Anda di halaman 1dari 97

NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER

YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-BAQARAH


AYAT 45-46

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd)

Oleh:

Ali Baidurus
NIM: 1110011000065

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
ABSTRAK

Nama : Ali Baidurus


NIM : 1110011000065
Fak/Jur : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan/Pendidikan Agama Islam
Judul : Nilai-nilai Pendidikan Karakter Yang Terkandung Dalam Surat
Al-Baqarah Ayat 45-46

Al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan, di dalamnya menjelaskan


berbagai aspek-aspek kehidupan termasuk mengenai pendidikan. setiap ayat yang
disebutkan di dalam al-Qur’an mempunyai makna dan nilai-nilai yang berarti, dan
nilai-nilai yang terkandung adalah sebagai pembelajaran dan pendidikan bagi
kehidupan umat manusia. Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 45-46 merupakan ayat Al-
Qur’an yang di dalamnya membahas hal-hal mengenai nilai pendidikan karakter.
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan
karakter yang terkandung dalam surat Al-Baqarah ayat 45-46 sehingga dapat
diimplementasikan dalam proses pendidikan.
Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode
deskriptif analisis, yaitu menganalisis masalah yang akan dibahas dengan cara
mengumpulkan data-data kepustakaan, pendapat para mufassir. Kemudian
mendeskripsikan pendapat para mufassir, selanjutnya membuat kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter yang
terkandung dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 45-46 yaitu sabar, religius,
disiplin, tanggung jawab, dan khusyu’.

Kata Kunci: Nilai, Pendidikan, Karakter

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah dengan tulus penulis persembahkan kehadirat


Allah SWT, karena atas segala limpahan nikmat yang tak terhitung jumlahnya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga rahmat Allah senantiasa
tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. sebagai suri tauladan
yang sempurna bagi seluruh ummat manusia.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak dapat menyelesaikan tanpa


bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama
Islam (PAI) dan Marhamah Saleh, Lc, MA, selaku Sekretaris Jurusan
Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
(FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Khalimi, M.Ag, selaku dosen pembimbing akademik dan dosen
pembimbing penulis, yang telah mencurahkan waktu dan tenaganya dalam
membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan keihklasan, sampai
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Drs. Achmad Gholib, M.Ag dan Abdul Ghofur, M.Ag, selaku dosen
penguji sidang munaqosah .
5. Kedua orang tuaku tercinta dan tersayang, Ayahanda H. Jaya Saputra dan
Ummi Hj. Marfu’ah, yang selalu mendo’akan, mendukung, menasihati,
mengarahkan, mengorbankan waktu, tenaga dan biaya, sehingga penulis
dapat melaksanakan semua kegiatan mulai dari awal hingga akhir, mulai
dari perkuliahan sampai menyelesaikan skripsi ini.

ii
6. Saudara-saudaraku tersayang, Laily Aliyah, Am. Keb., Nur Fauziah, S.Pi.,
Ita Fadilah, S.Pd., Rifqoh Zakiyah, S.Pdi serta adiku tersayang, Roudhotul
Mawaddah yang senantiasa memberi semangat dan masukan kepada
penulis.
7. Dosen-dosen penuh inspiratif dan pemberi motivasi.
8. Sahabat-sahabat P20AI yang penuh kisah, suka duka, canda tawa, dan
senantiasa menyemangati dan memberi masukan untuk skripsi ini.
9. Serta kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
dalam goresan ucapan terima kasih ini. Penulis ucapkan terima kasih,
semoga semangat keilmuan dan persahabatan kita senantiasa berjalan
terus.

Penulis sadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu,
kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan
selanjutnya. Dan penulis juga berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk
menambah khazanah ilmu pengetahuan. Amin ya robbal ‘alamin.

Ciputat, 13 Juni 2017


Penulis,

Ali Baidurus

iii
DAFTAR ISI

COVER
LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH
ABSTRAK ........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................ 6
C. Pembatasan Masalah ............................................................................... 7
D. Rumusan Masalah .................................................................................. 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 7
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Nilai ...................................................................................... 8
B. Pengertian Pendidikan Karakter.............................................................. 10
C. Faktor-Faktor Pembentuk Karakter ........................................................ 16
D. Metode Pendidikan Karakter .................................................................. 20
E. Urgensi, Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter .................................. 24
F. Hasil Penelitian Yang Relevan ............................................................... 25
BAB III METODE PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitxian ................................................................. 27
B. Fokus Penelitian ...................................................................................... 27
C. Metode Penelitian ................................................................................... 27
1. Pendekatan Penelitian ....................................................................... 27
2. Sumber Bahan ................................................................................... 28
3. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 28
4. Prosedur Penelitian............................................................................ 29
5. Teknik Penulisan ............................................................................... 30

iv
BAB IV TAFSIR DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER YANG
TERKANDUNG DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-BAQARAH
AYAT 45-46

A. Teks Ayat dan Terjemahannya................................................................ 31


B. Mufradat ................................................................................................. 31
C. Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 45-46
1. Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah ...................... 31
2. Menurut Syaikh M. Ali Ash-Shobuni dalam Shafwatut Tafasir ....... 37
3. Menurut Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi .................... 38
4. Menurut Abu Ja’far Muhammad dalam Tafsir Ath-Thabari............. 49
5. Menurut Asy-Syanqithi dalam Tafsir Adhwa’ul Bayan .................. 54
D. Nilai-nilai Pendidikan Karakter Yang Terkandung Dalam Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah Ayat 45-46

1. Sabar ................................................................................................. 56
2. Nilai Pendidikan Karakter dalam Shalat ........................................... 62
a. Religius ................................................................................ 62
b. Disiplin ................................................................................. 63
c. Tanggung Jawab ................................................................... 66
3. Khusyu’ ............................................................................................ 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................ 76
B. Saran ....................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 78
LAMPIRAN

