Anda di halaman 1dari 82

Modul Pelatihan

MENJADI
ORANG TUA
KEKINIAN

Wahana Visi Indonesia x HIMPSI


Menjadi Orang Tua
Kekinian
Modul menjadi orang tua yang dapat menyesuaikan cara pengasuhan sesuai
dengan perubahan zaman serta Perlindungan Anak dalam Rangka kampanye
penghapusan Kekerasan terhadap anak.

Tim Penulis :
1. Anrilia E M Ningdyah, Ph.D., Psikolog
2. Dr. Endang Parahyanti, M.Psi., MM, Psikolog
3. Don Ozzy Rihhandini, M.Psi., Psikolog
4. Arif Halvireski, M.Psi., Psikolog

Desain :
1. Arif Halvireski, M.Psi., Psikolog
2. Don Ozzy Rihhandini, M.Psi., Psikolog

Modul ini dikembangkan tahun 2022 dan didesain di tahun 2022


Dokumen ini bebas untuk diperbanyak dan diterjemahkan sebagian maupun
keseluruhannya, namun tidak dapat diperjualbelikan maupun digunakan untuk tujuan
komersil.
Kata Pengantar
Pada era digital saat ini, tidak dapat dihindari anak terpapar media digital dan internet. Penggunaan
teknologi digital untuk anak harus sesuai dengan usia mereka. Mereka harus dihindari dari konten-
konten yang mengandung unsur kekerasan, seksualitas, penyimpangan gender, bahasa-bahasa yang
negatif dan konten lainnya yang dapat berdampak buruk bagi tumbuh kembang mereka termasuk
mengalami kekerasan seksual. Data Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR)
2021 yang dilakukan kepada perempuan dan laki-laki usia 18-24 tahun, menjelaskan bahwa terdapat
4,23% laki-laki dan 8,59% perempuan di perkotaan serta 3,94% laki-laki dan 4,92% perempuan di
pedesaan pernah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk apapun sebelum usia 18 tahun.
Dampak kekerasan seksual pada anak dapat mengakibatkan anak mengalami rasa takut, rasa tidak
aman, gelisah, dendam, menurunnya semangat belajar, hilangnya konsentrasi, menjadi pendiam,
mental menjadi lemah, menurunnya rasa percaya diri, kerusakan saraf, trauma, bahkan depresi yang
akan mengarah pada bunuh diri.

Masalah kekerasan seksual ini memerlukan upaya pencegahan dan penanganan yang komprehensif.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melalui arahan Presiden telah
melakukan upaya melalui 5 (lima) Program Prioritas, diantaranya yaitu peningkatan peran ibu dan
keluarga dalam pendidikan atau pengasuhan anak serta pencegahan kekerasan terhadap anak. Selain
arahan Presiden juga amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, dimana telah menekankan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Tantangan menjadi orang tua saat ini memang tidak mudah, banyak tantangan seiring dengan era
digitalisasi yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. Orang tua sebagai komponen yang pertama
dan utama dalam mendidik dan mengasuh anak khususnya dalam memberikan bimbingan,
pendampingan, dan pengawasan terhadap anak di era digital diharapkan dapat memenuhi hak anak
agar terbebas dari kekerasan dan memberikan pengasuhan yang layak, yaitu pengasuhan berbasis
hak anak. Berdasarkan hal itulah sangat diperlukan panduan bagi orang tua untuk menjawab
tantangan untuk menjadi orang tua yang diidolakan anak zaman sekarang yaitu menjadi orang tua
kekinian.

Apresiasi kepada Wahana Visi Indonesia dan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) yang telah
menyusun modul pelatihan bersama Kemen PPPA yaitu "Modul Pelatihan Menjadi Orang Tua
Kekinian” , hal ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi Dinas PPPA di Daerah maupun pemangku
kepentingan lainnya yang mempunyai target keluarga dapat meningkatkan kapasitas orang tua untuk
mengasuh anak sesuai dengan perubahan zaman. Anak terlindungi, Indonesia maju.

Jakarta, 19 Mei 2023


Plt. Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI

Rini Handayani
ii
Kata Pengantar
Assalamu'alaikum Wr. Wb., Shalom, Om Swastiastu, Namo Budaya, Salam
Kebajikan. Salam Sejahtera bagi kita semua.

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan dan rasa gembira, Wahana Visi Indonesia
merayakan kerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, serta Himpunan Psikolog Indonesia dalam menghasilkan modul-
modul bagi anak dan orangtua dalam mencegah dan merespon kekerasan seksual
terhadap anak, dengan judul “Anak Siap dan Tidak Takut” dan “Menjadi Orang Tua
Kekinian”.

Modul-modul ini berbasis riset yang dilakukan pada anak dan orang tua dari
berbagai wilayah termasuk DKI Jakarta, Kabupaten Kubu Raya, Landak, Sambas dan
Bengkayang di Provinsi Kalimantan Barat, Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan
Parigi Mountong di Provinsi Sulawesi Tengah, serta Kabupaten Halmahera Timur di
Provinsi Maluku Utara. Modul-modul ini juga telah mendapatkan tinjauan dari anak
dan orang tua dari wilayah tersebut sebelum difinalisasi.

Besar harapan kami agar kedua modul ini dapat menjadi rujukan bagi semua pihak
untuk mewujudkan perlindungan anak dari kekerasan seksual. Untuk memudahkan
agar pesan-pesan perlindungan anak sampai kepada anak dan orang tua, modul ini
juga dilengkapi dengan media audiovisual.

Wahana Visi Indonesia berharap, dengan meningkatnya pengetahuan serta


ketrampilan anak dan orang tua setelah mengikuti pelatihan dengan modul ini, maka
sikap dan perilaku mereka berubah untuk dapat [BSC1] mencegah anak mengalami
kekerasan seksual dan dapat merespon dengan tepat bila anak mengalami
kekerasan seksual. Mari bersama kita wujudkan visi menghapus kekerasan seksual
terhadap anak dengan melindungi setiap anak laki-laki dan perempuan.

Jakarta, Maret 2023

Angelina Theodora
Direktur Nasional
Wahana Visi Indonesia
Kata Pengantar
Dr. Andik Matulessy, M.Si, Psikolog
Ketua Umum PP HIMPSI
Sebagaimana diketahui kejahatan seksual anak sudah menjadi isu strategis yang harus
dicermati oleh utamanya pemerintah pusat sampai dengan daerah, organisasi profesi,
komunitas psikologi, lembaga pemerhati anak, aparat penegak hukum, dan kalangan
perguruan tinggi. Isu tersebut menjadi hal yang penting, karena laporan tentang adanya
kekerasan pada anak yang dari tahun ke tahun meningkat. Berdasarkan Simfoni PPA (Sistem
Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) sepanjang 2019-2022, terjadi
peningkatan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan maupun anak. Angka laporan
kasus kekerasan terhadap anak tercatat meningkat dari 11.057 pada 2019, 11.278 kasus
pada 2020, dan menjadi 14.517 kasus pada 2021. Jumlah korban kekerasan terhadap anak
juga meningkat dari 12.285 pada 2019, 12.425 pada 2020, dan menjadi 15.972 pada tahun
2021. Pada tahun 2022 ada 21.241 anak yang menjadi korban kekerasan. Kekerasan tersebut
tidak hanya secara fisik, namun juga psikis, seksual, penelantaran, perdagangan orang hingga
eksploitasi. Kondisi ini menggambarkan bahwa Indonesia seharusnya berada dalam kondisi
kedaruratan kekerasan seksual anak. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, apalagi Presiden
Republik Indonesia dalam arahan kepada Kementerian Permberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak menekankan 5 arahan penting, yakni : Peningkatan Pemberdayaan
Perempuan dalam Kewirausahaan; Peningkatan Peran Ibu dalam Pendidikan Anak;
Penurunan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak; Penurunan Pekerja Anak dan
Pencegahan Perkawinan Anak.

Oleh karena itu intervensi dari berbagai pihak untuk meningkatkan kesadaran pencegahan
kekerasan sesksual menjadi bagian penting dalam kehidupan keluarga. Hal tersebut karena
keluarga adalah penentu untuk memastikan bahwa anak selalu dalam kondisi sehat fisik,
psikologis, sosial dan religi agar tercapai tumbuh kembang optimal pada anak. Pengalaman
buruk di masa kecil bagi anak akan berdampak berat dalam masa depannya nanti. Sudah
selayaknya orang tua untuk berperan lebih besar dalam pengasuhan anak dalam membangun
komunikasi dan kepercayaan, menjadi tempat awal mendapatkan informasi, dan
mengarahkan untuk menjadi menjadi pribadi yang mandiri dan kompeten. Optimalisasi peran
tua menjadi startegis pula dalam mencegah adanya kekerasan pada anak.

Dalam konteks itulah Wahana Visi Indonesia (WVI) bersama Himpunan Psikologi Indonesia
melakukan kajian mendalam sebagai upaya penghapusan terhadap kekerasan anak. Modul
Pelatihan “Menjadi Orang Tua Kekinian” yang disusun bersama antara WVI dan HIMPSI
diharapkan menjadi jawaban terhadap perlindungan anak dalam era digitalisasi ini. HIMPSI
sebagai Induk Organisasi Profesi selalu berkomitmen untuk menjadi penggerak bagi
tercapainya perlindungan anak dan optimalisasi tumbuh kembang anak menuju generasi
emas di tahun 2045.Terima kasih kepada Wahana Visi Indonesia yang telah menjadi
inisiator utama dalam penyusunan Modul Pelatihan ini dan tentunya Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang telah membuat kebijakan-
kebijakan penting dalam perlindungan anak.
Daftar Isi
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Bahan Digital iv
Siapakah Anak? v
Tahukah Anda? vi
Apakah Anak Masa Kini Berbeda? viii
Bab 1 Pengasuhan yang Baik (Good Parenting) 1
A. Mengenali Pengasuhanku 2
B. Bagaimana Emosi Memengaruhi Pengasuhan 8
C. Komunikasi untuk Pengasuhan 14
D. Ibu & Ayah, Bagaimana Kita Bekerja Sama? 17
E. Apa yang Menghalangi Pengasuhanku? 21

Bab 2 Seks & Seksualitas 27


A. Hubungan Sehat antara Laki-Laki dan Perempuan,
Perempuan & Perempuan, Laki-Laki & Laki-Laki 28
B. Mengenalkan Seksualitas kepada Anak 32
C. Jenis Kekerasan Seksual yang Mungkin Terjadi 36

Bab 3 Pencegahan dan Penanganan 44


A. Mencegah Terjadinya KSA 45
B. Peran Orang Tua dalam Teknologi 48
C. Karakter Anak yang Berisiko Menjadi Pelaku Kekerasan
Seksual 50
D. Tanda Anak Menjadi Korban Kekerasan Seksual 53
E. Hambatan dalam Melindungi Anak dari Kekerasan
Seksual 55
F. Psychological First Aid 57

iii
Bahan Digital

Video Materi
A. 6 Langkah Psychological First Aid 1
B. Jenis Kekerasan Seksual & UU
https://drive.google.com/drive/folders/1UrpyYq6B9
tOj0_e_ja_VAz5axBLMxMx6?usp=share_link

iv
Siapakah Anak?
Anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan (Undang-undang Nomor 35 tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak). Anak juga memiliki 10 hak yang harus
dipenuhi oleh orang tua dan negara. yang tertuang dalam Konvensi
Hak-Hak Anak PBB pada tanggal 20 November 1989. Konvensi ini juga
disahkan dalam Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990.

