandingkan dan mengukur secara
terus-menurus suatu organisasi dengan para peminpin bisnis di
mana pun di dunia untuk memperoleh informasi yang akan
membantu organisasi tersebut mengambil tindakan untuk
meningkatkan kinerjanya.

Peter Bogetoft (2012: 1) juga memberikan pendapatnya


tentang benchmarking. Menurutnya, “benchmarking is traditionally
thought of as a managerial tool that improve performance by
identifying and applying best documented practices”, yang dapat
diartikan bahwa benchmarking secara tradisional dianggap sebagai
alat material yang mampu meningkatkan kinerja dan menerapkan
praktik terbaik yang terdokumentasi. Berdasarkan pemikiran Robert
C. Camp dalam G. Anand dan Rambabu Kodali (2008: 258),
“benchmarking is the search for the best industry practices which
will lead to exceotional perfomance through the implementation of
these best practices”, yang artinya benchmarking adalah pencarian

13
praktik terbaik industri yang akan menghasilkan kinerja luar biasa
melalui penerapan praktik terbaik ini.

Benchmarking menurut Per V. Freytag dan Svend Hollensen


didefinisikan sebagai proses peningkatan efisiensi independen
berdasarkan analisis tingkat kinerja yang ada dari unit atau objek
perusahaan yang diperiksa dan perbandingan dengan tingkat
organisasi lainnya; dan identifikasi penyebab “kesenjangan” kinerja
sebagai dasar untuk rekonfigurasi optimal kegiatan perusahaan
(Freytag, 2001: 26). Sedangkan menurut Muhammad Mu’tasim
Billah, benchmarking merupakan metode perbandingan
berkelanjutan meningkatkan kualitas organisasi sehingga
menghasikan kualitas terbaik (Billah, 2020: 1). Sedangkan
benchmarking (patok duga) oleh Sutarto Hp (2015: 140)
didefinisikan sebagai “pembandingan” karena dilakukan dengan
membandingkan dan mencari untuk menemukan hal-hal baru yang
perlu dan sesuai dengan modifikasi yang diperlukan, untuk
diterapkan di intuasi.

Dari berbagai definisi yang telah dipaparkan di atas, maka


dapat ditarik kesimpulan bahwa benchmarking adalah proses
membandingkan dan mengukur secara kontinue pada suatu
organisasi lain untuk menemukan hal-hal baru yang dibutuhkan dan
sesuai untuk kemudian dimodifikasikan dan diterapkan guna
meningkatkan kinerja dan menerapkan praktik terbaik yang
terdokumentasi yang hasil dari benchmarking dapat digunakan
sebagai bahan patokan untuk kedepannya.
b. Tujuan Benchmarking
Dalam mempertimbangkan bagaimana melakukan
benchmarking, perlu untuk meninjau tujuan benchmarking. Salah
satu tujuannya adalah diharapkannya organisasi kita mampu
berkembang menjadi yang terbaik (Rahim, 2017: 151).

14
Benchmarking juga bertujuan untuk menemukan kunci atau
rahasia sukses lembaga pendidikan lain kemudian diadaptasi,
diseleksi, dan ditingkatkan untuk diterapkan pada lembaga
pendidikan yang melakukan benchmarking (Lubis, 2016: 18).
Rachman (2013: 2) mengemukakan bahwa tujuan utama dari
benchmarking adalah untuk menemukan kunci atau rahasia sukses
dari suatu lembaga pendidikan yang terbaik di kelasnya,
kemudian mengadaptasi dan menyempurnakannya untuk
diterapkan pada lembaga yang melakukan benchmarking di
berbagai bidang. Benchmarking bukan sekedar mengumpulkan
data, tetapi yang lebih penting adalah apa rahasia dibalik
pencapaian kinerja dari segi data yang diperoleh. Dengan
demikian, tujuan benchmarking adalah untuk menemukan kunci
atau rahasia sukses dari suatu lembaga atau organisasi yang
terbaik di kelasnya yang selanjutnya akan diadaptasi dan
disempurnakan agar dapat menjadi lembaga atau organisasi yang
terbaik.
c. Evolusi Konsep Benchmarking

Dalam terbentuknya proses benchmarking, dapat terjadi


melalui beberapa tahapan, yaitu:
1) Tahap pertama
Tahap awal muncul, benchmarking dipandang sebagai rekayasa
terbalik atau analisis produk kompetitif yang berorientasi pada
produk. Tahap ini rekayasa terbalik cenderung menjadi
pendekatan teknis yang berbasis rekayasa bagi perbandingan
produk yang mencakup pembongkaran dan evaluasi terhadap
karakteristik produk yang bersifat teknis.

2) Tahap kedua

Tahap kedua disebut dengan benchmarking kompetitif yaitu


bergerak melewati perbandingan yang berorientasi pada produk

15
untuk mencakup perbandingan terhadap proses-proses dari para
pesaing.

3) Tahap ketiga

Pada tahap ini disebut benchmarking proses yang muncul ketika


banyak eksekutif pengawas mutu mengakui bahwa proses
pembelajaran terhadap produk akan lebih mudah jika dilakukan
terhadap perusahaan-perusahaan diluar industri mereka daripada
studi-studi mengenai daya saing.

4) Tahap keempat

Tahap keempat disebut juga dengan benchmarking strategi.


Benchmarking ini didefinisikan sebagai proses sistematis untuk
mengevaluasi alternatif-alternatif, mengimplementasikan strategi
dan meningkatkan kinerja dengan memahami dan menghadapi
strategi-strategi sukses dari mitra eksternal yang berperan dalam
aliansi-aliansi yang berkesinambungan.
5) Tahap kelima
Tahap kelima atau tahap terakhir dari implementsi benchmarking
adalah benchmarking global. Berdasarkan pendapat ini, masa
depan benchmarking tertelak pada aplikasi global, dimana
terdapat perbedaan- perbedaan proses budaya serta proses bisnis
antar perusahaan yang di jembatani dengan aplikasi untuk
pengembangan proses bisnis (Lubis: 2016: 16-17).

Gregory H. Watson (2017: XXXVi-XXXViii) berpendapat


bahwa konsep benchmarking telah berkembang menjadi
setidaknya lima generasi, sebagai berikut:
1) Reverse Engineering
Pada tahap ini dilakukan perbandingan karakteristik produk,
fungsi, dan kinerja produk terhadap produk sejenis dari pesaing.
2) Competitive Benchmarking

16
Selain benchmarking pada karakteristik produk, benchmarking
juga dilaksanakan pada benchmarking proses yang memungkinkan
produk yang dihasilkan menjadi produk unggulan.
3) Process Benchmarking
Mempunyai cakupan yang lebih luas dengan asumsi dasar bahwa
beberapa proses bisnis memimpin perusahaan yang sukses
memiliki kesamaan dengan perusahaan yang sukses memiliki
kesamaan dengan perusahaan yang akan melaksanakan
benchmarking.
4) Strategic Benchmarking
Merupakan proses sistematis untuk mengevaluasi alternatif,
menerapkan strategi bisnis dan menghasilkan kinerja dengan
memahami dan mengadaptasi strategi yang telah berhasil dilakukan
oleh mitra eksternal yang telah berpartisipasi dalam aliansi bisnis.
Membahas hal-hal yang terikat dengan arah strategis jangka
panjang.
5) Global Benchmarking
Meliputi semua generasi sebelumnya dengan tambahan bahwa
cakupan geografisnya mengglobal dibandingkan dengan mitra
global dan pesaing global.

Evolusi atau perkembangan benchmarking menurut beberapa ahli


diatas secara keselurahan memiliki persamaan. Benchmarking
telah berkembang dari lima generasi, yang dimulai dari Reverse
Engineering, Competitive Benchmarking, Process Benchmarking,
Strategic Benchmarking, dan Global Benchmarking.
d. Asas Benchmarking
Menurut Pawitra dalam Rachman (2013: 2), terdapat beberapa
asas dari benchmarking, antara lain:

1) Benchmarking merupakan kiat untuk mengetahui tentang


bagaimana dan mengapa suatu perusahaan yang memimpin dalam

17
suatu industri dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih
baik dibandingkan dengan yang lainnya.

2) Fokus dari kegiatan benchmarking diarahkan pada praktik terbaik


dari perusahan lainnya. Ruang lingkupnya semakin diperluas
yakni dari produk dan jasa, menjalar kearah proses, fungsi,
kinerja organisasi, logistik, pemasaran, dan lainnya.
Benchmarking juga merupakan wujud dari perbandingan yang
dilakukan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang
panjang tentang praktik dan hasil dari perusahaan yang terbaik
dimanapun perusahaan itu berada.

3) Praktik benchmarking berlangsung secara sistematis dan terpadu


dengan praktik manajemen lainnya, misalnya total quality
management (TQM), corporate reengineering, analisis pesaing,
dan lainnya.

4) Kegiatan benchmarking perlu keterlibatan dari semua pihak yang


berkepentingan, pemilihan yang tepat tentang apa yang akan di-
benchmarking-kan, pemahaman dari organisasi itu sendiri,
pemilihan mitra yang cocok, dan kemampuan untuk
melaksanakan apa yang ditemukan dalam praktik bisnis.
Philip H. Meade (2007: 5) berpendapat bahwa ada beberapa
asas dalam benchmarking, yaitu:
1) Benchmarking merupakan proses memahami apa yang penting
bagi keberhasilan organisasi kita.
2) Benchmarking adalah proses menemukan dan mempelajari secara
terencana dan sistematis.
3) Benchmarking ialah proses yang berkelanjutan dan sistematis
untuk mengukur dan membandingkan proses kinerja suatu
organisasi dengan yang lain.
4) Benchmarking lebih dari sekedar mengumpulkan data.
5) Benchmarking merupakan proses sistematis yang berkelanjutan

18
untuk mencari dan memperkenalkan praktik terbaik ke dalam
suatu organisasi sedemikian rupa sehingga semua bagian
organisasi memahami dan mencapai potensi penuh mereka.
e. Jenis Benchmarking
Menurut Suluri (2019: 84), ada dua jenis benchmarking, yaitu
benchmarking internal dan benchmarking eksternal.
Benchmarking internal merupakan upaya membandingkan standar
antar prodi/fakultas/perguruan tinggi. Benchmarking internal dapat
dilakukan antar program studi dalam satu perguruan tinggi atau
antar unit kerja/prodi dalam satu perguruan tinggi tersebut.
Sedangkan benchmarking eksternal adalah upaya membandingkan
standar internal lembaga dengan standar eksternal lembaga lain.
Benchmarking eksternal dapat dilakukan di institusi atau
universitas lain, baik yang melibatkan program studi tertentu atau
unit kerja/prodi tertentu, baik di dalam maupun di luar negeri.

Per V. Freytag dan Svend Hollenson (2001: 26) berpendapat


bahwa terdapat berbagai jenis benchmarking yang dapat dilakukan
oleh para perusahaan atau oraganisasi.

1) Internal benchmarking

Benchmarking terhadap operasi internal adalah salah satu


bentuk dari benchmarking yang paling sederhana karena
sebagian besar perusahaan memiliki fungsi yang sama di dalam
unit bisnis mereka. Manfaat langsung datang dari
mengidentifikasi prosedur internal terbaik, dan kemudian
mentransfernya ke bagian lain dari organisasi.

2) Industry (fungsional) benchmarking

Benchmarking industri (fungsional) merupakan pengukuran


berbagai aspek dari operasi fungsional perusahaan dan
perbandingannya dengan pengukuran serupa dari perusahaan

19
lain (seringkali pemimpin industri) dalam kelompok industri.
Banyak kelompok industri mempublikasikan data komparatif
baik secara pribadi (untuk anggota kelompok) atau publik atau
keduanya.

3) Competitive benchmarking

Benchmarking ini digunakan pada pesaing langsung. Dilakukan


secara eksternal, tujuannya adalah untuk membandingkan
perusahaan yang menawarkan produk, layanan, atau proses
yang bersaing di pasar yang sama. Dengan pesaing langsung,
informasi tidak mudah diperoleh. Informasi domain publik
yang paling mudah untuk diakses.

