Anda di halaman 1dari 9

ARTIKEL ILMIAH

PEMBINAAN MORAL DAN AGAMA


BAGI GENERASI MUDA

Mata Kuliah : Psikologi Agama


Dosen Pengampu : M. Alias, S.Ag., M.Si.

Disusun Oleh Kelompok 8:


Fahmi Safitri (183410036)
Richa Oktriviani (211410023)
Rachmad Firdaus (211410022)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONTIANAK
2022/2023
PEMBINAAN MORAL DAN AGAMA BAGI GENERASI MUDA
Abstract
Developments that occur in various fields of life such as the development of science,
technology, information, and communication have a truly extraordinary impact. In addition to
the positive impact, in fact, this development has created many negative problems, especially
the decline/decade of morality and religion in the nation's generation. One of the adverse
effects of globalization is the emergence of consumerism, hedonism, and secularism which
causes moral and religious decadence in the nations. The worse condition of this condition can
be seen from the wrong attitude and behavior of the students. This is very concerning because
adolescents are the next generation of the nation's struggle. This phenomenon is quite
unsettling for the community and must receive attention and cooperation from all of us. The
purpose of this paper is to find out about moral and religious issues for the younger
generation, how to deal with them/the efforts to develop them, and what is the role of women
in the moral and religious development of the younger generation.
Keywords: Moral Decadence, Moral Development, Religious Development, Young Generation.
Abstrak
Perkembangan yang terjadi diberbagai bidang kehidupan seperti perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, informasi dan komunikasi memberikan dampak yang sungguh luar
biasa. Di samping dampak yang positif, pada kenyataannya perkembangan ini menggoreskan
banyak persoalan negatif, terutama kemerosotan/dekadensi moralitas dan agama generasi
bangsa. Sebagai bawaan dari perkembangan iptek, sikap konsumeristis, hedonistis, dan
sekuleristis merupakan embrio terjadinya dekadensi moral generasi. Hal ini diperparah lagi
ketika dekadensi moral ini sudah menggejala di kalangan pelajar tunas-tunas bangsa. Hal ini
sangat memprihatinkan dikarenakan generasi muda merupakan generasi penerus perjuangan
bangsa. Fenomena ini cukup meresahkan masyarakat dan harus mendapat perhatian dan kerja
sama dari kita semua. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui masalah-masalah moral
dan agama bagi generasi muda, cara menghadapi/ upaya pembinaannya dan bagaimana peran
wanita dalam pembinaan moral dan agama generasi muda.
Kata Kunci: Dekadensi Moral, Pembinaan Moral, Pembinaan Agama, Generasi Muda.

