Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH TUTORIAL

SKENARIO 5

MODUL 5.3

Pengampu : dr. Yustiana Arie, M.Biomed

Disusun oleh Kelompok 5:


Ketua : Ahmad Turaekhan Jamal 18109011007
Scriber : Rifqi Harya Rukmana 18109011041
Sekretaris : Leonaldo Kristian Yuliharmono 18109011022
Anggota : Bima Bahannudin 18109011039
Mochammad Rifian Ali 18109011040
Fitri Siti Marfu’ah 18109011031
Diana Ayu Permata 18109011033
Ariska Oktaviani 18109011043
Faras Haura 18109011036
Muhammad Irfan Mubarak 18109011018
Alam Pralambang 169010031

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan banyak
nikmat. Selain itu, penulis juga merasa sangat bersyukur karena telah mendapatkan hidayah-
Nya baik iman maupun islam. Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat
menyelesaikan penulisan laporan ini yang merupakan tugas mata kuliah Fakultas Kedokteran
skenario empat pada modul 5.3 Penulis sampaikan terima kasih kepada dosen pembimbing da
n semua pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah ini. Penulis menyadari
dalam laporan ini masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dari isi, struktur penulisan
dan gaya bahasa. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan
laporan dikemudian hari. Demikian semoga laporan ini memberikan manfaat umumnya pada
para pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri, Aamin.

Semarang, 20 Januari 2021


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................3
1.1 SKENARIO................................................................................................................3
1.2 Identifikasi Masalah...................................................................................................3
1.3 Rumusan Masalah......................................................................................................3
1.4 Brainstorming (Curah Pendapat)................................................................................4
1.5 Peta Konsep................................................................................................................5
1.6 Tujuan Pembelajaran..................................................................................................6
BAB 2 PEMBAHASAN............................................................................................................7
2.1 Diagnosis Banding...................................................................................................18
2.2 Definisi dan Etiologi..................................................................................................7
2.2.1 Definisi...............................................................................................................7
2.2.2 Etiologi...............................................................................................................7
2.3 Faktor Resiko dan Epidemiologi................................................................................9
2.3.1 Faktor Resiko.....................................................................................................7
2.3.1 Epidemiologi......................................................................................................7
2.4 Patofisiologi.............................................................................................................11
2.5 Manifestasi Klinis....................................................................................................12
2.6 Penegakan Diagnosis...............................................................................................13
2.7 Penatalaksanaan.......................................................................................................22
2.8 Komplikasi dan Prognosis........................................................................................30
2.8.1 Komplikasi.......................................................................................................30
2.8.2 Prognosis..........................................................................................................31
2.9 Pencegahan...............................................................................................................31
BAB 3 PENUTUP....................................................................................................................32
3.1 KESIMPULAN........................................................................................................32
3.2 DALIL......................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................33

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
LEUKORHEA
Pasien nyonya Melati umur 28 tahun, bekerja sebagai penjaga toko, baru 2 bulan
menikah. Datang berobat ke dokter dengan keluhan keputihan tampak seperti santan
pecah, berbauk anyir daerah kemaluan dirasakan sangat gatal sejak 2 minggu yang lalu, 3
hari ini kalau coitus dan BAK sering merasa perih. Penderita mempunyai siklus
menstruasi yang normal dan tidak menggunakan kontrasepsi.
Suami penderita bekerja sebagai supir dan riwayat melakukan hunungan seksual
denganw anita lain disangkal. Pada pemeriksaan genitalia eksterna: lanium mayus dan
minus tampak eritema dan sedikit erosi. Pada pemeriksaan inspekulo didapatkan:
discharge vagina putih susu, tampak melekat pada dinding vagina. Dokter lalu
menyarankan pasien melakukan pemeriksaan swab vagina untuk menegakan diagnosis.
1.2 Identifikasi Istilah
1. Discharge vagina merupakan cairan yang keluar dari vagina Dan bukan merupakan
darah.
2. Leukorhea dapat juga disebut keputihan, merupakan cairan berwarna putih,
kekuningan, maupun kehijauan yang keluar dari alat kelamin wanita.Cairan tersebut
menunjukkan terjadinya proses deskuamasi pada epitel dinding vagina dikarenakan
efek dari hormone estrogen yang terdapat pada mukosa vagina.
3. Coitus merupakan hubungan seksual atau habungan intim.
1.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara pemeriksaan inspekulo?


