Sumber Mps 3
Sumber Mps 3
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
ABSTRAK
Berbagai model kekerasan dalam kehidupan sosial mungkin disebabkan oleh agama. Kekerasan atas
nama agama tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi telah menyebar ke seluruh dunia. Seringkali,
kekerasan, kekejaman, dan tragedi kemanusiaan tidak hanya disebabkan terutama oleh agama, tetapi
juga dipicu oleh faktor politik, kekuasaan, rasisme, etnosentrisme, kolonialisme, serta kapitalisme.
Tulisan ini merupakan hasil studi lapangan dengan menggunakan paradigma definisi sosial dengan
teori simbolik interpretatif. Sumber data terbatas pada faktor sosio-antropologis yang mengarah pada
perilaku kekerasan atas nama agama.
Artikel ini mengungkap dua faktor sosio-antropologis yang mengakibatkan perilaku kekerasan agama:
a) faktor teologis-normatif-konservatif dan b) sosiologis-pragmatis-ekonomi,
faktor sosiologis-pragmatis-politik, dan sosiologis-religius-etik. Faktor pertama telah memunculkan
sikap fanatik, klaim kebenaran, eksklusif, tekstual dan kitab suci, yang menjadi faktor utama radikalisme
agama. Sedangkan faktor kedua telah menghasilkan kekerasan berbasis agama karena aspek politik,
sektor ekonomi, dan integritas sosial.
PENDAHULUAN
Berbagai bentuk kekerasan antar agama terdiri dari dua model yaitu kekerasan fisik
kekerasan non fisik (Segal, 2007). Kekerasan non fisik tersebut dapat berupa kekerasan
yang berkaitan dengan aspek politik, sosiologis, dan antropologis (Wim Beuken dan
Karl Joseph Kauschel, 2003). Pengertian kekerasan atas nama agama tidak terbatas
pada penganut secara individu, tetapi juga pada penganut kelompok
(Heidar Nasir, 1999, 64-66).
Fakta tentang kekerasan antaragama telah menarik perhatian dunia (Mukhibat dan
Muhammad Ghafar, 2019). Misalnya, kekerasan antara Islam dan
1268
Machine Translated by Google
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
Kristen Bosnia-Kroasia terjadi di Eropa, antara Katolik dan Kristen Anglikan di Irlandia,
antara Hindu dan Islam di India, antara Islam dan Kristen di Filipina, Yaman, Sudan dan
Indonesia. Selain itu, konflik internal agama Kristen juga terjadi di Rwanda. Konflik juga
terjadi di antara tiga pemeluk agama yang berbeda: Islam, Kristen, dan Yudaisme di
Lebanon (Miall, at.al., 2000, 37-38).
Lebih banyak kekerasan atas nama agama terlihat pada data tahun 2010 sebanyak 216
kasus kekerasan terhadap agama minoritas. Terdapat 244 kasus kekerasan agama pada
tahun 2011. Jumlah kekerasan agama meningkat signifikan menjadi 264 kasus pada tahun
2012. Data yang disajikan Wahid Institute pada tahun 2010 menunjukkan 64 pelanggaran
kebebasan beragama dan 134 intoleransi beragama sedangkan pada tahun 2011 terjadi
peningkatan yang signifikan hingga 92 pelanggaran dan 184 intoleransi beragama (https://
www.hrw.org/id/report) .
Dokumen Setara Institute, Jakarta, pada 6 Februari 2011 menunjukkan sekitar 1500 militan
Islam menyerang 21 jamaah Ahmadiyah di Desa Umbulan Cikeusik, Jawa Barat dengan
batu, bambu, dan parang. Pada tanggal 26 Agustus 2012 terjadi konflik internal agama
antara Sunni dan Syi'i di Sampang, Madura (Saiful Bahri, https://www.hrw.org/id/report).
Dalam kasus itu, warga Muslim Sunni membakar sekitar 50 rumah Syi'i. Semua kekerasan
agama yang digambarkan di atas dianggap sebagai manifestasi nyata dari
Kekerasan berbasis agama tidak hanya akan mengancam pluralisme nasional, budaya, dan
hak asasi manusia, tetapi juga keutuhan bangsa dan negara. Hans Kung,
Dosen Teologi Ekumenis Universitas Tubingan, Jerman ini menyatakan bahwa harus kita
akui dengan menyesal bahwa agama telah menjadi elemen penting dalam berbagai kasus
kekerasan dalam rumah tangga, terorisme global, dan kerusuhan kolektif di berbagai
belahan dunia saat ini (Sumanto, 2010).
Sejumlah besar kerusuhan bernuansa agama dicap sebagai jihad di jalan Allah. Menurut
Machasin (2004:792), akar teologis semacam itu muncul dari konstruksi paradigmatik
konsep jihad yang sangat alkitabiah, tampaknya mendukung kekerasan untuk mendapatkan
keuntungan pribadi dan terbatas.
