Anda di halaman 1dari 26

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESADARAN

DAN KESEDIAAN MEMBAYAR KONSUMEN DAGING SAPI


BERSERTIFIKAT HALAL DAN NKV DI KOTA DEPOK

ABDUL AZIS

SEKOLAH BISNIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i
DAFTAR GAMBAR ii
DAFTAR TABEL ii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 5
Manfaat penelitian 5
Ruang Lingkup Penelitian 5
TINJAUAN PUSTAKA 6
Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) 6
Kesadaran (Awareness) Halal dan Higienitas 6
Halal 9
Nomor Kontrol Veteriner (NKV) 11
Kerangka Pemikiran 12
METODE PENELITIAN 14
Lokasi dan Waktu Penelitian 14
Jenis dan Sumber Data 14
Teknik Pengumpulan Data 14
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 14
DAFTAR PUSTAKA 19
DAFTAR GAMBAR

1. Data Produksi dan Impor Daging Sapi 1


2. Data Populasi Sapi Potong 2
3. Label Halal MUI 10
4. Label Nomor Kontrol Veteriner 12
5. Kerangka Pemikiran Konseptual 13
6. Ilustrasi permodelan dan notasi PLS 16

DAFTAR TABEL

1. Variabel Laten dan Variabel Indikator 17


1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produk pangan yang berasal dari hewan merupakan salah satu sumber
protein yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemenuhan sumber protein
hewani yang beredar di masyarakat semakin meningkat seiring dengan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Salah satu produk pangan yang bersumber
dari hewan dan sangat diminati adalah daging sapi. Daging sapi merupakan
sumber pangan hewani yang memiliki nilai gizi tinggi karena mengandung
protein, lemak, mineral, dan zat-zat lain yang dibutuhkan oleh tubuh. Kandungan
yang dimiliki 100 gram daging sapi adalah 22,3 gram protein, 1,8 gram lemak, 1,2
gram abu dan 116 kkal kalori (Soeparno, 2011).
Produksi daging sapi di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Peningkatan produksi daging sapi dan populasi sapi masih belum memenuhi
pasokan daging di Indonesia sampai saat ini. Pemenuhan kebutuhan dan
permintaan terhadap daging sapi terutama di kota besar masih mengandalkan
produk impor. Kegiatan impor yang dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk sapi
bakalan maupun daging. Tahun 2020 jumlah daging yang diimpor mengalami
penurunan sebesar 15%, hal ini disebabkan karena adanya pandemi Covid-19.
Jumlah produksi daging sapi serta kegiatan impor dapat dilihat pada Gambar 1
dan peningkatan populasi sapi di Indonesia disajikan pada Gambar 2.

Pr o d u k s i d a n I m p o r D a g in g Sa p i
Produksi Daging (ton) Impor Daging (ton)
600,000.0
518,484.03 504,802.29 515,627.74
486,319.65 497,971.70
500,000.0

400,000.0

300,000.0 262,251.3
207,427.3 223,423.7
200,000.0 146,671.9 160,197.5

100,000.0

0.0
2016 2017 2018 2019 2020

Gambar 1 Data Produksi dan Impor Daging Sapi


2

Populasi Sapi Potong


18,000,000
17,466,792
17,500,000
16,930,025
17,000,000
16,429,102 16,432,945
16,500,000
16,004,097
16,000,000

15,500,000

15,000,000
2016 2017 2018 2019 2020

Populasi Sapi Potong (ekor)

Gambar 2 Data Populasi Sapi Potong


Peningkatan jumlah produksi daging di Indonesia memicu adanya
kecurangan yang dapat dilakukan oleh para penjual daging. Kecurangan yang
sering terjadi pada produk daging sapi yaitu daging sapi gelonggongan dan
pencampuran dengan daging babi (Salahudin dan Ramli, 2018). Hal ini
menyebabkan meningkatnya kewaspadaan masyarakat terhadap isu keamanan
produk daging yang beredar di pasaran. Adanya jaminan terhadap produk daging
sangat diperlukan masyarakat guna memberikan rasa aman bagi mereka.
Keamanan dan penjaminan ini terdiri atas beberapa aspek antara lain kesehatan,
higienitas dan labelitas Halal (Erwanto et al., 2014). Kriteria keHalalan suatu
produk daging merupakan salah satu masalah utama yang muncul khususnya
dikalangan masyarakat muslim. Aspek keHalalan merupakan salah satu unsur
penting yang menjadi pertimbangan dalam memilih produk bagi umat muslim.
Halal menjadi syarat utama dalam kegiatan konsumsi sekaligus gaya hidup bagi
umat muslim (Jamari et al., 2015). Produk Halal tidak hanya untuk dinikmati oleh
umat muslim, karena produk Halal tidak hanya merepresentasikan persyaratan
dalam agama atau kepercayaan, namun juga aspek kebersihan, kesehatan, dan rasa
yang lebih baik (Aziz dan Chok, 2013). Saat ini banyak produsen yang mulai
melirik dan menyadari untuk menghasilkan produk yang Halal. Selandia Baru dan
Australia merupakan contoh negara yang sudah melakukan sertifikasi terhadap
produk daging yang dihasilkan dan mulai diikuti oleh negara-negara lainnya.
Kriteria Halal tidak hanya berkaitan dengan cara atau proses pemotongan, tetapi
juga pasca pemotongan seperti penyimpanan, pengemasan, distribusi dan
penyajian (Ambali dan Bakar 2014). Adanya resiko pencampuran dan
penggabungan produk Halal dan non Halal pada proses pasca pemotongan
merupakan salah satu faktor penting pada kriteria keHalalan dalam suatu produk.
Tahun 2019 Indonesia telah menerapkan Undang-Undang No 33 Tahun 2014
mengenai jaminan produk Halal (UU JPH) sebagai upaya negara dalam
3

