ABDUL AZIS
SEKOLAH BISNIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
DAFTAR GAMBAR ii
DAFTAR TABEL ii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 5
Manfaat penelitian 5
Ruang Lingkup Penelitian 5
TINJAUAN PUSTAKA 6
Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) 6
Kesadaran (Awareness) Halal dan Higienitas 6
Halal 9
Nomor Kontrol Veteriner (NKV) 11
Kerangka Pemikiran 12
METODE PENELITIAN 14
Lokasi dan Waktu Penelitian 14
Jenis dan Sumber Data 14
Teknik Pengumpulan Data 14
Teknik Pengolahan dan Analisis Data 14
DAFTAR PUSTAKA 19
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produk pangan yang berasal dari hewan merupakan salah satu sumber
protein yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemenuhan sumber protein
hewani yang beredar di masyarakat semakin meningkat seiring dengan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Salah satu produk pangan yang bersumber
dari hewan dan sangat diminati adalah daging sapi. Daging sapi merupakan
sumber pangan hewani yang memiliki nilai gizi tinggi karena mengandung
protein, lemak, mineral, dan zat-zat lain yang dibutuhkan oleh tubuh. Kandungan
yang dimiliki 100 gram daging sapi adalah 22,3 gram protein, 1,8 gram lemak, 1,2
gram abu dan 116 kkal kalori (Soeparno, 2011).
Produksi daging sapi di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Peningkatan produksi daging sapi dan populasi sapi masih belum memenuhi
pasokan daging di Indonesia sampai saat ini. Pemenuhan kebutuhan dan
permintaan terhadap daging sapi terutama di kota besar masih mengandalkan
produk impor. Kegiatan impor yang dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk sapi
bakalan maupun daging. Tahun 2020 jumlah daging yang diimpor mengalami
penurunan sebesar 15%, hal ini disebabkan karena adanya pandemi Covid-19.
Jumlah produksi daging sapi serta kegiatan impor dapat dilihat pada Gambar 1
dan peningkatan populasi sapi di Indonesia disajikan pada Gambar 2.
Pr o d u k s i d a n I m p o r D a g in g Sa p i
Produksi Daging (ton) Impor Daging (ton)
600,000.0
518,484.03 504,802.29 515,627.74
486,319.65 497,971.70
500,000.0
400,000.0
300,000.0 262,251.3
207,427.3 223,423.7
200,000.0 146,671.9 160,197.5
100,000.0
0.0
2016 2017 2018 2019 2020
15,500,000
15,000,000
2016 2017 2018 2019 2020
Rumusan Masalah
Produk peternakan merupakan bahan pangan yang bersifat mudah rusak dan
memiliki potensi mudah tercemar secara biologi, kimiawi dan fisik jika tidak
ditangani dengan baik. Salah satu produk peternakan yang mudah tercemar serta
sering terjadi kecurangan adalah daging sapi. Tingginya permintaan daging sapi di
masyarakat memunculkan isu mengenai keHalalan dari produk tersebut. Kasus
yang menyebabkan isu keHalalan yaitu adanya kasus pencampuran daging sapi
dengan daging babi. Kasus ini muncul seiring dengan tingginya permintaan
menjelang perayaan hari raya. Temuan kasus daging sapi yang dicampur dengan
4
daging babi dalam jumlah yang besar terjadi pada bulan Mei 2020. Selain isu
mengenai keHalalan, higienitas serta sanitasi juga menjadi masalah yang sering
muncul pada produk ini. Higienitas dan sanitasi perlu diperhatikan guna
menghindari bahaya cemaran secara biologi maupun kimiawi seperti
mikroorganisme atau campuran bahan kimia lain. Mikroorganisme dapat
mencemari daging melalui air, debu, udara, tanah, alat-alat pengolahan serta
ekskreta manusia atau hewan. Bahaya cemaran kimia dapat ditimbulkan oleh
adanya cemaran residu antibiotik, hormon, pestisida, serta campuran bahan kimia
lainnya. Cemaran secara kimiawi yang sering terjadi yaitu pemberian formalin
atau boraks dengan tujuan untuk mengawetkan daging.