Psikologi Agama | 1
A. Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini menyisakan beberapa
persoalan yang perlu perhatian. Tidak dipungkiri masyarakat modern telah berhasil
mengembangkan ilmu pengetahun dan teknologi untuk menjadi alternatif penyelesaian
masalah kehidupan sehari-hari (Iptek sebagai produk budaya), namun pada kondisi
lain ilmu pengetahuan dan teknologi canggih tersebut kurang mampu menumbuhkan
moralitas (akhlak) yang mulia (Iptek sebagai faktor conditioning). 1 Perkembangan
teknologi saat ini, yang ditandai hadirnya zaman modern, termasuk di Indonesia
diikuti oleh gejala dekadensi moral yang benar-benar berada pada taraf yang
memprihatinkan. Akhlak mulia seperti kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong
menolong, tepo seliro (toleransi), dan saling mengasihi sudah mulai terkikis oleh
penyelewengan, penipuan, permusuhan, penindasan, saling menjatuhkan, menjilat,
mengambil hak orang lain secara paksa dan sesuka hati, dan perbuatan-perbuatan
tercela yang lain. Kemerosotan moral atau yang sering kita dengar dengan istilah
‘dekadensi moral’ sekarang ini tidak hanya melanda kalangan dewasa, melainkan juga
telah menimpa kalangan pelajar yang menjadi generasi penerus bangsa. Orang tua,
guru, dan beberapa pihak yang berkecimpung dalam bidang pendidikan, agama dan
sosial banyak mengeluhkan terhadap perilaku sebagian pelajar yang berperilaku di luar
batas kesopanan dan kesusilaan, semisal: mabuk-mabukan, tawuran, penyalahgunaan
obat terlarang, pergaulan dan seks bebas, bergaya hidup hedonis dan hippies di Barat,
dan sebagainya. Dengan begitu, bukanlah tanpa bukti untuk mengatakan bahwa
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi juga memiliki konsekuensi logis
terciptanya kondisi yang mencerminkan kemerosotan akhlak (dekadensi moral). 2
Di antara akibat negatif lainnya ialah nilai-nilai spiritualitas agama menjadi
momok dalam kehidupan, agama hanya untuk akhirat, sementara urusan dunia tidak
berkaitan dengan agama, Tuhan hanya menjadi simbol. Sebagian masyarakat menjauh
dari nilai-nilai agama, nilai-nilai sosial budaya dan nilai-nilai falsafah bangsa. 3
Hal ini sangat memprihatinkan dan dapat mengancam kehidupan harmonis
dalam masyarakat. Terlebih jika dibiarkan tanpa ada penanganan maka generasi muda
kita akan terus mengalami kemerosotan moral. Bagaimana negara ini bisa dipimpin
oleh generasi penerus yang tidak bermoral? Sedangkan itu merupakan fondasi awal
dalam berperilaku. Bagaimana pembangunan bangsa dan negara dapat berlanjut jika
generasi muda kita tidak berakhlak, serta mengabaikan nilai-nilai agama? Jumlah
generasi muda tersebut presentasenya memang tidak besar, namun sangat meresahkan
dan dapat menjadi faktor ekstern bagi yang lain dengan memengaruhi atau menularkan
perilaku tidak baik.
Oleh karena itu peranan orang tua, sekolah, dan kita semua sangat penting
dalam upaya menghindarkan generasi muda dari perbuatan yang tidak baik. Dan juga
sebagai pihak yang ikut andil dalam dunia pendidikan, terkhusus pada pendidikan
agama Islam (PAI), kita dihadapkan pada kondisi yang sangat perlu berbenah diri.
Maka perlu bagi kita untuk mengetahui masalah-masalah moral dan agama pada
generasi muda sekarang sehingga kita dapat mengahadapi masalah tersebut, membina
mereka untuk kehidupan yang lebih baik.

1
Abdul Munir Mulkhan dkk, Rekonstruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren, Religiusitas Iptek (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm.
29.
2
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 141.
3
Mudji Sutrisno, Dialog Kritis dan Identitas Agama (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 178.

Psikologi Agama | 2
B. Masalah Kehidupan Moral dan Agama Generasi Muda Dewasa Ini (Bahaya yang
Mungkin Terjadi) dan Cara Menghadapi Masalah Tersebut
Sebagai agen perubahan (agent of change) Generasi muda memiliki peranan
penting terhadap isu-isu sentral yang muncul disekitar lingkungannya. Generasi muda
dalam arti yang luas yang oleh Prof. Zakiah Darajat didefinisikan sebagai generasi
yang mencakup umur anak dan remaja, mulai dari lahir sampai mencapai kematangan
dari segala segi, baik jasmani, rohani, sosial, budaya, dan ekonomi.4
Sebelum kita menawarkan solusi terbaik bagi masalah kehidpuan moral dan
agama di kalangan generasi tunas bangsa. Alangkah lebih baiknya kita mencari sebab
atau mengidentifikasi faktor-faktor penyebab timbulnya masalah tersebut terlebih
dahulu. Banyak faktor yang bisa menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang di
kalangan generasi muda sehingga menyebabkan masalah dan dekadensi moral dan
agama. Diantaranya adalah sebagaimana dijelaskan berikut ini yang akan diikuti
dengan penanggulangannya.
Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama. Sudah menjadi tragedi di
dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan,
sehingga keyakinan beragama mulai terdesak, kepercayaan terhadap Tuhan tinggal
simbol, larangan-larangan dan perintah-perintah Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan
longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan
pengontrol yang ada di dalam dirinya. Dengan demikian, satu-satunya alat pengawas
dan pengatur moral yang dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan
peraturannya. Namun biasanya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan
dari dalam diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang
tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan
senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum sosial itu.
Apabila dalam masyarakat itu banyak orang yang melakukan pelanggaran, dengan
sendirinya orang yang kurang iman tadi akan mudah pula meniru melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang sama. 5
Akan tetapi, jika setiap orang dengan teguh memegang keyakinannya kepada
Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya
pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri dan
mampu menyeleksi pengaruh dari lingkungan (“Structured Person” - meminjam istilah
yang dipakai A. Munir Mulkhan). Sebaliknya, dengan semakin jauhnya masyarakat
dengan agama (sekuler), semakin susah memelihara moral orang dalam masyarakat
itu, dan semakin kacaulah suasana karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran
hukum dan nilai moral.
Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga,
sekolah, maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi
ini tidak berjalan menurut semestinya atau yang sebisanya. Pembinaan moral di rumah
tangga misalnya harus dilakukan dan sejak anak masih kecil, sesuai dengan
kemampuan dan umurnya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik
untuk menumbuhkan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu.
Pembinaan moral yang dilakukan di rumah tangga bukan dengan menyuruh menghafal
rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Zakiah Daradjat
mengatakan, moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari
4
Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2005), hlm. 152.
5
Zakiah Darajat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1979), hlm. 66.