4) Process (generic) benchmarking

Proses benchmarking ini memiliki prosedur serupa di


perusahaan yang berbeda. Meski dinilai relatif efektif, namun
sulit untuk diterapkan. Proses benchmarking membutuhkan
konseptualisasi yang menyeluruh tentang prosedur.
Ada beberapa jenis benchmarking yang dapat digunakan untuk
melakukan sebuah proyek benchmarking, diantaranya adalah:
1) Internal
Benchmarking internal biasanya memperhitungkan departemen
atau proses yang berbeda dalam sebuah pabrik. Benchmarking
jenis ini memiliki beberapa keunggulan, yaitu data dapat
dikumpulkan dengan mudah untuk membandingkan data karena
banyak faktor tersembunyi (enabler) tidak harus diperiksa dengan
cermat
2) Similar industry/competitive
Pembandingan serupa atau kompetitif industri melibatkan mitra
eksternal dalam industri atau proses serupa. Dalam banyak proyek
benchmarking mungkin sulit dilakukan di beberapa industri,
tetapi banyak perusahaan terbuka untuk berbagi informasi,

20
selama itu bukan hak miliki pribadi.
3) Best practice
Benchmarking praktik terbaik berfokus pada menemukan
pemimpin yang tidak terbantahkan dalam proses benchmarking.
Pencarian ini akan melalui sektor industri dan lokasi geografis.
Pendekatan ini memberikan kesempatan untuk mengembangkan
“strategi terobosan” untuk industri tertentu (Wireman, 2017: 94).
Menurut Abd. Rahman Rahim dan Enny Radjab (2017: 193)
ada empat jenis dasar benchmarking secara umunya, yaitu:
1) Patok duga internal
Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan operasi satu
bagian dengan bagian internal lainnya dalam satu organisasi.
Yang dapat dibandingkan adalah kinerja masing-masing
departemen, divisi, cabang dalam satu perusahaan yang sama
yang terbesar secara goegrafis.
2) Patok duga kompetetif
Pendekatan dilaksanakan dengan melakukan perbandingan
dengan berbagai pesaing. Faktor yang dibandingkan dapat berupa
karakteristik produk, kinerja, dan fungsi dari produk yang sama
yang dihasilkan oleh pesaing di pasar yang sama.
3) Patok duga fungsional
Pada benchmarking fungsional, diadakan perbandingan fungsi
atau proses perusahaan di berbagai industri.
4) Patok duga genetik
Benchmarking genetik adalah perbandingan proses bisnis
fundemental yang cenderung sama di setiap industri. Karena
prosesnya sama di setiap perusahaan, misalnya menerima
pesanan, layanan pelanggan, dan pengembangan strategi, maka
dimungkinkan untuk melakukan patok duga meskipun perusahaan
berada di bidang industri yang berbeda.

21
Sedangkan menurut Taufiqur Rachman (2013: 6), ada empat
cara yang bisanya digunakan dalam melaksanakan benchmarking,
yaitu:
1) Riset in-house
Dilaksanakan dengan melakukan penilaian pada informasi dalam
perusahaan sendiri maupun pada informasi yang ada di
masyarakat.
2) Riset pihak ketiga
Dalam pencarian data dan informasi yang sulit didapatkan
dilakukan dengan menggunakan jasa pihak ketiga.
3) Pertukaran langsung
Pertukaran informasi dengan perusahaan mitra benchmarking
dilakukan secara langsung melalui kuesioner, survei dengan
media telepon atau lainnya.
4) Kunjungan langsung
Dilakukan dengan melakukan kunjungan langsung ke tempat
(lokasi) mitra benchmarking untuk saling tukar informasi.
Selain keempat jenis dasar tersebut, terdapat pula jenis khusus,
seperti benchmarking stategis (pelaksanaan benchmarking pada level
strategis), benchmarking operasional (hanya ruang lingkupnya yang
berbeda dengan benchmarking strategis), benchmarking global
(perpanjangan benchmarking strategis, termasuk benchmarking
mitra global).
f. Proses Benchmarking
Saat melakukan benchmarking terdapat langkah-langkah yang
diperlukan untuk mencapai benchmarking yang sukses, (Wireman,
2017: 98), langkah-langkah tersebut adalah:
1) Conduct internal analysis (melakukan analisis internal)
2) Identify areas for improvement (mengidentifikasi area untuk
perbaikan)
3) Find partners (menemukan pasangan)

22
4) Make contact, develop questionnaire, and perform site visits
(melakukan kontak, mengembangkan kuisioner, dan melakukan
kunjungan lapangan)
5) Compile results (menyusun hasil)
6) Develop and implement improvements (mengembangkan dan
menerapkan perbaikan)

7) Do it again (melakukannya lagi)

Karlof dan Ostblom dalam (Wince, 2018: 30-31) menjelaskan


terdapat lima tahapan dalam benchmarking, yaitu:
1) Menentukan apa yang akan di-benchmark
Dalam melakukan benchmarking, langkah pertama yang
dilakukan adalah memulai dari kebutuhan organisasi akan
informasi benchmarking. Apakah latihannya akan
memfokuskan pada kualitas yang akan dirasakan oleh
konsumen atau pada produktivitasnya, dan apa yang menjadi
faktor kritis bagi keberhasilan kinerja dari operasi yang ingin
dibandingkan. Banyak aspek dari suatu perilaku dan kinerja
organisasi yang dapat di-benchmark.
2) Mengidentifikasi pasangan benchmarking
Agar mendapatkan hasil benchmarking yang terbaik maka
diperlukannya pembanding yang terbaik pula. Untuk itu
dalam menentukan pasangan benchmmarking dibutuhkan
identifikasi yang matang. Pasangan benchmarking yang baik
tidak hanya unggul dalam bidangnya saja, namun juga dapat
dibandingkan dengan organisasi sendiri sebagai tingkatan
tertinggi yang mungkin dicapai.
3) Mengumpulkan informasi
Mengumpulkan informasi bukan berarti hanya masalah
data keuangan dan kuantitatif, tetapi juga mengidentifikasi dan
mendokumentasikan kandungan operasi, proses, dan seterusnya

23
yang menjelaskan dan membantu kita untuk memahami kinerja
suatu organisasi. Tahap pengumpulan data atau informasi
memerlukan kesungguhan usaha dan sistematis untuk
menciptakan patokan (benchmarking) yang bermanfaat dan
dapat dipercaya.
4) Menganalisis
Langkah selanjutnya adalah menganalis, dimana dalam
langkah ini diperlukan kemampuan analitis dan kreativitas yang
tinggi dari seluruh proses benchmarking. Analisa tidak hanya
berupa mengidentifikasikan persamaan-persamaan dan
perbedaan-perbedaan, tetapi juga memahami hubungan dengan
kandungan operasi yang mendasarinya. Mengenal faktor-faktor
yang tidak dapat dibandingkan dan yang tidak dapat
dipengaruhi sangat diperlukan karena keduanya akan
mempengaruhi bagaimana hasil dari analisis.
5) Menerapkan
Langkah terakhir dalam benchmarking adalah menerapkan
peningkatan-peningkatan. Selain itu, juga diperlukan
pengembangan organisasi dan pemindahan fokusnya sehingga
menuju pada perilaku yang berorientasi kinerja. Organisasi
harus menentukan sasaran yang realistis berdasarkan pada
potensi peningkatan yang diungkapkan oleh celah perbedaan
benchmarking. Sasaran-sasaran tersebut harus dirinci dan
diadaptasikan agar sesuai dengan struktur organisasi dan
dikomunikasikan pada orang-orang yang terlibat.

Menurut Per V. Freytag dan Svend Hollenson (2001:


26-27), benchmarking bisanya melibatkan enam tahap utama,
yaitu:

1) Putuskan fungsi bisnis apa yang akan dijadikan pembanding


dengan mengevaluasi Key Success Factors (KSF).

24
2) Mengevaluasi pentingnya setiap mata pelajaran (KSF).
3) Identifikasi terhadap siapa yang akan dijadikan pembanding
(menentukan mitra benchmarking)
4) Mengumpulkan informasi benchmarking.
5) Bandingkan “terbaik dikelasnya” dengan kinerja perusahaan
itu sendiri (mengidentifikasi kesenjangan kinerja).

6) Implikasi benchmarking (bagaimana keterampilan/proses


perusahaan dapat ditingkatkan dengan belajar dari “terbaik di
kelasnya”).
Dari beberapa proses benchmarking diatas, dapat diperoleh
kesimpulan bahwa benchmarking dilakukan dengan: (1)
Menganalisis organisasi kita, (2) Menentukan apa yang akan di-
benchmark, (3) Menentukan pasangan benchmarking, (4)
Mengumpulkan informasi benchmarking, (5) Menyusun dan
menganalisis hasil, (6) Melakukan pengembangan dari hasil, dan (7)
Melakukannya kembali.
2. Kompetensi Konselor
a. Definisi Kompetensi Konselor Sosial Agama
Secara etimologis, kata konseling berasal dari kata “counsel”
yang diambil dari bahasa latin “Counsilium” yang memiliki arti
“bersama” atau “berbicara bersama”. Sedangkan dalam bahasa
Anglo-Saxon, istilah konseling berasal dari kata “Sellan” yang
memiliki arti “menyerahkan” dan “menyampaikan” (Prayitno,
2013: 99). Dengan demikian, kata kunci yang dapat ditarik dari
pengertian konseling adalah proses interaksi antara pihak yang
profesional dengan pihak bermasalah yang lebih menekankan pada
memberi saran yang disarankan (Tarmizi, 2018: 20).

Bruce Shertzer dan Shelly C. Stone dalam (Masdudi, 2015: 9),


mendefinisikan konseling sebagai upaya membantu individu
melalui proses interaksi yang memahami diri dan lingkungannya,

25
mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan berdasarkan
nilai yang diyakininya sehingga klien merasa bahagia dan efektif
perilakunya. Menurut John McLeod, konseling merupakan
percakapan pribadi yang bertujuan yang timbul dari niat satu orang
(pasangan atau keluarga) untuk merenungkan dan menyelesaikan
masalah dalam hidup, dan kesediaan orang lain untuk membantu
dalam upaya itu (McLeod, 2013: 7). Sunil berpendapat bahwa
konseling merupakan proses yang terjadi ketika klien dan konselor
meluangkan waktu untuk mengeksplorasi kesulitan yang mungkin
termasuk perasaan stres atau emosi klien (Krishnan: 5).

Prayitno dan Eman Amti menjelaskan konseling sebagai


proses pemberian bantuan yang dilakukann melalui wawancara
konseling oleh seorang ahli atau yang disebut sebagai konselor
kepada individu yang sedang mengalami sesuatu masalah atau
klien yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh
klien (Prayitno, 2013: 105). Sulistyarini dan Mohammad Jauhar
berpendapat bahwa konseling merupakan hubungan pribadi yang
dilakukan secara tatap muka antara dua orang, di mana melalui
hubungan itu, konselor memiliki kemampuan-kemampuan khusus
untuk mengkondisikan situasi belajar (Sulistyarini, 2014: 28).
Konseling merupakan proses bantuan secara tatap muka yang
diberikan oleh seorang yang berprofesi di bidang konseling kepada
individu yang mempunyai kesulitan sehingga individu tersebut
memperoleh kebahagiaan (Hartini, 2017: 235).

Subandi, dkk. (2018: 18) mengartikan konseling sebagai


proses bantuan yang diberikan kepada individu atau pemecahan
masalah dalam kehidupannya dengan cara wawancara tatap
muka dengan bantuan pemecahan masalah sesuai dengan
permasalahan individu tersebut yang sedang terjadi atau sedang
dihadapi. Konseling adalah suatu proses bantuan profesional antara

26
konselor dan kilen yang bertujuan untuk membantu individu
(klien) dalam memecahkan masalah agar individu dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya sesuai dengan potensi
atau kemampuannya (Mulawarman, 2016: 4). Konseling juga
dapat diartikan sebagai perubahan. Perubahan yang dimaksud
adalah perubahan yang terjadi pada klien setelah adanya proses
interaksi atau hubungan yang unik antara konselor dan klien.
Tingkah laku, konstruk pribadi, kemampuan untuk mengatasi
situasi-situasi hidup, dan pengetahuan dan ketrampilan pembuatan
keputusan adalah perubahan yang diharapkan akan terjadi
(Kibtiyah, 2017: 10).