Daging sapi menjadi salah satu komoditas pangan hasil peternakan yang
setiap tahunnnya mengalami peningkatan produksi sehingga konsumsi pun
meningkat. Berdasarkam data dari Dirjen PKH (2020), konsumsi daging sapi dari
2015 sampai 2019 tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun
2016, angka konsusmi daging sapi masyarakat di Indonesia sebesar 0,417
/kg/kapita/tahun dan meningkat menjadi 0,469 kg/kapita/tahun di tahun 2019.
Peningkatan konsumsi daging sapi diikuti juga dengan meningkatnya produksi
daging sehingga kebutuhan di pasar selalu terpenuhi.
Harga daging sapi di pasaran sangat beragam dan bergantung pada jenis dan
kualitas daging. Kenaikan harga yang terjadi setiap tahunnya mempengaruhi
angka konsumsi di Indonesia. Selain itu, kenaikan harga juga membuka peluang
terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh beberapa penjual daging demi meraih
keuntungan yang lebih banyak. Banyaknya isu pencampuran daging sapi terbukti
sangat memengaruhi pandangan masyarakat dalam mengkonsumsi daging
(Verbeke et al., 2013). Hal ini dapat mempengaruhi pendapatan penjual daging
serta produk olahannya dikarenakan oleh kekhawatiran konsumen. Sertifikasi
Halal ini dimaksudkan untuk menghindari pencampuran yang sering terjadi
terutama pada komoditas daging sapi (Ambali dan Bakar 2014).
Peningkatan konsumsi daging serta munculnya isu-isu yang beredar tentang
daging sapi menjadi salah satu penyebab pemerintah untuk melakukan sertifikasi
terhadap rumah potong dan produk daging sapi beserta olahannya. Jumlah rumah
potong yang memiliki sertifikat masih terbilang minim dibandingnkan dengan
tingginya tingkat produksi daging di Indonesia. Daging sapi yang sudah memiliki
sertifikat Halal juga menjadi salah satu produk yang agak sulit ditemukan di pasar
meskipun di swalayan atau pun toko daging yang ada.
Keberadaan label Halal dapat meningkatkan nilai jual produk melalui
peningkatan kesediaan membayar (willingness to pay) terhadap produk tersebut
(Bonne dan Verbeke, 2008). Hal ini karena label Halal mengkompensasi
kurangnya pengetahuan konsumen terkait kriteria Halal sehingga mempermudah
proses pengambilan keputusan (Aziz dan Chok, 2013). Bonne dan Verbeke (2008)
menyatakan bahwa adanya label Halal pada suatu produk telah meningkatkan
kesediaan membayar (willingness to pay) dari konsumen muslim di Belgia. Para
konsumen yang diteliti ternyata bersedia membayar dengan harga ptinggi sebesar
13 persen di atas rata-rata. Produk yang benar-benar memiliki potensi akan
menarik minat konsumen untuk dibeli, meskipun memiliki harga yang sedikit
lebih tinggi. Produk daging sapi yang memiliki sertifikat Halal dan NKV belum
5
Tujuan Penelitian
Manfaat penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
dengan logo Halal membawa ketenangan hati karena merupakan tanda utama
untuk membedakan antara produk Halal dan non-Halal. Oleh karena itu, Islam
selain memilih makanan yang sehat dan bergizi juga menekankan pada aspek
kebersihan dan higienitasnya (Halim et al., 2014).
Kesadaran terhadap produk Halal dan higienis dapat di pengruhi oleh
beberapa faktor. Ambari dan Bakar (2014) menyatakan bahwa terdapat beberapa
sumber yang merupakan faktor-faktor berpengaruh terhadap kesadaran akan
produk Halal, yaitu:
1. Keyakinan religius (Religius Belief)
Agama adalah sistem keyakinan dan praktik- praktik sekelompok
orang yang menafsirkan dan merespon apa yang mereka rasakan adalah
supranatural dan suci (Johnstone dalam Ambal dan Bakar 2014).
