in- tegral dari sistem filsafat, yang secara spesifik menyoroti hakikat atau esensi manusia. Sebagai bagian
dari sistem filsafat, secara metodis ia mempunyai kedudukan yang kurang lebih setara dengan cabang-
cabang filsafat lainnya, seperti etika, kosmologi, epistemologi, filsafat sosial, dan estetika. Tetapi secara
ontologis, ia mempunyai kedudukan yang relatif lebih penting, karena semua cabang filsafat tersebut
pada prinsipnya bermuara pada persoalan asasi mengenai esensi manusia, yang tidak lain merupakan
persoalan yang secara spesifik menjadi objek kajian filsafat manusia.
Dibandingkan dengan ilmu-ilmu tentang manusia (human studies), filsafat manusia mempunyai
kedudukan yang kurang lebih "sejajar" juga, terutama kalau dilihat dari objek materialnya. Objek
material filsafat manusia dan ilmu-ilmu tentang manusia (misalnya saja psikologi dan antropologi)
adalah gejala-gejala manusia. Baik filsafat manusia maupun ilmu-ilmu tentang manusia, pada dasarnya
bertujuan untuk menyelidiki, mengin-terpretasi, dan memahami gejala-gejala tau ekspresi-ekspresi
mansia. Ini berarti bahwa gejala atau ekspresi manusia, baik merupakan objek kajian untuk filsafat
manusia maupun untuk ilmu-ilmu tentang manusia.
Karena luas dan tidak terbatasnya gejala manusiawi yang diselidiki oleh filsafat manusia, maka tidak
mungkin ia menggunakan metode yang bersifat observasional dan/atau eksperimental. Observasi dan
ekspe rimentasi hanya mungkin dilakukan, kalau gejalanya bisa diamati (empiris), bisa diukur (misalnya
dengan menggunakan metode statistik), dan bisa dimanipulasi (misalnya di dalam eksperimen-
eksperimen laboratorium). Sedangkan, aspek-aspek atau dimensi-dimensi metafisis, spiritual, dan
universal hanya bisa diselidiki dengan menggunakan metode yang lebih spesifik, misalnya melalui
sintesis dan refleksi. Sintesis dan refleksi bisa dilakukan sejauh gejalanya bisa dipikirkan. Dan karena apa
yang bisa dipikirkan jauh lebih huas daripada apa yang bhisa diamati secara empiris, maka pengetahuan
atau informasi tentang gejala manusia di dalam filsafat manusia, pada akhirnya, jauh lebih ekstensif
(menyeluruh) dan intensif (mendalam) daripada informasi atau teoryang didapatkan oleh ilmu-ilmu
tentang manusia.
Sebelum kita melangkah pada pembahasan tentang filsafat manusia, ada baiknya kita singgung sedikit
mengenai perbedaan antara filsafat manusia dengan ilmu-ilmu tentang manusia. Di dalam pembahasan
ini, secara sempit saya akan membatasi pengertian ilmu-ilmu tentang manusia sebagai ilmu-ilmu yang
bersifat positivistik, atau ilmu-ilmu ientang manusia yang di dalam penelitian-penelitian dan penjelasan-
penjelasannya menggunakan model metodologi ilmu-ilmu alam fisik. Akan dijelasken bagaimana
konsekuensi konsekuensi dari penggunaan metode seperti itu didalam ilmu-ilmu tentang manusia.
Suatu ilmu yang membatasi diri pada penyelidikan terhadap gejala- gejala empiris dan penggunaan
metode yang bersifat observasional dan/ atau eksperimental, bisa dipastikan mempunyai konsekuensi-
konse- kuensi teoretis yang positif dan negatif sekaligus. Demikian pula halnya dengan ilmu-ilmu tentang
manusia. Sisi "negatif (kalau boleh dika takan demikian) dari ilmu-ilmu tentang manusia, pertama-tama
tam dari ruang lingkupnya yang serba terbatas. Ilmu-ilmu tentang ma nusia bersangkut-paut hanya
dengan aspek-aspek atau dimensi-dimensi dantertentu dari manusia, yakni sejauh yang tampak secara
empiris dan dapat diselidiki secara observasional dan/atau eksperimental. Aspelk aspek atau dimensi-
dimensi di luar pengalaman indrawi, yang tidak dapat diobservasi atau dieksperimentasi, tidak
mendapat tempat di dalam ilmu. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu tentang manusia tidak mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang manusia.
cara kerja ilmu pun (terpaksa) menjadi fragmentaris) Keterbatasan metode observasi dan
eksperimentasi tidak memung- kinkan ilmu-ilmu tentang manusia untuk melihat gejala manusia dan
menyeluruh. Hanya aspek-aspek atau bagian-bagian tertentu dari manusia, yang bisa disentuh oleh
ilmu-ilmu tersebut. Psikologi sebagai suatu ilmu, misalnya lebih menekankan pada aspek psikis dan
fisiologis manusia sebagai suatu organisme), dan tidak bersentuhan dengan pengalaman-pengalaman
subjektif, spiritual, dan eksistensial. Antropologi dan sosiologi lebih memfokuskan diri pada gejala
budaya dan pranata sosial manusia dan tidak (atau senggan) bersentuhan dengan pengalaman dan
gejala individual. Bahkan di dalam satu cabang ilmu itu sendiri bisa terjadi spesialisasi- spesialisasi dalam
menelaah sub-sub aspek gejala manusia. Di dalam ilmu psikologi misalnya, terdapat cabang-cabang
psikologi, seperti pai. kologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi sosial, psikologi komunitas,
psikologi industri dan organisasi, dan sebagainya. Di samping itu, terdapat pendekatan-pendekatan
psikologi, seperti pende ktan kognitif, behavioristik, psikoanalitik, dan seterusnya. Pende katan-
pendekatan tersebut menyoroti aspek-aspek tertentu dari ma- nusia, seperti aspek kognisi, emosi, dan
psikomotorik. Sejumlah filsuf modern mengecam keras gejala fragmentarisme seperti itu. Menurut
mereka, munculnya ilmu-ilmu baru tentang manusia dan tumbuh pesatnya spesialisasi-spesialisasi di
dalam ilmu ilmu tentang manusia, tidak dengan sendirinya membantu kita memahami manusia secara
utuh dan menyeluruh, melainkan justru mengaburkan dan mencerai-beraikan pemahaman kita tentang
manusia. Salah satu kritik terhadap fragmentarisme ilmu, misalnya Tidak ada periode lain dalam
pengetahuan manusiawi, di mana manusia menjadi semakin problematis, seperti pada periode kita
ini.kita tidak lagi memiliki gambaran yang jelas dan konsisten tentang manusia. Semakin banyak ilmu-
ilmu khusus yang terjun mempelajari manusia, tidak semakin menjernihkan konsepsi kita tentang
manusia. sebaliknya, malah semakin membingungkan dan dilontarkan oleh Max Scheller
mengaburkannya.