memenuhi kewajibannya dalam memberikan perlindungan dan jaminan tentang


keHalalan suatu produk yang akan dikonsumsi oleh masyarakat.
Jaminan keamanan pangan pada produk daging sapi tidak hanya sertifikat
Halal saja. Kepemilikan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) bagi para pelaku usaha
juga sangat dibutuhkan guna meningkatkan keamanan produk daging sapi yang
dijual. Sertifikasi NKV bertujuan untuk mencapai terwujudnya kesehatan dan
ketentraman masyarakat dalam mengkonsumsi pangan asal hewan. Sertifikasi
NKV pada prinsipnya merupakan kegiatan penilaian dalam pemenuhan
persyaratan kelayakan dasar sistem jaminan keamanan pangan dalam aspek
higienis dan sanitasi pada unit usaha pangan asal hewan yang diterbitkan oleh
instansi yang berwenang di bidang kesmavet. Regulasi tersebut mengacu pada
Undang – undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor: 18 Tahun 2009 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2014 tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi
Pangan yang dijabarkan melalui Peraturan Menteri Pertanian No 381 tahun 2005
tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan
yang sekarang digantikan dengan Peraturan Menteri Pertanian No 11 Tahun 2020.
Pemberian sertifikasi NKV diharapkan mampu mewujudkan jaminan produk
pangan asal hewan yang memenuhi persyaratan aman, sehat, utuh, dan Halal bagi
produk yang dipersyaratkan. Sertifikasi NKV dapat digunakan untuk
mempermudah dalam melakukan penelusuran balik (traceability) terhadap temuan
penyimpangan peredaran produk asal ternak.
Penerapan sertifikasi Halal dan NKV terhadap produk daging sapi akan
mempengaruhi harga jual daging yang ada di pasaran. Hal ini disebabkan karena
proses sertifikasi memerlukan biaya yang harus ditanggung oleh pedagang itu
sendiri. Undang-Undang JPH Pasal 44 ayat 1 menjelaskan bahwa biaya sertifikasi
Halal dibebankan kepada pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat.
Berbeda dengan sertifikasi Halal, sertifikasi NKV tidak dilakukan pemungutan
biaya pada prosesnya dan memiliki masa berlaku 5 tahun. Penelitian yang
menggali lebih dalam mengenai sisi permintaan dari konsumen masih belum
banyak dilakukan. Tanggapan konsumen terhadap keHalalan serta higienisnya
suatu produk merupakan komponen penting dalam rangka penerapan UU JPH
serta upaya pemerintah dalam memberikan rasa aman terhadap konsumen. Hal ini
menjadi latar belakang penelitian mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi
kesadaran dan kesedian membayar (Willingness to pay) konsumen terhadap
daging bersertifikat Halal dan NKV yang berada di kota Depok.

Rumusan Masalah

Produk peternakan merupakan bahan pangan yang bersifat mudah rusak dan
memiliki potensi mudah tercemar secara biologi, kimiawi dan fisik jika tidak
ditangani dengan baik. Salah satu produk peternakan yang mudah tercemar serta
sering terjadi kecurangan adalah daging sapi. Tingginya permintaan daging sapi di
masyarakat memunculkan isu mengenai keHalalan dari produk tersebut. Kasus
yang menyebabkan isu keHalalan yaitu adanya kasus pencampuran daging sapi
dengan daging babi. Kasus ini muncul seiring dengan tingginya permintaan
menjelang perayaan hari raya. Temuan kasus daging sapi yang dicampur dengan
4

daging babi dalam jumlah yang besar terjadi pada bulan Mei 2020. Selain isu
mengenai keHalalan, higienitas serta sanitasi juga menjadi masalah yang sering
muncul pada produk ini. Higienitas dan sanitasi perlu diperhatikan guna
menghindari bahaya cemaran secara biologi maupun kimiawi seperti
mikroorganisme atau campuran bahan kimia lain. Mikroorganisme dapat
mencemari daging melalui air, debu, udara, tanah, alat-alat pengolahan serta
ekskreta manusia atau hewan. Bahaya cemaran kimia dapat ditimbulkan oleh
adanya cemaran residu antibiotik, hormon, pestisida, serta campuran bahan kimia
lainnya. Cemaran secara kimiawi yang sering terjadi yaitu pemberian formalin
atau boraks dengan tujuan untuk mengawetkan daging.
Daging sapi menjadi salah satu komoditas pangan hasil peternakan yang
setiap tahunnnya mengalami peningkatan produksi sehingga konsumsi pun
meningkat. Berdasarkam data dari Dirjen PKH (2020), konsumsi daging sapi dari
2015 sampai 2019 tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun
2016, angka konsusmi daging sapi masyarakat di Indonesia sebesar 0,417
/kg/kapita/tahun dan meningkat menjadi 0,469 kg/kapita/tahun di tahun 2019.
Peningkatan konsumsi daging sapi diikuti juga dengan meningkatnya produksi
daging sehingga kebutuhan di pasar selalu terpenuhi.
Harga daging sapi di pasaran sangat beragam dan bergantung pada jenis dan
kualitas daging. Kenaikan harga yang terjadi setiap tahunnya mempengaruhi
angka konsumsi di Indonesia. Selain itu, kenaikan harga juga membuka peluang
terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh beberapa penjual daging demi meraih
keuntungan yang lebih banyak. Banyaknya isu pencampuran daging sapi terbukti
sangat memengaruhi pandangan masyarakat dalam mengkonsumsi daging
(Verbeke et al., 2013). Hal ini dapat mempengaruhi pendapatan penjual daging
serta produk olahannya dikarenakan oleh kekhawatiran konsumen. Sertifikasi
Halal ini dimaksudkan untuk menghindari pencampuran yang sering terjadi
terutama pada komoditas daging sapi (Ambali dan Bakar 2014).
Peningkatan konsumsi daging serta munculnya isu-isu yang beredar tentang
daging sapi menjadi salah satu penyebab pemerintah untuk melakukan sertifikasi
terhadap rumah potong dan produk daging sapi beserta olahannya. Jumlah rumah
potong yang memiliki sertifikat masih terbilang minim dibandingnkan dengan
tingginya tingkat produksi daging di Indonesia. Daging sapi yang sudah memiliki
sertifikat Halal juga menjadi salah satu produk yang agak sulit ditemukan di pasar
meskipun di swalayan atau pun toko daging yang ada.
Keberadaan label Halal dapat meningkatkan nilai jual produk melalui
peningkatan kesediaan membayar (willingness to pay) terhadap produk tersebut
(Bonne dan Verbeke, 2008). Hal ini karena label Halal mengkompensasi
kurangnya pengetahuan konsumen terkait kriteria Halal sehingga mempermudah
proses pengambilan keputusan (Aziz dan Chok, 2013). Bonne dan Verbeke (2008)
menyatakan bahwa adanya label Halal pada suatu produk telah meningkatkan
kesediaan membayar (willingness to pay) dari konsumen muslim di Belgia. Para
konsumen yang diteliti ternyata bersedia membayar dengan harga ptinggi sebesar
13 persen di atas rata-rata. Produk yang benar-benar memiliki potensi akan
menarik minat konsumen untuk dibeli, meskipun memiliki harga yang sedikit
lebih tinggi. Produk daging sapi yang memiliki sertifikat Halal dan NKV belum
5

banyak ditemukan, maka perlu diketahui terlebih dahulu tentang tanggapan


mengenai daging sapi bersertifikat. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kesadaran konsumen dalam memilih produk dapat menjadi bahan yang lebih baik
dalam melakukan sosialisasi dan penyebaran informasi pihak terkait.
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana karakteristik responden yang memiliki kesadaran dan bersedia
membayar biaya tambahan untuk daging sapi yang sudah memiliki sertifikat?
2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran konsumen dalam memilih
daging sapi bersertifikat Halal dan NKV?
3. Bagaimana tingkat kesediaan membayar konsumen daging sapi bersertifikat
Halal dan NKV?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah


sebagai berikut:
1. Menganalisis karakteristik responden yang memiliki kesadaran dan bersedia
membayar biaya tambahan terhadap daging sapi bersertifikat Halal dan NKV.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesadaran konsumen dalam
memilih daging bersertifikat Halal dan NKV.
3. Menganalisis tingkat kesediaan membayar konsumen terhadap daging
bersertifikat Halal dan NKV.