Schiffman dan Kanuk (2015) menegaskan bahwa anggota kelompok
agama yang berbeda memutuskan suatu pembelian dipengaruhi oleh
identitas agama mereka, orientasi, pengetahuan dan keyakinan.
Pengetahuan atau keyakinan agama merupakan pedoman terbaik dalam
menentukan makanan yang akan dikonsumsi karena beberapa agama
memberlakukan beberapa pantangan makanan misalnya larangan
mengkonsumsi daging babi dan daging yang tidak disembelih secara
syariah bagi umat muslim. Keberadaan rambu-rambu inilah yang
kemudian memengaruhi persepsi, cara pandang dan kesadaran masyarakat
terhadap hal-hal tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa agama atau
kepercayaan adalah sumber dari kesadaran seseorang dalam
mengkonsumsi suatu produk.
2. Peran sertifikasi (Logo/Label)
Indonesia merupakan bangsa berpenduduk mayoritas muslim
sehingga konsep Halal merupakan kunci mutlak untuk konsumsi.
Konsumen Muslim saat ini dihadapkan dengan berbagai pilihan produk
dan layanan, yang tidak diketahui proses pembuatannya sehingga
meragukan. Produsen dan pedagang secara tidak langsung dipaksa untuk
memiliki sertifikat Halal dan logo untuk memberikan informasi dan
meyakinkan konsumen bahwa produk mereka Halal dan sesuai syariah.
Logo Halal dipercaya sebagai dasar atau standar apakah produk tersebut
sudah sesuai dengan syariat Islam. Pemberian label juga penting sebagai
sumber kesadaran tentang makanan dan minuman yang aman dan higienis
terkait kesehatan. Dengan adanya peran logo Halal tersebut, menjadikan
umat muslim lebih sadar tentang pentingnya mengkonsumsi produk yang
sesuai dengan syariat Islam.
3. Paparan Informasi
Hidup di era modern membuat konsumen dibingungkan dengan
berbagai macam pilihan produk. Peter dan Olshon (2014) menyatakan
paparan pada informasi adalah sebuah proses konsumen terekspos pada
informasi dalam lingkungannya seperti strategi pemasaran, terutama
melalui perilaku mereka sendiri. Berbagai jenis dan ragam makanan dan
produk yang ditawarkan di pasar seringkali membingungkan konsumen
dan kebanyakan dari mereka tidak menyadari apa yang telah mereka
9
konsumsi selama ini. salah satu cara terbaik membuat orang sadar terhadap
apa yang mereka makan dalam konteks keselamatan dan higienis yang
merupakan tujuan utama dari Halal adalah melalui paparan informasi
pendidikan. Berbagai media yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk
menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya Halal di era yang modern
ini melalui surat kabar harian, televisi, radio, internet atau saluran
komunikasi lainnya.
4. Alasan Kesehatan
Menentukan kesadaran konsumen terhadap produk Halal tidak hanya
alasan agama, tetapi juga alasan kesehatan yang berkaitan dengan identitas
agama, dan tingkat akulturasi dalam apapun yang kita konsumsi sehari-
hari (Bonne et al., 2007). Hal ini berkaitan erat dengan pendapat bahwa
mengkonsumsi produk Halal tidak hanya karena kewajiban tetapi untuk
memastikan kehidupan yang sehat bagi setiap orang. Dengan demikian
alasan kesehatan sangat erat kaitannya dengan kesadaran konsumen dalam
memilih produk yang akan dikonsumsi.
Halal
Pandangan islam dalam memilih sesuatu yang Halal dan haram untuk
dikonsumsi merupakan persoalan yang sangat penting. Setiap orang yang akan
menggunakan atau melakukan, mengonsumsi sangat dituntut oleh agama untuk
memastikan terlebih dahulu mengenai keHalalan dan keharamannya (Hidayat dan
Siradj, 2015). Halal merupakan konsep yang paling mendasar bagi agama islam.
