Anda di halaman 1dari 5

HUKUMAN

MATI DI
INDONESIA
Kontra (Kelompok 18)

Gabriella Gexabella Mayaut (205190023) Vincent Stanly (205199101)


Aurelius Hendarmin Santoso (205190214) Sendi Arrazak (205209103)
Gracia Kamarov (205190138) Sevira Elda (205190159)
HUKUMAN MATI DI
INDONESIA
Hukuman mati merupakan jenis pidana yang terberat
dibandingkan dengan pidana lainnya, karena dengan
pidana mati terenggut jiwa manusia untuk
mempertahankan hidupnya. Hukuman mati juga bentuk
hukuman keji yang memberikan efek jera kepada pelaku
kejahatan. Sayangnya hukuman ini juga melanggar hak
untuk hidup yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human
Rights (DUHAM).
DAMPAK HUKUMAN MATI

Kegagalan berpikir kritis Sangat bertentangan


atau kesalahan logika dengan Hak Asasi Manusia
berpikir masyarakat dalam baik dalam nasional maupun
menyikapi berbagai Internasional
persoalan sosial.

Orang akan memahami Pemberlakuan pidana mati


kekerasan yang dilakukan sangat bertentangan
negara merupakan dengan agama, karena yang
'kewajiban' yang patut menentukan hidup dan mati
dilaksanakan demi seseorang bukanlah
kebaikan bersama manusia
HUKUMAN MATI ! Dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup juga diatur
dalam Konstitusi Indonesia. Ketentuan ini ditegaskan dalam
Pasal 4 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

DILIHAT DARI Manusia adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak

ASPEK HUKUM
untuk tidak diperbudak.

Hukuman mati hanya diizinkan pada tindak pidana the most


serious crime (pelanggaran HAM berat). Yang terdiri dari
genosida, kejahatan kemanusiaan, kemudian agresi, dan
kejahatan perang.
( Korupsi, narkoba, dan lain-lain tidak termasuk )

Article 7 of International Convenant on Civil and Political Right


(ICCPR) menyatakan “tidak seorangpun yang dapat dikenakan
penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang keji, tidak
manusiawi atau merendahkan martabatnya”, kemudian
dikuatkan lagi oleh Protocol Opsional Kedua (Second Optional
Protocol) di atas namakan perjanjian internasional mengenai
Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan
Hukuman Mati.
Bentuk penyiksaan tidak hanya berupa penyiksaan secara fisik.
HUKUMAN MATI Namun juga secara psikologis dimana tahanan hukuman mati akan
secara tidak langsung merasakan stres akan tekanan-tekanan yang

DILIHAT DARI ada di dalam penjara sebelum waktu eksekusi datang.

Dampak psikologi yang dialami oleh terpidana mati selama


ASPEK PSIKOLOGI menantikan waktu eksekusinya sangat dalam, baik stres, depresi,
emosional, kecemasan, ketakutan, dan lain sebagainya. Disinilah
perlu adanya psikolog sebagai pendamping mereka. Selain itu
dukungan dari orang-orang terdekat juga tak kalah penting.
Dengan keberadaan psikolog yang sejajar dengan rohaniawan
serta orang terdekat, maka diharapkan terpidana mati akan lebih
siap dalam menghadapi kondisi apapun.

Untuk itu kondisi psikologis seorang terpidana mati harus tetap


diperhatikan karena kesehatan baik mental maupun fisik termasuk
dalam hak seseorang. Selain itu dengan keadaan psikologis yang
baik, terpidana mati akan mudah untuk menerima kenyataan serta
dapat berpikir dengan jernih hal-hal positif apa yang masih dapat
dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai