Anda di halaman 1dari 4

Nama : Nuha Afifah

NIM : 210910101131
Kelas : A2
Mata Kuliah : Ide dan Teori Politik

MUHAMMAD ABDUH DAN PEMIKIRAN


POLITIKNYA

A. PENDAHULUAN
Jatuhnya imperium islam seperti pada masa Utsmaniyah tidak terlepas dari
fakta bahwa saat itu kita mengalami ketertinggalan. tidak adanya pembaharuan
ataupun koneksi untuk mempelajari pemikiran barat membuat kita tersesat karena
ketertinggalan. Pandai dalam “membaca” seharusnya menjadi semangat utama
kita dalam mempelajari segala perubahan yang terjadi. Namun, tidak dipungkiri
bahwa adanya pembaharuan dan modernisasi adalah tantangan yang nyata bagi
umat islam. Tradisionalisme pemikiran dalam agama yang sakral membuat para
generasi memiliki kreatifitas yang kerdil.
Semua elemen di dunia selalu bergerak, dan perubahan zaman tidak dapat
dihindari. Adaptasi menjadi kunci utama dalam mempertahankan eksistensi.
Karena Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah diam hingga kita mengikuti
mereka, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab suci umat islam. Maka,
mempelajari dan memahami pemikiran-pemikiran barat untuk beradaptasi
bukanlah hal yang sia-sia. Namun, pemikiran yang diterima tidak lantas ditelan
secara utuh yang pada akhirnya mendorong untuk meninggalkan tradisi
keagamaannya. Meskipun tidak dapat dipungkiri, bahwa terdapat pula yang
melepas doktrin agama dalam konteks kenegaraan. Para pemikir modernisasi
islam yang pemikiran-pemikirannya patut kita telaah sebagai cermin perubahan
sekaligus menjadi warisan pemikiran menyejarah, salah satunya yaitu Muhammad
Abduh.
Muhammad Abduh adalah seseorang yang lahir di tanah Mesir pada tahun
1849 M. Abduh lahir di keluarga yang dikenal baik agama dan pribadinya di
kalangan masyarakat sekitar. Namun disisi lain, keluarga Abduh masih memegang
erat tradisi Arab Jahiliyah. Sejak kecil Abduh memiliki kehidupan yang tidak
mudah. Ayahnya yang berpoligami membuat keluarga Abduh kesulitan dalam
menjalani hidup. Hal ini juga yang akhirnya mempengaruhi pemikiran Abduh
mengenai pembaharuan serta hak-hak seorang wanita.
Abduh baru memulai pembelajarannya di luar sekolah ketika berusia 13
tahun. Sebelumnya Abduh hanya belajar di rumah bersama orang tuanya,
meskipun begitu Abduh telah berhasil menyelesaikan hafalan Al-Qur’annya
ketika masih berumur 7 tahun. Saat menginjak masa remaja Abduh bertemu
dengan Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897), seorang tokoh pembaharu Mesir
terkemuka pada abad ke-19 yang ide dan gagasannya memberi lecutan untuk
melahirkan berbagai gerakan sosial-politik di dunia islam.. Afghani kemudian
mengenalkan Abduh pada dunia filsafat dan teologi, beliau juga yang
mengenalkan bagaimana tafsir yang baik dan lebih rasional kepadanya. Abduh
bersama gurunya Afghani mengasuh sebuah media surat kabar yang mereka
sengaja sebagai media pembaharuan. Lewat Afghani, Abduh tidak hanya
mempelajari persoalan keagamaan, namun juga menjangkau hingga ilmu sosial-
politik.