Hak Untuk Bermain Hak mendapatkan Pendidikan Hak untuk Makan

Hak mendapatkan identitas Hak mendapatkan Hak mendapatkan akses


perlindungan kesehatan

Hak mendapatkan Hak mendapatkan Hak mengambil peran


Hak berekreasi Kesamaan Kewarganegaraan membangun negara

v
Tahukah Anda?
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemenppa)
mencatat sebanyak 668 perempuan dan 99 laki-laki menjadi korban
kekerasan seksual pada tahun 2023 ini. Tindakan kekerasan seksual dapat
terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari perkosaan pada anak hingga
perkawinan anak. Perkawinan anak akan "memaksa" anak untuk melakukan
hubungan seksual dan dewasa sebelum waktunya. Dampak yang dirasakan
anak juga tidaklah ringan. Trauma dan stress dapat memengaruhi
perkembangan kognitif anak, organ reproduksi yang belum berkembang
sempurna dapat menyebabkan pendarahan internal, kerusakan organ internal,
risiko mengidap penyakit menular seksual, hingga kematian. Secara sosial
anakpun akan menghadapi risiko dikucilkan oleh masyarakat.
Begitu banyak dampak negatif yang dapat dialami anak akibat kekerasan
seksual. Modul ini menjadi sarana bagi para orang tua dan dewasa lainnya
untuk memahami perkembangan anak hingga berperan menjadi agen untuk
mencegah serta menangani kekerasan seksual pada anak.

668 Korban Perempuan 99 Korban Laki-laki

Usia 13-17 tahun sebanyak 29.9% Usia 13-17 tahun sebanyak 38.9%

Usia 6-12 tahun sebanyak 14.7% Usia 6-12 tahun sebanyak 29.7%

Pelajar SMA sebanyak 31.7 % Pelajar SMA sebanyak 21.8 %

Pelajar SMP sebanyak 21.8% Pelajar SMP sebanyak 22.4 %

Pelajar SD sebanyak 17.2% Pelajar SD sebanyak 26.6 %

Sumber Bacaan :
https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan
https://law.ui.ac.id/bahaya-dampak-kejahatan-seksual/
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/04/17062911/kemenpppa-797-anak-jadi-korban-kekerasan-seksual-
sepanjang-januari-2022
https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/71ad6-buku-ktpa-meneg-pp-2017.pdf

vi
Tahukah Anda?
Mengapa kekerasan seksual pada anak dapat terjadi?

Sebelum kita melangkah lebih jauh membahas kekerasan seksual pada anak,
penting untuk kita pahami apa itu kekerasan. Kekerasan dipahami sebagai
suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk mempertahankan kuasa dan
kontrol terhadap individu. kekerasan terhadap anak menurut WHO
mencakup semua bentuk perlakuan yang salah baik secara fisik dan/atau
emosional, seksual, penelantaran, dan eksploitasi yang berdampak atau
berpotensi membahayakan kesehatan anak, perkembangan anak, atau harga
diri anak dalam konteks hubungan tanggung jawab. Kekerasan seksual
terhadap anak mencakup beberapa hal seperti menyentuh anak yang
bermodus seksual, memaksa hubungan seksual, memaksa anak untuk
melakukan tindakan secara seksual, memperlihatkan bagian tubuh untuk
dipertontonkan, prostitusi dan eksploitasi seksual, dan lain-lain.

Mengapa kekerasan seksual dapat terjadi?


Kerentanan anak menjadi korban kekerasan seksual disebabkan karena anak
dianggap sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya serta masih
membutuhkan bantuan orang dewasa.

Sumber Bacaan :
hhttps://www.kompas.tv/article/209130/definisi-kekerasan-seksual-ke-anak-dan-kenapa-mereka-rentan-menjadi-
korban#:~:text=Menurut%20Nia%2C%20anak%20rentan%20menjadi,dewasa%20yang%20ada%20di%20sekitarnya.
https://mediaindonesia.com/opini/520773/kekerasan-seksual-pada-anak-kenali-dan-
cegah#:~:text=Salah%20satu%20faktor%20yang%20menyebabkan,kepada%20anak%20masih%20dianggap%20tabu

vii
Apakah Anak Masa Kini Berbeda?
Saat ini dunia digital berkembang sangat cepat. Teknologi tidak hanya
digunakan oleh orang dewasa namun anak-anak juga terpapar oleh
keberadaan teknologi ini. Sering kali kita menjumpai anak yang menggunakan
handphone/tablet di rumah, sekolah maupun di tempat bermain. Kita tidak
lagi merasa heran menemukan anak mengupload sebuah konten di media
sosial Tiktok, Instagram, Youtube atau lainnya. Meskipun sejumlah media
sosial telah membatasi usia pengguna yakni 13 tahun, tetap saja anak
sebelum usia ini cukup tergoda untuk memiliki akun media sosial.

Kelompok usia 9-12 Kelompok usia 13-18

Tahap remaja Awal Tahap remaja akhir

Berusaha untuk lebih mandiri dan


Tidak terlalu tergantung pada orang privasi dan sering beralih ke media sosial
tua sebagai sarana berekspresi dan untuk
koneksi sosial mereka sendiri.

Mulai mengenali emosi & dapat Mengeksplorasi dan bereksperimen


menyembunyikan sejumlah emosi untuk membangun keterampilan

Memiliki rasa ingin tahu yang tinggi Mengembangkan kapasitas berpikir


kritis

Oleh karena anak pada usia ini sudah mulai mandiri dan memiliki rasa ingin
tahu yang tinggi ditambah ada keinginan untuk mengeksplorasi lingkungan
luar mereka akan lebih mudah mengakses media sosial yang dapat
memberikan banyak manfaat membentuk jaringan pertemanan yang memiliki
kesamaan minat. Namun disamping itu media sosial dapat membawa tekanan
atau beban bagi remaja (misalnya dalam kasus cyber-bullying - perundungan di
media sosial), kekerasan seksual online, sexting/pesan teks bernada seksual,
pornografi dan lainnya). Oleh karena paparan digital yang dapat memberikan
manfaat dan juga potensi bahaya, pengasuhan anak di era digital masa kini
dapat menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dan pengasuh. Oleh karena
itu, orang tua perlu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dan
perkembangan anak saat ini.

viii
1
Pengasuhan yang Baik
(Good Parenting)
Pada modul ini peserta akan dibekali pengetahuan untuk
menyesuaikan cara pengasuhan sesuai dengan kondisi saat
ini termasuk didalamnya pola pikir pengasuhan masa kini,
pengelolaan emosi dalam pengasuhan, dan cara pengasuhan
melalui komunikasi. Tujuan dari bab ini adalah
meningkatkan keterampilan orang tua dalam pengasuhan
anak sesuai perubahan zaman.

Durasi : 150 menit


Topik Bahasan :
1. Mengenali Pengasuhanku
2. Bagaimana Emosi Memengaruhi Pengasuhan
3. Komunikasi untuk Pengasuhan
4. Ibu dan Ayah, Bagaimana Kita Bekerja Sama?
5. Apa yang Menghalangi Pengasuhanku?
A. Mengenali Pengasuhanku
Waktu : 30 - 40 Menit (15 menit Aktivitas 1 + 15 menit Materi)
Metode : Diskusi & Ceramah
Sasaran Pembelajaran :
a. Peserta mengetahui pola pengasuhan era saat ini
b. Peserta memiliki pola pikir pengasuhan sesuai era teknologi

Sebelum mengetahui bagaimana pola asuh yang sesuai dengan era digital sat
ini, mari cari tahu terlebih dahulu gaya pengasuhan yang telah anda lakukan
saat ini melalui aktivitas berikut :

Aktivitas 1 : Mengenali Pola Asuhku


Waktu : 10 Menit
Metode : Gambar dan Diskusi
Langkah :
1. Fasilitator akan menyajikan 5 gambar terkait pola asuh orang tua.
2. Peserta/orang tua diminta untuk memilih salah satu dari gambar yang
ditampilkan.
3. Fasilitator akan menyampaikan "silahkan pilih salah satu dari kelima
gambar yang diberikan, gambar mana yang paling sesuai dengan diri anda
dalam mengasuh anak anda"
4. Setelah peserta/orang tua memilih, Fasilitator akan meminta 2-3 orang
(dapat disesuaikan) untuk :
a. Menceritakan alasan pemilihan gambar tersebut?
b. Memberikan contoh pengalaman sesuai dengan gambar yang telah
dipilih?
c. Meminta pendapat apakah menurut orang tua hal tersebut masih
sesuai untuk diterapkan saat ini?
d. Meminta pendapat apakah kondisi yang mungkin berbeda sehingga
orang tua tidak lagi dapat melakukan hal tersebut?
5. Fasilitator membimbing seluruh peserta untuk melakukan debriefing

2
Berikut gambar yang akan ditampilkan oleh fasilitator :

Catatan :
Pemberian stimulus berupa gambar dapat menyesuaikan dengan metode
pelatihan (online atau offline), jika pelatihan online dapat ditampilkan dalam
satu slide berupa kelima gambar tersebut. Jika pelatihan dilakukan secara
offline/tatap muka dengan jumlah peserta sedikit, fasilitator dapat membuat
setiap gambar dalam bentuk kartu-kartu menyesuaikan dengan jumlah
peserta. Jika pelaihan tatap muka dalam skala besar dapat menggunakan
metode yang sama dengan pelatihan secara online/daring.

3
Debriefing :

1. Fasilitator menjelaskan jenis pengasuhan pada masing-masing gambar


(gambar dengan keterangan judul pengasuhan dan penjelasan masing-
masing pengasuhan terlampir)
2. Fasilitator meminta pendapat orang tua terkait penjelasan yang diberikan
3. Fasilitator menjelaskan jenis pengasuhan tradisional dan contoh
perilakunya dan bagaimana bentuk perilaku pengasuhan yang sama jika
diterapkan di era digital
4. Fasilitator bersama orang tua mendiskusikan pola pengasuhan yang tepat
untuk diterapkan di era digital
5. Fasilitator dan orang tua mendiskusikan langkah yang akan dilakukan
untuk menyesuaikan pola pengasuhan era digital
6. Fasilitator menyimpulkan orang tua di era digital yang baik seperti apa
sesuai panduan (orang tua digital) dan membandingkannya dengan
langkah yang telah disusun pada nomor 5

4
Lampiran untuk Fasilitator

Authoritarian/Orang Tua Otoriter :


Contoh : Sering mengkritik anak dan minim memberikan
pujian, membuat keputusan apa yang harus dilakukan
anak, memarahi anak ketika salah namun tidak
memberikan penjelasan mengapa perilaku tersebut salah

Orang Tua Otoriter Digital Otoriter

Orang tua memberikan akses teknologi


Banyak memberikan tuntutan kepada
kepada anak dengan aturan yang ketat
anak namun sedikit memberikan
namun tidak memberikan arahan dan
pengasuhan dan masukan kepada anak
pengawasan lebih lanjut

Authoritative/Orang Tua Otoritatif :


Contoh : Mendengarkan anak, berdiskusi dengan anak
sebelum mengambil keputusan, menerapkan disiplin,
menjelaskan mengapa suatu perilaku boleh dan tidak boleh
dilakukan

Orang Tua Otoritatif Digital Otoritatif

Orang tua memberikan akses teknologi


Orang tua memberikan tuntutan kepada kepada anak dan disertai pemberian
anak dan juga responsif terhadap penjelasan serta menekankan
kebutuhan dan pengawasan anak keamanan serta waktu penggunaan
teknologi kepada anak

5
Helicopter Parent :
Contoh : Mencek tugas anak secara konsisten, selalu
mengingatkan anak untuk mengumpulkan tugas,
menentukan siapa yang boleh menjalin pertemanan dengan
anak

Orang Tua Helicopter Digital Helicopter

Orang tua selalu mengawasi anak untuk Orang tua memberikan aturan tambahan
menjaga mereka dari bahaya (tidak bahkan kontrol orang tua dan
membiarkan anak merasa sedih, kecewa, mengawasi dengan ketat untuk
gagal dan lainnya) melindungi anak dari bahaya online

Permissive Parent :
Contoh: menuruti semua keinginan anak, menyetujui
semua keputuasan anak, memperbolehkan anak melakukan
apapun yang mereka inginkan

Orang Tua Permissive Digital Permissive

Orang tua sangat responsive terhadap Orang tua mendorong anak untuk
kebutuhan anak namun tidak banyak mengakses teknologi sesuai yang
memberikan arahan dan aturan kepada diinginkan anak dan memberikan arahan
anak jika anak meminta

Lawnmower parent :
Contoh : Mengerjakan PR anak, melakukan tugas-tugas yang
seharusnya dikerjakan oleh anak.