2. Apa saja faktor2 penyebab dari keputihan?
3. Apa yang menyebabkan keputihan berbau anyir dan terasa sangat gatal?
4. Apa penyebab menstruasi terhadap keluhan pada pasien?
1.4 Brainstorming (Curah Pendapat)

1. Pemeriksaan inspekulo dilakukan dengan cara memasukan spekulum kedalam


introitus untuk menilai adakah kelainan atau abnormalitas dari dinding vagina,leher
rahim dan sekitar nya.
2. Faktor keputihan
a) Terdapat iritasi di dalam atau sekitar vagina
1
b) Menggunakan sabun atau losion yang mengandung parfum atau pewangi
c) Melakukan hubungan seksual tanpa kondom dan sering berganti pasangan
d) Menurunnya sistem kekebalan tubuh, misalnya akibat HIV
3. Penyebab keputihan berbau anyir dikarenakan adanya bakteri pada vagina sehingga
menyebabkan penumpukan cairan pada vagina sehingga menyebabkan bau.
4. Pada seseorang yang normal keputihan (keputihan fisiologi)bisa terjadi pada saat
sebelum haid dan sesudah haid dimana kelenjar di dalam vagina aktif, baik karena
pengaruh hormon (estrogen dan progesteron) maupun karena ransangan seksual dan
emosional.
1.5 Peta Konsep

1.6 Tujuan Pembelajaran


1. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan Daignosis banding Kep
utihan.
2. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskanDefinisidan Etiologi Ke
putihan.
3. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan Faktor Resiko dan Epid
emiologi Keputihan.
4. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan Patofisiologi Keputihan.
5. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan Manifestasi klinis Kep
utihan.
6. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan Penegakan diagnosis K
eputihan.

2
7. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan Penatalaksanaan Keput
ihan.
8. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan Komplikasi dan Progno
sis Keputihan.
9. Mahasiswa mampu mengetahui, memahami dan menjelaskan Pencegahan Keputihan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Diagnosis Banding Keputihan


Ada beberapa penyakit yang menggambarkan keadaan klinik yang mirip dengan
bakterial vaginosis, antara lain :1
A. Trikomoniasis
Trikomoniasis merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan oleh
Trichomonas vaginalis. Biasanya penyakit ini tidak bergejala tapi pada beberapa
keadaan trikomoniasis akan menunjukkan gejala. Terdapat duh tubuh vagina
berwarna kuning kehijauan, berbusa dan berbau. Eritem dan edem pada vulva, juga
vagina dan serviks pada beberapa perempuan. Serta pruritos, disuria, dan
dispareunia.
Pemeriksaan apusan vagina Trikomoniasis sering sangat menyerupai
penampakan pemeriksaan apusan bakterial vaginosis. Tapi Mobilincus sp. dan clue
cell tidak pernah ditemukan pada Trikomoniasis.
Pemeriksaan mikroskopoik tampak peningkatan sel polimorfonuklear dan
dengan pemeriksaan preparat basah ditemukan protozoa untuk diagnosis. Whiff test
dapat positif pada trikomoniasis dan pH vagina 5 pada trikomoniasis.1
B. Kandidiasis
Kandidiasis merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh Candida albicans
atau kadang Candida sp. yang lain. Gejala yang awalnya muncul pada kandidiasis
adalah pruritus akut dan keputihan. Keputihan seringkali tidak ada dan hanya
sedikit. Kadang dijumpai gambaran khas berupa vaginal thrush yaitu bercak putih
yang terdiri dari gumpalan jamur, jaringan nekrosis epitel yang menempel pada
vagina. Dapat juga disertai rasa sakit pada vagina iritasi, rasa panas dan sakit saat
berkemih.
Pada pemeriksaan mikroskopik, sekret vagina ditambah KOH 10% berguna
untuk mendeteksi hifa dan spora Candida. Keluhan yang paling sering pada
kandidiasis adalah gatal dan iritasi vagina. Sekret vagina biasanya putih dan tebal,
tanpa bau dan pH normal.1
2.2 Definisi dan Etiologi Keputihan
2.1.1. Definisi

