Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses Kehamilan merupakan mata rantai yang berkesinambungan

yang terdiri dari ovulasi, migrasi, spermatozoa dan ovum, konsepsi dan

pertumbuhan zigot, nidasi (implantasi) pada uterus, pembentukan plasenta

dan tumbuh kembang hasil konsepsi sampai aterm. Dalam kehidupan, tidak

semua kehamilan dapat berjalan normal, salah satunya kehamilan dengan

risiko tinggi. Kehamilan risiko tinggi ialah kehamilan yang memungkinkan

terjadinya komplikasi pada saat kehamilan dan persalinan dari risiko yang

dimiliki ibu dibandingkan dengan kehamilan normal. (Astuti, 2017). Yang

tergolong sebagai kehamilan risiko tinggi, yaitu: kehamilan yang menjadi

faktor penyebab tidak langsung kematian pada ibu, seperti faktor empat

terlalu (usia terlalu tua >35 tahun, usia terlalu muda <20 tahun, terlalu sering

melahirkan jarak kehamilan <2 tahun dan terlalu banyak anak >3 anak), ibu

hamil dengan anemia dan malnutrisi, ibu hamil dengan penyakit penyerta,

adanya riwayat buruk pada kehamilan dan persalinan yang lalu, dan ibu hamil

dengan tinggi badan kurang dari 145 cm. (Rochjati,2011)

Kehamilan lebih dari 35 tahun digolongkan ke dalam kehamilan beresiko

tinggi, karena angka kematian ibu melahirkan dan bayi meningkat. Semakin

bertambah usia umumnya semakin banyak kesulitan-kesulitan yang akan

dialami seperti sel telur yang siap dibuahi semakin sedikit dan kualitasnya

semakin menurun, risiko perkembangan janin tidak normal dan kelainan

bawaan, kondisi hormonal tidak seoptimal sebelumnya, organ reproduksi telah

1
mengalami penurunan fungsi. Risiko yang dapat terjadi pada ibu hamil usia

>35 tahun adalah perdarahan antepartum, pre-eklampsia berat, abortus,

diabetes gestasional, obesitas (kegemukan), hipertensi dalam kehamilan,

persalinan lama karena kontraksi tidak adekuat, perdarahan karena otot rahim

tidak berkontraksi dengan baik, kemungkinan terjadinya cacat kongenital pada

bayi lebih besar karena kualitas ovum menurun sehingga menyebabkan

adanya gawat darurat obstetri yang dapat mengancam nyawa ibu maupun

bayi. Penyebab terjadi kehamilan di usia >35 tahun diantaranya adalah

ketidaksiapan finansial dalam meniti karir, kurangnya pengetahuan ibu

tentang kesehatan reproduksi dan kegagalan alat kontrasepsi. Ibu bisa hamil

di usia lebih dari 35 tahun ini dikarenakan kurangnya pengetahuan ibu tentang

kesehatan reproduksi. (Astuti, 2017)

Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih cukup tinggi dibanding

negara-negara lain di kawasan ASEAN. Hasil SUPAS 2015 menunjukkan AKI

di Indonesia sebesar 305 yang artinya terdapat 305 kematian perempuan

pada saat hamil, saat melahirkan atau masa nifas per 100.000 kelahiran

hidup. Situasi ini tentu membutuhkan kerja keras bersama untuk terus

menurunkan angka kematian ibu di Indonesia sebagaimana target yang

ditetapkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs). (Badan Pusat

Statistik, 2016). Angka Kematian Ibu berdasarkan laporan rutin Profil

Kesehatan Kabupaten/Kota tahun 2016 tercatat jumlah kematian ibu maternal

yang terlaporkan sebanyak 799 orang (84,78/100.000 KH), dengan proporsi

kematian pada Ibu Hamil 227 orang (20,09/100.000), pada Ibu Bersalin 202

orang (21,43/100.000 KH), dan pada Ibu Nifas, 380 orang (40,32/100.000

KH), jika dilihat berdasarkan kelompok umur presentasi kematian pada

2
kelompok umur <20 tahun sebanyak 71 orang (8,89%), kelompok umur 20 -

34 tahun sebanyak 509 orang (63,70%) dan >35 tahun sebanyak 219 orang

(27,41%).(Profil Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2017).

Berdasarkan data diatas, dapat disimpulkan bahwa asuhan kebidanan

yang komprehensif baik pada masa kehamilan, persalinan, dan masa nifas

merupakan hal yang paling penting yang dapat menurunkan angka mortalitas

dan morbiditas baik pada ibu maupun bayinya. Bidan harus mampu

melakukan asuhan sedini mungkin sebagai wujud deteksi dini terhadap

komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi. Penanganan bagi ibu hamil

dengan kasus umur ibu lebih dari 35 tahun, dapat dimulai dari pendampingan

saat ibu hamil. memeriksakan kehamilan sedini mungkin dan pergi secara

teratur ke posyandu, puskesmas, serta rumah sakit paling sedikit 4 kali

selama masa kehamilan, mendapatkan imunisasi TT sebanyak 2 kali,

mengkonsumsi makanan yang bergizi yaitu memenuhi pedoman gizi

seimbang dan KIE tentang persiapan persalinan sesuai dengan faktor risiko

ibu. Untuk masa nifas dan KB, petugas kesehatan dapat memberikan

konseling dan informasi pada ibu tentang KB apa yang sesuai dengan kondisi

ibu. Jika ditemukan kelainan yang berisiko tinggi, maka pemeriksaan harus

lebih sering dan lebih intensif. (Astuti, 2017)

Ny.Y G4P3A0 dengan risiko tinggi usia ibu 37 tahun merupakan

salah satu ibu hamil yang tergolong kedalam ibu hamil yang berisiko tinggi.

Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih dalam

tentang “ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF PADA NY.Y G4P3A0

DENGAN

3
RISIKO TINGGI USIA 37 TAHUN DI PUSKESMAS PACET

KABUPATEN BANDUNG ”

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam studi kasus ini adalah “Bagaimana Asuhan

Kebidanan Komprehensif dengan Faktor Risiko Tinggi (Usia >35 Tahun) di

Puskesmas Pacet Kab. Bandung’’

1.3 Tujuan

1. Tujuan Umum

Dapat melakukan asuhan kebidanan secara komprehensif selama masa

kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir dan masa antara (KB) yang

diberikan kepada Ny.Y G4P3A0 dengan risiko tinggi usia > 35 tahun

2. Tujuan Khusus

a. Dapat melakukan asuhan kehamilan pada Ny.Y G4P3A0 dengan risiko

tinggi

usia 37 tahun di Puskesmas Pacet Kabupaten Bandung.

b. Depat melakukan asuhan persalinan pada Ny. Y G4P3A0 dengan risiko

tinggi

usia 38 tahun di Puskesmas Pacet Kabupaten Bandung.

c. Dapat melakukan asuhan nifas pada Ny. Y P4A0 dengan risiko tinggi usia

37

tahun di Puskesmas Pacet Kabupaten Bandung dan melakukan

4
kunjungan rumah 1 minggu, 2 minggu, dan 6 minggu postpartum.

d. Dapat melakukan asuhan bayi baru lahir Ny.Y P4A0 dengan risiko tinggi

usia

ibu 37 tahun di Puskesmas Pacet Kabupaten Bandung dan kunjungan

rumah 1 minggu, 2 minggu, dan 6 minggu pada bayi baru lahir.

e. Dapat melakukan asuhan keluarga berencana pada Ny. Y P4A0 dengan

risiko

tinggi usia ibu 37 tahun di Puskesmas Pacet Kabupaten Bandung.