Orang Tua Lawnmower Digital Lawnmower

Orang tua sangat terlibat untuk


Orang tua "membersihkan" semua "membersihkan" semua ketidaknyamanan
hambatan dihadapan anaknya teknologi dibandingkan membantu anak
membentuk resiliensi anak
6
Bagaimana Menjadi
Orang Tua Digital?
Setiap gaya pengasuhan punya kelebihan dan kekurangannya masing-
masing. Namun sebagai orang tua dan pengasuh dapat mengadaptasi
dari setiap karakteristik tersebut yang dianggap tepat dan
mengaplikasikannya dalam pengasuhan anak
Menjadi orang tua digital yang positif :

1. Berkomunikasi dan memberikan pemahaman kepada anak sisi


baik dan buruk teknologi (internet)
2. Menunjukkan minat dan terlibat dalam aktivitas penggunaan
teknologi (internet) pada anak
3. Melindungi anak secara aktif dalam dunia teknologi (internet)
4. Mengarahkan dan mengawasi anak dari paparan bahaya internet

Bagaimana Anda menjadi orang tua digital? Salah satu nya


dengan cara membangun kedekatan dengan anak secara
emosional dan komunikasi.

7
B. Bagaimana emosi memengaruhi pengasuhan
Waktu : 30 - 40 Menit (15 menit Aktivitas 2 + 15 menit Materi)
Metode : Video & Ceramah
Sasaran Pembelajaran :
1. Peserta mengenali emosi yang terlibat dalam pengasuhan
2. Peserta mampu memberikan respon emosi yang sesuai dengan situasi

Setelah mengetahui bagaimana pola asuh yang sesuai dengan era digital sat
ini, selanjutnya mari cari tahu bagaimana cara mengelola emosi dalam
pengasuhan anak melalui aktivitas berikut :

Aktivitas 2 :
Waktu : 10 Menit
Metode : gambar
Langkah :
1. Fasilitator menampilkan menampilkan sejumlah gambar
2. Fasilitator menanyakan kepada peserta apa kira-kira yang terjadi pada
gambar tersebut. Jika peserta merasa gambar tersebut mirip, mintalah
peserta untuk memberikan jawaban yang berbeda. Biarkan peserta
menggunakan imajinasi mereka.
3. Fasilitator menanyakan kepada peserta apa yang akan mereka lakukan jika
berada dalam situasi tersebut beserta alasannya (dapat dibatasi dengan 2-3
orang peserta)
4. Fasilitator menjelaskan sejumlah parenting style/cara pengasuhan
berdasarkan emosi
5. Fasilitator dan peserta mendiskusikan style/cara pengasuhan mana yang
lebih tepat untuk diterapkan

8
....

.....

.....

.....

9
Pengelolaan psikologis orang tua seperti emosi akan berpengaruh besar pada
perkembangan emosional anak seperti rasa malu, rasa bersalah, rasa cemas,
rendahnya harga diri. Orang tua yang memberikan kehangatan dan responsif
terhadap emosi anak akan membuat anak merasa memiliki dukungan sosial
ketika mereka merasakan tekanan emosi. Sebaliknya jika orangtua tidak
responsif dapat membuat anak membentuk perasaan tidak aman, kesepian
bahkan depresi.
1. The Dismissing Parent/Orang Tua yang
Menolak
Ciri:
Mengabaikan perasaan anak, dan gitu aja nangis!
menilai perasaan tersebut hal yang nanti sakitnya juga hilang
tidak penting atau sepele.
Ingin emosi negatif anak
menghilang dengan cepat.
Melihat emosi anak sebagai
tuntutan untuk memperbaiki
sesuatu.
Meremehkan peristiwa yang
menyebabkan emosi tersebut.
Tidak membantu memecahkan
masalah dengan anak, tetapi
meyakinkan mereka bahwa waktu
akan menyelesaikan sebagian besar
masalah.

Pengaruhnya pada anak : Anak akan belajar bahwa perasaan mereka salah,
tidak pantas, serta berfikir ada sesuatu yang salah dengan diri mereka karena
perasaan mereka sehingga nantinya akan selalu kesulitan mengatur emosi
mereka sendiri.

10
2. The Disapproving Parent/Orang Tua yang
Tidak Setuju
Ciri:
Berhenti nangis! Luka kecil aja
Selalu mengkritik ekspresi emosional nangis! Kamu udah gede, ngga
anak. ada gunanya nangis!

Meyakini bahwa emosi negatif perlu


dikendalikan.
Menganggap bahwa emosi membuat
orang lemah dan meyakinkan anak-anak
harus kuat secara emosional untuk
bertahan hidup.
Menekankan bahwa anak harus
menyesuaikan standar perilaku yang
dianggap baik oleh orang tua.
Percaya bahwa emosi negatif tidak
produktif, buang-buang waktu.

Pengaruhnya pada anak : Sama dengan anak-anak dengan The Dismissing


Parent.

3. Laissez-Faire Parent (Biarkan Terjadi)


Ciri:
Menerima semua ekspresi emosional Ngga apa-apa. Teruskan saja
nangisnya.
dari anak dengan bebas.
Memberikan sedikit arahan bagaimana
seharusnya anak berperilaku
Tidak menetapkan batasan bagi anak.
Merasa bahwa satu-satunya cara untuk
menangani emosi negatif adalah dengan
dengan melepaskannya maka semua
masalah akan selesai.
Tidak membantu anak memecahkan
masalah.

Pengaruhnya pada anak: Mereka tidak belajar mengatur emosi mereka. Ini
menyebabkan mereka juga sulit bergaul dengan anak-anak lain dan menjalin
persahabatan.

11
4. Emotion Coaching Parent/Orang
Tua sebagai Pelatih Emosi
Ciri:
Menghargai emosi negatif anak Kamu sedih? Kenapa? Cerita
sebagai kesempatan untuk sama mama

membangun kedekatan.
Menyadari emosi negatif sebagai
bagian dari proses pengasuhan
Tidak meremehkan dan memandang
sepele perasaan negatif yang
dirasakan anak
Tidak memaksakan bagaimana anak
seharusnya merasakan emosi
Menggunakan situasi emosional sebagai kesempatan untuk
mendengarkan anak, memberikan perhatian melalui kata-kata dan
perlakuan, membantu anak mengenali emosi yang mereka rasakan,
menawarkan bantuan untuk mengarahkan anak mengatasi emosi,
memberikan batasan ekspresi emosi seperti apa yang dapat diterima dan
membantu pengembangan kemampuan pemecahan masalah pada anak.

Pengaruhnya pada anak : Mereka belajar memercayai perasaan mereka,


mengatur emosi mereka sendiri, dan memecahkan masalah. Mereka memiliki
harga diri yang tinggi, belajar dengan baik, dan bergaul dengan orang lain
dengan baik.

12
Setelah kita telah mengenali beberapa tipe emosi orang tua, emotion coaching
parent dapat menjadi tipe yang tepat untuk diterapkan dalam mengasuh anak.
Bagaimana caranya?

Cara menjadi Emotion Coaching Parent :

Peka terhadap perubahan emosi anak Anda


Kenali dan pahami ekspresi emosi anak anda dan manfaatkan sebagai
sara untuk membangun kedekatan dengan mereka.
Dengarkan dan pastikan dengan empati perasaan anak Anda.
Bantu anak Anda untuk belajar mengetahui dan memaknai emosi mereka
Tetapkan batasan Anda dalam membantu menyelesaikan permasalahan
anak

Akan tetapi, sebelum mampu untuk menerapkan emotion coaching parent,


orang tua perlu untuk mengetahui cara mengendalikan emosi sendiri, caranya :
1. Atur pernapasan : https://www.youtube.com/watch?v=Wemm-i6XHr8
2. Relaksasi otot tubuh : https://www.youtube.com/watch?
v=ClqPtWzozXs&t=72s
3. Bayangkan hal yang menyenangkan : https://www.youtube.com/watch?
v=TWI639oEzmE

13
C. Komunikasi untuk Pengasuhan
Waktu : 30 - 40 Menit (15 menit Aktivitas 3 + 15 menit Materi)
Metode : Video & Ceramah
Sasaran Pembelajaran : Peserta mampu mengasah komunikasi
efektif dengan anak untuk membangun kepercayaan dan kedekatan

Setelah mengetahui dan mampu mengendalikan emosi serta tahu peranan


emosi dalam pengasuhan anak, menjadi orang tua juga membutuhkan
kemampuan komunikasi agar anak dapat percaya dan membangun kedekatan
dengan orang tua.

Aktivitas 3 :
Waktu : 15 Menit
Metode : Gambar & Diskusi
Langkah :
1. Fasilitator memberikan sebuah situasi dan gambar kepada peserta
2. Peserta diminta melanjutkan situasi tersebut dan menjelaskan alasan dari
pendapatnya
3. Fasilitator menjelaskan sikap yang sebaiknya dilakukan ketika anak
berbicara
4. Fasilitator menjelaskan sikap yang sebaiknya tidak dilakukan ketika anak
berbicara

14
Anda baru saja sampai dirumah setelah seharian bekerja. Pekerjaan hari ini
cukup melelahkan, boss Anda memarahi Anda untuk kesalahan sepele yang
Anda lakukan. Setelah sampai dirumah Anda mengganti baju dan berencana
istirahat sambil menonton TV. Tak lama kemudian, anak Anda datang
menghampiri Anda

.....
ayah ya?

Apa yang harus "Ayah" lakukan selanjutnya?


Mengapa?

15
Pertahankan kontak mata ketika anak berbicara
Matikan TV, letakkan handphone dan lainnya
ketika anak berbicara agar fokus
Tenangkan diri ketika marah sebelum berbicara
Yang Boleh kepada anak
Dilakukan Berterimakasih pada anak ketika mereka
bercerita
Bantu anak menyusun langkah penyelesaian
masalah
Jangan tanyakan "Kenapa" tapi "Apa yang
terjadi"
Dengan bertanya "Apa yang terjadi?" akan menjadi lebih positif untuk
komunikasi sehingga anak merasa bebas bercerita. Jika kita bertanya dengan
kata kenapa atau mengapa, maka sebenarnya anak bisa saja tidak tahu
mengapa sesuatu terjadi pada dirinya, apalagi dalam konteks Kekerasan
Seksual pada anak. Komunikasi seperti ini jika dibiasakan bisa menghambat
keterbukaan anak, karena sesungguhnya banyak situasi di mana anak tidak
mengetahui jawaban dari kenapa/mengapa tersebut.

Memotong pembicaraan anak


Menonton TV, mengangkat telpon, atau
lainnya ketika anak sedang berbicara
Berbicara ketika sedang marah/kesal
Yang TIDAK Boleh Merendahkan/menghina anak
Dilakukan Berasumsi sebelum anak berbicara ("Apapun
yang kamu lakukan, akan bagus sekali kalau
kamu ngga terlibat dalam hal itu")
....

16
D. Ibu & Ayah, Bagaimana Kita Bekerja Sama?
Waktu : 30 - 40 Menit (15 menit Aktivitas 4 + 15 menit Materi)
Metode : Diskusi & Ceramah
Sasaran Pembelajaran : Peserta mampu mengenali peran ibu dan
ayah dalam pengasuhan anak

Aktivitas 4 :
Waktu : 15 Menit
Metode : Gambar
Langkah :
1. Fasilitator membagi kelompok peserta menjadi kelompok ibu dan
kelompok ayah
2. Fasilitator memberikan flip chart (jika offline) atau Google Docs (jika
online) yang berisi isian kosong terkait peranan ibu dan ayah untuk diisi
oleh peserta
3. Peserta diberikan waktu 4 menit untuk berdiskusi dan mengisi peran
tersebut
4. Setiap kelompok membacakan hasil diskusi selama 3 menit
5. Setelah tiap kelompok selesai mempresentasikan, fasilitator melanjutkan
dengan penjelasan materi. Selama materi berlangsung tidak hanya 1 arah
namun fasilitator juga menyelingi materi dengan menanyakan pendapat
dari orang tua

17
Peran ibu dalam pengasuhan :
1. ...

Peran Ayah dalam pengasuhan :


1. ...