4
Leukorea (white discharge, fluor albus, keputihan) yang terjadi pada wanita
merupakan nama gejala yang diberikan pada keadaan dimana adanya cairan yang
dikeluarkan dari alat genital perempuan yang tidak berupa darah. Leukorea
paling sering dijumpai pada penderita genekologi, adanya gejala ini diketahui
penderita kurang menjaga kebersihan vaginanya.2
2.1.2. Etiologi
Etiologi leukhorea atau fluor albus sampai sekarang masih sangat bervariasi
sehingga disebut multifaktorial. Mikroorganisme patologis dapat memasuki
tractus genitalia wanita dengan berbagai cara, seperti senggama, trauma atau
perlukaan pada vagina dan serviks, benda asing, alat-alat pemeriksaan yang tidak
steril pada saat persalinan dan abortus.2
a. Faktor fisiologis
Keputihan yang normal hanya ditemukan pada daerah porsio vagina.
Sekret patologik biasanya terdapat pada dinding lateral dan anterior vagina.
Keputihan fisiologis terdiri atas cairan yang kadang-kadang berupa mukus
yang mengandung banyak epitel dengan leukosit yang jarang. Sedangkan
pada keputihan patologik terdapat banyak leukosit. Keputihan yang
fisiologis dapat ditemukan pada :
1) Waktu sekitar menarche karena mulai terdapat pengaruh estrogen;
keputihan ini dapat menghilang sendiri akan tetapi dapat menimbulkan
kecemasan pada orang tua.
2) Wanita dewasa apabila ia dirangsang sebelum dan pada waktu koitus,
disebabkan oleh pengeluaran transudat dari dinding vagina.
3) Waktu sekitar ovulasi, dengan sekret dari kelenjar-kelenjar serviks
uteri menjadi lebih encer.
4) Pengeluaran sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri juga bertambah
pada wanita dengan penyakit menahun, dengan neurosis, dan pada
wanita dengan ektropion porsionis uteri.
b. Faktor konstitusi
Faktor konstitusi misalnya karena kelelahan, stress emosional, masalah
keluarga atau pekerjaan, bisa juga karena penyakit seperti gizi rendah
ataupun diabetes. Bisa juga disebabkan oleh status imunologis yang
menurun maupun obat-obatan. Diet yang tidak seimbang juga dapat

5
menyebabkan keputihan terutama diet dengan jumlah gula yang berlebihan,
karena merupakan faktor yang sangat memperburuk terjadinya keputihan.
c. Faktor iritasi
Faktor iritasi sebagai penyebab keputihan meliputi, penggunaan sabun
untuk mencuci organ intim, iritasi terhadap pelican, pembilas atau
pengharum vagina, ataupun bisa teriritasi oleh celana.
d. Faktor patologis
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya keputihan antara lain
benda asing dalam vagina, infeksi vaginal yang disebabkan oleh kuman,
jamur, virus, dan parasit serta tumor, kanker dan keganasan alat kelamin
juga dapat menyebabkan terjadinya keputihan. Di dalam vagina terdapat
berbagai bakteri, 95% adalah bakteri lactobacillus dan selebihnya bakteri
patogen. Dalam keadaan ekosistem vagina yang seimbang, dibutuhkan
tingkat keasaman pada kisaran 3,8-4,2, dengan tingkat keasaman tersebut
lactobacillus akan subur dan bakteri bakteri patogen tidak akan
mengganggu. Peran penting dari bakteri dalam flora vaginal adalah untuk
menjaga derajat keasaman (pH) agar tetap pada level normal. Pada kondisi
tertentu kadar pH bisa berubah menjadi lebih tinggi atau lebih rendah dari
normal. Jika pH vagina naik menjadi lebih tinggi dari 4,2, maka jamur akan
tumbuh dan berkembang.2
2.3 Faktor Resiko dan Epidemiologi
2.3.1. Faktor Resiko
a. Penggunaan celana ketat dan tidak menyerap keringat
Jamur tumbuh subur pada keadaan yang hangat dan lembab. Celana
dalam yang terbuat dari nilon tidak dapat menyerap keringat sehingga
menyebabkan kelembaban. Campuran keringat dan sekresi alamiah vagina
sendiri mulai bertimbun, sehingga membuat selangkangan terasa panas dan
lembab. Celana panjang yang ketat juga dapat menyebabkan keputihan yang
merupakan penghalang terhadap udara yang berada disekitar daerah
genetalia dan merupakan perangkap keringat pada daerah selangkangan.
Kondisi vagina yang lembab dapat terjadi ketika setelah buang air
kecil, daerah kemaluan tidak dikeringkan sehingga celana dalamnya basah
dan menimbulkan kelembaban di sekitarnya. Lingkungan sekitar vagina