1.4 Manfaat

1.4.1 Bagi Penulis

Penulis dapat menerapkan dan mengaplikasikan ilmu dan skill yang

telah diperoleh di kelas selama perkuliahan berlangsung dalam kasus nyata

di

lapangan yang berupa asuhan kebidanan komprehensif pada faktor risiko

usia

ibu 38 tahun dan paritas lebih dari 3. Sehingga bisa memberikan asuhan

secara berkesinambungan dari mulai masa kehamilan, persalinan, nifas,

BBL,

dan Keluarga Berencana yang sesuai standar pada pasien sehingga mampu

menjadi profesional yang berkompeten

1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan

5
Dapat menjadi sumber informasi dalam ilmu kebidanan, khususnya

tentang penerapan dan penanganan asuhan kebidanan masa kehamilan,

persalinan, nifas dan bayi baru lahir pada ibu dengan faktor risiko usia ibu 38

tahun dan paritas lebih dari tiga

1.4.3 Bagi Lahan Praktek

Sebagai bahan masukan terutama bagi puskesmas Banjaran DTP dalam

melaksanakan praktik pelayanan kebidanan pada masa kehamilan,

persalinan,

nifas dan bayi baru lahir dengan pendokumentasian khususnya pada ibu

dengan faktor risiko usia ibu 38 tahun dan paritas lebih dari tiga.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kehamilan

2.1.1 Pengertian

Kehamilan adalah fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan

ovum dan

dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Dihitung saat fertilisasi hingga

lahirnya bayi, kehamilan normal akan berlangsung dalam waktu 40

minggu (10 bulan atau 9 bulan) menurut kalender internasional.

Kehamilan terbagi dalam 3 trimester, dimana trimester kesatu

berlangsung dalam 12 minggu, trimester kedua 15 minggu (minggu ke 13

hingga minggu ke-27), dan trimester ketiga 13 minggu (minggu ke-28

hingga minggu ke-40) (Prawihardjo, 2014).

Kehamilan risiko tinggi merupakan kehamilan yang memungkinkan

terjadinya komplikasi pada saat kehamilan dan persalinan dari risiko yang

dimiliki ibu dibandingkan dengan kehamilan normal. Kehamilan dengan

kelompok risiko obstetri dapat menimbulkan penyulit atau komplikasi

sehingga menyebabkan adanya gawat darurat obstetri. Yang termasuk

kelompok risiko obstetri yaitu kehamilan yang dipengaruhi oleh 4T, antara

lain terlalu tua dengan usia ibu >35 tahun, terlalu muda dengan usia ibu

<19 tahun, terlalu sering dengan ibu yang melahirkan >3 kali, dan terlalu

dekat dengan jarak melahirkan <2 tahun. (Astuti, 2017)

Terdapat beberapa faktor risiko pada kehamilan yang merupakan

penyebab tidak langsung kematian pada ibu, yaitu empat terlalu; terlalu

7
tua, terlalu muda, terlalu sering dan terlalu banyak. Selain itu terdapat

kondisi-kondisi yang menyebabkan ibu hamil tergolong sebagai kehamilan

risiko tinggi, yaitu; ibu hamil dengan anemia dan malnutrisi, ibu hamil

dengan penyakit penyerta, adanya riwayat buruk pada kehamilan dan

persalinan yang lalu, dan ibu hamil dengan tinggi badan kurang dari 145

cm.

2.1.2 kehamilan usia > 35 tahun

Kehamilan lebih dari 35 tahun digolongkan ke dalam kehamilan

berisiko tinggi, karena angka kematian ibu melahirkan dan bayi

meningkat. Semakin bertambah usia umumnya semakin banyak

kesulitan-kesulitan yang akan dialami seperti sel telur yang siap dibuahi

semakin sedikit dan kualitasnya semakin menurun, risiko perkembangan

janin tidak normal dan kelainan bawaan, kondisi hormonal tidak seoptimal

sebelumnya, organ reproduksi telah mengalami penurunan fungsi

2.1.3 Asuhan pada kehamilan >35 tahun

Kehamilan memiliki risiko tinggi jika dipengaruhi oleh faktor pemicu

yang akan menyebabkan terjadinya komplikasi selama kehamilan, bahkan

saat persalinan berlangsung dan juga saat masa nifas. Oleh karena itu,

untuk mengetahui apakah ibu hamil memiliki risiko tinggi, maka dilakukan

deteksi dini dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan kehamilan, dan

pemeriksaan penunjang jika dibutuhkan.

8
Deteksi dini terhadap komplikasi kehamilan merupakan upaya

penjaringan yang dilakukan untuk menemukan penyimpangan yang terjadi

selama kehamilan secara dini. Sementara itu, deteksi dini dalam

pemeriksaan kehamilan yaitu mengarah pada penemuan ibu hamil yang

berisiko agar dapat ditangani secara memadai, sehingga kesakitan atau

kematian dapat dicegah. Deteksi dini pada kehamilan bertujuan untuk

mengetahui penyulit atau komplikasi yang terjadi pada kehamilan ibu

secara dini.

Upaya yang dapat dilakukan ibu dalam deteksi dini terhadap

komplikasi kehamilan yaitu :

1) Dengan memeriksakan kehamilan sedini mungkin dan pergi secara

teratur ke posyandu, pueskesmas, serta rumah sakit paling sedikit 4 kali

selama masa kehamilan.

2) Dengan mendapatkan imunisasi TT sebanyak 2 kali

3) Jika ditemukan kelainan yang berisiko tinggi, maka pemeriksaan harus

lebih sering dan lebih intensif

4) Mengkonsumsi makanan yang bergizi yaitu memenuhi pedoman gizi

seimbang

Hal yang dapat dilakukan seorang ibu untuk menghindari terjadinya

komplikasi kehamilan yaitu dengan mengenali tanda bahaya kehamilan

sedini mungkin dan segera pergi ke posyandu, puskesmas, atau rumah

sakit terdekat jika ditemukan tanda bahaya kehamilan tersebut. Tanda

bahaya kehamilan merupakan tanda yang mengindikasikan adanya bahaya

9
yang dapat terjadi selama kehamilan/periode antenatal, yang jika tidak

dilaporkan atau tidak terdeteksi, maka dapat menyebabkan kematian ibu.

Jika ibu hamil mengalami tanda bahaya, maka keluarga harus segera

mengambil keputusan untuk menentukan tempat rujukan jika harus

ditangani di tempat fasilitas yang lengkap dan segera diberikan tindakan

jika telah berada di tempat rujukan atau rumah sakit. (Astuti, 2017).

2.1.4 Faktor Yang Berpengaruh Pada Kehamilan Usia >35 tahun

Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan usia >35 tahun yaitu :

a. Kesuburan

Jumlah sel telur yang diproduksi ovarium atau indung telur akan

menurun dan kualitas sel telur akan berkurang seiring bertambahnya

usia.

b. Kondisi Rahim

Penurunan kemampuan rahim ini terjadi pada wanita diatas usia 35

tahun. Faktor penuaan juga bisa membuat embrio yang dihasilkan akan

sulit melekat pada lapisan dinding rahim (endometrium). Kondisi ini bisa

menyebabkan keguguran atau memunculkan kecenderungan terjadinya

plasenta tidak menempel di tempat semestinya dan juga akan

menyebabkan risiko hamil diluar kandungan (ektopik).

c. Kondisi rongga dan otot-otot panggul

Pertambahan usia juga mengakibatkan penurunan kualitas rongga dan

otot-otot panggul.

d. Kondisi fisik

10
Kondisi fisik yang tidak lagi prima, membuat ibu hamil di usia 30-an

menjadikan lebih cepat lelah dan cenderung tidak tahan terhadap

serangan morning sickness.