18
IBU vs AYAH

Bermain Bermain
Banyak berbicara dengan anak-anak saat Melibatkan fisik dalam permainan
bermain. Spontanitas dan terkadang berisiko.
Menggunakan mainan dan benda. Membantu anak-anak mempelajari batas
Jenis permainan ini sangat bagus untuk mereka
sosialisasi, dan pertumbuhan emosional.

Kedisiplinan Kedisiplinan
Lebih banyak memberikan contoh norma Memberitahu secara langsung akibat dari
sosial dalam bertindak suatu perbuatan yang dilakukan.

19
Banyak kasus yang menunjukkan perilaku kekerasan terhadap anak baik secara fisik,
psikologis, ataupun seksual biasanya dilakukan seorang ayah yang gagal menghayati
perannya dalam pengasuhan dan tidak memiliki ketrampilan dalam memainkan peran
seorang ayah bagi anak-anak.

Secara Spesifik, berikut beberapa hal yang dapat dilakukan oleh seorang Ayah dalam dalam
memenuhi perannya dalam mendidik anak :

Mendidik kedisiplinan dapat dilakukan saat bermain atau


mengerjakan tugas yang melibatkan interaksi antara ayah dan
anak. Dampaknya anak dapat melakukan modeling terhadap
kedisplinan dan ketegasan ayah bahkan ayah bisa
memberikan pendidikan untuk berkompetisi yang sehat dan
relasi yang mutual dengan orang lain. Kedisiplinan tidak sama
dengan hukuman, kekerasan, atau kekasaran.

Menjadi Pelindung. Peran pelindung untuk anak dalam bentuk


keamanan fisik dan psikologis dapat dilakukan saat kondisi
hujan deras, anak dalam kondisi sakit, ataupun ada binatang
yang ditakuti anak, ayah dapat menjalankan peran tersebut. Hal
ini dapat membuat ayah mengetahui kekurangan atau
kelemahan dan potensi anak sehingga mampu membentuk anak
menjadi lebih berani dan tahan terhadap kondisi yang tidak
nyaman.

Pembimbing dalam menyelesaikan masalah. Saat masalah-


masalah terjadi dan anak tidak mengetahui cara
penyelesaiannya, dengan ayah peduli maka anak akan
merasa punya tempat untuk bercerita dan berdiskusi
tentang cara penyelesaian. Apabila ayah tidak peduli, maka
akan membuat anak takut untuk menanyakan atau
menceritakan masalahnya kepada ayah. Dampaknya
biasanya ayah akan hanya mengetahui dampak buruk dari
masalah tersebut dan biasanya akan memarahi anak karena
merasa tidak dianggap oleh anak karena tidak dilibatkan
atau tidak bercerita terkait masalah yang dialami dan
menilai anak sebagai pembuat masalah dalam keluarga.
Apabila pola ini yang terjadi secara terus menerus, maka
ketika usia anak makin besar yang dilakukan ayah terhadap
anak akan berupa kekerasan fisik ataupun psikologis karena
ayah merasa dengan anak hanya dinasihati tidak akan
berhasil.

20
E. Apa yang Menghalangi Pengasuhanku?
Waktu : 30 Menit Aktivitas & Materi
Metode : Diskusi & Ceramah
Sasaran Pembelajaran :
1. Peserta mampu mengenali perilaku pengasuhan yang telah dijalankan saat
ini
2. Peserta mampu mengenali bentuk pengasuhan yang masih perlu
diperbaiki

Aktivitas & Materi


Waktu : 30 Menit
Metode : Evaluasi Diri
Langkah :
1. Fasilitator memberikan kertas dan pena (jika offline) atau Google
Jamboard (jika online).
a. Jika offline peserta akan menulis per orangan. Setelah selesai,
fasilitator akan menunjuk 1 peserta untuk membacakan salah satu
perilaku yang telah ditulis. Fasilitator kemudian menanyakan kepada
peserta lain apakah ada yang menuliskan hal yang sama lalu
mendiskusikan sebab dari perilaku itu bersama-sama peserta.
b. Jika online, fasilitator dapat langsung mengelompokkan jawaban
peserta dan mendiskusikannya diakhir.
2. Evaluasi diri dimulai dari perilaku positif yang telah dilakukan. Setelah
peserta mengisi dan berdiskusi, baru setelahnya dilanjutkan dengan
perilaku negatif yang masih dilakukan dan akan diubah.
3. Terakhir peserta akan membuat kesimpulan perilaku apa yang akan
dilakukan untuk memperbaiki pola pengasuhan.

21
Saya telah... :
1. Memuji nilai ulangan anak meski
mendapat nilai 75
2. ...

22
Saya masih... :
1. Memarahi anak ketika ia tidak paham
pelajaran di sekolah
2. ...

23
Saya akan... :
1. Mendengarkan keluh kesah anak
2. ...

24
PRE/POST TEST
Berikut merupakan persoalan yang akan diberikan fasilitator kepada peserta pada awal
dan akhir kegaitan.
Jumlah Soal : 5 Soal
Waktu : 5 Menit

1. Manakah cara berikut yang dapat dilakukan untuk menjadi orang tua digital?
a. Membangun kedekatan dengan cara komunikasi dan emosional
b. Memberikan literasi digital kepada anak
c. Menjelaskan bahaya digital kepada anak
d. Memberikan batasan penggunaan handphone dan alat digital lain kepada anak
2. Bagaimanakah cara membangun komunikasi yang efektif dengan anak?
a. Menjaga kontak mata
b. Memasak / menonton sembari mendengarkan anak bercerita
c. Berusaha menebak kalimat yang akan disampaikan anak
d. Meminta anak membantu pekerjaan rumah sembari bercerita
3. Menjadi Orang tua sebagai pelatih emosi (emotion coping parent) tepat untuk
diterapkan dalam pengasuhan anak karena alasan berikut ini, kecuali:
a. Karena dapat membantu anak mengenali emosinya
b. Membantu anak mengkritik emosi
c. Membantu anak bergaul dengan baik
d. Membantu anak mengatur emosi
4. Pengelolaan emosi orang tua berpengaruh besar pada perkembangan emosi anak
(Benar / Salah)
5. Memberikan akses, waktu tak terbatas dan batasan keamanan dalam akses teknologi
adalah tepat dilakukan sebagai orang tua digital (Benar / Salah)

Kunci Jawaban
1. A
2. A
3. B
4. Benar
5. Salah

25
Referensi
Coleman. P.A. (2017). The biological reason dads and moms treat their parental roles
differently. https://www.fatherly.com/parenting/scientific-difference-mothering-
fathering-depth.
Milovidov, E. (2020). Parenting in the digital age : Positive parenting strategies for
different scenarios. Council of Europe. https://rm.coe.int/publication-parenting-in-the-
digital-age-2020-eng/1680a0855a.
Morin, A. (2022). 4 Types of Parenting Styles and Their Effects on Kids.
https://www.verywellfamily.com/types-of-parenting-styles-1095045
Singhal, M. Parents, manage your emotions: Challenges, practices, importance, benefits
and more. https://www.parentcircle.com/ways-to-control-emotions-for-
parents/article
Gottman, J & Gottman, J. (2014). The Four Parenting Styles.
https://www.gottman.com/blog/the-four-parenting-styles/

26
2
Seks & Seksualitas
Pada modul ini peserta akan dibekali pengetahuan untuk
memahami perubahan yang terjadi pada diri anak dan
bagaimana peran orang tua untuk membantu anak
menyikapi perubahan tersebut. Tujuan dari bab ini adalah
melatih kemampuan orang tua dalam membantu anak
menghadapi fase perubahan dalam hidupnya

Durasi : 150 menit


Topik Bahasan :
1. Hubungan Sehat antara Laki-laki dan Perempuan,
Perempuan dan Perempuan, Laki-laki dan Laki-laki
2. Mengenalkan Seksualitas kepada Anak
3. Apa Saja Kekerasan Seksual yang Mungkin Terjadi?
4. Kekerasan Seksual : Pernikahan Anak
A. Hubungan Sehat antara Laki-Laki dan
Perempuan, Perempuan & Perempuan, Laki-Laki &
Laki-Laki
Waktu : 30 - 40 Menit (15 Menit Materi & 15 Menit Tanya Jawab)
Metode : Diskusi & Ceramah
Sasaran Pembelajaran : Peserta mampu mengenali hubungan yang
sehat dan tidak sehat (yang boleh dan tidak boleh dilakukan) antara
anak laki-laki dengan anak perempuan, ataupun dengan sesama
jenis.

Aktivitas 1
Waktu : 15 menit
Metode : berbagi pengalaman
Langkah :
1. Fasilitator dan peserta berdikusi/berbagi pengalaman terkait kasus remaja
berpacaran
2. Fasilitator menjelaskan hubungan yang sehat antara laki-laki dan
perempuan

28
Seiring pertambahan usia, lingkaran pertemanan anak-anak akan
semakin luas. Pergaulan dengan teman sebaya dapat menjadi
sumber support/dukungan namun juga dapat menjadi pengaruh
buruk. Bagaimana pertemanan yang sehat dan saling
support/dukungan tersebut?

Hubungan Sehat Hubungan Tidak Sehat

Memaksa melakukan kontak fisik seperti


Meminta pertolongan saat membutuhkan
mencium, memeluk.

Mengembangkan kontak positif dengan Melarang berteman, melarang melakukan


teman-teman hobi

Mengajak bertengkar sehingga


Memahami perasaan orang lain kehilangan fokus dalam belajar, menjadi
sedih, tertekan

Memahami konsekuensi perilaku Memukul, menampar, mengemukakan


terhadap orang lain kata yang tidak pantas

29
Komunikasi dan interaksi yang sehat ditandai dengan 5 hal :

R : Respect/Rasa Menghormati
Rasa hormat dan sikap menghargai merupakan hukum yang pertama dalam
kita berkomunikasi dengan orang lain. Suatu komunikasi yang dibangun atas
dasar sikap saling menghargai dan menghormati akan membangun kerjasama
diantara orang-orang yang terlibat di dalamnya.

E : Empathy/Empati
Kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang
dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap
empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih
dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain.

A : Audible/Dapat Terdengar
Jika empati berarti kita harus mendengar terlebih dahulu ataupun mampu
menerima umpan balik dengan baik, maka audible berarti pesan yang kita
sampaikan dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan.

C : Clarity/Jelas
Kejelasan dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi
atau berbagai penafsiran yang berlainan. Kesalahan penafsiran dapat
menimbulkan berbagai dampak yang tidak diinginkan. Clarity juga dapat
diartikan sebagai keterbukaan dan transparansi.

H : Humble/Ramah dan Tidak Merendahkan


Berkaitan dengan respect, dalam berinteraksi dan berkomunikasi harus dapat
saling menghargai dan tidak merendahkan satu sama lain. Jika kita mampu
menghargai orang lain, maka akan menimbulkan kepercayaan dan rasa
nyaman dalam berinteraksi.

30
Berbagi Pengalaman/Pendapat

Sebagai orang tua dari anak yang beranjak


pubertas, apakah anak Anda berpacaran?
Atau apakah Anda pernah melihat pasangan
remaja?

Ceritakan pengalaman Anda!