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah untuk menjadi
pedoman bagi seluruh umat manusia, dengan segala petunjuknya yang
lengkap, meliputi seluruh aspek kehidupan yang bersifat universal. Nabi
Muhammad SAW sebagai pendidik pertama (pada masa awal
pertumbuhan Islam) telah menjadikan al-Qur’an sebagai dasar utama
dalam pendidikan Islam. Bahkan lebih dari itu, kedudukan al-Qur’an pun
telah menjadi sumber pokok dalam pendidikan Islam.
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk serta pedoman hidup muslim,
memuat begitu banyak nilai serta kandungannya yang luas, akan sangat
berguna dalam setiap segi kehidupan secara keseluruhan. Begitu banyak
sendi-sendi kehidupa ini yang tercakup dalam ayat-ayatnya baik yang
tersirat maupun yang tersurat, baik itu mulai dari pri-hidup kemanusiaan
sampai keberbagai bidang dan ruang lingkup ilmu pengetahuan. Berbagai
macam ilmu pengetahuan disinyalir banyak terkandung dalam al-Qur’an.
Seperti halnya ketika al-Qur’an menerangkan tentang masalah Sosiologi,
Astronomi, Biologi, Sejarah, Humaniora, Seksologi dan Psikologi, hal
tersebut tentunya merupakan sebagian kecil diantara ilmu-ilmu yang
disinggung al-Qur’an.
Di antara fungsi al-Qur’an adalah “sebagai petunjuk (huda),
penerang jalan hidup (bayyinat), pembeda antara yang benar dan yang
salah (furqan), penyembuh penyakit hati (syifa), nasihat atau petuah
(mau’idzah) dan sumber informasi (bayan)”.1 Al-Qur’an tidak hanya
sebagai petunjuk bagi umat tertentu dan untuk periode tertentu, melainkan
menjadi petunjuk universal dan sepanjang zaman. Al-Qur’an eksis bagi

1
Said Agil Husin al-Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan
Islam, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), hlm. 4

1
2

setiap zaman dan tempat. Petunjuknya sangat luas seperti luasnya umat
manusia dan meliputi segala aspek kehidupannya.
Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an
mengemukakan bahwa diantara tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah:
1. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk
syirik serta memantapkan keyakinan tentang ke-Esaan yang sempurna
bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan tidak semata-mata sebagai
konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan umat manusia.
2. Untuk mengajarkan kepada kemanusiaan yang adil dan beradab. Yakni
vahwa manusia merupakan suatu umat yang wajib bekerjasama dalam
pendidikan kepada Allah dan pelaksanaan tugas sebagai khalifah di
bumi. Selain itu juga bertujuan untuk menjelaskan peranan ilmu dan
teknologi, guna menciptakan suatu peradaban yang sejalan dengan jati
diri manusia, dengan panduan nur Ilahi.
3. Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku atau
bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan dunia dan
akhirat.
4. Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerja sama dalam bidang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan
mufakat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.
5. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan,
penyakit, penderitaan hidup, serta pemerasan manusia dalam bidang
sosial, ekonomi, politik dan juga agama.2
Al-Qur’an sebagai ajaran suci umat Islam, di dalamnya berisi
petunjuk menuju ke arah kehidupan yang lebih baik, tinggal bagaimana
manusia memanfaatkannya. Menanggalkan nilai-nilai yang ada di
dalamnya berarti menanti datangnya masa kehancuran. Sebaliknya,
kembali kepada al-Qur’an berarti mendambakan ketenangan lahir batin,
karena ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an berisi kedamaian.

Di dalam al-Qur’an mengandung tiga hal:


1. Yang berkaitan dengan iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab,
rasul-rasul dan hari akhir. Pembahasan ini terdapat dalam ilmu kalam
(tauhid) atau disebut juga ilmu ushul al-din.

2
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2000), cet. ke-10, hlm. 12
3

2. Yang berkaitan dengan gerak-gerik hati dan sifat yang mengandung


anjuran untuk memperindah akhlak. Pembahasan ini terdapat dalam
ilmu akhlak.
3. Yang berkaitan dengan anggota badan, diantaranya yang berbentuk
perintah-perintah untuk dilaksanakan, larangan-larangan untuk dijauhi
dan yang berbentuk pilihan. Masalah ini merupakan pembahasan para
fuqoha.3

Said Agil Husain mengatakan, “untuk memahami ajaran Islam secara


sempurna (kaffah), maka langkah pertama yang dilakukan adalah memahami
kandungan isi al-Qur’an dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari
secara sungguh-sungguh dan konsisten”.4

Bahwasannya al-Qur’an telah mengajarkan terjadinya kemajuan


beragama melalui proses belajar, dan sangat menekankan pada pentingnya suatu
proses belajar yang akan mengangkat derajat manusia.5 “Al-Qur’an merupakan
penyampaian berita kepada manusia agar terlaksana proses-proses yang baik
dalam pembelajaran yang dilalui sehingga dapat mencapai keridhaan yang
didambakan, jelas bahwa penuturan yang terkandung dalam al-Qur’an merupakan
sarana pendidikan yang pasti dan akurat, sumber pengarahan dan wejangan bagi
kehidupan manusia”.6

Al-Qur’an sangat memberi perhatian terhadap pentingnya masalah


pendidikan, karena pendidikan merupakan alat atau sarana untuk
memberdayakan manusia agar mereka dapat menunjukkan eksistensinya
secara fungsional di muka bumi dengan melaksanakan fungsi

3
Syaikh Muhammad Hudory, Tarikh Tasyri Islami, (Bairut: Darul Fiqr, 1981), cet. VII,
hlm. 16
4
Said Agil Husin Al-Munawar, Al-Qur,an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet. I, hlm. 3
5
Fazlurrahman, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rinek Cipta, 1992), cet.
II, hlm. 39
6
Syekh Muhammad Al-Ghazali, Induk Al-Qur’an, (Jakarta: Cendikia Centra Muslim,
2003), cet. I, hlm. 111
4

kekhalifahannya.7 Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat al-


Baqarah ayat 30:

 ...         

“Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada Malaikat: Aku akan


menciptakan khalifah di muka bumi...”. (QS. Al-Baqarah:30)

Jadi segala usaha untuk membentuk watak manusia sebagai khalifah di


bumi, itulah penndidikan menurut pandangan Islam.8

Menurut Muhammad Amin sebagaimana yang dikutip oleh


Abuddin Nata, pendidikan (tarbiyah) mencakup berbagai dimensi: badan,
akal, perasaan, kehendak, dan seluruh unsur atas kejiwaan manusia serta
bakat-bakat dan kemampuannya. Pendidikan merupakan upaya untuk
mengembangkan bakat dan kemampuan individual, sehingga potensi-
potensi kejiwaan itu dapat diaktualisasikan secara sempurna. Potensi-
potensi itu sesungguhnya merupakan kekayaan dalam diri manusia yang
amat berharga.9

Tujuan pendidikan Islam menurut Kongres Pendidikan Islam se-


Dunia di Islamabad tahun 1980, menunjukkan bahwa pendidikan harus
merealisasikan cita-cita (idealitas) Islam yang mencakup pengembangan
kepribadian muslim yang bersifat menyeluruh secara harmonis
berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis (jasmaniah) manusia yang
mengacu kepada keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan secara
berkeseimbangan sehingga terbentuklah manusia muslim yang paripurna
yang berjiwa tawakkal (berserah diri) secara total kepada Allah SWT.10