2.1.5 Faktor Risiko pada Kehamilan

Kehamilan dengan faktor risiko yang perlu diperhatikan pada ibu

hamil adalah :

a. Anemia

Penurunan jumlah sel darah merah/jumlah Hb dalam sirkulasi.

Perbandingan eritrosit terhadap plasma tidak seimbang. Pada ibu hamil

usia >35 tahun biasanya disebabkan oleh kurang pengetahuan akan

pentingnya gizi pada saat hamil diusia tua, karena pada saat hamil

mayoritas seorang ibu mengalami anemia. (Supariasa Nyoman, 2014).

Berdasarkan penelitian Fitriasari Indah (2016) bahwa terdapat

hubungan tingkat pendidikan, paritas, usia ibu, frekuensi ANC dengan

kejadian anemia dan usia ibu memiliki keeratan hubungan paling erat

dengan kejadian anemia di Puskesmas Tegalrejo tahun 2016. Hal ini

sejalan dengan penelitian Salmariantity (2012) bahwa pada umur

berisiko (<20 tahun dan >35 tahun) berpeluang berisiko mendapatkan

anemia 1,8 kali dibandingkan dengan ibu hamil pada umur tidak berisiko

karena wanita hamil yang mempunyai umur berisiko dapat merugikan

kesehatan ibu maupun pertumbuhan janin.

11
b. Diabetes Gestasional

Kehamilan merupakan suatu keadaan intoleransi glukosa,

meskipun begitu hanya 3-5% wanita hamil yang kemudian menderita

diabetes gestasional. Seiring bertambahnya usia kehamilan, jaringan

yang mengalami resistensi terhadap insulin semakin meningkat,

sehingga menciptakan peningkatan kebutuhan insulin. Pada kehamilan

normal, resistensi insulin dan pemenuhan kebutuhannya berada dalam

keadaan seimbang. Namun, apabila resistensi menjadi dominan, ibu

akan mengalami kondisi hiperglikemi. Hal ini biasanya terjadi pada

paruh terakhir kehamilan, ditandai dengan meningkatnya resistensi

insulin secara progresif sampai proses persalinan. Risiko ini semakin

tinggi pada usia >35 tahun. Prevalensi diabetes gestasional 3x lebih

tinggi pada ibu hamil berusia ≥ 35 tahun dibanding ibu hamil berusia 25-

29 tahun dan 9x lebih tinggi dibanding ibu hamil usia 20-24 tahun.

Kejadian diabetes gestasional pada ibu usia tua berhubungan

dengan penurunan sensitifitas insulin. Toleransi terhadap glukosa

merupakan akibat dari sensitifitas dan sekresi insulin. Sementara itu,

fungsi sel B pankreas maupun sensitifitas insulin menurun seiring

bertambahnya usia. Selain itu, adanya diabetes pregestasional turut

berpengaruh. ibu dengan predisposisi diabetes tipe 2 cenderung

memiliki respon sel B yang inadekuat terhadap stimulus dan menjadi

lebih insulin-resisten daripada ibu berusia lebih muda, karenanya, jika

dikombinasikan kedua alasan ini, kejadian diabetes gestasional pada ibu

usia tua menjadi lebih sering terjadi.

12
c. Plasenta Previa

Plasenta previa merupakan salah satu perdarahan antepartum.

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Ada

beberapa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya perdarahan

antepartum diantara nya usia saat kehamilan. Ibu hamil yang umurnya

telah lebih dari 35 tahun patut dicurigai akan mengalami perdarahan

antepartum. Pada umur di atas 35 tahun karena endometrium yang

kurang subur dapat meningkatkan kejadian plasenta previa. Hal tersebut

didukung juga oleh hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan

peningkatan umur ibu merupakan faktor risiko plasenta previa, karena

sklerosis pembuluh darah arteri kecil dan arteriole miometrium

menyebabkan aliran darah ke endometrium tidak merata sehingga

plasenta tumbuh lebih lebar dengan luas permukaan yang lebih besar,

untuk mendapatkan aliran darah yang adekuat.

Berdasarkan hasil penelitian Purbowati Ratnaningsih dan Kartika

Dian (2017) di dapatkan hasil bahwa usia > 35 tahun merupakan faktor

yang menyebakan plasenta previa. Dan peluang terjadinya plasenta

previa pada usia > 35 tahun sebesar 3,86 kali.

d. Abortus

Keguguran pada usia >35 tahun terjadi karena sel telur yang

dihasilkan kemungkinan sudah menurun kualitasnya, sehingga hal ini

dapat menyebabkan janin tidak dapat berkembang secara sempurna.

Kondisi ini pada akhirnya dapat menimbulkan keguguran, di mana sang

janin akan mengalami kematian di dalam rahim, dan ibu akan

mengalami pendarahan. Umur seorang ibu memiliki peranan yang

13
penting dalam terjadinya abortus. Semakin tinggi umur maka risiko

terjadinya abortus semakin tinggi pula. Hal ini seiring dengan naiknya

kejadian kelainan kromosom pada ibu yang berusia 35 tahun.

e. Pre-eklampsia

Salah satu penyulit dalam kehamilan yang bisa berdampak pada

kematian maternal neonatal adalah preeklampsia. Hingga saat ini

penyebab pasti dari preeklampsia belum diketahui, diduga usia dan

paritas merupakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya. Ibu

hamuil lebih dari 35 tahun di anggap lebih rentan terhadap terjadinya

pre-eklampsia karena telah terjadi perubahan pada jaringan alat-alat

kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi sehingga lebih berisiko untuk

terjadi preeklamsi (Rochjati, 2011).

Berdasarkan penelitian Novianti Hinda (2016) di temukan proporsi

ibu yang berusia dalam kategori usia risiko tinggi (< 20 tahun dan > 35

tahun) dan menderita preeklampsia 5.588 kali lebih banyak daripada

yang tidak menderita preeklampsia, dibandingkan dengan ibu yang

berusia dalam ketegori usia risiko rendah (20 – 35 tahun).

f. Ketuban Pecah Dini

Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput

ketuban sebelum persalinan. Bila KPD terjadi sebelum usia kehamilan

37 minggu disebut Ketuban Pecah Dini pada kehamilan prematur atau

Premature Prematur Rupture of Membran (PPROM).

Dari hasil penelitian Hardiyanti Dwi M (2014) bahwa kehamilan di

usia tua meningkatkan berbagai faktor risiko, dimana faktor risiko

terbanyak ialah ketuban pecah dini (23,3%) dan preeklampsia (22,8%).

