Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION


LBM 1 “CAIRAN BERBAU”
BLOK REPRODUKSI 2

NAMA : Mayditya Biman Surya


NIM : 018.06.0033
KELAS :A
KELOMPOK :3

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang saya miliki, penyusunan makalah SGD
(Small Group Discussion) LBM 1 yang berjudul “Cairan Berbau” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa
LBM 1 meliputi seven jumps step yang dibagi menjadi dua sesi diskusi.
Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai
pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Kelompok SGD 3 yang senantiasa memberikan saran serta bimbingan
dalam pelaksanaan SGD LBM 1.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi dalam
berdiskusi.
3. Serta keluarga yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.

Mengingat pengetahuan dan pengalaman yang terbatas untuk menyusun


makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Saya berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 22 Juni 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL HALAMAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................
BAB III PENUTUP ................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Skenario LBM 1


" MENJADI RISIH"
Seorang Wanita usia 25 tahun datang memeriksakan diri ke ke Rumah Sakit
FK UNIZAR dengan keluhan keluar cairan dari vagina. Keluhan ini dirasakan sejak
seminggu yang lalu dan terasa sangat mengganggu. Cairan yang keluar berwarna
putih agak kekuningan, terasa gatal dan berbau agak amis sehingga pasien merasa
risih dan tidak nyaman. Keluhan dirasakan terus menerus dan pasien mengaku belum
pernah minum obat apapun. Pasien diketahui seorang karyawan perusahaan yang
setiap harinya bekerja dari pagi sampai dengan sore hari. Tidak ada seragam khusus di
tempat bekerjanya sehingga pasien lebih sering menggunakan celana jeans ketat.

Dokter kemudian melakukan pemeriksaan fisik dan didapatkan vital sign dalam batas
normal, pemeriksaan inspekulo didapatkan discharge (+) keluar dari kanalis servikalis
berwarna putih kekuningan, konsistensi kental. Dokter berencana untuk melakukan
pemeriksaan penunjang pada pasien tersebut untuk mengetahui apa yang terjadi pada
pasien.
1.2 Deskripsi Masalah
Pada scenario pasien mengalami beberapa keluhan, yang pertama keluarnya
cairan dapat disebabkan oleh tidak bersihnya daerah miss v, sehingga dapat memicu
perkembangan bakteri pathogen di dalam vagina yang pH nya cenderung bersifat
basa. Adanya perkembangbiakan baik bakteri, jamur, ataupun parasite memicu sekresi
keputihan yang abnormal yaitu cairan yang berwarna, berbau, dan terasa gatal akibat
dari bakteri yang notabene merupakan benda asing yang seharusnya tidak terdapat
pada alat kelamin. Keluarnya cairan ini dapat juga dipengaruhi oleh kehamilan,
karena adanya perubahan hormone dan fisik yang dapat mempermudah tumbuhnya
jamur di vagina. Cairan ini pun dapat berpengaruh pada kehamilan, seperti kelahiran
premature, ketubah pecah sebelum waktunya, berat badan bayi rendah, akan tetapi itu
semua kembali lagi kepada tingkat keparah discharge yang dialami pasien. Selain
kebersihan dan kehamilan, keluarnya cairan ini juga beresiko terjadi pada remaja /
masa subur (pengaruh hormone), penderita anemia, wanita lanjut usia, pemakaian alat
kontrasepsi, ataupun lifestyle (aktivitas, makanan, pakaian, pola hidup).
Keluhan utama dari pasien di scenario adalah keluarnya cairan atau yang biasa
disebut dengan keputihan. Keputihan atau yang disebut juga dengan istilah white
discharge atau vaginal discharge, atau leukore atau flour albus. Vaginal discharge
adalah semua pengeluaran cairan dari alat genitalia yang tidak berupa darah. Pada saat
hamil, hormon estrogen dan progesterone pada wanita meningkat, sehingga flora-
flora normal meningkat pada daerah genetalia wanita, sehingga menyebabkan
discharge atau keputihan. Keputihan yang terjadi pada wanita dapat bersifat normal
dan abnormal. Keputihan fisiologis yaitu keputihan yang timbul akibat proses alami
dalam tubuh yang biasa terjadi sebelum menstruasi karena pengaruh dari proses
menstruasi yang melibatkan hormon estrogen dan progesteron. Pada proses proliferasi
terjadi pembentukan hormon estrogen oleh ovarium yang menyebabkan pengeluaran
sekret yang berbentuk seperti benang, tipis dan elastis. Hormon estrogen berperan
dalam produksi sekret pada fase sekretorik, merangsang pengeluaran sekret pada saat
wanita terangsang serta menentukan kadar zat gula dalam sel tubuh (glikogen).
Glikogen digunakan untuk proses metabolisme pada bakteri Lactobacillus doderlein.
Sisa dari proses metabolisme ini akan menghasilkan asam laktat yang menjaga
keasaman vagina yaitu 3,8 - 4,2. Pada saat ovulasi terjadi proses sekresi pada
endometrium yang dipengaruhi oleh hormon progesteron. Hormon progesteron
menyebabkan pengeluaran sekret yang lebih kental seperti jeli. Keputihan fisiologi
berciri–ciri tidak berbau, jernih, tidak gatal, tidak perih. Sedangkan, pada keputihan
patologi ditandai dengan terdapat banyak leukosit, jumlahnya banyak, timbul terus
menerus, warnanya berubah (biasanya kuning, hijau, abu-abu, dan menyerupai susu),
disertai dengan keluhan (gatal, panas, dan nyeri) serta berbau (apek, amis, dan busuk).
Biasanya terjadi karena adanya infeksi jamur, bakteri atau parasit akibat adanya
perlukaan pada barrier epitel vagina tersebut.
Keputihan patologis yaitu keluarnya cairan berwarna keruh dan berbau
disebabkan karena terinfeksi bakteri, parasite maupun jamur. Secara anatomi alat
kelamin wanita berdekatan dengan anus dan uretra sehingga kuman yang berasal dari
anus dan uretra tersebut sangat mudah masuk. Kuman yang masuk ke alat kelamin
wanita akan menyebabkan infeksi sehingga dapat menyebabkan keputihan patologis
yang biasanya ditandai dengan sekret vagina yang berwarna keruh atau kuning atau
kuning kehijauan, berbau tidak sedap, disertai lesi atau iritasi vagina, dispareunia,
gatal, dan perdarahan. Penderita juga dapat mengeluhkan sistitis yang berupa disuria
eksternal akibat lesi vulva.
Berdasarkan mekanisme terjadinya, keputihan/vaginal discharge patologis
terbagi menjadi 2 (dua), yaitu infective vaginal discharge dan non-infective vaginal
discharge.

1. Keputihan patologis infeksius / infective Vaginal Discharge

Disebabkan oleh infeksi mikroorganisme seperti bakteri, jamur, protozoa


dan virus. Berikut ini contoh-contoh mikroorganisme yang dapat mengivasi
daerah genitalia:

 Bakteri: Gardanerrella vaginalis,Chlamidia trachomatis, Neisseria gonorhoae,


dan Gonococcus.
 Jamur: Candida albicans.
 Protozoa: Trichomonas vaginalis.
 Virus: Herpes Virus dan Human Papilloma Virus
2. Keputihan patologis non-infeksius
Non invective vaginal discharge terdiri dari lesions dan foreign bodies.
Untuk lesion diakibatkan dari tumor atau neoplasia yang menekan kelenjar
submukosa sehingga terjadinya hipersekresi mukus dan akibat dari tumor dan
neoplasia yang menyebabkan nekrosis jaringan menyebabkan mukus yang
disekresikan bercampur dengan pus. Sedangkan untuk foreign bodies sediri bisa
berasal dari penggunaan sabun berlebih atau douching yang menyebabkan
terjadinya perubahan pH menjadi basa, hal ini lah yang kemudian menyebabkan
terjadinya hipersekresi mukus untuk mengembalikan keadaan vagina agar kembali
asam. Selain itu juga penggunaan tampon yang bisanya pada atlet perempuan
dapat menyebabkan hiper sekresi mukus karena vagina menganggap tampon
merupakan benda asing yang harus dikeluarkan. Terdapat juga akibat iritan atau
alergen seperti penggunaan celana dalam yang terlalu ketat dan gesekan dengan
bahan lateks yang terdapat pada kondom dapat menyebabkan terjadinya
hipersekresi mucus Discharge yang bersifat patologis dapat pula diakibatkan oleh
beberapa penyebab sebagai berikut:
 Kurangnya menjaga kebersihan organ intim, sehingga memudahkan
perkembangan / invasi dari patogen–patogen. Contohnya seperti penularan
dari toilet duduk, handuk basah, pakaian dalam yang tidak bersih, atau dari
penggunaan air yang tidak bersih (Sarwono, 2011).
 Pada beberapa kasus dapat disebabkan oleh penggunaan alat kontrasepsi
dalam rahim (AKDR).
 Penularan melalui hubungan seksual / masih aktif dalam berhubungan seksual.
 Status sosial ekonomi (Sarwono, 2011).