7
Abuddin Nata, Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2000), cet.
VII, hlm. 150
8
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 47
9
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam I, (Pamulang: Logos, 1997), hlm. 51
10
Nur Uhbiyati, op.cit., hlm. 60
5

Abuddin Nata mengutip dari Hasan Langgulung Menjelaskan,


bahwa tujuan-tujuan pendidikan agama harus mampu mengakomodasikan
tiga fungsi utama dari agama, yaitu fungsi spiritual yang berkaitan dengan
akidah dan iman, fungsi psikologis yang berkaitan dengan tingkah laku
individual termasuk nilai-nilai akhlak (karakter) yang mengangkat derajat
manusia ke derajat yang lebih sempurna; dan fungsi sosial yang berkaitan
dengan aturan-aturan yang menghubungkan manusia dengan manusia lain
atau masyarakat, dimana masing-masing menyadari hak-hak dan tanggung
jawabnya untuk menyusun masyarakat yang harmonis dan seimbang.11

Menurut Nurchaili dalam karyanya mengatakan “Timbulnya


pendidikan akhlak, bersamaan dengan timbulnya kehidupan manusia dan
berbagai persoalan mana yang baik dan mana yang buruk bagi setiap
orang, walaupun dengan penilaian akal yang sederhana sekalipun pada
dasarnya semua ini adalah untuk mengatur tata kehidupan manusia”.12

Al-Qur’an adalah akhlak Muhammad Rasullah SAW, atau


Muhammad Rasullah SAW adalah al-Qur’an hidup. Bila kita hendak
mengarahkan pedidikan kita, menumbuhkan karakter yang kuat pada anak
didik, siapa lagi model yang memiliki karakter yang sempurna kecuali
Muhammad Rasulullah SAW. Itulah alasannya mengapa al-Qur’an dipilih
untuk menjadi basis dari pendidikan karakter.13

Pendidikan karakter dalam Islam sudah tertulis jelas dalam al-


Qur’an surat al-Qalam ayat 4:

    

11
Abuddin Nata, op.cit., hlm. 46
12
Syahminan Zaini, Tinjauan Analisis Tentang Iman, Islam dan Amal, (Jakarta: Kalam
Mulia, 1984), cet. I, hlm. 3
13
Bambang Q-Anees, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, (Bandung: Simbosa
Rekatama Media, 2008), hlm. 6
6

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS.


Al-Qalam: 4)

Banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mengandung nilai-nilai


karakter, salah satunya adalah surat al-Baqarah ayat 45-46. Ayat ini
menceritakan karakter buruk Bani Israil seperti hipokrit (munafik),
pendusta, penyebar berita palsu dan lain-lain, dan terdapat nilai-nilai
karakter yang menjadi solusi untuk mengatasi karakter buruk tersebut yang
harus dimiliki oleh setiap umat Islam. Adapun nilai-nilai tersebut adalah
sabar, religius dan khusyuk.

Namun, melihat fenomena yang terjadi dalam kehidupan umat


manusia pada zaman sekarang sudah jauh dari nilai-nilai al-Qur’an, yang
justru sebaliknya memperlihatkan karakter-karakter buruk seperti hipokrit
(munafik), pendusta, penyebar berita palsu dan lain-lain yang dimiliki oleh
Bani Israil. Ini terbukti dengan adanya kasus ditangkapnya pelaku
penyebar berita palsu atau hoax, anak yang berbohong pada orang tua dan
lain sebagainya.

Adanya kesenjangan antara teori dan realita di atas, telah


mendorong penulis untuk mengkaji surat al-Baqarah ayat 45-46 yang akan
dituangkan dalam skripsi yang berjudul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN
KARAKTER YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-
BAQARAH AYAT 45-46”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan judul skripsi diatas, dapat ditarik identifikasi permasalahan


sebagai berikut:

1. Nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam al-Qur’an surat


al-Baqarah ayat 45-46.

2. Semakin kurangnya penanaman nilai-nilai pendidikan karakter pada


diri manusia dewasa ini.
7

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut sekaligus guna lebih


memfokuskan kajian ini, maka penulis membatasi masalah pada nilai-nilai
pendidikan karakter yang terkandung dalam al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 45-46.

D. Perumusan Masalah

Untuk memudahkan dalam perumusuan masalah penulisan skripsi


ini, penulis bertitik tolak dari pembatasan masalah di atas. Maka penulis
dapat merumuskan masalah yaitu “apa saja nilai-nilai pendidikan karakter
yang terkandung dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 45-46?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitan

1. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah “mengetahui nilai-nilai


karakter yang terkandung dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 45-
46.”

2. Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

a. Menambah khazanah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis.


b. Dapat memberikan kontribusi dalam penulisan karya ilmiah,
khususnya bidang pendidikan.
c. Penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindak lanjuti
oleh penulis berikutnya.
d. Untuk menambah keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pengertian Nilai

Nilai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan


“sifat-sifat yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, sesuatu yang
menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.”1 Sebagaimana
Ahmad Tafsir dalam bukunya mengatakan bahwa “nilai adalah harga.
Sesuatu barang bernilai tinggi karena barang itu harganya tinggi.
Bernilai artinya berharga. Jelas, segala sesuatu tentu bernilai, karena
segala sesuatu berharga, hanya saja ada yang harganya rendah ada
yang tinggi.”2

Selanjutnya, di dalam buku Filsafat Kependidikan dan Dasar


Filsafat Kependidikan Pancasila, Mohammad Noor Syam menyatakan
bahwa: “nilai ialah suatu penetapan atau suatu kualitas sesuatu objek
yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat.”3 Menurut
pandangan idealisme para pengikut Hegel (Hegelian) sebagaimana
dikutip Mohammad Noor Syam, bahwa “nilai ialah suatu yang bersifat
normatif dan objektif, berlaku umum. Bahkan nilai itu bersifat
idealisme, cita-cita tiap pribadi yang mengerti dan menyadarinya, nilai
itu menjadi norma, ukuran untuk suatu tindakan seseorang apakah itu
baik, buruk dan sebagainya.”4

Lebih lanjut bahwa nilai-nilai tidak hanya menurut pikiran dan


keinginan manusia secara subjektif. Nilai-nilai itu bersifat objektif,

1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), Cet. II, hlm. 783
2
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010),
cet. IV, hlm. 50
3
M. Noor Syam, Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1988), cet. IV, hlm. 133
4
Ibid. hlm. 135

8
9

universal, independen dalam arti bebas dari pengaruh rasio dan


keinginan manusia secara individual. Nilai bukan semata-mata untuk
memenuhi dorongan intelek dan keinginan manusia. Nilai justru
berfungsi untuk membimbing dan membina manusia supaya menjadi
lebih luhur, lebih matang sesuai dengan martabat Human Dignity,
sedangkan Human Dignity ini ialah tujuan itu sendiri, tujuan dan cita-
cita manusia.