Konseling merupakan segala bentuk hubungan antara dua


orang (konselor dan klien atau konseli). Klien atau konseli dibantu
untuk lebih mampu menyesuaikan diri secara efektif dengan
dirinya dan lingkungannya. Suasana hubungan ini meliputi
penggunaan wawancara untuk memperoleh dan memberikan
berbagai informasi, melatih dan mengajar, meningkatkan
kedewasaan, dan memberikan bantuan melalui pengambilan
keputusan dan upaya terapi atau penyembuhan. Istilah konseling
juga memiliki arti yang lebih luas dan mencakup bidang yang lebih
spesifik, seperti upaya pembinaan kesehatan jiwa, sebagai upaya
pemberian terapi psikis (Riyadi, 2021: 20).

Menurut Hartono dan Boy Soedarmadji konseling merupakan


pemberian bantuan profesional oleh konselor kepada konseli atau
kelompok konseli dengan menggunakan teori-teori pendidikan dan
psikologis yang berbasis budaya, selaras dengan karakteristik
konseli atau kelompok konseli guna memfasilitasi
perkembangannya dengan menggunakan berbagai sumber dan
teknologi informatika, sehingga konseli atau kelompok konseli
dapat mengatasi kelemahan dan hambatan (budaya) dalam

27
menjalankan tugas-tugas perkembangannya secara optimal,
kemandirian, dan kebahagian dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara (Hartono, 2015: 30).

Seorang konselor merupakan pelaku dari pemberian proses


konseling. Jika melihat penjelasan mengenai definisi dari
konseling maka dapat ditarik kesimpulan bahwa konselor adalah
seorang ahli profesional yang membantu individu (klien) yang
memiliki permasalahan agar individu tersebut mampu
memecahkan atau menyelesaikan permasalahannya sendiri,
mampu menjalankan tugas-tugas perkembangannya secara
optimal, memiliki kemandirian, dan kebahagian dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dilakukan melalui
wawancara konseling dengan menggunakan teori-teori pendidikan
dan psikologis yang berbasis budaya, selaras dengan karakteristik
konseli atau kelompok konseli guna memfasilitasi
perkembangannya dengan menggunakan berbagai sumber dan
teknologi informatika.

Namora Lumongga Lubis menjelaskan konselor sebagai pihak


yang membantu klien dalam proses konseling. Konselor juga
bertindak sebagai penasihat, guru, konsultan yang mendampingi
klien sampai klien dapat menemukan dan mengatasi masalah yang
dihadapinya (Lubis, 2013: 21). Nurul Hartini dan Atika Dian
Ariana mendefinisikan konselor sebagai seseorang yang
mempunyai latar pendidikan, kepribadian, dan cara kerja
sistematis terkait dengan profesinya, memiliki etika yang harus
dipatuhi serta hubungannya dibangun atas sebuah kontrak
kesepakatan tertentu (Hartini, 2016: 8).

Konselor menurut Henni Syafriana dan Abdillah Nasution


(2019: 232) adalah seorang pengampu pelayanan bimbingan dan
konseling, terutama dalam jalur pendidikan formal dan informal.

28
Jamal Ma’mur Asmani dalam (Adawiyah, 2015: 76) juga
berpendapat bahwa konselor merupakan seorang psikolog yang
pandai dalaam menyelami dunia anak secara mendalam. Ia juga
cepat mengindentifikasi, memetakan, dan menemukan penyebab
masalah, lalu menyusun formula imliah untuk menanganinya
dengan langkah dan solusi yang cerdas, efisien, dan aplikatif.

Makmun Khairani mendefinisikan konselor sebagai seseorang


yang karena kewenangan dan keahliannya memberi bantuan
kepada konseli. Konselor juga berarti seseorang yang memiliki
keahlian dalam melakukan konseling (Khairani, 2014: 12-13).
Sedangkan konselor menurut Richard Nelson-Jones adalah
seseorang yang mendapat latihan yang sesuai dan qualified, yang
menggunakan keterampilan konseling dalam menjalankan profesi
konseling (Jones, 2012: 413).

Selanjutnya, konseling sosial didefinisikan sebagai upaya


pemberian bantuan yang diberikan untuk mewujudkan tatanan
kehidupan yang sejahtera untuk individu, keluarga, dan
masyarakat yang meliputi rasa keselamatan, kesusilaan, keamanan,
ketertiban, dan ketentraman baik lahir maupun batin, hal ini akan
terwujud melalui berbagai kerja sama dan tangggung jawab
bersama antara pemerintah dan masyarakat (Laela, 2017: 11).
Sehingga konselor sosial dapat di definisikan sebagai seseorang
profesional memberikan bantuan untuk mewujudkan tatanan
kehidupan yang sejahtera untuk individu, keluarga, dan masyarakat
yang meliputi rasa keselamatan, kesusilaan, keamanan, ketertiban,
dan ketentraman baik lahir maupun batin, hal ini akan terwujud
melalui berbagai kerja sama dan tangggung jawab bersama antara
pemerintah dan masyarakat.

Sutirna (2013: 162) berpendapat bahwa konseling Islami


adalah suatu usaha untuk membantu individu dalam

29
menanggulangi penyimpangan perkembangan fitrah beragama
yang dimilikinya sehingga ia kembali menyadari peranannya
sebagai khalifah di bumi dan berfungsi untuk menyembah Allah
Swt. dengan demikian, terciptanya kembali hubungan baik dengan
Allah Swt., manusia, dan alam semesta. Konseling Islami juga
dapat berarti bantuan yang diberikan kepada klien (orang yang
bermasalah) oleh seseorang yang ahli dalam bidang konseling
untuk membantu klien memecahkan permasalahannya sesuai
dengan tuntunan Al-Quran dan hadits, sehingga klien mampu
menggunakan potensi-potensinya untuk menghadapi hidup dan
kenyataan hidup dengan wajar dan benar (Erhamwilda, 2009: 100).
Konseling Islam juga berarti membantu seorang klien agar kembali
bisa hidup selaras dengan fitrah tauhidnya dan mendapatkan
kebahagian serta kesejahteraan hidup di dunia dan akherat, serta
selamat dari api neraka (Komarudin, 2015: 228).

Berdasarkan definisi-definisi diatas maka konselor agama


(Islam) adalah seseorang profesional dalam bidang konseling untuk
membantu klien memecahkan permasalahannya sesuai dengan
tuntunan Al-Quran dan hadits, sehingga klien mampu
menggunakan potensi-potensinya untuk menghadapi hidup dan
kenyataan hidup dengan wajar dan benar serta mampu
menanggulangi penyimpangan perkembangan fitrah beragama
yang dimilikinya sehingga ia kembali menyadari peranannya
sebagai khalifah di bumi dan berfungsi untuk menyembah Allah
Swt. dengan demikian, terciptanya kembali hubungan baik dengan
Allah Swt., manusia, dan alam semesta.

Dari beberapa definisi konselor, konselor sosial, dan konselor


agama (Islam), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi
konselor sosial agama adalah seorang ahli atau profesional
dibidang konseling yang membantu individu (klien) yang memiliki

30
permasalahan dengan menggunakan tuntunan Al-Quran dan hadits
sebagai landasannya agar individu tersebut mampu memecahkan
atau menyelesaikan permasalahannya sendiri, mewujudkan tatanan
kehidupan yang sejahtera untuk individu, keluarga, dan masyarakat
yang meliputi rasa keselamatan, kesusilaan, keamanan, ketertiban,
dan ketentraman baik lahir maupun batin, hal ini akan terwujud
melalui berbagai kerja sama dan tangggung jawab bersama antara
pemerintah dan masyarakat.

Setelah mengetahui definisi konselor sosial agama, maka


selanjutnya adalah definisi kompetensi. Kompeteni (competence)
secara umum berarti seorang profesional yang berkualifikasi
mampu, dan mampu memahami serta melakukan sesuatu dengan
cara tertentu tepat dan efektif. Wibowo berpendapat bahwa
kompetensi merupakan pengetahuan, sikap dan keterampilan yang
harus ada dalam seseorang untuk menunjukkan perilakunya
sebagai konselor (Wibowo, 2019: 202). Hikmawati dalam
(Syafriana, 2019: 233) mendefinisikan kompetensi merupakan
kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral yang harus
dimiliki konselor untuk membantu klien. Kompetensi menurut
Sugeng Pujileksono, dkk. adalah spesifikasi setiap sikap,
pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta penerapannya
secara efektif dalam pekerjaan sesuai dengan standard kinerja yang
dipersyaratkan (Pujileksono, 2018: 153).

Menurut Egan dalam (Mulyadi, 2015: 122), kompetensi


menunjuk kepada apakah konselor memiliki pengetahuan,
informasi, dan keterampilan untuk membantu. Kompetensi
berhubungan dengan pengetahuan yang menyangkut proses
psikologis, asesmen, etik, keterampilan klinis, keterampilan teknis,
kemampuan untuk menilai, dan eefektivitas pribadi. Sedangkan
kompetensi konselor adalah kemampuan untuk melakukan tindak

31
nyata yang diwujudkan dalam kualitas fisik, intelektual, emosional,
sosial, dan moral sebagai orang yang berguna sehingga mampu
melaksanakan tugas khusus yang tingkat kesulitannya lebih dari
dan mengakibatkan tercapainya tingkat kemampuan, keterampilan,
dan pengetahuan yang tinggi dari ahli konseling yang berlatar
belakang sarjana bimbingan dan konseling (Heriyanti, 2007: 107).

Kompetensi berhubungan dengan pengetahuan yang


menyangkut proses psikologis, assesment, kode etik, keterampilan
klinis, keterampilan teknis, kemampuan untuk menilai, dan
efektivitas pribadi (Lubis, 2013: 21). Kompetensi konselor juga
dapat berarti kemampuan yang dimiliki oleh konselor dalam
pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah yang
menguasai konsep dan penghayatan serta dapat memadukan
pengetahuan, keterampilan nilai, dan penampilan pribadi yang
bersifat membantu (Syafriana, 2019: 234).

Kompetensi konselor sosial agama berarti kemampuan yang


harus dimiliki oleh seorang ahli atau profesional dibidang
konseling untuk melakukan tindak nyata yang diwujudkan dalam
kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral yang
nantinya akan membantu individu (klien) yang memiliki
permasalahan dengan menggunakan tuntunan Al-Quran dan hadits
sebagai landasannya.
b. Aspek-Aspek Kompetensi Konselor Sosial Agama
Kompetensi konselor merupakan kemampuan yang harus
dimiliki oleh seorang konselor, terlebih untuk konselor profesional.
Samuel T. Gladding menjelaskan bahwa konselor merupakan
orang yang mendengarkan orang lain dan membantu mereka
mengatasi kesulitannya (Gladding, 2012: 4). Konselor pada buku
Standar Kompeteni Konselor Indonesia dalam (Hartono, 2015: 50)
dijelaskan sebagai tenaga profesional bimbingan dan konseling

32
(guidance and counseling) yang harus mempunyai sertifikasi dan
lisensi untuk melaksanakan layanan profesional bagi masyarakat.

Syumsu Yusuf dan Juntika Nurihsan menjelaskan bahwa yang


dimaksud dengan kompetensi konselor adalah memiliki kualitas
fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral sebagai pribadi yang
berguna. Kompetensi sangat penting bagi konselor karena klien
yang dikonselingi akan belajar dan mengembangkan kompetensi-
kompetensi yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang
efektif dan bahagia. Dalam hal ini, konselor berperan untuk
mengajar kompetensi-kompetensi tersebut kepada klien (Yusuf,
2008: 39). Kompetensi konselor dikembangkan dan dirumuskan
atas dasar kerangka fikir yang menengaskan konteks tugas dan
ekspektasi kinerja konselor. Konteks tugas konselor berada dalam
kawasan pelayanan yang bertujuan mengembangkan potensi dan
memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan
untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan
peduli kemaslahatan umum (Syafaruddin, dkk., 2017: 72).