Wanita yang mengalami keputihan tidak normal merupakan indikasi dari


berbagai penyakit seperti vaginitis, kandidiasis, dan trikomoniasis. Keputihan ini juga
dapat disebabkan karena kelelahan fisik, dimana meningkatnya pengeluaran energi
menekan sekresi hormon estrogen yang menyebabkan terjadi penurunan kadar
glikogen. Glikogen digunakan oleh Lactobacillus doderlein untuk metabolisme. Sisa
dari metabolisme ini adalah asam laktat yang digunakan untuk menjaga keasaman
vagina. Jika asam laktat yang dihasilkan sedikit, bakteri, jamur, dan parasit mudah
berkembang. Selain itu juga bisa disebabkan karena kurangnya menjaga kebersihan
diri. Keputihan yang abnormal banyak dipicu oleh cara wanita dalam menjaga
kebersihan dirinya, terutama alat kelamin. Kegiatan kebersihan diri yang dapat
memicu keputihan adalah penggunaan pakaian dalam yang ketat dan berbahan nilon,
cara membersihkan alat kelamin (cebok) yang tidak benar, penggunaan sabun vagina
dan pewangi vagina. Selain itu juga dapat disebabkan karena pemakaian celana yang
terlalu ketat. Celana ketat dapat menyebabkan alat kelamin menjadi hangat dan
lembab. Alat kelamin yang lembab dapat meningkatkan kolonisasi dari bakteri, jamur,
dan parasit. Peningkatan kolonisasi dari kuman tersebut dapat meningkatkan infeksi
yang bisa memicu keputihan.
Pada skenario dikatakan bahwa pasien mengeluhkan keluarnya cairan yang
dari vaginanya, sehingga tatalaksana awal yang bisa diberikan adalah:
 Membersihkan dan mendesinfektan daerah organ genitalia aksterna

 Pemberian edukasi tentang cara merawat oran intim

 Jaga kelembapan organ intim


 Dapat menggunakan tea tree oil. Tea tree oil mengandung antibakteri yang
bisa membunuh bakteri serta kuman penyebab bau amis akibat keputihan.
 Hindari stress
 Ketika mengeringkan atau menyeka daerah kawanitaan, pastikan untuk
menyeka dari depan ke belakang.

 Edukasi untung melakukan pemeriksaan penunjang agar mengetahui


diagnosa pasti dari keputihan yang abnormal ini
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisologi

Gambar 1: anatomi genitalia femina bagian eksterna dan interna (Sherwood )


A. Organ Genitalia Eksterna

a. Vulva atau pudenda

Vulva merupakan alat kelamin luar wanita yang meliputi seluruh struktur
eksternal yang dapat dilihat mulai dari pubis sampai perineum, yaitu mons
veneris, labia mayora dan labia minora, klitoris, selaput darah (hymen),
vestibulum, muara uretra, berbagai kelenjar dan struktur vascular. (Kusmiyati,
2012).

b. Mons veneris (mons pubis)

Bagian ini menonjol yang meliputi bagian depan tulang kemaluan (simfisis
pubis) dan terdiri jaringan lemak. Karena adanya bantalan lemak, bagian ini
sangat berperan dalam hubungan seksual dan dapat melindungi simfisis pubis saat
koitus dari trauma. Dengan meningkatnya usia, lemak bawah kulit akan berkurang
termasuk dibagian mons pubis, selain itu rambut pubispun akan menjadi menipis.
Pada perempuan umumnya batas atas rambut melintang sampai pinggir atas
simfisis, sedangkan ke bawah sampai sekitar anus dan paha. Pada orang dewasa
biasanya ditutupi rambut, dan pada laki-laki rambut kemaluan (pubis) sering
meluas keatas sampai umbilikus. Mons pubis mengandung banyak kelenjar sebasea
(minyak) berfungsi sebagai bantal pada waktu melakukan hubungan seks .
(Kusmiyati, 2012).

c. Labia mayora

Labia mayora atau bibir-bibir besar terdiri atas dua bagian yaitu bagian
kanan dan kiri. Bagian ini merupakan lipatan kulit yang tebal karena jaringan
subkutannya banyak mengandung lemak. Labia mayora kanan dan kiri bersatu di
sebelah belakang yang disebut komisura posterior dan merupakan batas depan
perineum. Permukaan luarnya ditumbuhi rambut dan banyak mengandung
kelenjar minyak. Didalamnya terdapat pula banyak pleksuspleksus vena yang
dapat mengalami hematoma bila terkena trauma. Jaringan syaraf yang menyebar
luas menyebabkan labia mayora sensitif terhadap nyeri, suhu tinggi, sentuhan
yang juga berfungsi selama rangsangan seksual. (Kusmiyati, 2012).

d. Labia minora (nymphae)


Labia minora merupakan lipatan kulit di sebelah tengah labia mayora,
dan selalu basah karena dilumasi oleh kelenjar-kelenjar dilabia minora. Pembuluh
darah yang sangat banyak membuat labia berwarna kemerahan dan
memungkinkan labia minora mengembang bila ada stimulus emosional atau
stimulus fisik. Labia minora tidak ditumbuhi rambut karena tidak mengandung
folikel rambut tetapi banyak mengandung kelenjar minyak dan beberapa kelenjar
keringat. Akhiran-akhiran syaraf yang sensitif banyak sekali terdapat pada labia
minora dan ini penting dalam rangsangan-rangsangan seksual, sehingga dapat
meningkatkan erotiknya. Disebelah depan ia membentuk frenulum klitoris dan di
sebelah belakang ia bertemu dalam suatu peninggian yang disebut fourchette
(frenulum labiorum pudendi = frenulum labiorum minorum). Ruangan diantara
kedua labia minora disebut vestibulum. (Kusmiyati, 2012).

e. Klitoris
Klitoris merupakan suatu tunggul atau organ yang sedikit menonjol dan
identik dengan penis laki-laki. Organ ini mengandung banyak urat-urat syaraf
sensoris dan erektil. Dengan banyaknya urat syaraf dan pembuluh darah, gland
klitoridis amat sensitif sehingga dapat mengembang bila ada rangsangan seksual
atau sensasi erotik. Besarnya klitoris bervariasi antar setiap wanita, tetapi kira-kira
sebesar kacang hijau. Klitoris tertutup oleh preputium klitoridis, dan terdiri atas
glans klitoridis, korpus klitoridis, dan dua krura yang menggantungkan klitoris ke
os pubis. Fungsi utama klitoris adalah menstimulasi dan meningkatkan
ketegangan seksual. (Kusmiyati, 2012).

f. Vestibulum
Vestibulum merupakan suatu rongga yang berbentuk seperti perahu atau
lonjong dan dibatasi oleh labia minora kanan dan kiri, sebelah atas dibatasi oleh
klitoris dan di sebelah belakang bawah oleh fourchet. Ada enam lubang yang
bermuara ke dalam vestibulum yaitu satu buah orifisium uretra eksternum, dua
muara dari lubang muara kelenjar parauretralis, introitus vaginae dan dua muara
yang berasal dari lubang muara kelenjar bartolini, yang terdapat di samping dan
agak kebelakang dari introitus vagina. Pada bagian belakang (posterior) cekungan
ini terdapat cekungan lagi yang disebut fossa navikularis. Kelenjar bartolini
merupakan kelenjar yang membasahi vestibulum karena mengeluarkan sekret
mukus selama rangsangan seksual. Pada vestibulum ini terdapat pembuluh darah
dan kumpulan vena yaitu Bulbus vestibuli dan Arteria. Bulbus vestibuli
merupakan kumpulan vena yang terletak dibawah selaput lendir vestibulum dan
terletak di sebelah kanan dan kiri linea mediana. Sebagian tertutup oleh muskulus
bulbokavernosus dan muskulus iskiokavernosus. Arteria yang berjalan di dalam
daerah ini antara lain arteri pudenda interna (cabang dari arteri iliaka interna),
yang bercabang pada arteri hemoroidalis inferior (arteri rektalis inferior); arteri
perinialis yang kemudian berakhir sebagai arteri labialis posterior; arteri klitoridis
kemudian bercabang menjadiarteri bulbi vestibuli yang masuk dalam bulbus
vestibuli; arteri uretralis; arteri profunda klitoridis; dan arteri pudenda eksterna
(cabang dari arteri femoralis) yang mempercabangkan arteri labialis anterior.
Permukaan vestibulum yang tipis dan agak berlendir mudah teriritasi oleh bahan
kimia, panas, dan friksi. (Kusmiyati, 2012).