1269
Machine Translated by Google
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
TINJAUAN LITERATUR
Wacana akademis tentang radikalisme dan terorisme global telah mengundang banyak pakar
untuk memberikan pendapatnya. Bruce (2003) mengatakan bahwa agama, khususnya Islam dan
Kristen, berpotensi melahirkan radikalisme. Sementara itu, Armstrong (2002) meyakini bahwa
banyaknya kekerasan, kekejaman, dan tragedi kemanusiaan tidak hanya disebabkan oleh agama,
tetapi juga oleh faktor politik, kekuasaan, rasisme, etnosentrisme, kolonialisme, komunisme, dan
kapitalisme. Kekerasan pada umumnya dikaitkan dengan agama, padahal ajaran agama
khususnya dalam Islam selalu mengajarkan perdamaian, cinta kasih, kebaikan, keadilan, dan
kejujuran (Putra dan Sukabdi, 2018; Kuppens dan Langer, 2020).
Gagasan radikalisme agama diasumsikan sebagai gerakan yang inovatif dan modern (Armstrong,
2002). Selain itu, Juergensmeyer (2002) menyatakan bahwa tren kekerasan agama yang terkait
dengan agama-agama besar dunia memiliki dasar teologis yang begitu kuat. Senada dengannya,
Ilyas (2004) menyimpulkan bahwa gerakan radikalisme Islam pada umumnya berakar pada
landasan teologis-eksklusif. Hasil penelitian yang sama juga dilakukan oleh Bruinessen (1994)
bahwa munculnya gerakan Islam radikal dengan berbagai motif dan karakteristik yang ada
diilhami oleh gerakan DI/TII, Masyumi.
(Partai Radikal), dan PII (Gerakan Mahasiswa Islam) yang menggalakkan berdirinya negara Islam.
Lebih lanjut, Arifin (2004) juga menambahkan perspektif lain bahwa gerakan fundamentalisme
Islam bukan semata-mata karena fenomena keagamaan, tetapi juga karena kepentingan politik,
yakni menegakkan kembali daulah Islamiyah. Demikian pula Roibin dalam penelitiannya
menegaskan bahwa mencairnya gerakan salafi ultrakonservatif menuju progresivisme salafi
disebabkan oleh kepentingan politik praktis (Roibin, 2011: 87). Dengan kata lain, problem teologis
gerakan salafi yang sangat purifikatif-dogmatis dapat memudar sampai batas tertentu karena
berbenturan dengan kepentingan ekonomi yang parsial-praktis.
Banyak negara telah memperkenalkan berbagai upaya global untuk membangun dan
menumbuhkan nilai-nilai kesadaran beragama. Beberapa konferensi intensif tentang agama dan perdamaian
telah diadakan sejak abad kedua puluh. Salah satu tujuan inti adalah untuk membangun iman
agama untuk melindungi dunia. Upaya tersebut dilakukan karena
eskalasi kekerasan global yang semakin kuat (Ahmad Isnaeni, 2014, 214).
Konferensi pertama diadakan pada tahun 1970 di Kyoto. Kemudian, kegiatan yang sama
dilanjutkan di Lauvain pada tahun 1974. Akhirnya, konferensi ketiga diadakan pada tahun 1979
di Princeton. Konferensi ini dihadiri oleh 338 peserta dari 47 negara yang berbeda agama dan
kepercayaan. Hasil dari konferensi agama tersebut adalah menyerukan perdamaian dunia
berdasarkan paradigma cinta, kebebasan, keadilan, dan kebenaran
1270
Machine Translated by Google
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
(Ahmad Isnaeni, 2014, 214). Di tengah upaya masyarakat dunia untuk menyerukan
perdamaian, fakta kekerasan menunjukkan bahwa ekspresi setiap agama selalu dibayangi
oleh sikap kejam dan menakutkan. Agama dan ajarannya sebagai sistem nilai moral yang
menyejukkan dan mendamaikan manusia tiba-tiba menjelma sebagai ajaran yang berpotensi
memecah belah masyarakat menjadi beberapa kelompok dan berujung pada konflik dan
kekerasan (Yuangga Kurnia, 2017).
HASIL
1271
Machine Translated by Google
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
1272
Machine Translated by Google
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
DISKUSI
Sebelum menganalisis perkembangan dan dinamika pemikiran elite agama terkait
faktor sosio-antropologis munculnya perilaku kekerasan beragama, kajian ini terlebih
dahulu memaparkan pemahaman beberapa istilah: a) normatif-teologis-konservatif b)
sosiologis-pragmatis-ekonomi, sosiologis-pragmatis-politik, dan sosiologis-religius-etis.