Manfaat penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada:


1. Bagi Para pelaku usaha dan pemangku kepentingan (stake holder) diharapkan
mampu memberi informasi mengenai kondisi permintaan serta pengetahuan
konsumen terhadap produk daging sapi yang memiliki sertifikat sehingga
menjadi gambaran kondisi saat ini.
2. Bagi akademisi, hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan
pemahman mengenai kesediaan membayar konsumen terhadap daging yang
bersertifikat sehingga dapat membantu program penyusunan edukasi dalam
melakukan sosialisasi.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini berfokus pada analisis willingness to pay masyarakat kota


Depok terhadap daging sapi yang memiliki sertifikasi Halal dan NKV. Penelitian
ini mengambil studi kasus pada masyarakat yang berdomisili di kota Depok. Hasil
dari penelitian diharapkan menjadi sebuah gambaran bagi para pelaku usaha dan
pemangku kepentingan mengenai respon konsumen terhadap daging bersertifikat
Halal dan NKV
6

TINJAUAN PUSTAKA

Kesediaan Membayar (Willingness to Pay)

Kesediaan untuk membayar (Willingness to pay) merupakan kesediaan


individu untuk membayar suatu kondisi atau penilaian terhadap barang dan jasa
dengan kualitas yang lebih baik. Ladiyance dan Yuliana (2014) menyatakan
bahwa Willingness to pay merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk
mengetahui jumlah harga yang mampu dibayarkan oleh seseorang untuk
mempertahankan suatu kualitas. Konsep kesediaan membayar ini merefleksikan
suatu kerelaan seseorang untuk membayarkan suatu barang atau jasa dengan harga
tertentu sesuai dengan manfaat dan kegunaannya.
Harga yang harus dibayarkan seseorang berbeda dengan harga yang
bersedia untuk dibayarkan. Harga yang harus dibayarkan sudah ditentukan dan
tertera pada suatu produk, sedangkan harga yang besedia dibayarkan bergantung
pada pendapat individu serta manfaat apa yang di dapatkan dari produk tersebut.
Kesediaan membayar (willingness to pay) berfokus pada jumlah maksimal yang
bersedia dibayarkan seseorang untuk mendapatkan produk tertentu (Breidert et al,
2006). Konsumen akan melakukan perbandingan dengan apa yang akan
dibayarkan dengan nilai yang didapatkan dari setiap produk. Memahami konsep
willingness to pay dapat dimulai dengan konsep utilitas. Konsep ini merupakan
salah satu keadaan dimana kebutuhan dan keinginan konsumen dapat terpenuhi
dalam waktu tertentu melalui produk yang akan dikonsumsi. Utilitas yang
didapatkan oleh konsumen memiliki hubugan dengan harga yang bersedia
dibayarkan sehingga diukur melalui Willingness to pay (Rofiatin dan Bariska,
2018). Willingness to pay dapat diukur dengan menggunakan pendekatan
Contingent Valuation Method (CVM). Pendekatan dengan metode CVM
merupakan suatu bagian dari metode valuasi pasar hipotesis yang berupa teknik
wawancara yang dengan tujuan meminta responden untuk memberikan
penilaiannya terhadap suatu barang dan jasa (Adjaye, 2009).

Kesadaran (Awareness) Halal dan Higienitas

Kesadaran merupakan unsur yang terdapat di dalam diri manusia dalam


memahami kehidupan dan bagaimana manusia tersebut bertindak terhadap
kehidupannya. Kesadaran sederhananya adalah perasaan atau kesadaran akan
keberadaan sesuatu secara internal maupun eksternal. Kesadaran dapat memiliki
kaitan yang sangat erat dengan pengetahuan (knowledge) dan ketertarikan atau
minat khusus pada sesuatu (Trevethan, 2017). Keadaan dimana seseorang
mengetahui atau mengerti. Kesadaran artinya merasa, tau atau ingat (kepada
keadaan yang sebenarnya), tau dan mengerti. Refleksi merupakan bentuk dari
penggungkapan kesadaran, di mana ia dapat memberikan atau bertahan dalam
situasi dan kondisi tertentu dalam lingkungan (Pramintasari dan Fatmawati,
2017). Konsep kesadaran menjadi dasar untuk mengembangkan suatu pemahaman
tentang pengalaman seseorang akan sesuatu.
7

Ambali dan Bakar (2014) menyatakan bahwa di dalam konteks Halal,


kesadaran memiliki peran dalam memproses informasi sehingga seseorang pada
tingkatan individu dan masyarakat secara luas memiliki perhatian lebih terhadap
produk-produk yang diizinkan dikonsumsi sesuai ajaran islam. Kesadaran
terhadap produk Halal (Halal awareness) adalah pengetahuan mengenai manfaat
atau tujuan dari mengkonsumsi produk-produk Halal. Kesadaran dalam konteks
Halal berarti mengerti tentang apa yang baik atau boleh dikonsumsi dan mengerti
tentang apa yang buruk atau tidak boleh dikonsumsi sesuai dengan aturan dalam
agama Islam yang ada pada Al- Qur’an dan Hadits (Pramintasari dan Fatmawati,
2017).
Pramintasari dan Fatmawati (2017) menyatakan kesadaran Halal dapat
dilihat secaran intrinsik dan ekstrinsik. Seseorang yang memiliki kesadaran Halal
secara intrinsik akan memastikan apa yang dimakan benar-benar Halal,
dikarenakan keyakinan bahwa Halal adalah makanan terbaik menurut islam.
Seseorang yang memiliki kesadaran ini akan meluangkan waktunya untuk
memahami konsep Halal menurut islam. Ardyanti (2013) menyatakan bahwa
kesadaran konsumen muslimterhadap makanan Halal dipengaruhi oleh
pemahamannya terhadap konsep Halal. Berbeda dengan kesadaran Halal secara
ekstrinsi, seseorang akan mengkonsumsi makanan dengan memperhatikan
keterangan-keterangan yang menginformasikan bahwa makanan tersebut Halal
seperti melihat logo ataupun komposisi. Adanya logo Halal, orang-orang tersebut
sudah yakin apa yang dimakannya sudah benar. Khalek et al (2014) di dalam
penelitiannya menyatakan bahwa munculnya sikap positif pemuda muslim di
Malaysia terhadap gerai makanan yang berlabel Halal dan sertifikasi JAKIM.
Istilah Halal meliputi kebersihan dan higienitas dalam proses persiapan
makanan, karena merupakan bagian dari agama dan Allah hanya mengizinkan
makanan atau produk yang higienis, aman dan Halal untuk dikonsumsi umat
Islam (Laluddin et al., 2019). Pengetahuan dan pendalaman terhadap konsep
makanan Halal dan bersih adalah hal penting bagi seorang Muslim. Konsep Halal
dalam makanan merujuk kepada makanan yang bersih dan suci sesuai dengan
ajaran Islam (Rahman et al., 2011). Kebersihan merupakan salah satu hal yang
ditekankan di dalam produk Halal dan mencakup banyak aspek mulai dari diri
sendiri, pakaian, peralatan, serta tempat produksi makanan, minuman ataupun
produk lainnya. Tujuannya yaitu untuk memastikan bahwa makanan atau produk
apapun yang dihasilkan aman, higienis, dan tidak berbahaya bagi kesehatan
manusia (Ambali dan Bakar, 2014). Hussain et al., (2016) menyatakan bahwa
monsep Halal menekankan kebersihan, keamanan, kemurnian, manufaktur,
produksi, proses, kejujuran dan pelayanan bahan makanan dan kegiatan keuangan
dan sosial lainnya di lingkungan Islam yang sangat baik. Halal sebagai simbol
telah mengalami peningkatan bukan hanya di dunia Muslim tetapi juga di negara-
negara non-Muslim (Bashir, 2019). Ambali dan Bakar (2013) memberikan contoh
untuk konsumen Muslim, makanan dan minuman Halal berarti produk tersebut
telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh hukum Syariah serta masalah
keamanan dan kebersihan, sedangkan untuk konsumen non-Muslim, konsumsi
produk Halal mewakili kebersihan, kualitas, dan keamanan. Aziz dan Chok
(2013) juga menyatakan bahwa bagi umat Islam, produk bersertifikat Halal
8