1. Apa saja perilaku yang terjadi?
2. Apa yang Anda lakukan?
3. Apakah menurut Anda perilaku tersebut
telah benar?

31
B. Mengenalkan Seksualitas kepada Anak
Waktu : 30 - 40 Menit (5 menit persiapan, 15 menit presentasi, & 10
menit materi)
Metode : Diskusi & Ceramah, bisa juga bermain peran
Sasaran Pembelajaran : Peserta mampu mengenali langkah dan
kondisi yang tepat untuk memulai pembicaraan terkait seksualitas
kepada anak

Aktivitas 2
Waktu : 5 menit persiapan & 15 menit presentasi
Metode : Gambar
Langkah :
1. Fasilitator menyediakan flipchart dan alat tulis untuk peserta
2. Fasilitator membagi peserta dalam kelompok beranggotakan 3-5 peserta
(dapat disesuaikan dengan jumlah peserta yang ada)
3. Fasilitator memberikan stimulus berupa gambar. Peserta dapat memilih
salah satu gambar yang disajikan.
4. Peserta berdiskusi dan membuat gambaran cara yang dianggap tepat
untuk mengenalkan seksualitas kepada anak selama 5 menit (dapat
berupa gambar atau bagan/alur)
5. Peserta mempresentasikan hasil diskusi selama 5 menit
6. Setelah seluruh kelompok mempresentasikan hasil, fasilitator menjelaskan
materi terkait cara berbicara kepada anak terkait seksualitas

32
Anak remaja Anda baru saja
memasuki masa pubertas dan mulai
menyukai lawan jenis.

Anak Anda melihat gambar orang


berpacaran di media sosial.

Anak perempuan Anda baru


saja memasuki masa pubertas
(mengalami menstruasi)

33
Apa yang Dimaksud dengan Seks, Seksual, dan Seksualitas?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, seks adalah jenis kelamin/ hal yang berhubungan
dengan alat kelamin. Seksual adalah aktivitas seks yang juga melibatkan organ tubuh lain
baik fisik maupun non fisik.
Seksualitas adalah ciri, sifat, atau peranan seks; dorongan seks; kehidupan seks. Aspek –
aspek terhadap kehidupan manusia terkait faktor biologis, sosial, politik dan budaya,
terkait dengan seks dan aktifitas seksual yang mempengaruhi individu dalam masyarakat.

Seksualitas yang Sehat?


Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan seksual adalah kondisi di mana
fisik, mental, dan keadaan sosial dalam hubungan ke seksualitas. Ini membutuhkan
pendekatan yang positif dan menghormati seksualitas dan hubungan seksual. Jadi
seseorang bisa dikatakan sehat secara seksual jika dirinya bisa memilih pasangan
seksualnya, merasakan kenikmatan seksual, dan terbebas dari risiko kehamilan yang tidak
direncanakan dan infeksi menular seksual, dan bebas dari segala paksaan dan kekerasan
seksual.
Pada konteks anak, seksualitas yang sehat ketika anak mengetahui dan memahami kondisi
fisik, mental, dan keadaan sosial terkait seksualitas sehingga mampu bertindak positif agar
terhindar segala bentuk kekerasan seksual

Kenapa Harus Membicarakan Seksualitas kepada Anak?


1. Agar anak membangun perilaku seksualitas yang sehat
2. Bertanggung jawab atas perilaku seksualitas (contoh : memahami bahwa perilaku seks
diluar nikah berbahaya)

Kapan dan Apa yang Dibicarakan?


1. Mulai sedini mungkin terutama sebelum anak memasuki masa pubertas
2. Pembicaraan dapat terjadi dimana saja. Di rumah, di mobil, saat makan malam dan
lainnya. Ketika anak mulai bertanya jangan menghindar. Jawablah dengan jelas dan
terbuka.
3. Pada anak usia lebih muda, fokus lah pada pembelajaran anatomi / susunan dari tubuh
dan apa perbedaan anatomi/ susunan tubuh laki-laki dan perempuan termasuk bagian
tubuh yang boleh dan tidak boleh disentuh orang lain.
4. Pada anak remaja dapat dibahas terkait bagaimana seorang anak dapat lahir dan
perbedaan tubuh ketika pubertas.
5. Sedangkan pada anak usia yang lebih tua, dapat dijelaskan bagaimana perilaku seksual
yang sehat dan bagaimana membangun hubungan antara laki-laki dan perempuan
yang sehat.

34
Bagaimana Menyampaikannya?
1. Gunakan bahasa atau istilah sesuai dengan usia anak
2. Gunakan istilah yang sesuai dengan kata baku yang merujuk pada
organ kelamin anak (contoh "vagina", hindari kata "burung", "pupu",
"bunga")
3. Terima bahwa pembicaraan terkait alat kelamin "sama" dengan ketika
membicarakan organ lain seperti tangan, kaki, telinga dan lainnya
4. Tunjukkan mimik muka yang netral ketika membicarakan hal terkait
seksualitas
5. Buat diri Anda nyaman ketika membicarakan terkait seksualitas agar
anakpun menjadi nyaman
6. Ingatlah bahwa topik seksualitas bukan topik yang tabu agar anak
dapat menceritakan dengan terbuka ketika terjadi permasalahan
terkait dengan tema seksualitas termasuk ketertarikannya dengan
lawan jenis sejalan dengan tahap perkembangan usianya

35
C. Jenis Kekerasan Seksual yang Mungkin Terjadi
Waktu : 45 Menit (30 menit aktivitas cerita dan diskusi, 15 menit
kesimpulan dan materi)
Metode : Diskusi & Ceramah
Sasaran Pembelajaran : Peserta mampu mengenali jenis-jenis
kekerasan seksual yang mungkin terjadi pada anak

Aktivitas 3
Waktu : 5 menit persiapan, 15 menit diskusi, 10 menit bercerita
Metode : Gambar
Langkah :
1. Peserta akan diberikan sejumlah gambar yang telah dibagi berdasarkan
kategori yakni :
a. Siapa
b. Dimana
c. Kapan
d. Kenapa
2. Pada setiap kategori tersebut akan ada 3 gambar yakni :
a. Siapa : Gambar Ayah, gambar Paman, gambar Guru di sekolah
b. Dimana : Gambar rumah, gambar sekolah, gambar tempat bermain
c. Kapan : gambar pulang sekolah, gambar sedang liburan, saat sedang
bermain
d. Kenapa : (dapat diisi sesuai dengan kreativitas peserta)
3. Setiap peserta/kelompok akan memilih 1 kategori dan 1 gambar lalu
membuat cerita
4. Cerita yang dibuat merupakan gambaran peserta mengapa KS berpotensi
terjadi pada situasi tersebut.
5. Setelah peserta/kelompok memberikan pendapat, dapat dilanjutkan
dengan diskusi.
6. Pada akhir sesi fasilitator dapat di simpulkan apa saja KS yang berpotensi
terjadi ditambah dukungan fakta

36
Siapa?

Ayah Guru Paman Pedagang

Di mana?

Rumah Sekolah Tempat Bermain

Kapan?

Pulang Sekolah Saat Bermain Saat Liburan

Kenapa?

37
Kekerasan Seksual itu Apa Sih?

Kekerasan seksual merupakan segala jenis pemaksaan atau tindakan


menyerang dari orang lain terhadap seseorang yang menyasar bagian tubuh
pribadi orang tersebut dan menimbulkan adanya konsekuensi seperti
kehamilan, rasa malu, sedih, marah dan emosi negatif lainnya.

Apa Saja Bentuk Kekerasan Seksual yang Perlu Dihindari?

Perkosaan
Pemaksaan/penyerangan terhadap alat kelamin seseorang. Dapat diartikan
sebagai pemaksaan hubungan seksual diluar nikah.

Intimidasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan


Intimidasi berarti menggertak, mengancam, memaksa sehingga menimbulkan
ketakutan pada seseorang. Intimidasi seksual merupakan tindakan memaksa,
menggertak dan mengancam agar seseorang mau melakukan tindakan
seksual. Contohnya : diancam agar mau memberikan foto pribadi, diancam
agar mau melakukan hubungan seksual, diancam agar mau difoto dengan
pakaian minim.

Pelecehan seksual
Contoh dari pelecehan seksual seperti menyentuh bagian tubuh pribadi,
melontarkan ucapan mengenai bagian tubuh.

Eksploitasi seksual
Eksploitasi berarti mengambil keuntungan dari seseorang dan orang tersebut
mendapatkan kerugian. Contoh dari eksploitasi adalah menjual foto pribadi
(misal dengan pakaian minim atau menampakkan bagian tubuh orang lain)
dengan tujuan untuk mendapatkan uang.

Perdagangan perempuan dengan tujuan seksual


Perdagangan berarti jual beli. Dalam hal ini yang diperjual belikan adalah
perempuan dengan tujuan pemaksaan tindakan seksual terhadap perempuan
tersebut.

38
Prostitusi
Prostitusi merupakan bentuk dari eksploitasi seksual. Prostitusi merupakan
tindakan individu yang melakukan hubungan seksual diluar pernikahan baik
dengan ataupun tanpa persetujuan.

Pemaksaan aborsi
Pemaksaan aborsi merupakan pemaksaan untuk menggugurkan atau
mengambil nyawa bayi yang ada dalam kandungan ibu.

Tindakan fisik maupun non fisik yang menyasar organ seksual anak
Contohnya memegang payudara dan alat kelamin.

Melibatkan anak dalam pembuatan atau membuat anak terpapar


pornoaksi dan pornografi
Pornografi dan pornoaksi merupakan tindakan seksual dimana pornoaksi
merupakan tindakan seksual yang dapat dilihat oleh orang lain secara
langsung. Sedangkan pornografi merupakan tindakan seksual dalam bentuk
gambar (misalnya foto tanpa busana).

Penggunaan kata-kata dan gerakan yang bernuansa seksual terhadap


anak.
Contoh : Colekan pada bagian pribadi tubuh, memamerkan bagian tubuh
pribadi kepada anak.

Memaksa, menekan, mengancam, membujuk rayu, dan tipuan


memanfaatkan kelemahan dan kenaifan anak.
Contoh : memberikan janji akan diberikan uang atau dibelikan mainan /
makanan untuk membujuk anak melakukan tindakan seksual diatas.

Pemaksaan perkawinan
Tindakan memaksa anak dibawah usia 19 tahun untuk menikah dengan lawan
jenis.

39
Kekerasan seksual dapat memiliki dampak yang sangat merusak pada korban.
Beberapa dampak yang dapat dialami oleh korban kekerasan seksual antara
lain:

Trauma: Kekerasan seksual dapat menyebabkan trauma emosional yang


mendalam pada korban, termasuk rasa takut, kecemasan, dan ketidakamanan
yang berkelanjutan.

Gangguan psikologis: Korban kekerasan seksual mungkin mengalami depresi,


kecemasan, gangguan stres pasca trauma (PTSD), dan gangguan mental
lainnya.

Gangguan fisik: Kekerasan seksual dapat menyebabkan cedera fisik yang


serius pada korban, termasuk luka, patah tulang, penularan penyakit menular
seksual, kehamilan yang tidak diinginkan yang berisiko pada ibu dan anak dan
kerusakan organ. Dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kematian.

Gangguan hubungan interpersonal: Korban kekerasan seksual mungkin


mengalami kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal yang sehat
dan bermakna karena kesulitan dalam mempercayai orang lain.

Penyalahgunaan zat: Beberapa korban kekerasan seksual mungkin


menggunakan alkohol atau obat-obatan untuk mengatasi kesulitan emosional
yang mereka alami.

Gangguan seksual: Kekerasan seksual dapat menyebabkan korban mengalami


gangguan seksual, termasuk disfungsi seksual dan ketidaknyamanan saat
melakukan hubungan seksual.

Gangguan dalam kehidupan sosial dan belajar: Kekerasan seksual dapat


mengganggu kehidupan sosial dan belajar korban, karena mereka mungkin
mengalami kesulitan berkonsentrasi, absen dari sekolah, dan kesulitan dalam
menjalin hubungan dengan orang lain.