Berbeda dengan ilmu-ilmu tentang manusia, filsafat manusia yang menggunakan metode sintesis dan
reflektif itu, mempunyai ciri-ciri ekstensif, intensif, dan kritis,Oleh sebab itu, ketimbang hanya berkisar
tentang salah satu' aspek atau aspek-aspek tertentu saja dari manusia, baik sebagai individu maupun
sebagai kelompok sosial, filsafat manusia justru berkenaan dengan totalitas dan keragaman aspek-aspek
yang terdapat pada manusia ecara universal. Berdasarkan pengalaman dan berbagai pengetahuan ntang
manusia, filsuf mencoba "menyaring" "menggolong- golongkan" isi pengalaman dan pengetahuan
tersebut ke dalam satu atau dua kategori realitas yang paling mendasar.
Ambillah contoh filsafat Schopenhauer. Pemikiran filsafati filst Jerman ini pada prinsipnya merupakan
hasil sintesis dari berbagai peristiwa historis dalam sejarah manusia dan temuan-temuan ilmiah dalam
ilmu biologi. Menurut Schopenhauer, kejadian-kejadian besar dalam sejarah manusia (misalnya dalam
bentuk peperangan dan revolusi-revolusi besar) pada dasarnya digerakkan bukan oleh pikiran pikiran
rasional, melainkan merupakan ungkapan-ungkapan emosions! para pelaku sejarahnya. Demikian juga
hasil-hasil temuan di dalam ilmu biologi menunjukkan bahwa semua spesies berjuang untuk hidup, dan
di dalan perjuangan tersebut, mereka lebih digerakkan oleh nalari naluri mereka ketimbang oleh proses
kognitif mereka. Atas dasar berbagai temuan di dalam ilmu sejarah dan ilmu biologi, Schopenhauer
sampai pada kesimpulan bahwa hakikat manusia pada dasarnya adalah kehendak buta, kehendak yang
tidak disadari, atau kehendak yang bersifat tidak rasional dan naluriah (instingtifi). Manusia mentrat
Schopenhauer bukanlah makhluk rasional, seperti yang diduga rasionalisme dan masyarakat pada
zamannya. Rasio hanya merupakan alat saja untuk kepentingan kehendak buta.
ciri-ciri filsafat manusia secara umum, yakni yang bercirikan ekstensif, intensif, dan kritis. Ciri ekstensif
filsafat manusia dapat kita saksikan dari luasnya jangkauan atau menyeluruhnya objek kajian yang
digeluti oleh filsafat ini. Filsafat manusia adalah gambaran menyeluruh atau sinopsis tentang realitas
manusia. Berbeda dengan ilmu-ilmu tentang manusia, filsafat manusia tidak menyoroti aspek aspek
tertentn dari gejala dan kejadian manusia secara terbatas. Aspek aspek seperti kerohanian dan
kejasmanian (kejiwaan dan ketubuhan) kebebasan dan determinisme, keilahian dan keduniawian, serta
di dimensi-dimensi seperti sosialitas dan individualitas, kesejarahan dan kebudayaan, kebahasaan dan
simbolisme -semuanya itu ditempatkan dalam kesatuan gejala dan kejadian manusia, yang kemudian
disoroti secara integral oleh filsafat manusia. Ini berarti bahwa filsafat manusia mencakup segenap
aspek dan ekspresi manusia, dan lepas dari kontekstualitas ruang dan waktu (universal). Karena filsafat
manusia bersifat sinopsis dan universal, mencakup segenap aspek dan dimensi yang terdapat dalam
realitas manusia, maka ia tidak mungkin bisa mendeskripsikan semuanya itu secara rinci dan detail.
Filsafat manusia menyoroti gejala dan kejadian manusia secara sintesis dan reflektif, dan memiliki ciri-
ciri ekstensif, intensif dan kritis. Kalau betul demikian, maka dengan mempelajari filsafat manusia berarti
kita dibawa ke dalam suatu panorama pengetahuan yang sangat luas, dalam, dan kritis, yang
menggambarkan esensi manusia. Panorama pengetahuan seperti itu, paling tidak, mempunyai manfaat
ganda, yakai manfaat praktis dan teoretis. Secara praktis filsafat manusia bukan saja berguna untuk
mengetahui apa dan siapa manusia secara menyeluruh, melainkan juga untuk mengetahui siapakah
sesungguhnya diri kita di dalam pema- haman tentang manusia yang menyeluruh itu. Pemahaman yang
demikian pada gilirannya akan memudahkan kita dalam mengambil keputusan-keputusan praktis atau
dalam menjalankan berbagai aktivitas hidup sehari-hari; dalam mengambil makna dan arti dari setiap
peristiwa yang setiap saat kita jalani; dalam menentukan arah tujuan hidup kita, yang selalu saja tidak
gampang untuk kita tentukan secara pasti; dan seterusnya. Sedangkan, secara teoretis filsafat manusia
mampu memberikan kepada kita pemahaman yang esensial tentang manusia, sehingga pada gilirannya,
kita bisa meninjau secara kritis asumsi-asumsi yang tersembunyi di balik teori-teori yang terrdapat di
dalam ilmu-ilmu tentang manusia.
