Anda di halaman 1dari 54

GANGGUAN PADA SISTEM REPRODUKSI

DI SUSUN OLEH:
(KELOMPOK 5)
HESTIH
(NH0420013)
MAULINDAH
(NH0420014)
MAYLANI LINGLING BELA
(NH0420015)

STIKES NANI HASANUDDIN MAKASSAR


2021/2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, kami tidak akan
mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
sehingga makalah “GANGGUAN PADA SISTEM REPRODUKSI” dapat diselesaikan.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah KESEHATAN REPRODUKSI DAN
PERENCANAAN KELUARGA. Kami berharap makalah ini dapat menjadi referensi bagi
masyarakat.

Kami menyadari makalah ini masih perlu banyak penyempurnaan karena kesalahan dan
kekurangan. Kami terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini dapat lebih
baik. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan maupun
konten, kami memohon maaf.

Demikian yang dapat kami sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.

Makassar, 8 Maret 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................4
C. Tujuan......................................................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
A. Gangguan pada Sitem Reproduksi............................................................................................5
1. Keputihan..................................................................................................................................5
2. Inveksi vagina............................................................................................................................7
3. Bartolonitis..............................................................................................................................10
4. Vulvovaginitis.........................................................................................................................13
5. Fibroadenoma..........................................................................................................................16
6. Mastitis....................................................................................................................................19
7. Mioma Uteri............................................................................................................................23
8. Endometritis............................................................................................................................28
9. Sindrom ovarium polikistik.....................................................................................................33
10. Radang panggul...................................................................................................................36
11. Kanker serviks.....................................................................................................................38
12. Kanker payudara..................................................................................................................45
13. Penyakit menular seksual.....................................................................................................47
BAB III...............................................................................................................................................53
KESIMPULAN..................................................................................................................................53
A. Kesimpulan............................................................................................................................53
B. Saran.......................................................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................54
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses reproduksi pada manusia membutuhkan sperma dan ovum. Sperma


merupakan sel kelamin manusia yang dihasilkan oleh laki-laki.Adapun Ovum
merupakan sel kelamin manusia yang dihasilkan oleh perempuan. Organ reproduksi
laki-laki terdiri atas testis, saluran pengeluaran, dan penis. Testis bekerja sebagai
penghasil sperma. Proses pembentukan sperma disebut spermatogenesis. Testis
menemukan dan terletak pada kantong yang disebut skortum. Saluran pengeluaran
terdiri atas epididimis, vas deferens, dan uretra. Epididimis merupakan saluran yang
berkelak-kelok, tempat pematangan dan penyimpanan sementara sperma.

Organ reproduksi pada wanita terdiri atas ovarium, tuba Fallopi, uterus dan
vagina. Ovarium terletak di bawah perut, dan berfungsi sebagai tempat produksi
ovum (Sel Telur). Tuba Fallopi (saluran telur atau oviduk) berbentuk seperti pipa dan
ujungnya berbentuk corong dengan rumbai-rumbai. Rumbai ini berfungsi untuk
menangkap ovum yang mendengarkan ovarium. Rahim atau rahim merupakan tempat
tumbuh dan berkembangnya janin. Vagina merupakan tempat keluarnya bayi saat
dilahirkan. Proses reproduksi pada manusia diawali dengan pembentukan sel kelamin
pada laki-laki dan perempuan. Pembentukan sel kelamin pada laki-laki (sperma)
disebut spermatogenesis.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja gangguan pada sistem reproduksi manusia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja gangguan pada sistem reproduksi manusia?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Gangguan pada Sitem Reproduksi


1. Keputihan
a. Pengertian keputihan
Keputihan adalah kondisi ketika lendir atau cairan keluar dari vagina.
Keputihan merupakan cara alami tubuh untuk menjaga kebersihan dan
kelembapan organ kewanitaan. Ketika seorang wanita mengalami keputihan,
cairan yang diproduksi kelenjar vagina dan leher rahim akan keluar membawa
sel mati dan bakteri, sehingga vagina tetap terlindung dari infeksi. terjadi pada
wanita yang masih mengalami menstruasi. Ibu hamil mungkin akan lebih
sering mengalami keputihan akibat perubahan hormon. Ketika wanita mulai
memasuki masa menopause, barulah keputihan akan berkurang. Harap berhati-
hati jika cairan keputihan mengalami perubahan warna, tekstur, dan bau.
Kondisi ini dapat menjadi tanda keputihan yang berbahaya atau tidak normal
yang disebabkan oleh infeksi atau kelainan pada organ reproduksi
wanita. Keputihan yang berciri seperti ini sering kali merupakan salah satu ciri
penyakit kelamin wanita.

b. Gejala Keputihan
Keputihan yang tergolong normal akan terlihat dari cairan yang keluar dengan
tanda sebagai berikut:
1) Tidak berwarna atau berwarna putih.
2) Tidak berbau atau tidak mengeluarkan bau menyengat.
3) Meninggalkan bercak kekuningan di celana dalam.
4) Tesktur cairan keputihan dapat berubah tergantung siklus menstruasi.

Untuk keputihan yang tidak normal dapat ditandai dengan:


1) Cairan keputihan berbeda warna, bau, atau tekstur dari biasanya.
2) Cairan keputihan keluar lebih banyak dari biasanya.
3) Keluar darah setelah berhubungan seksual atau di luar jadwal haid.
Keputihan yang abnormal ini dapat disertai dengan keluhan:
1) Gatal pada area kewanitaan.
2) Nyeri di panggul atau ketika buang air kecil.
3) Rasa terbakar di sekitar vagina.

c. Penyebab Keputihan
Keputihan yang dialami setiap wanita berbeda-beda, mulai dari jumlah cairan
yang keluar hingga warna dan tekstur cairan. Keputihan normal terjadi
setidaknya 6 bulan sebelum seorang wanita mengalami menstruasi untuk
pertama kalinya. Kondisi ini dipengaruhi oleh perubahan hormon di dalam
tubuh. Selain karena perubahan hormon, keputihan juga akan normal keluar
saat wanita mendapatkan rangsangan seksual, sedang menyusui, atau stres.

Sementara itu, keputihan yang tergolong tidak normal disebabkan oleh


vulvovaginitis, atau servisitis akibat infeksi bakteri, virus, atau jamur. Selain
infeksi, keputihan juga dapat menjadi tanda dari kanker rahim atau leher
rahim.
Bila keputihan yang dialami merupakan petanda dari kanker rahim, maka
mungkin dokter akan menganjurkan Anda untuk melakukan histerektomi atau
bedah pengangkatan rahim. Sebelum mengambil langkah ini, ada baiknya
Anda tanyakan terlebih dahulu apa kelebihan dan kekurangan prosedur
tersebut dengan dokter. Saat ini, terdapat asuransi kesehatan yang
menyediakan layanan chat gratis bersama dokter spesialis.

d. Pengobatan keputihan
Keputihan yang tergolong normal tidak memerlukan penanganan medis secara
khusus. Kondisi ini dapat ditangani dengan membersihkan area kewanitaan
secara rutin untuk menghilangkan lendir atau cairan. Sementara, cara
mengatasi keputihan yang tergolong abnormal dilakukan berdasarkan
penyebab yang mendasari keputihan. Dokter akan memberikan terapi obat
untuk mengobati keputihan abnormal, seperti:
1) Obat antibiotik, seperti clindamycin, untuk menghilangkan bakteri
penyebab keputihan. Antibiotik tersedia dalam bentuk pil atau krim
oles.
2) Obat antijamur, seperti clotrimazole dan miconazole, untuk mengatasi
infeksi jamur yang menyebabkan keputihan. Obat ini tersedia dalam
bentuk krim atau gel yang dioleskan di bagian dalam vagina.
3) Metronidazole atau tinidazole, jika keputihan disebabkan oleh parasit
penyebab penyakit trikomoniasis.

e. Pencegahan Keputihan
Langkah utama untuk mencegah keputihan abnormal adalah menjaga
kebersihan area kewanitaan agar terhindar dari risiko infeksi. Cara yang bisa
dilakukan yaitu:
1) Bersihkan vagina dengan sabun dan air hangat setelah buang air kecil
atau besar serta berhubungan seks, kemudian keringkan. Cara ini
dilakukan untuk mencegah bakteri masuk ke dalam vagina dari dubur.
2) Hindari menyiram atau membersihkan vagina dengan semprotan air.
Cara ini berisiko menghilangkan bakteri baik yang melindungi vagina
dari infeksi.
3) Gunakan celana dalam berbahan katun untuk menjaga kelembapan
pada area kewanitaan. Hindari menggunakan celana dalam yang terlalu
ketat.
4) Hindari menggunakan sabun atau produk kewanitaan yang
mengandung parfum, karena dapat mengganggu keseimbangan bakteri
baik pada vagina.
5) Jagalah kebersihan vagina selama menstruasi dengan mengganti
pembalut setidaknya setiap 3-5 jam sekali.
6) Tidak berganti pasangan seksual atau menggunakan kondom agar
terhindar dari risiko infeksi menular seksual.
7) Lakukan pemeriksaan kesehatan vagina secara rutin kepada dokter
kandungan.
(HaloDoc, 2019)

2. Inveksi vagina

a. Pengertian infeksi vagina (vaginitis)


Vaginitis adalah peradangan pada vagina yang ditandai dengan rasa gatal di
vagina dan keputihan. Keputihan yang dialami penderita vaginitis ini berbau
tidak sedap. Vagina terus menerus memproduksi cairan secara alami. Jumlah
dan tekstur cairan vagina tersebut bisa berubah-ubah sepanjang siklus
menstruasi. Oleh karena itu, normal jika seorang wanita mengalami keputihan,
namun keputihan yang normal seharusnya tidak berbau.

b. Gejala Vaginitis
Gejala vaginitis sangat beragam, namun yang sering kali muncul adalah:
1) Keputihan berwarna putih atau kuning kehijauan yang berbau tidak
sedap
2) Gatal di area vagina atau di sekitarnya, misalnya pada vulva atau labia
mayora.
3) Kemerahan dan nyeri di sekitar vagina (vulvitis).
4) Flek atau perdarahan dari vagina.
5) Nyeri saat buang air kecil dan berhubungan seks.

c. Penyebab vaginitis
Banyak faktor yang bisa menyebabkan vaginitis. Tetapi pada sebagian besar
kasus, vaginitis disebabkan oleh infeksi bakteri. Keberadaan bakteri di vagina
sebenarnya adalah hal yang normal, selama jumlahnya seimbang. Vaginitis
terjadi ketika ada ketidakseimbangan antara jumlah bakteri ‘baik’ dan bakteri
‘jahat’ di vagina. Selain karena infeksi bakteri, penyebab lain vaginitis adalah:
1) Infeksi jamur, akibat perkembangan jamur yang berlebihan di vagina.
2) Infeksi cacing kremi yang menjalar dari anus
3) Iritasi atau reaksi alergi pada vagina, misalnya akibat penggunaan
pembersih kewanitaan.
4) Penyakit menular seksual, seperti trikomoniasis, klamidia, dan herpes
genital.
5) Penipisan dinding vagina akibat penurunan kadar estrogen, misalnya
setelah menopause atau setelah operasi pengangkatan rahim
(histerektomi).

d. Faktor Risiko Vaginitis


Terdapat sejumlah faktor yang dapat meningkatkan risiko seorang wanita
menderita vaginitis, yaitu:
1) Bergonta-ganti pasangan seksual.
2) Menderita diabetes yang tidak terkontrol.
3) Melakukan vaginal douching atau membersihkan bagian dalam vagina.
4) Sering mengenakan celana yang lembab atau ketat.
5) Menggunakan KB spiral atau spermisida.
6) Menggunakan produk pembersih kewanitaan.
7) Efek samping obat-obatan, seperti antibiotik atau kortikosteroid.
8) Perubahan hormon akibat kehamilan atau konsumsi pil KB.

e. Pengobatan Vaginitis
Pengobatan vaginitis tergantung pada penyebab yang mendasarinya. Secara
umum, pengobatan tersebut meliputi:
1) Pemberian obat antibiotik
Metronidazole dan clindamycin adalah antibiotik yang paling sering
digunakan pada vaginitis yang disebabkan oleh bakteri.
2) Pemberian obat antijamur
Vaginitis akibat infeksi jamur dapat diatasi dengan obat antijamur,
seperti miconazole, clotrimazole, atau fluconazole.
3) Terapi pengganti hormone
Terapi pengganti hormon digunakan untuk mengatasi vaginitis yang
dipicu oleh penurunan hormon estrogen.
Sedangkan untuk mengatasi vaginitis yang disebabkan oleh iritasi atau alergi,
dokter akan menganjurkan pasien untuk menghindari pemicunya, misalnya
sabun pembersih vagina atau kondom berbahan dasar lateks. Selain itu, dokter
juga dapat memberikan obat-obatan untuk meredakan peradangan dan gatal.