Secara filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika


juga sering disebut dengan filsafat nilai yang mengkaji nilai-nilai
moral sebagai tolak ukur tindakan dan perilaku manusia dalam
berbagai aspek kehidupannya. Sumber-sumber etika dan moral bisa
merupakan hasil pemikiran, adat istiadat atau tradisi, ideologi bahkan
dari agama. Dalam konteks etika pendidikan Islam, maka sumber etika
dan nilai-nilai yang paling shahih adalah al-Qur‟an dan al-Sunnah Nabi
SAW. yang kemudian dikembangkan dengan hasil ijtihad para ulama.
Nilai-nilai yang bersumber kepada adat istiadat atau tradisi dan
ideologi sangat rentan dan situasional, sedangkan nilai-nilai al-Qur‟an,
yaitu “nilai-nilai yang bersumber kepada al-Qur‟an adalah kuat, karena
ajaran al-Qur‟an bersifat mutlak dan universal.”5

Berdasarkan definisi-definisi di atas, penulis menyimpulkan


bahwa nilai adalah suatu hal yang penting dan berguna bagi manusia,
yang menjadi tolak ukur kualitas atas suatu tindakan dan perilaku yang
akan membimbing dan membina manusia supaya menjadi lebih luhur,
lebih matang dan bermartabat dalam kehidupannya.

5
Said Agil Husain Al-Munawwar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur‟an Dalam Sistem
Pendidikan Islam, (Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005), hal. 3
10

B. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan berasal dari kata “didik”, artinya memelihara dan


memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan
ialah proses membimbing manusia dari kegelapan, kebodohan, dan
pencerahan pengetahuan. Dalam arti luas pendidikan baik formal
maupun informal meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan
manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia tempat mereka
hidup.6

Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 menjelaskan bahwa: “Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkakn potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.”7

Menurut bahasa (etimologis) istilah karakter berasal dari


bahasa Latin kharakter, kharassaein, dan kharax, dalam bahasa
Yunani character dari kata charassein, yang berarti membuat tajam
dan membuat dalam. Dalam bahasa Inggris character dan dalam
bahasa Indonesia lazim digunakan dengan istilah karakter (Majid,
2011). Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional kata karakter berarti
sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan yang lain, atau bermakna bawaan, hati, jiwa,

6
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah,
2007), cet. I, hlm 21-22
7
M. Alisuf Sabri, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet. I,
hlm. 7
11

kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,


tempramen, watak. Maka istilah berkarakter artinya memiliki karakter,
memiliki kepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak.
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang
berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME,
dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia
internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi
(pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan
motivasinya (perasaannya) (Depdiknas, 2010).

Sementara menurut istilah (terminologis) terdapat beberapa


pengertian tentang karakter, sebagaimana telah dikemukakan oleh
beberapa ahli yang dikutip oleh Heri Gunawan, diantaranya adalah
sebagai berikut:8

1. Hornby and Parnwell (1972) mendefinisikan karakter adalah


kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi.

2. Tadkirotun Musfiroh (2008), karakter mengacu kepada serangkaian


sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan
keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang
berarti to mark atau menandai dan memfokuskan bagaimana
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau
tingkah laku.

3. Hermawan Kartajaya (2010) mendefinisikan karakter adalah ciri


khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu (manusia). Ciri
khas tersebut adalah asli, dan mengakar pada kepribadian benda
atau individu tersebut dan merupakan mesin pendorong bagaimana
seseorang bertindak, bersikap, berujar, serta merespon sesuatu.

8
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep Dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta,
2012), cet. II, hlm. 1-3
12

4. Simon Philips (2008), karakter adalah kumpulan tata nilai yang


menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan
perilaku yang ditampilkan.

5. Doni Koesoema A. (2007) memahami bahwa karakter sama


dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau
karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang
bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan.

6. Winnie memahami bahwa istilah karakter memiliki dua pengertian


tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang
bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam,
atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku
buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka
menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter
mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan „personality‟.
Seseorang baru bisa disebut „orang yang berkarakter‟ (a person of
character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.

7. Sedangkan Imam Ghazali menganggap bahwa karakter lebih dekat


dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau
melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia
sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.

Berdasarkan pada beberapa pengertian tersebut di atas, dapat


dimaknai bahwa karakter adalah keadaan asli yang ada dalam diri
individu seseorang yang membedakan antara dirinya dengan orang
lain. Pengertian karakter, watak dan kepribadian memang sering
tertukar-tukar dalam penggunaannya. Oleh karena itu, tidak heran jika
dalam penggunannya seseorang terkadang tertukar menyebut karakter,
watak atau kepribadian. Hal ini karena ketiga istilah ini memang
13

memiliki kesamaan yakni sesuatu asli yang ada dalam diri individu
seseorang yang cenderung menetap secara permanen.

Heri Gunawan mengutip dari Muhammad Abdul Khalik


(1983:22) misalnya menyebutkan kepribadian atau watak adalah,
“Majmu‟ah al-shifah al-aqliyyah wa al-khuluqyah allati yamtazu biha
al-syakhsu „an ghairihi” artinya “Sekumpulan sifat (karakter) yang
bersifat aqliyah (pengetahuan), perilaku dan tampilan hidup yang dapat
membedakan seseorang dengan yang lainnya”. Akan tetapi, Alport
(dalam Majid, 2010) menunjukkan bahwa “ Character is personality
evaluated and personality is character devaluated” artinya watak
adalah kepribadian yang dinilai, sedangkan kepribadian adalah watak
yang tak dinilai.9

Adanya kesamaan diantara karakter dan watak (kepribadian)


memang karena kedua-duanya adalah merupakan sifat dasar (asli)
yang ada dalam diri individu seseorang. Atau hal-hal yang sangat
abstrak dalam diri seseorang. Dimana seseorang sering menyebutnya
tabiat atau perangai. Karakter memang merupakan sifat batin manusia
yang mempengaruhi segenap pemikiran dan perbuatannya. Karakter
dapat ditemukan dalam sikap-sikap seseorang terhadap dirinya,
terhadap orang lain, terhadap tugas-tugas yang dipercayakan kepada
dirinya dan dalam situasi atau keadaan yang lainnya.