14
Dan berdasarkan penelitian Billah Mu’tarifah dan Affandi Lismawati

(2012) bahwa terdapat hubungan peningkatan usia terhadap Ketuban

Pecah Dini adalah sama dan meningkat lagi pada wanita hamil yang

berusia diatas 35 tahun dikarenakan tubuh dan organ reproduksi yang

semakin melemah efektifitasnya sehingga kemungkinan besar akan

terjadi komplikasi saat kehamilan,salah satunya ketuban pecah dini. Dari

ibu hamil yang tergolong pada resiko tinggi berdasarkan umur

kehamilan berpeluang 0,501 kali terjadi Ketuban Pecah Dini

dibandingkan dengan ibu hamil yang tergolong pada resiko rendah.

g. Kehamilan Ektopik

Risiko hamil diluar kandungan pada ibu hamil >35 tahun akan

meningkatkan 2-4 kali lipat. Faktor penuaan juga bisa membuat embrio

yang dihasilkan akan sulit melekat pada lapisan dinding rahim

(endometrium). Kondisi ini bisa menyebabkan resiko hamil diluar

kandungan (ektopik). Berdasarkan hasil penelitian bahwa ibu yang

mengalami KET lebih banyak pada ibu yang berumur <20 dan >35

tahun yaitu sebanyak 38 orang (66,7%) dan terdapat hubungan antara

umur ibu dengan kejadian KET di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.

h. Mola Hidatidosa

Mola hidatidosa merupakan penyakit yang berasal dari kelainan

pertumbuhan trofoblas plasenta atau calon plasenta dan disertai dengan

degenerasi kistik villi dan perubahan hidopik. Mola hidatidosa yang

dikenal awam sebagai hamil anggur merupakan kehamilan abnormal

berupa tumor jinak yang terjadi sebagai akibat kegagalan pembentukan

bakal janin, sehingga terbentuk jaringan permukaan membran (villi)

15
yang mirip gerombolan buah anggur. Hasil penelitian menyatakan

bahwa usia ibu merupakan faktor risiko terjadinya mola hidatidosa. Ibu

hamil pada kelompok usia berisiko 0,45 kali lebih besar mengalami mola

hidatidosa dibandingkan dengan ibu hamil pada kelompok tidak berisiko.

Menjelang awal atau akhir reproduksi seorang wanita terdapat frekuensi

mola hidatidosa yang relatif tinggi dalam kehamilan dikarenakan ovum

lebih rentan terhadap fertilisasi yang abnormal, biasanya terjadi

gangguan meosis yang dapat mengakibatkan terjadinya mola

hidatidosa. Efek usia yang paling menonjol terlihat pada wanita yang

melebihi usia 35 tahun, yaitu frekuensi relatif kelainan tersebut 10 kali

lebih besar dibandingkan pada usia 20-35 tahun.

1. Faktor Risiko pada Persalinan

Pada persalinan dengan resiko tinggi memerlukan perhatian serius

karena pertolongan akan menentukan tinggi rendahnya kematian ibu dan

bayi.

a. Persalinan Lama

Penyebab dari persalinan lama dipengaruhi oleh kelainan letak

janin, kelainan panggul, kelainan kekuatan his dan mengedan serta

pimpinan persalinan yang salah. Kurangnya tenaga untuk mengedan.

Kebanyakan akan mengalami penurunan stamina. Karena itu

disarankan untuk melakukan persalinan secara operasi caesar. Hal ini

dilakukan bukan tanpa alasan namun mengingat untuk melahirkan

normal membutuhkan tenaga yang kuat. Berdasarkan penelitian

Dunggio Ismawati (2017) bahwa ada hubungan yang signifikan antara

umur dengan kejadian partus lama dimana ibu dengan umur berisiko

16
yaitu <20->35 tahun memiliki resiko partus lama 2,43 kali lebih besar

dibandingkan dengan umur yang tidak berisiko (20 – 35 tahun).

b. Retensio Plasenta

Ibu hamil yang berusia lebih dari 35 tahun sudah terjadi

penurunan fungsi organ reproduksi seperti menipisnya dinding sehingga

kontraksi uterus menjadi lemah. Retensio plasenta disebabkan karena

kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta. Pada ibu umur

≥35 tahun maka akan terjadi kemunduran yang progresif dari

endometrium sehingga untuk mencukupi kebutuhan nutrisi janin

diperlukan pertumbuhan plasenta yang lebih luas.

Berdasarkan penelitian dari Harahap Maria (2016) di dapatkan

hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara usia dengan kejadian

retensio plasenta. Pada usia >35 Tahun terjadi penurunan kemampuan

organ-organ reproduksi yang berpengaruh pada proses embryogenesis

dan penurunan yang progresif dari endometrium sehingga untuk

mencukupi kebutuhan nutrisi janin diperlukan pertumbuhan plasenta

yang lebih luas. Plasenta akan mengadakan perluasan implantasi dan

vili korialis akan menembus dinding uterus lebih dalam lagi sehingga

akan terjadi retensio plasenta yaitu plasenta adhesive sampai perkreta.

Pada usia >35 tahun sudah mengalami penurunan fungsi.

2.1.6 Faktor Risiko pada Persalinan

Pada persalinan dengan resiko tinggi memerlukan perhatian serius

karena pertolongan akan menentukan tinggi rendahnya kematian ibu dan

bayi.

17
c. Persalinan Lama

Penyebab dari persalinan lama dipengaruhi oleh kelainan letak

janin, kelainan panggul, kelainan kekuatan his dan mengedan serta

pimpinan persalinan yang salah. Kurangnya tenaga untuk mengedan.

Kebanyakan akan mengalami penurunan stamina. Karena itu

disarankan untuk melakukan persalinan secara operasi caesar. Hal ini

dilakukan bukan tanpa alasan namun mengingat untuk melahirkan

normal membutuhkan tenaga yang kuat. Berdasarkan penelitian

Dunggio Ismawati (2017) bahwa ada hubungan yang signifikan antara

umur dengan kejadian partus lama dimana ibu dengan umur berisiko

yaitu <20->35 tahun memiliki resiko partus lama 2,43 kali lebih besar

dibandingkan dengan umur yang tidak berisiko (20 – 35 tahun).

d. Retensio Plasenta

Ibu hamil yang berusia lebih dari 35 tahun sudah terjadi

penurunan fungsi organ reproduksi seperti menipisnya dinding sehingga

kontraksi uterus menjadi lemah. Retensio plasenta disebabkan karena

kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta. Pada ibu umur

≥35 tahun maka akan terjadi kemunduran yang progresif dari

endometrium sehingga untuk mencukupi kebutuhan nutrisi janin

diperlukan pertumbuhan plasenta yang lebih luas.

Berdasarkan penelitian dari Harahap Maria (2016) di dapatkan

hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara usia dengan kejadian

retensio plasenta. Pada usia >35 Tahun terjadi penurunan kemampuan

organ-organ reproduksi yang berpengaruh pada proses embryogenesis

18
dan penurunan yang progresif dari endometrium sehingga untuk

mencukupi kebutuhan nutrisi janin diperlukan pertumbuhan plasenta

yang lebih luas. Plasenta akan mengadakan perluasan implantasi dan

vili korialis akan menembus dinding uterus lebih dalam lagi sehingga

akan terjadi retensio plasenta yaitu plasenta adhesive sampai perkreta.

Pada usia >35 tahun sudah mengalami penurunan fungsi.

2.1.7 Faktor Risiko pada Masa Nifas

a. Atonia Uteri

Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol

perdarahan setelah melahirkan, sedangkan atonia terjadi karena

kegagalan mekanisme ini. Perdarahan pospartum secara fisiologis

dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi

pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta,

dengan kata lain atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium

tidak berkontraksi. Penyebab dari terjadinya atonia uteri adalah umur,

multiparitas, jarak kehamilan yang terlalu dekat, partus lama, malnutrisi

atau anemia, overdistention uterus seperti: gemeli, makrosomia,

polihidramnion, atau paritas tinggi.