Faktor normatif-teologis-konservatif
Istilah “normatif” berasal dari kata “norma” yang berarti ajaran, acuan, ketentuan baik
dan buruk, serta perintah dan larangan melakukan sesuatu. Kata “norma” identik
dengan akhlak, yaitu perbuatan alamiah tanpa adanya paksaan dan kepura-puraan
yang dilakukan atas kemauan sendiri. Karena moral adalah inti dari agama, norma
sering dianggap sebagai agama. Dengan demikian, norma adalah suatu benda yang
diyakini kebenarannya, tidak untuk diingkari dan wajib ditaati (Abudin Nata, 2001, 18,
juga dibaca Andi Eka Putra, 2017, 74).
Lebih lanjut, istilah “normatif” sebagai pendekatan berarti pendekatan yang mengacu
pada teks agama sebagai alat analisis. Oleh karena itu, pendekatan normatif merupakan
metode tekstual tanpa memberikan ruang pemahaman kontekstual bagi peneliti. Selain
itu, teologi merupakan hakikat kajian yang melandasi teks agama sebagai alat analisis.
Kajian normatif teologis berarti kajian kitab suci teosentris yang menitikberatkan pada
wilayah ketuhanan, bukan pada aspek kemanusiaan.
Ini adalah pendekatan yang benar-benar memisahkan antara wahyu sebagai entitas
ilahi di satu sisi dan kemanusiaan di sisi lain (Andi Eka Putra, 2017, 75).
Konstruksi teoritis di atas relevan dengan makna emik yang berkembang selama
proses wawancara. Para elite agama mengatakan bahwa konsep normatif-teologis
konservatif adalah cara pandang keagamaan seseorang atau masyarakat yang diilhami
oleh teks-teks agama sebagai norma otoritatif (Al-Quran dan al-Hadits) yang
bersifat mutlak dan dipahami dengan satu perspektif, yaitu teologi perspektif.
Menurut Ibrahim Abu Bakar sebagaimana dikutip Fahrurrozi, Islam konservatif normatif-
teologis cenderung militan dan eksklusif (Fahrurrozi, 2015, 22), dan diyakini sebagai
sudut pandang yang memiliki kebenaran teleologis-finalistik. Perspektif ini seringkali
menolak modernisme, humanisme, dan liberalisme.
Logika pemikiran ini dibenarkan oleh Juergensmeyer (2012) bahwa kekerasan agama
pada hakekatnya didasarkan pada akar teologis yang sangat kuat. Pendapat ini
didukung oleh Ilyas yang berkesimpulan bahwa gerakan radikalisme Islam pada
umumnya berpijak pada landasan teologis-eksklusif. Bassam Tibi juga menegaskan
bahwa Islam normatif teologis-konservatif identik dengan Islam fundamentalis.
Pendekatan di atas menolak pemikiran baru dalam kehidupan sosial empiris yang
belum tersedia dalam doktrin ajaran agama. Islam adalah ajaran agama yang total dan
menyeluruh. Islam tidak memerlukan upaya apapun untuk memasukkan ide-ide baru
dari luar Islam untuk memecahkan masalah umat Islam (Fahrurrozi, 2015, 23). Sikap
konservatif dalam Islam mirip dengan sikap religius konservatif terhadap agama,
1273
Machine Translated by Google
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
khususnya dalam agama Kristen dan Katolik. Mereka menganggap bahwa hal yang aktual
dan relevan tidak perlu diubah. Hal ini sejalan dengan pemahaman teologi Jabariyah dalam
Islam yang dipelopori oleh Al-Ja'd Ibn Dirham pada abad VIII Masehi. Kelompok ini memiliki
paradigma bahwa manusia mengikuti perintah Tuhan. Manusia tidak memiliki kemampuan
untuk mengubah situasi sosial karena semuanya telah digariskan oleh Allah SWT (Wedra
Aprison, 2017, 407).
Dampak dari pendekatan ini dapat mendorong fanatisme kelompok. Sikap inilah yang
menjadi penyebab utama munculnya perilaku kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Menurut Achmad Mubarok, fanatisme adalah pernyataan yang berfungsi merujuk pada
keyakinan tanpa landasan teori dan data. Akan tetapi, keyakinan tersebut sangat kokoh
sehingga menjadi doktrin yang sulit diubah dan diluruskan (Yosida Heatubun, 2011).
Tindakan fanatisme sama sekali tidak logis dan rasional. Oleh karena itu, strategi untuk
mempengaruhi orang bukan dengan cara berpikir rasional. Pemikiran rasional semacam itu
mutlak ditolak oleh sikap fanatisme ini. Fanatisme adalah sentimen yang membimbing dan
mempengaruhi manusia dalam berbagai cara dalam hal mempersepsi, memutuskan,
memahami, merasakan, serta berperilaku (Yosida Heatubun, 2011).