f. Pencegahan Vaginitis
Vaginitis dapat dicegah dengan melakukan sejumlah langkah sederhana di
bawah ini:
1) Bersihkan vagina dengan air tanpa menggunakan sabun, dan hindari
membasuh bagian dalam vagina.
2) Selalu bersihkan vagina dari arah depan ke belakang setiap kali selesai
buang air, dan pastikan menyeka vagina hingga benar-benar kering.
3) Hindari penggunaan benda yang bisa menyebabkan iritasi atau alergi
pada vagina, seperti pembalut yang mengandung pewangi atau sabun
pembersih vagina.
4) Lakukan hubungan seks yang aman dengan menggunakan kondom dan
tidak bergonta-ganti pasangan.
5) Gunakan air hangat bila ingin berendam, jangan air yang terlalu panas.
6) Pilih celana dalam yang tidak ketat dan berbahan katun.
7) Kontrol kadar gula darah bila menderita diabetes.
(HaloDoc, 2019)

3. Bartolonitis

a. Pengertian bartolinitis (kista bartolin)


Kista Bartholin adalah benjolan yang berisi cairan akibat tersumbatnya
kelenjar Bartholin. Kista Bartholin umumnya berukuran kecil dan tidak
menimbulkan rasa sakit. Meski begitu, jika cairan di dalam kista Bartholin
terinfeksi, maka bisa terjadi abses (penumpukan nanah). Bartholin adalah
kelenjar yang terletak di kedua sisi bibir vagina. Kelenjar ini berukuran kecil,
sehingga tidak mudah terdeteksi oleh tangan maupun mata. Kelenjar ini
berfungsi mengeluarkan cairan yang berperan sebagai pelumas saat
berhubungan seksual.

b. Penyebab Kista Bartholin


Kista Bartholin disebabkan oleh tersumbatnya saluran kelenjar Bartholin. Saat
saluran tersumbat, cairan akan tertampung di dalam saluran atau kembali
masuk ke dalam kelenjar. Lama-kelamaan, hal itu akan menyebabkan saluran
atau kelenjar membengkak dan membentuk kista. Belum diketahui secara pasti
penyebab tersumbatnya saluran kelenjar Bartholin. Namun, luka, cedera,
iritasi yang berulang, dan menjalani operasi, pada vagina bisa meningkatkan
risiko tersumbatnya kelenjar Bartholin.

Pada beberapa kasus, kista Bartholin juga dikaitkan dengan infeksi menular
seksual yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae atau Chlamydia
trachomatis. Selain itu, infeksi Escherichia coli juga sering dikaitkan dengan
munculnya kista Bartholin. Kista Bartholin dapat timbul pada semua usia.
Namun, kondisi ini lebih sering terjadi pada wanita berusia antara 20–30 tahun
yang aktif secara seksual. Kista jarang terjadi pada wanita yang telah
menopause karena kelenjar Bartholin telah menyusut.

c. Gejala Kista Bartholin


Kista Bartholin jarang menimbulkan gejala. Gejala baru akan muncul jika
ukuran kista telah cukup besar. Namun, secara umum, sumbatan pada kelenjar
Bartholin dapat menimbulkan gejala berupa:
1) Benjolan kecil yang tidak terasa sakit pada salah satu sisi bibir vagina
2) Kemerahan dan bengkak di sekitar sisi bibir vagina
3) Rasa tidak nyaman ketika berjalan, duduk, atau berhubungan seksual

Jika kista mengalami infeksi dan berkembang menjadi abses, akan muncul
beberapa gejala lainnya, yaitu:
1) Benjolan terasa nyeri dan lunak
2) Vagina terlihat membengkak
3) Keluar nanah benjolan
4) Demam

d. Pengobatan Kista Bartholin


Pengobatan kista Bartholin ditentukan berdasarkan ukuran kista dan gejala
yang ditimbulkan. Kista kecil yang tidak menimbulkan gejala biasanya tidak
memerlukan penanganan dan dapat sembuh dengan sendirinya.Sebaliknya,
kista membutuhkan pengobatan lebih lanjut bila menimbulkan gejala atau
mengalami infeksi dan berkembang menjadi abses. Berikut adalah metode
pengobatan yang dapat dilakukan:
1) Berendam di air hangat atau sitz bath
Duduk berendam di dalam air hangat setinggi panggul atau sitz bath.
Cara ini dapat dilakukan untuk meredakan rasa nyeri dan tidak nyaman
yang terjadi organ intim dan terkadang bisa mengatasi kista yang
masih berukuran kecil. Penanganan ini dapat dilakukan secara mandiri
di rumah.
2) Obat-obatan
Obat pereda nyeri, seperti paracetamol, dapat dikonsumsi untuk
meredakan rasa sakit. Selain itu, dokter juga dapat memberikan obat
antibiotik untuk meredakan infeksi penyebab timbulnya abses pada
kista. Obat anitibiotik juga dapat digunakan pada kasus di mana infeksi
menyebar ke kulit atau jaringan di sekitar abses atau ketika penderita
mengalami infeksi menular seksual.
3) Operasi insisi dan drainase
Operasi insisi dan drainase perlu dilakukan jika ukuran kista cukup
besar, terlebih jika terjadi infeksi. Operasi dilakukan dengan membuat
sayatan kecil (insisi) pada kista agar cairan nanah di dalamnya dapat
keluar (drainase).
4) Pemasangan kateter
Pemasangan selang dengan balon kateter dilakukan untuk
mengeluarkan cairan nanah. Pada prosedur ini, sayatan kecil dibuat
untuk memasukkan kateter ke dalam kista, kemudian balon
dikembangkan untuk menjaga agar kateter tidak lepas dan dapat
bertahan selama 2–6 minggu.
5) Marsupialisasi kista
Marsupialisasi kista dilakukan dengan membuat sayatan pada kista
untuk mengeluarkan cairan nanah dan menjahit ujung irisan pada kulit
sekitarnya agar kista tetap terbuka secara permanen. Prosedur ini dapat
dikombinasikan dengan pemasangan kateter.
6) Pengangkatan kelenjar Bartholin
Prosedur ini dilakukan saat prosedur lain tidak berhasil. Operasi
dilakukan dengan mengangkat seluruh kelenjar Bartholin. Selama
proses penyembuhan, penting untuk selalu menjaga kebersihan area
kista sesuai dengan anjuran dokter. Sebaiknya hindari aktivitas seksual
selama proses penyembuhan. Gunakan pembalut selama kateter masih
terpasang, karena nanah akan terus mengalir seiring dengan hilangnya
infeksi.
e. Pencegahan Kista Bartholin
Karena penyebabnya belum diketahui secara pasti, kista Bartholin sulit untuk
dicegah. Namun, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan
risiko terjadinya abses atau infeksi pada kista, yaitu:
1) Jaga kebersihan area sekitar organ intim, dan biasakan untuk
membersihkan organ intim dengan arah depan ke belakang
2) Hindari aktivitas yang bisa menyebabkan area di sekitar vagina cedera
3) Gunakan kondom saat berhubungan intim untuk mencegah infeksi
menular seksual.
(HaloDoc, 2020)
4. Vulvovaginitis
a. Pengertian vulvovaginitis
Vulvovaginitis adalah peradangan pada organ intim wanita. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh berbagai hal dan penanganannya pun harus disesuaikan
dengan penyebabnya. Vulvovaganitis bukanlah kondisi yang serius, tetapi
sering kali menimbulkan rasa tidak nyaman dan mengganggu. Vulvovaginitis
merupakan kondisi yang cukup sering dialami oleh perempuan di segala usia,
mulai dari remaja, wanita dewasa, hingga wanita yang telah memasuki masa
menopause. Kondisi ini sering kali menimbulkan rasa gatal dan perih di
vagina dan bibir vagina (vulva). Selain itu, vulvovaganitis juga dapat
menyebabkan keputihan dengan bau yang tidak sedap, rasa perih atau terbakar
pada vagina, serta pembengkakan dan kemerahan pada vagina, vulva, dan
perineum (area antara vagina dan anus).

b. Penyebab vulvovagonitis
Ada banyak hal yang bia menyebabkan peradangan atau iritasi pada vulva dan
vagina, diantaranya:
1) Vaginosis bakterialis
Vaginosis bakterialis merupakan salah satu penyebab vulvovaginitis yang
paling banyak ditemui. Kondisi ini terjadi akibat pertumbuhan bakteri jahat di
dalam vagina yang dapat menyebabkan infeksi. Vulvovaginitis akibat infeksi
bakteri ini dapat menimbulkan gejala vagina perih dan gatal, nyeri saat buang
air kecil dan berhubungan seksual, serta keputihan berwarna kelabu dan
berbau amis.
2) Infeksi jamur vagina
Vulvovaginitis juga dapat disebabkan oleh infeksi jamur, yaitu jamur
Candida albicans. Infeksi jamur pada vagina ini umumnya ditandai dengan
keputihan yang menggumpal dan bertekstur seperti keju, serta vagina dan
bibir vagina yang terasa gatal atau perih.
3) Infeksi virus
Vulvovaginitis akibat infeksi virus biasanya ditularkan melalui hubungan
seksual. Beberapa contoh penyakit infeksi virus yang dapat menimbulkan
vulvovaginitis adalah herpes kelamin dan HPV. Pada wanita, penyakit herpes
dapat menimbulkan vulvovaginitis yang ditandai dengan adanya luka dan
lepuhan berisi cairan bening serta nyeri dan bengkak di area kelamin.
Sementara itu, infeksi virus HPV yang menyerang area kewanitaan dapat
menyebabkan tumbuhnya kutil kelamin.
4) Penyakit menular seksual
Salah satu penyakit menular seksual yang dapat menyebabkan vulvovaganitis
adalah trikomoniasis. Penyakit ini umumnya ditandai dengan keputihan
berwarna kuning kehijauan dan berbau amis, serta rasa gatal dan perih di area
vagina. Selain trikomoniasis, chlamydia dan gonore juga dapat memicu
peradangan pada organ intim wanita dan menimbulkan gejala keputihan yang
berbau tajam serta rasa nyeri dan perih saat berhubungan intim atau buang air
kecil.
5) Infeksi parasite
Beberapa contoh infeksi parasit yang menyebabkan vagina dan vulva
meradang adalah infeksi cacing kremi, kudis, dan kutu kemaluan. Gejala
vulvovaganitis yang disebabkan infeksi parasit ini umumnya berupa rasa
gatal dan iritasi di sekitar alat kelamin.
6) Reaksi alergi
Iritasi dan peradangan pada vagina dan vulva juga bisa terjadi akibat paparan
zat kimia seperti paraben, sodium sulfate, triclosan, dan dioxane. Zat kimia
ini biasanya terdapat pada sabun mandi, detergen, sabun kewanitaan, bedak,
parfum, hingga kondom. Reaksi iritasi atau alergi terhadap benda-benda
tersebut bisa membuat vulva dan vagina terasa gatal, bengkak, dan
kemerahan. Selain kondisi medis di atas, vulvovaginitis juga dapat terjadi
pada wanita menopause dan wanita setelah melahirkan. Hal ini disebabkan
oleh kadar hormon estrogen yang menurun pada fase tersebut.
Vulvovaginitis juga bisa terjadi karena pengaruh faktor lainnya, seperti:
1) Membersihkan organ intim dengan cara yang tidak benar atau
kurang terjaganya kebersihan vagina selama menstruasi
2) Mengenakan pakaian dalam yang bukan berbahan katun dan
terlalu ketat
3) Menggunakan pembalut atau tampon terlalu lama saat
menstruasi
4) Membiarkan area kelamin dalam keadaaan lembap dan basah,
misalnya tidak segera berganti pakaian setelah berenang
5) Menahan buang air kecil terlalu sering

c. Langkah Pengobatan dan Pencegahan Vulvovaginitis


Karena bisa disebabkan oleh banyak hal, Anda dianjurkan untuk memeriksakan diri
ke dokter agar penyebabnya dapat diketahui dan ditangani secara tepat. Untuk
menentukan penyebab vulvovaganitis, dokter dapat melakukan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang, seperti tes darah dan urine serta analisis cairan vagina.
Setelah penyebabnya diketahui, dokter dapat memberikan pengobatan yang sesuai.
Misalnya untuk mengobati vulvovaginitis akibat infeksi bakteri, dokter dapat
memberikan antibiotik, sedangkan vulvovaginitis akibat infeksi jamur dapat diobati
dengan obat antijamur.
Selain itu, pada kasus vulvovaginitis yang parah, dokter mungkin akan memberikan
obat kortikosteroid untuk mengurangi peradangan dan iritasi pada vulva dan vagina.
Dokter juga dapat meresepkan obat antihistamin untuk mengatasi keluhan gatal pada
vagina dan vulva. Agar vulvovaginitis tidak kambuh kembali, Anda dapat melakukan
beberapa langkah pencegahan berikut:
1) Menghentikan penggunaan produk yang dapat menyebabkan iritasi,
misalnya sabun pembersih kewanitaan yang mengandung parfum
2) Membersihkan daerah kewanitaan dengan air hangat dan langsung
mengeringkannya sehingga tidak lembap
3) Membersihkan organ intim dengan cara yang benar, yaitu dari arah
vagina menuju anus
4) Menggunakan pakaian dalam yang longgar dan berbahan katun
5) Menghindari menggaruk bagian yang gatal karena dapat memperparah
iritasi dan memicu terjadinya infeksi
6) Menjalani perilaku seks yang aman dan sehat, yaitu dengan
menggunakan kondom dan tidak berganti pasangan seksual
Vulvovaginitis umumnya dapat sembuh setelah diobati oleh dokter. Namun, jika tak
kunjung sembuh atau jika sering kambuh, Anda sebaiknya berkonsultasi dengan
dokter untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
(HaloDoc, 2020)