Hal tersebut secara jelas dinyatakan di dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat
168, yaitu: “Hai manusia! Makanlah dari (makanan) yang Halal dan baik yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikutu langkah-langkah setan.
Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”. Kandungan makna pada ayat
tersebut memberikan perintah kepada seluruh umat manusia untuk mengonsumsi
makanan yang Halal. Apalagi bagi orang-orang yang beriman, tentu lebih utama
dan bagi wajib untuk mengamalkan tuntutan qurani serta mematuhi tuntutan Allah
tersebut.
Kata Halal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna
diizinkan atau tidak dilarang menurut agama Islam. Konsep pada Halal tidak
hanya berlaku pada fisik dari suatu produk, akan tetapi aktivitas, proses serta tata
cara dalam menghadirkan produk ke pasar (Tieman dan Nistelrooy, 2014).
Konsep Halal selalu mengalami perkembangan yang dimulai dari produk Halal
(Halal product), kemudia masuk ke rantai pasok pruduk yang Halal (Halal supply
chain), hingga ke rantai nilai produk yang Halal (Halal value chain) (Tieman dan
Gazali, 2014). Produk Halal tidak hanya untuk dinikmati oleh masyarakat yang
memeluk agama islam, akan tetapi masyarakat non muslim juga dapat
menikmatinya (Ambali dan Bakar, 2014). Negara penghasil produk Halal terbesar
bukan negara muslim melainkan negara seperti Australia, Selandia Baru,
Argentina serta Brazil.
Untuk mendapatkan produk yang Halal, produk yang dimiliki harus
memenuhi semua syarat yang ada. Prabowo dan Rahman (2016) menyatakan di
10
dalam standar Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dimaksud produk Halal
adalah produk yang memenuhi persyaratan Halal sesuai dengan syariat Islam,
yaitu:
1.Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi.
2.Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan
yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran-kotoran dan sebagainya.
3. Semua bahan yang berasal dari hewan Halal yang disembelih menurut tata
cara syariat Islam.
4. Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, pengolahan, tempat
pengelolaan, dan transportasinya tidak boleh digunakan untuk babi, jika
digunakan untuk babi atau barang yang tidak Halal lainnya terlebih dahulu
harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur sesuai syariat Islam.
5. Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.
Sertifikasi produk Halal didefinisikan sebagai pengajuan ijin dan
pemeriksaan produk pangan kepada lembaga yang berwenang untuk
mengeluarkan Sertifikat produk Halal, sedangkan labelisasi Halal adalah proses
pengajuan ijin kepada lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan keputusan
pemberian ijin kepada pengusaha untuk melabelisasi Halal pada kemasan produk
pangannya (Pramintasari dan Fatmawati, 2017). Logo Halal dipercaya sebagai
dasar atau standar apakah produk tersebut sudah sesuai dengan syariat Islam
karena logo Halal adalah sebagai tanda bahwa produk tersebut diperbolehkan
untuk konsumsi karena sudah dijamin oleh badan pengawas. Label diberikan oleh
lembaga khusus yang ditunjuk pemerintah suatu negara untuk melakukan
sertifikasi Halal terhadap suatu produk yang saat ini Badan Penyelenggara
Jaminan Produk Halal (BPJPH) sebagai lembaga yang menerbitkan sertifikasi
Halal dan bekerja sama dengan LPPOM MUI sebagai lembaga pemeriksa Halal.