Kedudukan manusia dalam humanisme, filsafat humanistik, dan ilmu-ilmu humanistik Zainal Abidin
arti istilah "humanisme" akan lebih mudah dipahami kalau kita meninjaunya dari dua sisi berikut ini: sisi
historis dan sisi aliran-aliran di dalam filsafat. Dari sisi yang pertama, humanisme berarti suatu gerakan
intelektual dan kesusastraan yang pertama kali muncul di Italia pada paruh kedua abad ke-14 masehi.
Gerakan ini boleh dikatakan sebagai motor penggerak kebudayaan modern, khususnya kebudayaan
Eropa. Beberapa tokoh yang sering disebut-sebut sebagai pelopor gerakan ini misalnya Dante, Petrarca,
Boccaceu, dan Michelangelo. Dari sisi yang kedua humanisme sering diartikan sebagai paham di dalam
filsafat yang menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia sedemikian rupa sehingga manusia
menempati posisi yang sangat sentral dan penting, baik dalam perenungan teoretis-filsafati maupun
dalam praktis hidup sehari-hari. Dalam arti ini, manusia dipandang sebagai ukuran bagi setiap penilaian,
dan referensi utama dari setiap kejadian di dalam semesta ini. Salah satu asumsi yang melandasi
pandangan filsafat ini adalah bahwa manusia pada prinsipnya merupakan pusat dari realitas. Berbeda
dengan pandangan filsafat yang berkembang pada abad pertengahan, para humanis berpegang teguh
pada pendirian, bahwa manusia pada hakikatnya bukan sebagai vaber mundi (peziarah di muka bumi),
melainkan sebagai vaber mundi (pekerja atau pencipta dunianya). Oleh alau segala ukuran penilaian dan
referensi akhir dari semua kejadian manusiawi, dikembalikan lagi kepada manusia itu sendiri, bukan
kepada kekuatan-kekuatan di luar manusia (misalnya, kekuatan Tuhan atau alam).
Istilah humanisme" sendiri berasal dari kata Latin "humanitas (pendidikan manusia) dan dalam bahasa
Yunani disebut paideia pendidikan yang didukung oleh manusia-manusia yang hendak menempatkan
seni liberal sebagai materi atau sarana utamanya. Alasan utama seni liberal dijadikan sebagai sarana
terpenting di dalam pendi- dikan pada waktu itu (di samping retorika, sejarah, etika, dan politik) adalah
kenyataan bahwa hanya dengan seni liberal, manusia akan tergugah untuk menjadi manusia, menjadi
makhluk bebas yang tidak terkekang oleh kekuatan-kekuatan dari luar dirinya. Mereka percaya bahwa
hanya dengan seni liberal, maka manusia dapat dibangunkan dari tidurnya yang sangat panjang pada
Abad Pertengahan itu! Model pendidikan ini adalah model pendidikan yang didorong oleh semangat
zaman antik (Yunani Kuno), yang ditandai oleh adanya kehidupan demokratis, yang pada abad
pertengahan dianggap sebagai semangat kaum kafir. Pada zaman antik, klaim atas otonomi manusia
dijunjung inggi, dan dalam batas-batas tertentu, manusia mempunyai kewenangan sendiri dalam
keterlibatannya dengan alam dan dalam penentuan arah sejarah manusia.
PERTARUNGAN ANTARA JIWA DAN TUBUH PADA MANUSIA :RENE DESCRATES (1596-1650)
ada dua hal penting yang perlu diketahui, sebelum kita me langkah masuk ke dalam pemikiran Descartes
tentang manusia. Pertama, mengenai dominasi ilmu biologi Aristotelian di dalam tradisi akademik pada
masa Descartes. Ketika itu ilmu-ilmu biologi yang diajarkan di universitas-universitas di Perancis,
didominasi leh konsep Aristotelian tentang jiwa. Jiwa dianggap sebagai prinsip ang memberi kehidupan
kepada makhluk hidup. Semua organisme, ermasuk tumbuh-tumbuhan dianggap memiliki jiwa, yakni
jiwa vegetatif. Dengan jiwa vegetatif semua organisme mampu menyerap makanan dan bereproduksi.
Akan tetapi, pada hewan terdapat jiwa ambahan, yakni jiwa sensitif (kadang-kadang disebut jiwa
hewani). Dengan jiwa sensitif, semua hewan mempunyai kemampuan yang lebih kompleks, misalnya
daya penggerak, sensasi, ingatan, dan imajinasi. Satu-satunya makhluk hidup yang dipandang paling
tinggi (derajatnya ), yakni manusia, dianggap memiliki jiwa rasional. Dengan jiwa rasionalnya, manusia
mampu berpikir secara sadar, membuat norma sosial, serta m kebajikan-kebajikan moral.
Metode Descartes
Obsesi Descartes adalah menjawab pertanyaan tentang bagaimana imu-ilmu non-matematik bisa
memiliki kepastian yang sama dengan hasil-hasil yang diraih oleh geometri analitis. Jawaban descartes
adalah: "dengan menerapkan cara berpikir geometris pada seluruh bidang pengetahuan, tanpa kecuali."