6
yang lembab bisa menyebabkan bakteri dan jamur yang ada tumbuh dengan
pesat, karena kondisi ini merupakan lingkungan yang ideal bagi jamur dan
bakteri untuk berkembang biak. jika hal ini terus menerus dibiarkan, bisa
menyebabkan infeksi.3
b. Kurangnya perhatian terhadap kebersihan organ kewanitaan
1) Cara membersihkan alat kemaluan atau “cebok” yang salah ,cara ini
dapat menarik kotoran dari daerah anal ke daerah vagina. Sehingga
menyebabkan infeksi pada daerah kewanitaan
2) Tidak mengganti celana dalam
3) Tidak mengganti pembalut saat menstruasi
c. Menggunakan obat antibiotic dan pembersihan kewanitaan
Antibiotic dan pembersihan kewanitaan ini akan mengganggu
ketidaseimbangan pH dan flora normal pada vagina. Bila terlalu sering
dipakai, justru akan membunuh bakteri baik dalam vagina, yang selanjutnya
akan memicu tumbuhnya mikroorganisme patogen.
d. Stress
Kejadian keputihan berulang merupakan penyakit yang dikaitkan
dengan stress. Pada kondisi stress, semua organ tubuh kinerjanya
dipengaruhi dan dikontrol oleh otak. Ketika reseptor otak mengalami
kondisi stress maka terjadi perubahan pada kesimbangan hormone ygang
mana terjadi pada hormone gonadotropin dan hormone steroid gonad yg
menyebabkan gangguan atau kelainan pada fungsi reproduksid yang akan
memicu terjadinya pengeluaran secret vagina.
e. Imunosupresi
Imunosupresi adalah kondisi tubuh seseorang mengalami penurunan
daya tahan tubuh. Apabila seseorang daya tahan tubuhnya tidak baik,maka
bakteri dan jamur akan dengan mudah tumbuh subur di daerah vagina
sehingga dapat menyebabkan terjadinya keputihan. Apabila hal ini
dibiarkan dalam waktu lama, maka dapat menimbulkan infeksi menular
yang lainnya. Salah satu keadaan imunosupresan dapat ditemui pada
penderita AIDS.3
f. Kehamilan

7
Hormone kehamilan mempersiapkan vagina supaya distensi selama
persalinan dengan memproduksi mukosa vagina yang tebal,jaringan ikat
longgar dan hipertropi otot polos. Deskuamasi sel-sel vagina yang kaya
glikogen terjadi akibat stimulasi estrogen kemudian sel sel ini akan
membentuk rabas vagina yang kental dan berwarna keputigan yang disebut
leukorea.
g. Menopause
Pada wanita menopause, hormon estrogen telah berkurang sehingga
lapisan vagina menipis/menjadi kering, menyebabkan gatal yang memicu
untuk terjadinya luka kemudian infeksi. Namun keputihan juga bisa muncul
bercampur darah (senile vaginitis).