5. Fibroadenoma
a. Pengertian fibroadenoma
Fibroadenoma atau fibroadenoma mammae (FAM) adalah jenis tumor jinak di
payudara. Fibroadenoma ditandai dengan benjolan kecil di salah satu atau
kedua payudara, yang teraba padat dan mudah digerakkan. Fibroadenoma
merupakan salah satu jenis tumor jinak payudara yang paling sering dialami
oleh wanita berusia antara 15–35 tahun. Tumor ini berukuran kecil dengan
tekstur yang padat dan mudah digerakkan. Fibroadenoma bisa hilang dengan
sendirinya, tetapi pada beberapa kasus dapat membesar dan harus diangkat
melalui operasi.

b. Jenis Fibroadenoma
Fibroadenoma terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu:
1) Simple fibroadenoma
Simple fibroadenoma adalah jenis fibroadenoma yang paling sering
terjadi. Jenis ini sering terjadi pada wanita yang berusia muda. Jenis ini
tidak memiliki risiko berubah menjadi ganas.
2) Complex fibroadenoma
Complex fibroadenoma mengandung sel-sel yang dapat tumbuh
dengan cepat. Fibroadenoma jenis ini biasanya terjadi pada wanita
lanjut usia.
3) Juvenile fibroadenoma
Juvenile fibroadenoma biasanya dialami wanita berusia 10–18 tahun.
Fibroadenoma ini dapat membesar, namun biasanya menyusut seiring
waktu.
4) Giant fibroadenoma
Fibroadenoma jenis ini dapat membesar hingga berukuran 5 cm,
sehingga harus diangkat agar tidak menekan jaringan payudara di
sekitarnya.
5) Phyllodes tumor
Tumor phyllodes biasanya bersifat jinak, namun juga dapat berubah
menjadi ganas. Dokter akan menyarankan tumor ini untuk diangkat.

c. Penyebab Fibroadenoma
Belum diketahui penyebab pasti dari fibroadenoma, tetapi kondisi ini diduga
terkait dengan aktivitas hormon estrogen. Dugaan ini timbul karena
fibroadenoma sering kali muncul pada saat wanita berada pada usia
reproduksi. Fibroadenoma sering terjadi pada wanita yang memiliki faktor-
faktor berikut:
1) Berusia 15–30 tahun
2) Mengonsumsi pil KB sebelum usia 20 tahun
3) Sedang hamil
4) Menjalani terapi penggantian hormon

d. Gejala Fibroadenoma
Fibroadenoma kadang tidak disadari oleh penderitanya. Pada beberapa kasus,
penderita baru menyadari ada fibroadenoma di payudaranya ketika melakukan
pemeriksaan payudara sendiri (SADARI), atau saat menjalani pemeriksaan
mamogram atau USG. Fibroadenoma ditandai dengan benjolan di satu atau
kedua payudara. Biasanya, benjolan fibroadenoma berdiameter 1–5 cm, tetapi
ada juga yang sampai 15 cm. Benjolan tersebut memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1) Tidak terasa sakit
2) Terasa kenyal dan padat
3) Berbentuk bundar dengan tepi benjolan yang mudah dirasakan
(batasnya terasa tegas)
4) Mudah digerakkan
Meski umumnya tidak terasa sakit, benjolan fibroadenoma bisa terasa nyeri
menjelang memasuki masa menstruasi. Benjolan juga bisa membesar saat
penderita sedang hamil atau menyusui dan mengecil setelah memasuki usia
menopause.

e. Pengobatan Fibroadenoma
Fibroadenoma umumnya tidak perlu diobati. Meski demikian, pasien tetap
harus memeriksakan diri ke dokter secara berkala agar perubahan pada
benjolan dapat dideteksi sejak dini. Pada beberapa kasus, ada kondisi tertentu
yang dapat dijadikan pertimbangan oleh dokter untuk mengangkat
fibroadenoma. Kondisi tersebut antara lain pasien merasa cemas, benjolan
berkembang menjadi kanker, atau pasien memiliki keluarga dengan riwayat
penyakit kanker.
Kondisi lain yang dapat dijadikan pertimbangan untuk dilakukan
pengangkatan adalah benjolan membesar dan menimbulkan nyeri, serta hasil
pemeriksaan atau biopsi pada benjolan pasien tidak normal. Prosedur
pengangkatan fibroadenoma dapat dilakukan dengan:
1) Lumpektomi, yaitu operasi pengangkatan benjolan fibroadenoma.
Selain untuk mengatasi fibroadenoma, sampel jaringan dari prosedur
ini juga bisa diperiksa lebih lanjut guna mengetahui jenis sel dan
jaringan yang tumbuh pada benjolan
2) Krioterapi, yaitu prosedur untuk membekukan dan menghancurkan
jaringan fibroadenoma dengan menggunakan gas argon atau nitrogen
cair
Perlu diketahui, fibroadenoma masih bisa muncul kembali walaupun sudah
diangkat. Jika kondisi tersebut terjadi, pemeriksaan lanjutan dan biopsi perlu
dilakukan untuk memastikan apakah benjolan baru tersebut fibroadenoma atau
kanker.

f. Pencegahan Fibroadenoma
Seperti disebutkan di atas, belum diketahui apa yang menyebabkan
fibroadenoma. Oleh sebab itu, cara pencegahannya juga belum dapat
diketahui. Namun, Anda bisa mendeteksi perubahan pada payudara dengan
melakukan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI). SADARI sebaiknya
dilakukan antara hari ke-7 sampai ke-10 setelah menstruasi. Caranya adalah
sebagai berikut:
1) Berdiri tegak di depan cermin dan amati apakah ada perubahan bentuk
atau permukaan kulit payudara, serta pembengkakan atau perubahan
pada puting.
2) Angkat kedua lengan ke atas dengan menekuk siku dan meletakkan
tangan di belakang kepala, kemudian dorong siku ke depan dan ke
belakang sambil mengamati bentuk dan ukuran payudara.
3) Letakkan kedua tangan di pinggang dan condongkan bahu ke depan
sambil mendorong kedua siku ke depan, kemudian kencangkan otot
dada Anda dan cermati kedua payudara.
4) Angkat lengan kanan ke atas dan tekuk siku sampai tangan kiri
menyentuh bagian atas punggung, lalu raba dan tekan seluruh bagian
payudara kanan sampai ke area ketiak dengan menggunakan ujung jari
tangan kiri. Lakukan perabaan secara melingkar, vertikal dan
horisontal.
5) Cubit pelan kedua puting payudara dan cermati apakah ada cairan yang
keluar.
6) Letakkan bantal di bawah pundak kanan dalam posisi berbaring.
Lakukan perabaan pada payudara kanan seperti di langkah nomor 4
sambil terus mengamati payudara. Ulangi langkah yang sama pada
payudara kiri.
(HaloDoc, 2020)

6. Mastitis
a. Pengertian mastitis
Mastitis atau infeksi payudara adalah peradangan di jaringan payudara.
Kondisi ini umumnya terjadi pada ibu menyusui, terutama pada 6–12 minggu
pertama setelah persalinan. Mastitis biasanya hanya menyerang salah satu
payudara, tetapi juga tidak menutup kemungkinan terjadi pada kedua
payudara. Mastitis menyebabkan penderitanya sulit menyusui sehingga
aktivitas menyusui menjadi terhambat atau terhenti.

b. Penyebab Mastitis
Mastitis biasanya dialami oleh ibu menyusui. Meski begitu, kondisi ini juga
bisa dialami oleh wanita yang tidak menyusui dan wanita yang telah
menopause. Bahkan, pada kasus yang jarang terjadi, mastitis juga bisa terjadi
pada pria.
Berikut ini adalah penjelasan penyebab mastitis pada ibu menyusui dan pada
wanita yang tidak menyusui:

Pada ibu menyusui


Pada ibu menyusui, mastitis disebabkan oleh penumpukan ASI di kelenjar
payudara sehingga menyebabkan penyumbatan di dalam saluran air susu.
Penumpukan tersebut menyebabkan penyumbatan pada saluran air susu.
Akibatnya, bakteri dari permukaan kulit atau mulut bayi dapat masuk dari
celah kulit atau puting sehingga terjadi infeksi. Penyumbatan saluran ASI
dapat dipicu oleh beberapa hal, yaitu:
1) Posisi mulut bayi yang tidak tepat ketika menyusu
2) Bayi tidak cukup menyusu
3) Pengeluaran ASI tidak dilakukan secara teratur
4) ASI yang dihasilkan terlalu banyak
5) Proses menyapih bayi terlalu cepat
6) Terlalu sering menyusui dari satu payudara

Pada wanita yang tidak menyusui


Meskipun jarang, mastitis juga dapat terjadi pada wanita yang tidak menyusui
dan pria. Kondisi ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti:
1. Cedera pada payudara
2. Daya tahan tubuh yang rendah, contohnya pada seseorang yang sedang
menjalani radioterapi
3. Kondisi medis, seperti diabetes, penyakit kronis, atau HIV/AIDS
4. Penyakit kulit, seperti eksim
5. Mencukur atau mencabut bulu di sekitar putting
6. Tindikan di payudara
7. Pemasangan implan pada payudara

c. Gejala Mastitis
Pada tahap awal, gejala mastitis umumnya timbul pada salah satu payudara
dan dapat terjadi secara tiba-tiba. Gejala tersebut berupa:
1) Pembengkakan pada payudara
2) Payudara kemerahan dan terasa hangat
3) Payudara terasa nyeri ketika disentuh
4) Nyeri atau sensasi terbakar pada payudara yang terjadi terus-menerus
atau saat menyusui
Selain gejala tersebut, ada beberapa keluhan lain yang dapat menyertai, yaitu:
1) Demam
2) Menggigil
3) Tubuh terasa lelah dan lemas
4) Tubuh terasa pegal
5) Mual
6) Keluarnya cairan yang mengandung nanah dari putting
7) Muncul benjolan di payudara
8) Pembesaran kelenjar getah bening di area ketiak atau leher

d. Pengobatan Mastitis
Pada pasien ibu menyusui dengan gejala ringan, mastitis sebaiknya ditangani
dengan pengobatan mandiri terlebih dahulu. Ada beberapa tindakan yang
dapat dilakukan di rumah untuk meredakan gejala yang dialami, yaitu:
1) Berikan kompres hangat pada area payudara yang mengalami infeksi
untuk meredakan nyeri. Lakukan selama 15 menit, sebanyak 4 kali
sehari.
2) Konsumsi obat pereda nyeri, seperti iburofen dan paracetamol, untuk
membantu meredakan nyeri.
3) Perbanyak istirahat dan minum cairan.
4) Konsumsi makanan sehat dan mengandung nutrisi yang seimbang.
5) Hindari mengenakan pakaian dan bra yang terlalu ketat.
6) Pijat payudara untuk melancarkan penyumbatan, terutama dengan
memijat area benjolan atau yang terasa nyeri. Pemijatan dilakukan
perlahan ke arah puting untuk melancarkan aliran ASI.
Selain itu, gejala mastitis juga dapat diredakan dengan beberapa teknik
menyusui, seperti:
1) Mulai menyusui dengan payudara yang mengalami pembengkakan.
2) Pastikan posisi mulut bayi benar dan bayi dapat menyedot ASI dengan
baik.
3) Lakukan aktivitas menyusui secara teratur setiap 2 jam sekali dengan
posisi yang berbeda-beda.
4) Perah ASI dari payudara menggunakan pompa ASI atau tangan saat
payudara terasa penuh.
5) Konsultasikan dengan dokter untuk meningkatkan pengetahuan tentang
teknik dan posisi menyusui yang baik.
Jika mastitis pada ibu menyusui tidak dapat diatasi dengan pengobatan
mandiri, atau terjadi pada wanita yang tidak menyusui, dokter dapat
memberikan antibiotik untuk dikonsumsi selama 10–14 hari. Mastitis
umumnya akan membaik dalam waktu 2–3 hari sejak awal pengobatan. Meski
demikian, antibiotik sebaiknya tetap dikonsumsi sampai habis agar infeksi
tidak muncul kembali. Penting untuk diingat bahwa menyusui saat menderita
mastitis aman untuk dilakukan meski ibu sedang mengonsumsi antibiotik. ASI
mengandung antibakteri yang dapat membantu bayi melawan infeksi. Selain
itu, menyusui dapat membantu mengatasi infeksi karena membantu
melancarkan penyumbatan. Sebaliknya, menyapih bayi secara tiba-tiba dapat
memperburuk infeksi.