Dalam salah satu artikel tentang "fanatisme" dalam Dictionnaire Philosophique, Voltaire
menyatakan bahwa ketika fanatisme telah menjadi penyebab kerusakan otak. Penyakitnya
tidak bisa disembuhkan. Lebih parahnya lagi, sebelum kematiannya, dia ingin mati sambil
memuji Tuhan, mencintai teman, dan menghindari membenci musuh, tetapi dia hanya
membenci satu hal: membenci "fanatisme". Hal ini menunjukkan dahsyatnya bahaya
fanatisme dalam kehidupan. Oleh karena itu, fanatisme menjadi catatan khusus sebelum
Voltaire meninggal (Yosida Heatubun, 2011).
Fanatisme dalam kelompok, agama, dan etnis yang dapat menyebabkan kekerasan fisik
sering terjadi di banyak tempat. Kekerasan sosial yang mengganggu stabilitas kehidupan,
1274
Machine Translated by Google
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
tidak hanya mengancam kekompakan masyarakat dalam skala mikro, tetapi juga
membahayakan integrasi bangsa. Fanatisme dengan berbagai macamnya dianggap
sebagai virus sosial berbahaya yang dapat menurunkan produktivitas umat manusia.
Uniknya, virus sosial ini tidak pernah hilang, namun selalu berkembang seiring berjalannya
waktu. Akhrani (2018: 40) menemukan adanya pengaruh yang signifikan antara fanatisme
agama, prasangka agama, dan intensi konflik agama, baik secara simultan maupun
parsial antara ketiga variabel tersebut.
Faktor kedua adalah klaim kebenaran yang terintegrasi dalam setiap agama. Penganut
agama tertentu seringkali mengklaim bahwa agamanya lebih baik, lebih benar, dan lebih
orisinal dibandingkan agama lain. Penelitian ini menunjukkan bahwa 39% informan
mengatakan bahwa sikap truth claim di masyarakat telah menyebabkan perilaku
kekerasan agama. Menurut Amir, masyarakat menghadapi masalah serius, terutama
masalah interaksi agama dalam aspek teologis dan ideologis (Amir Tajrid, 2012, 194).
Akibatnya, klaim kebenaran dalam agama mendorong orang untuk menghakimi,
mendiskreditkan, menekan, dan membatasi ide-ide agama yang berbeda. Fenomena ini
terjadi di wilayah agama eksternal dan internal agama (Amir Tajrid, 2012). Beberapa
klaim subjektif ini akhirnya mengarah pada istilah-istilah ekstrem, seperti sempalan, sesat,
sesat, kafir, dan agnostik. Orang sering menganggap bahwa hanya mereka sendiri dan
kelompok mereka yang murni. Karakter dasar suatu keyakinan seperti dalam agama
berpotensi menyebabkan munculnya klaim kebenaran. Kebenaran klaim agama
memunculkan sikap mainstream dalam beragama. Kelompok mainstream justru sering
dianggap sebagai satu-satunya penafsir agama yang sah. Sedangkan tafsir agama lain
dianggap tidak memiliki dasar yang jelas dan standar yang nyata.
Klaim kebenaran dalam setiap agama tidak dapat dihindari karena setiap agama memiliki
potensi klaim kebenaran. Namun, menurut Fitriyani, klaim kebenaran di setiap agama
memang ada, tetapi idealnya bersifat internal dan adil di wilayah internal masing-masing
agama. Klaim kebenaran tidak perlu menuntut pernyataan keluar bagi pemeluk agama
lain yang tidak menganut agamanya (Fitriyani, 2011, 341). Dengan kata lain, pemeluk
agama dapat mengatakan bahwa agamanya adalah yang paling sempurna tanpa harus
menentang pemeluk agama lain yang tidak seagama.
1275
Machine Translated by Google
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
Faktor ketiga, ada 36% informan yang mengatakan pemahaman agama yang dangkal, minim,
dan artifisial bisa mengarah pada perilaku kekerasan beragama. Hasil lokakarya “Deradikalisasi
Agama” yang digelar PB Ansor NU menyimpulkan bahwa ideologi Islam radikal tersebar
karena pemahaman agama yang dangkal dan artifisial (Abah, NU Online. 2019).
Selanjutnya, ada 29% kekerasan agama yang timbul dari sikap eksklusif dan tertutup. Sikap
eksklusif dan tertutup ini juga berbahaya bagi agama lain. Komarudin Hidayat mengatakan
bahwa eksklusivisme merupakan bagian dari lima sikap yang selalu muncul dalam setiap
agama. Kelima sikap tersebut adalah eksklusivitas, inklusivitas, pluralisme, eklektisisme, dan
universalisme (Erlindaa, 2019). Masing-masing sikap tersebut tidak lepas satu sama lain dan
tidak bersifat permanen. Dengan kata lain, setiap sikap merupakan gejala yang fluktuatif.