2.3.2. Epidemiologi
Jumlah wanita di dunia yang pernah mengalami keputihan 75%, sedangkan
wanita Eropa yang mengalami keputihan sebesar 25%. Di Indonesia sebanyak
75% wanita pernah mengalami keputihan minimal satu kali dalam hidupnya dan
45% di antaranya bisa mengalami keputihan sebanyak dua kali atau lebih . Lebih
dari 70% wanita Indonesia mengalami keputihan yang disebabkan oleh jamur
dan protozoa. Angka ini berbeda tajam dengan Eropa yang hanya 25% saja
karena cuaca di Indonesia yang lembab sehingga mudah terinfeksi jamur
Candida albicans yang merupakan salah satu penyebab keputihan. Keputihan
sering disebabkan oleh infeksi, salah satunya bakteri vaginosis (BV) adalah
penyebab tersering (40-50% kasus terinfeksi vagina), vulvovaginal candidiasis
(VC) disebabkan oleh jamur candida species, 80-90% oleh candida albicans,
trichomoniasis (TM) disebabkan oleh trichomoniasis vaginalis, angka
kejadiannya sekitar 5-20% dari kasus infeksi vagina.3
2.4 Patofisiologi Keputihan
Keputihan yang fisiologis terjadi karena pengaruh hormon estrogen dan progestero
ne yang berubah keadaannya terutama pada saat siklus haid, sehingga jumlah dan konsis
tensi sekresi vagina berbeda. Sekresi meningkat pada saat ovulasi atau sebelum haid. Ba
kteri dalam vagina telah menyesuaikan diri dengan perubahan ini dan biasanya tidak terj
adi gangguan. Laktobasili mengubah glikogen dalam cairan vagina menjadi asam laktat.
Asam laktat ini mempertahankan ke-asaman vagina dan mencegah pertumbuhan bakteri
yang merugikan. Bila kadar salah satu atau kedua hormone berubah secara dramatis, kes
8
eimbangan pH yang ketat ini akan terganggu. Laktobasili tidak dapat berfungsi sebagai
mana mestinya sehingga mudah terjadi infeksi.
Proses infeksi dimulai dengan perlekatan candida pada sel epitel vagina.
Kemampuan melekat ini lebih baik pada candida albizans daripada 12 spesies candida
lainnya. Kemudian candida mensekresikan enzim proteolitik yang mengakibatkan
kerusakan ikatan protein sel penjamu sehingga memudahkan proses invasi. Selain itu
candida juga mengeluarkan mikro-toksisn diantaranya glikotoksis yang mampu meng-
hambat aktivitas fagositosis dan menekan system imun lokal. Terbentuknya kolonisasi
candida memudahkan proses imunisasi tersebut berlangsung sehingga menimbulkan
gejala pada penjamu.4

Gambar 1. Patofisiologi Flour Albus

Gambar 2. Mekanisme Keputihan


9
2.5 Manifestasi Klinis Keputihan
Keluhan sangat gatal atau pedih disertai keluar cairan yang putih mirip krim
susu/keju, kuning tebal, tetapi dapat cair seperti air atau tebal homogen. Lesi bervariasi,
dari reaksi eksema ringan dengan eritema minimal sampai proses berat dengan pustul,
eksoriasi dan ulkus, serta dapat meluas mengenai perineum, vulva, dan pada wanita
tidak hamil biasanya keluhan dimulai seminggu sebelum menstruasi. Gatal sering lebih
berat bila tidur atau sesudah mandi air hangat. Umumnya didapati disuria dan
dispareunia superfisial. Discharge keputihan yang disebabkan oleh infeksi jamur, seperti
Candida sp., adalah cairan berwarn putih berbusa, dengan pH <4,5.5
2.6 Penegakan Diagnosis Keputihan
Diagnosis bakterial vaginosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan mikroskopis. Anamnesis menggambarkan riwayat sekresi vagina terus-
menerus dengan bau yang tidak sedap. Kadang penderita mengeluh iritasi pada vagina
disertai disuria/dispareunia, atau nyeri abdomen. Pada pemeriksaan fisik relatif tidak
banyak ditemukan apa-apa, kecuali hanya sedikit inflamasi dapat juga ditemukan sekret
vagina yang berwarna putih atau abu-abu yang melekat pada dinding vagina.6

Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu diagnosis, oleh
sebab itu didapatkan kriteria klinis untuk bakterial vaginosis yang sering disebut sebagai
kriteria Amsel (1983) yang berpendapat bahwa terdapat tiga dari empat gejala, yaitu :

a. Adanya secret vagina yang homogeny, tipis, putih, melekat pada dinding vagina dan
abnormal.

b. pH vagina > 4,5

c. Tes amin yang positif, yangmana sekret vagina yang berbau amis sebelum atau
setelah penambahan KOH 10% (Whiff test).

d. Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel)

Gejala diatas sudah cukup untuk menegakkan diagnosis.6

A. Pemeriksaan fisik

10
Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling
sering pada bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal
(terutama setelah melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang
khas yaitu bau amis/bau ikan (fishy odour).6