e. Komplikasi Mastitis
Mastitis yang terlambat ditangani dapat menimbulkan beberapa komplikasi,
yaitu:
1) Abses payudara
Abses yaitu benjolan bernanah yang terbentuk di payudara dan terasa
nyeri. Pada kondisi ini, tindakan operasi kecil diperlukan untuk
mengeluarkan nanah dari dalam payudara.
2) Infeksi jamur
Penggunaan antibiotik secara berlebihan bisa memicu pertumbuhan
jamur secara berlebihan di dalam tubuh. Kondisi ini dapat
menyebabkan infeksi jamur pada payudara, yang ditandai dengan
puting kemerahan, serta nyeri dan panas di payudara.
f. Pencegahan Mastitis
Ada beberapa tindakan perawatan payudara yang dapat dilakukan untuk
mencegah mastitis, yaitu:
1) Kompres payudara dengan handuk hangat untuk meningkatkan aliran
ASI.
2) Gunakan teknik atau posisi yang berbeda ketika menyusui.
3) Gunakan payudara secara bergantian ketika sedang menyusui.
4) Kosongkan payudara sepenuhnya ketika sedang menyusui untuk
mencegah pembengkakan dan penyumbatan saluran ASI.
5) Gunakan alat pompa ASI untuk mengosongkan payudara jika bayi
sudah berhenti menyusu dan payudara belum sepenuhnya kosong.
6) Jangan mengubah jadwal menyusui secara mendadak.
7) Hindari penggunaan sabun ketika membersihkan puting.
8) Pijat payudara secara teratur untuk memperlancar saluran ASI.
9) Pastikan payudara selalu kering dengan mengganti bra atau bantalan
payudara bila sudah basah.
10) Perbanyak minum air putih untuk mencegah dehidrasi.
11) Hindari penggunaan bra yang terlalu ketat.
12) Cuci tangan dan bersihkan puting sebelum dan setelah menyusui.

7. Mioma Uteri
a. Pengertian mioma uteri
1) Mioma uteri adalah tumor jinak miometrium dengan ciri tersendiri,
bulat, keras, berwarna putih hingga merah muda pucat, sebagian besar
terdiri atas otot polos dengan beberapa jaringan ikat. Kira-kira 95%
berasal dari korpus uteri dan 5% dari serviks. Hanya kadang-kadang
saja berasal dari tuba fallopi atau ligamentum rotundum. Mioma uteri
adalah tumor pelvis yang paling sering terjadi pada kira-kira 25%
wanita kulit putih dan 50% kulit hitam pada umur 50 tahun (Benson &
Pernoll, 2008: 548).
2) Mioma uteri adalah tumor jinak yang berasal dari miometrium dan
merupakan tumor jinak tersering pada wanita di atas usia 30 tahun.
Angka kejadiannya diperkirakan 3 dari 10 wanita berusia > 30 tahun
menderita mioma uteri ( Endjun, 2008 : 271).
3) Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos yang terdiri dari selsel
jaringan otot polos jaringan fibroid dan kolagen (Nurarif & Hardi,
2013: 445).
4) Mioma uteri adalah tumor jinak yang struktur utamanya adalah otot
polos rahim. Mioma uteri terjadi pada 20%-25% perempuan di usia
reproduktif, tetapi oleh faktor yang tidak diketahui secara pasti
(Anwar, 2011 :274).
5) Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan
jaringan ikat yang menopangnya (Unicef, 2013).
6) Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus yang
disebut juga dengan mioma uteri atau uterin fibroid. Mioma uteri
umumnya terjadi pada usia lebih dari 35 tahun (Marmi, 2010).
7) Mioma uteri yaitu tumor jinak pada rahim, selain bisa ganas, lebih
sering muncul tumor jinak pada rahim atau mioma uteri. Jenis
tumornya tidak hanya satu. Bisa tumbuh dibagian dinding luar rahim,
pada otot rahimnya, atau bisa juga dibagian dinding dalam rahim
sendiri. Ini jenis tumor yang lebih banyak ditemukan. Rata-rata pada
wanita di atas usia 30 tahun (Irianto, 2015)
(unismuh, 2017)

b. Gejala mioma uteri


Biasanya gejala yang muncul bisa dipengaruhi oleh lokasi, ukuran, dan jumlah
miom. Umumnya, gejala mioma uteri atau fibroid rahim dapat ditandai dengan
kondisi berikut:
1) Perdarahan menstruasi yang berat.
2) Periode menstruasi yang berlangsung lebih dari seminggu.
3) Teraba benjolan di dalam perut.
4) Tekanan pada panggul sehingga menimbulkan nyeri.
5) Sering buang air kecil.
6) Kesulitan mengosongkan kandung kemih.
7) Sakit punggung atau nyeri kaki.
8) Mempunyai masalah kesuburan.
Mioma Uteri biasanya dikategorikan berdasarkan lokasinya. Ada jenis yang
disebut dengan Miom Intramural, yaitu miom yang tumbuh di dalam otot
dinding rahim.
1) Fibroid atau Miom Submucosal biasanya terjadi akibat miom yang
tumbuh di lapisan paling tipis di dalam rongga rahim yang akibatnya
dalam muncul benjolan ke dalam rongga rahim.
2) Sementara itu, Miom Subserosal terdeteteksi tumbuh ke bagian luar
uterus, ini merupakan jenis paling sering.
3) Terakhir adalah fibroid atau Miom Pediculated, yaitu miom yang
bertangkai dan dapat tumbuh di bagian dalam maupun luar dinding
rahim
(pacific cross, 2020)

c. Penyebab mioma uteri


Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti apa penyebab terjadinya Mioma
Uteri. Namun, ada beberapa hal yang menyebabkan kondisi ini terjadi, antara
lain:
1) Perubahan dan faktor genetik. Banyak miom yang terjadi akibat
perubahan genetik yang terjadi pada sel otot rahim normal. Lalu,
apabila keluarga terdekat mempunyai kondisi ini, maka akan
meningkatkan kemungkinan Anda mengalami fibroid rahim.
2) Tingkat Hormon, Estrogen dan progesteron adalah dua hormon yang
merangsang perkembangan lapisan dinding rahim setiap siklus
menstruasi untuk mempersiapkan kehamilan. Ini bisa berisiko
meningkatkan munculnya miom atau sel abnormal dalam dinding
rahim. Mioma Uteri umumnya cenderung menyusut atau jarang terjadi
setelah wanita mengalami menopause karena penurunan produksi
hormon.
3) Faktor zat asing lainnya, Zat yang membantu tubuh mempertahankan
jaringan, seperti insulin dapat memengaruhi pertumbuhan fibroid atau
miom. Para dokter meyakini bahwa mioma uteri berkembang dari sel
induk di jaringan otot polos rahim (miometrium). Hal ini disebabkan
karena satu sel membelah berulang kali sehingga menciptakan massa
atau tumor. Pertumbuhan Mioma Uteri ini berbeda-beda, ada yang
tumbuh dengan cepat dan ada yang lambat. Meski begitu, tumor atau
miom bisa menyusut dengan sendirinya. Dalam beberapa kasus, ada
Mioma Uteri yang menghilang setelah kehamilan.
(pacific cross, 2020)

d. Pencegahan mioma uteri


Beberapa langkah yang bia ditemput dalam pencegahan miom uteri, antara
lain:
1) Melakukan olahraga dan aktivitas fisik secara rutin dan teratur.
2) Menggunakan alat kontrasepsi hormonal di bawah pengawasan dokter.
3) Menghindari kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol.
4) Menjaga berat badan tetap ideal.
5) Menjalani pola makan sehat yang tinggi serat dari sayur dan buah,
serta menghindari pola makan yang tinggi lemak dan tinggi gula.
(HaloDoc, 2019)

e. Penanganan mioma uteri


Kebanyakan mioma uteri tidak membutuhkan pengobatan. Penderita hanya
perlu melakukan pemeriksaan rutin untuk memastikan tumor atau miom tidak
berkembang terlalu besar atau menimbulkan masalah lainnya. Selain itu,
minum obat-obatan yang diresepkan dokter juga dapat digunakan sebagai
penghambat kinerja hormon. Jika gejala terus terjadi, dokter dapat
menyarankan operasi pengangkatan rahim atau mungkin miomnya saja.
Terlebih jika Anda masih merencanakan kehamilan. Namun ada metode lain
dengan cara:
1) Metode baru Embolisasi Arteri Rahim yaitu pemotongan pembuluh
darah di sekitar rahim.
2) Metode Lisis Mekanik, arus listrik digunakan untuk menghancurkan
fibroid dan mengecilkan pembuluh darah.
3) Metode Cryogenic, yang menggunakan nitrogen cair
Meski telah dilakukan pembersihan, mioma uteri bisa kambuh kembali dan
pasien harus menjalani operasi lagi. Obat bisa saja menghambat pertumbuhan
fibroid tapi sifatnya hanya sementara.
Adapun penanganan/pengobatan dari rumah:
1) Kendalikan berat badan
Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan pada Asia Pacific Journal
of clinical Nutrition tahun 2013, obesitas dan olahraga yang terlalu
keras dapat meningkatkan risiko tumbuhnya tumor di rahim. Ini karena
sel-sel lemak dalam tubuh wanita mengandung tinggi estrogen,
hormon yang dapat memicu pertumbuhan kanker. Bagi Anda yang
mengalami obesitas, segera turunkan berat badan hingga mencapai
berat badan normal. Ini dapat membantu mengecilkan tumor yang
bersarang di rahim.
2) Makanan yang harus dikonsumsi
Konsumsi makanan tinggi serat dapat membantu mengurangi
peradangan akibat fibroid rahim. Tak hanya itu, jenis makanan ini juga
dapat menyeimbangkan hormon tubuh dan mencegah Anda dari
kenaikan berat badan secara drastis. Beragam makanan tinggi serat
yang baik untuk Anda konsumsi di antaranya: sayur dan buah, buah
kering, gandum utuh, nasi merah
3) Makanan yang harus dihindari
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa kebanyakan makan daging
merah dapat meningkatkan risiko fibroid rahim. Begitu pula saat Anda
mengonsumsi banyak karbohidrat olahan dan tinggi gula, seperti: nasi
putih, pasta, tepung, minuman bersoda dan tinggi gula, sirup jagung,
kripik kentang, kue cookies dan donat
4) Jaga tekanan darah tetap normal
Menurut penelitian yang diterbitkan pada American Journal of
Hypertension tahun 2015, tekanan darah tinggi alias hipertensi dapat
menyebabkan fibroid rahim. Batasi konsumsi makanan tinggi garam
untuk menjaga tekanan darah tetap normal. Selain itu, jangan lupa cek
tekanan darah secara rutin.
5) Olahraga ringan
Sebuah penelitian membuktikan bahwa wanita yang berolahraga
selama tujuh jam per minggu dapat mengurangi risiko penyebab
fibroid rahim. Kemungkinan karena berat badan lebih mudah turun,
sehingga dapat menekan pertumbuhan tumor rahim. Cukup lakukan
olahraga ringan seperti jogging, yoga untuk kesuburan, renang, atau
jenis olahraga lainnya yang disukai secara rutin.
(pacific cross, 2020)

8. Endometritis
a. Pengertian endometriosis
Secara klasik pada awal defenisi endometriosis adalah terdapat jaringan
endometrium, baik kelenjar maupun stroma, di luar uterus. Pada dekade
berikutnya endometriosis digambarkan sebagai penyakit yang
menyebabkannyeri dan membutuhkan tindakan oprasi. Introduksi alat
endoskopik pada tahun 1960 membawa perubahan gambaran endometriosis
dan kemudian dikenal lesi endometriosis black-puckered yang banyak
didapatkan pada perempuan dengan keluhan nyeri dan infertilitas. Di tahun
1980 istilah non-pigmented atau subtle endometriosis diperkenalkan, yaitu lesi
endometriosis kecil, superfisial, tanpa warna hitam hemosiderin, tidak
dikelilingi sklerosis tetapi aktif, misal white vesicle, flame like lesion dan
selanjutnya dikenal dengan istilah endometriosis mikroskopis. Tahun 1990
perhatian mulai tertuju pada deep infiltrating endometriosis yaitu lesi
endometriosis yang infiltrasi masuk dalam di bawah peritoneum dan tidak
selalu ditemukan dengan laparoskopi.