dengan logo Halal membawa ketenangan hati karena merupakan tanda utama
untuk membedakan antara produk Halal dan non-Halal. Oleh karena itu, Islam
selain memilih makanan yang sehat dan bergizi juga menekankan pada aspek
kebersihan dan higienitasnya (Halim et al., 2014).
Kesadaran terhadap produk Halal dan higienis dapat di pengruhi oleh
beberapa faktor. Ambari dan Bakar (2014) menyatakan bahwa terdapat beberapa
sumber yang merupakan faktor-faktor berpengaruh terhadap kesadaran akan
produk Halal, yaitu:
1. Keyakinan religius (Religius Belief)
Agama adalah sistem keyakinan dan praktik- praktik sekelompok
orang yang menafsirkan dan merespon apa yang mereka rasakan adalah
supranatural dan suci (Johnstone dalam Ambal dan Bakar 2014).
Schiffman dan Kanuk (2015) menegaskan bahwa anggota kelompok
agama yang berbeda memutuskan suatu pembelian dipengaruhi oleh
identitas agama mereka, orientasi, pengetahuan dan keyakinan.
Pengetahuan atau keyakinan agama merupakan pedoman terbaik dalam
menentukan makanan yang akan dikonsumsi karena beberapa agama
memberlakukan beberapa pantangan makanan misalnya larangan
mengkonsumsi daging babi dan daging yang tidak disembelih secara
syariah bagi umat muslim. Keberadaan rambu-rambu inilah yang
kemudian memengaruhi persepsi, cara pandang dan kesadaran masyarakat
terhadap hal-hal tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa agama atau
kepercayaan adalah sumber dari kesadaran seseorang dalam
mengkonsumsi suatu produk.
2. Peran sertifikasi (Logo/Label)
Indonesia merupakan bangsa berpenduduk mayoritas muslim
sehingga konsep Halal merupakan kunci mutlak untuk konsumsi.
Konsumen Muslim saat ini dihadapkan dengan berbagai pilihan produk
dan layanan, yang tidak diketahui proses pembuatannya sehingga
meragukan. Produsen dan pedagang secara tidak langsung dipaksa untuk
memiliki sertifikat Halal dan logo untuk memberikan informasi dan
meyakinkan konsumen bahwa produk mereka Halal dan sesuai syariah.
Logo Halal dipercaya sebagai dasar atau standar apakah produk tersebut
sudah sesuai dengan syariat Islam. Pemberian label juga penting sebagai
sumber kesadaran tentang makanan dan minuman yang aman dan higienis
terkait kesehatan. Dengan adanya peran logo Halal tersebut, menjadikan
umat muslim lebih sadar tentang pentingnya mengkonsumsi produk yang
sesuai dengan syariat Islam.
3. Paparan Informasi
Hidup di era modern membuat konsumen dibingungkan dengan
berbagai macam pilihan produk. Peter dan Olshon (2014) menyatakan
paparan pada informasi adalah sebuah proses konsumen terekspos pada
informasi dalam lingkungannya seperti strategi pemasaran, terutama
melalui perilaku mereka sendiri. Berbagai jenis dan ragam makanan dan
produk yang ditawarkan di pasar seringkali membingungkan konsumen
dan kebanyakan dari mereka tidak menyadari apa yang telah mereka
9

konsumsi selama ini. salah satu cara terbaik membuat orang sadar terhadap
apa yang mereka makan dalam konteks keselamatan dan higienis yang
merupakan tujuan utama dari Halal adalah melalui paparan informasi
pendidikan. Berbagai media yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk
menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya Halal di era yang modern
ini melalui surat kabar harian, televisi, radio, internet atau saluran
komunikasi lainnya.
4. Alasan Kesehatan
Menentukan kesadaran konsumen terhadap produk Halal tidak hanya
alasan agama, tetapi juga alasan kesehatan yang berkaitan dengan identitas
agama, dan tingkat akulturasi dalam apapun yang kita konsumsi sehari-
hari (Bonne et al., 2007). Hal ini berkaitan erat dengan pendapat bahwa
mengkonsumsi produk Halal tidak hanya karena kewajiban tetapi untuk
memastikan kehidupan yang sehat bagi setiap orang. Dengan demikian
alasan kesehatan sangat erat kaitannya dengan kesadaran konsumen dalam
memilih produk yang akan dikonsumsi.

Halal

Pandangan islam dalam memilih sesuatu yang Halal dan haram untuk
dikonsumsi merupakan persoalan yang sangat penting. Setiap orang yang akan
menggunakan atau melakukan, mengonsumsi sangat dituntut oleh agama untuk
memastikan terlebih dahulu mengenai keHalalan dan keharamannya (Hidayat dan
Siradj, 2015). Halal merupakan konsep yang paling mendasar bagi agama islam.
Hal tersebut secara jelas dinyatakan di dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
168, yaitu: “Hai manusia! Makanlah dari (makanan) yang Halal dan baik yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikutu langkah-langkah setan.
Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”. Kandungan makna pada ayat
tersebut memberikan perintah kepada seluruh umat manusia untuk mengonsumsi
makanan yang Halal. Apalagi bagi orang-orang yang beriman, tentu lebih utama
dan bagi wajib untuk mengamalkan tuntutan qurani serta mematuhi tuntutan Allah
tersebut.
Kata Halal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna
diizinkan atau tidak dilarang menurut agama Islam. Konsep pada Halal tidak
hanya berlaku pada fisik dari suatu produk, akan tetapi aktivitas, proses serta tata
cara dalam menghadirkan produk ke pasar (Tieman dan Nistelrooy, 2014).
Konsep Halal selalu mengalami perkembangan yang dimulai dari produk Halal
(Halal product), kemudia masuk ke rantai pasok pruduk yang Halal (Halal supply
chain), hingga ke rantai nilai produk yang Halal (Halal value chain) (Tieman dan
Gazali, 2014). Produk Halal tidak hanya untuk dinikmati oleh masyarakat yang
memeluk agama islam, akan tetapi masyarakat non muslim juga dapat
menikmatinya (Ambali dan Bakar, 2014). Negara penghasil produk Halal terbesar
bukan negara muslim melainkan negara seperti Australia, Selandia Baru,
Argentina serta Brazil.
Untuk mendapatkan produk yang Halal, produk yang dimiliki harus
memenuhi semua syarat yang ada. Prabowo dan Rahman (2016) menyatakan di
10