Bau tersebut disebabkan oleh adanya amin yang menguap bila cairan vagina
menjadi basa. Cairan seminal yang basa (pH 7,2) menimbulkan terlepasnya amin
dari perlekatannya pada protein dan amin yang menguap menimbulkan bau yang
khas. Walaupun beberapa wanita mempunyai gejala yang khas, namun pada
sebagian besar wanita dapat asimptomatik. Iritasi daerah vagina atau sekitar vagina
(gatal, rasa terbakar), kalau ditemukan lebih ringan daripada yang disebabkan oleh
Trichomonas vaginalis atau Candida albicans. Sepertiga penderita mengeluh gatal
dan rasa terbakar, dan seperlima timbul kemerahan dan edema pada vulva. Nyeri
abdomen, disuria, atau nyeri waktu kencing jarang terjadi, dan kalau ada karena
penyakit lain.

Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan sering
berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan jarang
berbusa. Sekret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan
tipis atau kelainan yang difus. Gejala peradangan umum tidak ada. Sebaliknya
sekret vagina normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel vagina yang
memberikan gambaran bergerombol.

Pada penderita dengan bakterial vaginosis tidak ditemukan inflamasi pada


vagina dan vulva. Bakterial vaginosis dapat timbul bersama infeksi traktus genital
bawah seperti trikomoniasis dan servisitis sehingga menimbulkan gejala genital
yang tidak spesifik.6

B. Pemeriksaan penunjang

a) Pemeriksaan preparat basah

Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl 0,9% pada
sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutupi dengan coverslip. Dan

11
dilakukan pemeriksaan mikroskopik menggunakan kekuatan tinggi (400 kali)
untuk melihat clue cells, yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi
dengan bakteri (terutama Gardnerella vaginalis). Pemeriksaan preparat basah
mempunyai sensitifitas 60% dan spesifitas 98% untuk mendeteksi bakterial
vaginosis. Clue cells adalah penanda bakterial vaginosis.6

Cara pemeriksaannya :

Pemeriksaan preparat basah dilakukan dengan meneteskan satu atau dua


tetes cairan NaCl 0,9% pada sekret vagina diatas objek glass kemudian
ditutupi dengan coverslip. Dan dilakukan pemeriksaan mikroskopik
menggunakan kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat clue cells, yang
merupakan sel epitel vagina yang diselubungi dengan bakteri (terutama
Gardnerella vaginalis).Pemeriksaan preparat basah mempunyai sensitifitas
60% dan spesifitas 98% untuk mendeteksi bakterial vaginosis. Clue cells
adalah penanda bakterial vaginosis, > 20% pada preparat basah atau
pewarnaan Gram.

Skoring jumlah bakteri yang normal pada vagina atau vaginosis bakterial
dengan pewarnaan Gram :

Tabel 1. Skoring jumlah pada vagina

Skor 0-3 dinyatakan normal; 4-6 dinyatakan sebagai intermediate; 7-10


dinyatakan sebagai vaginosis bacterial.

Kriteria diagnosis vaginosis bakterial berdasarkan pewarnan Gram :6


12
a) derajat 1: normal, di dominasi oleh Lactobacillus

b) derajat 2: intermediate, jumlah Lactobacillus berkurang

c) derajat 3: abnormal, tidak ditemukan Lactobacillus atau hanya ditemukan


beberapa kuman tersebut, disertai dengan bertambahnya jumlah
Gardnerella vaginalis atau lainnya.

b) Whiff test

Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi
dengan penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau muncul
sebagai akibat pelepasan amin dan asam organik hasil alkalisasi bakteri
anaerob. Whiff test positif menunjukkan bakterial vaginosis.

c) Tes lakmus untuk Ph

Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna kertas


dibandingkan dengan warna standar. pH vagina normal 3,8 - 4,2. Pada 80-
90% bakterial vaginosis ditemukan pH > 4,5.

d) Pewarnaan gram sekret vagina

Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial vaginosis tidak ditemukan


Lactobacillus sebaliknya ditemukan pertumbuhan berlebihan dari Gardnerella
vaginalis dan atau Mobilincus sp. dan bakteri anaerob lainnya.

e) Kultur vagina

Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis bakterial


vaginosis. Kultur vagina positif untuk G. vaginalis pada bakterial vaginosis
tanpa grjala klinis tidak perlu mendapat pengobatan.