Dampak kekerasan seksual pada korban dapat sangat merusak dan


memerlukan dukungan dan bantuan yang memadai dari keluarga, teman, atau
profesional kesehatan mental.
Pernikahan Anak

Apa itu Pernikahan Anak?

Pernikahan anak merupakan pernikahan yang dilakukan dimana


salah satu atau kedua dari pasangan berusia anak.

Berapa Usia Pernikahan Seharusnya?

Usia pernikahan yang diatur di Indonesia baik untuk laki-laki


dan perempuan adalah 19 tahun (UU No. 16 tahun 2019).
Pernikahan anak dibawah usia tersebut dapat termasuk tindak
pidana kekerasan seksual sesuai dengan Undang-Undang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual pasal 10.
Selain berhadapan dengan masalah hukum, pernikahan anak
dibawah usia juga dapat membawa sejumlah dampak negatif
bagi anak. Secara psikologis anak dibawah usia tersebut dapat
dianggap belum memiliki kematangan psikologis dalam
menjalani kehidupan rumah tangga. Hal ini dapat
memungkinkan anak mengalami KDRT. Sedangkan dari segi
fisik, organ reproduksi anak belum matang sehingga menikah di
usia muda (dibawah 20 tahun) dapat menimbulkan resiko
keguguran, gangguan fungsi reproduksi, komplikasi medis
hingga ancaman kematian baik pada ibu maupun pada anak saat
proses melahirkan.

40
Apa Konsekuensi Menikahkan Anak Sebelum Usianya?

Usia pernikahan yang diatur di Indonesia baik untuk laki-laki


dan perempuan adalah 19 tahun (UU No. 16 tahun 2019).
Pernikahan anak dibawah usia tersebut dapat termasuk tindak
pidana kekerasan seksual sesuai dengan Undang-Undang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual pasal 10.
Selain berhadapan dengan masalah hukum, pernikahan anak
dibawah usia juga dapat membawa sejumlah dampak negatif
bagi anak. Secara psikologis anak dibawah usia tersebut dapat
dianggap belum memiliki kematangan psikologis dalam
menjalani kehidupan rumah tangga. Hal ini dapat
memungkinkan anak mengalami KDRT (Kekerasan Dalam
Rumah Tangga). Sedangkan dari segi fisik, organ reproduksi
anak belum matang sehingga menikah di usia muda (dibawah 20
tahun) dapat menimbulkan resiko keguguran, gangguan fungsi
reproduksi, komplikasi medis hingga ancaman kematian baik
pada ibu maupun pada anak saat proses melahirkan.

Selain itu, anak akan terancam putus sekolah, menjadi pekerja


anak untuk memenuhi kebutuhan, hingga gizi buruk.

41
PRE/POST TEST
Berikut merupakan persoalan yang akan diberikan fasilitator kepada peserta pada awal
dan akhir kegaitan.
Jumlah Soal : 5 Soal
Waktu : 5 Menit

1. Mengapa pernikahan anak dibawah umur tidak disarankan?


a. Anak dibawah usia pernikahan belum mengalami kematangan emosional
b. Anak dibawah usia pernikahan belum mengalami kematangan fisik
c. Anak dibawah usia pernikahan seharusnya melanjutkan sekolah
d. A dan B benar
2. Mengapa kita sangat disarankan untuk membicarakan dan menjelaskan seksualitas
kepada anak sedini mungkin?
a. Agar anak dapat mengamati perubahan tubuh pada orang lain
b. Agar anak dapat memahami dan menjaga kesehatan tubuh
c. Agar anak mencari lebih banyak informasi di internet
d. Sebagai bekal pernikahan anak
3. Menurut Bapak/Ibu, manakah jenis kekerasan seksual berikut yang dapat terjadi
kepada anak?
a. Perdagangan anak
b. Pernikahan anak
c. Pemerkosaan
d. Semua benar
4. Mengemukakan pendapat secara agresif ketika berbicara merupakan bentuk interaksi
yang sehat (Benar / Salah)
5. Mengajarkan anak untuk ramah kepada siapa saja meski ia di lecehkan oleh teman-
temannya adalah tindakan yang benar (Benar / Salah)

Kunci Jawaban
1. D
2. B
3. D
4. Salah
5. Salah

42
Referensi

https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-myths-
sex/202001/when-and-how-talk-kids-about-sex
https://www.sexualwellbeing.ie/for-parents/resources/talking-to-
your-child.pdf
https://kemensos.go.id/uploads/topics/15870130163297.pdf
https://drive.google.com/file/d/1jtyyAgVsjO0O7bRUqE00zWM_pz
ADMEs8/view
https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt627b23aa80fff/
undang-undang-nomor-12-tahun-2022?
r=0&p=1&q=UU%2012%20tahun%202022&rs=1847&re=2022
Buku Saku Mari Kita Cegah Perkawinan Anak Kementerian
PPN/Bappenas
https://www.untag-sby.ac.id/web/artikeldetail/apa-itu-hukum-
komunikasi.html
https://www.iac.or.id/id/seks-seksual-dan-seksualitas/
https://kbbi.web.id/seksualitas

43
3
Pencegahan dan
Penanganan
Pada modul ini peserta akan dibekali pengetahuan tentang
tanda-tanda anak terlibat dalam kekerasan seksual (pelaku
dan/atau korban), bagaimana mencegah terjadinya
kekerasan seksual hingga pertolongan pertama yang dapat
dilakukan orang tua dalam kasus kekerasan seksual.
Tujuan dari bab ini adalah melatih kesigapan orang tua
dalam menangani dan mencegah kekerasan seksual pada
anak.
Durasi : 180 menit
Topik Bahasan :
1. Mencegah terjadinya KSA
2. Peran orang tua dalam teknologi
3. Tanda-tanda yang perlu diwaspadai saat anak merujuk
menjadi pelaku KSA
4. Tanda-tanda anak korban KS
5. Hambatan dalam melindungi anak dari KS
6. Psikologi First Aid
A. Mencegah Terjadinya KSA
Waktu : 30 Menit (15 Menit diskusi dan 15 menit materi)
Metode : Diskusi & Ceramah
Sasaran Pembelajaran :
1. Peserta mampu mengenali kerentanan anak untuk menjadi korban
kekerasan seksual
2. Peserta mampu mengetahui cara mencegah terjadinya KSA pada anak

Aktivitas 1
Waktu : 5 menit persiapan, 15 menit diskusi, 10 menit bercerita
Metode : Studi Kasus & Diskusi
Langkah :
1. Fasilitator menampilkan / memberikan kasus kepada peserta
2. Peserta membaca kasus selama 5 menit dan menuliskan pendapat
masing-masing
3. Fasilitator menanyakan pendapat peserta dan mendiskusikan kasus yang
terjadi dan langkah apa yang dapat diberikan untuk mencegah
permasalahan terjadi

45
Kasus :
XY adalah seorang remaja berusia 15 tahun. Ia bersekolah di salah satu
sekolah menengah pertama negeri di kotanya. Ia merupakan anak tunggal
dengan orang tua yang sibuk bekerja sehari-harinya. Meski begitu orang tua
XY tetap berusaha untuk menjaga komunikasi dengan anak mereka dengan
memberikan XY sebuah handphone merk terkenal. Bunga seperti layaknya
anak remaja, mencoba berbagai media sosial yang ada di handphonenya. Ia
dengan semangat membuat akun di media sosial, membagikan berbagai foto
rutinitasnya sehari-hari dan menjalin pertemanan dunia maya.

Sudah 2 bulan belakangan XY akrab dengan seorang laki-laki yang dikenalnya


melalui media sosial. Bagi XY, laki-laki tersebut sangat perhatian. Tidak
seperti orang tuanya yang hanya menanyakan kabar dan apakah sudah
makan, laki-laki ini menaruh perhatian lebih dengan menanyakan kegiatan
sekolah, menanyakan rutinitas sehari-hari hingga menjadi teman curhat XY
ketika merasa kesal di sekolah. XY merasa sangat diperhatikan dan
mempercayai laki-laki yang dikenalnya di dunia maya ini. Laki-laki tersebut
menawarkan diri untuk menjemput XY dari sekolah. XY tentu saja senang.
Tanpa sepengetahuan orang tuanya, XY telah beberapa kali membolos
sekolah dan pergi berdua dengan laki-laki tersebut. Mereka juga sering
bertukar foto bahkan telah berbagi masalah pribadi. Hingga suatu hari, laki-
laki tersebut mengajak XY keluar kota. Hal ini tentunya membuat XY kaget
dan menolaknya karena ia yakin orang tuanya tidak mengizinkannya pergi
jauh. Laki-laki tersebut sontak tersinggung dan mengancam akan
menyebarkan foto dan cerita pribadi XY. Akibatnya XY menjadi takut dan
mengurung diri di kamar.

1. Menurut Anda, apa yang terjadi pada XY?


2. Menurut Anda, apakah XY dapat berisiko menjadi korban kekerasan
seksual? Mengapa?
3. Apa yang dapat dilakukan untuk membantu mengatasi masalah XY?

46
Bagaimana mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak?

1. Kenali
a. Kenali area tubuh pribadi anak
b. Kenali lingkungan pertemanan anak
c. Kenali pihak dan kejadian yang berpotensi membahayakan anak
2. Pahami
a. Pahami pertumbuhan & perkembangan anak sesuai usianya
b. Pahami kendala yang dapat dialami anak dalam masa
perkembangannya
3. Dengar
a. Dengarkan cerita anak tanpa menghakimi
4. Terlibat
a. Mau belajar dan berinteraksi dengan anak
b. Menerapkan disiplin tanpa kekerasan
c. Berkomunikasi terbuka dan efektif dengan anak
d. Mengikuti perkembangan teknologi
e. Aktif berdiskusi dengan guru di sekolah untuk mengetahui
perkembangan anak
f. Menjadi contoh dalam berperilaku dan bertindak dengan sabar
tanpa kekerasan di rumah
5. Ajarkan
a. Ajarkan anak berkata tidak saat menerima sentuhan dari orang
lain ataupun menerima ajakan dari orang lain
b. Ajarkan anak berani meminta bantuan ketika merasa takut atau
melihat kekerasan seksual
c. Ajarkan anak berani bercerita jika merasa takut, sedih, marah,
ataupun dibujuk rayu oleh orang lain

47
B. Peran Orang Tua dalam Teknologi
Waktu : 30 menit (10 menit pemungutan suara+ 20 menit materi)
Metode : pemungutan suara dan Ceramah
Sasaran Pembelajaran : Peserta mampu mengetahui cara menjadi
orang tua dalam era digital untuk mencegah terjadinya kekerasan
seksual pada anak
Aktivitas 2
Waktu : 5 menit
Metode : Voting
Langkah :
1. Fasilitator menampilkan pernyataan yang akan dipilih / vote oleh orang tua
2. Fasilitator meminta peserta untuk menjelaskan jawaban mereka
3. setelah semua pernyataan dipilih dan didiskusikan, fasilitator menjelaskan
materi
Pernyataan :
1. Apakah anak Anda menggunakan perangkat digital (handphone/ tablet/ laptop/ gadget
lainnya)
a. Ya
b. Tidak
2. Berapa lama durasi yang digunakan anak Anda untuk menggunakan perangkat digital
setiap harinya?
a. 1-2 jam
b. 2-4 jam
c. lebih dari 4 jam
3. Apakah Anda menggunakan perangkat digital seperti anak Anda? (handphone/tablet/
laptop/gawai lainnya)
a. Ya
b. Tidak
4. Berapa lama durasi Anda menggunakan perangkat digital dalam keseharian?
a. 1-2 jam
b. 2-4 jam
c. lebih dari 4 jam
5. Apakah Anda menjelaskan penggunaan perangkat digital pada Anak?
a. Tidak, saya hanya membelikan dan memberikan kepada anak
b. Ya, saya menjelaskan cara penggunaan perangkat digital dan keamanan di media
sosial