Larson, dkk. membangun model yang memecahkan


kompetensi konselor (yang mereka sebut sebagai ‘kemajuan diri
konselor’) menjadi lima bidang, yaitu: keterampilan mikro,
proses, berurusan dengan perilaku klien yang sulit, kompetensi
budaya dan kesadaran nilai. Sedangkan Beutlet, dkk.
mengidentifikasikan beberapa kategori ‘variabel konseling’ yang
telah dipelajari dalam kaitannya dengan kompetensi, yaitu:
kepribadian, kesejahteraan emosional, sikap dan nilai, sikap
hubungan (misalnya empati, kehangatan, keramahan), atribut
pengaruh sosial (misalnya: keahlian, kepercayaan, daya tarik,
kredibilitas dan persuasi), harapan, latar belakang profesional, gaya
intervensi dan penguasaan prosedur teknis serta alasan teoritis.
Roth dan Pilling juga mengidentifikasi kompetensi yang

33
dibutuhkan oleh konselor, yaitu: kognitif-perilaku, humanistik,
psikodinamik dan sistemik (McLeod, 2013: 612).

John McLeod (2013: 612-613) juga membagi kompetensi


konselor menjadi beberapa bagian. Menurutnya kompetensi
konselor dibagi menjadi tujuh bagian, yakni:
1) Keterampilan interpersonal
Konselor dapat dikatakan kompeten jika mampu menunjukkan
pendengaran yang tepat, berkomunikasi, memiliki empati,
kehadiran, kesadaarn komunikasi non-verbal, kepekaan
terhadap kualitas suara, responsif terhadap ekspresi emosi,
pengambilihan, penataan waktu, dan penggunaan bahasa.
2) Keyakinan dan sikap pribadi
Selanjutnya konselor yang kompeten mampu memiliki
kapasitas untuk menerima orang lain, keyakinan akan potensi
perubahan, kesadaran akan pilihan etis dan moral. Kepekaan
terhadap nilai-nilai yang dipegang oleh klien dan diri sendiri.
3) Kemampuan konseptual
Kemampuan untuk memahami dan menilai masalah kilen,
mengantisipasi konsekuensi tindakan di masa depan, memahami
proses segera dalam kerangka skema konseptual/teoritis yang
lebih luas, mengingat informasi, tentang klien, merumuskan
rumusan kasus, fleksibilitas kognitif, dan keterampilan
memecahkan masalah.
4) Kesehatan pribadi
Tidak adanya kebutuhan pribadi atau keyakinan irasional yang
mengganggu hubungan konseling, kepercayaan diri, kapasitas
untuk menoleransi perasaan yang kuat atau tidak nyaman
dalam hubungannya dengan klien, mengamankan batasan
pribadi, kemampuan untuk menjadi klien, tidak adanya
prasangka sosial, etnosentrisme dan otoritarianisme.
5) Penguasaan teknik

34
Pengetahuan tentang kapan dan bagaimana melakukan
intervensi spesifik, kemampuan untuk menilai efektifitas
intervensi, pemahaman tentang alasan di balik teknik
kepemilikan repertoar intervensi atau metode yang cukup luas.
6) Kemampuan untuk memahami dan bekerja dalam sistem sosial
Kesadaran keluarga klien dan hubungan kerja, dampak agensi
pada klien, kapasitas untuk menggunakan jaringan dukungan
dan pengawasan. Kepekaan terhadap dunia sosial klien yang
mungkin berbeda dalam gender etnis, orientasi seksual, atau
kelompok usia.
7) Keterbukaan untuk belajar dan penyelidikan
Kapasitas untuk ingin tahu tentang latar belakang dan masalah
klien, terbuka untuk pengetahuan baru, menggunakan penelitian
untuk menginformasikan praktik.

Makmum Khairani berpendapat ada beberapa kompetensi


pribadi yang signifikan untuk dimiliki konselor antara lain,
pengetahuan yang baik tentang diri sendiri (self-knowledge),
berkompeten, kesehatan psikologis yang baik, dapat dipercaya
(trustworthness), kejujuran, kekuatan atau daya (strength),
kehangatan (warmth), pendengar yang aktif (active
responsiveness), kesabaran, kepekaan (sensitivity), kebebasan, dan
kesadaran holistik (Khairani, 2014: 13). Sedangkan menurut
Mungin Eddy Wibowo (2019: 202), kompetensi konselor yaitu: (1)
memahami secara mendalam klien yang hendak dilayani; (2)
menguasai landasan teoritik keilmuan pendidikan dan bimbingan
konseling; (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan
konseling terhadap klien; (4) mengembangkan pribadi dan
profesionalitas diri secara berkelanjutan.
Mulawarman dan Eem Munawaroh (2016: 71) menjelaskan
bahwa adanya tujuh kompetensi Standar Kompetensi Konselor

35
Indonesia (SKKI), yaitu:
1) Penguasaan konsep dan praktis pendidikan

2) Kesadaran dan komitmen etika profesional

3) Penguasaan konsep perilaku dan perkembangan individu

4) Penguasaan konsep dan praktis asesmen

5) Penguasaan konsep dan praktis bimbingan dan konseling

6) Pengelolaan program bimbingan dan konseling

7) Penguasaan konsep dan praktis riset dalam bimbingan dan


konseling.

Menurut Zulfan Saam (2014: 155), sebagai penyandang gelar


profesi dalam bidang Bimbingan dan Konseling, konselor
memiliki kompetensi sebagai berikut:
1) Memahami secara mendalam klien yang hendak dilayani
a) Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,
individualitas, kebebasan memilih, dan mengedepankan
kemaslahatan klien dalam konteks kemaslahatan umum.

b) Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan psikologis


serta perilaku klien, dalam ragam budaya Indonesia dalam
konteks kehidupan global yang adil dan beradab.
2) Menguasai landasan teoretik keilmuan pendidikan dan
bimbingan dan konseling
a) Menguasai teori dan praktis pendidikan
b) Menguasai kerangka teoritik dan praksis bimbingan dan
konseling
c) Menguasai esensi dan praktik operasional pelayanan dan
konseling pada setting pendidikan dalam berbagai jalur,
jenis, dan jenjang pendidikan, serta setting non-pendidikan
3) Menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling terhadap
klien

36
a) Merancang program bimbingan dan konseling, khususnya
untuk sasaran layanan atau klien pada satuan Pendidikan,
atau unit kerja/organisasi atau lembaga tempat konselor
bertugas

b) Mengusai konsep, praksis dan praktik asesmen untuk


memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah klien

c) Mengimplementasikan program bimbingan dan konseling,


melalui penerapan pendekatan dan teknik konseling secara
eklektik- komprehensif

d) Menilai proses dan hasil pelayanan bimbingan dan


konseling

4) Mengembangkan pribadi dan profesionalitas diri secara


berkelanjutan
a) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa
b) Menunjukkan integritas dan stabilitas kepribadian
berkarakter serta kinerja profesional
c) Memiliki profesional kesadaran dan komitmen terhadap
etika profesional
d) Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja
e) Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan
dan konseling
f) Mengembangkan diri untuk meningkatkan dan
mengembangkan kemampuan dalam bidang profesi melalui
pendidikan penulisan karya ilmiah, pelatihan, penelitian
mengikuti seminar lokayarya dalam bimbingan dan
konseling
Perumusan kompetensi konselor di Indonesia telah
dirumuskan oleh organisasi profesi bimbingan dan konseling
bernama ABKIN yang merupakan Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia. Anggota dari ABKIN adalah para guru

37
bimbingan dan konseling (guru BK), para pendidik calon Sarjana
Pendidikan bidang Bimbingan dan Konseling, para pendidik calon
Doktor Bimbingan dan Konseling pada Lembaga Tenaga
Pendidikan (LPTK) di wilayah Indonesia. Kompetensi konselor
ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor yang mulai
diberlakutan sejak tanggal 11 Juni 2008. Kompetensi konselor
tersebut berupa kompetensi akademik dan profesional.
Kompetensi akademik dapat diperoleh melalui proses pendidikan
formal jenjang Srata Satu (S1) dalam bidang Bimbingan dan
Konseling, sedangkan kompetensi profesional didapatkan dengan
menguasi kiat penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang
memandirikan, yang ditumbuhkan serta diasah melalui latihan
menerapkan kompetensi akademik yang telah diperoleh dalam
konteks pendidikan profesi konselor yang berorientasi pada
pengalaman dan kemampuan praktik lapangan (Hartono, 2015: 67-
68).
Kompetensi akademik adalah landasan bagi pengembangan
kompetensi profesional, yang meliputi:
1) Memahami secara mendalam tentang konseli yang dilayani,
2) Menguasai landasan dan kerangka teoritis bimbingan dan
konseling
3) Menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang
memandirikan konseli, dan
4) Mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara
berkelanjutan.
Atas dasar kompetensi akademik tersebut, maka rumusan
akademik dan profesional konselor dipetakan atas dasar ketentuan
yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,

38
kedalam kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan
profesional sebagai berikut:

Tabel 1
Rumusan Kompetensi Akademik dan Profesional Menurut
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008
tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor
(Peraturan Menteri, 2008)

KOMPETENSI INTI KOMPETENSI

Kompetensi Pedagogik
1.1 Menguasai ilmu pendidikan dan
landasan keilmuannya
1.2 Mengimplementasikan prinsip-
1. Menguasai teori dan
prinsip pendidikan dan proses
praksis pendidikan
pembelajaran
1. 3 Menguasai landasan budaya
dalam prasis Pendidikan
2. Mengaplikasikan 2.1 Mengaplikasikan kaidah-kaidah
perkembangan perilaku manusia, perkembangan
fisiogis dan fisik dan psikologis individu
psikologis serta terhadap sasaran pelayanan
perilaku konseli bimbingan dan konseling dalam
upaya pendidikan
2.2 Mengaplikasikan kaidah-kaidah
kepribadian, individualitas dan
perbedaan konseli terhadap
sasaran pelayanan bimbingan
dan konseling dalam upaya
pendidikan
2.3 Mengaplikasikan kaidah-kaidah
belajar terhadap sasaran
pelayanan bimbingan dan
konseling dalam upaya
pendidikan
2.4 Mengaplikasikan kaidah-kaidah
keberbakatan terhadap sasaran
pelayanan bimbingan dan
konseling dalam upaya
pendidikan
2.5 Mengaplikasikan kaidah-kaidah
kesehatan mental terhadap

39
sasaran pelayanan bimbingan
dan konseling dalam upaya
pendidikan
3.1 Menguasai esensi bimbingan dan
konseling pada satuan jalur
pendidikan formal, nonformal
3. Menguasai esensi dan informal
pelayanan bimbingan 3.2 Menguasai esensi bimbingan dan
dan konseling dalam konseling satuan jenis
jalur, jenis, dan pendidikan umum, kejuruan,
jenjang satuan keagamaan, dan khusus
pendidikan 3.3 Menguasai esensi bimbingan dan
konseling pada satuan jenjang
pendidikan usia dini, dasar dan
menengah, serta tinggi
Kompetensi Kepribadian
4.1 Menampilkan kepribadian yang
beriman dan bertakwa kepada
4. Beriman dan Tuhan Yang Maha Esa
bertakwa kepada 4.2 Konsisten dalam menjalankan
Tuhan Yang Maha kehidupan beragama dan toleran
Esa terhadap pemeluk agama lain
4.3 Berakhlak mulia dan berbudi
pekerti luhur
5.1 Mengaplikasikan pandangan
positif dan dinamis tentang
manusia sebagai makhluk
spiritual, bermoral, sosial,
individual, dan berpotensi
5.2 Menghargai dan mengembangan
5. Menghargai dan potensi positif individu pada
menjunjung tinggi umumnya dan konseli pada
nilai-nilai khususnya
kemanusiaan, 5.3 Peduli terhadap kemaslahatan
individualitas dan manusia pada umumnya dan
kebebasan memilih konseli pada khususnya
5.4 Menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia sesuai dengan
hak asasinya
5.5 Toleran terhadap permasalahan
konseli
5.6 Bersikap demokratis
6. Menunjukan 6.1 Menampilkan kepribadian dan
integritas dan perilaku yang terpuji (seperti
stabilitas kepribadian berwibawa, jujur, sabar, ramah,