dalam standar Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dimaksud produk Halal
adalah produk yang memenuhi persyaratan Halal sesuai dengan syariat Islam,
yaitu:
1.Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
2.Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan
yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan sebagainya.
3. Semua bahan yang berasal dari hewan Halal yang disembelih menurut tata
cara syariat Islam.
4. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat
pengelolaan, dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi, jika
digunakan untuk babi atau barang yang tidak Halal lainnya terlebih dahulu
harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur sesuai syariat Islam.
5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.
Sertifikasi produk Halal didefinisikan sebagai pengajuan ijin dan
pemeriksaan produk pangan kepada lembaga yang berwenang untuk
mengeluarkan Sertifikat produk Halal, sedangkan labelisasi Halal adalah proses
pengajuan ijin kepada lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan keputusan
pemberian ijin kepada pengusaha untuk melabelisasi Halal pada kemasan produk
pangannya (Pramintasari dan Fatmawati, 2017). Logo Halal dipercaya sebagai
dasar atau standar apakah produk tersebut sudah sesuai dengan syariat Islam
karena logo Halal adalah sebagai tanda bahwa produk tersebut diperbolehkan
untuk konsumsi karena sudah dijamin oleh badan pengawas. Label diberikan oleh
lembaga khusus yang ditunjuk pemerintah suatu negara untuk melakukan
sertifikasi Halal terhadap suatu produk yang saat ini Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai lembaga yang menerbitkan sertifikasi
Halal dan bekerja sama dengan LPPOM MUI sebagai lembaga pemeriksa Halal.
Jamal dan Sharifuddin (2015) menyatakan bahwa memberikan label Halal pada
produk yang dimiliki merupakan hal yang paling tepat untuk memasarkan produk
Halal.

Gambar 3 Label Halal MUI


Sertifikat Halal didapatkan dengan mengajukan ke BPJPH sehingga
produsen mendapatkan izin untuk mencantumkan labeb Halal pada produknya.
Dengan memiliki sertifikat Halal dari BPJPH pada produk yang dimiliki
memberikan jaminan keamanan bagi konsumen. Proses produksi Halal harus
11

dijamin oleh produsen dengan menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH). Undang
Undang No 33 Tahun 2014 mengenain Jaminan Produk Halal mengamanatkan
agar produk yang beredar di Indonesia terjamin keHalalannya oleh karena itu
badan penyelenggara jaminan produk Halal mempunnyai tugas dan fungsi untuk
menjamin keHalalan produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di
Indonesia. Pemberian label Halal di Indonesia saat ini melibatkan empat pihak
yang berperan yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH),
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan pihak
yang mengajukan permohonan. Ketika semua persyaratan terpenuhi maka proses
sertifikasi dapat dilakukan dengan mengiktui tata cara berikut ini:
1. Pelaku usaha mendaftar melalui online dan mengisi formulir yang sudah
tersedia.
2. BPJPH akan melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dokumen dan
menetapkan Lembaga Pemeriksa Halal. LPH yang sudah banyak diketahui
adalah LPPOM-MUI.
3. Pemeriksaan produk dilakukan oleh auditor Halal LPH yang sudah
ditetapkan. Pemeriksaan dan pengujian mengenai keHalalan produk
dilakukan di lokasi usaha dan di laboratorium untuk memastikan bahan
aman dan memenuhi syarat dan hasilnya diserahkan ke BPJPH
4. Penetapan keHalalan produk dilaksanakan melalui sidang fatwa Halal
yang dilaksanakan oleh MUI berdasarkan hasil yang sampaikan oleh
BPJPH
5. BPJPH menerbitkan sertifikat Halal untuk produk yang dinyatakan Halal
oleh sidang fatwa MUI.

Nomor Kontrol Veteriner (NKV)

Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah salah satu komponen penting


dalam pemberian jaminan keamanan pangan terhadap produk pangan dan non
pangan asal hewan. Sertifikasi NKV merupakan usaha pemerintah untuk
memberikan jaminan persyaratan kelayakan dasar dalam sistem jaminan
keamanan pangan dalam aspek higiene-sanitasi pada unit usaha produk pangan
dan non pangan asal hewan (Hadianti et al., 2020). Keberadaan sertifikat NKV
bagi unit usaha produk pangan dan non pangan asal hewan menjadi sangat penting
terutama dalam melakukan eksportasi.
Tuntutan terhadap jaminan mutu dan keamanan pangan selalu berkembang
sesuai dengan persyaratan konsumen. Hal ini membawa dampak terhadap
perubahan pengelolaan bisnis pangan, sejak tanpa pengawasan hingga adanya
pengawasan produk akhir, bahkan pengawasan produk akhir, bahkan pengawasan
proses produksi bagi jaminan mutu secara total (Hadianti et al., 2020). Dalam
penyediaan produk pangan asal hewan yang Halal, Aman, Utuh, dan Sehat
(HAUS) maka sarana dan prasarana kesehatan masyarakat veteriner harus
memenuhi menerapkan hygine dan sanitasi sebagai persyaratan kelayakan dasar
jaminan keamanan dan mutu pangan. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) Kementerian Pertanian
(Kementan) terus meningkatkan standar keamanan pangan pada unit usaha atau
12

perusahaan produsen pangan dan non pangan asal hewan dengan mengeluarkan
Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 11 Tahun 2020 mengenai Sertifikasi
Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Permentan No. 11 Tahun 2020 ini dikeluarkan,
untuk melengkapi pengaturan tentang sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner produk
hewan pada Permentan 381 tahun 2005 yang masih mengacu kepada Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1967 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dalam
perkembangannya telah terjadi perubahan menjadi Undang-undang nomor 18
tahun 2009.
Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah sertifikat sebagai bukti tertulis
yang sah bahwa unit tersebut sudah memenuhi persyaratan hygine sanitasi sebagai
kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal. Semua usaha terkait pangan asal
hewan wajib memiliki NKV diantaranya yaitu Pelaku Usaha Pangan Asal Hewan
(PAH) yang dilakukan oleh Perorangan Warga Negara Indonesia atau badan
hukum yang yang memiliki usaha di bidang Rumah Pemotongan Hewan, Rumah
Pemotongan unggas, Rumah Pemotongan Babi, Usaha budidaya unggas petelur,
Pelaku usaha yang mengelola unit pendingin susu, pelaku usaha yang mengemas
dan melabel telur (Permentan, 2020)

Gambar 4 Label Nomor Kontrol Veteriner


Pemberian sertifikasi NKV bertujuan untuk mewujudkan jaminan produk
ternak yang memenuhi persyaratan aman, sehat, utuh, dan Halal bagi yang
diperyaratkan. Tujuan lainnya yaitu memberikan perlindungan kesehatan dan
ketenangan hati konsumen yang membeli produk hewan. Dari sisi pelaku usaha,
adanya sertifikat NKV akan meningkatkan daya saing produk ternak domestik,
serta memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha produk ternak (Hadianti et
al, 2020).