Dalam geometri, kita mulai dengan sejumlah aksioma yang pasti dan jelas, seperti misalnya "sebuah
garis lurus adalah jarak terpendek di antara dua titik". Kemudian kita meng- hubungkan aksioma-
aksioma tersebut melalui langkah-langkah kecil tetapi pasti dan logis, untuk sampai pada kesimpulan-
kesimpulan atau teorema-teorema yang kompleks dan terkadang mengejutkan. Cara seperti ini,
menurut Descartes, bisa diterapkan pada ilmu-ilmu yang lain, di luar geometri.
Dalam bukunya yang berjudul Dunia (La Monde), Descartes berusaha membangun sebuah "ilmu
universal", yang menggabungkan seluru seni dan ilmu ke dalam satu prinsip yang fundamental. Berkat
usa hanya ini buku Dunia menjadi salah satu buku teks modern pertama mengenai fisika, fisiologi, dan
juga psikologi. Hukum-hukum fisis diterapkan pada pemahaman tentang fisiologi, dan selanjutnya
dipakai untuk menjelaskan gejala-gejala psikologis. Beberapa ide fisiologisnya masih diterima hingga
sekarang meskipun Descartes sendiri tidak menjalankan integrasi psiko-fisiologis sejauh yang dilakukan
oleh banyak psikolog dewasa ini. Akan tetapi, tidak bisa diragukan lagi, Dunia merupakan model untuk
kemunculan psikologi di masa depan sebagai anggota keluarga besar ilmu-ilmu pengetahuan modern.
Fisika
Risalah tentang Cahaya" menyajikan gagasan fisika Descartes, yang didasarkan pada analisis atas
partikel-partikel material yang bergerak. Mengikuti Aristoteles, Descartes percaya bahwa tidak ada
ruang kosong, seluruh alam semesta sepenuhnya berisi jenis-jenis partikel yang bermacam-macam
dalam berbagai bentuk gerakan yang bermacam macam pula. Kalau sebuah partikel bergerak, ia
(partikel itu) tidak meninggalkan ruang kosong di belakangnya, karena ruang tersebut diisi oleh partikel-
partikel lain sama seperti jika seekor ikan berenang, maka ruang yang ditinggalkan di belakangnya, diisi
kembali oleh air. Descartes percaya bahwa ada tiga jenis partikel dasar di alam semesta, yakni api,
tanah, dan udara.
Fisiologi Mekanistik
Sebelum Descartes, sudah terdapat beberapa ilmuwan yang berbicara tentang badan manusia, seperti
misalnya Galileo Galilei (1564-164 dan William Harvey (1578-1657). Galileo mempelajari tulang-tulang
dan persendian tubuh seolah-olah merupakan suatu sistem alat-alat pengungkit. William Harvey,
seorang dokter yang berasal dari Inggris, mempelajari jantung sebagai suatu mekanisme fisik yang
berfungsi untuk memompa darah. Dengan diketahuinya fungsi darah seperti itu, maka darah tidak lagi
dimengerti sebagai cairan yang tercipta secara baru, melainkan merupakan sesuatu yang secara terus-
menerus mengalir ke seluruh tubuh
Kontribusi Decrates bukan terletak pada gagasanya tentang fisiologi mekanistik per se.
Melainkan pada penerapan gagasanya tentang fungsi-fungsi tubuh tersebut. Ia secara mekanistis
menganalisis sepuluh fungsi Fisioologis yaitu:
Pencernaa makanan
Sirkulasi darah
Respirasi
Imajinasi
Memori
Pergerakan tubuh
Hasil analisinya mengugurkan konsep-konsep tradisional tentang jiwa vegetatif dan hewani.
Kesepuluh fungsi tersebut berjalan secara mekanis.
Decrates sengaja membiarkan satu fungsi kehidupan yakni rasio, untuk tidak disentuh
oleh penjelasanya yang mekanistis tersebut. Karna decrates lebih memfokuskan pada rongga-
rongga di dalam otak atau bisa disebut vertricles, yang berisi cairan-cairan jernih berwarna
kuning, yang pada saat itu dinamakan roh-roh hewani, dan sekarang dinamakan cairan
cerebrospinal. Decrates memahami otak sebagai suatu sistem pipa-pipa saluran dan katup-katup
yang canggih, yang berfungsi menggerakan roh-roh hewani di dalam syaraf-syaraf spesifik
sehingga dengan cara demikian terjadilah gerakan-gerakan atau prilaku-prilaku tertentu, memori
dan proses belajar terjadi kalau dalam keadaan tertentu, tindakan-tindakan yang diulang-ulang di
dalam otak menyebabkan terbuka dan reseptif pada roh-roh hewani.
Kendati decrates tidak menggunaka istilah yang jelas dan pasti, ia telah
memformulasikan gagasan umum tentang apa yang sekarang kita namakan reflesk yang artinya
sebuah rangkaian neurofisiologis, dimana suatu stimulus tertentu dari dunia luar secara otomatis
menimbulkan respon tertentu pada organisme. Berdasarkan teorinya itu, Decrates mampu
membedakan dua jenis respon reflektif yakni refleks bawaan dan refleks yang dipelajari.
Refleks bawaan, yakni jiwa-jiwa vital secara langsung menggerakan syaraf melalui
penarikan urat sehingga menghasilkan respon otomatis dan langsung. Kalau tangan terlampau
dekat pada api misalnya, maka sinyal dari tangan ke otak membalikan jiwa-jiwa hewani tangan,
sehingga menyebabkan tangan secara refleks di tarik dari api.
Sementara refleks bawaan atau refleks yang dipelajari dapat dijelaskan kerja atau gerak
organisme melalui stimulasi dari dunai luar, Decrates pun beranggapan bahwa baik hewan
maupun manusia tidak selalu memiliki respon yang sama pada setiap stimulus. Faktor-faktor
internal seperti emosi pun memainkan peranan yang bersifat mekanistis tentang gejala itu dalam
hubunganya dengan variasi-variasi dalam roh-roh hewani.