40
dan konsisten)
6.2 Menampilkan emosi yang stabil
6.3 Peka bersikap empati, serta
yang kuat
menghormati keagamaan dan
perubahan
6.4 Menampilkan toleransi tinggi
7.1 Menampilkan tindakan yang
cerdas, kreatif, inovatif, dan
produktif
7. Menampilkan kinerja 7.2 Bersemangat, berdisiplin, dan
berkualitas tinggi mandiri
7.3 Berpenampilan menarik dan
menyenangkan
7.4 Berkomunikasi secara efektif
Kompetensi Sosial
8.1 Memahami dasar, tujuan,
organisasi, dan peran pihak-
pihak lain (guru, wali kelas,
pimpinan sekolah/madrasah,
komite sekolah/madrasah) di
8. Mengimplementasi tempat bekerja
kolaborasi intern di 8.2 Mengkomunikasikan dasar,
tempat bekerja tujun, dan kegiatan pelayanan
bimbingan dan konseling kepada
pihak-pihak lain di tempat kerja
8.3 Bekerja sama dengan pihak-
pihak terkait di dalam tempat
bekerja (seperti guru, orang tua,
tetangga administrasi)
9.1 Memahami dasar, tujuan, dan
AD/ART organisasi profesi
9. Berperan dalam bimbingan dan konseling untuk
organisasi dan pengembangan diri dan profesi
kegiatan profesi 9.2 Menaati kode etik profesi
bimbingan dan bimbingan dan konseling
konseling 9.3 Aktif dalam organisasi profesi
bimbingan dan konseling untuk
pengembangan diri dan profesi
10. 10.1 Mengkomunikasikan aspek-
Mengimplementasi aspek profesional bimbingan
kan kolaborasi dan konseling kepada
antarprofesi organisasi lain
10.2 Memahami peran organisasi
profesi lain dan
memanfaatkannya untuk

41
suksesnya pelayanan
bimbingan dan konseling
10.3 Bekerja dalam tim bersama
tenaga paraprofesional dan
profesional profesi lain
10.4 Melaksanakan referral kepada
ahli profesi lain sesuai dengan
keperluan
Kompetensi Profesional
11.1 Menguasai hakikat assesment
11.2 Memilih teknik assessment,
sesuai dengan kebutuhan
pelayanan bimbingan dan
konseling
11.3 Menyusun dan
mengembangkan instrumen
assesssment untuk keperluan
bimbingan dan konseling
11.4 Mengadministrasikan
assessment untuk
menggungkankan masalah-
masalah konseli
11.5 Memilih dan
mengadministrasikan teknik
11. Menguasai konsep
assessment pengungkapan
dan praktis
kemampuan dasar dan
assessment untuk
kecenderungan pribadi konseli
memahami kondisi,
11.6 Memilih dan
kebutuhan, dan
mengadministrasikan
masalah konseli.
instrumen untuk
mengungkapkan kondisi
aktual konseli berkaitan
dengan lingkungan
11.7 Mengakses data dokumantasi
tentang konseli dalam
pelayanan bimbingan dan
konseling
11.8 Menggunakan hasil
assessment dalam pelayanan
bimbingan dan konseling
dengan tepat
11.9 Menampilkan tanggung jawab
profesional dalam praktik
assessment
12. Menguasai 12.1 Mengaplikasikan hakikat
kerangka teoritis pelayanan bimbingan dan

42
konseling
12.2 Mengaplikasikan arah profesi
bimbingan dan konseling
12.3 Mengaplikasikan dasar-dasar
pelayanan bimbngan dan
konseling
12.4 Mengaplikasikan pelayanan
dan praktis bimbngan dan konseling
bimbingan dan ssesuai dengan kondisi dan
konseling tuntutan wilayah kerja
12.5 Mengaplikasikan
pendekatan/model/jenis
pelayanan bimbngan dan
konseling
12.6 Mengaplikasikan dalam
praktik format pelayanan
bimbingan dan konseling
13.1 Menganalisis kebutuhan
konseli
13.2 Menyusun program bimbingan
dan konseling yang
berkelanjutan berdasarkan
kebutuhan peserta didik secara
13. Merancang komprehensif dengan
program bimbingan pendekatan perkembangan
dan konseling 13.3 Menyusun rencana
pelaksanaan program
bimbingan dan konseling
13.4 merencanakan saranan dan
biaya penyelenggraaan
program bimbingan dan
konseling
14.1 Melaksanakan program
bimbingan dan konseling
14.2 Melaksanakan pendekatan
14.
kolaboratif dalam pelayanan
Mengimplementasi
bimbingan dan konseling
kan program
14.3 Memfasilitasi perkembangan
bimbingan dan
akademik, karier, personal,
konseling yang
dan sosial konseli
komprehensif
14.4 Mengelola sarana dan biaya
program bimbingan dan
konseling
15. Menilai proses dan 15.1 Melakukan evaluasi hasil,
hasil kegiatan proses, dam program
bimbingan dan bimbingan dan konseling

43
15.2 Melakukan penyesuaian
proses pelayanan bimbingan
dan konseling
15.3 Menginformasikan hasil
pelaksanaan evaluasi
pelayanan bimbingan dan
konseling konseling kepada pihak
tertentu
15.4 Menggunakan hasil
pelaksanaan evaluasi untuk
merevisi dan mengembangkan
program bimbingan dan
konseling
16.1 Memahami dan mengelola
kekuatan dan keterbatasan
pribadi dan profesional
16.2 Menyelenggarakan pelayanan
sesuai dengan kewenangan
dan kode etik profesional
konselor
16.3 Mempertahankan objektivitas
16. Memiliki kesadaran
dan menjaga agar tidak larut
dan komitmen
dengan masalah konseli
terhadap etika
16.4 Melaksanakan referral sesuai
profesional
dengan keperluan
16.5 Peduli terhadap identitas
profesional dan
pengembangan profesi
16.6 Mendahulukan kepentingan
konseli daripada kepentingan
pribadi konselor
16.7 Menjaga kerahasiaan konseli
17.1 Memahami berbagai jenis dan
metode penelitian
17.2 Mampu merancang penelitian
17. Menguasai konsep bimbingan dan konseling
dan praktis 17.3 Melaksanakan penelitian
penelitian dalam bimbingan dan konseling
bimbingan dan 17.4 Memanfaatkan hasil penelitian
konseling dalam bimbingan dan
konseling dengan mengakses
jurnal pendidikan dan
bimbingan dan konseling

Berdasarkan rumusan Kompetensi Akademik dan Profesional

44
pada Peraturan Menteri diatas, maka kompetensi konselor dapat
ditarik kesimpulan menjadi tujuh poin, yaitu:
1) Menguasai konsep dan praktis penilaian untuk memahami
kondisi, kebutuhan dan permasalahan konseli.
2) Menguasai kerangka teori dan praktik bimbingan dan konseling.
3) Merancang program bimbingan dan konseling.
4) Melaksanakan program bimbingan dan konseliing secara
komprehensif.
5) Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling.
6) Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesi.
7) Menguasai konsep dan praktik.

Sedangkan menurut Abdul Basit (2017: 196-202), untuk


menjadi seorang konselor agama (Islam), kompetensi yang harus
dimiliki adalah:
1) Kompetensi personal
Kompetensi personal lebih menekankan pada kemampuan
yang berkenaan dengan moralitas dan kemampuan intelektual.
Secara moralitas, konselor Islam hendaknya memiliki
perfomance dan sikap yang menarik. Kemampuan moralitas
mengantarkan setiap pribadi membina tata pergaulan yang
seimbang antara hak dan kewajiban, antara individu, keluarga,
dan masyarakat; antara hamba Allah dan khaliknya; antara
kebutuhan rohani dan jasmani; antara tradisi, budaya, dan
transformasi; dan antara sebagai warga negara dan sebagai
pemeluk agama yang taat. Adapun kemampuan intelektual akan
mengantarkan konselor Islam pada kemampuan beradaptasi
dengan perkembangan yang terjadi, seperti pemanfaatan
teknologi informasi dalam setiap kegiatan konseling. Di samping
itu, dengan kemampuan intelektual, konselor Islam memiliki
kreativitas dalam menjalani aktivitas konseling dan dalam
mempersiapkan masa depan.

45
2) Kompetensi sosial

Konselor Islam perlu mengambil peran keikutsertaan dalam


masyarakat dalam bentuk kesadaran sosial (social awareness).
Karakteristik saleh sosial digambarkan dalam pribadinya yang
pemurah dan bijak terhadap setiap kenyataan yang dihadapinya
serta memiliki sikap simpati dan empati. Selain kesadaran sosial,
konselor Islam juga dapat mengambil peran dalam bentuk
keadilan sosial. Keahlian sosial diwujudkan dalam bentuk
kemampuan membangun tim dan menjalin interaksi secara
konstruktif. Dengan kemampuan ini, dalam diri konselor Islam
akan tumbuh sikap kepemimpin yang baik, keahlian dalam
hubungan interpersonal, intim dan dapat dipercaya, mampu
mengatur konflik, dan aktif mendengar berbagai keluhan dan
masukan serta berbagai keahlian sosil lainnya.
3) Kompetensi substantif
Kompetensi substantif berkaitan dengan kemampuan
konselor Islam dalam penguasaan terhadap pesan-pesan atau
materi-materi yang akan disampaikan kepada objek dakwah.
Dalam hal ini, konselor Islam harus memiliki pengetahuan dan
wawasan yang luas tentang Islam baik yang menyangkut akidah,
syariah maupun muamalah. Selain menguasai ilmu-ilmu yang
berbasis agama, konselor Islam juga harus menguasai ilmu-ilmu
dasar yang mendukung kebutuhan hidup manusia seperti ilmu
ekonomi, politik, psikologi, dan sosiologi. Konselor Islam juga
dituntut untuk mengaitkan ilmu-ilmu agama yang dimilikinya
dengan ilmu-ilmu lainnya seperti, psikoterapi, psikologi dan
kesehatan mental.
4) Kompetensi metodologis
Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan dalam
menyampaikan pesan-pesan konseling. Penyampain yang efektif
harus mencapai kesepakatan klaim-klaim validitas (claim

46
validity) antara seorang pelaku dakwah (konselor) dengan objek
dakwah (klien). Klaim validitas tersebut mencakup “klaim
kebenaran” (claim of truth), yaitu kesepkatan tentang dunia
alamiah dan objektif, “klaim ketepatan” (claim of rightness),
yaitu kesepakatan tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia
sosial dan “klaim autentisitas” (claim of sincerety), yaitu
kesesuaian antara dunia batiniah secara intersubjektif dalam
lingkungan sosial tertentu.