Setiap orang percaya memiliki dominan
kecenderungan di antara kelima sikap tersebut. Hal ini tergantung pada kapasitas dan kualitas
pemahaman keagamaan umat beragama (Casram, 2016, 192). Setiap agama memiliki potensi
untuk menumbuhkan kelima sikap di atas. Eksklusivisme
Sikap menurut Komaruddin mirip dengan klaim kebenaran agama.
Eksklusivisme merupakan cikal bakal munculnya klaim kebenaran agama. Setiap agama
menurut Komaruddin Hidayat berpeluang untuk mengklaim bahwa agama yang paling baik
adalah agamanya sendiri sedangkan agama lain dianggap sesat dan sesat (Komaruddin
Hidayat, 2003, 89-90). Pandangan senada diungkapkan Nurcholish Madjid. Bagi Madjid,
eksklusivisme selalu menuduh agama lain salah. Bahkan, mereka tidak segan-segan
mengatakan bahwa agama lain menyesatkan pemeluknya. Paradigma ini masih dominan dan
populer hingga saat ini (Nurcholish Madjid. 46).
Sementara itu, penelitian ini menemukan bahwa 20% kekerasan agama disebabkan monolog
dan pemahaman agama yang parsial, 18% karena pemahaman tekstual, dan 4% karena
antusiasme yang tinggi dalam agama, tetapi pengetahuan agama yang minim. Semua sikap
keagamaan tersebut disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang normatif-teologis-
konservatif, sebagaimana telah diuraikan di atas.
Fenomena kekerasan agama tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dari waktu ke
waktu. Sebaliknya, fenomena ini sering berulang dalam situasi yang berbeda. Namun, tindakan
ini semakin mendapatkan legitimasi dari komunitas agama tertentu. Seiring berjalannya waktu,
relasi dan akulturasi internal dan eksternal umat beragama dalam skala makro berpotensi
meningkatkan konflik. Beberapa sistem nilai tersebut telah mendorong masyarakat untuk
merasa bebas melakukan kekerasan atas nama agama, seperti pembunuhan dan penindasan
atas nama agama. Inilah bahaya pemahaman agama yang normatif-teologis-konservatif.
Dalam pikiran mereka, mereka membela Tuhan bahkan dengan cara yang keras.
Tindakan sosial keagamaan seperti itu tidak mudah diselesaikan karena tindakan kekerasan
tersebut dilakukan atas nama agama dan dianggap sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan.
Oleh karena itu, jumlah orang yang bertindak dengan cara ini semakin besar.
1276
Machine Translated by Google
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
Hasil penelitian Sukawarsini Djelantik, dkk yang berjudul “Terorisme dan Kekerasan
Berlatar Belakang Agama di Jawa Barat” menyimpulkan bahwa beberapa faktor
pendorong kekerasan agama di kalangan masyarakat Indonesia sangat erat kaitannya
dengan masalah sosial, politik, dan ekonomi rumah tangga (Sukawarsini Djelantik, et
al., 2013, 3) Pandangan serupa muncul dari Armstrong (2002) mengemukakan bahwa berbagai
Tragedi kemanusiaan yang kejam, kejam, dan mengerikan dalam sejarah tidak hanya
disebabkan oleh agama, tetapi juga oleh politik, kekuasaan, rasisme, etnosentrisme,
kolonialisme, komunisme, serta kapitalisme. Gagasan radikalisme agama diasumsikan
sebagai gerakan inovatif dan modern yang menyesuaikan diri ke arah yang lebih maju
daripada sekadar fenomena keagamaan yang kembali ke masa klasik.
Faktor sosiologis, misalnya ekonomi, politik, dan etika merupakan bagian dari faktor
yang jelas-jelas menyebabkan perilaku kekerasan atas nama agama. Secara lebih
sistematis pembahasan mengenai faktor-faktor sosiologis, baik ekonomi, politik
maupun etika, akan dijelaskan secara berurutan dimulai dari fenomena sosiologis yang
pertama, yaitu terjadinya kesenjangan atau benturan masyarakat akibat faktor ekonomi
yang rendah.
1277
Machine Translated by Google
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
Fenomena ekonomi yang rendah merupakan bagian dari faktor sosiologis yang
mempengaruhi munculnya perilaku kekerasan atas nama agama. Tindakan kekerasan
masyarakat dalam ranah ini menggambarkan adanya gejala ekonomi-materialistik.