Psikologi Agama | 3
saja, tanpa membiasakan hidup bermoral sejak kecil. Moral itu tumbuh dari tindakan
kepada pengertian dan tidak sebaliknya.6
Seperti halnya rumah tangga, yang dijadikan sebagai basic-education, sekolah
pun memiliki peranan penting dalam pembinaan moral anak didik. Hendaknya sekolah
dapat dijadikan sebagai lapangan untuk menumbuhkembangkan mental dan moral
anak didik, disamping ilmu pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Untuk
menumbuhkan sikap moral yang demikian itu, pendidikan agama di sekolah harus
dilakukan secara intensif agar ilmu dan amal dapat dirasakan anak didik di sekolah.
Apabila pendidikan agama/moral diabaikan di sekolah, maka didikan agama/moral
yang diterima di rumah tidak akan berjalan dengan baik, bahkan mungkin paradoks
(berlawanan), dan berdampak pada kegagalan pendidikan moral.
Selain rumah tangga dan sekolah, masyarakat juga memiliki peran dalam
pembinaan moral. Masyarakat dapat sebagai kontrol secara eksternal dan bersifat
penting dalam pembinaan moral. Hadirnya masyarakat yang rusak moralnya akan
sangat berpengaruh pada perkembangan moral anak. Karena kerusakan masyarakat itu
sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan anak, maka harus segera diatasi.
Terjadinya kerusakan moral di kalangan pelajar dan generasi muda sebagaimana
dijelaskan di atas, bisa dikarenakan tidak efektifnya peran keluarga, sekolah, dan
masyarakat dalam pembinaan moral. Dengan begitu ketiga instansi pendidikan ini
harus berjalan seiringan dalam pendidikan atau pembinaan moral. Hal senada juga
disampaikan oleh Maragustam bahwa tanggung jawab pembinaan moral sebagai
bagian dari pendidikan Islam merupakan perwujudan atas pendidikan keluarga,
masyarakat dan pemerintah melalui sekolah yang dimilikinya.7
Ketiga, derasnya arus budaya materialisme, hedonisme, dan sekularisme.
Seperti banyak informasi yang kita ketahui melalui beberapa media cetak atau
elektronik (televisi) tentang anak-anak sekolah menengah yang ditemukan oleh
gurunya atau polisi mengantongi obat-obat terlarang, gambar-gambar dan video yang
berbau porno, alat-alat kontrasepsi, dan benda-benda tajam. Semua benda yang
ditemukan tersebut merupakan benda yang terindikasi atau ada kaitannya dengan
penyimpangan moral yang dilakukan oleh kalangan remaja usia sekolah. Gejala
penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar
kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu, dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama.
Timbulnya sikap perbuatan tersebut tidak bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya
materialisme, hedonisme, dan sekulerisme yang disalurkan melalui tulisan-tulisan,
lukisan-lukisan, siaran-siaran, pertunjukan-pertunjukan, film, lagu-lagu, permainan-
permainan, dan sebagainya. Penyaluran arus budaya yang demikian itu didukung oleh
para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dengan
memanfaatkan kecenderungan para remaja, tanpa memerhatikan dampaknya bagi
kerusakan moral. Derasnya arus budaya yang demikian disinyalir termasuk faktor
yang paling besar andilnya dalam menghancurkan moral para remaja dan generasi
tunas bangsa.
Cara melawan hal ini tentu saja dengan akal dan ilmu, memahami agama
dengan sebaik-baiknya sehingga menyadari bahwasanya agama tidaklah menghambat
kemajuan peradaban manusia, akan tetapi ia mengatur kehidupan manusia untuk lebih
baik dan sempurna. Dan sejatinya hukum-hukum yang terdapat didalam Islam adalah
hukum yang paling adil, yang mana orang yang menampikannya adalah karena
6
Ibid., hlm. 67.
7
Maragustam, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam) (Yogyakarta: Nuha Litera, 2010), hlm. 118.