Perubahan macam gambaran lesi dan defenisi endometriosis tersebut di atas


berkontribusi terjadi bias literatur. Pada defenisi disebutkan bahwa didalam
jaringan endometrium berlokasi ektopik, diluar kavum uteri, lesi
endometriosis tersebut dapat ditemukan dibeberapa tempat, yaitu peritoneum
panggul, ovarium, dinding uterus, kavum douglasi, septum rektovagina, ureter,
vasica urinaria, bahkan ditemukan lokasi jauh walaupun jarang di dapat
misalnya usus, apendik, perikardium, pluera, dsb.
(Hendi Hendarto, 2015)

Endometriosis adalah kasus jaringan endometrium (lapisan dinding rahim)


yang tumbuh diluar rahim (implan endometrium). Kata endometrium sendiri
berasal dari bahasa Latin (Yunani) endo (didalam) dan metrra (rahim).
(Syamsir Alam dkk, 2007)
b. Gejala endometriosis
Gejala endometriosis umumnya menimbulkan rsa sakit yang luar biasa pada
sekitar pinggul dan perut bagian bawah. Gejala akan terasa paling parah
sebelum dan selama siklus menstruasi. Namun, ada juga yang merasakan sakit
sepanjang waktu. Rasa sakit juga bisa muncul saat berhubungan seks atau
setelahnya, serta rasa sakit waktu buang air kecil dan besar. Terdapat gejala
lain berupa darah pada feses atau urine, perut terasa kembung, volume darah
yang berlebihan saat menstruasi, darah serta pendarahan di luar siklus
menstruasi juga termasuk gejala endometriosis. Pengidap enosmetriosis juga
bisa mengalami gejala lain, seperti konstipasi, diare, kelelahan, dan mual
selama periode menstruasi.

Rasa sakit saat buang air besar dan kecil juga dirasakan sebagian pengidap
endometriosis saat buang air besar dan kecil, maupun saat berhubungan intim.
Selain itu, perdarahan di urine atau tinja dan perdarhan menstruasi yang
berlebihan juga bisa terjadi pada pengidap endometriosis. Pengaruh
endometriosis berbeda-beda pada setiap wanita, bahkan pada beberapa kasus
ada yang tidak merasakan gejala sama sekali. Hal yang perlu diperhatikan
adalah rasa sakit luar biasa saat datang bulan. Jika muncul rasa sakit yang
tidak biasa, sebaiknya langsung menghubungi dokter.
(HaloDoc, 2019)

c. Penyebab endometriosis
Belum diketahui apa yang menyebabkan endometriosis. Namun, ada dugaan
endometriosis dipicu oleh beberapa kondisi berikut:
1) Retrograde menstruation
Retrograde menstruation adalah kondisi ketika darah menstruasi tidak
mengalir keluar tubuh melalui vagina, tetapi berbalik arah dan masuk
ke rongga panggul melalui saluran indung telur (tuba falopi). Kondisi
tersebut menyebabkan sel endometrium menempel ke dinding panggul
dan permukaan organ panggul. Sel-sel tersebut kemudian akan terus
tumbuh, menebal, dan menyebabkan perdarahan selama siklus
menstruasi.
2) Gangguan sistem kekebalan tubuh
Pada kondisi ini, sistem kekebalan tubuh gagal mengenali dan
menyerang sel endometrium yang secara keliru tumbuh di luar rahim.
3) Perubahan sel yang belum matang
Sel-sel yang belum matang dapat berubah menjadi sel endometrium
selama masa pubertas. Hal tersebut dapat terjadi akibat perubahan
hormon di dalam tubuh, salah satunya hormon estrogen.
4) Perubahan sel peritoneum
Peritoneum adalah selaput yang melapisi bagian dalam perut. Ada
dugaan bahwa sel peritoneum bisa berubah menjadi sel endometrium
bila dipengaruhi hormon atau sistem kekebalan tubuh.
5) Perpindahan sel endometrium
Pada kondisi ini, sel endometrium dapat berpindah ke bagian tubuh
lain melalui darah, serta sistem getah bening, yaitu bagian utama dalam
sistem kekebalan tubuh.
6) Operasi
Prosedur seperti operasi caesar dan histerektomi, dapat menyebabkan
sel endometrium menempel di area bekas sayatan sehingga terjadi
endometriosis.
(HaloDoc, 2021)

d. Pencegahan endometriosis
Berikut ini adalah beberapa cara untuk mencegah atau menurunkan resiko
seorang wanita terkena endometriosis sejak usia dini.
1) Menurunkan Tingkat Estrogen
Saat orang terkena endometriosis dokter akan memberikan resep untuk
menurunkan kadar estrogen. Nah agar bisa mencegah terjadinya
kondisi tersebut artinya perlu menurunkan tingkat estrogen. Dokter
biasanya akan menggunakan pil KB atau cincin vagina dengan
estrogen yang rendah. Biasanya juga akan memberikan terapi
hormonal untuk meredakan nyeri. Rasa nyeri tersebut biasanya
merupakan efek dari tubuh yang sedang mengkonsumsi hormone.
2) Olahraga dan Menjaga Pola Hidup Sehat 
Cara pencegahan endometriosis lain adalah dengan rutin melakukan
olahraga. Olahraga adalah salah satu cara sehat untuk menjaga
kesehatan tubuh. Olahraga yang bisa dilakukan seperti lari, bersepeda,
sejenis latihan cardio exercise dan yoga. Jika tubuh sudah dibiasakan
melakukan olahraga sejak usia dini, paling tidak 30 menit setiap
harinya, resiko tubuh terkena endometriosis bisa ditekan bahkan bisa
dihindari. Tidak hanya itu, pola hidup sehat juga sangat dianjurkan
untuk diterapkan. Dengan asupan makanan yang bernutrisi dan sehat,
istirahat yang cukup, minum air putih yang cukup, dan olahraga, tubuh
bisa menjadi lebih sehat dan bugar. Akibatnya, penyakit seperti
endometriosis pun juga bisa dicegah dengan lebih optimal. 
3) Menghindari Alkohol
Alkohol adalah salah satu jenis minuman yang tidak baik untuk
kesehatan tubuh seseorang terutama wanita. Sebab, minuman ini bisa
meningkatkan jumlah estrogen yang ada dalam tubuh. Semakin sering
mengkonsumsi alkohol maka semakin besar peluang tubuh untuk
terkena endometriosis.
4) Mengurangi Kafein
Cara mencegah endometriosis yang terakhir adalah dengan
mengurangi kafein. Bukan hanya minuman beralkohol saja, minuman
yang mengandung banyak kafein juga tidak baik untuk kesehatan
rahim pada wanita. Minuman dengan kafein ini memperbesar
seseorang terkena endometriosis karena sama dengan alkohol, kafein
membuat produksi esterogen dalam tubuh jadi lebih tinggi. Lebih baik
untuk mencegah endometriosis perbanyak minum air putih atau jus
buah segar saja yang jauh lebih menyehatkan.
(HaloDoc, 2021)

e. Penanganan endometriosis
Pengobatan endometriosis bertujuan untuk meredakan gejala, memperlambat
pertumbuhan jaringan endometrium di luar rahim, meningkatkan kesuburan,
dan mencegah endometriosis kambuh. Metode pengobatan endometriosis akan
dilakukan berdasarkan usia, tingkat keparahan gejala dan penyakit, serta
keinginan pasien untuk memiliki anak atau tidak. Beberapa metode
pengobatannya adalah:
1) Obat-obatan
Dokter dapat memberikan obat pereda nyeri untuk meredakan nyeri
akibat endometriosis. Obat yang dapat diberikan adalah
obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), seperti diclofenac atau
ibuprofen.
2) Terapi Hormon
Terapi hormon bertujuan untuk memperlambat pertumbuhan jaringan
endometriosis, dengan membatasi atau menghentikan produksi hormon
estrogen. Meski demikian, terapi hormon tidak dapat meningkatkan
kesuburan dan mencegah komplikasi seperti adhesi atau perlengketan.
Beberapa terapi hormon yang digunakan untuk mengobati
endometriosis adalah:
a) Kontrasepsi hormonal, seperti pil KB, KB implan, KB suntik,
atau spiral (IUD), untuk menghambat proses penebalan
jaringan endometrium dan meredakan nyeri
b) Obat untuk menurunkan kadar estrogen, seperti anastrozole,
letrozole, dan exemestane
c) Analog hormon pelepas gonadotropin (Gn-RH), seperti
goserelin, untuk memicu kondisi yang menyerupai menopause
dengan menghambat produksi hormon
d) Progestogen, seperti norethisterone, untuk mencegah proses
ovulasi, yaitu keluarnya sel telur dari ovarium ke tuba falopi,
sehingga memicu penyusutan endometriosis
e) Danazol, untuk menurunkan produksi hormon yang dihasilkan
indung telur, yaitu estrogen dan progesteron, sehingga
mewujudkan kondisi serupa menopause
3) Operasi
Operasi dilakukan bila metode di atas sudah tidak efektif dalam
mengobati endometriosis. Operasi bertujuan untuk mengangkat
jaringan endometrium yang tumbuh di luar rahim. Selain itu, operasi
juga dapat meningkatkan kesuburan pasien. Sejumlah prosedur operasi
untuk mengatasi endometriosis adalah:
a) Laparoskopi
Pada pasien yang masih ingin memiliki keturunan tetapi
merasakan nyeri parah, dokter akan menyarankan laparoskopi
atau operasi lubang kunci. Melalui laparoskopi, dokter akan
mengangkat jaringan endometriosis dan membakar jaringan
tersebut menggunakan laser atau arus listrik.
b) Laparotomi
Laparotomi dilakukan bila endometriosis sudah sangat parah
dan ukurannya cukup besar. Pada prosedur ini, dokter akan
membuat sayatan lebar di area perut untuk mengakses organ
yang terkena dan mengangkat jaringan endometriosis.
c) Histerektomi
Histerektomi adalah operasi pengangkatan rahim, leher rahim
(serviks), dan kedua ovarium. Histerektomi dapat memicu
menopause dini dan menyebabkan pasien tidak bisa hamil lagi.
Oleh sebab itu, prosedur ini hanya dilakukan sebagai pilihan
terakhir.
(HaloDoc, 2021)

9. Sindrom ovarium polikistik


a. Pengertian sindrom ovarium polikistik
Sindrom polikistik ovarium (PCOS) adalah penyakit ketika ovum atau sel telur
pada perempuan tidak berkembang secara normal karena ketidakseimbangan
hormon. Hal ini dapat menyebabkan periode menstruasi yang tidak teratur
disertai pembentukan kista multipel pada ovarium. Kondisi ini juga dapat
menyebabkan kemandulan.

b. Gejala sindrom ovarium polikistik


Gejala PCOS, antara lain:
1) Siklus menstruasi tidak teratur. Perempuan yang mengidap PCOS bisa
mengalami siklus menstruasi yang tidak teratur, seperti dalam setahun,
ia hanya mengalami menstruasi sebanyak kurang dari 8 kali atau siklus
menstruasinya datang setiap 21 hari atau lebih sering. Bahkan, dalam
beberapa kasus, pengidap tidak lagi bisa mengalami menstruasi sama
sekali.
2) Pertumbuhan rambut berlebih pada wajah, dagu, bawah hidung
(kumis), yang disebut dengan hirsutisme. Hirsutisme ditemukan pada
70 persen perempuan dengan PCOS.
3) Jerawat pada wajah, dada, dan punggung bagian atas.
4) Kenaikan berat badan atau kesulitan menurunkan berat badan.
5) Penipisan rambut atau kebotakan dengan pola kebotakan laki-laki
6) Kulit menjadi gelap, terutama pada daerah lipatan leher, selangkangan,
dan lipatan payudara.
7) Tonjolan daging bersifat jinak yang disebut skin tag, biasanya di
daerah ketiak atau leher.