Semuanya serba terukur dari aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi (Sukawarsini
Djelantik., dkk, 2013, 3). Kemiskinan dalam konteks ini dianggap sebagai salah satu faktor
yang paling penting. Pandangan ini sejalan dengan hasil analisis terkait ekonomi dan
konflik yang menegaskan bahwa ekonomi yang rendah memicu ketidakpuasan dan
kekerasan. Oleh karena itu, sikap agresif seringkali dipicu oleh kondisi sosial ekonomi
yang tidak seimbang, meskipun ada ketidakadilan dan kemiskinan (Sukawarsini Djelantik.,
et. al, 2013).
Situasi masyarakat yang demikian rentan terhadap konflik dan kekerasan. Resistensi
konflik dan kekerasan dari kelompok masyarakat ekonomi rendah memiliki dasar yang
kuat, mengingat mereka mudah dibelokkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat lain dengan
berbagai kepentingannya. Masyarakat ekonomi rendah adalah masyarakat yang tidak
memiliki pendirian dan prinsip yang kuat. Kepentingan mereka dengan mudah dipertukarkan,
dibeli, ditawar, dan dinegosiasikan dengan keuntungan lain tanpa memikirkan efeknya.
Mereka hanya membutuhkan ekonomi yang kuat yang dapat menjamin pemenuhan
kebutuhan sehari-hari keluarga. Dalam perspektif agama, orang miskin dekat dengan kekufuran
(ketidaksetiaan).
Masyarakat ekonomi bawah merupakan sasaran strategis bagi masyarakat yang memiliki
kepentingan politik tertentu. Orang ekonomi rendah mudah diejek. Dengan pelayanan yang
sederhana, mereka merasa telah memperoleh kebutuhannya serta diakui keberadaannya.
Bruinessen mengatakan bahwa kemunculan gerakan Islam radikal dengan berbagai motif
dan karakteristiknya diilhami oleh gerakan politik. Paradigma politik negara Islam sarat
dengan konsep dan janji kemakmuran ekonomi. Paradigma sistem politik baru menawarkan
perubahan ekonomi yang lebih adil di masa depan. Dengan cara ini, banyak orang dengan
latar belakang ekonomi rendah tertarik untuk memberikan dukungan penuh. Tawaran
ekonomi tidak pernah lepas dari sistem politik alternatif.
Namun, tawaran sistem politik baru yang diidealkan telah diposisikan sebagai sistem
oposisi kritis. Sistem politik dengan konsep tertentu berusaha untuk melemahkan
pemerintah yang sah dengan mengklaimnya sebagai pemerintahan yang tidak adil dengan menggunakan
argumen agama. Masyarakat ekonomi rendah dengan mudah menerima doktrin politik
atas dasar agama. Mereka telah dihadapkan dengan ideologi pemerintah yang berkuasa.
Mereka dengan mudah menuduh pemerintah yang berkuasa sebagai pemimpin yang
otoriter dan tidak bermoral tanpa bukti dan alasan yang logis.
Kesenjangan ekonomi masyarakat menjadi obyek strategis bagi kelompok tertentu.
1278
Machine Translated by Google
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
alternatif yang dikemas dengan landasan agama, misalnya berjuang menegakkan keadilan,
kebenaran, memberantas kemaksiatan, dan menolak sistem yang tidak adil, menjadi
semakin besar. Motif dan kepentingan rakyat adalah motif kepentingan ekonomi yang
dibingkai dengan argumentasi politik dan agama.
Situasi ini menggambarkan bahwa ketimpangan ekonomi mudah tersulut oleh provokasi
politik dengan argumentasi agama. Tawaran politik dengan cepat merespon keadilan,
pemerataan, dan kemakmuran ekonomi. Agama dalam konteks ini berperan sebagai alat
untuk memobilisasi masyarakat dengan menawarkan sistem politik baru.
Lebih lanjut Arifin (2004) menambahkan bahwa gerakan fundamentalis Islam bukan hanya
karena fenomena keagamaan, tetapi juga karena kepentingan sosial politik:
mendirikan kembali negara Islam. Motivasi politik kelompok ini tidak berbeda dengan
Bruinessen (1994) dengan banyak melontarkan kritik kepada pemerintah yang sah. Mereka
menempatkan politik dalam oposisi terhadap pemerintah, dengan merangkul dan
mempengaruhi orang-orang yang tertindas untuk membenci pemerintah. Selain itu, politik ini
juga menawarkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat dengan membangun keadilan,
keterbukaan, dan kesejahteraan masyarakat melalui landasan keagamaan. Mereka berjanji
akan membangun pemerintahan Islam yang terhindar dari perilaku keji dan maksiat.
Akibatnya, mereka menuduh pemerintah yang berkuasa sebagai pemerintah yang tidak adil.
Tindakan ini mudah mendorong orang untuk melakukan kekerasan atas nama agama.