Berdasarkan pembahasan di muka dapat ditegaskan bahwa


karakter merupakan perilaku manusia yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan

9
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep Dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta,
2012), cet. II, hlm. 3
14

adat istiadat. Orang yang perilakunya sesuai dengan norma-norma


disebut berkarakter mulia.10

Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang


potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif,
percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif,
mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-
hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji,
adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia,
bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berfikir positif,
disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis,
hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian
diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka,
dan tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang
terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi
dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi
perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial,
etika, dan perilaku).11

Menurut Thomas Lickona (1991) yang dikutip oleh Heri


Gunawan, pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk
kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya
terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik,
jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan
sebagainya. Aristoteles berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya
dengan kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam dalam tingkah
laku.

10
Ibid, hlm. 1-4
11
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi Dan Aplikasinya Dalam Lembaga
Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), cet. I, hlm. 10-11
15

Selanjutnya menurut Elkind & Sweet (2004) yang dikutip Heri


Gunawan, pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk
membantu memahami manusia, peduli dan inti atas nilai-nilai
etis/susila. Dimana kita berpikir tentang macam-macam karakter yang
kita inginkan untuk anak kita, ini jelas bahwa kita ingin mereka
mampu untuk menilai apa itu kebenaran, sangat peduli tentang apa itu
kebenaran/hak-hak, dan kemudian melakukan apa yang mereka
percaya menjadi yang sebenarnya, bahkan dalam menghadapi tekanan
dari tanpa dan dalam godaan).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah


segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi
karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta
didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara
guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru
bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.12

Pendidikan Karakter bukan sekedar memiliki dimensi


integratif, dalam arti, mengukuhkan moral intelektual anak didik
sehingga menjadi pribadi yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga
bersifat kuratif secara personal maupun sosial. Pendidikan karakter
bisa menjadi salah satu sarana penyembuh penyakit sosial. Pendidikan
karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi proses perbaikan dalam
masyarakat kita. Situasi sosial yang ada menjadi alasan utama agar
pendidikan karakter segera dilaksanakan dalam lembaga pendidikan
kita.13

Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi


dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan

12
Heri Gunawan, op.cit., cet. II, hlm.23-24
13
Doni Koesoema, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global,
(Jakarta: Grasindo, 2010), cet. II, hlm. 116
16

akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi


manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan
warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara
umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh
budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari
pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah
pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber
dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina
kepribadian generasi muda.14

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Karakter

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi karakter, akhlak,


moral, budi pekerti dan etika manusia. Dari sekian banyak faktor
tersebut, Heri Gunawan mengutip para ahli menggolongkannya ke
dalam dua bagian, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.

1. Faktor Intern

Terdapat banyak hal yang mempengaruhi faktor internal


ini, diantaranya adalah:

a. Insting atau naluri

Insting adalah suatu sifat yang dapat menumbuhkan


perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berpikir
lebih dahulu ke arah tujuan itu dan tidak didahului latihan
perbuatan itu (Ahmad Amin, 1995:7). Setiap perbuatan
manusia lahir dari suatu kehendak yang digerakkan oleh naluri
(insting). Naluri merupakan tabiat yang dibawa sejak lahir yang

14
Heri Gunawan, op.cit., cet. II, hlm. 24
17

merupakan suatu pembawan yang asli. Para ahli psikologi


membagi insting manusia sebagi pendororng tingkah laku ke
dalam beberapa bagian diantaranya naluri makan, naluri
berjodoh, naluri keibubapak-an, naluri berjuang dan naluri ber-
Tuhan (Ya‟kub, 1993:58).
Pengaruh naluri pada diri seseorang sangat tergantung
pada penyalurannya. Naluri dapat menjerumuskan manusia
kepada kehinaan (degradasi), tetapi dapat juga mengangkat
kepada derajat yang tinggi (mulia), jika naluri disalurkan
kepada hal yang baik dengan tuntunan kebenaran.

b. Adat atau kebiasaan (Habit)

Salah satu faktor penting dalam tingkh laku manusia


adalah kebiasaan, karena sikap dan perilaku yang menjadi
akhlak (karkater) sangat erat sekali dengan kebiasaan, yang
dimaksud dengan kebiasaan adalah perbuatan yang selalu
diulang-ulang sehingga mudah untuk dikerjakan. Faktor
kebiasaan ini memegang peranan yang sangat penting dalam
membentuk dan membina akhlak (karakter). Sehubungan
kebiasaan merupakan perbuatan yang diulang-ulang sehingga
mudah dikerjakan maka hendaknya manusia memaksakan diri
untuk mengulang-ulang perbuatan yang baik sehingga menjadi
kebiasaan dan terbentuklah akhlak (karakter) yang baik
padanya.

c. Kehendak/Kemauan (Iradah)

Kemauan ialah kemauan untuk melangsungkan segala


ide dan segala yang dimaksud, walau disertai dengan berbagai
rintangan dan kesukaran-kesukaran, namun sekali-kali tidak
mau tunduk kepada rintangan-rintangan tersebut.. salah satu
18

kekuatan yang berlindung dibalik tingkah laku adalah


kehendak atau kemauan keras (azam). Itulah yang
menggerakkan dan merupakan kekuatan yang mendorong
manusia dengan sungguh-sungguh untuk berperilaku
(berakhlak), sebab dari kehendak itulah menjelma suatu niat
yang baik dan buruk dan tanpa kemauan pula semua ide,
keyakinan, kepercayaan, pengetahuan menjadi pasif tak akan
ada artinya atau pengaruhnya bagi kehidupan.

d. Suara Batin atau Suara Hati

Di dalam diri manusia terdapat suatu kekuatan yang


sewaktu-waktu memberikan peringatan (isyarat) jika tingkah
laku manusia berada di ambang bahaya atau keburukan,
kekuatan tersebut adalah suara batin atau suara hati (dlamir).
Suara batin berfungdi memperingatkan bahayanya perbuatan
buruk dan berusaha untuk mencegahnya, di samping dorongan
untuk melakukan perbuatan baik. Suara hati dapat terus dididik
dan dituntun akan menaiki jenjang kekuatan rohani.

e. Keturunan

Keturunan merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi


perbuatan manusia. Dalam kehidupan kita dapat melihat anak-
anak yang berperilaku menyerupai orang tuanya bahkan nenek
moyangnya, sekalipun sudah jauh. Sifat yang diturunkan itu
pada garis besarnya ada dua macam yaitu:

1) Sifat jasmaniyah, yakni kekuatan dan kelemahan otot-otot


dan urat sarap orang tua yang dapat diwariskan kepada
anaknya.
19

2) Sifat ruhaniyah, yakni lemah dan kuatnya suatu naluri dapat


diturunkan pula oleh orang tuayang kelak mempengaruhi
perilaku anak cucunya.15

2. Faktor ekstern
Selain faktor intern (yang bersifst dari dalam) yang dapat
mempengaruhi karakter, akhlak, moral, budi pekerti dan etika
manusia, juga terdapat faktor ekstern (yang bersifat dari luar)
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Pendidikan

Ahmad Tafsir (2004:6) menyatakan bahwa pendidikan


adalah usaha meningkatkan diri dalam segala aspeknya.
Pendidikan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam
pembentukan karakter, akhlak, dan etika seseorang sehingga
baik buruknya akhlak seseorang sangat tergantung pada
pendidikan. Pendidikan iktu mematangkan kepribadian
manusia sehingga tingkah lakunya sesuai dengan pendidikan
yang telah diterima oleh seseorang baik pendidikan formal,
informal maupun non formal.

Betapa pentingnya faktor pendidikan itu, karena naluri


yang terdapat pada seseorang dapat dibangun dengan baik dan
terarah. Oleh karena itu, pendidikan agama perlu
dimanifestasikan melalui berbagai media baik pendidikan
formal di sekolah, pendidikan informal di lingkungan keluarga,
dan pendidikan non formal yang ada pada masyarakat.

15
Ibid, hlm. 19-21
20

b. Lingkungan

Lingkungan (milie) adalah suatu yang melingkungi


suatu tubuh yang hidup, seperti tumbuh-tumbuhan, keadaan
tanah, udara, dan pergaulan. Manusia hidup selalu berhubungan
dengan manusia lainnya atau juga dengan alam sekitar. Itulah
sebabnya manusia harus bergaul dan dalam pergaulan itu saling
mempengaruhi pikiran, sifat dan tingkah laku. Adapun
lingkungan dibagi ke dalam dua bagian:

1) Lingkungan yang bersifat kebendaan

Alam yang melingkungi manusia merupakan faktor yang


mempengaruhi dan menentukan tingkah laku manusia.
Lingkungan alam ini dapat mematahkan atau mematangkan
pertumbuhan bakat yang dibawa seseorang.

2) Ligkungan pergaulan yang bersifat kerohanian

Seseorang yang hidup dalam lingkungan yang baik secara


langsung atau tidak langsung dapat membentuk
kepribadiannya menjadi baik, begitu pula sebaliknya
seseorang yang hidup dalam lingkungan kurang
mendukung dalam pembentukan akhlaknya maka
setidaknya dia akan terpengaruhi lingkungan tersebut.16

D. Metode Pendidikan Karakter


Dalam proses pendidikan, -termasuk dalam pendidikan
karakter- diperlukan metode-metode pendidikan yang mampu
menanamkan nilai-nilai karakter baik kepada siswa, sehingga siswa
bukan hanya tahu tentang moral (karakter) atau moral knowing, tetapi

16
Ibid, hlm. 21-22
21

juga mereka diharapkan mampu melaksanakan moral atau moral


action yang menjadi tujuan utama pendidikan karakter. Untuk
mencapai pertumbuhan integral dalam pendidikan karakter, perlu
dipertimbangkan berbagai macam metode yang membantu mencapai
idealisme dan tujuan pendidikan karakter.17 Berkaitan dengan hal ini,
metode pendidikan yang diajukan oleh Abdurrahman an-Nahlawi
(1996:284-413) dirasa dapat menjadi pertimbangan para pendidik
dalam menginternalisasikan pendidikan karakter kepada semua peserra
didik. Metode-metode yang ditawarkan an-Nahlawi tersebut yang
dikutip oleh Heri Gunawan adalah sebagai berikut:

1. Metode Hiwar atau Percakapan


Metode hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti
antara dua pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai satu
topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang
dikehendaki. Dalam proses pendidikan metode hiwar mempunyai
dampak yang sangat mendalam terhadap jiwa pendengar
(mustami‟) atau pembaca yang mengikuti topik percakapan dengan
seksama dan penuh perhatian.

2. Metode Qishah atau Cerita


Menurut kamus Ibn Manzur (1200 H), kisah berasal dari
kata qashsha-yaqushshu-qishshatan, mengandung arti potongan
berita yang diikuti dan pelacak jejak. Menurut al-Razi (1985:87)
kisah merupakan penelusuran terhadap kejadian masa lalu. Dalam
pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, kisah sebagai metode
pendukung pelaksanaan pendidikan memiliki peranan yang sangat
penting, karena dalam kisah-kisah terdapat berbagai keteladanan
edukasi.

17
Doni Koesoema, op.cit.cet. II, hlm.
22

3. Metode Amtsal atau Perumpamaan

Dalam mendidik umat manusia, Allah banyak


menggunakan perumpamaan (amtsal), metode perumpamaan ini
juga baik digunakan oleh para guru dalam mengajari peserta
didiknya terutama dalam menanamkan karakter kepada mereka.
Cara penggunaan metode amtsal ini hampir sama dengan metode
kisah, yaitu dengan berceramah (berkisah atau membacakan kisah)
atau membaca teks (Ahmad Tafsir, 2004:142).

4. Metode Uswah atau Keteladanan

Dalam penanaman karakter kepada peserta didik di sekolah,


keteladanan merupakan metode yang lebih efektif dan efisien.
Karena peserta didik pada umumnya cenderung meneladani
(meniru) guru atau pendidiknya. Hal ini memang karena secara
psikologis siswa memang senang meniru, tidak saja yang baik,
bahkan terkadang yang jeleknya pun mereka tiru.

Sifat anak didik seperti itu diakui oleh Islam. Umat Islam
meneladani Rasulullah Saw., Rasul meneladani al-Qur‟an. Aisyah
ra. pernah berkata, bahwa akhlak rasul itu merupakan interpretasi
al-Qur‟an secara nyata, tidak hanya cara beribadah, cara kehidupan
sehari-harinyapun kebanyakan merupakan contoh tentang cara
kehidupan yang Islami.18

5. Metode Pembiasaan

Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara


berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Metode
pembiasaan (habituation) ini berintikan pengalaman. Karena yang

18
Heri Gunawan, op.cit., cet. II, hlm. 89-91
23

dibiasakan itu ialah sesuatu yang diamalkan. Dan inti kebiasaan


adalah pengulangan. Pembiasaan menempatkan manusia sebagai
sesuatu yang istimewa, yang dapat menghemat kekuatan, karena
akan menjadi kebiasaan yang melekat dan spontan, agar kegiatan
itu dapat dilakukan dalam setiap pekerjaan. Oleh karenanya,
menurut para pakar, metode ini sangat efektif dalam rangka
pembinaan karakter dan kepribadian anak. Orang tua membiasakan
anak-anaknya untuk bangun pagi. Maka bangun pagi itu akan
menjadi kebiasaan.

Rasulullah mengajarkan agar para orang tua “pendidik”


mengajarkan shalat kepada anak-anak dalam usia tujuh tahun,
“Suruhlah anak-anak kalian melaksanakan shalat dalam usia tujuh
tahun, dan pukullah mereka apabila meninggalkannya ketika
mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur
mereka” (HR. Abu Dawud). Membiasakan anak-anak
melaksanakan – terlebih dilakukan secara berjamaah – itu penting,
karena dengan kebiasaan ini akan membangun karakter yang
melekat dalam diri mereka.19

6. Metode ‘Ibrah atau Mau’idhah

Menurut an-Nahlawi kedua kata tersebut memiliki


perbedaan dari segi makna. Ibrah berarti suatu kondisi psikis yang
menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan,
dihadapi dengan menggunakan nalar yang menyebabkan hati
mengakuinya. Adapun kata mau‟idhoh ialah nasihat yang lembut
yang diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala dan
ancamannya.

19
Ibid, hlm. 93
24

7. Metode Targhib dan Tarhib (Janji dan Ancaman)

Targhib adalah janji terhadap kesenangan, kenikmatan


akhirat yang disertai dengan bujukan. Tarhib ialah ancaman karena
dosa yang dilakukan. Targhib dan tarhib bertujuan agar orang
mematuhi aturan Allah. Akan tetapi keduanya mempunyai titik
tekan yang berbeda. Targhib agar melakukan kebaikan yang
diperintahkan Allah, sedang tarhib agar menjauhi perbuatan jelek
yang dilarang oleh Allah.20

E. Urgensi, Tujuan, dan Fungsi Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter saat ini merupakan topik yang banyak


dibicarak di kalangan pendidik. Pendidikan karakter diyakini sebagai
aspek penting dalam peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM), karena turut menentuka kemajuan suatu bangsa. Karakter
masyarakat yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini,
karena usia dini merupakan masa “emas” namun “kritis” bagi
pembentukan karakter seseorang.

Terkait dengan pelunya pendidikan karakter, adalah Thomas


Lickona (seorang profesor pendidikan dari Cortland University)
mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda zaman yang kini terjadi,
tetapi harus diwaspadai karena dapat membawa bangsa menuju jurang
kehancuran. 10 tanda zaman itu adalah:

1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja/masyarakat;


2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk/tidak baku;
3. Pengaruh peer-group (geng) dalam tindak kekerasan, menguat;
4. Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan
narkoba; alkohol dan seks bebas;

20
Ibid, hlm. 96
25

5. Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk;


6. Menurunnya etos kerja;
7. Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru;
8. Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan kelompok;
9. Membudayanya kebohongan/ketidakjujuran, dan
10. Adanya rasa saling curiga dan kebencian antar sesama;

Pendidikan karakter intinya bertujuan membentuk bangsa yang


tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong-
royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan
takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan pancasila.

Pendidikan karakter berfungsi:

1. Mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran


baik, dan berperilaku baik.
2. Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang
multikultur.
3. Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam
pergaulan dunia.21

F. Hasil Penelitian yang Relevan


Adapun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis
lakukan adalah sebagai berikut:
1. “Tafsir Surat Yusuf Ayat 58-62 (Kajian Nilai Pendidikan Akhlak)”
oleh Muflikhatul Karomah NIM 108011000044 mahasiswa jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014. Dengan hasil
penelitian bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung

21
Ibid, hlm. 28-30
26

dalam surat Yusuf ayat 58-62 adalah nilai pendidikan pemaaf, nilai
pendidikan sabar, nilai pendidikan tanggung jawab, nilai
pendidikan dermawan, nilai pendidikan kejujuran.
2. “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam Surat Al-Maidah ayat 8”
oleh Khatimatul Husnah NIM 109011000266 mahasiswa jurusan
Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014. Dengan hasil
penelitian bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung
dalam surat al-Maidah ayat 8 adalah nilai pendidikan jujur, nilai
pendidikan ikhlas, nilai pendidikan adil, nilai pendidikan taqwa.
3. “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat al-Mujadalah ayat 11-
12” oleh Komarullah Azami NIM 109011000192 mahasiswa
jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014. Dengan
hasil penelitian bahwa nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandung dalam surat al-Mujadalah ayat 11-12 adalah nilai
pendidikan melapangkan hati, nilai pendidikan menjalin hubungan
harmonis, nilai pendidikan sedekah, nilai pendidikan menghormati,
nilai pendidikan memuliakan.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah mengenai nilai-nilai pendidikan


karakter dalam surat al-Baqarah ayat 45-46. Adapun waktu penelitian yang
dilakukan penulis dalam penelitian ini dimulai dari tanggal 13 februari
2017.

B. Fokus Penelitian

Pada penelitian ini, penulis fokus pada kajian nilai-nilai pendidikan


karakter yang terdapat dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 45-46,
dengan mencari data-data dan sumber-sumber yang membahas dan
berkaitan tentang surat al-Baqarah ayat 45-46.

C. Metode Penelitian

Adapun metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini oleh


penulis adalah analisis deskriptif, yaitu penulis menganalisis masalah yang
akan dibahas dengan cara mengumpulkan data-data kepustakaan berupa
ayat-ayat al-qur’an yang berkaitan dengan apa yang akan ditafsirkan, dan
pendapat para mufasir. Kemudian menganalisis pendapat para mufassir,
selanjutnya membuat kesimpulan.

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan pendekatan


penelitian kualitatif. Dalam buku Nana Syaodih dijelaskan bahwa
metode penelitian kualitatif adalah “Suatu penelitian yang ditujukan
untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa,

27
28

aktivitas, sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara


individual maupun kelompok.”1

Penelitian ini bercorak pure library research (penelitian


kepustakaan murni). Menurut Mestika Zed, library research atau sering
disebut studi pustaka adalah “serangkaian kegiatan yang berkenaan
dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat
serta mengolah bahan penelitian.”2

Dengan mempelajari dan memahami kitab-kitab tafsir seperti


al-Misbah, Adhwa’ul Bayan, Shafwatut Tafasir.