Untuk aspek kompetensi konselor sosial akan memiliki


kesamaan dengan kompetensi konselor agama. Hal ini dikarenakan
konselor agama tidak hanya berfokus pada keagamaannya saja
namun juga berkaita dengan berbagai ilmu lainnya dan salah
satunya adalah ilmu sosial. Ini dibuktikan dengan adanya
“kompetensi sosial” yang menjadi standar dalam kompetensi yang
dimiliki oleh konselor agama. Dengan demikian, kompetensi yang
harus dimiliki oleh konselor sosial agama adalah kompetensi
personal, kompetensi sosial, kompetensi substantif, dan
kompetensi metodologis.
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Kompetensi
Teori tentang pembentukan kompetensi dikemukakan oleh Kurt
Lewin yang memposisikan seseorang mendapat kompetensi karena
medan gravitasi disekitarnya yang turut membentuk potensi
seseorang secara individu. Selain lingkungan, sistem informasi yang
diperoleh berupa pengalaman emperis melalui observasi,
pengetahuan ilmiah dan keterampilan yang dilakukan secara
mandiri. Kompetensi dapat juga terbentuk karena potensi bawaan
dan lingkungan sekitar. Kombinasi ini disebut teori konvergensi
yang dipelopori oleh William Stern, yaitu gabungan antara hereditas
(bawaan) dengan environment (lingkungan). Teori ini sejalan dengan
hadis Rasulullah yang mengatakan bahwa setiap anak yang lahir
memiliki potensi bawaan (fitrah) dan potensi pendidikan dan

47
lingkungan orang tua sesuai dengan agama yang dipeluknya, yaitu
yahudi, nashrani atau majusi (HR. Muslim) (Kamaluddin, 2015:
106).
Menurut Yuswardi (2021: 333-334), terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi peningkatan kompetensi konselor. Adapun
faktor tersebut adalah:
1) Pengalaman
Pengalaman merupakan suatu proses pembelajaran dan
pertambahan perkembangan potensi bertingkah laku baik. Hal ini
bisa didapatkan dari pendidikan formal maupun nonformal. Setiap
pengalaman yang diperoleh akan memberikan keterampilan dan
pengetahuan khusus sesuai dengan yang digelutinya.
2) Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan kegiatan seseorang dalam
mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk tingkah lakunya.
Proses ini bertujuan untuk kehidupan masa kini dan masa yang
akan datang yang didapat melalui organisasi. Faktor tingkat
pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku
hidup sehat. Pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan
seseorang dalam menyerap informasi dan
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
3) Pengembangan Diri
Pengembangan diri merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
meningkatkan profesionalisme diri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Pengembangan diri secara sistematik dapat
dilakukan berdasarkan inisiatif yang diselenggarakan melalui
berbagai kegiatan seperti penataran, kursus, melanjutkan
pendidikan, belajar sendiri, dan membaca berbagai sumber
belajar.
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kompetensi

48
adalah (1) pribadi konselor; (2) lingkungan; (3) pengalaman, (4)
pendidikan; dan (5) pengembangan diri.

3. Urgensi Benchmarking dalam Meningkatkan Kompetensi


Konselor Sosial Agama

Konselor yang berkualitas sangat mendukung keberhasilan


konseling. Keberhasilan konseling didukung dengan kemampuan
konselor yang harus terus-menerus mengembangkan kemampuan
mawas diri yang ditandai dengan selalu bersentuan pada nilai-nilai,
pikiran dan perasaan. Keahlian, ketertarikan dan dapat dipercaya juga
menjadi syarat (Mulawarman, 2019: 47). Sedangkan kompetensi
konselor mengacu pada penguasaan konsep, penghayatan dan
perwujudan nilai serta penampilan pribadi konselor yang bersifat
membantu (helping personal) dan unjuk kerja profesional yang
akuntabel. Kompetensi konselor ini dibangun dari landasan filosofis
tentang hakikat manusia dan kehidupannya sebagai mahkluk Allah
Yang Maha Kuasa, makhluk pribadi, dan warga negara yang berbasisi
budaya Indonesia (Hartono, 2015: 66).

Latipun dalam (Lubis, 2013: 245) mengatakan bahwa kompetensi


mengacu pada batas-batas kewenangan dalam menjalankan tugas-
tugas prosefional. Artinya adalah konselor yang efektif tidak akan
menggunakan treatment yang berada di luar lingkup kewenangan dan
kemampuan yang dimilikinya. Kompetensi konselor akan dinyatakan
dalam penguasaan konsep, penghayatan dan perwujudan nilai,
penampilan pribadi yang bersifat membantu, dan unjuk kerja
bimbingan dan konseling yang profesional dan akuntabel. Menurut
Mamat Supriatna, kompetensi konselor dibangun dari landasan
filosofis tentang hakikat manusia dan kehidupannya sebagai makhluk
Allah Yang Maha Kuasa, pribadi, dan warga negara yang ada dalam
konteks kultur tertentu, jelasnya kultur Indonesia. Landasan dan
wawasan kependidikan menjadi salah satu kompetensi dasar konselor.

49
Konselor adalah seorang profesional karena itu layanan bimbingan
dan konseling harus diatur dan didasarkan kepada regulasi perilaku
profesional (Supriatna, 2011: 11).

Keragaman adegan pekerjaan konselor ini mengandung makna


adanya pengetahuan, sikap, dan keterampilan bersama yang harus
dikuasai oleh konselor dalam adegan mana pun. Kompetensi ini
disebut kompetensi bersama (common competencies), yang harus
dikuasai oleh konselor sekolah, perkawinan, karier, traumatik,
rehabilitasi, dan kesehatan mental. Setiap adegan bimbingan dan
konseling menghendaki kompetensi khusus yang harus dikuasai
konselor untuk dapat memberikan layanan dalam adegan/wilayah
khusus itu. Kompetensi ini disebut kompetensi inti atau kompetensi
khusus (core/specific competencies) (Supriatna, 2011: 12).

Dari daftar kompetensi konselor yang telah dipaparkan, diketahui


bahwa seperangkat karakteristik konselor yang sebagian didasarkan
pada pengalaman hidup seorang sebelum menjadi konselor dan
sebagian lagi didapatkan pada pelatihan yang telah diikuti selama
karirnya menjadi konselor. Pelatihan dan pengawasan yang dilakukan
secara efektif dalam bidang ini akan membantu konselor dalam
menangani kliennya secara baik (McLeod, 2013: 614). Untuk itu,
menjadi konselor yang kompeten perlu adanya tindakan
penyeimbang yang melibatkan perhatian pada masalah pribadi dan
profesional. Pelatihan yang dapat dilakukan disini adalah dengan
menggunakan benchmarking.

Benchmarking merupakan suatu proses yang biasa digunakan


dalam manajemen atau umumnya manajemen strategis, dimana suatu
unit/bagian/organisasi mengukur dan membandingkan kinerjanya
terhadap aktivitas atau kegiatan serupa unit/bagian/organisasi lain
yang sejenis baik secara internal maupun eksternal (Shahindra, 2008:
1). Kegiatan ini memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk

50
meningkatkan kompetensi teoretik maupun praktis mahasiswa jurusan
Bimbingan dan Penyuluhan Islam agar mampu bersaing di dunia
kerja, serta untuk meningkatkan skill mahasiswa di bidang Bimbingan
dan Penyuluhan Islam terutama kompetensi konselor sosial agama.

Kegiatan benchmarking yang dilakukan oleh prodi Bimbingan


dan Penyuluhan Islam berfokus pada kompetensi konselor sosial dan
penyuluh agama. Pelaksanaan benchmarking dilaksanakan bekerja
sama dengan Dewan Pengurus Pusat Perkumpulan Ahli Bimbingan
dan Konseling Islam (DPP PABKI), yang merupakan sebuah
organisasi profesi dan ilmuwan di bidang bimbingan, penyuluhan, dan
koseling Islam Nasional. Melalui kegiatan ini diharapkan mahasiswa
Bimbingan dan Penyuluhan Islam mampu meningkatkan kompetensi
yang dimiliki seperti konselor sosial dan penyuluh agama. Untuk
desain benchmarking untuk kompetensi konselor sosial adalah
sebagai kegiatan pendidikan dan pelatihan yang bukan hanya
pengembangan teori tentang bimbingan dan konseling Islam, tetapi
dilengkapi pula dengan praktek profesi konselor sosial keagamaan
dalam berbagai latar kehidupan klien seperti anak, remaja, lansia,
pasien, dan keluarga (Supena, dkk., 2020: 9-10).
F. METODE PENELITIAN

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian


Metode penelitian merupakan desaian atau rancangan penelitian
yang berisi rumusan objek atau subjek yang akan diteliti, teknik-
teknik pengumpulan data, dan analisis data yang berfokus pada
masalah tertentu (Winarni, 2018: 5). Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu stategi
inquiry yang menekankan pencarian makna, pengertian, konsep,
karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi tentang suatu
fenomena; fokus dan multimetode, bersifat alami dan holistik;
mengutamakan kualitas, menggunakan beberapa cara, serta disajikan

51
secara narratif (Yusuf, 2014: 329). Metode penelitian ini sesuai
dengan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui proses
kegiatan benchmarking konselor mahasiswa Bimbingan dan
Penyuluhan Islam dan relevansinya dengan peningkatan kompetensi
konselor sosial agama mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam
di tahun 2020-2022.

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah


pendekatan studi kasus karena penelitian ini menjelaskan proses
benchmarking konselor yang diikuti mahasiswa Bimbingan dan
Penyuluhan Islam pada tahun 2020-2022 dan relevansinya terhadap
peningkatan kompetensi mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan
Islam. Pendekatan studi kasus merupakan penelitian yang
komprehensif yang meliputi aspek fisik dan psikologis
individu/seseorang, dengan tujuan agar memperoleh pemahaman
secara mendalam terhadap kasus yang diteliti (Samsu, 2017: 65).
2. Sumber dan Jenis Data
Menurut Lexy J. Moleong sumber data utama dalam penelitian
kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya merupakan data
tambahan seperti dokumen dan-lain lain (Moleong, 2016: 157).
Dalam penelitian ini, sumber data dibagi menjadi dua data berupa
data primer dan data sekunder.
a. Data primer

Data primer atau data tangan pertama merupakan data yang


didapatkan langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan
alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subjek
sebagai sumber informasi yang dicari (Azwar, 2001: 91). Dengan
data ini, peneliti memperoleh informasi langsung mengenai
bagaimana proses benchmarking konselor sosial agama selama tiga
tahun terakhir (tahun 2020-2022) serta keterkaitannya dengan
peningkatan kompetensi mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan

52
Islam. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah dari ketua
Bimbingan dan Penyuluhan Islam Universitas Negeri Islam
Walisongo, ketua Dewan Pengurus Pusat Perkumpulan Ahli
Bimbingan dan Konseling Islam (DPP PABKI), yaitu Dr. H. Aep
Kusnawan, M.Ag., serta mahasiswa prodi Bimbingan dan
Penyuluhan Islam yang mengikuti benchmarking kompetensi
konselor secara daring dan luring pada tahun 2020-2022 dengan
jumlah sepuluh orang mahasiswa untuk setiap tahunnya.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah sumber yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data, misalnya melalui orang
lain atau lewat dokumen (Sugiyono: 2016: 225). Sumber data
sekunder (teori, data dan informasi) adalah buku-buku, dokumen-
dokumen, internet, dan media cetak. Untuk pengutipan teori,
pencantuman sumber data menggunakan running note yang
meliputi pencantuman last name, tahun penerbit buku, dan nomer
halam buku (Wekke, 2019: 14). Dalam penelitian ini, sumber data
sekunder berupa buku-buku, jurnal-jurnal, dan internet.
3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian dapat berupa individu, masyarakat, ataupun
institusi. Subjek penelitian disebut dengan informan. Informan
ditentukan dengan melihat adanya keterlibatan yang bersangkutan
terhadap situasi/kondisi sosial yang hendak dikaji dalam fokus
penelitian (Harahap, 2020: 44). Informan dalam penelitian ini adalah
ketua Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI), ketua Dewan
Pengurus Pusat Perkumpulan Ahli Bimbingan dan Konseling Islam
(DPP PABKI), yaitu Dr. H. Aep Kusnawan, M.Ag., serta sepuluh
mahasiswa prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam.