Kerangka Pemikiran

Indonesia merupakan negara yang mengalami peningkatan produksi daging


sapi setiap tahunnya. Peningkatan tersebut menyebabkan munculnya para
pedagang daging sapi nakal yang melakukan kecurangan. Kecurangan yang sering
ditemukan yaitu adanya daging sapi gelonggongan dan daging sapi yang dicampur
oleh daging babi. Adanya kejadian ini memberikan rasa khawatir terhadap
13

konsumen mengenai daging yang dibelinya terutama menjelang hari besar.


Pemerintah berusaha untuk mengurangi rasa khawatir yang dimiliki masyarakat
dengan menerbitkan beberapa aturan. Tahun 2019 pemerintah Indonesia
menerapkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 mengenai Jaminan Produk
Halal dan tahun 2020 Kementerian Pertanian RI (Kementan RI) melalui Ditjen
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) mengeluarkan Peraturan Menteri
Pertanian (Permentan) No. 11 Tahun 2020 mengenai Sertifikasi Nomor Kontrol
Veteriner (NKV) untuk unit usaha produk hewan. Peraturan tersebut mewajibkan
para pengusaha dibidang produk asal hewan untuk memiliki sertifikat Halal dan
NKV sebagai jaminan bahwa produk yang dimilikinya memenuhi persyaratan
Halal, Aman, Utuh, dan Sehat (HAUS). Pemberlakuan peraturan ini terutama
sertifikasi Halal akan memberikan beban tambahan berupa biaya terhadap pelaku
usaha sehingga akan berpengaruh terhadap harga produk yang akan dihasilkan.
Hal ini membutuhkan penilitian lebih lanjut mengenai tanggapan konsumen,
sehingga akan ada dorongan terhadap pelaku usaha untuk menerapkan peraturan
tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi kesadaran (awareness) serta kesediaan membayar masyarakat
terhadap produk daging sapi yang bersertifikat Halal dan NKV.
14

Gambar 5 Kerangka Pemikiran Konseptual

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kota Depok dan mulai dilaksanakan pada
bulan Januari sampai Februari 2022. Lokasi ini dipilih karena kota Depok
merupakan salah satu kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam, akan
tetapi masih banyak penjual daging dipasar tradisional dan toko retail yang
menjual produknya tanpa menggunakan label Halal dan NKV.
15

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer


merupakan data yang diperoleh melalui pengisian kuisioner yang diberikan
kepada responden secara daring (Online). Data sekunder merupakan hasil studi
literatur beserta data-data statistik yang relevan dan didapatkan dari jurnal, skripsi,
buku, internet dan instansi terkait.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan di dalam penelitian ini diambil melalui pengisian


kuisioner yang disebarkan melalui form online kepada masyarakat muslim yang
bertempat tinggal di kota depok sebagai responden. Metode penarikan sampel
yang digunakan adalah dengan metode non probability sampling yaitu purposive
sampling yang merupakan pemilihan sampel secara tidak acak dengan
pertimbangan tertentu dengan tujuan agar dapat menjawab permasalahan
penelitian. Penentuan jumlah responden ini berdasarkan Gay et al. (2006) yang
menyatakan untuk melakukan studi kolerasi setidaknya dibutuhkan sebanyak 30
responden agar dapat menetapkan suatu hubungan. Roscoe (1975) yang dikutip
Sekaran dan Roger (2016) memberikan acuan dalam pengambilan jumlah sampel,
yaitu:
1. Ukuran sampel lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah tepat untuk
kebanyakan penelitian
2. Dalam penelitian mutivariate (termasuk analisis regresi berganda), ukuran
sampel sebaiknya 10 kali atau lebih dari jumlah variabel dalam penelitian.
Pada penelitian ini diambil sebanyak 200 sampel responden, karena jumlah
sampel tersebut lebih dari 30 dan kurang dari 500. Seperti yang dilakukan oleh
ambali dan akbar tahun 2013 dan 2014 mengumpulkan sampel sebanyak 210
responden.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data penelitian ini di analisis dengan menggunakan metode deskriptif,


metode Partial least square (PLS) dan metode Contingen Valuation Method
(CVM). Alat bantu analisis yang digunakan berupa software microsoft excel dan
smart PLS.

Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan analisis yang menggambarkan suatu data
yang diteliti melalui data sampel atau populasi (Sugiyono 2011). Analisis
deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan karakter seperti usia,
jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendidikan, pendapatan, frekuensi pembelian
daging, jumlah pembelian daging sapi perbulan, pengetahuan terhadap sertifikat
Halal dan NKV, kepedulian konsumen terhadap sertifikat Halal dan NKV yang
diklasifikasikan menjadi kategori besedia membayar lebih dan tidak bersedia
membayar lebih terhadap daging sapi bersertifikat Halal dan NKV.
16

Metode Partial Least Square (PLS)


Structuran Equation Model (SEM) adalah teknik analisis yang banyak
digunakan pada penelitian bidang sosial. SEM menawarkan analisis jalur (path
Analysis) yang mampu menggambarkan model dengan konsep variabel latennya
(variabel yang tidak dapat diukur langsung) yang diukur melalui variabel
indikator (Variabel manifest). SEM merupakan teknik analisis statistik untuk
mengestimasi serta mengevaluasi model yang terdiri dari hubungan linier antara
variabel yang biasanya sebagian besar merupakan variabel yang tidak dapat
diamati secara langsung (Adedeji et al., 2016). SEM adalah alat analisis yang
mengkombinasikan berbagai alat statistik, seperti analisis faktor, regresi, dan
MANOVA (Nachtigall et al., 2003).
Analisis partial least square (PLS) adalah teknik statistika multivariat yang
melakukan pembandingan antara variabel dependen berganda dan variabel
independen berganda (Abdillah dan Hartono 2015). PLS adalah salah satu metode
statistika SEM berbasis varian yang didesain untuk menyelesaikan regresi
berganda ketika terjadi permasalahan spesifik pada data, seperti ukuran sampel
penelitian kecil, adanya data yang hilang (missing value) dan multikolinieritas
(Anwar 2019). Abdillah dan Hartono (2015) menejelaskan beberapa keunggulan
dari PLS yaitu:
1. Mampu memodelkan banyak variabel dependen dan variabel independen
(model kompleks).
2. Mampu mengelola masalah multikolinearitas antar variabel independen.
3. Hasil tetap kokoh (robust) walaupun terdapat data yang tidak normal dan
hilang (missing value).
4. Menghasilkan variabel laten independen secara langsung berbasis cross-
product yang melibatkan variabel laten dependen sebagai kekuatan
prediksi.
5. Dapat digunakan pada konstruk reflektif dan formatif.
6. Dapat digunakan pada sampel kecil.
7. Tidak mensyaratkan data berdistribusi normal.
8. Dapat digunakan pada data dengan tipe skala berbeda, yaitu nominal,
ordinal dan kontinus.
Ilustrasi permodelan persamaan sruktural dan notasi PLS digambarkan pada
Gambar (Jaya dan Mindra 2008).
17

Gambar 6 Ilustrasi permodelan dan notasi PLS


Keterangan:

ξ = Ksi, variabel latent eksogen


η = Eta, variabel laten endogen
λx = Lamnda (kecil), loading faktor variabel latent eksogen
λy = Lamnda (kecil), loading faktor variabel latent endogen
Λx = Lamnda (besar), matriks loading faktor variabel latent eksogen
Λy = Lamnda (besar), matriks loading faktor variabel laten latent endogen
β = Beta (kecil), koefisien pengaruh variabel endogen terhadap variabel
endogen
γ = Gamma (kecil), koefisien pengaruh variabel eksogen terhadap variabel
endogen
ς = Zeta (kecil), galat model
δ = Delta (kecil), galat pengukuran pada variabel manifest untuk variabel laten
eksogen
ε = Epsilon (kecil), galat pengukuran pada variabel manifest untuk variabel
latent
endogen
Langkah-langkah pemodelan persamaan struktural berbasis PLS dengan software
adalah sebagai berikut (Jaya dan Mindra 2008):
1. Merancang Model Struktural (inner model)
2. Merancang Model Pengukuran (outer model)
3. Mengkonstruksi diagram Jalur
4. Konversi diagram Jalur ke dalam Sistem Persamaan
18

5. Estimasi
6. Goodness of Fit
7. Pengujian Hipotesis
Terdapat 4 variabel laten eksogen dan 1 variabel laten endogen yang akan
digunakan dalam penelitian ini yang merujuk pada penelitian Ambali dan Bakar
(2014) dan Pramintasari dan Fatmawati (2017) dengan sedikit perubahan.
Variabel laten eksogen yang digunakan yaitu keyakinan religius, peran label Halal
dan NKV, pengetahunan tentang aspek keHalalan dan higienitas produk, dan
pertimbangan kesehatan. Keempat variabel ini juga merupakan sumber kesadaran
(awareness) terhadap produk Halal dan higienis yang merupakan variabel laten
endogen. Setiap variabel laten direfleksikan oleh variabel indikator seperti
dijelaskan pada tabel 1.
Tabel 1 Variabel Laten dan Variabel Indikator

Variabel Laten Kode Variabel Indikator


Kesadaran terhadap produk HH1 Memperhatikan terhadap kehalalan dan
Halal dan higienis higienisnya produk
HH2 Memperhatikan pencantuman label
Halal dan NKV
HH3 Mengkonsumsi produk Halal dan
higienis
HH4 Menghindari produk yang tidak
jelas/meragukan kehalalan dan
higienisnya
Keyakinan Religius KR1 Hanya mengkonsumsi produk daging
Halal dan higienis
KR2 Harus melarang diri mengkonsumsi
makanan yang tidak Halal dan tidak
higienis
KR3 Memiliki peresepsi bahwa
mengkonsumsi makanan tidak Halal
melanggar agama
KR4 Mengkonsumsi makanan Halal dan
higienis merupakan bentuk ketaatan
terhadap agama.
Peran Label/Logo Halal dan PL1 Memastikan Sertifikasi Halal dan NKV
NKV sebelum membeli produk
PL2 Hanya mengkonsumsi produk yang
memiliki logo Halal dan NKV
PL3 Sertifikasi Halal dan NKV lebih
penting dari informasi produk
PL4 Mengetahui bentuk label Halal dan
NKV
Paparan Informasi PI1 Tingkat pemahaman terdahap produk
Halal dan higienis dipengaruhi oleh
19

paparan informasi melalui iklan


PI2 Mendapat informasi tentang halal dan
higienisnya produk dari penjual
PI3 Mendapat informasi tentang produk
Halal dan higienis di lingkungan
keluarga/sekolah/kampus/kantor
PI4 Mendapat informasi tentang produk
Halal dan higienis dengan mudah
melalui media massa seperti tv, radio,
majalah dan internet.
Alasan Kesehatan AK1 Mengkonsumsi daging sapi
tersertifikasi Halal dan higienis untuk
alasan kesehatan
AK2 Produk daging yang Halal dan higienis
merupakan jaminan keamanan bagi
kesehatan
AK3 Memiliki persepsi bahwa daging sapi
tersertifikasi Halal dan NKV lebih
bersih
AK4 Memiliki persepsi bahwa daging sapi
tersertifikasi Halal dan NKV lebih
aman

Contingen Valuation Method (CVM)

Contingent Valuation Method (CVM) merupakan metode yang digunakan


untuk mengestimasi nilai ekonomi dari suatu produk tidak terjual di pasar dan
merupakan salah satu metode untuk penilaian ekonomi. Metode CVM digunakan
setelah analisis kesadaran dilakukan. Pendekatan CVM dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu eksperimental dengan menggunakan simulasi atau permainan, dan
survey. Pada umumnya pendekatan yang banyak digunakan adalah menggunakan
teknik survey dengan menanyakan kepada para konsumen mengenai jumlah
maksimum uang yang bersedia dibayarkan untuk memperoleh barang atau jasa
yang belum pasti beredar di pasar (Adjaye, 2009). Berdasarkan Fauzi (2004) dan
Hanley dan Spash (2013) untuk melakukan pendekatan CVM diperlukan beberapa
tahapan diantaranya:
1. Membuat Hipotesis Pasar
Pendekatan CVM diawali dengan proses membuat hipotesis
mengenai suatu permasalahan yang akan dievaluasi. Peneliti memberikan
gambaran mengenai barang atau jasa yang akan diluncurkan ke pasar
mencakup pengaruh adanya produk tersebut bagi konsumen.
2. Mendapatkan Nilai Lelang
Tahapan selanjutnya adalah mendapatkan nilai lelang atau
menyiapkan penawaran dalam bentuk mata uang yang berlaku. Metode ini
dapat dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap calon konsumen
20

secara langsung atau tidak langsung. Terdapat beberapa teknik dalam


menentukan nilai lelang yaitu:
a. Bidding game, pada teknik ini responden diberikan sebuah penawaran
yang berupa harga dan ditanyakan beberapa kali. Responen diberi
petanyaan secara berulang-ulang apakah bersedia untuk membayar
dengan jumlah yang ditawarkan dari nilai terendah sampai tertinggi.
Pertanyaan akan berhenti pada saat sudah mencapai nilai tertinggi atau
responden sudah tidak bersedia untuk membayar pada nilai tersebut.
b. Pertanyaan terbuka, pada teknik ini responden diberikan kebebasan
untuk menuliskan secara langsung kesediaannya untuk membayar
produk tersebut.
c. Payment card, pada teknik ini responden diberikan beberapa kartu
yang sudah terdapat nilai penawaran yang menunjukan besaran yang
akan dibayarkan oleh responden. Kartu yang dipilih oleh responden
mewakilkan jumlah maksimal yang bersedia untuk dibayarkan.
d. Model referendum, pada teknik ini responden diberikan penawaran
suatu nilai kemudia responden dipersilahkan untuk memilih setuju atau
tidak setuju dengan nilai tersebut.
3. Menghitung rataan WTP
Tahap selanjutnya adalah menghitung nilai WTP yang didapatkan
dari penawaran individu. Perhitungan dilakukan berdasarkan nilai mean
(rataan) dan nilai median (tengah).
4. Memperikirakan kurva lelang
Kurva lelang dapat diperkikrakan dengan meregresikan sebagian
variabel yang tidak bebas (dependent variable) dengan variabel bebas.
5. Mengagregatkan Data
Tahapan terakhir pada metode CVM yaitu mengagregatkan rataan
lelang yang didapatkan dari proses sebelumnya. Tahapan ini dilakukan
dengan mengkonversi data rataan sampel ke rataan populasi secara
keseluruhan dengan cara mengalikan rataan sampel dengan jumlah
populasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah W, Hartono J. 2015. Partial Least Square (PLS): Alternatif Structural