g. Introitus Vagina

Introitus vagina merupakan sebuah lubang menuju vagina yang memiliki


bentuk dan ukuran berbeda-beda. Pada seseorang yang belum pernah melakukan
koitus, introitus vagina dilindungi oleh labia mayora dan ditutupi oleh selaput
dara.

h. Perineum

Vulva dan anus dipisahkan oleh suatu jaringan yang disebut sebagai
perineum. Perineum merupakan daerah muskular yang ditutupi kulit, yang
membentang antara komisura posterior dan anus. Panjangnya rata-rata 4 cm. Pada
persalinan, korpus perinei ini mudah robek, sehingga episiotomi dapat dikerjakan
pada waktu yang tepat dan cepat guna mencegah ruptur yang spontan.Perineum
ini dibentuk oleh diafragma pelvis dan diafragma urogenitalis. Diafragma pelvis
terdiri atas muskulus levator ani, muskulus koksigeus dan fasia yang
menutupinya. Diafragma urogenitalis terletak di sebelah luar diafragma pelvis,
antara tuberkulum iskhiadikum dan simfisis pubis. Yang merupakan otot dasar
panggul adalah muskulus levator ani dan muskulus koksigeus. Adapun otot-otot
yang membentuk muskulus levator ani terdiri dari muskulus pubokoksigeus yang
terletak disebelah medial, muskulus ileokoksigeus yang berada disebelah lateral
belakang, dan muskulus puborektalis. Muskulus puborektalis melingkari anus dan
vagina, berfungsi sebagai support terhadap anus, vagina dan uretra bagian atas.
Secara keseluruhan muskulus levator ani merupakan alat penyangga utama organ-
organ dalam pelvis. Kelemahan pada otot ini (karena usia, sering melahirkan dll)
dapat menyebabkan uterus turun, yang disebut desensus uteri atau prolapsus uteri.
Bila alat-alat penggantung uterus kendor, maka uterus dapat keluar seluruhnya
atau disebut prolapsus uteri totalis.Muskulus bulbokavernosus, melekat pada
korpus kavernosus klitoridis. Serabut-serabutnya bersilangan bersama-sama
dengan muskulus iskiokavernosus di linea mediana mengelilingi uretra
membentuk muskulus sfingter uretrae. Muskulus iskiokavernosus berorigo di os
iskium, yang insersinya berada pada simfisis pubis. Sebagian otot-ototnya juga
menutupi bulbus vestibuli.Muskulus tranversus perinei superfisialis, berorigo pada
os iskium, dan insersinya terdapat pada tendo sentralis.Ketiga otot tersebut
bersama dengan muskulus puborektalis merupakan fiksasi dan support terpenting
untuk vagina dan vulva.Pada saat persalinan, vagina sangat teregang termasuk
otot-otot tersebut. Bila regangannya begitu hebat, vagina dan otot-otot tersebut
dapat robek. (Kusmiyati, 2012).
B. Organ Genitalia Interna

Gambar 2 : anatomi genitalia femina bagian interna (Sherwood )


a. Vagina (Liang Sanggama)

Vagina merupakan penghubung antara introitus vagina dan uterus.


Dinding depan dan belakang vagina berdekatan satu sama lain, masing- masing
panjangnya berkisar antara 6-8 cm dan 7-10 cm. Bentuk vagina sebelah dalam
yang berlipat-lipat dinamakan rugae. Di tengah-tengahnya ada bagian yang lebih
keras disebut kolumna rugarum. Lipatan ini memungkinkan vagina dalam
persalinan melebar sesuai dengan fungsinya sebagai bagian lunak jalan-lahir. Di
vagina tidak didapatkan kelenjar bersekresi. Fungsi vagina adalah sebagai saluran
keluar uterus, alat sanggama, dan jalan lahir

Vagina mendapatkan darah/memiliki vaskularisasi dari (1) arteri uterine,


yang melalui cabangnya ke serviks dan vagina memberikan darah ke vagina
bagian tengah 1/3 atas; (2) arteria vesikalis inferior, yang melalui cabangnya
memberikan darah ke vagina bagian 1/3 tengah; (3) arteria hemoroidalis mediana
dan arteria pedundus interna yang memberikan darah ke bagian 1/3 bawah.

Sel dinding vagina mengandung banyak glikogen yang menghasilkan asam


susu dengan PH 4,5. Keasaman vagina memberikan proteksi terhadap infeksi.
Fungsi utama vagina yaitu sebagai saluran untuk mengeluarkan lendir uterus dan
darah menstruasi, alat hubungan seks dan jalan lahir pada waktu persalinan.
b. Uterus

Uterus terletak di panggul kecil, sebelah depan dibatasi oleh kandung


kencing dan di sebelah belakang oleh rektum. Ukurannya sebesar telur ayam dan
mempunyai rongga. Bentuk uterus seperti buah advokat atau buah peer yang
sedikit gepeng kearah muka belakang. Dua lembar peritoneum menutupi bagian
ini, bagian kanan dan kirinya bersatu membentuk ligamentum latum. Lipatan
peritoneum di sebelah depan longgar, yang disebut plika vesikouterina, kavum
douglas merupakan kantong terletak di sebelah belakang lipatan peritoneum
antara uterus dan rektum. Disebelah lateral, ia berhubungan dengan struktur-
struktur yang ada didalam ligamentum latum yaitu Tuba fallopi, Ligamentum
rotundum, Ligamentum ovarii proprium, serta Arteri dan vena. Dindingnya terdiri
dari otot-otot polos. Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm, lebar diatas 5,25 cm,
tebal 2,5 cm dan tebal dinding 1,25 cm. Letak uterus dalam keadaan fisiologis
adalah anteversiofleksio (serviks ke depan dan membentuk sudut dengan vagina,
sedangkan korpus uteri ke depan dan membentuk sudut dengan serviks uteri).
Uterus terdiri atas (1) fundus uteri; (2) korpus uteri dan (3) serviks uteri. Bagian
serviks antara ostium uteri internum anatomikum dan ostium uteri hystoligicum
disebut ithmus uteri. Bagian tersebut melebar selama kehamilan dan disebut
segmen bawah rahim.Korpus uteri biasanya membentuk sudut kedepan terhadap
serviks. Keadaan ini disebut antefleksi. Bisa juga posisi uterus retrofleksi atau
lurus. Posisi ini dipengaruhi oleh isi kandung kencing dan rektum. Tiga fungsi
uterus adalah siklus menstruasi dengan peremajaan endometrium, kehamilan dan
persalinan.
c. Tuba fallopi

Tuba fallopi merupakan saluran ovum yang terentang antara kornu uterine
hingga suatu tempat dekat ovarium dan merupakan jalan ovum mencapai rongga
uterus. terletak di tepi atas ligamentum latum berjalan ke arah lateral mulai dari
osteum tubae internum pada dinding rahim. Panjang tuba fallopi sekitar 12cm
diameter 3-8cm. Tuba Fallopi terdiri atas (1) pars interstisialis, yaitu bagian yang
terdapat di dinding uterus (2) pars ismikia, merupakan bagian medial tuba yang
sempit seluruhnya; (3) pars ampularis, yaitu bagian yang berbentuk sebagai
saluran agak lebar, tempat konsepsi terjadi; dan (4) infundibulum, yaitu bagian
ujung tuba yang terbuka ke arah abdomen dan mempunya fimbria.

Fungsi tuba fallopi:

1) Sebagai jalan transportasi ovum dari ovarium sampai kavum uteri.

2) Untuk menangkap ovum yang dilepaskan saat ovulasi.

3) Sebagai saluran dari spermatozoa ovum dan hasil konsepsi.

4) Tempat terjadinya konsepsi.

5) Tempat pertumbuahan dan perkembangan hasil konsepsi sampai mencapai


bentuk blastula yang siap mengadakan implantasi.
d. Ovarium

Perempuan pada umumnya mempunyai 2 indung telur kanan dan kiri.


Mesovarium menggantung ovarium di bagian belakang ligamentum latum kiri dan
kanan. Ovarium terletak di fosa ovarika yang merupakan suatu cekungan pada
percabangan arteri iliaka eksterna dan arteri hipogastrika. Besar ovarium kurang
lebih sebesar ibu jari tangan dengan ukuran kira-kira 4 cm, lebar dan tebal kira-
kira 1,5 cm. Ada dua ligamentum yang menggantung ovarium yaitu: Ligamentum
ovarii proprium yang menggantung ke uterus dan Ligamentum suspensorium
ovarii (infundibulopelvikum) yang menggantung ke dinding lateral panggul.
Ovarium terdiri dua bagian yaitu bagian luar (cortex) dan bagian dalam (medula).
Pada cortex terdapat folikel-folikel primordial, pada medula terdapat pembuluh
darah, urat saraf dan pembuluh limpa.Secara ontogenis, ada tiga unsur yang
membentuk jaringan ovarium, yaitu Epitel coelom (mesotelium) yang menjadi
pelapis ovarium dan sel-sel folikuler (granulosa), Sel-sel germinal (asal dari sel-
sel endodermal primitif dari dinding yolk-sac dekat pangkal alantois), sertaSel-sel
mesenkim lain yang menjadi sel-sel stroma dan sel teka. (Prawirohardjo, 2010).