Teknik pengambilan subjek penelitian (informan) dalam


penelitian ini adalah menggunakan sampling purposif yaitu peneliti
menentukan kriteria mengenai responden mana saja dapat dipilih

53
sebagai sampel. Kriteria yang dimaksud adalah gambaran demografi
responden, misal dari sisi usia, jenis kelamin, apakah menggunakan
suatu produk atau tidak, apakah produk yang dimaksud telah
digunakan selama lebih dari beberapa tahun atau tidak (Hadi, dkk.,
2021: 52). Untuk penelitian ini, kriteria yang dipilih adalah

a. Mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam yang mengikuti


benchmarking konselor sosial agama secara daring dan luring
pada tahun 2020, 2021, dan 2022;

b. Berjenis kelamin laki-laki atau perempuan;

c. Berusia 20-21 tahun pada saat mengikuti benchmarking;

d. Mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam yang mendapatkan


nilai A pada mata kuliah Praktik Pengalaman Lapangan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik dalam pengumpulan data primer dan data sekunder dapat
diperoleh dengan cara berikut:
a. Wawancara
Wawancara atau interview adalah salah satu cara pengambilan
data yang dilakukan melalui kegiatan komunikasi secara lisan
dalam bentuk terstruktur, semi terstruktur, dan tak terstruktur
(Harahap, 2022: 69). Wawancara akan dilakukan dengan ketua
Prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam, ketua Dewan Pengurus
Pusat Perkumpulan Ahli Bimbingan dan Konseling Islam (DPP
PABKI) dan mahasiswa prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam
yang mengikuti bencmarking kompetensi konselor di tahun 2020-
2022. Wawancara ini dilakukan secara langsung (face to face)
dengan tujuan untuk menggali lebih jauh proses benchmarking
yang telah diselenggarakan selama tiga tahun terakhir dan untuk
mengetahui seberapa jauh benchmarking mampu meningkatkan
kompensi Bimbingan dan Penyuluhan Islam.
b. Obsevasi

54
Teknik ini digunakan untuk mendapatkan fakta-fakta empirik
yang tampak (kasat mata) dan guna memperoleh dimensi-dimensi
baru untuk pemahaman konteks maupun fenomena yang diteliti.
Konteks atau fenomena tersebut terkait dengan fokus atau variabel
penelitian yang akan diteliti (Widodo, 2017: 74). Observasi
dilakukan dengan melihat secara langsung proses benchmarking
yang dilakukan dan mencatat perilaku dan kejadian yang terjadi
pada saat benchmarking. Kemudian data yang diperoleh akan
dianalisis kembali. Tahap observasi tersebut bertujuan untuk
mengetahui capaian kompetensi yang telah dicapai mahasiswa
Bimbingan dan Penyuluhan Islam dalam mengikuti
bencmarking, serta usaha-usaha yang dijalankan prodi Bimbingan
dan Penyuluhan Islam dan Dewan Pengurus Pusat Perkumpulan
Ahli Bimbingan dan Konseling Islam (DPP PABKI) dalam
meningkatkan kompetensi konselor.
c. Dokumentasi
Menurut Miles dan Huberman dalam (Kurniadi, 2011: 150),
dokumentasi berkaitan dengan mengumpulkan dan mempelajari
dokumen- dokumen yang tertulis seperti dalam media cetak,
elektronik, dan dokumen yang dapat diakses di pihak tim sukses
maupun suporter. Dokumen ini nantinya akan digunakan sebagai
bahan referensi dan komparasi. Teknik dokumentasi yang
digunakan adalah berupa gambar-gambar atau foto seputar
benchmarking sebagai pelengkap data yang diperoleh melalui
wawancara dan observasi. Selain dalam bentuk gambar atau foto,
dokumen berupa file mengenai panduan benchmarking juga
digunakan sebagai pendukung data penelitian.
5. Teknik Keabsahan Data
Untuk pendataan penelitian kualitatif agar dapat
dipertanggungjawabkan secara imliah, diperlukan teknik pemeriksaan
keabsahan data yang didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Dalam

55
penelitian kualitatif ini, peneliti menggunakan teknik untuk menguji
keabsahan data dengan trianggulasi. Trianggulasi adalah teknik yang
digunakan untuk menguji keterpercayaan data (memeriksa keabsahan
data) dengan memanfaatkan hal-hal lain yang terdapat di luar data
tersebut untuk kebutuhan melakukan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data tersebut (Samsu, 2017:101).

Teknik trianggulasi yang peneliti gunakan dalam penelitian ini


mengacu kepada konsep Patton (2002: 556), yaitu:
a. Methods triangulation
Memeriksa keabsahan sumber data dengan mengumpulkan data
yang jenis dengan menggunakan metode pengumpulan data yang
berbeda (observasi dan wawancara).
b. Triangulation of sources
Menguji keabsahan sumber data yang berbeda dengan
menggunakan teknik atau metode yang sama.

c. Analyst triangulation

Menggunakan beberapa analisis untuk meninjau hasil data yang


telah diperoleh.
d. Theory/perspective
Menggunakan berbagai perspektif atau teori untuk menafsirkan
data sehingga dapat dianalisis dan ditarik kesimpulan yangg lebih
utuh dan menyeluruh.

Teknik trianggulasi yang akan peneliti gunakan adalah dengan


menggunakan teknik Methods triangulation yang menggunakan
metode pengumpulan data yang berbeda untuk mendapatkan
keabsahan data yang valid.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data merupakan proses pencarian dan penyusunan
secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi
atau catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengelompokkan

56
data ke dalam kategori-kategori dan menjabarkannya ke dalam unit-
unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih bagian yang
penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga
memudahkan untuk dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain
(Sugiyono, 2016: 244). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
proses analisis dan menurut Miles dan Huberman, yang terdiri dari tiga
hal utama, yaitu reduksi data, dan penarikan kesimpulan.
a. Data Reduction (Reduksi Data)
Reduksi atau penyederhanaan data memiliki arti merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang
penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian, data yang
telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya, kemudian mencarinya jika dibutuhkan. Reduksi data
dapat dibantu dengan peralatan elektronik seperti komputer mini
dengan memberikan kode pada aspek-aspek tertentu (Winarni,
2018: 172). Peniliti dalam menganalisis data ini dengan
mengumpulkan data-data lapangan selama penelitian berlangsung.
Kemudian peneliti memutuskan perhatian, menggolongkan, dan
melakukan pemilihan-pemilihan data sehingga dapat ditarik
kesimpulan.
b. Data Display (Penyajian Data)

Penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat,


bagan, hubungan antar kategori, flowchart (diagram air), dan
sejenisnya. Data yang sering digunakan untuk menyajikan data
dalam penelitian kualitatif adalah berupa data teks yang bersifat
naratif. Dalam hal ini peneliti akan menyajikan data dalam bentuk
teks, untuk memperjelas hasil penelitian maka dapat dibantu
dengan mencantum table atau gambar (Hadi, 2021: 75).
c. Conclusion Drawing/Verification (Penarikan Kesimpulan dan
Verifikasi)

57
Penarikan kesimpulan atau verifikasi adalah kegiatan
merumuskan kesimpulan penelitian, baik kesimpulan sementara
maupun kesimpulan akhir. Kesimpulan awal dapat bersifat
sementara sehingga akan berubah jika tidak ditemukan bukti-
bukti yang kuat untuk mendukung tahap pengumpulan data
berikutnya. Apabila kesimpulan di tahap awal didukung oleh
bukti-bukti yang valid dan konsisten maka kesimpulan yang
dikemukakan bersifat kredibel (Samsu, 2017: 106).
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan dibuat oleh penulis guna untuk mempermudah
penulisan skripsi. Sistematikanya sebagai berikut:
a. Bagian Awal
Bagian awal skripsi berisi tentang halaman sampul depan,
halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman persetujuan dan
pengesahan, halaman pernyataan, kata pengantar, halaman
persembahan, halaman motto, abstrak dan halaman daftar isi.
b. Bagian Utama
Bagian utama dalam penulisan skripsi ini dibagi ke dalam lima
bab, yaitu:
BAB I, bab ini merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, dan metode penelitian yang berisi jenis penelitian, sumber
data, teknik pengumpulan data, dan sistematika penulisan.
BAB II, pada bab ini terdapat landasan teori yang berisi
penjelasan mengenai benchmarking yang dilakukan oleh
mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam Universits Islam
Negeri Walisongo periode 2020-2022 yang dibagi menjadi tiga sub
bab. Sub bab pertama berisi tentang benchmarking (definisi, tujuan,
evolusi, asas, jenis, dan proses). Sub bab kedua membahas mengenai
kompentensi konselor sosial agama (definisi, aspek, dan faktor
peningkatan). Sub ketiga adalah urgensi benchmarking dengan

58
peningkatan kompetensi mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan
Islam.
BAB III, bab ini berisi tentang gambaran umum dari objek
penelitian dan hasil data yang telah diperoleh. Dalam bab ini
menjelaskan tentang sejarah prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam
Universits Islam Negeri Walisongo, visi dan misi, serta gambaran
umum benchmarking yang dilaksanakan oleh mahasiswa Bimbingan
dan Penyuluhan Islam Universits Islam Negeri Walisongo angkatan
2020-2022 yang berisi alur kegiatan, pelaksanaan benchmarking
(waktu, metode, dan materi).
BAB IV, bab ini menjelaskan analisis dari hasil penelitian yang
telah peneliti lakukan secara logis sesuai dengan teori yang telah
dipaparkan sebelumnya di bab II dalam bentuk uraian dan di
intrepertasikan sesuai dengan pemikiran peneliti. Dalam bab ini,
peneliti menganalisis proses pelaksanaan benchmarking kompetensi
konselor yang dilakukan oleh mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan
Islam Universitas Islam Negeri dalam periode 2020-2022 serta
relevaansinya dengan peningkatan kompetensi mahasiswa Bimbingan
dan Penyuluhan Islam.
BAB V, dalam bab ini memaparkan kesimpulan dari seluruh bab
skripsi. Pada bab ini, juga disajikan saran-saran terhadap tujuan dan
manfaat dari hasil penelitian yang peneliti yang telah lakukan.
c. Bagian Akhir
Pada bagian akhir, terdapat daftar pustaka, daftar riwayat peneliti,
dan lampiran-lampiran yang mendukung penelitian.

H. DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, Rabiatul. 2015. “Peranan Konselor dalam Pelayanan


Pendekatan Khusus Bimbingan dan Konseling Terhadap
Pembinaan Tingkah Laku Siswa Di Madrasah Tsanawiyah

59
Muallimat Yapewi Banjarmasin”. Jurnal Mahasiswa BK An-Nur,
1 (1), 76.
Anand, G. and Rambabu Kodali. 2008. “Benchmarking the Benchmarking
Models”. Benchmarking: An International Journal, 15 (3), 258.
Azwar, Saifuddin. 2001. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pusta Pelajar.
Basit, Abdul. 2017. Konseling Islam. Depok: Kencana.
Billah, Muhammad Mu’tasim. 2020. “Benchmarking dalam Islam (Ikhtiar
dalam Peningkatan Mutu Pendidikan)”. JUMPA: Jurnal
Manajemen Pendidikan, 1 (1), 1.
Bogetoft, Peter. 2012. Performance Benchmarking: Measuring and
Managing Performance. New York: Springer.
Erhamwilda. 2009. Konseling Islami. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Fanani, Jawahir. 2014. Kecemasan Alumni Prodi Bimbingan dan
Konseling Islam (BKI-2) Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto
Tahun 2013/2014 dalam Menghadapi Dunia Kerja. Purwokerto:
STAIN Purwokerto.
Freytag, Per V. and Svend Hollensen. 2001. “The Process of
Benchmarking, Benchlearning and Benchaction”. The TOM
Magazine, 13 (1), 26.
Gibson, Robert L. dan Marianne H. Mitchell. 2011. Bimbingan dan
Konseling, diterjemahkan oleh Yudi santoso. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gladding, Samuel T. 2012. Konseling Profesi yang Menyeluruh,
diterjemahkan oleh Winarno dan Lilian Yuwono. Jakarta: PT.
Indeks.
Hadi, Abd., dkk. 2021. Penelitian Kualitatif: Studi Fenomenologi, Case
Study, Grounded Theory, Etnografi, Biografi. Banyumas: CV.
Pena Persada.
Harahap, Nursapia. 2020. Penelitian Kualitatif. Medan: Wal ashri
Publishing.
Hartini, Nurul dan Atika Dian Ariana. 2016. Psikologi Konseling.