f) Uji H2O2

13
Pemberian setetes H2O2 (hidrogen peroksida) pada sekret vagina diatas
gelas objek akan segera membentuk gelembung busa ( foaming bubbles)
karena adanya sel darah putih yang karakteristik untuk trikomoniasis atau pada
vaginitis deskuamatif, sedangkan pada vaginosis bakterialis atau kandidiasis
vulvovaginal tidak bereaksi.6

2.7 Penatalaksanaan Keputihan

Tabel 2. Tatalaksana keputihan6


2.8 Komplikasi dan Prognosis Keputihan
2.8.1. Komplikasi
Wanita dengan Vaginosis berisiko meningkat untuk memperoleh ISK.
Mereka memiliki peningkatan risiko HIV dua kali lipat akuisisi, risiko 1,5–2 kali
lipat dari Chlamydia dan gonorrhoea, risiko sembilan kali lipat Trichomonas
vaginalis, dan risiko dua kali lipat virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2)
dibandingkan dengan wanita tanpa Vaginosis. Wanita hiv-positif dengan
Vaginosis memiliki risiko tiga kali lipat menularkan HIV. Setiap Bulan
profilaksis dengan metronidazole mengurangi insiden ISK hampir 50%. Bakteri
terkait Vaginosis mungkin juga terlibat dalam aetiologi penyakit radang panggul.
Sebuah studi prospektif tentang wanita dengan penyakit radang panggul yang
dicurigai secara klinis melaporkan korelasi signifikan antara kehadiran Bakteri
terkait Vaginosis dan keberadaan endometritis dan penyakit radang panggul
berulang.7

14
Ada hubungan dengan Vaginosis dan infeksi manset endometritis pasca-
aborsi dan peningkatan risiko keguguran dan kelahiran prematur. Wanita hamil
tanpa gejala dengan Vaginosis biasanya harus dirawat tetapi ulasan Cochrane
terbaru menyimpulkan tidak ada cukup bukti untuk merekomendasikan
pemeriksaan rutin dan memperlakukan semua wanita hamil untuk asimptomatik
Vaginosis untuk mencegah kelahiran prematur.
Beberapa laporan mendukung hubungan epidemiologis antara HIV dan
trichomoniasis. Ada bukti yang berkembang bahwa infeksi trikomonal
meningkatkan HIV transmisi dan mungkin ada peningkatan risiko Infeksi
Trichomonas vaginalis pada mereka yang hiv-positif.
Trichomoniasis dikaitkan dengan hasil kehamilan yang merugikan. Literatur
tentang pengobatan metronidazole selama kehamilan dan kelahiran prematur
tidak konklusif. Ulasan Cochrane terbaru menemukan bahwa metronidazole
efektif melawan trichomoniasis ketika diambil oleh wanita dan pasangan mereka
selama kehamilan, tetapi dapat membahayakan bayi karena kelahiran dini.
Penyaringan individu asimptomatik untuk infeksi TV oleh karena itu saat ini
tidak dianjurkan.7
Meskipun baru-baru ini dijelaskan, vaginitis sedang / parah dikaitkan
dengan meningkatnya jumlah infeksi dan komplikasi. Peningkatan risiko
pengiriman preterm dan chorioamnionitis pada wanita dengan trimester pertama
vaginitis telah dijelaskan.
Beberapa penelitian dalam dekade terakhir telah menunjukkan penurunan
kelahiran prematur, jika kolonisasi kandidia vagina atau infeksi telah diobati
dengan clotrimazole. Dalam sebuah penelitian oleh Holzer dkk. wanita yang
terkena candida sp. selama trimester kedua kehamilan memiliki tingkat kelahiran
prematur yang lebih tinggi dan berat badan lahir neonatal yang lebih rendah
daripada mereka yang terkena selama trimester pertama kehamilan mereka.
Menurut studi lama tentang pengobatan asimptomatik dari kolonisasi
candida sp. selama enam minggu terakhir kehamilan mengurangi kolonisasi
candida, bayi yang baru lahir selama persalinan melalui vagina dan dengan
demikian mengurangi sariawan oral dan dermatitis serbet bayi selama empat
minggu pertama kehidupan. Studi modern sangat diperlukan untuk
mengkonfirmasi temuan ini.7