Fungsi utama ovarium adalah sebagai tempat pemasakaan sel-sel germinal.


Selain itu, ovarium juga berfungsi sebagai sumber produksi hormon-hormon.
Diperkirakan pada waktu lahir, di dalam ovarium wanita terdapat kira-kira
100.000 folikel primer. Tiap bulan satu folikel akan keluar, kadang-kadang dua
folikel, yang dalam perkembangannya akan menjadi folikel de Graff. Folikel de
Graff yang matang terdiri atas:
a. Ovum, yakni suatu sel besar dengan diameter kira-kira 0,1 mm, yang
mempunyai nukleus dengan anyaman kromatin yang jelas sekali dan satu
nukleus;

b. Stratum granulosum yang terdiri atas sel-sel granulosum, yakni sel-sel bulat
kecil dengan inti yang jelas pada pewarnaan dan mengelilingi ovum; pada
perkembangan lebih lanjut terdapat ditengahnya suatu rongga terisi cairan atau
likuor follikuli;

c. Teka interna, suatu lapisan yang melingkari stratum granulosum dengan sel-sel
lebih kecil daripada sel granulosa; dan

d. Diluar teka interna ditemukan teka eksterna, terbentuk oleh stratum ovarium
yang terdesak. (Yeni Kusmiyati, 2017).
2.2 Diagnosis Banding
2.2.1 Bakterial Vaginosis
Definisi
Vaginosis bakterial (VB) adalah suatu keadaan abnormal pada ekosistem
vagina yang ditandai adanya konsentrasi Lactobacillus sebagai flora normal
vagina digantikan oleh konsentrasi tinggi bakteri anaerob, terutama Bacteroides
sp., Mobilluncus sp., Gardnerella vaginalis, dan Mycoplasma hominis. Penyakit
ini disebut juga vaginitis nonspesifik, vaginitis Gardnerella vaginalis atau
vaginosis anaerobik. (Siahaan, 2016).

Etiologi
Bakterial vaginosis merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan pH dan flora normal yang ada di vagina. Ketidakseimbangan
ini menyebabkan vagina didominasi oleh kuman-kuman lain seperti Gardnerella
vaginalis, Mobiluncus, Prevotella, Bacteroides, dan Mycoplasma sp.
Ketidakseimbangan pH dan jumlah flora normal yang ada di vagina ini dapat
disebabkan oleh beragam faktor mulai dari kurangnya kebersihan, penggunaan
cairan pembersih kemaluan yang tidak sesuai, dan penggunaan alat kontrasepsi.
(Desy Armalina, 2016).

Manifestasi Klinis
Sebagian besar yakni sekitar 50%-75% wanita yang menderita BV
dapat bersifat asimtomatik. Wanita yang menderita BV mempunyai keluhan
adanya duh tubuh vagina, Cairan vagina yang encer,berwarna putih keabu-
abuan, fishy smelling (bau amis), eritema. (I Dewa Ayu Vanessa
Vijayamurthy, 2016).

2.2.2 Trichomoniasis
Definisi
Trikomoniasis merupakan suatu penyakit infeksi protozoa yang
menyerang traktus urogenitalis bagian bawah dan disebabkan oleh Trichomonas
vaginalis, biasanya penyakit ini ditularkan melalui hubungan seksual baik pada
pria maupun wanita. (Nurrahmi Alfari, 2016).

Etiologi
Dikenal tiga spesies penyebab trikomoniasis pada manusia yaitu
Trichomonas vaginalis, Trichomonas tenax, dan Trichomonas hominis.
Trichomonas vaginalis merupakan spesies yang patogen pada manusia dan
menyebabkan trikomoniasis vagina. Trichomonas vaginalis merupakan protozoa
pada traktus urogenitalis penyebab penyakit menular seksual. (Monica Puspa
Sari, 2017).

Manifestasi Klinis
Cairan vagina yang purulent, cairan vagina berwarna kehijauan, kuning-
putih, melodorus, pruritus, dysuria, tanda perdarahan pada servix dan vagina yang
disebut sebagai stroberry servix. Selain itu juga, gejala trikomoniasis pada laki–
laki dapat berupa urethritis, epididimitis, dan prostatitis, namun sering tidak khas
atau asimptomatik pada laki–laki. Sedangkan pada perempuan, gejala dapat
berupa vaginitis dan servisitis. (Monica Puspa Sari, 2017).

2.2.3 Gonorrhea
Definisi
Gonore (GO) merupakan penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang
disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang dapat menyebabkan infeksi
pada uretra, serviks, anus, tenggorokan (bergantung bentuk kontak seks yang
dilakukan), dan meskipun jarang infeksi dapat menyebar diluar organ reproduksi
lainnya. (Bugenvil Ungu, 2017).
Etiologi
Gonore merupakan penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang
disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang dapat menyebabkan infeksi
pada uretra, serviks, anus, tenggorokan (bergantung bentuk kontak seks yang
dilakukan), dan meskipun jarang infeksi dapat menyebar diluar organ reproduksi
lainnya. (Bugenvil Ungu, 2017).

Manifestasi Klinis
Gejala penyakit gonore dapat bersifat simptomatik maupun
asimptomatik. Bakteri N. gonorrhoeae menyerang membran mukosa terutama
membran mukosa dengan jenis epitel kolumnar sebagai tempat infeksinya. Epitel
jenis ini banyak dijumpai pada serviks, rektum, faring, dan konjungtiva sehingga
manifestasi klinis infeksi gonore bersifat variatif. Pada pria dengan gonore,
keluhan uretritis akut paling sering dijumpai. Keluhan ini disertai dengan
keluarnya discharge purulent dari alat kelamin dan rasa nyeri saat kencing. Pada
wanita, sekitar 50% kasus bersifat asimptomatik. Dari beberapa kasus, servisitis
merupakan keluhan yang paling sering dijumpai pada wanita yang terinfeksi
gonore. Selain manifestasi berupa uretritis, infeksi gonore juga dapat
memberikan gambaran klinis proktitis, orofaringitis, konjungtivitis, dan gonore
diseminata. (Bugenvil Ungu, 2017).

2.2.4 Kandidiasis Vulvovaginal


Definisi
Kandidiasis vulvovaginalis (KVV) merupakan suatu penyakit organ
reproduksi pada wanita dimana terjadinya infeksi pada mukosa vulva dan vagina
ditandai dengan adanya keputihan dan gatal dikarenakan pertumbuhan tidak
terkendali dari jamur Candida albicans. (Novita, 2016).

Etiologi
Kandidiasis vulvovaginalis (KVV) disebabkan oleh spesies Candida
albicans atau salah satu dari spesies non Candida albicans: Candida glabrata,
Candida tropicalis, Candida parapsilosis dan Candida krusei. (Nora Harminarti,
2020). Penyebab terbanyak KVV ialah spesies Candida albicans (80- 90%), 3,4
disusul oleh Candida glabrata (29,79%), Candida tropicalis (3,19%), Candida
krusei (2,13%), dan Candida parapsilosis (1,06%). (Novita, 2016).
Manifestasi Klinis
Kandidiasis vulvovaginal biasanya memiliki gejala pada vagina yang
berhubungan dengan peradangan yaitu gatal diikuti dengan rasa terbakar,
kemerahan, keputihan berupa sekret kental seperti keju, berwarna putih
kekuningan, disuria, dispareunia, nyeri vagina dan vagina kering. (Nora
Harminarti, 2020).
Infeksi dapat terjadi secara akut, subakut, dan kronis, didapat baik secara
endogen maupun eksogen yang sering menimbulkan keluhan berupa duh tubuh.
Umumnya infeksi pertama timbul di vagina disebut vaginitis dan dapat meluas
sampai vulva (vulvitis). (Ditta Harnindya, 2016).

2.3 Pemeriksaan Penunjang


 Bakterial Vaginosis
1) Kultur
Usap vagina dikultur baik anaerob maupun aerobik pada permukaan brain
heart infusion plate agar dilengkapi dengan vitamin K (0,5mg/l) dan Haemin (5mg /
l), agar darah dan agar coklat. Sebagai tambahan Bacteroides Bile Esculin
agar,Neomycin Vancomycin Chocolate agar diinokulasi untuk kultur anaerob. Setiap
media diperiksa setelah 48 jam, 96 jam dan 7 hari,hasil kultur yang telah diisolasi
diidentifikasi dengan menggunakan teknik mikrobiologi yang telah distadarisasi.
Kultur merupakan metode yang menjadi gold standard untuk diagnosis
sebagian besarpenyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun, kultur tidak
bisa menjadi gold standarduntuk diagnosis vaginosis bakteri. Hal ini dikarenakan
organismeyang terlibat dalam infeksi BV tidak dapat dipisahkan dengan mudah dan
bakteri–bakteri yang berperan dalam terjadinya infeksi BV tetap ada dengan jumlah
yang sedikit pada kondisi normal sehingga pada hasil kultur akan selalu terdiagnosis
sebagai infeksi BV.4Bakteri Gardnerella vaginalis ditemukan sebanyak 60% pada
kultur vagina normal.