c. Komplikasi dari PCOS adalah sebagai berikut:


1) Kemandulan;
2) Diabetes gestasional;
3) Hipertensi gestasional;
4) Steatohepatitis non-alkoholik;
5) Sindrom metabolik;
6) Diabetes mellitus tipe 2;
7) Sleep apnea;
8) Depresi dan gangguan cemas;
9) Perdarahan rahim abnormal; dan
10) Kanker endometrium.

d. Penyebab PCOS
Penyebab utama PCOS sampai saat ini masih belum diketahui. Namun,
beberapa faktor seperti faktor genetik dikaitkan oleh para ahli sebagai salah
satu penyebabnya. Faktor genetik ini dikaitkan dengan terjadinya peningkatan
androgen yang tinggi pada perempuan pengidap PCOS. Androgen sering
disebut hormon laki-laki karena merupakan hormon yang dominan pada laki-
laki, sedangkan pada perempuan hormon ini hanya diproduksi dalam jumlah
yang sedikit. Androgen bertugas untuk mengendalikan perkembangan fitur-
fitur maskulin, seperti kebotakan androgen atau pola kebotakan laki-laki.
Berdasarkan hal tersebut, ketidakseimbangan hormon bisa terjadi, ketika
seorang perempuan mengidap PCOS. Ketidakseimbangan hormon tersebut
terjadi karena produksi androgen menjadi lebih banyak dari kadar androgen
normal dalam tubuh perempuan. Hormon androgen yang tidak seimbang
tersebut menyebabkan pertumbuhan rambut tidak normal dan jerawat, selain
kondisi tersebut, perempuan juga tidak dapat melepaskan ovum dari ovarium
setiap menstruasi.

Selain kadar androgen yang tinggi, perempuan dengan PCOS juga cenderung
memiliki kadar insulin yang tinggi, terutama ia dengan berat badan lebih atau
memiliki riwayat diabetes mellitus pada keluarga. Insulin merupakan hormon
yang bertugas untuk mengatur karbohidrat yang masuk ke dalam tubuh untuk
dijadikan energi. Sementara resistensi insulin adalah kondisi di mana tubuh
tidak dapat merespon insulin secara normal, sehingga terjadi peningkatan
kadar glukosa dan insulin dalam darah. Kelebihan insulin mengakibatkan
produksi hormon androgen meningkat, hal ini dapat mengganggu proses
ovulasi. Beberapa studi menunjukkan bahwa perempuan dengan PCOS
memiliki sebuah tipe dari peradangan derajat ringan yang menyebabkan
ovarium untuk memproduksi androgen, serta menyebabkan masalah jantung
dan pembuluh darah.
e. Pencegahan PCOS
Terjadinya PCOS tidak dapat dicegah karena belum diketahui secara pasti
penyebab utamanya. Sementara pengendalian faktor risiko bisa dilakukan agar
komplikasi PCOS bisa dicegah.

f. Pengobatan PCOS
Tidak ada tatalaksana yang diketahui dapat menyembuhkan PCOS, tetapi
tatalaksana berfokus pada meredakan gejala serta menghindarkan pengidap
dari konsekuensi jangka panjang seperti diabetes dan penyakit jantung.
Tatalaksana juga ditujukan pada usaha terjadinya konsepsi. Seperti yang sudah
dijelaskan, kelebihan berat badan atau obesitas meningkatkan risiko PCOS dan
memperburuk PCOS yang sudah terjadi. Maka, perempuan dengan PCOS
sangat dianjurkan untuk olahraga sebagai salah satu metode terapi.
Menurunkan berat badan sebanyak 5-10 persen dapat meringankan gejala dan
membantu siklus menstruasi lebih teratur, serta membantu mengendalikan
kadar gula darah dan ovulasi.

Karena PCOS disebabkan oleh adanya ketidkseimbangan hormonal, maka


terapi hormon juga dibutuhkan pada pengidap PCOS. Terapi hormon tersebut
dilakukan dengan memberikan obat kontrasepsi, dan biasanya diberikan
kepada pengidap yang tidak berencana untuk hamil. Terapi ini bertujuan untuk
mengembalikan siklus menstruasi yang normal, serta menangani jerawat dan
pertumbuhan rambut abnormal. Terapi ini juga menurunkan risiko terjadinya
kanker endometrium. Kemandulan yang disebabkan oleh PCOS dapat
ditangani dengan pemberian obat-obatan yang dapat menstimulasi ovulasi.
Jika terapi ini tidak membantu, pilihan lain adalah injeksi hormon
gonadotropin yang juga diharapkan bisa membantu terjadinya ovulasi.

Opsi lain untuk membantu mengatasi kemandulan adalah operasi yang


disebut ovarian drilling. Operasi tersebut dilakukan dengan penerapan insisi
pada perut dan menggunakan laparoskopi dengan jarum untuk memberikan
lubang kecil pada ovarium yang dapat merubah kadar hormon, sehingga
peluang ovulasi lebih mungkin terjadi. Jika terapi-terapi tersebut belum
menunjukan hasil yang sesuai, maka bisa dengan melakukan fertilisasi in vitro
(IVF) di mana sel telur dibuahi diluar tubuh untuk kemudian dimasukkan lagi
ke dalam rahim bisa dilakukan, sebagai pilihan terakhir.
(HaloDoc, 2020)

10. Radang panggul


a. Pengertian radang panggul
Radang panggul adalah kondisi dimana organ reproduksi wanita mengalami
infeksi. Selain disebut sebagai radang panggul, penyakit ini memiliki nama
lain, yaitu pelvic inflammatory disease (PID). Penyakit ini biasanya
disebabkan oleh bakteri dari suatu infeksi menular seksual menyebar dari Miss
V ke rahim (uterus), tuba falopi atau saluran indung, serviks atau leher rahim,
dan sel telur/ovarium.
Penyakit radang panggul disebabkan oleh bakteri yang ditularkan ketika
berhubungan intim dan lebih cepat menyebar ketika wanita mengalami
menstruasi. Sebagian besar radang ini menyerang perempuan dengan usia 15–
24 tahun yang sudah aktif secara seksual. Jika tidak segera mendapat
penanganan, risiko nyeri panggul kronis, infertilitas, sulit hamil karena
kehamilan etopik dan berkembangnya fetus di tuba falopi bisa terjadi karena
radang panggul. Seorang pengidap radang panggul yang akut akan
menimbulkan gejala, seperti demam tinggi, tidak nafsu makan, perut terasa
sakit, menggigil, dan bermasalahnya pada sistem pencernaan serta sistem
urine. Selain itu, perempuan yang mengidap penyakit ini harus waspada ketika
masa menstruasi, karena haid dapat terjadi lebih lama dan juga perdarahan
ketika menstruasi atau setelah berhubungan intim.

b. Gejala radang panggul


Gejala dari radang panggul meliputi:
1) Adanya nyeri di panggul dan perut bagian bawah;
2) Terdapat keputihan dengan bau yang tidak sedap;
3) Perdarahan abnormal yang keluar melalui Miss V, terutama saat
melakukan hubungan såeksual atau bisa juga terjadi diantara siklus
menstruasi;
4) Demam kadang sampai menggigil;
5) Nyeri saat melakukan hubungan intim; dan
6) Nyeri atau sulit dalam berkemih.

c. Penyebab radang panggul


Radang panggul disebabkan oleh infeksi bakteri, bakteri yang paling sering
menyebabkan kondisi ini adalah bakteri gonore dan bakteri Chlamydia.
Penyebaran bakteri ini terjadi saat seseorang melakukan hubungan seksual
tanpa proteksi dengan orang yang mempunyai kondisi ini.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko radang panggul adalah :
1) Wanita berusia <25 tahun yang aktif secara seksual.
2) Memiliki banyak pasangan dalam melakukan hubungan intim.
3) Melakukan hubungan intim dengan seseorang yang mempunyai
pasangan seksual lebih dari satu.
4) Melakukan hubungan intim tanpa kondom.
5) Pernah mengalami infeksi seksual atau memiliki riwayat sakit radang
panggul.
6) Tidak membersihkan Miss V dengan sabun khusus.

d. Pencegahan radang panggul


Pencegahan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1) Mempraktikkan hubungan intim yang aman;
2) Pemeriksaan rutin harus dilakukan, jika seseorang berisiko terjangkit
penyakit menular seksual;
3) Selalu waspada ketika mencuci Miss V karena dapat menggangu
keseimbangan bakteri baik;
4) Berbicara dengan dokter mengenai kontrasepsi;
5) Melakukan pengecekkan berkala; dan
6) Selalu mengikuti saran dokter dengan melakukan pengobatan yang
dianjurkan.

e. Pengobatan radang panggul


Langkah pengobatan dari kondisi radang panggul adalah mengobati sumber
penyebab infeksinya dengan antibiotik, kemudian pada proses pengobatan,
dilarang untuk melakukan hubungan intim. Jika pengidap radang panggul
memiliki pasangan, maka pasangannya juga perlu diperiksa dan diobati jika
memiliki kondisi yang sama. Agar infeksi benar-benar hilang, pengidap
radang panggul akan diberikan antibiotik di rumah sakit. Pengobatan pun
harus dilakukan sampai selesai.
(HaloDoc, 2019)

11. Kanker serviks


a. Pengertian kanker serviks
Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh pada sel-sel di leher rahim. Kanker
ini umumnya berkembang perlahan dan baru menunjukkan gejala ketika sudah
memasuki stadium lanjut. Oleh sebab itu, penting untuk mendeteksi kanker
serviks sejak dini sebelum timbul masalah serius. Serviks atau leher rahim
adalah bagian rahim yang terhubung ke vagina. Fungsinya adalah untuk
memproduksi lendir yang membantu menyalurkan sperma dari vagina ke
rahim saat berhubungan seksual. Serviks juga berfungsi melindungi rahim dari
bakteri dan benda asing dari luar.
Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah salah satu jenis kanker yang
paling sering terjadi pada wanita. Berdasarkan penelitian pada tahun 2020, ada
lebih dari 600.000 kasus kanker serviks dengan 342.000 kematian di seluruh
dunia. Di Indonesia, kanker serviks menempati peringkat kedua setelah kanker
payudara sebagai jenis kanker yang paling banyak terjadi dari seluruh kasus
kanker pada tahun 2020. Tercatat ada lebih dari 36.000 kasus dan 21.000
kematian akibat kanker ini.

b. Gejala kanker serviks


Kanker serviks umumnya baru memunculkan gejala saat sudah memasuki
stadium lanjut. Keluhan yang dialami penderita kanker serviks bisa berupa:
1) Perdarahan melalui vagina di luar masa menstruasi, setelah
berhubungan intim, atau setelah menopause
2) Keluar cairan berbau tidak sedap dari vagina yang kadang bercampur
darah
3) Timbul rasa sakit tiap berhubungan seksual
4) Nyeri panggul
Bila kanker semakin menyebar ke jaringan di sekitarnya, dapat muncul
beberapa gejala lain, yaitu:
1) Sulit buang air kecil
2) Terdapat darah dalam urine (hematuria)
3) Pembengkakan pada kaki
4) Diare
5) Buang air besar berdarah
6) Mual dan muntah
7) Kehilangan selera makan
8) Penurunan berat badan
9) Perut membengkak
10) Tubuh mudah lelah
11) Kejang
c. Penyebab kanker serviks
Penyebab kanker serviks hingga saat ini masih belum diketahui. Namun,
penelitian menunjukkan lebih dari 99% kasus kanker serviks terkait
dengan HPV (human papilloma virus). HPV adalah kelompok virus yang
menginfeksi leher rahim. Virus ini umumnya menular melalui hubungan
seksual. Namun, tidak semua HPV menyebabkan kanker serviks. Dari 100
lebih tipe virus HPV, hanya 15 tipe yang terkait dengan kanker serviks,
terutama HPV 16 dan HPV 18. Seseorang akan lebih berisiko tertular infeksi
HPV dan mengalami kanker serviks jika:
1) Mulai berhubungan seks di usia dini
2) Memiliki lebih dari satu partner seksual
3) Memiliki daya tahan tubuh lemah (misalnya akibat HIV/AIDS)
4) Menderita infeksi menular seksual, seperti gonore, klamidia, dan sifilis