Psikologi Agama | 4
menghambatnya dari mencapai tujuan, yang mana tidak dapat lagi melihat secara
perkara secara objektif karena tertutupi oleh ambisinya. Dan hendaknya kita harus
selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki dan sadar bahwasanya kebahagiaan
bukanlah terletak pada materi.
Keempat, belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah.
Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan (power), uang, teknologi, sumber daya
manusia, dan sebagainya nampaknya belum menunjukkan kemauan sunggung-
sungguh untuk melakukan pembinaan moral bangsa.8 Hal yang demikian semakin
diperparah lagi oleh adanya ulah sebagian elite penguasa yang semata-mata mengejar
kedudukan, peluang, kekayaan, dan sebagainya dengan cara-cara yang sama sekali
tidak mendidik, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme yang hingga kini belum ada
tanda-tanda untuk hilang. Mereka asyik memperebutkan kekuasaan, materi, dan
sebagainya dengan cara-cara yang tidak terpuji, dengan tidak memperhitungkan atau
bahkan sama sekali tidak memperhitungkan dampaknya bagi kerusakan moral bangsa.
Bangsa jadi ikut-ikutan, tidak mau lagi mendengarkan apa yang disarankan dan
dianjurkan pemerintah, karena secara moral mereka sudah kehilangan daya
efektivitasnya.
Pemerintah hedaknya memberikan perhatian khusus bagi pembinaan moral
bangsa. Menetapkan dan memastikan pengaplikasiannya dapat berjalan dengan baik di
segala lini masyarakat. Dan menjaga lembaga-lembaga pelaksana dan anggota-
anggotanya agar berjalan sesuai tujuan, tetap integritas dan menjunjung tinggi nilai-
nilai kejujuran. Dan perlu adanya tindakan dan hukuman yang keras bagi mereka yang
sudah mengkhianati bangsanya sendiri dengan melakukan korupsi, kolusi, dan
nepotisme, yang akan memberikan efek jera kepada pelakunya sehingga tidak ada
peremehan.
C. Peran Wanita dalam Pembinaan Moral dan Agama Generasi Muda
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan bahwa wanita adalah sebagai
pendamping kaum laki-laki disamping sebagai khalifah dimuka bumi. Dalam rangka
memakmurkan bumi, wanita mempunyai peran yang sangat penting, karena ia
berperan sebagai perantara lahirnya manusia, sebagai generasi penerus maupun
sebagai pembina akhlak yang tinggi.
Menjadi ibu adalah suatu posisi yang sangat mulia. Karena hanya melaluinya,
manusia-manusia bisa dihidupkan di dalam rahim, dilahirkan, disusui dan diasuh.
Kemulyaan ini semestinya dikondisikan masyarakat, dengan melahirkan kebijakan,
norma-norma sosial dan aturan yang mendukung perkembangan wanita sebagai calon
ibu yang sehat, pintar, cerdas, kuat dan bertanggungjawab.9 Bahwa ibu yang pandai
dan bijaksanalah, yang dapat mendidik dan membesarkan anaknya sehingga menjadi
anak yang bahagia dari kecil sampai dewasa dan tuanya nanti. Karena itu peranan ibu
dalam pembinaan moral dan agama si anak betul-betul sangat menentukan.
Pendidikan moral dan agama dalam keluarga yang dilakukan oleh kaum ibu
harus dapat membawa para putra-putrinya menuju terbentuknya kepribadian muslim.
Maka dari itu selaras dengan tingkat perkembangan pada masa anak-anak, maka
prinsip-prinsip agama yang harus dilakukan dan diperhatikan oleh ibu secara garis
besar dalam keluarga sebagai berikut:
8
Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 207.
9
Utami Munandar. Emansipasi dan Peran Ganda W (Rohmah & Aziz, 2018)anita Indonesia, Suatu Tinjauan Psikologis (Jakarta: UI Press,
1985), hlm. 59.