Equation Modeling (SEM) dalam Penelitian Bisnis. Yogyakarta: Andi
Offset
Adedeji AN, Sidique SF, Rahman A.A, Law. 2016. The role of local content
policy in local value creation in Nigeria’s oil industry: A structural
equation modeling (SEM) approach. Resources Policy. 49: 61–73
Adjaye JA. 2009. Environmental Economics for Non-economists: Technique and
Policies for Sustainable Development. Singapore: Mainland press
Ambali AR, Bakar AN. 2013. Ḥalāl food and products in Malaysia: People’s
awareness and policy implications. Intellectual Discourse. 21 (1): 7-32
21

Ambali AR, Bakar AN. 2014. People’s awareness on halal foods and products:
potential issues for policy-makers. Procedia - Soc Behav Sci. 121:3–25
Ardyanti N, Nashril T, Helmi M. 2013. A Study on Halal Food Awareness
Among Muslim Customers in Klang Valle. 4th International Conference
on Business and Economic Research. 2013 mar 4-5. Bandung, Indonesia,
Proceeding
Aziz YA, Chok NV. 2013. The role of halal awareness, halal certification, and
marketing components in determining halal purchase intention among
non-muslims in malaysia: a structural equation modelling approach.
Journal of International Food & Agribusiness Marketing. 25(1): 1-23
Bashir AM. 2019. Effect of halal awareness, halal logo and attitude on foreign
consumers purchase intention. British Food Journal. 121(9): 1998-2005
Bonne K, Vermeir I, Bergeaud-Blackler F, Verbeke W. 2007. Determinants of
halal meat consumption in France. British Food Journal. 100(5), 367-86
Bonne K, Verbeke W. 2008. Muslim consumer trust in halal meat status and
control in Belgium. Meat Sci. 79(1):113–123
Breidert C, Hahsler M, Reutterer T. 2006. A review of methods for measuring
willingness-to-pay. Innovative Marketing. 2(4): 8-32
Erwanto Y, Abidin MZ, Muslim EY, Sugiyono, Rohman A. 2014. Identification
of Pork Contamination in Meatballs of Indonesia Local Market Using
Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism
(PCR-RFLP) Analysis. Asian-Australas J Anim Sci. 27(10): 1487-1492
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber daya alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gay LR, Miils GE, Airasian P. 2006. Educational Research Analysis and
Apllications 8th Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Halim, MA, Wati K, Mahyeddin MSM, Asming Y, Tuan Syed Mohd Najib TSM,
Asmidah A, Alisa AA, and Ariff MI. Consumer Protection of Halal
Products in Malaysia: A Literature Highlight. Procedia-Soc and Behav
Sci. 21: 68–78.
Hidayat AS, Siradj M. 2015. Sertifikasi halal dan sertifikasi non halal pada
produk pangan industri. Ahkam. 15(2): 199-210
Hussain I, Rahman SU, Zaheer A, Saleem S. 2016. Integrating factors influencing
consumers halal products purchase: application of theory of reasoned
action. Journal of International Food & Agribusiness Marketing. 28(1):
35-58
Jamal A, Sharifuddin J. 2015. Perceived value and perceived usefulness of halal
labeling: the role of religion and culture. J Business Research. 68(5):933–
941.
22

Jaya, I Gede Nyoman Mindra IMS. 2008. Pemodelan persamaan struktural


dengan partial least square. Semnas Mat dan Pendidik Mat.:118–132.
Khalek AA. 2014. Young consumers attitude towards halal food outlets and
JAKIM’s halal certification in Malaysia. Procedia - Soc and Behav Sci.
121: 26 – 34
Ladiyance S, Yuliana Y. 2014. Variabel-variabel yang memengaruhi kesediaan
membayar (willingness to pay) masyarakat bidaracina jatinegara jakarta
timur. Jurnal Ilmiah WIDYA. 2(2): 41-47
Laluddin H, Haneef SSS, Saad NMD, Khalid H. 2019. The scope, opportunities
and challenges of halal industry: some reflections. International Journal
of Economics, Management and Accounting. 27(2): 397-421
Nachtigall C, Kroehne U, Funke F, Steyer R. 2003. (Why) Should we use sem?
Pros and cons of structural equation modeling. MPR-Online. 8(2):1– 22.
[Permentan] Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner Unit Usaha Produk Hewan. 2020.
Peter, JP, Olson JC. 2014. Perilaku Konsumen dan Strategi Pemasaran. Jakarta:
Salemba Empat.
Prabowo S, Rahman AA. 2016. Sertifikasi halal sektor industri pengolahan hasil
pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 34(1): 57-70
Pramintasari TR, Fatmawati I. 2017. Pengaruh keyakinan religius, peran
sertifikasi halal, paparan informasi, dan alasan kesehatan terhadap
kesadaran masyarakat pada produk makanan halal. Jurnal Manajemen
Bisnis. 8(1): 1-32
Rahman AA, Ahmad WIW, Ismail Z. 2011. Pengetahuan dan Penghayatan
Konsep Makanan Halal Pengusaha Makanan Tradisional Negeri
Kelantan dan Terengganu. Jurnal Pembangunan Sosial. 14: 109-123
Salahudin A, Ramli MA. 2018. Penggunaan Teknologi Autentikasi Halal Dalam
Verifikasi Produk Makanan Berasaskan Daging. AL-BASIRAH. 8(1): 1-
10
Schiffman LG, Kanuk LL. 2015. Consumer Behaviour. New Jearsey: Pearson
Prentice-Hall.
Sekaran U, Roger B. 2016. Research Methods for Business: A Skill Building
Approach, 7th Edition. Jakarta: Salemba Empat.
Soeparno. 2011. Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sugiyono. 2011. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Tieman M, van Nistelrooy M. 2014. Perception of malaysian food manufacturers
toward halal logistics. J Int Food Agribus Mark. 26(3): 218–233.
23

Tieman M, Ghazali MC. 2014. Halal control activities and assurance activities in
halal food logistics. Procedia - Soc Behav Sci. 121: 44–57.
Trevethan R. 2017. Deconstructing and assessing knowledge and awareness in
public health research. Front Public Heal. 5: 16–19.
Umi Rofiatin dan Hanif Fikri Bariska. 2018. Pola willingnes to pay (wtp) dan
faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap pilihan sayur organik dan
anorganik masyarakat kota malang. Jurnal OPTIMA. 2(1): 18-26
Verbeke W, Rutsaert P, Bonne K, Vermeir I. 2013. Credence quality coordination
and consumers willingness-to-pay for certified halal labelled meat. Meat
Sci. 95(4):790–797.

Anda mungkin juga menyukai