Diskurursus tentang metode, sebuah karya Decrates yang bersifat otobiografis, dan
merupakan sebuah karya filsafat yang klasik, berkenaan dengan analisis atas jiwa rasional
manusia. Dalam buku itu ia menggambarkan awal usaha filosofinya untuk meragukan semua hal
secara sistematis. Pertama-tama decrates berasumsi bahwa segala-galanya diragukan, termasuk
kesan-kesan indrawi yang sangat jelas dan terpilah-pilah, serta sifat dasar dunia fisis yang dulu
dianggapnya sudah jelas dan pasti. Misalnya, ia membayangkan kesan-kesan tersebut hanyalah
ilusi belaka, bahwa ia tadi bermimpi tentang kesan-kesan tersebut dan bukan sungguh-sungguh
mengalaminya. Namum, setelah terus menerus ragu akhirnya ia sampai pada satu ide yang
tampak dan sangat pasti, yang tidak dapat diragukan.
Filsafat Decrates menempatkan rasio dan fungsi-fungsi intelektual jiwa sebagai suatu
yang lebih fundemental dari pada pengalaman indra. Karena filsafatnya Decrates pun dinamakan
seorang dualis karena pembedaanya yang tajam antara tubuh dan jiwa
Menurut Decrates, tubuh tanpa jiwa hanya akan menjadi ootomat blaka, yang digerakan
secara mekanis oleh stimulus eksternal dan kondisi-kondisi hidrolik internal atau emosioanal,
jadi tanpa kesadaran. Sebaliknya, jiwa atau roh tanpa tubuh memang bisa mempunyai kesadaran,
tetapi ia hanya memiliki ide bawaan saja, jadi tidak bakal memiliki kesan-kesan indrawi dan
gagasan tentang normal pada umumnya. Tubuh, bagaimanapun juga, menambah kekayaan isi
pada kesadaran jiwa. Sedangkan jiwa menambah rasionalitas dan hendak pada sebab musabab
prilaku,
ESENSI MANUSIA ADALAH KEHENDAK BUTA
Yang khas dari filsafat Schopenheur adalah kejelasan dan kekonretannya. Ia menyerang
filsafat Hegel, yang dinilainya terlalu abstrak dan “menutup-nutupi sisi gelap manusia”.
Schopenheur, yang hidup dan dibesarkan sebagai anak saudagar kaya , merasakan betul bahwa
“premium vivere, deinde philosophary” (kita harus hidup terlebih dahulu, baru kemudian
berfildafat). Dengan nada sinis ia pun mengomentari filsafat Hegel yang mengabaikan kekuatan
irrasional (nonrasio atau nonintelek), yakni kehendak. “dimata Hegel”, katanya, “hidup tidak
membiarkan kita berkata spatah pun selain tentang kebaikan” (de vivis nil nisi bonum). Akan
tetapi, ia memuji semangat Hegel dalam mencari kebenaran. Katanya, “Hidup teramat pendek,
tapi kebenaran berlaku lama dan berumur panjang, oleh sebab itu, mari kita bicara tentang
kebenaran”
Hampir tanpa kecuali, semua filsuf sebelum Schopenheur memandang kesadaran atau intelek
atau rasio sebagai hakikat jiwa. Manusia disebut Hewan yang berakal, sebagai animale rationale.
Schopenheur mengkeritik anggap tersebut. Kesadaran dan intelek pada dasarnya hanya
merupakan permukaan jiwa. Seperti dulu banyak orang tidak mengetahui hakikat bumi kecuali
permukaanya, demikian pula para filsuf sampai sekarang baru mengetahui permukaan jiwa,
yakni intelek atau kesadaran, tetapi tidak mengetahui hakikat jiwa yang sesungguhnya. Dibawah
intelek sesunggunya terdapat kehendak yang tidak sadar, suatu daya atau kekuatan hidup yang
abadi, suatu kehendak dari keinginan yang kuat. Intelek kadang-kadang memang mengendalikan
kehendak, tetapi hanya sebagai pembantu yang mengantarkannya.
Intelek bisa letih, kehendak selalu terjaga. Intelek perlu tidur, kehendak bekerka dalam
tidur. Letihnya intelek karena ia berada di dalam otak, tetapi bagi urat-urat yang tidak
berhubungan dengan cerebrum, seperti hati, tidak pernah merasakan rasanya lelah. Dalam tidur,
otak memerlukan makanan, namun kehendak tidak memerlukan apapun untuk dimakan. Dalam
tidur hidup manusia turun ke taraf vegetatif , dan oleh sebab itu “kehendak bekerja menurut sifat
dasarnya yang asli, tidak terganggu oleh kekuatan dari luar, dari aktivitas otak, dan dari usaha
untuk mengetahuinya.
Setiap organisme yang normal, pada saat mencapai tingkat dewasa, segera
mengrobankan dirinya untuk menjalankan tugas reprodukri, mulai dari laba-laba
jantan yang dimangsa oleh betinanya agar bisa berkembang dengan baik, tawon
yang bekerja keras mengumpulkan makanan untuk anak cucunya yang tidak pernah
dilihatnya, sampai pada manusia yang bekerja banting tulang untuk memberi
makan dan pakaian bagi anak-anaknya. Reproduksi adalah tujuan utama, dan
naluri yang paling kuat, dari setiap organisme, karena hanya dengan cara itu
kehendak menaklukan kematian. Dan untuk menjamin kontrol pengetahuan dan
refleksi.
Hidup adalah kejahatan, karena menstimulasi hidup tidak lain adalah rasa
sakit, sedangkan persaan senang hanya merupakan tempat pemberhentian negatif
dari rasa sakit. Aristoteles benar ketika ia berkata “ orang bijaksana tidak
mencari kesenangan, melainkan berupaya menciptakan keadaan yang bebas dari
rasa sakit dan duka. Hidup adalah kejahatan karena segera setelah keinginan
dan penderitaan hilang dari manusia, maka kebosanan mengantikan tempat
keinginan dan penderitaan dan jadi lebih menderita. Hidup adalah kejahatan,
karrna semakin tinggi organisme, semakin besar pula penderitaanya.