Psikologi Agama | 5
1. Kasih sayang terhadap anak
Ditinjau dari segi pendidikan maka kasih sayang orang tua atau ibu terhadap
putra-putrinya adalah vital sekali, untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan anak
selanjutnya. Kasih sayang orang tua terhadap anak adalah modal utama, terutama
dalam usaha pendidikan mental anak. Karena itu pentingnya kasih sayang yang tidak
boleh diingkari oleh orang tua. Dan juga dalam mewujudkan hal ini, hendaklah kasih
sayang itu dilaksanakan secara wajar jangan sampai berlebihan.
2. Memberi tauladan
Orang tua atau ibu harus memberikan tauladan yang baik, karena bagaimanapun
keteladanan ini akan dicontoh dan ditiru oleh anak. Dengan teladan ini timbul lah
segala identifikasi, dalam membentuk kepribadian, sebab nilai-nilai yang dikenal anak
masih melihat pada orang-orang yang disayangi dan dikagumi, oleh karena itu ibu
harus hati-hati dan harus mengerahkan daya identifikasi tersebut kearah yang positif.
Pengarahan yang relevan perlu dilaksanakan oleh ibu antara lain sebagai berikut:
a) Orang tua selalu menjadi suri tauladan yang baik seperti misalnya, orang tua
menjalankan amalan-amalan agama, shalat, puasa, berakhlak baik dan lain
sebagainya.
b) Menjaga dan mengurangi anak bergaul dengan teman-teman yang kurang baik.
c) Ibu dapat menyediakan buku-buku bacaan yang baik dan bermanfaat.
3. Membiasakan pada anak
Maksud dari membiasakan, adalah membiasakan pada hal-hal yang baik, yang
telah diakui umum bahwa pembiasaan itu adalah suatu alat pendidikan yang sangat
penting. Jadi baik buruknya bagi anak-anak masih dilekatkan pada orang dewasa.
Karena itu pembiasaan dari ibu bapaknya terhadap anaknya sangat penting dalam
membentuk kepribadiannya untuk berakhlak budi luhur.10
Disinilah jelas bahwa usaha-usaha yang penting atau tindakan yang perlu
dalam pembinaan anak, maka ibu akan melaksanakan sebagai berikut:
a) Memberikan latihan-latihan sehingga anak akan terbiasa mengerjakan suatu
perbuatan yang dianjurkan agama. Dari latihan secara konsisten akan
menghasilkan sikap disiplin terhadap diri sendiri dan disiplin dalam
menjalankan tugas dan kewajiban.
b) Memberikan anjuran, suruhan dan perintah-perintah yang menuju kearah
perbaikan/kebaikan, keselamatan dan kesejahteraan.
c) Ibu juga harus memberi kesempatan pada anak untuk ikut berkompetisi dan
kooperasi dengan teman-temannya. Misalnya perlombaan mengaji Al-Qur’an,
hal ini perlu untuk mendorong anak berusaha lebih giat dalam kebaikan.
d) Ibu juga melarang dan menghukum, hal ini merupakan usaha yang tegas, guna
menghentikan perbuatan yang ternyata salah atau bila anak ada gejala tidak
mau menjalankan perintah Agama, maka pendidikan harus lebih dipertegas dan
keras. Dalam hal ini terpaksa jika anak tetap bandel maka orang tua perlu
untuk memberi hukuman pada anak secara wajar.
Pendidikan dan perlakuan menentukan kesehatan jiwa anaknya dikemudian
hari. Kehidupan keluarga yang tercermin dalam hubungan suami istri dan sikap mental
serta kehidupan moral dan agama ibu merupakan suri tauladan yang akan menjadi
unsur yang diserap oleh anak dalam pribadinya nanti. Maka fungsi wanita itu sebagai
ibu sangat penting bagi generasi muda. Kalau demikian halnya maka wanita harus
dipersiapkan secara matang sebelum menjadi ibu. Karena masa depan anak-anaknya
banyak bergantung pada ibunya.
10
Noer Rohmah dan Nur Chotimah Aziz, “Peran Wanita dalam Pembinaan Mental Agama Generasi Bangsa Masa Depan”, Al-Fikrah Vol.
1 No. 1, Juni 2018, hal 59-62.