2) Kriteria Spiegel
Metode pemeriksaan Spiegel merupakan penilaian yang berdasar pada jumlah
kuman Lactobacillus, Gardnerella dan flora campuran dalam menegakkan diagnosis
apakah seseorang terdiagnosis BV atau tidak. Kriteria Spiegel bersifat lebih tegas
karena hanya terdapat 2 kriteria aja, yaitu normal dan BV positif,sehingga lebih
memudahkan dalam menentukan perlu atau tidaknya dilakukan terapi.
Jika pada pengecatan Gram menunjukkan predominasi (3+ - 4+)
Lactobacillus, dengan atau tanpamorfotipe Gardnerella, diinterpretasikan normal. Jika
pada pengecatan Grammenunjukkan flora campuran meliputi bakteri Gram positif,
bakteri Gram negatif,atau bakteri Gram variabel dan morfotipe Lactobacillus menurun
atau tidak ada (0-2+), diinterpretasikan infeksi BV. Setiap morfotipe bakteri diamati
pada pemeriksaan dibawah mikroskop dengan pembesaran objektif 100 kali kemudian
dijumlahkan (darirerata 10 lapangan pandang). Skoring untuk morfotipe kuman terdiri
atas 4 kelas,yaitu 1+ jika ditemukan sebanyak < 1 per lapangan pandang; 2+ jika
ditemukansebanyak 1-5 per lapangan pandang; 3+ jika ditemukan sebanyak 6-30 per
lapanganpandang; dan 4+ jika ditemukan sebanyak >30 per lapangan pandang.

3) Kriteria Nugent
Kriteria Nugent atau juga dikenal sebagai skor Nugent merupakan metode
diagnosis infeksi BV dengan pendekatan berdasarkan jumlah bakteri yang ada sekret
vagina. Kriteria Nugent merupakan modifikasi dari metode Spiegel dalam
penghitungan jumlah kuman pada preparat basah sekret vagina.
Kriteria Nugent dinilai dengan adanya gambaran Lactobacillus, Gardnerella
vaginalis danMobiluncus spp. (skor dari 0 sampai 4 tergantung pada ada atau tidaknya
pada preparat). Kuman batang Gram negatif/Gram variable kecil (Garnerella
vaginalis) jika lebih dari 30 bakteri per lapangan minyak imersi (oif) diberi skor 4; 6-
30 bakteri per oif diberi skor 3; 1-5 bakteri per oif diberi skor 2; kurang dari 1 per oif
diberi skor 1; dan jika tidak ada diberi skor 0.Kuman batang Gram-positif besar
(Lactobacillus) skor terbalik, jika tidak ditemukan kuman tersebut pada preparat
diberi skor 4; kurang dari 1 per oif diberi skor 3; 1-5 per oif diberi skor 2; 6-30 per oif
diberi skor 1; dan lebih dari 30 per oif diberi skor 0. Kuman batang
Gram berlekuk-variabel (Mobiluncus sp.), jika terdapat lima atau lebih bakteri
diberi skor 2, kurang dari 5 diberi skor 1, dan jika tidak adanya bakteri diberi skor 0.
Semua skor dijumlahkan hingga nantinya menghasilkan nilai akhir dari 0 sampai 7
atau lebih. Kriteria untuk infeksi BV adalah nilai 7 atau lebih tinggi; skor 4-6
dianggap sebagai intermediate, dan skor 0-3 dianggap normal

4) Kriteria Amsel
Kriteria Amsel dalam penegakan diagnosis BV harus terpenuhi 3 dari 4
kriteria berikut:
a. Adanya peningkatan jumlah cairan vagina yang bersifat homogen.
Keluhan yang sering ditemukan pada wanita dengan BV adalah adanya gejala
cairan vagina yang berlebihan, berwarna putih yang berbau amis dan menjadi lebih
banyak setelah melakukan hubungan seksual. Pada pemeriksaan spekulum didapatkan
cairan vagina yang encer, homogen, dan melekat pada dinding vagina namun mudah
dibersihkan. Pada beberapa kasus, cairan vagina terlihat berbusa yang mana gejala
hampir mirip dengan infeksi trikomoniasis sehingga kadang sering keliru dalam
menegakan diagnosis.
b. pH cairan vagina yang lebih dari 4,5
pH vagina ditentukan dengan pemerikasaan sekret vagina yang diambil dari
dinding lateral vagina menggunakan cotton swab dan dioleskan pada kertas strip pH.
Pemeriksaan ini cukup sensitif, 90% dari penderita BV mempunyai pH cairan vagina
lebih dari 5; tetapi spesitifitas tidak tinggi karena PH juga dapat meningkat akibat
pencucian vagina, menstruasi atau adanya sperma. pH yang meningkat akan
meningkatkan pertumbuhan flora vagina yang abnormal.
c. Whiff test Positif
Whiff test diuji dengan cara meneteskan KOH 10% pada sekret vagina,
pemeriksaan dinyatakan positif jika setelah penentesan tercium bau
amis.1,4,20Diduga meningkat pH vagina menyebabkan asam amino mudah terurai
dan menegeluarkan putresin serta kadaverin yang berbau amis khas. Bau amis ini
mudah tercium pada saat melakukan pemeriksaan spekulum, dan ditambah bila cairan
vagina tersebut kita tetesi KOH 10%. Cara ini juga memberikan hasil yang positif
terhadap infeksi trikomoniasis.
d. Ditemukan clue cells pada pemeriksaan mikroskopis
Menemukan clue cells di dalam sekret vagina merupakan hal yang sangat
esensial pada kriteria Amsel. Clue cells merupakan sel-sel epitel vagina yang
dikelilingi oleh bakteri Gram variabel coccobasilli sehingga yang pada keadaan
normal sel epitel vagina yang ujung-ujungnya tajam, perbatasanya menjadi tidak jelas
atau berbintik. Clue cells dapat ditemukan dengan pengecatan gram sekret vagina
dengan pemeriksaan laboratorium sederhana dibawah mikroskop cahaya. Jika
ditemukan paling sedikit 20% dari lapangan pandang.
5) Gas Liquid Chromatography (GLC)
GLC merupakan salah satu metode diagnosis infeksi BV secara tidak
langsung, yaitu dengan cara mendeteksi adanya hasil metabolisme mikro organisme
sekret vagina. Pada infeksi BV salah satu gejala yang menjadi karakteristik yang khas
yaitu didapatkan bau amis pada sekret vagina. Bau ini berhubungan dengan adanya
hasil matabolisme bakteri yaitu diamin, putresin dan kadaverin.

 Trichomoniasis
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai tubuh vagina yang tampak purulen.
Eritema pada vulva atau vagina., adanya Colpitis macularis atau strawberry cervix
yaitu adanya tampak berupa lesi bercak-bercak makula eritema yang difus atau
terlokalisir pada serviks. Tanpa kolposkopi tanda yang spesifik tersebut terlihat hanya
sekitar 1-2% kasus. Dengan kolposkopi, colpitis macularis tampak lebih dari 45%
kasus. Nyeri abdomen bagian bawah (<10% kasus). Bila terjadi nyeri abdomen bagian
bawah, perlu dipikirkan kemungkinan terjadi salpingitis atau kondisi patologis intra
abdomen lainnya yang terjadi secara bersama-sama. Koinfeksi dengan infeksi gonore,
kandidiasis, dan vaginosis bakteri sering terjadi dan memberikan gambaran klinis
campuran Pada laki-laki
Tanda klinis pada laki-laki jarang tampak, kecuali bila terjadi komplikasi.
Tanda klinis yang tampak berkaitan dengan inflamasi lokal seperti balanitis dan
balanopostitis.
Laboratorium Spesimen klinis yang representatif untuk pemeriksaan
laboratorium meliputi urin, cairan vaginal, endoserviks cairan semen, dan usapan
uretra. Pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan mikroskop dapat menggunakan
preparat basah, dan pewarnaamr meng gu naka n pengecatan gram, giemsa,
panicolaoru periodic acid-schiff, ocridine orange, fluorescein dam
immunoperoksidase. Pengecatan dengan pewarnaan papanicolaou dapat digunakan
secara rutin untuk mendeteksi TV pada wanita yang asimtomatik.
Biakan.: Biakan merupakan gold standart untuk diagnosis infeksi TV. Biakan
mikroorganisme dilakukan dalam medium diomond.
Pemeriksaan diagnostik cepat (rapid test). Saat ini rapid test untuk mendeteksi
TV ada pada wanita namun belum ada untuk laki-laki. Terdapat 2 jenis pemeriksaan
rapid test yaitu The Affirm VPlll MicM yang menggunakan probe oligonukleotida dan
The OSOM trichomonos Ropid test yang merupakan tes immunokromatografi.
 Gonorrhea
1. Kultur
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk diagnosis gonore, dalam
pemeriksaan ini dibutuhkan 2 media yaitu media transport dan media
pertumbuhan. Media transport yang dapat digunakan adalah media Stuart dan
Transgrow. Sedangkan media pertumbuhan yang dapat digunakan antara lain agar
cokelat Mc Leod, agar Thayer-Martin, atau agar Thayer-Martin modifikasi.
Gonokokus merupakan organisme yang fastidious, spesimen yang
didapatkan selanjutnya akan ditanam di media selektif (medium Thayer
Martin) dan diinkubasi pada atmosfer yang mengandung CO2 5% pada suhu
37oC. Apabila spesimen tadi tidak segera diinkubasi, maka spesimen harus
ditempatkan di media transport yang mengandung CO2. Pemeriksaan dengan
media Thayer Martin pada biakan kuman Neisseria gonorrhoeae menunjukkan
hasil biakan koloni kuman yang translusen dan tidak berpigmen dengan
ukuran 0,5-1,0 mm.