Berdasarkan penelitian Purwanti Sugi dan Trisnawati Yuli (2015)

bahwa ada hubungan antara umur dengan perdarahan post partum

karena atonia uteri. Risiko ibu yang memiliki umur kurang dari 20 tahun

dan lebih dari 35 tahun 2.1 lebih besar mengalami perdarahan post

partum dibandingkan dengan ibu yang berumur 20-30 tahun. Umur

merupakan faktor penting yang dapat memicu terjadinya atonia uteri

dikarenakan umur berkaitan dengan organ dan hormon yang berperan

19
saat persalinan, jika umur terlalu muda organ dan hormon belum siap

dalam proses persalinan namun jika terlalu tua fungsi organ dan hormon

mengalami kemunduran.

b. Post Partum Blues

Faktor usia perempuan yang bersangkutan saat kehamilan dan

persalinan seringkali dikaitkan dengan kesiapan mental perempuan

tersebut untuk menjadi seorang ibu. Karakteristik ibu dihubungkan

dengan kejadian Postpartum blues, dari umur ibu jika >35 tahun yang

membuat menjadi risiko adalah faktor kelelahan dan keadaan anatomi

tubuh yang sudah tidak baik lagi untuk hamil dan bersalin.

Berdasarkan penelitian Kurniasari Devi dan Astuti Amir (2015) di

dapatkan hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur yang

beresiko dengan kejadian post partum blues di Rumah Sakit Umum

Ahmad Yani Metro tahun 2014 dengan usia yang beresiko memiliki

peluang 2,700 kali lebih besar untuk mengalami post partum blues.

2.1.8 Faktor Risiko pada Bayi Baru Lahir

a. Prematur

Usia kandungan secara umum adalah 37-42 minggu. Jika

kehamilan melebihi 42 minggu dianggap sebagai postmatur.

Sebaliknya jika terjadi sebelum 37 minggu kelahiran itu dianggap

prematur atau tidak cukup bulan. Kelahiran prematur yang lahir kurang

dari 37 minggu. Hal ini terjadi karena pada saat pertumbuhan janin zat

yang diperlukan berkurang. Bayi yang tidak cukup bulan sering kali

terancam oleh bahaya maut. Khususnya, jika kelahiran bayi terjadi

20
terlalu awal, yaitu sebelum 7 bulan dan berat bayi kurang dari 1500

gram.

Pada umur >35 tahun juga dapat menyebabkan persalinan

preterm karena umur ibu yang sudah resiko tinggi karena fungsi alat

reproduksi yang mulai menurun. Fungsi alat reproduksi menurun

akibat proses penuaan. Adanya kehamilan membuat ibu memerlukan

ekstra energi untuk kehidupannya dan juga kehidupan janin yang

sedang dikandungnya. Berdasarkan hasil penelitian Lestari Puspa

Putri, dkk (2018) didapatkan hasil bahwa ibu yang memiliki usia

beresiko (<20 dan >35 tahun) 3.182 kali beresiko mengalami kejadian

persalinan preterm.

b. Cacat Bawaan

Cacat bawaan merupakan kelainan pertumbuhan struktur organ

janin sejak saat pertumbuhan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa

faktor, diantaranya kelainan genetika, dan kromsom, infeksi, virus

rubella, serta faktor gizi dan kelainan hormon. Kehamilan di atas usia

40 itu berisiko melahirkan bayi yang cacat. Kecacatan yang paling

umum adalah down syndrome (kelemahan motorik, IQ rendah) atau

bisa juga cacat fisik. Adanya kelainan kromosom dipercaya sebagai

risiko kehamilan di usia 40 tahun.

Pertambahan usia dapat menyebabkan terjadinya kelainan

terutama pada pembelahan kromosom. Pembelahan kromosom

abnormal menyebabkan adanya peristiwa gagal berpisah yang

menimbulkan kelainan pada individu yang dilahirkan. Terjadinya

kelahiran anak dengan down syndrome, kembar siam, autism sering

21
disangkut pautkan dengan masalah kelainan kromosom yang

diakibatkan oleh usia ibu yang sudah terlalu tua untuk hamil. Akan

tetapi hal ini pun masih berada di dalam penelitian lanjut mengenai

kebenarannya.Seiring bertambah usia maka resiko kelahiran bayi

dengan down syndrome cukup tinggi yakni 1:50. Hal ini berbeda pada

kehamilan di usia 20-30 tahun dengan rasio 1:1500.Selain itu, bayi

yang lahir dari kelompok tertua lebih cenderung untuk memiliki cacat

lahir dan harus dirawat di unit perawatan intensif neonatal.

c. BBLR

BBLR adalah bayi lahir dengan berat badan yang kurang dari

2500 gram. Kebanyakan hal ini dipengaruhi kurangnya gizi saat hamil.

Berdasarkan penelitian Mubasyiroh Rofingatul, dkk (2016) bahwa pada

usia lebih dari 35 tahun, terjadi penurunan kesehatan reproduktif

karena proses degeneratif sudah mulai muncul. Salah satu efek

degeneratif adalah terjadi sklerosis pembuluh darah arteri kecil dan

arteriola miometrium yang menyebabkan aliran darah ke endometrium

tidak merata dan maksimal sehingga dapat mempengaruhi penyaluran

nutrisi dari ibu ke janin yang akhirnya membuat gangguan

pertumbuhan janin dalam rahim.

Berdasarkan penelitian Rahim Kurnia dan Muharry Andy (2018)

di dapatkan hasil bahwa Ibu dengan latar belakang umur berisiko

memiliki proporsi kejadian BBLR sebanyak 57,1%. Sedangkan

berdasarkan penelitian Narita Agnes (2016) dapat disimpulkan bahwa

usia ibu <20 tahun dan >35 tahun merupakan faktor risiko kejadian

BBLR. Usia ibu hamil <20 dan >35 tahun diperkirakan berisiko

22
melahirkan bayi BBLR 3,946 kali dibanding ibu hamil usia 20-35 tahun.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Tazkiah, dkk (2013), bahwa

terdapat hubungan signifikan antara usia ibu dengan kejadian BBLR.

Usia ibu <20 dan >35 tahun berisiko 10,7 kali melahirkan bayi BBLR.

d. Asfiksia Neonatorum

Berdasarkan penelitian Windiani, dkk (2016) menunjukkan

bahwa faktor ibu dan bayi yang berpengaruh terhadap kejadian

asfiksia neonatorum yaitu lilitan tali pusat, anemia pada saat hamil,

partus lama, BBLR, umur ibu <20 tahun dan >35 tahun, dan hipertensi

pada saat hamil.

2.2 Asuhan Masa Kehamilan

2.2.1 Pengertian Kehamilan

Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, kehamilan di

definisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum

dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Bila dihitung dari saat

fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan berlangsung dalam

waktu 40 minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut kalender

internasional. Kehamilan terbagi dalam 3 trimester, dimana trimester kesatu

berlangsung dalam 12 minggu, trimester kedua 15 minggu (minggu ke-13

hingga ke-27), dan trimester ketiga 13 minggu (minggu ke-28 hingga ke-40).