60
Surabaya: Airlangga University Press.
Hartini, Sri, dkk. 2017. “Penguatan Kompetensi Melakuakn Konseling
Individu Guru Bimbingan dan Konseling dengan Model Job-
Embedded Professional Development”. Prosiding Seminar
Nasional, 235.
Hartono dan Boy Soedarmadji. 2015. Psikologi Konseling. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Heriyanti. 2007. “Program Pelatihan Bimbingan dan Konseling untuk
Meningkatkan Kompetensi Profesional Konselor di Sekolah. JPP:
Jurnal Penelitian Pendidikan, 107.
Hp, Sutarto. 2015. Manajemen Mutu Terpadu (MMT-TQM) Teori dan
Penerapan di Lembaga Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Jones, Richard Nelson. 2012. Pengantar Keterampilan Konseling: Kata
dan Tindakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kamaluddin. 2015. Kompetensi Da’i Profesional. HIKMAH, 2 (1), 106.
Khairani, Makmun. 2014. Psikologi Konseling. Yogyakarta: Aswaja
Pressindo.
Khisnan, Sunil. The Counselling Process: Stages of The Counselling
Process. Counselling And Consultancy Psycholog. India:
University Collage Kerala University
Kibtiyah, Maryatul. 2017. Sistematisasi Konseling Islam. Semarang:
RaSail Media Group.
Komarudin. 2015. Mengungkap Landasan Filosofis Keilmuan Bimbingan
Konseling Islam. International Journal Ihya’ ‘Ulum Al-Din, 17
(2), 228.
Kurniadi, Bayu Dardias. 2011. Praktek Penelitian Kualitatif: Pengalaman
dari UGM. Yogyakarta: PolGov.
Laela, Faizah Noer. 2017. Bimbingan Konseling Sosial Edisi Revisi.
Surabaya: UNISAPress.
Lubis, Aswadi. 2016. “Peningkatan Kinerja Melalui Strategi
Benchmarking”. At-Tijaroh, 2 (1), 16-18.

61
Lubis, Namora Lumongga. 2013. Memahami Dasar-Dasar Konseling
dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana.
Masdudi. 2015. Bimbingan dan Konseling Perspektif Sekolah. Cirebon:
Nurjati Press.
McLeod, John. 2013. An Introduction to Counseling. New York: Open
University Press.
Meade, Philip H. 2007. A Guide to Benchmarking. New Zealand:
University of Otago.
Moleong, Lexy J. 2016. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muhson, Ali. Analisis Relevansi Lulusan Perguruan Tinggi dengan Dunia
Kerja. Jurnal Economia, 8 (1), 45.
Mulawarman dan Eem Munawaroh. 2016. Psikologi Konseling: Sebuah
Pengantar bagi Konselor Pendidikan. Semarang: Universitas
Negeri Semarang.
Mulawarman, dkk. 2019. Psikologi Konseling: Sebuah Pengantar bagi
Konselor Pendidikan. Jakarta: Prenadamedia Group.
Mulyadi, Seto, dkk. 2015. Psikologi Konseling. Jakarta: Gunadarma.
Patton, Michael Quinn. 2002. Qualitative Evaluation Methods. Beverly
Hills: Sage Publications.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia. No. 27,
tahun. 2008, diakses tanggal 04 Mei 2022.
Prayitno dan Eman Amti. 2013. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling.
Jakarta: Rineka Cipta.
Pujileksono, Sugeng, dkk. 2018. Dasar-Dasar Praktik Pekerjaan Sosial:
Seni Menjalani Profesi Pertolongan. Malang: Intrans Publishing.
Rachman, Taufiqur. 2013. Benchmarking. Jakarta: Universitas Esa
Unggul.
Rahim, Abd. Rahman dan Enny Radjab. 2017. Manajemen Strategi.
Makassar: Universitas Muhammadiyah Makassar.
Rahmasari, Andriani. 2016. “Hubungan Persepsi Tentang Jurusan

62
Bimbingan Penyuluhan Islam Uin Walisongo Semarang Dengan
Kecemasan Karir”. Semarang: UIN Walisongo.
Ridla, M. Rosyid, Afif Rifa”i, Suisyanto. 2017. Pengantar Ilmu Dakwah.
Yogyakarta: Samudra Biru.
Riyadi, Agus dan Hendri Hermawan Adinugraha. 2021. The Islamic
Counseling Construction in Da’wah Science Structure. Journal of
Advanced Guidance and Counseling. ,2 (1), 20.
Saam, Zulfan. 2014. Psikologi Konseling. Jakarta: Rajawali Press.
Samsu. 2017. Metode Penelitian: (Teori dan Aplikasi Penelitian
Kualitatif, Kuantitatif, Mixed Methods, serta Research &
Development). Jambi: Pustaka.
Shahindra, Tengku. 2008. Mengenal Konsep Benchmarking. Jakarta.
Stapenhurst. 2009. The Benchmarking Book: A How-to-Guide to Best
Practice for Managers and Practitioners. Butterworth-
Heinemann: United Kingdom.
Subandi, dkk. 2018. Manajemen Mutu Bimbingan dan Konseling.
Lampung: Wali Songo Sukajadi.
Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta.
Sulistyarini dan Mohammad Jauhar. 2014. Dasar-Dasar Konseling.
Jakarta: Prestasi Pustakaraya.
Suluri. 2019. “Benchmarking dalam Lembaga Pendidikan”. Jurnal
Dinamika Manajemen Pendidikan, 3 (2), 84.
Supena, Ilyas. 2020. Panduan Teknis Benchmarking. Semarang: UIN
Walisongo.
Supriatna, Mamat. 2011. Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi.
Jakarta: Rajawali Press.
Sutirna. 2013. Bimbingan dan Konseling Pendidikan Formal, Nonfromal
dan Informal. Yogyakarta: Andi Offest.
Syafaruddin, dkk. 2017. Bimbingan dan Konseling Perspektif Al-Quran
dan Sains. Medan: Perdana Publishing.

63
Syafriana, Henni dan Abdillah Nasution. 2019. Bimbingan Konseling
“Konsep, Teori dan Aplikasinya”. Medan: LPPPI.
Tajiri, Hajir. 2008. “Keterampilan Konseling: Pengembangan Aplikatif
Dakwah Irsyad”. IRSYAD, 1 (1), 68.
Tarmizi. 2018. Bimbingan dan Konseling Islam. Medan: Perdana
Publishing.
Wangsanata, Susana Aditiya, dkk. 2020. Professionalism of Islamic
Spiritual Guide. Journal of Advanced Guidance and Counseling, 1
(2), 103 dan 106.
Watson, Gregory H. 2007. Strategic Benchmarking Reloaded with Six
Sigma. Canada: Bicentennial.
Wekke, Ismail Suardi, dkk. 2019. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta:
Gawe Buku.
Wibowo, Mungin Eddy. 2019. Konselor Profesional Abad 21. Semarang:
UNNES Press.
Widodo. 2017. Metodologi Penelitian: Populer & Praktis. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Winarni, Endang Widi. 2018. Teori Penelitian Kuantitatif Kualitatif,
Penelitian Tindakan Kelas (PTK), Research and Development
(R&D). Jakarta: Bumi Aksara.
Wince, Eke. 2018. “Benchmarking dalam Manajemen Sebuah
Perpustakaan”. Tik Ilmeu: Jurnal Ilmu Perpustakaan dan
Informasi, 2 (1), 30-31.
Wireman, Terry. 2015. Benchmarking Best Practices in Maintenance
Reliability and Asset Management. New York: Industrial Press.
Yusuf, A. Muri. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif &
Penelitian Gabungan. Jakarta: Kencana.
Yusuf, M. Jamil 2013. Konseling Islami Pada Fakultas Dakwah:
Pengembangan Profesi Dakwah Islam bidang Konseling
Komunitas. JURNAL AL-BAYAN, 19 (28), 8-9.
Yusuf, Syumsu dan Juntika Nurihsan. 2008. Landasan Bimbingan dan

64
Konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Yuswardi. 2021. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kompetensi
Profesional Guru di Perguruan Tamansiswa Pematangsiantar.
Mukadimah: Jurnal Pendidikan, Sejarah, dan Ilmu-Ilmu Sosial, 5
(2), 333-334.

I. DRAFT WAWANCARA

1. Draft Wawancara dengan Ketua Prodi Bimbingan dan


Penyuluhan Islam

a. Bagaimana pelaksanaan kegiatan benchmarking pada


mahasiswa prodi Bimbingan dan Penyuluhan Islam selama
tiga tahun terakhir?

b. Tujuan dari kegiatan benchmaraking untuk mahasiswa


Bimbingan dan Penyuluhan Islam seperti apa?

c. Seberapa penting kegiatan benchmarking untuk mahasiswa


Bimbingan dan Penyuluhan Islam?

d. Materi apa saja yang disajikan dalam kegiatan benchmarking?

e. Metode apa yang digunakan dalam kegiatan benchmarking?

f. Lalu bagaimana hasil dari kegiatan benchmarking selama tiga


tahun terakhir?

g. Apakah terdapat perubahan hasil yang signifikan terhadap


peningkatan kompetensi konselor mahasiswa Bimbingan dan
Penyuluhan Islam dengan adanya kegiatan benchmarking
dalam kurun waktu tiga tahun terakhir?

2. Draft Wawancara dengan ketua Dewan Pengurus Pusat


Perkumpulan Ahli Bimbingan dan Konseling Islam (DPP PABKI)
a. Bagaimana pelaksanaan benchmarking mahasiswa Bimbingan
dan Penyuluhan Islam selama tiga tahun terakhir?

65
b. Apa tujuan dari pelaksaan benchmarking yang
diselenggarakan untuk mahasiswa Bimbingan dan Penyulusan
Islam?
c. Seberapa penting kegiatan ini untuk mahasiswa Bimbingan dan
Penyuluhan Islam?
d. Benchmarking yang dipilih untuk diterapkan kepada mahasiswa
Bimbingan dan Penyuluhan Islam seperti apa?
e. Meteri yang dipilih untuk diberikan seperti apa?
f. Selama tiga tahun terakhir, apakah ada perubahan dalam
kondisi perkembangan kompetensi mahasiswa Bimbingan dan
Penyuluhan Islam?

3. Draft Wawancara dengan Mahasiswa yang Mengikuti


Benchmarking Kompetensi Konselor

a. Menurut mahasiswa, kegiatan benchmarking seperti apa?

b. Bagaimana menurut mahasiswa tentang penyampaian materi


pada kegiatan benchmarking?

c. Apakah materi tersebut telah cukup sebagai bahan acuan


sebagai calon konselor?

d. Bagaimana menurut mahasiswa mengenai kegiatan


benchmarking, seperti metode dan cara pelaksanaannya?

e. Apakah setelah mengikuti benchmarking mahasiswa


merasakan terdapat perubahan akan diri pribadi
mahasiswa? Misalnya merasakan mendapatkan pemahaman
diri yang lebih baik lagi.

f. Apakah mahasiswa merasa bahwa seorang konselor perlu


memiliki keterampilan untuk memahami orang lain (klien)?

g. Apakah mahasiswa merasa seorang konselor harus menjadi


pendengar yang baik dalam proses konseling?

66
h. Apakah mahasiswa merasa seorang konselor perlu memiliki
penampilan dan sikap yang menarik dalam proses konseling?

i. Selanjutnya, apakah mahasiswa merasa bahwa perlu untuk


menyadari kelemahan dan keterbasaan kemampuan diri
konselor?

j. Apakah mahasiswa merasakan bahwa adanya nilai-nilai yang


harus diperhatikan ketika menjadi konselor setelah mengikuti
benchmarking?

k. Apakah mahasiswa memahami bahwa penting untuk


mengetahui bagaimana keadaan konseli sebelum melakukan
konselor setelah mengikuti benchmarking

l. Apakah selama mengikuti benchmarking terdapat pemahaman


bahwa untuk menjadi seorang konselor kita harus menjadi
pribadi yang netral dalam membantu klien? Konselor juga harus
sehat untuk membantu orang lain?

m. Apakah selama mengikuti benchmarking diajarkan beberapa


teknik yang berguna dalam proses konseling?

n. Dalam menjadi seorang konselor itu berarti kita akan


berhubungan dengan masyarakat sehingga seorang konselor
harus memiliki kemampuan untuk memahami dan bekerja dalam
sistem sosial, apakah selama mengikuti benchmarking
dijelaskan hal demikian?

o. Setelah mengikuti benchmarking apakah mahasiswa merasa


bahwa sangat perlu untuk selalu belajar dan menambah
wawasan mengenai proses konseling untuk keberhasilan proses
konseling?

67

Anda mungkin juga menyukai