B. PEMBAHASAN
Runtuhnya imperium islam yang diikuti dengan semakin kuatnya kejayaan
Eropa mendorong para pemikir ini untuk berupaya melakukan pembaharuan.
Perjuangan panjang dalam membangkitkan kesadaran umat terhadap dominasi
barat, mempropaganda masyarakat agar menentang penguasa yang bersekongkol,
dan intervensi asing merupakan beberapa contoh lika-liku yang dihadapi
Muhammad Abduh selama ikut berjuang bersama guru sekaligus sahabatnya itu.
Dalam hal politik, Abduh lebih dipandang moderat daripada Afghani.
Menurutnya, organisasi politik bukanlah sesuatu yang ditetapkan ajaran islam,
namun oleh situasi dan kondisi tertentu, melalui musyawarah. Dengan begitu
pemikiran Abduh lebih menekankan kebebasan dalam menentukan negara yang
berbentuk khalifah ataupun negara dengan demokratisasi seperti yang ada di barat.
Bagi Abduh, kebebasan politik dan kebebasan berorganisasi adalah hal yang
paling penting. Yang kemudian disebut dengan kebebasan Insaniyyah untuk
menentukan pilihan. Tentunya hal ini harus dilakukan umat islam secara sadar
setelah keluar dari pusaran dogmatisme islam, atau menurut bahasa Abduh adalah
reformasi islam. Dalam perjuangannya ini Abduh tidak memakai cara konfrontatif
seperti yang telah dilakukan gurunya, Afghani dulu. Maka, gerakan yang
dilakukan Abduh dipandang sebagai evolutif bukan gerakan revolusioner.

Dalam menentukan kepemimpinan, Abduh tegas menyatakan bahwa islam


mengenal pemimpin sipil (hakim madany). Menurut Abduh, pemimpin ini terikat
pada hukum yang tidak ia kuasai, dan didudukan maupun diturunkan dari
jabatannya oleh orang yang mengawasinya. Seorang pemimpin dalam pandangan
Abduh harus memiliki sifat adil, bahkan baginya pemimpin diktator-pun tidak
menjadi persoalan selagi dia adil. Pemikiran yang dibawa Abduh ini terkesan
sedikit ekstrim dan berbeda dari paham agama yang diwariskan turun-temurun
oleh umat islam.
Dalam hal kekuasaan menurut Abduh perlu adanya konstitusi yang jelas,
agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Maka dari itu Abduh mengusulkan
prinsip musyawarah untuk kehidupan yang lebih demokratis. Dan dalam urusan
pemerintahan, diperlukan adanya desentralisasi dan pemberian kebebasan kepada
institusi-institusi terkait secara administratif. Sebagaimana bentuk pemerintahan
konvensional, Abduh mengusulkan yang sama: Tasyri’iyah (legislatif),
Tanfidziyah (eksekutif), Qadariyah (yudikatif). Dan selanjutnya setiap hasil
kebijakan diparipurnakan melalui Majelis as-Syura (MPR) untuk kemudian
dilaksanakan. Dalam sistem pemerintahan perlu adanya perubahan aturan dan
undang-undang dari yang lama dengan yang baru. Hal ini dilakukan demi
terciptanya keselarasan, melihat kondisi sosial-politik yang selalu menuntut
perubahan. Dan semua itu menurut Abduh dapat terlaksana dengan upaya
pendidikan untuk meninggalkan tradisi taqlid atau memegang suatu hukum agama
dengan tidak mengetahui keterangan maupun alasannya.

C. KESIMPULAN
Pemikiran Muhammad Abduh merefleksikan sebuah gagasan masa depan
dalam menyelesaikan permasalahan yang ada dalam umat islam. Dengan
pemikiran-pemikirannya tersebut menekankan bahwa umat islam tidak seharusnya
berdiam diri pasrah atas hasil olah pikir masa lalu. Kita diperintahkan untuk selalu
berpijak kepada Al-Qur’an dan hadist dengan mendalami makna-makna di
dalamnya untuk kemudian menghasilkan pemikiran yang tepat sesuai dengan
kepentingan zaman. Produk pemikiran masa lalu lantas tidak disingkirkan maupun
menjadi sebuah belenggu, namun sebagai pijakan dalam memproduksi produk-
produk pemikiran baru agar tepat dan benar-benar bermaslahat bagi umat. Abduh
telah melahirkan pemikiran yang brilian, bahkan tidak takut dianggap bid’ah dan
berpikiran objektif. Perbedaan pada simpul hukum tidak dinilai sebagai
pembangkangan, namun sebagai gerakan untuk menyempurnakan hukum sesuai
kebutuhan pada setiap zaman.

Anda mungkin juga menyukai