Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sabun merupakan produk yang dihasilkan dari reaksi penyabunan


asam lemak dengan alkali. Minyak yang umum digunakan dalam
pembentukan sabun adalah trigliserida. Trigliserida yang mengandung
asam lemak yang memiliki atom karbon antara 12 (asam laurat) sampai
18 (asam stearat) dan akan bereaksi dengan alkali (Bunta, 2013).
Pembentukan sabun terbagi menjadi dua jenis, yaitu reaksi saponifikasi
dan reaksi netralisasi. Reaksi saponifikasi bukan merupakan reaksi
kesetimbangan, yang terdiri dari proses hidrolisis basa terhadap minyak
dan membentuk gliserol. Sedangkan reaksi netralisasi merupakan reaksi
antara asam lemak bebas dan alkali yang tidak membentuk gliserol pada
akhir reaksi (Naomi, Gaol dan Toha, 2013; Zulkifli dan Estiasih, 2014).

Sabun merupakan senyawa natrium atau kalium dengan asam lemak


dari minyak nabati atau lemak hewani bebentuk padat, lunak atau cair,
dan berbusa. Sabun dihasilkan oleh proses saponifikasi, yaitu hidrolisis
lemak menjadi asam lemak dan gliserol dalam kondisi basa. Pembuat
kondisi basa yang biasa digunakanadalah Natrium Hidroksida (NaOH)
dan Kalium Hidroksida (KOH). Jika basa yang digunakan adalah NaOH,
maka produk reaksi berupa sabun keras (padat), sedangkan basa yang
digunakan berupa KOH maka produk reaksi berupa sabun cair. Garam
dari alkali asam lemak merupakan sabun dari reaksi saponifikasi dengan
cara memanaskan lemak dan Kalium Hidroksida (KOH) sampai
terhidrolisis sempurna. Pada abun Natrium Hidroksida dengan
konsentrasi NaOH 40% dan temperatur proses penyabunan 450ºC dari
minyak goreng bekas. Untuk proses pemurnian minyak goreng bekas,
dilakukan proses netralisasi dengan menambahkan NaOH 15% dan
proses bleaching dengan menggunakan arang aktif buatan sendiri dari
arang tempurung kelapa sebanyak 7,5% dari berat minyak goreng yang
digunakan dan ditemukan bahwa konsentrasi NaOH dan temperatur
proses pembuatan sabun mandi mempunyai pengaruh yang penting
terhadap kualitas sabun yang dihasilkan, yaitu bila konsentrasi NaOH
yang digunakan >40% maka sabun yang dihasilkan adalah sabun keras
yang dapat menimbulkan iritasi pada kulit. Sedangkan bila konsentrasi
NaOH yang digunakan <40% maka sabun yang dihasilkan adalah sabun
yang sulit berbusa dan sukar membentuk sabun pada (Afrozi dkk, 2017).

Menurut Mitsui (1997) sabun berdasarkan pada bentuknya dibagi


menjadi sabun cair dan sabun padat. Sabun padat menurut Willcox
(2000) berdasarkan transparansinya terbagi lagi menjadi 3 jenis yaitu,
sabun opaque, sabun translusen dansabun transparan. Sabun opaque
adalah sabun yang biasa ditemui di pasaran. Sabun opaque sampai saat
ini masih menjadi pilihan pertama sebagai sabun mandi di masyarakat
karena harganya yang relatif dapat dijangkau atau murah, lebih ekonomis
dan lebih hemat pemakaiannya, namun sabun jenis inimemiliki kerugian
seringkali dapat menyebabkan lapisan hidrolipid dari kulit menjadi
hilang atau terkikis. Lapisan hidrolipid adalah lapisan kulit yang berperan
dalam pelembaban kulit, apabila lapisan hidrolipid hilang maka kulit
akan menjadi kering, kasar, pecah-pecah dan memiliki rasa ketat
(Thibodeau and Amari, 2009). Seiring dengan kebutuhan akan rasa aman
dan nyaman dalam menggunakan sabun padat, maka diperlukannya
modifikasi formula basis sabun padat agar menjadi sediaan aman dan
nyaman bagi kulit. Cara mencegah kulit menjadi kering saat pemakaian
sabun adalah dengan menambahkan bahan yang dapat melembabkan
kulit seperti humektan.

Minyak goreng memegang peranan yang sangat penting dalam


pengolahan produk pangan. Hal ini mengakibatkan konsumsi minyak
goreng meningkat dari tahun ke tahun. Konsumen minyak goreng
terbesar adalah industri makanan, restoran, dan hotel. Setelah digunakan
berulang-ulang selanjutnya minyak goreng tersebut menjadi minyak
goreng bekas. Sebenarnya minyak goreng bekas tersebut masih dapat
dimanfaatkan kembali setelah dilakukan proses pemurnian ulang
(reprosesing), namun karena keamanan pangan mengkonsumsi minyak
goreng hasil reprosesing masih menjadi perdebatan sengit akibat adanya
dugaan senyawa akrolein yang bisa menyebabkan keracunan bagi
manusia, maka alternatif lainnya adalah dengan memanfaatkannya
sebagai bahan baku industri non pangan seperti sabun lunak (Naomi,
Gaol dan Toha, 2013)

Selain minyak, surfaktan juga merupakan komponen penting dalam


formulasi sabun karena dapat menghasilkan busa yang berperan dalam
proses pembersihan (Hernani, Bunasor dan Fitriati, 2010) Surfaktan
merupakan komponen dalam sabun yang dapat berikatan dengan kotoran
membentuk suatu fenomena dimana surfaktan akan melakukan migrasi
ke permukaan udara/cair dan padat/cair dan membentuk suatu aggregat
yang disebut micelle kemudian ikut hilang. ketika dibilas dengan air
(Karsa, 2006; Corazza et al.,2009). Surfaktan yang umum digunakan
pada sediaan sabun padat adalah surfaktan anionik, amfoterik dan
nonionik dalam bentuk surfaktan tunggal maupun kombinasi dua
surfaktan. Pada penelitian ini lebih dipilih kombinasi surfaktan anionik
dan amfoterik yaitu Sodium LaurylEther Sulfate (SLES) sebagai
surfaktan anionik dan cocamidopropyl betaine sebagai surfaktan
amfoterik.

Sodium LaurylEther Sulfate (SLES) merupakan surfaktan anionik


dan berfungsi sebagai cleansing agent, emulsifiers, stabilizers dan
solubilizers (Liebert, 1983). SLES merupakan golongan surfaktan
anionik kelompok alkylethersulfateyang memiliki kapasitas pembentuk
busa yang paling tinggi diantara surfaktan lainnya (Schmiedel and
Rybinski, 2006). SLES lebih luas dikenal sebagai detergen atau surfaktan
pada banyak produk personal care karena SLES memiliki rentang pH
yang luas, dapat bercampur dalam cairan pH asam maupun basa serta
dalam air sadah. Pada struktur SLES terdapat gugus etoksi yang
berjumlah 3 atau lebih sehingga SLES dapat memiliki kemampuan
membentuk busa yang lebih banyak (European Medicines Agency,
2015). Pada penelitian ini konsentrasi SLES yang digunakan mengacu
pada penelitian Liebert (1983) dan Lakshmi et al. (2010) yaitu antara
10%-15%. Selain surfaktan anionik, pada formulasi sabun juga dapat
ditambahkan surfaktan golongan lain yaitu cocamidopropyl betaine yang
merupakan surfaktan amfoterik yang dapat bersifat anionik atau kationik,
tergantung dari pH dimana surfaktan tersebut berada dan berperan
sebagai secondary surfactant. Cocamidopropyl betaine dikenal lebih
aman terhadap kulit dan mata dibandingkan dengan surfaktan anionik,
kationik dan nonionik (Otterson, 2006). Cocamidopropyl betaine
memiliki keuntungan yaitu memiliki potensi mengiritasi yang sedang dan
juga bertanggung jawab sebagai foam booster (Corazza et al., 2009).
Cocamidopropyl betainedigunakan pada sabun dengan konsentrasi lazim
antara 0,005-11% (Cosmetic Ingredient Review, 2010). Pada penelitian
ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Burnett et al. (2012)
yaitu 3%-10%.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana proses pembuatan sabun dari minyak jelantah dan
surfaktan?
2. Bagaimana rancangan komposisi yang digunakan dalam
pembuatan sabun dari minyak jelantah dan surfaktan?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui hasil dari produk pembuatan sabun dari minyak
jelantah dan surfaktan
2. Mengetahui komposisi setelah dari hasil pembuatan produk sabun
dari minyak jelantah dan surfaktan.
1.4. Manfaat
1. Dari hasil rekayasa ide ini dapat memberikan sebuah sediaan
produk sabun yang dikelolah dari minyak jelantah dan surfaktan
serta dapat memberikan pengetahuan kepada penulis dan
pembaca untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap hasil
buah rekaya ide yang dibuat oleh penulis.
DAFTAR PUSTAKA