2. Tes Laboratorium
Pemeriksaan tambahan atau pemeriksaan penunjang direkomendasikan
untuk pasien suspek mengalami infeksi gonorrhea dimana pasien tersebut
memiliki tanda dan gejala, ataupun pasien yang asimptomatik. Pemeriksaan
mikroskopis dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi diplokokus gram
negatif yang memiliki sensitivitas >90% untuk pasien laki-laki yang
simptomatis dan 50-75% untuk pasien laki-laki asimptomatik dan spesifisitas
>90 pada pasien laki-laki yang mengalami gejala yang simptomatik dan
asimptomatik. Keuntungan primer diagnosis dengan mikroskopis pada penderita
gonorrhea adalah hasil yang lebih cepat diketahui. Tapi untuk meningktakan
sensitivitas, mdiagnosisnya dapat dilakukan dengan mengkombinasi pemeriksaan
mikroskopis dengan pemeriksaan kultur dan NAAT, akan tetapi jika pada
pemeriksaan mikroskopis sudah ditemukan Neisseria gonorrhoeae maka kultur
berfungsi untuk melihat apakah adanya resistensi pada pengobatan infeksi
tersebut.

3. Nucleic Acid Hybridization Test dan Nucleic Acid Amplification Test


Spesimen yang digunakan untuk nucleic acid hybridization test berasal
dari swab endoserviks pada wanita dan swab uretra pada pria. Sedangkan untuk
pemeriksaan NAATs, spesimen diambil dari swab endoserviks, vaginal, uretra
(pria), atau urin (pria dan wanita). Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas yang
tinggi, namun tetap memiliki kelemahan yakni dapat terjadi reaksi silang dengan
spesies Neisseria nongonokokal.

4. Tes Definitif
Tes definitif ini terdiri dari dua tes, yakni tes oksidasi dan tes
fermentasi. Tes oksidasi dapat dilakukan dengan cara menambahkan reagen
oksidasi (larutan tetrametil-p-fenilendiamin hidroklorida 1%) pada koloni
gonokokus tersangka. Warna bening akan berubah menjadi merah muda
lembayung yang menandakan bahwa sampel tersebut positif. Sedangkan tes
fermentasi dilakukan dengan cara menambahkan larutan glukosa, maltosa, dan
sukrosa pada koloni gonokokus. Perubahan hanya akan terjadi pada koloni
yang ditambahkan dengan larutan glukosa, karena gonokokus hanya dapat
memfermentasi glukosa.
 Kandidiasis Vulvovaginal

Untuk mendiagnosis kondisi ini, penyedia harus melakukan pemeriksaan


panggul, persiapan basah vagina, pengujian pH, dan pengujian untuk
mengecualikan etiologi lain dari keputihan dan infeksi vagina (khususnya
penyakit gonokokus dan klamidia). Pada pasien dengan vulvovaginitis candidal,
peradangan terbukti selama pemeriksaan panggul. Namun, serviks biasanya
normal dan tidak meradang. Pasien seharusnya tidak memiliki kelembutan
gerakan serviks, dan seharusnya tidak ada debit abnormal dari os serviks. Pada
pasien dengan kandidiasis vulvovaginal, pH vagina biasanya kurang dari 5. Pada
persiapan basah, penyedia harus melihat lactobacillus sebagai bakteri yang ada,
dan juga kemungkinan akan melihat sel-sel inflamasi. Pasien harus memiliki tes
Whiff negatif (bau amis ketika kalium hidroksida diterapkan pada debit pada
slide). Setelah aplikasi kalium hidroksida, penyedia mungkin melihat ragi pemula,
hifa, atau pseudohyphae pada mikroskop.

Vaginitis mungkin sekunder dari lebih dari satu etiologi, dan oleh karena
itu penyedia harus waspada terhadap keberadaan sel petunjuk (perwakilan dari
vaginosis bakteri) atau trichomonad (perwakilan trikomoniasis) pada prep basah.

Sebagian besar infeksi adalah sekunder dari Candida albicans, dan jika
penyedia melihat ragi yang mulai tumbuh dalam pengaturan klinis wanita usia
reproduksi yang mengalami vulvovaginitis, tidak perlu melakukan kultur
konfirmasi untuk Candida (walaupun penyelidikan DNA untuk infeksi menular
seksual sering masih sesuai). Karena spesies Candida adalah bagian dari flora
normal vagina pada banyak wanita, budaya rutin pada wanita tanpa gejala juga
tidak dianjurkan. Pada wanita dengan episode berulang dari candidv
vulvovaginitis, kultur harus diperoleh untuk mengidentifikasi spesies jamur yang
mungkin resisten terhadap terapi empiris khas atau untuk mengidentifikasi
penyebab alternatif vaginitis.

2.5 Diagnosa Kerja


Adapun dalam menegakkan diagnosa kerja harus ditentukan berdasarkan tanda
dan gejala, serta beberapa pemeriksaan, baik pemeriksaan fisik ataupun pemeriksaan
penunjang, dan juga berdasarkan referensi dan diskusi kelompok pada sesi 1 dan sesi
2. Dalam skenario tidak dijelaskan adanya pemeriksaan penunjang yang dilakukan
pasien. Sehingga kelompok kami mengambil kesimpulan untuk menegakan diagnosis
berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik saja dan yang lebih mengarah pada kasus
skenario LBM 1 adalah Vaginitis dalam beberapa kondisi yang mencakup bacterial
vaginosis, kandidiasis vulvovaginal, dan trikomoniasis.
2.5.1 Epidemiologi
Prevalensi kejadian Bakterial Vaginosis di seluruh dunia terbilang cukup
tinggi. prevalensi BV sebesar 25%, dan 50% diantaranya asimtomatis. Menurut
data dari World Health Organization (WHO) angka kejadian BV pada wanita
hamil berkisar 14-21% di negara Eropa, di Asia dilaporkan 13,6% di Jepang,
15,9% di Thailand dan 32% di Indonesia. Pada tahun 2009, di Indonesia sebanyak
75% wanita pernah mengalami keputihan minimal satu kali dalam hidupnya dan
45% diantaranya bisa mengalami keputihan sebanyak dua kali atau lebih. Wanita
dengan BV mempunyai risiko 3-8 kali lebih tinggi mengalami pada ketuban
pecah dini (46%) dibandingkan wanita tanpa BV (4%). BV memberikan keluhan
duh tubuh vagina dan berbau, namun 50% pasien tidak memberikan gejala apapun.
(Rina Nulianti, 2017).
Kandidiasis Vulvovaginalis merupakan penyebab terbanyak kedua penyakit
yang menyerang wanita di Eropa dan Amerika Serikat. Di India pada tahun 2013,
kandidiasis vulvovaginalis (53,3%) menyerang kelompok wanita usia reproduksi
antara 21-30 tahun dengan penyebab terbanyak yaitu Candida albicans (86%).
Penyebab terbanyak KVV ialah spesies Candida albicans (80- 90%), 3,4 disusul
oleh Candida glabrata (29,79%), Candida tropicalis (3,19%), Candida krusei
(2,13%), dan Candida parapsilosis (1,06%). (Novita, 2016). Sebanyak tiga
perempat wanita dalam masa hidupnya pernah mengalami KVV, terutama pada
masa usia subur dan 5% wanita bisa mengalami rekurensi KVV. Data di Amerika
disebutkan 13 juta pertahun kasus KVV dan merupakan penyakit dengan keluhan
duh tubuh terbanyak kedua setelah bakterial vaginosis. (Yuri Widya, 2018).
Menurut organisasi Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO),
diperkirakan ada 7,4 Juta kasus trikomoniasis setiap tahun di Amerika Serikat, dengan
lebih dari 180 Juta kasus yang dilaporkan Worldwide. Dan jumlah sebenarnya
penderita infeksi trikomoniasis mungkin jauh lebih tinggi dari ini menurut Pusat
Pengendalian Penyakit “(Center for Disease Control)”. Tes diagnostic yang paling
umum digunakan hanya memiliki tingkat sensitifitas sebesar 60-70%. Di Indonesia
kejadian lebih tinggi yaitu mencapai 70% remaja mengalami leukorea yang
disebabkan oleh jamur dan parasite seperti cacing kremi atau protozoa (Trichomonas
vaginalis). Angka ini berbeda tajam dengan Eropa yang hanya 25% saja. Di setiap
provinsi khususnya di provinsi Sumatera Utara tingkat kejadian mencapai 19%
pertahunnya. Trikomoniasis menginfeksi sekitar 1-10 wanita, terkadang selama
bertahun-tahun mereka aktif secara seksual. Pada kebanyakan wanita jamur ini hidup
dalam saluran vagina yang seperti beledu dan tidak menimbulkan gejala. Pada
kebanyakan pria, jamur hidup dalan saluran kencing di penis. (Seri Wahyuni Harahap,
2017).