48
Tidak dapat dipungkiri era digitalisasi menuntut para orang tua untuk dapat
mengikuti perkembangan teknologi. Kebebasan dalam era digital membuat
anak menjadi rentan oleh karena karakteristik mereka yang senang mencoba
hal baru dan masih belum matang dalam mengambil keputusan. Tantangan
tentunya dapat dihadapi oleh orang tua namun membatasi anak dalam
mengenali dan terlibat dalam dunia digital bukanlah menjadi solusi. Sebagai
orang tua, berikut langkah-langkah yang dapat kita lakukan :

1. Tentukan apakah usia anak Anda saat ini sudah tepat untuk diberikan
handphone/perangkat digital lain
2. Tentukan apakah usia anak Anda saat ini sudah tepat untuk membuat
akun media sosial dan menggunakannya
3. Ajak anak untuk mengenali foto, video dan informasi pribadi lain apa
yang layak untuk dibagikan ke media sosial dan siapa saja orang yang
dapat melihat hal tersebut (misal keluarga, teman dekat yang sudah
dikenal)
4. Sampaikan harapan Anda kepada anak dalam penggunaan media sosial
5. Jadilah contoh pengguna media sosial yang sehat bagi anak
6. Bicarakan dengan anak seberapa sering waktu penggunaan media sosial
yang tepat (misal : tidak mengganggu waktu istirahat, makan, beribadah,
mengerjakan tugas sekolah dan lainnya)
7. Pelajari dan edukasi anak mengenai aplikasi media sosial yang ada (dapat
mencakup fungsi hingga risiko bahaya yang dapat terjadi)

Bahan Bacaan :
https://rm.coe.int/publication-parenting-in-the-digital-age-2020-
eng/1680a0855a

49
C. Karakter Anak yang Berisiko Menjadi Pelaku
Kekerasan Seksual
Waktu : 30 menit (15 menit teori + 15 menit diskusi)
Metode : Diskusi
Sasaran Pembelajaran :
1. Peserta mampu mengetahui karakter anak yang berpotensi menjadi
pelaku kekerasan seksual
2. Peserta mampu mengetahui cara pencegahan anak menjadi pelaku
kekerasan seksual

Aktivitas 3
Waktu : 15 menit
Metode : Diskusi
Langkah :
1. Fasilitator membagi peserta dalam kelompok
2. Setiap kelompok mendapatkan sejumlah gambar yang menunjukkan
hubungan antara laki-laki dan perempuan, perempuan dan perempuan
dan laki-laki dan laki-laki
3. Peserta memilih gambar sesuai instruksi yang diberikan
4. Setiap kelompok diberikan waktu sekitar 3-5 menit menjelaskan gambar
yang dipilih beserta alasannya.
5. Fasilitator menyimpulkan pendapat peserta dan menjelaskan materi

50
Pilihlah gambar berikut yang menurut Anda perlu diwaspadai karena dapat
menjerumuskan anak sebagai pelaku kekerasan seksual!

51
Terjebak dalam perilaku kekerasan (termasuk kekerasan seksual, bullying) diawali
dengan adanya pola relasi yang tidak sehat (ingat kembali materi R.E.A.C.H). Tanda-
tanda yang dapat kita waspadai adalah :
➢Mengancam
➢Menyebarkan berita tidak benar
➢Menyerang secara fisik
➢Menyerang dengan kata-kata yang menyakitkan
➢Mengucilkan seseorang dari kelompok tertentu secara sengaja.
➢Tindakan di atas yang dilakukan secara tidak langsung, misalnya menggunakan
media elektronik (HP, komputer, dalam permainan game, dll).

Bagaimana mencegah tindakan tersebut?


Tindakan diatas dapat terjadi oleh karena emosi anak yang masih belum terarahkan
dengan benar. Emosi remaja yang masih labil, membuat mereka masih dalam tahap belajar
untuk melakukan perilaku yang benar dan menghindari perilaku yang salah. Berikut
beberapa hal yang dapat Anda lakukan sebagai orang tua untuk membantu anak
menyalurkan emosi mereka dengan benar :

Bentengi diri dengan prinsip/nilai kehidupan


Prinsip dapat berupa keyakinan tertentu, nilai sosial, pedoman perilaku yang dianut
sesuai dengan konteks budaya tertentu. Prinsip / nilai ini merupakan pondasi untuk
tujuan dan arah hidup. Perkenalkan dan bantu mereka mengarahkan hidup sesuai
dengan prinsip yang dimiliki

Bergaul & menjalin pertemanan dengan orang baik


Seiring bertambahnya usia, anak akan menjalin hubungan pertemanan diluar keluarga.
Memilih kelompok teman yang tepat baik secara perilaku dan usia akan membantu anak
untuk mempelajari perilaku yang baik dan benar

Melihat masalah dari sudut pandang berbeda


Sebagai individu yang mulai mempelajari perilaku benar dan salah, penting bagi anak
sebagai orang tua mengarahkan mereka dalam menyikapi suatu masalah. Ajak mereka
untuk menceritakan permasalahan, membandingkan berbagai sudut pandang hingga
mereka dapat menentukan pilihan terbaik

Dukungan moril orang tua


Sejatinya orang tua menjadi orang yang mengarahkan dan mendukung anak dalam
perkembangannya. Luangkan waktu Anda untuk mendengarkan cerita anak, membantu
anak memecahkan permasalahannya dan berikan kasih sayang kepada anak

Aktivitas fisik
Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas fisik berdampak pada kecerdasan emosi anak
(Riyanto & Mudian, 2019). Aktivitas fisik seperti yang diajarkan disekolah dapat
membantu anak untuk menerima dirinya, meregulasi emosi dengan bersikap sportif,
serta percaya pada diri sendiri (Komarudin, 2014)

52
D. Tanda Anak Menjadi Korban Kekerasan Seksual

Waktu : 30 menit
Metode : Diskusi & Materi
Sasaran Pembelajaran :
1. Peserta mampu mengenali tanda-tanda seorang anak yang menjadi
korban kekerasan seksual

Aktivitas 3
Waktu : 15 menit
Metode : Diskusi
Langkah :
1. Fasilitator membagi peserta dalam kelompok
2. Setiap kelompok mendapatkan 1 flipchart dan alat tulis
3. Peserta menuliskan pendapat tanda-tanda apa yang dapat mereka kenali
pada anak korban kekerasan seksual
4. Fasilitator menjelaskan 4 kategori tanda-tanda kekerasan seksual yang
dapat dilihat dari anak
5. Fasilitator menekankan bahwa tanda-tanda yang dijelaskan bukan
semata-mata menjadi penentu bahwa anak telah menjadi korban
kekerasan seksual. Anak korban kekerasan seksual dapat memunculkan
tanda-tanda tersebut, namun tanda-tanda tersebut tidak serta merta
memastikan bahwa seorang anak telah mengalami kekerasan seksual

Pertanyaan untuk peserta :

Perubahan apa saja yang dapat Anda kenali pada


anak korban kekerasan seksual?
1. ....

53
Perubahan Fisik
1. Merasa sakit ketika buang air kecil
2. Kesulitan berdiri dan/atau berjalan
3. Terdapat memar pada tubuh khususnya
pada pinggang atau pantat
4. Tidak haid seperti biasanya
5. Alat kelamin memerah atau bengkak

Perubahan Emosi
1. Sering marah tanpa ada alasan yang jelas
2. Marah / frustrasi ketika suatu mendengar
cerita tentang suatu tempat atau mengenai
seseorang
3. Sulit tidur
4. Mimpi buruk
5. Menangis tanpa alasan yang jelas

Perubahan Perilaku
1. Cara berpakaian berubah
2. Menyakiti diri sendiri
3. Meminum alkohol atau menggunakan
obat-obatan terlarang
4. Kurang nafsu makan atau makan
berlebih

Perubahan Kehidupan Sosial


1. Menyendiri tidak seperti biasanya
2. Lingkaran pertemanan berubah
3. Menghindari aktivitas yang dulu di
senangi
4. Prestasi di sekolah menurun

54
E. Hambatan dalam Melindungi Anak dari Kekerasan
Seksual
Waktu : 30 menit
Metode : Refleksi Diri & Diskusi
Sasaran Pembelajaran :
1. Peserta mampu mengenali hambatan dirinya dalam melindungi anak dari
kekerasan seksual
2. Peserta mampu membuat rencana tindakan perbaikan dari hambatan
yang telah diidentifikasi

Aktivitas 4
Waktu : 15 menit
Metode : Refleksi
Langkah :
1. Fasilitator memberikan kertas yang telah disediakan untuk masing-masing
peserta
2. Selama 5 menit peserta menuliskan kekuatan dan hambatan dirinya dalam
mencegah terjadinya kekerasan seksual
3. Peserta dan fasilitator bersama-sama membuat rencana tindakan /
rencana perbaikan kedepan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual

Bahan Bacaan :
https://1in6.org/get-information/common-questions/why-do-adults-fail-to-protect-children-
from-sexual-abuse-or-exploitation/

55
Area Kekuatan

Untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, saya telah ...


1. Memahami bentuk kekerasan seksual, sehingga saya tahu
kejadian seperti apa yang harus dihindarkan dari anak saya
2. ...

Hambatan

Namun, dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual, saya


masih / belum mampu untuk ...
1. Saya belum memiliki keberanian ketika kekerasan seksual
melibatkan pihak-pihak yang berkuasa (misal : tokoh
masyarakat, pejabat, dan lainnya)
2. ...

Rencana Perubahan

Meski begitu, saya akan ..


1. Membagi pengetahuan saya terkait jenis kekerasan seksual
kepada anak serta dampaknya terhadap anak agar orang lain
dapat memahami bahaya perilaku tersebut.
2. ...

56
F. Psychological First Aid (PFA)/Pertolongan
Pertama
Waktu : 30 Menit (10 menit persiapan, 10 menit presentasi, 10
menit materi)
Metode : Praktek & Ceramah
Sasaran Pembelajaran :
1. Peserta mampu mengetahui cara memberikan pertolongan pertama
kepada korban kekerasan seksual.

Aktivitas 2
Waktu : 10 menit persiapan, 10 menit presentasi
Metode : Gambar
Langkah :
1. Peserta dibagi kedalam kelompok (jumlah menyesuaikan)
2. Setiap kelompok diberikan 6 potong gambar terpisah
3. Kelompok diminta untuk menyusun potongan gambar selama 3 menit
4. Setiap kelompok diberikan waktu lebih kurang 5 menit untuk
menceritakan susunan gambar yang telah mereka buat
5. Setelah semua kelompok menceritakan, fasilitator memberikan penjelasan
langkah PFA yang tepat

57
Susunlah gambar berikut menjadi suatu rangkaian cerita!

58
Psychological First Aid (PFA)/Pertolongan Pertama pada Kasus Kekerasan
Seksual pada Anak

Definisi : Seperti halnya dengan ketidaknyamanan akibat luka fisik yang dapat
ditangani dengan P3K, ketidaknyamanan emosi yang diakibatkan kejadian
traumatis juga dapat dikurangi oleh Psychological First Aid / PFA. PFA adalah
dukungan psikologis yang dapat diberikan sesegera mungkin kepada korban
yang mengalami kejadian traumatis (seperti bencana alam, kecelakaan, hingga
pelecehan atau kekerasan seksual), bertujuan untuk mengurangi dampak
negatif stres dan mencegah timbulnya gangguan kesehatan mental lebih
buruk yang disebabkan oleh situasi krisis, kondisi darurat dan bencana yang
dihadapi.

Mengapa PFA perlu diberikan?


Gangguan emosional pada korban yang mengalami kejadian traumatis sering
kali tidak dapat terlihat secara kasat mata. Namun gangguan emosi tersebut
dapat menyebabkan penderitaan, melemahkan, mempunyai dampak serius
jangka panjang, dan bisa merugikan diri sendiri maupun orang lain. Untuk itu
memberikan suatu kenyamanan untuk membatu individu melewati masa
krisis dapat membantu mengurangi kemungkinan terjadinya gangguan emosi
tersebut.