Infeksi HPV sebenarnya dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, pada


sebagian wanita, infeksi HPV memicu kondisi pra-kanker yang disebut
dengan displasia serviks. Jika tidak segera ditangani, kondisi pra-kanker ini
bisa berkembang menjadi kanker dalam 5–30 tahun. Selain infeksi HPV, ada
beberapa faktor lain yang diketahui bisa meningkatkan risiko seseorang
mengalami kanker serviks, yaitu:
1) Merokok
2) Mengonsumsi pil KB selama 5 tahun atau lebih
3) Melahirkan lebih dari 5 anak atau melahirkan di bawah usia 17 tahun
4) Mengonsumsi obat pencegah keguguran (dietilstilbestrol) dalam masa
kehamilan

d. Pencegahan kanker serviks


Peluang penderita kanker serviks untuk sembuh akan lebih besar jika kondisi
ini terdeteksi sejak dini. Oleh sebab itu, setiap wanita disarankan untuk
menjalani skrining kanker serviks secara berkala sejak usia 21 tahun atau sejak
menikah. Selain itu, pencegahan infeksi HPV yang dapat memicu kanker ini
juga dapat dilakukan dengan vaksin sejak usia 10 tahun.
e. Penanganan kanker serviks
Pengobatan kanker serviks meliputi bedah, kemoterapi, radioterapi, atau
kombinasi dari ketiga terapi tersebut. Metode pengobatan yang dipilih
tergantung pada stadium kanker dan kondisi kesehatan pasien. Berikut ini
adalah penjelasannya:
1) Bedah
Ada beberapa metode bedah yang dapat menangani kanker serviks,
antara lain:
a) Pengangkatan jaringan tumor saja
Pengangkatan jaringan tumor dapat dilakukan dengan beberapa
cara, misalnya:
 Bedah laser, yang bertujuan menghancurkan sel kanker
dengan menembakkan sinar laser melalui vagina
 Cyrosurgery, yang bertujuan untuk membekukan dan
menghancurkan sel kanker dengan menggunakan
nitrogen cair
 Konisasi, yang bertujuan untuk mengangkat jaringan
yang mengandung sel kanker menggunakan pisau
bedah, laser, atau kawat tipis yang dialiri listrik (LEEP)
dalam bentuk kerucut
Metode ini biasanya dipilih untuk kanker serviks stadium awal
yang ukurannya kecil atau tidak dalam.
b) Trakelektomi radikal
Trakelektomi bertujuan untuk mengangkat serviks, vagina
bagian atas, dan kelenjar getah bening di area pinggul melalui
laparoskopi. Pada trakelektomi, rahim tidak ikut diangkat,
tetapi disambungkan ke bagian bawah vagina. Oleh karena itu,
pasien masih bisa memiliki anak setelah operasi ini.
c) Histerektomi
Histerektomi adalah bedah pengangkatan seluruh bagian rahim
(uterus) dan leher rahim (serviks). Pengangkatan bisa dilakukan
melalui sayatan di perut (abdominal hysterectomy), melalui
vagina (vaginal hysterectomy), atau dengan laparoskopi
(laparoscopic hysterectomy). Pada kanker yang sudah
menyebar luas, dokter juga akan mengangkat area vagina, serta
ligamen dan jaringan di sekitarnya. Selain itu, ovarium (indung
telur), saluran indung telur, dan kelenjar getah bening di
sekitarnya juga akan diangkat. Prosedur ini disebut
histerektomi radikal.

Perlu diketahui bahwa pasien yang menjalani histerektomi


dapat mengalami menopause dini dan tidak akan bisa memiliki
anak setelah operasi ini.
d) Pelvic exenteration
Pelvic exenteration adalah operasi besar yang hanya disarankan
jika kanker serviks kambuh kembali setelah sempat sembuh.
Operasi ini dilakukan jika kanker kembali ke daerah panggul,
tetapi belum menyebar ke area lain. Pelvic exenteration diawali
dengan pengangkatan kanker, vagina, kandung kemih dan
rektum. Setelah itu, dokter akan membuat stoma (lubang) di
perut sebagai tempat keluar urine dan tinja. Kotoran yang
dibuang akan masuk ke dalam kantung kolostomi yang
dipasang di stoma.

Setelah prosedur bedah selesai, dokter akan menggunakan kulit


dan jaringan dari bagian tubuh lain untuk membuat vagina
baru.

2) Radioterapi
Radioterapi adalah metode pengobatan kanker yang menggunakan
sinar X atau sinar proton dengan radiasi tinggi untuk membunuh sel
kanker. Pada kanker serviks stadium awal, radioterapi bisa dilakukan
sebagai terapi tunggal atau dijalankan bersama prosedur bedah.
Radioterapi juga dapat dikombinasikan dengan kemoterapi untuk
mengendalikan nyeri dan perdarahan pada kanker serviks stadium
lanjut. Radioterapi bisa diberikan dengan 3 cara, yaitu:
 Menembakkan gelombang berenergi tinggi ke area panggul
pasien untuk menghancurkan sel kanker (radioterapi eksternal
atau external beam radiation therapy; ERBT)
 Memasukkan implan radioaktif melalui vagina untuk
ditempatkan langsung di sel kanker atau di dekatnya
(radioterapi internal atau brakiterapi)
 Mengombinasikan EBRT dan brakiterapi
EBRT umumnya dilakukan 5 hari selama 5 minggu. EBRT bisa
diberikan sebagai terapi tunggal pada pasien yang tidak dapat
menjalani kemoterapi dan bedah, tapi juga dapat dikombinasikan
dengan pemberian obat kemoterapi dosis rendah, seperti cisplatin.

Brakiterapi dapat diberikan dalam dosis tinggi dan dosis rendah.


Brakiterapi dosis rendah biasanya diberikan selama beberapa hari,
sementara brakiterapi dosis tinggi diberikan hanya selama beberapa
menit dengan pengulangan setidaknya 1 minggu sekali. Perlu
diketahui, radioterapi dapat menyebabkan kemandulan. Oleh sebab itu,
dokter akan menyarankan pasien untuk menjalani prosedur
pengambilan sel telur sebelum radioterapi. Dengan begitu, pasien bisa
menjalani program bayi tabung di kemudian hari.

Selain itu, untuk mencegah menopause dini karena efek radiasi,


ovarium dapat dipindahkan untuk sementara ke area panggul yang
tidak terkena radiasi. Prosedur ini disebut juga ovarian transposition.

3) Kemoterapi
Kemoterapi adalah pemberian obat antikanker dalam bentuk minum
atau suntik. Obat ini dapat memasuki aliran darah dan menyebar ke
seluruh tubuh sehingga sangat efektif dalam membunuh sel kanker di
berbagai area tubuh. Umumnya, kemoterapi dikombinasikan dengan
radioterapi. Metode ini disebut juga kemoradiasi. Contoh obat yang
digunakan dalam kemoradiasi adalah cisplatin. Obat ini dapat
diberikan setiap minggu sebagai obat tunggal. Cisplatin bisa juga
diberikan bersama 5-fluorouracil tiap 4 minggu selama pasien
menjalani radioterapi.

Kemoterapi juga digunakan untuk mengatasi kanker yang telah


menyebar ke organ tubuh lain. Beberapa jenis obat kemoterapi yang
digunakan dalam kondisi ini adalah carboplatin, gemcitabine, atau
paclitaxel. Selain dikombinasikan dengan radioterapi, kemoterapi juga
dapat diberikan sebagai terapi tunggal pada kanker serviks stadium
lanjut. Tujuannya adalah untuk menghambat penyebaran sel kanker
dan meredakan gejala yang dialami. Metode ini disebut juga
kemoterapi paliatif.

Perlu diketahui, obat kemoterapi dapat merusak ginjal. Oleh sebab itu,
penting bagi pasien yang menjalani kemoterapi untuk melakukan tes
darah secara berkala agar kondisi ginjal selalu terpantau.

4) Terapi Target
Terapi target adalah pemberian obat kemoterapi yang dapat secara
spesifik menghambat pertumbuhan tumor tanpa memberikan efek
samping pada jaringan yang sehat. Jenis obat yang digunakan dalam
terapi target memiliki fungsi yang berbeda dengan obat kemoterapi
biasa. Salah satu contoh obat terapi target adalah bevacizumab yang
tergolong dalam obat-obatan penghambat angiogenesis. Obat ini
bekerja dengan menghalangi proses pembentukan pembuluh darah
pada tumor, sehingga pertumbuhan tumor dapat terhambat dan tumor
bisa mengecil.

Penanganan Lanjutan Setelah Pengobatan Kanker Serviks


Setelah kanker berhasil diatasi atau diangkat, pasien perlu menjalani
pemeriksaan lanjutan, terutama pada vagina dan leher rahim (jika
rahim belum diangkat). Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengawasi
kemungkinan sel kanker tumbuh kembali. Bila pemeriksaan
menunjukkan hasil yang mencurigakan, dokter akan melakukan biopsi.
Pasien disarankan menjalani pemeriksaan lanjutan tiap 3–6 bulan
selama 2 tahun pertama setelah pengobatan selesai, dilanjutkan 6–12
bulan sekali untuk 3 tahun berikutnya.

5) Penanganan Kanker Serviks Pada Masa Kehamilan


Pengobatan kanker serviks pada masa kehamilan tergantung pada
stadium kanker dan usia kehamilan. Jika kanker serviks masih di
stadium 1, dokter bisa melakukan konisasi atau trakelektomi radikal.
Bila kanker serviks sudah di stadium 2–4, pasien tidak boleh menjalani
radioterapi atau bedah sampai melahirkan. Sebagai gantinya,
kemoterapi akan diberikan pada trimester kedua atau ketiga kehamilan.
(HaloDoc, 2021)

12. Kanker payudara


a. Pengertian kanker payudara
Kanker payudara merupakan suatu jenis tumor ganas yang berkembang pada
sel-sel payudara. Kanker ini dapat tumbuh jika terjadi pertumbuhan yang
abnormal dari sel-sel pada payudara. Sel-sel tersebut membelah diri lebih
cepat dari sel normal dan berakumulasi, yang kemudian membentuk benjolan
atau massa. Pada stadium yang lebih parah, sel-sel abnormal ini dapat
menyebar melalui kelenjar getah bening ke organ tubuh lainnya.

b. Gejala kanker payudara


Pada stadium dini, kanker payudara dapat tidak menunjukkan gejala tertentu.
Oleh karena itu, sangat penting untuk melakukan SADARI atau periksa
payudara sendiri setiap bulan, 10 hari setelah masa haid berakhir. Raba dengan
teliti searah jarum jam payudara untuk mendeteksi adanya benjolan atau
perubahan pada payudara. Beberapa gejala kanker payudara, antara lain:
1) Benjolan atau pengerasan pada payudara yang berbeda dari jaringan
sekitar.
2) Darah keluar dari puting payudara.
3) Kemerahan atau pembesaran pori-pori kulit payudara yang menyerupai
kulit jeruk.
4) Nyeri dan pembengkakan pada payudara.
5) Pengelupasan kulit di sekitar puting payudara.
6) Perubahan pada kulit payudara, seperti cekungan.
7) Perubahan ukuran, bentuk, atau tampilan dari payudara.
8) Puting tertarik masuk (retraksi atau inversi) ke dalam.
9) Benjolan atau pembengkakan di bawah ketiak.

c. Penyebab kanker payudara


Kanker payudara terjadi akibat pertumbuhan abnormal dari sel-sel pada
payudara. Pertumbuhan abnormal ini diduga disebabkan oleh mutasi gen yang
diturunkan secara genetik. Selain itu, terdapat beberapa faktor risiko yang
diduga menjadi pemicu kanker payudara, yaitu:
1) Jenis kelamin wanita jauh lebih tinggi dibandingkan pria.
2) Usia yang bertambah, paling banyak pada usia di atas 50 tahun.
3) Belum pernah hamil sebelumnya.
4) Kebiasaan merokok atau minum minuman beralkohol.
5) Kelebihan berat badan atau obesitas.
6) Mulai menopause pada usia lebih tua, yaitu setelah usia 55 tahun.
7) Mulai menstruasi sebelum usia 12 tahun.
8) Penggunaan alat kontrasepsi hormon dan terapi hormon setelah
menopause.
9) Riwayat kanker payudara pada diri sendiri pada salah satu payudara.
10) Riwayat kanker payudara pada nenek, ibu, tante, adik, kakak, atau
anak sekandung.
11) Riwayat terpapar dengan radiasi.