2.5.2 Faktor Resiko


Bakterial vaginosis merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh ketidak
seimbangan pH dan jumlah flora normal vagina. Keadaan ini tidak terjadi begitu saja,
namun disebabkan oleh beberapa faktor seperti penggunaan pembersih kewanitaan
yang tidak tepat, keadaan lingkungan yang lembab, penggunaan celana ketat, tidak
mengganti celana dalam, kurang kekebalan tubuh, merokok, penggunaan kontrasepsi,
jumlah pasangan seksual yang banyak dan lain sebagainya. Dapat dilihat dari faktor-
faktor tersebut sebagian besar disebabkan oleh pola hidup wanita yang kurang sehat.
Kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut dapat menyebabkan terjadinya pergeseran pH
vagina, berkurangnya Lactobascilus sp. sebagai flora normal vagina, atau
pertumbuhan berlebih dari kuman-kuman normal yang ada di vagina. Selain faktor
tersebut diatas, perlu diingat bahwa Indonesia memiliki iklim tropis sehingga
menyebabkan keadaan tubuh menjadi lebih lembab bila dibandingkan dengan negara-
negara lain. Hal ini tentunya perlu disadari oleh wanita Indonesia agar menjadi lebih
waspada akan kebersihan tubuh terutama organ kewanitaan. Kebiasaan sederhana
seperti mengganti celana dalam bila terasa lembab, mengganti pembalut minimal
empat jam sekali, dan mengelap vagina setelah buang air kecil dan besar dengan
handuk atau tissu kering tanpa pewangi tentunya dapat mengurangi risiko terjadinya
BV. (Rina N., 2017).
Faktor resiko trikomoniasis diantaranya penyakit menular seksual lainnya,
kontak seksual dengan banyak pasangan seksual, berhubungan seksual 2 kali
perminggu atau lebih, mempunyai pasangan seksual 3 orang atau lebih dalam 1 bulan
terakhir, tidak pakai kondom, pekerja seks komersial, dan kadar pH vagina yang
tinggi. Selain itu, trikomoniasis dikaitkan dengan kelahiran prematur atau pecahnya
ketuban dan berat badan lahir rendah. (Nurrahmi, A., 2016).
Faktor-faktor predisposisi KVV diantaranya kehamilan, penggunaan
kontrasepsi oral, pemakaian Intra Uterine Devices (IUD), diabetes melitus,
kondisi imunitas tubuh yang menurun, penggunaan douching vagina, serta
penggunaan antibiotik dan steroid sistemik jangka panjang. (Yuri, W., 2018).
Kandidiasis Vulvovaginalis pada kehamilan ditemukan pada 2,2% pasien. Pada
kehamilan puncak insidens KVV terjadi pada trimester ketiga. Salah satu
penyebabnya adalah tingginya hormon reproduksi dapat meningkatkan glikogen pada
vagina yang digunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan dan germinasi
Candida. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya resiko KVV pada kehamilan
adalah peningkatan esterogen yang mendorong pembentukan hifa dan menyebabkan
jamur lebih mudah melekat pada mukosa sel epitel. (Pudji Lestari, 2018).

2.5.3 Patofisiologi
Patofisiologi vaginitis dipengaruhi oleh flora normal vagina.
Keseimbangaan mikroorganisme secara komplek dan rumit menjaga flora normal
vagina. Beberapa mikroorganisme yang berperan penting adalah lactobacillus,
corynebacterium, dan jamur. Lactobacillus spp mendominasi flora vagina wanita
sehat usia reproduksi, di mana organisme ini memetabolisme glikogen yang
tergantung pada estrogen yang disimpan di epitel skuamosa. Glikogen
dimetabolisme menjadi asam laktat, yang berkontribusi untuk menciptakan pH
vagina normal sebesar < 4,5. Selain itu, Lactobacillus spp bersama dengan
sejumlah faktor lain memproduksi H 2O2 yang bersama pH asam bertanggung
jawab untuk memastikan jumlah bakteri lain di flora komensal vagina tetap di
bawah ambang kritis. Faktor yang dapat mengubah komposisi flora normal
vagina misalnya umur, aktivitas seksual termasuk pelecehan seksual, status
hormon, kebersihan vagina, status imunologi, dan penyakit kulit yang mendasari.
Menurut penelitian terbaru, kolonisasi Lactobacillus pada wanita sehat biasanya
terdiri dari L. crispatus dan L. iners, yang lebih jarang ditemukan adalah L.
jensenii dan L. gasseri. Asal-usul genetik dan geografis individu perempuan akan
mempengaruhi jenis kolonisasi tersebut. Apabila terjadi peningjatan pada pH
vagina normal dapat mengubah flora vagina, dan menyebabkan pertumbuhan
mikroorganisme patogen. Faktor-faktor yang dapat mengubah lingkungan
vagina termasuk produk-produk pembersih/pewangi vagina, kontrasepsi, obat-
obatan vagina, antibiotik, penyakit menular seksual (PMS), hubungan seksual,
dan stress. pH vagina normal wanita premenopause dan pascamenopause antara
3,8–4,2. Pada pH ini, pertumbuhan organisme patogen biasanya terhambat
karena jumlah estrogen yang berkurang. Sehingga pada usia ini sering
ditemukan vaginitis atrofi.

2.5.4 Tatalaksana dan KIE

Tata Laksana ketiga DD


Trikomoniasis Bakterial Vaginosis Vulvovaginal Candidias
Terapi intravaginal
Krim Butokonazol 2%
Metronidazol Dosis
Metronidazol 500mg oral Krim Mikonazole
tunggal 2 gr oral.
dua kali sehari selama 7 Mikonazole
500 mg oral dua kali
hari Nistatin vaginal 5gr
sehari selama 7 hari
setiap hari selama 3 hari

Gel metronidazole 0,75 %


Terapi oral, Flukonazol
Tinidazol Dosis tunggal Aplikasi intravaginal 5g
(diflucan) Dosis tunggal
2 gr oral setiap kalinya setiap hari
150 mg oral
selama 5 hari
Krim klimdamisin 2%
Aplikasi intravagina 5g
setiap kali setiap hari
selama 7 hari
Klimdamisin 300mg
oraldua kali sehari selama 7
hari