Bertambahnya pengetahuan bukan berarti bebas dari penderitaan, melainkan
justru memperbesar penderitaan.
Kebijaksanaan Hidup
Tanggapan terhadap pemikian Schopenheur akan berkisar pada dua hal yakni
Diagnosa medis terhadap zaman dan manusianya sendiri. Pertama, Diagnosa medis
terhadap manusianya sendiri bisa dimulai dari pengakuan Schopenheur, bahwa
kebahagiaan manusia tergantung pada keberadaannya, dan bukan pada lingkungan
luarnya. Pesimisme adalah tuduhan yang dilancarkan oleh orang yang pesimis.
Dari keadaan jasmani yang sakit dan jiwa yang neurotik, dan kehidupan waktu
yang senggang yang kosong dan suasana hati yang suram. Salah satu sebab
pesimisme, baik Schopenheur maupun pada zamanya, terletak pada sikap-sikap dan
penghargaan serta penghrapanya. Dari pemikiran Schopenheur ada hal yang
mengagumkan yakni kemampuannya dalam membuka mata para psikolog pada kekuatan
naluri yang paling dalam, halus, dan ada dimana-mana. Dan meskipun agak
berlebihan, Schopenheur berhasil juga mengajarkan pada kita tentang
keniscayaan jenius dan nilai seni.
Perkembangan akal budi manusia menurut filsafat positivisme auguste comte (1798-1857)
Istilah positivisme paling tidak mengacu pada dua hal berikut, pada teori prngetahuan dan
pada teori tentang perkembangan akal sejarah budi manusia. Sebagai teori tentang perkembangan
sejarah manusia, istilah positivisme identik dengan tesis comte sendiri mengenai tahap-tahap
perkembangan akal budi manusia yang secara linier bergerak dalam urut-urutan dan tidak putus.
Tahap Teologis
Tahap ini merupakan tahap awal dari perkembangan akal budi manusia. Pada tahap ini
manusia berusaha menerangkan segenap fakta atau kejadian dalam kaitanya dengan teka teki
alam yang di anggapnya berupa misteri. Dalam tahap ini terdapat beberapa bentuk atau cara
berpikir. Pertama, Fetiyisme dan animisme. Kedua, Politisme. Dan ketiga, Monoteisme.
Tahap Metafisis
Pada tahap ini manusia mulai mengadakan perombakan atas cara berpikir lama, yang
dianggapnya tidak sanggup lagi memenuhi keinginan manusia, untuk menemukan jawaban yang
memuaskan tentang kejadian alam semesta. Pada tahap ini semua gejala dan tidak lagi
diterangkan dalam hubungan dengan kekuatan yang bersifat spranatural dan rohani.
Tahap Positif
Pada tahap Positif, Gejala dan kejadian alam tidak lagi dijelaskan secara a priori,
melainkan berdasarkan pada observasi, eksperimen dan komparasi yang ketat dan teliti,. Gejala
dan kejadian alam harus dibersihkan dari muatan teologis dan metafisisnya. Akal tidak diarahkan
untuk mencari kekuatan-kekuatan yang bersifat transeden dibalik atau, esensi di dalam setiap
gejala dan kejadian.
Ilmu Pengetahuan Positif, yang pada tahap akhir Perkembangan akal budi manusia,
menjadi pedoman hidup dan landasan kultural, institusional dan kenegaraan, untuk menuju
masyarakat yang maju dan tertib, merdekan dan sejahtera. Ada beberapa asumsi tentang ilmu
pengetahuan positif. Asumsi pertama, Ilmu pengetahuan harus bersifat objektif. Asumsi kedua,
ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali terjadi. Dan asumsi ketiga,
Ilmu pengetahuan menyoroti setiap fenomena atau kejadian alam dari saling ketergantungan dan
antarhubunganya dengan fenomena dan kejadian-kejadian yang lain.
Pengaruh Positivme Auguste Comte
Ada beberapa pengerauh Positivme Auguste Comte. Yakni semangat Eksplroatif dan
ilmiah-ilmiah serupa, sehingga mendorong lahirnya model-model ilmu pengetahaun yang positif,
yang lepas dari muatan-muatan spekulatif. Konsepsi yang semakin luas tentang kemajuan atau
modernisasi yang menitikberatkan pada kemajuan dan modernisasi dalam bidang ekonomi, fisik
dan teknologi. Beberapa pengaruh yang baru disebut diatas, diluar pengaruh positivisme Comte
di dalam sejarah filsafat, disamping kontribusinya dalam melahirkan sebuah ilmu yang disebut
fisika sosial atau sosiologi, serta positivisme ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Kiekegeerd pernah mengagumi idealism hegel. Filsafat Hegel sangat mendalam dan
menyeluruh tentang sejarah manusia dalam perspektif yang sama sekali baru pada waktu itu. Hal
ini pada akhirnya membawanya kepada kesadaran akan pentingnya mencari jawaban atas
persoalan-persoalan hidup yang lebih konkret dan factual, yang dialami oleh setiap manusia
dalam kehidupan sehari-harinya. Persoalan-persoalan seperti kesenangan, kebebasan,
kecemasan, penderitaan, kebahagiaan, kesepian, harapan, dan sebagainya adalah persoalan
hidupm yang harus dicari jawaban atau maknanya. Persoalan-persoalan seperti itu tidak dapat
dijelaskan dalam kerangka pemikiran. Idealism Hegel terlampau abstrak, melupakan kehidupan
manusia dalam kesehariannya. Kiekegeerd pun menentang pendekatan Hegel dan berpendapat
bahwa setiap individu pada asasnya harus mempunyai keterlibatan dan komitmen tertentu pada
setiap peristiwa yang dilihat atau dialaminya, sehingga ia tidak bisa hanya berperan sebagai
seorang pengamat objektif, sekaligus sebagai actor yang berperan aktif dalam setiap apa yang
dilihat atau dialaminya itu.