15
2.8.2. Prognosis
Bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita walaupun
tidak menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang sama dapat
dipakai. Prognosis bakterial vaginosis sangat baik, karena infeksinya dapat
disembuhkan. Dilaporkan terjadi perbaikan spontan pada lebih dari 1/3 kasus.
Dengan pengobatan metronidazol dan klindamisin memberi angka kesembuhan
yang tinggi (84-96%).8
2.9 Pencegahan Keputihan
Tindakan pencegahan keputihan dapat dilakukan seperti berikut:9
a) Pola hidup sehat yaitu diet yang seimbang, olahraga rutin, istirahat cukup, hindari
rokok dan alkohol serta hindari stress berkepanjangan.
b) Setia kepada pasangan. Hindari promiskuitas atau gunakan kondom untuk mencegah
penularan penyakit menular seksual.
c) Selalu menjaga kebersihan daerah pribadi dengan menjaganya agar tetap kering dan
tidak lengkap misalnya dengan menggunakan celana dengan bahan yang menyerap
keringat, hindari pemakaian celana yang terlalu ketat. Biasakan untuk mengganti
pembalut, pantyliner pada waktunya untuk mencegah bakteri berkembang biak.
d) Biasakan membasuh dengan cara yang benar tiap kali buang air yaitu dari arah
depan ke belakang.
e) Penggunaan cairan pembersih vagina sebaiknya tidak berlebihan karena dapat
mematikan flora normal vagina. Jika perlu konsultasi medis dahulu sebelum
menggunakan cairan pembersih vagina.
f) Hindari penggunaan bedak talcum, tisu atau sabun dengan pewangi pada daerah
vagina karena dapat menyebabkan iritasi.
g) Hindari pemakaian barang-barang yang memudahkan penularan seperti meminjam
perlengkapan mandi dan sebagainya. Sebisa mungkin tidak duduk di atas kloset di
WC umum atau membiasakan untuk mengelap dudukan kloset sebelum
menggunakannya.

1.

16
BAB 3 PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dari skenario di atas dapat disimpulkan bahwa pasien yang bernama nyonya Melati
umur 28 tahun datang dengan keluhan leukorea diduga menderita kandidiasis
vulvovaginalis. Untuk menegakan diagnosis dilakukan pemeriksaan penunjang berupa
swab pada vagina untuk menentukan tatalaksana yang tepat untuk menghindari
komplikasi sehingga prognosis pasien baik.

3.2 DALIL

Artinya : “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui


apa yang dibisikan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat
lehernya” (QS: AL Qaf:16).

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Judanarso J. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. edisi keem. (Djuanda A, Hamzah M AS,
ed.). Jakarta; 2005
2. Setyana, W. A. 2013. Analisis Faktor Eksogen Non-infeksi yang Mempengaruhi
Kejadian Keputihan pada Mahasiswi di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Purwokerto.
3. Salamah, Umi et all. 2020. Faktor perilaku meningkatkan resiko keputihan. Jurnal
Kebidanan Vol 9, No. 1. Universitas Muhammadiyah Semarang
4. Notoatmodjo. 2007. ”Klasifikasi Keputihan”. Semarang.
http://digilib.unimus.ac.id/files//disk1/145/jtptunimus-gdl-dyanlelyan-7206-3-babii.pdf
5. Vanishree L Rao & Tahir Mahmood. Vaginal discharge. Obstetrics, Gynaecology and
Reproductive Medicine Vol 30, ISSUE 1, P11-18. Victoria Hospital, United Kingdom.
2019.
6. Kusmiran, E. 2011. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba Medika
7. Jackie S., Janet W., Gilbert D., Werner M., Jorgen S. European (IUSTI/WHO)
International Union against sexually transmitted infections (IUSTI) World Health
Organisation (WHO) guideline on the management of vaginal discharge. International
Journal of STD & AIDS. 2018. Vol. 29(13) 1258–1272.
8. Tristanti, Ika. Hubungan Personal Hygiene Genital dengan Kejadian Keputihan pada
Siswi Madrasah Aliyah Muhammadiyah Kudus. JIKK. 2016; 7(1): 8-15.
9. Puspitasari, Nunik. Metode Kontrasepsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Airlangga. Surabaya: 2008

18

Anda mungkin juga menyukai