Jamal dan Sharifuddin (2015) menyatakan bahwa memberikan label Halal pada
produk yang dimiliki merupakan hal yang paling tepat untuk memasarkan produk
Halal.
dijamin oleh produsen dengan menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH). Undang
Undang No 33 Tahun 2014 mengenain Jaminan Produk Halal mengamanatkan
agar produk yang beredar di Indonesia terjamin keHalalannya oleh karena itu
badan penyelenggara jaminan produk Halal mempunnyai tugas dan fungsi untuk
menjamin keHalalan produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di
Indonesia. Pemberian label Halal di Indonesia saat ini melibatkan empat pihak
yang berperan yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH),
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan pihak
yang mengajukan permohonan. Ketika semua persyaratan terpenuhi maka proses
sertifikasi dapat dilakukan dengan mengiktui tata cara berikut ini:
1. Pelaku usaha mendaftar melalui online dan mengisi formulir yang sudah
tersedia.
2. BPJPH akan melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dokumen dan
menetapkan Lembaga Pemeriksa Halal. LPH yang sudah banyak diketahui
adalah LPPOM-MUI.
3. Pemeriksaan produk dilakukan oleh auditor Halal LPH yang sudah
ditetapkan. Pemeriksaan dan pengujian mengenai keHalalan produk
dilakukan di lokasi usaha dan di laboratorium untuk memastikan bahan
aman dan memenuhi syarat dan hasilnya diserahkan ke BPJPH
4. Penetapan keHalalan produk dilaksanakan melalui sidang fatwa Halal
yang dilaksanakan oleh MUI berdasarkan hasil yang sampaikan oleh
BPJPH
5. BPJPH menerbitkan sertifikat Halal untuk produk yang dinyatakan Halal
oleh sidang fatwa MUI.
perusahaan produsen pangan dan non pangan asal hewan dengan mengeluarkan
Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 11 Tahun 2020 mengenai Sertifikasi
Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Permentan No. 11 Tahun 2020 ini dikeluarkan,
untuk melengkapi pengaturan tentang sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner produk
hewan pada Permentan 381 tahun 2005 yang masih mengacu kepada Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1967 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dalam
perkembangannya telah terjadi perubahan menjadi Undang-undang nomor 18
tahun 2009.
Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah sertifikat sebagai bukti tertulis
yang sah bahwa unit tersebut sudah memenuhi persyaratan hygine sanitasi sebagai
kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal. Semua usaha terkait pangan asal
hewan wajib memiliki NKV diantaranya yaitu Pelaku Usaha Pangan Asal Hewan
(PAH) yang dilakukan oleh Perorangan Warga Negara Indonesia atau badan
hukum yang yang memiliki usaha di bidang Rumah Pemotongan Hewan, Rumah
Pemotongan unggas, Rumah Pemotongan Babi, Usaha budidaya unggas petelur,
Pelaku usaha yang mengelola unit pendingin susu, pelaku usaha yang mengemas
dan melabel telur (Permentan, 2020)
Kerangka Pemikiran
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di wilayah kota Depok dan mulai dilaksanakan pada
bulan Januari sampai Februari 2022. Lokasi ini dipilih karena kota Depok
merupakan salah satu kota yang mayoritas penduduknya beragama Islam, akan
tetapi masih banyak penjual daging dipasar tradisional dan toko retail yang
menjual produknya tanpa menggunakan label Halal dan NKV.
15
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan analisis yang menggambarkan suatu data
yang diteliti melalui data sampel atau populasi (Sugiyono 2011). Analisis
deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan karakter seperti usia,
jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendidikan, pendapatan, frekuensi pembelian
daging, jumlah pembelian daging sapi perbulan, pengetahuan terhadap sertifikat
Halal dan NKV, kepedulian konsumen terhadap sertifikat Halal dan NKV yang
diklasifikasikan menjadi kategori besedia membayar lebih dan tidak bersedia
membayar lebih terhadap daging sapi bersertifikat Halal dan NKV.
16
5. Estimasi
6. Goodness of Fit
7. Pengujian Hipotesis
Terdapat 4 variabel laten eksogen dan 1 variabel laten endogen yang akan
digunakan dalam penelitian ini yang merujuk pada penelitian Ambali dan Bakar
(2014) dan Pramintasari dan Fatmawati (2017) dengan sedikit perubahan.