Selain itu diberikan edukasi kepada pasien seperti selalu menjaga kebersihan
daerah kemaluan, tidak menggunakan pakaian yang terlalu ketat, tidak bergonta ganti
pasangan, tidak melakukan seks bebas, dan mengurangi factor resiko dengan
mengubah pola gaya hidup yang sehat. Penjelasan mengenai faktor risiko dan
penyebab bertujuan agar pasien dan pasangannya dapat menghindari faktor risiko
rekurensi penyakit. Selain itu pasien perlu diberikan edukasi untuk melakukan
pemeriksaan penunjang agar dapat mengetahui diagnosa pasti dari keluhan yang
dialaminya.
2.5.5 Komplikasi dan Prognosis
2.5.5.1 Komplikasi
Apabila infeksi Bakterial Vaginosis tidak diobati maka dapat menimbulkan
beberapa komplikasi. Pada Bacterial vaginosis dalam kehamilan dapat mengakibatkan
komplikasi berupa berat bayi lahir rendah, ketuban pecah dini, kelahiran prematur
korioamnionitis, penyakit inflamasi pelvis, Infeksi seksual menular, vaginal cuff
cellulites, servisitis, dan sepsis post abortus. (Rina, N., 2017).
Adapun komplikasi akibat kandidiasis vulvovaginal umumnya
adalah dispareunia atau disuria. Kondisi ini juga sering dikaitkan dengan masalah
sosial, seperti perasaan malu, penarikan diri dari aktivitas seksual, serta disfungsi
seksual, selain itu juga dapat terjadi prematuritas, aborsispontan, chorioamnionitis,
dan beberapa infeksi yang dapat diderita bayi pada saat persalinan. Kandidiasis
vulvovaginal pada kehamilan dapat menyebabkan infeksi sistemik pada neonatus,
sehingga berisiko mengalami berat badan lahir rendah (BBLR) dan bayi prematur.
Komplikasi dari Trikomoniasis dapat menyebabkan infeksi pada kelenjar
skene, bartholinitis radang pada kelenjar bartolin urethritis (radang pada urethra), dan
cystitis (radang pada kandung kemih) serta gangguan psikologi melengkapi infeksi
trikomoniasis. Selain itu keadaan trikomoniasis atau vaginosis trikomonas ini juga
dapat menyebabkan servisitis jika tanpa penanganan yang baik. Jika sudah sampai
menyebabkan servisitis maka dapat menginfeksi organ–organ diatasnya seperti uterus
bahkan ovarium. Beberapa data mengatakan jika prognosis untuk vaginosis
trikomonas umumnya baik jika mendapatkan penatalaksanaan yang adekuat. Namun
jika disertai dengan indikasi servisitis maka penting untuk dilakukan skrining demi
mencegah terjadinya prognosis yang buruk.
2.5.5.2 Prognosis
Prognosis bakterial vaginosis tergantung pada keparahan penyakit dan faktor
risiko yang dimiliki pasien, namun pada umumnya baik. Rekurensi sangat sering
terjadi (>50%). Bakterial vaginosis sering kali asimtomatik sehingga sering
menyebabkan komplikasi, terutama pada kehamilan dan bayi.
Beberapa data mengatakan jika prognosis untuk vaginosis trikomonas
umumnya baik jika mendapatkan penatalaksanaan yang adekuat. Namun jika disertai
dengan indikasi servisitis maka penting untuk dilakukan skrining demi mencegah
terjadinya prognosis yang buruk.
Kandidiasis vulvovaginal memiliki prognosis yang baik, terutama jika kasus
tanpa komplikasi dan penatalaksanaan dilakukan tepat dan cepat. Infeksi Candida
yang tidak diterapi dengan baik dapat menyebabkan infeksi sistemik, sepsis berat, dan
syok septik dengan tanda-tanda kerusakan organ. Prognosis jangka panjang dari
kandidiasis sistemik tergantung dengan derajat keparahan, faktor risiko pada pasien,
serta waktu diagnosis dan pengobatan. Mortalitas dapat meningkat jika kandidiasis
vulvovaginal tidak ditatalaksana dan mengakibatkan infeksi sistemik atau
kandidemia.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keluhan utama dari pasien di scenario adalah keluarnya cairan atau yang biasa
disebut dengan keputihan. Keputihan yang terjadi pada wanita dapat bersifat normal
dan abnormal. Adapun pada kasus scenario, pasien mengalami keputihan yang
abnormal/patologis. Keputihan patologis yaitu keluarnya cairan berwarna keruh dan
berbau disebabkan karena terinfeksi bakteri, parasite maupun jamur. Kuman yang
masuk ke alat kelamin wanita akan menyebabkan infeksi sehingga dapat
menyebabkan keputihan patologis yang biasanya ditandai dengan sekret vagina yang
berwarna keruh atau kuning atau kuning kehijauan, berbau tidak sedap, disertai lesi
atau iritasi vagina, dispareunia, gatal, dan perdarahan.
Pada kasus scenario ini, penting bagi pasien untuk diberikan edukasi, seperti
selalu menjaga kebersihan daerah kemaluan, tidak menggunakan pakaian yang terlalu
ketat, tidak bergonta ganti pasangan, tidak melakukan seks bebas, dan mengurangi
factor resiko dengan mengubah pola gaya hidup yang sehat, selain itu pasien perlu
diberikan edukasi untuk melakukan pemeriksaan penunjang agar dapat mengetahui
diagnosa pasti dari keluhan yang dialaminya.
DAFTAR PUSTAKA

Armalina, D., dkk. 2016. Hubungan Antara Terjadinya Bakterial Vaginosis Dengan
Penggunaan Kontrasepsi Hormonal. Jurnal Kedokteran Diponegoro, Volume 5 (4).

Astiti, N.K.E. 2019. Probiotik Sebagai Terapi Komplementer Bakterial Vaginosis Dalam
Kehamilan. Infokes, Volume 9 (1).

Karim, A., dkk. 2016. Studi Retrospektif: Vaginosis Bakterial. Periodical of Dermatology and
Venereology, Volume 28 (3).

Vijayamurthy, I.A.V. 2016. Vitamin C Sebagai Alternatif Pengobatan Vaginosis Bakterial.


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.

Siahaan, R.E., dkk. 2016. Profil vaginosis bakterial di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2011-Desember 2015. Jurnal e-
Clinic, Volume 4 (2).

Nulianti, R., dkk. 2017. Gambaran Bacterial Vaginosis (BV) pada Wanita Hamil yang
Berusia 25 Hingga 35 Tahun menggunakan Pemeriksaan Laboratorium di RSIA
Anugerah Bunda Khatulistiwa Pontianak. Jurnal Kesehatan Khatulistiwa, Volume 3 (2).

Alfari, N., dkk. 2016. Profil Trikomoniasis Di Poliklinik Kulit Dan Kelamin RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado Periode 1 Januari 2011 – 31 Desember 2015. Jurnal e-Clinic,
Volume 4 (2).
Pitasari, D.A., dkk. 2019. Studi Retrospektif: Profil Infeksi Gonore. Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin – Periodical of Dermatology and Venereology, Volume 31 (1).

Miranti, U., dkk. 2014. Trikomoniasis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin -
Periodical of Dermatology and Venereology, Volume 26 (3). Surabaya: Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.

Sarwono. 2011. Psikologi Remaja.Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Pers.

Harahap, S.W. 2017. Hubungan Pengetahuan Dengan Sikap Remaja tentang Penyakit
Menular Seksual Trikomoniasis di Sma Taman Siswa Binjai tahun 2017. Jurnal
Maternal Dan Neonatal, Volume 2 (1).
Sari, M.P (Monica Puspa Sari). 2017. Metode Diagnostik Trikomoniasis Vagina. Jurnal
Kedokteran Meditek, Volume 23 (63).

Anggraeni, S., dkk. 2018. (Risk Factor of Vulvovaginal Candidiasis / VVC). Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin, Volume 30 (3).

Cunningham, dkk. 2010. Obestetri William. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Khariri., dkk. 2016. Prevalensi dan Pola Resistensi N.gonorrhoeae Terhadap Beberapa
Antibiotik pada Wanita Penjaja Seks di Jakarta Timur, Tangerang dan Palembang
Tahun 2012. Jurnal Biotek Medisiana Indonesia, Volume 5 (1).

Harminarti, N. 2020. Aspek Klinis dan Diagnosis Kandidiasis Vulvovaginal. JIK, Jilid 14,
Nomor 2.

Wahyuningsih, H.P., dkk. 2017. Anatomi Fisiologi. Bahan Ajar Kebidanan. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.

Paulsen F & Waschke J, 2010. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jilid 1 Edisi 23. Jakarta:
EGC

Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K.Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. 2014. Ilmu
Penyakit Dalam. Ed. VI, Jilid 1. Jakarta: Interna Publishing.

Hainer, B.L., dkk. 2011. Vaginitis: Diagnosis and Treatment. American Family Physician,
Volume 83 (7).

Tortora, GJ, Derrickson, B. 2012. Principle of Anatomy & Physiologi. 13th edition. United
States of America: JohnWiley & Sons, Inc.

Octiara, D.L, 2018. Electrochemical Biosensor Sebagai Diagnostik Terbaru Terhadap


Penyakit Gonore. Majority, Volume 7 (3).

Hikmawati, D., dkk. 2019. Pengetahuan tentang Dampak Infeksi Gonore pada Pasien Pria
dengan Gonore. Jurnal Integrasi Kesehatan & Sains (JIKS), Volume 1 (1).

Tasik. N.L., dkk. 2016. Profil kandidiasis vulvovaginalis di Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari–Desember 2013. Jurnal e-
Clinic, Volume 4 (1).
Paramitha, B.A., dkk. 2018. Studi Retrospektif: Karakteristik Kandidiasis Vulvovaginalis.
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Volume 30 (1).

Anda mungkin juga menyukai