(Prawirohardjo, 2014)

2.2.2 Ketidaknyamanan Trimester III

a. Kram pada Kaki

23
Wanita hamil sering mengeluhkan adanya kram pada kaki yang

biasanya berlangsung pada malam hari atau mejelang pagi hari. Kram

pada kaki saat kehamilan sering dikeluhkan oleh 50% wanita pada usia

kehamilan lebih dari 24 minggu sampai dengan 36 minggu. Keadaan ini

diperkirakan terjadi karena adanya aliran atau sirkulasi darah pada

pembuluh darah panggul yang disebabkan oleh tertekannya pembuluh

tersebut oleh uterus yang semakin membesar serta akibat dari

ketidakseimbangan kadar beberapa jenis mineral di dalam darah, yakni

kalsium, potasium dan magnesium yang terlalu rendah, sementara

kadar fosfor terlalu tinggi sehingga menyebabkan gangguan pada

sistem saraf otot-otot tubuh. (Irianti, 2015)

Asuhan Kebidanan :

1) Meminta Ibu untuk meluruskan kakinya yang kram dalam posisi

berbaring kemudian menekan tumitnya atau dengan posisi berdiri

dengan tumit menekan pada lantai.

2) Menyarankan ibu hamil untuk melaksanakan latihan ringan umum

seperti memposisikan kaki lebih tinggi dari tempat tidur sekitar 20-25

cm, mendorsofleksikan kaki dan melakukan pijatan ringan, berjalan

untuk melancarkan sirkulasi darah menuju tungkai, mempertahankan

posisi yang baik dalam beraktivitas agar dapat meningkatkan sirkulasi

darah.

3) Menyarankan ibu hamil untuk perbanyak minum air putih dan

mengkonsumsi vitamin B, C, D, kalsium dan fosfor agar terdapat

24
keseimbangan antara kadar tersebut dalam tubuh ibu dan

menghindari terjadinya keluhan.

b. Nyeri pinggang

Nyeri pinggang merupakan nyeri punggung yang terjadi pada area

lumbosakral. Nyeri punggung bawah akan meningkat intensitasnya

seiring pertambahan usia kehamilan biasanya trimester akhir dan

kondisi janin yang semakin membesar sehingga beban yang dibawa ibu

pun bertambah berat yang menyebabkan otot-otot pinggang dan tulang

belakang ibu semakin tertarik sehingga menimbulkan rasa kurang

nyaman pada daerah pinggang. Cara untuk mengatasi

ketidaknyamanan ini antara lain:

1) Pijatan/ usapan pada punggung

2) Kompres hangat (jangan terlalu panas) pada punggung bagian

bawah (contoh bantalan pemanas, mandi air hangat, duduk di bawah

siraman air hangat). Kompres es pada pinggang

3) Tidur miring. Untuk istirahat atau tidur; gunakan kasur yang

menyokong atau gunakan bantal dibawah punggung untuk

meluruskan punggung dan meringankan tarikan dan regangan.

4) Tidak menggunakan sepatu hak tinggi

5) Hindari membungkuk berlebihan, mengangkat beban, dan berjalan

tanpa istirahat.

6) Menjaga postur tubuh yang baik.

7) Mekanik tubuh yang tepat saat mengangkat beban

25
8) Jika masalah bertambah parah, pergunakan penyokong penyokong

abdomen eksternal dianjurkan (contoh korset maternal atau belly

band yang elastic).

c. Gangguan tidur dan mudah lelah

Pada trimester III, hampir semua wanita mengalami gangguan

tidur. Cepat lelah pada kehamilan disebabkan oleh nokturia (sering

berkemih di malam hari), terbangun di malam hari dan mengganggu

tidur yang nyenyak. Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa cepat

lelah pada ibu hamil dikarenakan tidur malam yang tidak nyenyak

karena terbangun tengah malam untuk berkemih. Wanita hamil yang

mengalami insomnia disebabkan ketidaknyamanan akibat uterus yang

membesar, ketidaknyamanan lain selama kehamilan dan pergerakan

janin, terutama jika janin aktif.

d. Nyeri Perut Bagian Bawah

Nyeri perut bawah dikeluhkan oleh sebagian besar ibu hamil.

Keluhan ini dapat bersifat fisiologis dan beberapa lainnya merupakan

tanda adanya bahaya dalam kehamilan. Secara normal, nyeri perut

bawah dapat disebabkan oleh muntah yang berlebihan dan konstipasi

yang dialami oleh sebagian besar ibu dalam kehamilannya. Nyeri

ligamentum, uterus yang parah dan adanya kontraksi Braxton-Hicks

juga mempengaruhi keluhan ibu terkait dengan nyeri pada perut bagian

bawah.

e. Heartburn

26
Penyebab dari keluhan ini selama kehamilan dapat disebabkan

oleh peningkatan kadar progesteron atau meningkatnya metabolisme

yang menyebabkan relaksasi dari otot polos, sehingga terjadi penurunan

pada irama dan pergerakan lambung dan penurunan tekanan pada

spinkter esofagus bawah. Selama kehamilan, spinkter esofagus bawah

bergeser ke rongga dada (pada daerah yang bertekanan negatif), yang

memungkinkan untuk makanan dan asam lambung untuk lolos dari

daerah lambung ke esofagus, yang menyebabkan peradangan pada

esofagus dan adanya sensasi terbakar. Tekanan dari uterus yang

semakin membesar pada isi lambung juga dapat memperburuk keluhan

panas perut. (Irianti,2015).

2.2.3 Pemeriksaan Kehamilan

a. Pengertian Asuhan Kehamilan

Asuhan masa kehamilan/antenatal care merupakan asuhan pada

ibu hamil yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang meliputi fisik dan

mental untuk mendapatkan ibu dan bayi yang sehat selama masa

kehamilan, masa persalinan dan masa nifas.

b. Pemeriksaan Antenatal Terpadu

Sesuai dengan kebijakan Departemen Kesehatan (2016). Standar

kualitas pelayanan kehamilan yang diberikan kepada ibu harus sesuai

dengan standar “10 T”. Adapun penjelasan dari masing-masing

pelayanan standar tersebut adalah :

1) Ukur Berat badan dan Tinggi Badan (T1)

Penimbangan berat badan pada setiap kali kunjungan antenatal

dilakukan untuk mendeteksi adanya gangguan pertumbuhan janin.

27
Pada ibu hamil dengan IMT sebelum hamil normal, kecepatan

penambahan berat badan pada trimester pertama sebaiknya

mencapai 1-2 kg (350-400 gram/minggu), selanjutnya pada trimester

kedua dan trimester ketiga mencapai 0,34-0,50 kg/minggu. Jika

ditemukan penambahan berat yang kurang dari 0,5 kg perbulan pada

ibu hamil yang gemuk atau kurang dari 1 kg perbulan pada ibu hamil

yang normal, maka harus dicari penyebabnya lebih lanjut. Hal yang

harus diperhatikan antara lain pengukuran yang kurang tepat, berat

pakaian, akumulasi cairan atau karena asupan makanan yang tidak

adekuat atau bahkan berlebihan. Pada kehamilan lebih dari 20

minggu dengan penambahan berat badan yang lebih dari 3 kg/bulan,

harus diidentifikasi masalah lain terutama hipertensi dalam

kehamilan. Sebaliknya, jika penambahan berat badan kurang dari 1

kg selama trimester kedua terutama trimester ketiga, maka akan

meningkatkan risiko melahirkan bayi dengan BBLR, IUGR, serta

meningkatkan kematian perinatal. (Astuti, dkk. 2017)

Penelitian yang dilakukan oleh Fajrina (2010-2011) di rumah

bersalin daerah Bogor mengemukakan hasil bahwa terdapat

hubungan antara penambahan berat badan ibu hamil dengat berat

badan tahir bayi. Ibu hamil yang memiliki penambahan berat badan

kurang dari 10 kg berisiko 0,132 melahirkan bayi dengan berat lahir

kurang dari 3000 gram dibandingkan dengan ibu hamil yang memiliki

penambahan berat badan lebih dari 10 kg.