Menurut Kiekegeerd fakta yang menjadi ciri pendekatan Hegel sebenarnya juga
merupakan ciri dari pendekatan para ilmuwan dari semua jenis ilmu pengetahuan. Dalam ilmu
pengetahuan “Objektivitas” merupakan salah satu criteria paling penting untuk mencapai
kebenaran ilmiah. Kesamaan lain antara filsafat Hegel dan ilmu pengetahuan terletak pada
penggunaan abstraksi atau generalisasi. Abstraksi adalah sebuah proses atau produk pemikiran
manusia yang menanggalkan ciri-ciri khusus dari kenyataan konkret dan individual, untuk
melihat ciri-ciri umumnya saja.
Menurut Kiekegeerd, sangatlah berbahaya jika objektivitas itu diterapkan pada ilmu-ilmu
tentang manusia. Kalau hukum–hukum yang umum itu kita gunakan untuk menerangkan gejala-
gejala manusiawi yang konkret dan individual, maka segala kekonkretannya dan individualitas
manusia akan lenyap tanpa bekas. Pengalaman unik dari setiap individu akan terabaikan. Maka
ia menolak segala bentuk ilmu-ilmu tentang manusia, kalau ilmu itu justru mengorbankan
keunikan dan individualitas subjek kajiannya (manusianya). Ilmu-ilmu seperti sosiologi dan
psikologi misalnya, ditentang keras , karena kedua ilmu tersebut dianggap telah, menerapkan
pola seperti itu.
Selain itu objektivitas dan individualitas juga telah menulari masyarakat luas, khususnya
dalam menilai masalah-masalah moral. Moralitas dalam masyarakat telah diobjektifkan.
“Objektivitas” dalam bidang moral tampak dari kecenderungan masyarakat untuk menerima
begitu saja tanpa kritik, norma-norma dan hukum-hukum moral yang diberlakukan secara umum.
Krieik Kierkegaard atas idealism Hegel, objektivitas ilmu, dan masyarakatnya tersebut, dilandasi
oleh keyakinan ontologisnya bahwa eksistensi manusia pada prinsipnya adalah individual,
personal, dan objektif.
Adapun kritik Kierkegaard atas sikap ideal Hegelian dan sikap objektif ilmu
pengetahuan, yang menganjurkan untuk menjadi pengamat yang objektif yang dilandasi oleh
keyakinannya bahwa manusia pada prinsipnya makhluk yang merasa dan menghendaki secra
bebas. Menurut Kierkegaard, sikap idealis dan objektif mengandaikan dominasi intelek (rasio)
manusia atas kehendak bebas dan afeksi manusia.
Tiga tahap Eksestensi Manusia
Tahap Estetis
Tahap estetis adalah tahap di mana orientasi hidup manusia sepenuhnya di arahkan untuk
mendapatkan kesenangan. Pada tahap ini manusia dikuasai oleh naluri-naluri seksual (libido),
oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonistic, dan biasanya bertindak menurut suasana
manusia estetis. Manusia estetis pun adalah manusia yang hidup tanpa jiwa. Ia tidak mempunyai
akar dan isi didalam jiwanya. Kemauannya adalah mengikatkan diri pada kecenderungan
masyarakat dan zamannya. Manusia estetis terdapat dimana saja dan kapan saja. Manusia estetis
bisa mewujud pada siapa saja , termasuk para filsuf danilmuwan, sejauh mereka antusiasme,
komitmen, dan keterlibatan tertentu dalam hidupnya.
Tahap Etis
Memilih hidup dalam tahap etis berarti mengubah pola hidup yang semula estetis menjadi
etis. Ada semacam “pertobatan” disini, di mana individu mulai menerima kebajikan-kebajikan
moral dan memilih untuk mengikatkan diri kepadanya. Prinsip kesenangan (hedonisme) dibuang
jauh-jauh dan sekarang ia menerima dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat
universal. Sudah mulai ada passion dalam menjalani kehidupan berdasarkan nilai-nilai
kemanusiaan yang dipilihnya secara bebas.
Tahap Religious
Keotentikan hidup manusia sebagai subjek atau “aku” baru akan tercapai kalau individu,
dengan “mata tertutup”, lompat dan meleburkan diri kedalam realitas tuhan. Di dalam nilai-nilai
religious bersifat murni subjektif, sehingga seringkali sulit diterima akal sehat. Tidak
mengherankan kalau sikap dan prilaku manusia religious sering dicap “tidak masuk akal”,
nyentrik, atau bahkan gila.
“Krisis ilmu pengetahuan” seperti itu, haruslah dicari jalan keluarnya. Dan untuk itu kita
memerlukan filsafat rigorous/fenomenologi. Tugas fenomenologi dalam hubungannya dengan
ilmu adalah membimbing para ilmuwan untuk memurnikan dan menjernihkan konsep-konsep
dan teori-teori ilmu pengetahuan, sedemikian rupa sehingga konsep-konsep dan teori-teori
tersebut bisa menjadi landasan yang kokoh bagi konsep-konsep dan teori-teori berikutnya.
Ada-Dalam-Dunia
Hasil penyelidikan Heidegger berikutnya memperlihatkan fakta, bahwa Dasein pada
dasarnya adalah “Ada-Dalam-Dunia”. Ada-Dalam-Dunia adalah struktur dasar mengadanya
manusia, sedimikian rupa sehingga mengadanya manusia tidak bisa lepas dari dunianya. Tidak
mungkin manusia dipisahkan dari dunianya dan sebaliknya tidak mungkin dunia dilepaskan dari
manusia yang menciptakannya.