Afrozi, A. S., Iswadi, D., Nuraeni, N., & Pratiwi, G. I. (2017). Pembuatan Sabun
dari Limbah Minyak Jelantah Sawit dan Ekstraki Daun Serai dengan
metode Semi Pendidihan. Jurnal Ilmiah Teknik Kimia UNPAM, 1(1).
Cosmetic Ingredient Review. 2010, Cocamidopropyl Betaine and Related
Amidopropyl Betains as Used in Cosmetics, Cosmetic Ingredients Review
Expert Panel, Washington DC, USA
Corazza, M., Lauriola, M.M., Zapaterra, M. and Virgili, A. 2009, Surfactants,
Skin Cleansing Protagonist, Journal Compilation European Academy of
Dermatology and Venereology, 24: 1-4.
Hernani, T. K. B. (2010). Fitriati. Formulasi Sabun Transparan Antijamur dengan
Bahan Aktif Ekstrak Lengkuas (Alpinia galangal L. Swartz). Jurnal.
Bogor: Fakultas Teknologi Institut Pertanian Bogor.
Karsa, D.R. 2006, ‘What Are Surfactants?’, in Farn, R.J., Chemistry and
Technology of Surfactants. Blackwell Publishing, Oxford, UK.
Lakshmi, C., Austoria, A.J., Srinivas, C.R., Anand, C.V. and Mathew, A.C. 2010,
Irritancy Potential of 17 Detergents Used Commonly by the Indian
Household, Indian Journal Dermatol Venerol Leprol, 76(3): 249-253
Liebert, M.A. 1983, Final Report on the Safety Assessment of Sodium Laureth
Sulfate and Ammonium Laureth Sulfate, Journal of the American College
of Toxicology, 2(5): 1-34.
Mitzui, T.,1997,The Cosmetic Science,ElsevierScienc B. V., Amsterdam, p.55-61
Naomi, P., Gaol, A. M. L., & Toha, M. Y. (2013). Pembuatan sabun lunak dari
minyak goreng bekas ditinjau dari kinetika reaksi kimia. Jurnal Teknik
Kimia, 19(2).
Otterson, R. 2006, ‘Amphoteric Surfactants?’, in Farn, R.J., Chemistry and
Technology of Surfactants. Blackwell Publishing, Oxford, UK.
Schmiedel, P. and Rybinski, W. 2006, ‘Applied Theory of Surfactants’, in Farn,
R.J., Chemistry and Technology of Surfactants. Blackwell Publishing,
Oxford, UK
Thibodeau, A., & Amari, S. (2009). Maintenance and Repair of the Hydrolipidic
Film with Skin Molecular Mimetic Emollients and Surfactants. Italy:
Cosmetic science technology.
Zulkifli, M., & Estiasih, T. (2014). Sabun Dari Distilat Asam Lemak Minyak
Sawit: Kajian Pustaka [In Press Oktober 2014]. Jurnal Pangan dan
Agroindustri, 2(4), 170-177.

Anda mungkin juga menyukai