Tabel 2.1 Klasifikasi Nilai IMT

Peningkatan Berat Badan Selama Hamil

28
Kategori Berat IMT Kenaikan BB

badan sebelum total yang

hamil (BB/TB dianjurkan

(m)2)

Berat badan < 18,50 12-18

kurang

Berat badan 18,50-24,99 11-15

normal

Berat badan 25,00-29.99 6-11

berlebih

Obesitas ≥30,0 5-9

Sumber : Fathonah, 2016

2) Ukur Tekanan Darah (T2)

Pemeriksaan tekanan darah sangat penting untuk mengetahui

standar normal, tinggi atau rendah. Tekanan darah yang normal

110/80-120/80 mmHg. Akan tetapi saat hamil terjadi penurunan

tekanan darah. Setelah usia kehamilan 20-32 minggu tekanan darah

kembali normal. Standar pemeriksaan tekanan darah adalah 4x

selama masa kehamilan, yakni 1x pada trimester pertama, 1x pada

trimester kedua dan 2x pada trimester ketiga. Pengukuran tekanan

darah pada setiap kali kunjungan antenatal dilakukan untuk

mendeteksi adanya hipertensi (tekanan dara 140/90 mmHg) pada

kehamilan dan preeklampsia (hipertensi disertai edema pada wajah

dan/atau tungkai bawah dan/atau proteinuria)

3) Ukur LILA (T3)

29
Pengukuran LILA hanya dilakukan pada kontak pertama untuk

mendeteksi ibu hamil yang berisiko KEK. Kurang energi kronis yang

dimaksud yaitu ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi dan telah

berlangsung lama (beberapa bulan/tahun) yaitu <23,5 cm. Ibu hamil

dengan KEK akan dapat melahirkan berat badan lahir rendah.

4) Ukur Tinggi Fundus Uteri (T4)

Pengukuran tinggi fundus uteri pada setiap kali kunjungan

antenatal dilakukan untuk mendeteksi pertumbuhan janin sesuai atau

tidak dengan usia kehamilan. Jika tinggi fundus tidak sesuai dengan

usia kehamilan, maka kemungkinan terdapat gangguan pertumbuhan

janin. Standar pengukuran menggunakan pita pengukur setelah usia

kehamilan 24 minggu. (Astuti dkk, 2017).

Tabel 2.2

Menentukan Tinggi Fundus (Mc-DONALD)

NO Tinggi Fundus Uteri Umur Kehamilan

(cm) (minggu)

1 12 12

2 16 16

3 20 20

4 24 24

5 28 28

6 32 32

7 36 36

8 40 40

30
Sumber : Astuti dkk. 2017

Penghitungan Taksiran Berat Badan Janin (TBBJ). Penghitungan

TBBJ dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan janin dalam

kandungan melalui pertambahan berat badan janin yang diukur saat

palpasi abdomen.

Taksiran berat badan janin ditentukan berdasarkan rumus

Johnson Toshack :

Taksiran Berat Janin (TBJ) = [Tinggi Fundus Uteri (dalam cm) -N] x 155

N : 13 bila kepala belum melewati pintu atas panggul

N : 11 bila kepala sudah memasuki pintu atas panggul

5) Imunisasi TT (T5)

Tabel 2.3

Jadwal Pemberian Imunisasi TT

NO TT Selang Waktu Lama perlindungan

Minimal

1 I Suntikan pertama Langkah awal pembentukan

kekebalan tubuh terhadap

penyakit Tetanus

2 II 1 bulan setelah 3 tahun

suntikan pertama

3 III 6 bulan setelah 5 tahun

31
suntikan kedua

4 IV 1 tahun dari 10 tahun

suntikan ke-3

5 V 1 tahun dari 25 tahun

suntikan ke-4

Sumber : Astuti dkk, 2017

6) Pemberian Tablet Tambah Darah/Tablet Besi Fe (T6)

Pemberian Tablet Zat besi minimum yaitu 90 tablet selama

kehamilan. Pemberian preparat besi berupa ferrosulfat, ferro

gluconatatau Na-ferrobisitrat. Pemberian preparat Fe 60 mg per hari

dapat menaikkan kadar Hb sebanyak 1 g% per bulan. Pemberian

asam folat 5 mg selama 4 bulan untuk anemia karena defisiensi

asam folat. Untuk mencegah anemia gizi besi, setiap ibu hamil harus

mendapatkan tablet zat besi minimal 90 tablet selama masa

kehamilan dan diberikan sejak kontak pertama. Tablet besi sebaiknya

tidak diminum bersama teh dan kopi, karena akan menggangu

penyerapanya.

7) Menentukan Presentasi Janin dan Auskultasi DJJ (T7)

Menentukan presentasi janin dilakukan pada akhir trimester 2 dan

selanjutnya setiap kali kunjungan antenatal. Pemeriksaan ini

dilakukan untuk mengetahui letak janin. Jika pada trimester 3 bagian

bawah janin bukan kepala atau kepala janin belum masuk ke

panggul, maka terdapat kelainan letak, panggul sempit, atau adanya

masalah lain. Tujuan dari palpasi leopold pada ibu hamil adalah :

32
Penilaian DJJ dilakukan pada akhir trimester 1 dan selanjutnya

setiap kali kunjungan antenatal. Jika DJJ lambat (<120 denyut/menit)

atau DJJ cepat (>160 denyut/menit), maka menunjukkan adanya

gawat janin. (Astuti dkk, 2017).

8) Tes Laboratorium (rutin dan khusus) (T8)

a. Pemeriksaan Hb

Pemeriksaan Hb minimal 2 kali selama kehamilan dilakukan pada

kunjungan ibu hamil pertama kali, lalu periksa lagi menjelang

persalinan. Pemeriksaan Hb adalah salah satu upaya untuk

mendeteksi Anemia pada ibu hamil yang dapat mempengaruhi

tumbuh kembang janin dalam kandungan.

b. Pemeriksaan Golongan Darah

Pemeriksaan golongan darah pada ibu hamil tidak hanya untuk

mengetahui jenis golongan darah ibu, tetapi juga mempersiapkan

calon pendonor darah yang sewaktu-waktu diperlukan jika terjadi

situasi gawat darurat.

c. Pemeriksaan Protein Dalam Urine

Pemeriksaan protein dalam urine pada ibu hamil dilakukan ada

trimester kedua dan trimester ketiga atas indikasi. Pemeriksaan ini

ditujukan untuk mengetahui adanya proteinuria pada ibu hamil.