Kapan PFA diberikan?


PFA diberikan sesegera mungkin pada kontak pertama dengan individu yang
mengalami kejadian traumatis dimana saja dan dapat diberikan oleh siapa
saja.

Bagaimana cara memberikan PFA?


Lihat --> Dengar --> Beri Rasa Nyaman --> Hubungkan --> Lindungi -->
Harapan

59
Lihat dan Dengarkan

Kenali perubahan sikap/emosi pada diri anak. Ajak


ia untuk terbuka membicarakan hal yang menjadi
beban pikirannya. Jadilah pendengar aktif ketika
anak bercerita. Temani ia meluapkan emosinya
dengan benar tanpa memaksa/menginterogasinya
dengan berbagai pertanyaan

Berikan Rasa Nyaman


Kadang kala anak ingin dipeluk untuk memberikan
rasa nyaman. Berikan kenyamanan sesuai dengan
kebutuhan anak. Contohnya : memeluk anak,
mengusap kepala anak, menyelimuti anak untuk
memberikan kehangatan, memberikan minuman
hangat, mengusap air mata anak, mengusap
punggung anak.

Hubungkan
Cerita yang disampaikan anak dapat membuat
emosi kita sebagai orang tua meluap. Namun
disamping itu, kita dapat membantu untuk
menjaga anak tetap aman dan membantunya
menyelesaikan masalah dengan melaporkan
kepada pihak berwenang kekerasan seksual yang
telah terjadi pada anak.

60
Lindungi
Anak tentunya merasa takut misalnya ketika
mendapatkan ancaman penyebaran foto-foto
pribadi atau lainnya terkait dengan kekerasan
seksual. Untuk itu lindungi ia dari kerugian lebih
lanjut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
membantu anak menghapus foto-foto yang
kurang pantas di media sosial (jika ada),
membantu anak bersikap tegas mengatakan
tidak kepada pelaku (jika ada), hingga
membantu anak memahami situasi yang terjadi
dan bahwa situasi tersebut sudah ditangani
pihak berwajib

Harapan
Tanamkan harapan tanpa menjanjikan. Bantu
anak untuk melewati masa traumatis dengan ada
disamping mereka. Bantu anak untuk mengenali
cara-cara yang dapat ia gunakan untuk menjaga
diri kedepannya, seperti mampu berkata tidak,
mengenali area tubuh pribadi yang tidak boleh
disentuh orang lain, hubungan sehat antara laki-
laki dan perempuan, dan lainnya.

61
Rujukan Akhir pada Situasi Kekerasan Seksual
Layanan rujukan terakhir pada situasi kekerasan seksual yang terjadi pada anak
merupakan salah satu fungsi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Anak (Kemenppa). Sebagai penguatan bentuk dari layanan ini, penanganan korban
kekerasan anak juga dilakukan oleh Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan
Perempuan dan Anak (UPTD PPPA). Adapun alur pelaporan yang dapat dilakukan
tercantum dalam Prosedur Standar Operasional Satuan Tugas Penanganan
Masalah Perempuan dan Anak yang dikeluarkan oleh Biro Hukum dan Humas
Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak Indonesia :
1. Perempuan dan anak yang mengalami permasalahan melaporkan masalahnya
ke Bagian Pengaduan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (Kemenppa), P2TP2A, ataupun lembaga layanan lainnya
baik secara langsung maupun tidak langsung seperti melalui telepon, sms,
whatsapp, media sosial, surat oleh korban maupun pihak lain.
2. Melalui Satgas, perempuan dan anak yang mengalami permasalahan dapat
mengadukan permasalahannya ke Bagian Pengaduan KPPPA, P2TP2A,
ataupun lembaga layanan lainnya.
3. Permasalahan perempuan dan anak yang dilaporkan ke Bagian Pengaduan
Masyarakat KPPPA, P2TP2A, ataupun lembaga layanan lainnya dapat
diperoleh dari pemberitaan media massa baik cetak maupun elektronik.
4. Berdasarkan laporan tersebut, bagian Pengaduan Masyarakat KPPPA, P2TP2A,
ataupun lembaga layanan lainnya melakukan analisis kasus apakah diperlukan
penjangkauan atau tidak.
5. Apabila bagian Pengaduan Masyarakat KPPPA, P2TP2A, ataupun lembaga
layanan lainnya menganggap perlu dilakukan penjangkauan maka dibuatkan
Surat Tugas yang ditandatangani oleh Sekretaris Kementerian selaku Pengarah
Satgas, atau Ketua Satgas, atau Wakil Ketua Satgas, atau Ketua P2TP2A, atau
Pimpinan lembaga layanan lainnya.

Selain itu, keluarga ataupun korban dapat melakukan pelaporan melalui telepon
Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) di nomor 129 atau whatsapp di
08111129129. Layanan ini akan memberikan bantuan berupa :
1. Pelayanan pengaduan
2. Pelayanan penjangkauan
3. Pelayanan pengelolaan kasus
4. Pelayanan akses penampungan sementara
5. Pelayanan mediasi
6. Pelayanan pendampingan korban

62
Tips Mengatasi Emosi bagi Orang Tua
Sebelum Anda membantu anak untuk menghadapi situasi yang menekan,
tentunya sebagai orang tua perlu mengatasi emosi yang muncul pada diri.
Berikut terdapat beberapa tips yang dapat para orang tua lakukan untuk
mengatasi emosi yang muncul ketika mendengar atau berhadapan dengan
situasi sulit.

1. Pelukan Kupu-Kupu

BUTTERFLY HUGS
(PELUKAN KUPU-KUPU)
Teknik penanganan emosi untuk meringankan
kecemasan dan menenangkan emosi

Tarik napas dan


Silangkan kedua tangan menghembuskannya
di dada secara perlahan

Tepuk kedua tangan Ulangi gerakan secara


seperti kupu-kupu yang perlahan hingga rileks
mengepakkan sayap dan tenang

63
2. RELAKSASI OTOT PROGRESIF
Mengurangi ketegangan dan otot lebih rileks, meningkatkan kesadaran pada tubuh

Bagaimana melakukannya :
Duduklah di atas kursi dengan posisi punggung tegak
Tutup mata dan letakkan kaki di lantai. Rasakan lantai di bawah kaki.
Rileks kan tangan di pangkuan Anda.
Tekuk jari kaki dengan erat, tahan dalam 3 hitungan, lepaskan sambil
menghembus nafas
Kepalkan tangan/buka jari‐jari tangan, tegangkan (3 hitungan), lemaskan
rileks
Mengencangkan lengan dengan menekuk siku (3 hitungan) lalu lemaskan
sambil hembus nafas
Angkat bahu ke arah telinga (3 hitungan), lepaskan, lemaskan
Otot leher : Angkat kepala ke belakang lalu ke depan perlahan.
Rasakan semua otot‐otot yang menegang kembali melemas
Tutuplah mata dalam hitungan 3, lalu buka mata perlahan‐lahan

64
3. FIVE FINGER BREATHING
(PERNAPASAN DENGAN 5 JARI)
Manajemen stress, lebih santai, rileks dan
damai

Keluarkan nafas

Tarik nafas
Kelua
rkan

s
fa
Na
Tarik

Bagaimana melakukannya :
1. Ambil posisi nyaman (misal : duduk, berbaring)
2. Letakkan salah satu tangan di hadapan muka sejauh satu
jengkal
3. Ambil napas sembari telunjuk tangan lainnya menelusuri
bagian luar jempol tangan yang berada dihadapan kamu
4. Berhenti dan tahan napas ketika berada di puncak jempol
(senyamannya)
5. Lepaskan napas sembari menelusuri bagian dalam jempol
mulai dari puncak jempol ke bawah
6. Lakukan gerakan ini hingga jari kelingking dan ulangi
kembali hingga kamu merasa rileks

65
PRE/POST TEST
Berikut merupakan persoalan yang akan diberikan fasilitator kepada peserta pada awal
dan akhir kegiatan.
Jumlah Soal : 5 Soal
Waktu : 5 Menit

1. Perubahan apa yang dapat menjadi pertanda bahwa anak menjadi korban kekerasan
seksual?
a. Perubahan cara berpakaian
b. Perubahan emosi
c. Perubahan nafsu Makan
d. Semua benar
2. Mengapa PFA penting untuk dilakukan?
a. Karena gangguan emosi tidak terlihat namun dapat berdampak negatif jika tidak
ditangani dengan segera
b. Karena melalui PFA luka fisik dapat ditangani segera
c. Karena melalui PFA kita dapat menangkap pelaku kekerasan seksual kepada anak
d. Karena melalui PFA kita dapat mengkritisi kesalahan anak
3. Manakah langkah PFA yang tepat?
a. Kenali-Lindungi-Dengarkan-Hubungi-Beri rasa nyaman-Tanamkan harapan dan
janji
b. Kenali-Dengarkan-Hubungi-Beri rasa nyaman-Beriharapan dan janji-Lindungi
c. Lihat-Dengar-Beri rasa nyaman-Hubungkan-Lindungi-Tanamkan harapan dan janji
d. Lihat -Dengar -Beri rasa nyaman -Hubungkan - Lindungi - tanamkan Harapan
4. Kita dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual kepada anak dengan mengenali,
memahami, mendengarkan, terlibat dan mengkiritisi kesalahan anak (Benar / Salah)
5. Mengirimkan komentar kritik negatif kepada teman melalui media sosial sehingga
teman tersebut dijauhi temannya disekolah adalah perilaku anak yang baik (Benar /
Salah)

Kunci Jawaban
1. D
2. A
3. D
4. Salah
5. Salah

66
Referensi

Herdiana, I. Stabilitas Emosi (power point presentation). Disampaikan pada


Pelatihan Konsultasi Psikologi Dasar PPI Jepang 5 September 2020

https://kemensos.go.id/uploads/topics/15870130163297.pdf

https://indonesiabaik.id/infografis/berani-laporkan-kekerasan-pada-anak-
dan-
perempuan#:~:text=Setiap%20orang%20bisa%20melaporkan%20tindak,S
4PN%20Lapor%2C%20dan%20pengaduan%20langsung.

https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/slider/23bd2-sop-satgas-
kpppa.pdf

https://kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2805/kemen-pppa-
perkuat-fungsi-pelayanan-uptd-ppa-guna-tangani-kasus-kekerasan

https://www.unicef.org/parenting/mental-health/help-your-teenager-
manage-meltdown

https://edukasi.kompas.com/read/2020/08/01/200419071/8-cara-atasi-
emosi-labil-anak-remaja?page=all

Komarudin. (2014). Meningkatkan kecerdasan emosi siswa remaja melalui


pendidikan jasmani dan olahrahga di sekolah. Jurnal Pendidikan Jasmani
Indonesia. 10 (1), 54-60

Riyanto, P., & Mudian, D. (2019). Pengaruh aktivitas fisik terhadap


peningkatan kecerdasan emosi siswa. Journal Sport Area. 4 (2), 339-347

67
Wahana Visi Indonesia x HIMPSI
Bentuk kepedulian terhadap kasus kekerasan seksual
terhadap anak yang semakin meningkat setiap
tahunnya, kami Wahana Visi Indonesia bersama
dengan Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI)
membuat suatu langkah untuk mengedukasi dan
meningkatkan keterampilan orang tua agar dapat lebih
sadar akan kondisi anak.

Buku ini berisikan panduan kegiatan pelatihan yang


terdiri dari berbagai macam aktivitas dan materi yang
dapat dilakukan oleh seluruh orang tua. Aktivitas dalam
pelatihan ini diharapkan dapat meningkatkan
keterampilan dan juga kepekaan orang tua terhadap
anaknya. Membangun rasa percaya dan aman
merupakan kunci utama bagi orang tua yang menjadi
salah satu keterampilan yang akan diberikan dalam
modul ini.

Anda mungkin juga menyukai