Praktik kekerasan tersebut karena kepentingan ekonomi pragmatis dengan pertimbangan
agama. Kekerasan yang timbul dari kepentingan ini juga sama berbahayanya dengan
kekerasan karena agama. Komunitas seperti itu dalam mewujudkan rencananya tidak terlalu
memikirkan dampaknya. Ini adalah bentuk perilaku kekerasan yang nyata.
Sikap dan tindakan adalah tindakan emosional yang didasarkan pada kepentingan eksternal.
Relasi tiga entitas: ekonomi, politik, dan agama, merupakan relasi simbiosis mutualisme.
Masing-masing unsur menurut teori strukturalisme-fungsional (Syam, 2007), sangat
fungsional bagi unsur-unsur lainnya. Masyarakat ekonomi rendah berfungsi bagi masyarakat
ekonomi kelas atas dengan kepentingannya, baik kepentingan politik maupun agama.
Kekuatan agama, kekuatan ekonomi dan kekuatan politik adalah tiga entitas kekuatan yang
tidak dapat dipisahkan. Masyarakat memainkan peran politik karena posisi ekonomi yang
cukup dapat mendorong orang untuk bergabung dengan politik praktis.
Kekuatan agama juga memainkan peran penting dalam kekuatan ekonomi dan kekuatan
politik. Bagaimana seseorang yang terlibat dalam politik praktis dapat secara efektif
mendapatkan legitimasi dari masyarakat? Mereka sering menggunakan agama sebagai alat
legitimasi. Masalah politik murni sering dikaitkan dengan masalah agama. Sebaliknya,
masalah agama sering dikaitkan dengan masalah politik.
Jika kepentingan ekonomi dan politik membawa simbol-simbol agama sebagai identitas dan
sebagai sistem nilai, maka agama dalam hal ini telah digunakan secara egois oleh para elit
politik dan ekonom. Dalam situasi ini, agama tidak bisa lagi berperan objektif.
Kebenaran agama bergerak menuju kebenaran subjektif sesuai dengan kepentingan politik
dan ekonomi elit tertentu. Pada fase ini akan semakin banyak perilaku kekerasan yang
mengatasnamakan agama.
1279
Machine Translated by Google
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
Sebaliknya, penelitian Roibin (2011) menunjukkan bahwa mencairnya gerakan salafi ultra
konservatif menuju progresivisme salafi disebabkan oleh kepentingan sosial politik praktis.
Kepentingan politik praktis terkadang membawa keramahan bagi para politisi. Mereka tidak
menggunakan argumentasi agama untuk menggerakkan orang agar membenci kelompok
tertentu. Mereka menjadikan nilai-nilai agama untuk membentuk kepribadian politisi agar
masyarakat bersimpati kepada mereka. Mereka lebih ramah dan sopan saat memainkan
peran politik. Mereka menggunakan moralitas agama untuk membangun etika politik mereka.
Moralitas agama digunakan untuk meningkatkan kualitas dan mengubah perilaku aktor
politik, bukan untuk mobilisasi massa dan politisasi kepentingan.
Selain fakta sosial tentang ketimpangan ekonomi dan politik, kekerasan atas nama agama
juga disebabkan oleh rendahnya nilai agama dan etika dalam masyarakat. Praktik kekerasan
masyarakat yang disebabkan oleh faktor “sosiologis-religius-etik” menggambarkan gejala
psikologis tentang konsep diri masyarakat. Kekerasan atas nama agama terjadi di masyarakat
karena kelemahan yang terkait dengan kepribadian dan perkembangan mental, bukan terkait
dengan masalah politik atau ekonomi.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penyajian dan analisis data terkait faktor-faktor sosio antropologis yang
mengakibatkan terjadinya kekerasan masyarakat dalam beragama, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut.
Ada dua hal penting dalam kajian empiris faktor sosio-antropologis yang mengarah pada
perilaku kekerasan beragama, yaitu a) faktor konservatif teologis-normatif dan b) faktor
sosiologis-pragmatis-politik, sosiologis pragmatis-ekonomi, dan sosiologis-religius-etik. .
Faktor teologis normatif-konservatif menyebabkan fanatisme, klaim kebenaran, eksklusivitas,
dan skripturalisme, yang menjadi cikal bakal radikalisme agama. Faktor sosiologi-pragmatis-
politisi, sosiolog-pragmatis-ekonomi, dan sosiologis-religius-etis telah menyebabkan tindakan
kekerasan atas nama agama, karena karakter politik, ekonomi, dan lemahnya masyarakat.