Proteinuria merupakan salah satu indikator terjadinya

preeklampsia pada ibu hamil.

d. Pemeriksaan Kadar Gula Darah

Ibu hamil yang dicurigai mengidap diabetes melitus harus

dilakukan pemeriksaan gula darah selama kehamilannya minimal

33
satu kali pada trimester pertama, satu kali pada trimester kedua,

dan satu kali pada trimester ketiga (terutama pada akhir trimester

ketiga).

e. Pemeriksaan Darah Malaria

Semua ibu hamil di daerah endemis malaria menjalani

pemeriksaan darah malaria dalam upaya skrining pada kontak

pertama. Ibu hamil di daerah non-endemis malaria menjalani

pemeriksaan darah malaria jika terdapat indikasi.

f. Pemeriksaan Tes Sifilis

Pemeriksaan tes sifilis dilakukan di daerah dengan risiko tinggi

dan pada ibu hamil yang di duga sifilis. Pemeriksaan sifilis

sebaiknya dilakukan sedini mungkin pada kehamilan.

g. Pemeriksaan HIV

Pemeriksaan HIV terutama ditujukan untuk daerah dengan risiko

tinggi kasus HIV dan ibu hamil yang di curigai mengidap HIV.

Setelah menjalani konseling, ibu hamil diberikan kesempatan

dalam menetapkan sendiri keputusannya untuk menjalani tes HIV.

h. Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA)

Pemeriksaan BTA dilakukan pada ibu hamil yang dicurigai

mengidap tuberkulosis sebagai pencegahan agar infeksi

tuberkulosis tidak mempengaruhi kesehatan janin. Selain

pemeriksaan tersebut, jika diperlukan dapat dilakukan

pemeriksaan penunjang lainnya di fasilitas rujukan.

9) Tatalaksana/Penanganan Kasus (T9)

34
Berdasarkan hasil pemeriksaan antenatal diatas dan hasil

pemeriksaan laboratorium, maka setiap kelainan yang ditemukan ada

ibu hamil harus ditangani sesuai dengan standar dan kewenangan

tenaga kesehatan. Kasus yang tidak dapat ditangani harus dirujuk

sesuai dengan sistem rujukan.

10) Temu Wicara (konseling) (T10) termasuk Perencanaan Persalinan

dan Pencegahan Komplikasi (P4K) serta KB pasca persalinan

Tenaga kesehatan memberi penjelasan mengenai perawatan

kehamilan, pencegahan kelainan bawaan, persalinan dan inisaiasi

menyusu dini (IMD), nifas, perawatan bayi baru lahir, ASI ekslusif,

Keluarga Berencana dan imunisasi pada bayi. Penjelasan ini

diberikan secara bertahap pada kunjungan saat hamil. (Astuti, dkk.

2017)

c. Jadwal Kunjungan Kehamilan

Ibu hamil sebaiknya dianjurkan mengunjungi bidan atau

dokter sedini mungkin, semenjak dirinya merasa hamil untuk

mendapatkan pelayanan/ asuhan kehamilan. Menurut (Astuti, 2017).

Kunjungan Antenatal Care (ANC) dilakukan minimal 4 kali :

1) Satu kali pada trimester I (usia kehamilan 0-13 minggu)

2) Satu kali pada trimester II (usia kehamilan 14-27 minggu)

3) Dua kali pada trimester III (usia kehamilan 28-40 minggu)

2.2.4 Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K)

Sejak tahun 2007, pemerintah mengadakan P4K dengan stiker

sebagai upaya terobosan dalam mempercepat penurunan angka kematian

ibu dan angka kematian bayi baru lahir melalui kegiatan yang membangun

35
potensi masyarakat, khususnya kepedulian masyarakat untuk persiapan

dan tindakan dalam menyelamatkan Ibu dan bayi baru lahir.

Kegiatan ini difasilitasi oleh bidan di desa dalam rangka peran aktif

suami, keluarga, dan masyarakat dalam merencanakan persalinan yang

aman dan persiapan menghadapi komplikasi bagi ibu hamil, termasuk

merencanakan penggunaan KB pascapersalinan dengan menggunakan

stiker sebagai media notifikasi sasaran dalam rangka meningkatkan

cakupan dan mutu pelayanan kesehatan bagi ibu dan bayi baru lahir.

(Astuti,2017). Peran bidan dalam P4K salah satunya pada masa kehamilan

yaitu :

a. Melakukan pemeriksaan kehamilan (ANC) sesuai standar. Pemeriksaan

ini dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan, diantaranya untuk

Memeriksakan kondisi umum, Menentukan taksiran partus (telah

dituliskan pada stiker), Memeriksakan kondisi janin, Melakukan

pemeriksaan laboratorium yang diperlukan, Memberikan imunisasi TD

(dengan melihat status imunisasinya), Memberikan tablet Fe,

Memberikan tindakan jika terdapat komplikasi

b. Melakukan penyuluhan konseling pada ibu hamil dan keluarga tentang

Tanda bahaya kehamilan dan persalinan, Tanda-tanda persalinan,

Personal hygiene dan lingkungan, Gizi dan kesehatan, Perencanaan

persalinan (bersalin di bidan, menyiapkan transportasi, menyiapkan

biaya, menyiapkan calon donor darah), Perlunya Inisiasi Menyusu Dini

(IMD) dan pemberian ASI Eksklusif, KB pascapersalinan

c. Melakukan kunjungan rumah untuk Memberikan penyuluhan atau

konseling tentang perencanaan persalinan pada keluarga, Memberikan

36
pelayanan ANC bagi ibu hamil yang tidak datang ke bidan, Memotivasi

ibu saat persalinan di bidan pada waktu menjelang taksiran partus,

Membangun komunikasi persuasif dan setara dengan forum peduli KIA

dan kemitraan dengan Paraji untuk meningkatkan partisipasi aktif unsur-

unsur masyarakat dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak.

2.2.5 Tanda Bahaya Kehamilan

a. Perdarahan pervaginam

Perdarahan pervaginam adalah perdarahan yang tidak normal, merah,

banyak dan kadang-kadang. Tetapi tidak selalu, disertai dengan rasa

nyeri. Perdarahan seperti ini bisa berarti plasenta previa (Sulistyawati,

2009).

b. Sakit kepala yang hebat

Sakit kepala yang menunjukan masalah serius adalah sakit kepala

hebat yang menetap dan tidak hilang setelah berisirahat

c. Penglihatan kabur

Masalah visual yang mengindikasikan keadaan yang mengancam jiwa

adalah perubahan visual yang mendadak, misalnya pandangan kabur

atau terbayang secara mendadak.

d. Bengkak di wajah dan jari-jari tangan

Bengkak bisa menunjukan adanya masalah serius jika muncul pada

muka dan tangan, tidak hilang setelah beristirahat, dan disertai keluhan

fisik yang lain.

e. Keluar cairan pervaginam

37
Jika keluarnya cairan itu tidak terasa, berbau amis, dan warna putih

keruh berarti yang keluar adalah air ketuban.

f. Gerakan janin tidak terasa

Kesejahteraan janin dapat diketahui dari keaktifan gerakannya, minimal

janin bergerak 10 kali dalam 24 jam, jika kurang dari itu maka waspada

akan adanya gangguan janin dalam rahim, misalnya asfiksia janin

sampai kematian janin.

g. Nyeri perut yang hebat

Pada kehamilan lanjut, jika ibu merasa nyeri yang hebat, tidak berhenti

setelah beristirahat, disertai dengan tanda-tanda syok yang membuat

keadaan umum ibu makin lama makin memburuk dan disertai

perdarahan yang tidak sesuai dengan beratnya syok, maka kita harus

waspada akan kemungkinan terjadinya solusio plasenta (Sulistyawati,

2009).

38

Anda mungkin juga menyukai