d. Pencegahan kanker payudara


Beberapa upaya pencegahan kanker payudara, antara lain:
1) Berolahraga secara rutin.
2) Cukup istirahat.
3) Menyusui anak hingga berusia dua tahun.
4) Pemeriksaan rutin dan teliti dengan SADARI.
5) Pengelolaan stres yang baik.
6) Pola makan gizi seimbang.
7) Tidak merokok atau minum minuman beralkohol.
e. Penanganan
Penanganan kanker payudara bergantung pada jenis kanker yang dialami,
stadium kanker, ukuran massa, serta sensitivitas sel kanker terhadap hormon.
Dokter akan menentukan terapi yang paling sesuai dengan keadaan penderita
berdasarkan hal-hal tersebut. Beberapa pilihan pengobatan pada kanker
payudara, antara lain:
1) Pembedahan, yang meliputi pengangkatan kanker atau benjolan
(lumpektomi), pengangkatan seluruh payudara (mastektomi),
pengangkatan jumlah terbatas dari kelenjar limfe (sentinel node
biopsy), atau pengangkatan beberapa kelenjar limfe (axillary lymph
node dissection).
2) Radioterapi, yang dilakukan dengan menggunakan energi sinar X dan
proton, untuk mematikan sel-sel kanker.
3) Kemoterapi, yang dilakukan dengan menggunakan obat-obatan
tertentu, untuk mematikan sel kanker.
4) Terapi penghambat hormon, jika kanker diketahui sensitif terhadap
hormon estrogen atau progesteron.
Umumnya, pengidap akan menjalani prosedur pembedahan untuk kanker
payudara dan mendapatkan penanganan lain sebelum dan/atau sesudah
pembedahan, seperti kemoterapi, terapi hormonal, atau terapi radiasi.
(HaloDoc, 2019)

13. Penyakit menular seksual


a. Pengertian infeksi menular seksual
Infeksi menular seksual atau penyakit menular seksual adalah infeksi yang
menular melalui hubungan intim. Penyakit ini dapat ditandai dengan ruam
atau lepuhan dan rasa nyeri di area kelamin. Ada banyak jenis penyakit
menular seksual, di antaranya chlamydia, gonore, sifilis, trikomoniasis, dan
HIV. Sesuai namanya, penyakit menular seksual menyebar melalui hubungan
intim, baik secara vaginal, anal, maupun oral. Tidak hanya hubungan intim,
penularan juga dapat terjadi melalui transfusi darah dan berbagi jarum suntik
dengan penderita. Infeksi juga dapat ditularkan dari ibu hamil ke janin, baik
selama kehamilan atau saat persalinan.
b. Ciri Penyakit Menular Seksual
Penyakit menular seksual tidak selalu menimbulkan gejala atau bisa hanya
menyebabkan gejala ringan. Oleh karena itu, tidak heran beberapa orang baru
mengetahui dirinya menderita penyakit menular seksual setelah muncul
komplikasi atau ketika pasangannya terdiagnosis menderita penyakit menular
seksual. Gejala yang dapat muncul akibat penyakit menular seksual akan
berbeda-beda tergantung jenis penyakitnya, namun umumnya berupa:
1) Muncul benjolan, luka, atau lepuhan di sekitar penis, vagina, anus, atau
mulut.
2) Vagina atau penis terasa gatal dan terbakar.
3) Nyeri ketika buang air kecil atau berhubungan intim.
4) Keluar cairan dari penis (kencing nanah) atau vagina (keputihan).
5) Nyeri perut bagian bawah.
6) Demam dan menggigil.
7) Muncul pembengkakan kelenjar getah bening atau benjolan di
selangkangan.
8) Muncul ruam kulit di badan, tangan, atau kaki.
9) Kulit penis kering, ruam, dan kemerahan.
Selain beberapa gejala di atas, wanita juga bisa merasakan gejala lain, yaitu
perdarahan di luar masa menstruasi dan muncul bau tidak sedap dari vagina.
Ini juga merupakan salah satu tanda gejala penyakit kelamin wanita.
Sementara pada pria, gejala lain penyakit menular seksual yang dapat dialami
adalah nyeri, sperma berdarah, atau pembengkakan pada testis.

c. Macam-Macam Penyakit Menular Seksual


Penyakit menular seksual dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur,
dan parasit. Berikut ini adalah macam-macam penyakit menular seksual:
1) Sifilis
Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. Penyakit yang
juga dikenal dengan sebutan “raja singa” ini menimbulkan luka pada
alat kelamin atau mulut. Melalui luka inilah penularan akan terjadi.
2) Gonore
Gonore, yang dikenal juga dengan kencing nanah, disebabkan oleh
bakteri Neisseria gonorrhoeae. Penyakit ini menyebabkan keluarnya
cairan dari penis atau vagina dan rasa nyeri ketika buang air kecil.
Bakteri penyebab gonore juga dapat menimbulkan infeksi di bagian
tubuh lain, jika terjadi kontak dengan sperma atau cairan vagina.
3) Human papillomavirus (HPV)
Infeksi menular seksual ini disebabkan oleh virus dengan nama yang
sama, yaitu HPV. Virus HPV dapat menyebabkan kutil kelamin hingga
kanker serviks pada perempuan. Gejala kanker serviks stadium awal
sering kali tidak khas bahkan tak bergejala. Penularan HPV terjadi
melalui kontak langsung atau melakukan hubungan seksual dengan
penderita.
4) Infeksi HIV
Infeksi HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh. Penyebaran virus ini dapat terjadi
melalui hubungan seks tanpa kondom, berbagi penggunaan alat suntik,
transfusi darah, atau saat persalinan.
5) Chlamydia
Penyakit infeksi menular seksual ini disebabkan oleh bakteri
Chlamydia trachomatis. Pada wanita, chlamydia menyerang leher
rahim. Sedangkan pada pria, menyerang saluran keluar urine di penis.
Penularan dapat terjadi dari luka pada area kelamin.
6) Trikomoniasis
Penyakit menular seksual ini disebabkan oleh parasit Trichomonas
vaginalis. Penyakit trikomoniasis bisa menimbulkan keputihan pada
wanita atau malah tidak menimbulkan gejala, sehingga sering kali
seseorang secara tidak sadar menularkan penyakit ini ke pasangan
seksualnya.
7) Hepatitis B dan hepatitis C
Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis, dan dapat mengakibatkan
gangguan hati kronis hingga kanker hati. Virus ini ditemukan dalam
darah atau cairan tubuh penderita. Selain melalui hubungan seksual,
virus ini bisa menular melalui jarum suntik yang dipakai bersama dan
transplantasi organ.
8) Tinea cruris
Infeksi menular seksual yang disebabkan oleh jamur ini menyerang
kulit di sekitar alat kelamin, paha bagian dalam, dan bokong. Tinea
cruris ditandai dengan ruam merah yang terasa gatal pada kulit yang
terinfeksi. Penularannya adalah melalui kontak langsung dengan
penderita atau menyentuh benda yang telah terinfeksi.
9) Herpes genital
Herpes genital disebabkan oleh infeksi virus. Virus ini bersifat tidak
aktif atau bersembunyi di dalam tubuh tanpa menyebabkan gejala.
Penyebarannya terjadi melalui kontak langsung dengan pasangan yang
telah terinfeksi.
10) Candidiasis
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Candida. Candidiasis ditandai
dengan ruam atau lepuhan yang muncul pada kulit, terutama area
lipatan kulit. Sama seperti infeksi menular seksual lainnya, penularan
penyakit ini dapat terjadi melalui hubungan seksual dengan penderita.
11) Granuloma inguinale
Granuloma inguinale atau donovanosis adalah penyakit menular
seksual yang disebabkan oleh infeksi bakteri Klebsiella granulomatis.
Kondisi ini ditandai dengan munculnya benjolan dan luka di
selangkangan, penis, anus, atau di skrotum.

d. Pengobatan Penyakit Menular Seksual


Pengobatan terhadap penyakit menular seksual disesuaikan dengan penyebab
infeksi, melalui pemberian obat-obatan berikut ini:
1) Antibiotik
Antibiotik digunakan untuk mengobati berbagai penyakit menular
seksual yang disebabkan oleh infeksi bakteri, seperti gonore,
chlamydia, dan sifilis. Antibiotik harus tetap dikonsumsi, walaupun
gejala yang dirasakan telah membaik. Hal ini dilakukan untuk
mencegah infeksi kembali terjadi. Dokter juga akan menganjurkan
pasien untuk tidak berhubungan intim hingga masa pengobatan
berakhir dan gejala menghilang. Jenis antibiotik yang diberikan antara
lain penisilin, doxycycline, amoxicillin, dan erythromycin.

Selain membunuh bakteri, antibiotik seperti metronidazole dapat


membunuh parasit pada penyakit trikomoniasis. Obat ini tersedia
dalam bentuk tablet yang diminum maupun sediaan yang dimasukkan
ke dalam vagina.
2) Antivirus
Pengobatan dengan obat antivirus hanya bertujuan untuk meredakan
gejala dan mengurangi risiko penyebaran. Jenis obat antivirus yang
digunakan untuk menangani herpes genital adalah acyclovir,
famciclovir, dan valacyclovir. Sementara untuk hepatitis, obat yang
diberikan meliputi entecavir, interferon, dan lamivudine.
3) Antijamur
Untuk penyakit menular seksual yang disebabkan oleh jamur, seperti
candidiasis, dokter akan memberikan krim antijamur yang dioleskan ke
vagina, seperti nystatin dan clotrimazole. Obat antijamur dalam bentuk
tablet juga dapat diresepkan oleh dokter, seperti fluconazole dan
miconazole.
e. Mencegah Penyakit Menular Seksual
Langkah utama pencegahan penyakit menular seksual adalah menerapkan
perilaku seks yang aman, yaitu menggunakan kondom dan tidak bergonta-
ganti pasangan seksual. Selain itu, ada beberapa tindakan pencegahan lain
yang dapat dilakukan, yaitu:
1) Kenali pasangan seksual masing-masing.
2) Lakukan vaksinasi, terutama vaksin HPV dan hepatitis B.
3) Tidak menggunakan NAPZA, terutama dengan berbagi penggunaan
jarum suntik.
4) Lakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin, khususnya yang
berkaitan dengan organ reproduksi.
5) Pria bisa melakukan sunat untuk mengurangi risiko terkena penyakit
menular seksual.
Penderita penyakit menular seksual sebaiknya tidak melakukan hubungan seks
hingga penyakit dinyatakan sembuh oleh dokter. Hal ini dilakukan untuk
mencegah penularan penyakit kepada pasangan.
(HaloDoc, 2019)
BAB III

KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Reproduksi manusia secara vivipar dan fertilisasi secara internal (di dalam
tubuh), oleh karena itu memiliki alat-alat reproduksi yang mendukung fungsi tersebut.
Alat-alat reproduksi tersebut dibagi menjadi alat-alat reproduksi bagian dalam dan
alat-alat reproduksi bagian luar yang masing-masing alat reproduksi telah disebutkan
dan dijelaskan dalam makalah ini.
Untuk itu memiliki gangguan atau gangguan pada salah satu sistem
Reproduksi dapat berakibat buruk pada hidup dan keturunan kita. Selain itu dalam
makalah ini juga membahas sedikit tentang proses terjadinya dan penyebab kelainan
dan gangguan sistem Reproduksi.

B. Saran
Dalam pembelajarn ini mahasiswa perlu memberikan perhatian yang lebih lagi
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang gangguan pada sistem reproduksi
dan dalam menyusun makalah ini kami berharap dapat memberikan semua pihak atau
setiap manfaat bagi setiap kelompok. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan oleh karena itu, saran dan kritik dari semua
kelompok kami harapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Hendarto, Hendi. 2015. ENDOMETRIOSIS dari aspek teeori sampai penanganan klinis.
Surabaya: Airlangga University Press
Alam Syamsir, Hadi Broto Iwan. 2007. ENDOMETRIOSIS. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
http://digilib.unimus.ac.id/files//disk1/172/jtptunimus-gdl-anggunnusa-8560-3-5.babi-y.pdf
https://www.pacificcross.co.id/wp-content/uploads/2020/12/Mioma-Uteri-Website.pdf
https://www.halodoc.com/kesehatan/mioma-uteri
https://www.halodoc.com/kesehatan/sindrom-polikistik-ovarium
https://www.halodoc.com/kesehatan/radang-panggul
https://www.alodokter.com/keputihan
https://www.alodokter.com/vaginitis
https://www.alodokter.com/kista-bartholin
https://www.alodokter.com/mengenal-penyebab-vulvovaginitis-beserta-gejala-dan-
pengobatannya
https://www.alodokter.com/fibroadenoma
https://www.alodokter.com/infeksi-payudara
https://www.alodokter.com/penyakit-menular-seksual-pms

Anda mungkin juga menyukai