Variabel laten eksogen yang digunakan yaitu keyakinan religius, peran label Halal
dan NKV, pengetahunan tentang aspek keHalalan dan higienitas produk, dan
pertimbangan kesehatan. Keempat variabel ini juga merupakan sumber kesadaran
(awareness) terhadap produk Halal dan higienis yang merupakan variabel laten
endogen. Setiap variabel laten direfleksikan oleh variabel indikator seperti
dijelaskan pada tabel 1.
Tabel 1 Variabel Laten dan Variabel Indikator
DAFTAR PUSTAKA
Ambali AR, Bakar AN. 2014. People’s awareness on halal foods and products:
potential issues for policy-makers. Procedia - Soc Behav Sci. 121:3–25
Ardyanti N, Nashril T, Helmi M. 2013. A Study on Halal Food Awareness
Among Muslim Customers in Klang Valle. 4th International Conference
on Business and Economic Research. 2013 mar 4-5. Bandung, Indonesia,
Proceeding
Aziz YA, Chok NV. 2013. The role of halal awareness, halal certification, and
marketing components in determining halal purchase intention among
non-muslims in malaysia: a structural equation modelling approach.
Journal of International Food & Agribusiness Marketing. 25(1): 1-23
Bashir AM. 2019. Effect of halal awareness, halal logo and attitude on foreign
consumers purchase intention. British Food Journal. 121(9): 1998-2005
Bonne K, Vermeir I, Bergeaud-Blackler F, Verbeke W. 2007. Determinants of
halal meat consumption in France. British Food Journal. 100(5), 367-86
Bonne K, Verbeke W. 2008. Muslim consumer trust in halal meat status and
control in Belgium. Meat Sci. 79(1):113–123
Breidert C, Hahsler M, Reutterer T. 2006. A review of methods for measuring
willingness-to-pay. Innovative Marketing. 2(4): 8-32
Erwanto Y, Abidin MZ, Muslim EY, Sugiyono, Rohman A. 2014. Identification
of Pork Contamination in Meatballs of Indonesia Local Market Using
Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism
(PCR-RFLP) Analysis. Asian-Australas J Anim Sci. 27(10): 1487-1492
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber daya alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gay LR, Miils GE, Airasian P. 2006. Educational Research Analysis and
Apllications 8th Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Halim, MA, Wati K, Mahyeddin MSM, Asming Y, Tuan Syed Mohd Najib TSM,
Asmidah A, Alisa AA, and Ariff MI. Consumer Protection of Halal
Products in Malaysia: A Literature Highlight. Procedia-Soc and Behav
Sci. 21: 68–78.
Hidayat AS, Siradj M. 2015. Sertifikasi halal dan sertifikasi non halal pada
produk pangan industri. Ahkam. 15(2): 199-210
Hussain I, Rahman SU, Zaheer A, Saleem S. 2016. Integrating factors influencing
consumers halal products purchase: application of theory of reasoned
action. Journal of International Food & Agribusiness Marketing. 28(1):
35-58
Jamal A, Sharifuddin J. 2015. Perceived value and perceived usefulness of halal
labeling: the role of religion and culture. J Business Research. 68(5):933–
941.
22
Tieman M, Ghazali MC. 2014. Halal control activities and assurance activities in
halal food logistics. Procedia - Soc Behav Sci. 121: 44–57.
Trevethan R. 2017. Deconstructing and assessing knowledge and awareness in
public health research. Front Public Heal. 5: 16–19.
Umi Rofiatin dan Hanif Fikri Bariska. 2018. Pola willingnes to pay (wtp) dan
faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap pilihan sayur organik dan
anorganik masyarakat kota malang. Jurnal OPTIMA. 2(1): 18-26
Verbeke W, Rutsaert P, Bonne K, Vermeir I. 2013. Credence quality coordination
and consumers willingness-to-pay for certified halal labelled meat. Meat
Sci. 95(4):790–797.