Psikologi Agama | 6
Akan tetapi dalam kenyataan hidup, sekolah atau kursus untuk dipersiapkan
menjadi istri dan ibu tidak ada, maka terjadilah seperti yang sekarang ini yaitu wanita
dianggap otomatis mampu menjadi istri dan ibu yang baik tanpa persiapan, sehingga
pada akhirnya pembinaan anak akan banyak bergantung pada keadaan diluar keluarga,
di sekolah dan masyarakat lingkungannya.
Jadi disini ibu memberikan pembinaan secara kontinu serta mampu
memperbaiki apa yang diterima anak dirumah, maka anak akan tertolong. Tetapi kalau
ibu hanya memberikan terbatas pada pengetahuannya tetapi tidak melaksanakan fungsi
mendidik, maka ilmu anak tidak akan bertambah dan pembinaan moral dan agamanya
akan terabaikan.
D. Kesimpulan
Perkembangan teknologi saat ini, yang ditandai hadirnya zaman modern,
termasuk di Indonesia diikuti oleh gejala kemerosotan moral atau yang sering kita
dengar dengan istilah ‘dekadensi moral’ yang menimpa generasi muda benar-benar
berada pada taraf yang memprihatinkan. Faktor penyebab krisis moralitas dan agama
ini diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, Longgarnya pegangan terhadap agama. Maka seyogyanya para
pendidik dan orang tua memperkuat pemahaman agama terhadap mereka dan tidak
lupa juga dengan diri masing-masing agar terbentukmnya masyarakat yang
mempunyai kesadaran atas dirinya sendiri terhadap baiknya moral dan agama.
Kedua, Kegagalan dari dunia pendidikan, baik pendidikan formal, nonformal,
maupun informal. Dengan demikian ketiga lembaga tersebut harus berbenah, bersatu-
padu, bersinergi secara efektif dalam menanamkan nilai-nilai moralitas dan tatakrama
budi pekerti yang luhur. Jika ketiga lembaga ini saling mengisi, diharapkan akan dapat
membentuk anak didik, sebagai generasi masa depan, yang bermoral luhur mulia.
Ketiga, Derasnya arus budaya materialisme, hedonisme, dan sekularisme.
Dengan demikian setiap individu harus bertindak bijak dan rasional, beriman teguh
kepada Tuhan, dan saling menjaga satu sama lain agar dapat selamat dari dampak
buruk arus budaya ini.
Keempat, Belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah
dalam pembinaan moral dan agama bagi generasi muda. Sehubungan dengan hal itu
maka hendaknya pemerintah mulai memberikan perhatian khusus bagi pembinaan
moral bangsa dan mencangkan program-progam untuk mendukung hal ini demi
terwujudnya generasi emas.
Peran wanita dalam pembinaan mental agama generasi bangsa masa depan
sangat urgen sekali karena tegak dan hancurnya suatu bangsa sangat tergantung dari
moral generasi mudanya. Jika moral generasi mudanya baik, maka tegaklah bangsa
itu, dan jika moral generasi mudanya buruk maka hancurlah bangsa itu.

Daftar Pustaka
Darajat, Zakiah. (1979). Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung.
Darajat, Zakiah. (2005). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Daulay, Haidar Putra (2012). Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Jakarta: Kencana.

Psikologi Agama | 7
Maragustam. (2010). Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan
Islam). Yogyakarta: Nuha Litera.
Mulkhan, Abdul Munir dkk. (1998). Rekontruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren,
Religiusitas Iptek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munandar, Utami. (1985). Emansipasi dan Peran Ganda Wanita Indonesia, Suatu Tinjauan
Psikologis. Jakarta: UI Press.
Nata, Abudin. (2012). Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.
Rohmah, N. & Aziz, N. C. (2018, Juni). Peran Wanita dalam Pembinaan Mental Agama
Generasi Bangsa Masa Depan. Al-Fikrah, 1 (1), 56-70.
Sutrisno, Mudji. (1994). Dialog Kritis dan Identitas Agama. Bandung: Mizan.

Psikologi Agama | 8

Anda mungkin juga menyukai