Faktor pertama penyebab sikap dan perilaku kekerasan masyarakat atas nama agama
karena cara memahami dan melaksanakan agama. Itu
1280
Machine Translated by Google
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
REFERENCES
Abah. (2015). Deradikalisasi Agama. Tuesday, 22 September. NU Online, www.nu.or.id,
accesed on 12 January 2019
Akhrani, Lusy Asa. (2018). “Front Pembela Islam: Menggali Akar Konflik Beragama
ditinjau dari Fanatisme Agama, Prasangka Agama, dan Intensi Konflik Agama,
Fenomena: Jurnal Psikologi, Volume 1, No. 1, July.
Aprison, Wedra. (2012) “Humanisme Progresif dalam Filsafat Pendidikan Islam,”
JIP, Vol.XVII No.3.
Arifin, Syamsul. (2004). ”Obyektivikasi Agama Sebagai Idiologi Gerakan Sosial
Kelompok Fundamentalis Islam” Reserch article. Malang: Universitas
Muhammadiyah Malang.
Armstrong, Karen. (2002). Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam,
Kristen, dan Yahudi. Translated by Satrio Wahono et.al. Jakarta: Serambi.
1281
Machine Translated by Google
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
Martin, Richard C. (1985). Pendekatan Islam dalam Studi Agama. Pers Universitas
Arizona.
McRae, Dave. (2008). Eskalasi dan Penurunan Konflik Kekerasan di Poso, Sulawesi
Tengah, 1998–2007. Disertasi PhD yang tidak diterbitkan, Universitas
Nasional Australia
Meridian, Hanna. “Teori yang Mendasari Fanatisme,” Academia,
www.akademisi.edu.
Miall, Hugh. (2000). Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan,
Mencegah, Mengelola, dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial,
Agama, dan Ras, Translated by Tri Budhi Satrio. Jakarta: Rajawali Press.
Molebila, Eunike. (2019), “Pendidikan Kristen Kontekstual yang Efektif dan Relevan
dalam Masyarakat Plural”, Jurnal Internasional Inovasi, Kreativitas, dan
Perubahan. www.ijicc.net Volume 5, Edisi 3, Edisi Khusus: Sains, Sains
Terapan, Pengajaran dan Pendidikan.
Mujiburrahmana, dkk. (2020), “Strukturasi dalam Pendidikan Agama: Beban Ideologi
Pendidikan Islam di Sekolah Indonesia”, Jurnal Internasional Inovasi,
Kreativitas dan Perubahan. www.ijicc.net
Volume 11, Edisi 6, 2020 300.
1282
Machine Translated by Google
AKAR PENYEBAB KEKERASAN SOSIAL ATAS NAMA AGAMA DI INDONESIA PJAEE, 17 (3) (2020)
Mukhibat dan Ghafar, Muhammad. (2019), “Pesantren Virtual: Tren Baru Model
Pendidikan Islam di Indonesia”, Jurnal Internasional Inovasi, Kreativitas
dan Perubahan. www.ijicc.netVolume5, Edisi 2,
Special Edition,2019105
Nasir, Heidar. (1999). Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Nata, Abudin. (2001). Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta,
Raja Grafindo.
Putra, Andi Eka. (2017). “Sketsa Pemikiran Keagamaan dalam Perspektif Normatif,
Historis, dan Sosial-Ekonomi,” Al-AdYaN/ Vol.XII, No.2. July December.
Putra, Idhamsyah Eka dan Zora A. Sukabdi. (2018). Apakah ada perdamaian di
kalangan fundamentalis Islam? Ketika fundamentalisme Islam memoderasi
efek meta-belief persahabatan pada persepsi positif dan kepercayaan
terhadap outgroup. Jurnal Ilmu Sosial Kasetsart. Jilid 12.
Republika. (2019). Faham Nyleneh Muncul Karena Pemahaman Agama Dangkal”,
REPUBLIKA.CO.ID, 12 January.
Roibin. (2011). "Studi Empiris Epistemologi Kepemimpinan Perempuan Tasyri'
dan Poligami di Kalangan Komunitas Muslim Fundamentalis dan Liberal"
Prosiding Seminar Internasional: Tentang Penerapan Syariat Islam Dalam
Konteks Indonesia Kontemporer. Malang: Desember.
Segal, Robert A. (2007). Akar Frazerian dari teori kontemporer tentang agama
dan kekerasan. Agama, Volume 37, Edisi 1: 4-25
Sumanto, Al-Qurtuby. (2010). ” Baik Buruk Agama: Jalan Menuju Dialog”, https://
elsaonline.com/baik-buruk-agama-jalan-menuju-dialog/, Accessed 15
January 2020.
Syam, Nur. (2007). Madzhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta: LKiS.
Tajrid, Amir. (2012). “Kebenaran Hegemonik Agama,” Walisongo, Volume 20, no.
1 Mei.
Zirmansyah., dkk. (2010). Pandangan Masyarakat Terhadap Tindak Kekerasan
Atas Nama Agama. Jakarta: Maloho. Jaya Abadi Press.
1283