Historisitas
Menurut Heidegger, dalam Historisitas, mengadanya manusia tidak ditentukan oleh
perjalanan waktu, seperti halnya kalau kita memahami waktu sebagai waktu objektif. Sebagai
suatu peristiwa actual, waktu historisitas hanya berlangsung dalam hubungannya dengan
mengadanya manusia dan diberi bentuk dan warna oleh manusia.
Meski tidak menyebut dirinya sebagai seorang fenomenolog, Sartre mengaku pemikirannya
banyak dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl dan Heidegger. Dari fenomenologi Husserl
paling tidak melihat dua hal penting. Pertama, pelunya menempatkan kesadaran sebagai titik
tolak unyuk kegiatan-kegiatan atau penyelidikan-penyelidikan filsafat. Kedua, pentingnya
filsafat untuk “kembali kepada relitasnya sendiri”
Beberapa Ilustrasi tentang Gejala Manusia, Hasil dari Praktek Feomenologi Eksistensial
Sartre
Imajinasi
Terdapat empat karakteristi dasar perbedaan antara imajinasi dan presepsi menurut Sartre.
Pertama, antara presepsi dan imajinasi tidak terletak pada kehadiran dan ketidakhadiran suatu
citra, melainkan pada cara terarahnya kesadran kita terhadap objek intensionalnya. Kedua,
melibatkan cara kita mengalami objek. Ketiga, imajinasi menghadirkan objeknya dengan
karakter negative, yakni sebagai sesuatu yang tidak ada. Keempat, imajinasi jauh lebih spontan,
kreatif, dan produktif dibandingkan dengan presepsi.
Emosi
Menurut teori-teori klasik tentang emosi, emosi adalah proyeksi mekanis dari kejadian-
kejadian fisiologis dalam kesadaran. Sartre memandang emosi sebagai jaringan cara-cara yang
teratur, untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Tatapan
Ciri utama dari tatapan adalah bahwa ia mempunyai akibat nyata pada kesadaran, yang
mengalaminya dirinya ditatap oleh orang lain. Fakta bahwa tatapan mampu membekukan
objeknya, bahwa tatapan mata dri seseorang mampu membuat beku orang lain yang ditatapnya,
oleh Sartre dijadikan sebagai landasan untuk menginterpretasikan relasi antar manusia sebagai
suatu konflik.
Tubuh
Dalam pengalaman sehari-hari kita tidak memperhatikan atau mengamati aktivitas otak
atau kelenjar endokrin yang bekerja dalam tubuh kita, melainkan kita mengalami tubuh sendiri
sebagai tubuh-subjek, yang meliputi tiga dimensi berikut ini
Tubuh saya bagi saya sendiri
Tubuh saya bagi orang lain
Tubuh bagi saya yang menyadari adanya dimensi kesadran orang lain akan tubuh saya.
Strukturalime bukanlah sebuah iman.melainkan suatu metode ,tidak mungkin menjadi seorang
strukturalis dengan cara yang sama seperti orang eksistensialis .strukturalime adalah sebuah metode
penyelidikan ,suatu cara pendekatan yang khas dan suatu cara-cara menguraikan data-data yang tengah
diselidiki .strukturalime muncul secara tiba-tiba pada tahun 1960 di perancis
tapi dasar-dasarnya sudah ada beberapa tahun lebih awal di luar Perancis. Apa yang terjadi di Perancis
pada tahun 1960-an adalah bahwa alat kognitif yang menjemukan itu, diubah ke dalam bentuk sebuah
slogan "strukturalisme" dan kemudian menjadi sangat menarik dan menggairahkan, untuk pertama
kalinya tercipta suatu mode inte- lektual yang kehilangan rasa keseimbangannya. Fakta bahwa struk-
turalisme berubah menjadi "strukturalisme", yang dianggap merong- rong dan sekaligus banyak
diperbincangkan, bersumber dari kejeng- kelan kepada seorang pemikir seperti Levi-Strauss, seorang
strukturalis murni, yang percaya bahwa reputasi akademisnya akan terangkat justru kalau ia menentang
kehendaknya untuk menjadi pimpinan dari pemujaan intelektual baru. Sejak itu, baik strukturalisme
mau strukturalisme", tersebar ke luar Perancis dalam skala kecil dan relatif lesu, tapi menghasilkan tidak
kurang dari beberapa akibat dan kesalahpahaman. Di satu pihak, ada yang menemukan di dalam
strukturalisme suatu wahyu suci, yang dapat membimbing kembali seluruh pendekatan yang rapat dan
ketat untuk suatu bidang studi khusus dan, di lain pihak, ada yang menemukan di dalam "strukturalisme
suatu slogan ampuh, yang dipakai untuk berlagak di hadapan lawan- awannya atau lencana keanggotaan
suatu persekutuan misterius.
Dalam perspektif seorang posmodernis yang berasal dari tradies filsafat, modernisme bisa disebut
sebagai semangat (elan) yang diandaikan ada pada (dan menyemangati) masyarakat intelektual zaman
renaissance (abad ke-18) hingga paruh pertama abad ke-20. Semangat yang dimaksud adalah semangat
untuk meraih kemajuan dan untuk humanisasi manusia. Semangat dilandasi oleh keyakinan yang sangat
optimistik dari kaum modernis akan kekuatan rasio manusia
POSMODERNISME
Melalui suatu pembacaan atau strategi yang disebut dekontruksi , para pos modernis coba menganalisis
dan menafsirkan secara kritis narasi-narasi agung modernisme .istilah dekontruksi untuk pertama
kalinya muncul dalam tulisan-tulisan Jacques derrida pada saat ia mengadakan pembacaan atas narasi-
narasi agung metafisika barat.