2. Sumber Bahan

Sumber bahan kajian dalam penulisan ini menggunakan data


informasi yang bersifat literatur kepustakaan, karena itu metode
penulisan yang dipilih adalah library research, yang bersumber pada
kitab-kitab tafsir dan buku pendidikan khususnya yang berhubungan
dengan pembahasan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini


adalah study literature (book survey), yakni mengumpulkan kitab-kitab
tafsir yang pembahasannya berkaitan dengan masalah yang akan
dikaji, kemudian mengumpulkan bahan-bahan yang terkait dengan
masalah pendidikan karakter. Adapun langkah-langkah yang akan
ditempuh dalam teknik pengumpulan data ini adalah:

a. Mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan masalah yang


akan diteliti dengan mengambil dari beberapa sumber buku yang
saling berhubungan.

1
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2012), cet. VIII, hlm. 60
2
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008), cet. II, hlm. 3
29

b. Mengklasifikasi data-data dari sumber tersebut, yakni dengan cara


mengelompokkan data-data berdasarkan jenisnya, yaitu:

1) Sumber primer (sumber pokok), diantaranya:

a) Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab


b) Tafsir Shofwah at-Tafasir karya M. Ali Ash-Shobuni
c) Tafsir al-Qurthubi karya Imam Al-Qurthubi
d) Tafsir ath-Thobari karya Abu Ja’far Muhammad
e) Tafsir Adhwa’ul Bayan karya Asy-Syanqithi
2) Sumber sekunder, diantaranya:
a) Pendidikan Karakter karya Heri Gunawan
b) Pendidikan Karakter Berbasis Agama Di Madrasah Aliyah
Negeri Ketapang Kalimantan Barat karya Hamzah
c) Akhlak Tasawuf Nilai-nilai Akhlak/Budipekerti dalam
Ibadat dan Tasawuf karya Moh. Ardani
d) Pembinaan Sumber Daya Manusia Berkualitas dan
Bermoral Melalui Shalat Yang Benar karya Jefry Noer
e) Dan buku-buku lain yang relevan dengan pembahasan
4. Prosedur Penelitian

Dalam menganalisis data yang telah terkumpul, penulis


menggunakan metode tafsir tahlili yaitu berusaha menjelaskan
kandungan ayat al-Qur’an secara berurutan ditinjau dari berbagai
seginya dengan memperhatikan urutan-urutan ayat-ayat dalam
mushaf.3 Tafsir tahlili merupakan suatu metode yang bermaksud
menjelaskan dan menguraikan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari
seluruh isinya, sesuai dengan urutan ayat di dalam suatu surat. Dalam
tafsir ini ayat ditafsirkan secara komprehensif dan menyeluruh.
Dimulai dengan menyebutkan ayat-ayat yang akan ditafsirkan,
menjelaskan makna lafaz yang terdapat di dalamnya, menjelaskan

3
Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, (Bogor: Granada Sarana Pustaka,
2005), cet. I, hlm. 19
30

munasabah ayat dan menjelaskan isi kandungan ayat dan kemudian


dikaitkan dengan pendekatan pendidikan

Dalam prakteknya, metode analisis tahlili dilakukan dengan


dua cara, yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Tafsir bi al-
ma’tsur merupakan suatu bentuk penafsiran yang berdasarkan pada
ayat al-Qur’an, hadits Nabi, pendapat sahabat atau tabi’in. Sementara
tafsir bi al-ra’yi adalah bentuk penafsiran al-Qur’an yang berdasarkan
hasil nalar (ijtihad) mufassir itu sendiri.4

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan


skripsi ini ialah dengan mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta tahun 2014.

4
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Sultan Thaha Press, 2007),
cet. II, hlm. 47-48
BAB IV

TAFSIR DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER YANG


TERKADUNG DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-BAQARAH AYAT 45-46

A. Teks Ayat dan Terjemahan

           

       

“Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan


(mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) orang-orang yang
meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka
akan kembali kepada-Nya.”1

B. Mufradat
(‫ )الصبر‬ash-shabr/sabar berasal dari shabara –yashbiru –shabran. Dari
segi kebahasaan kata shabr diartikan sebagai “menahan”, “puncak
sesuatu”, dan “batu”.
(‫ )الصالة‬ash-shalah, dari segi bahasa adalah do‟a2
(‫ )خشىع‬khusyuk secara bahasa berarti „tunduk‟ atau „merendahkan diri‟. Al
khasyi‟uun adalah jamak kata khasyi‟, yaitu al mutawaadhi‟ (orang yang
merendahkan diri).
C. Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 45-46
1. Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah

Ada yang memahami ayat ini sebagai lanjutan tuntunan kepada


orang-orang Yahudi atas dasar penyebutannya sesudah tuntunan dan
kecaman di atas. Thahir ibn Asyur menulis bahwa ayat ini ditujukan

1
Kementrian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2013), cet. III, hlm. 7
2
M. Quraish Shihab, dkk, Ensiklopedia Al-Qur‟an: Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera
Hati, 2007), cet. I, hlm. 896

31
32

kepada Bani Israil sebagai petunjuk guna membantu mereka


melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh ayat-ayat lalu.
Petunjuk yang dikandung ayat ini sunggguh pada tempatnya karena,
setelah mereka diajak disertai dengan janji dan ancaman, dapat diduga
keras bahwa tidak ada lagi jalan masuk bagi setan ke dalam hati
mereka, tidak ada juga tempatnya untuk mundur bahkan kini mereka
telah bersiap-siap untuk melaksanakan perintah-perintah Allah. Namun
demikian, boleh jadi kebiasaan lama masih memberatkan langkah
mereka. Maka, ayat ini menyodorkan resep yang amat ampuh agar
mereka dapat melangkah maju menuju kebajikan. Kandungan resep itu
adalah shalat dan sabar.

Ada juga ulama yang memahami ayat di atas sebagai tuntunan


kepada kaum muslimin yang taat, baik bagi yang melaksanakan shalat
dengan baik maupun bagi yang tidak melakukan shalat sesuai dengan
tuntunan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Di sisi lain, menurut
penganut pendapat kedua ini, orang-orang Yahudi tentu tidak wajar
untuk diperintah agar menjadikan shalat sebagai penolong. Alasan ini
tentu saja tidak pada tempatnya. Memahaminya sebagai tuntunan yang
ditujukan kepada kaum muslimin bukan orang Yahudi, disamping
mengaburkan ayat, juga kata dan yang terdapat pada awal ayat ini
bahwa ia berhubungan dengan uraian yang lalu.3

Apapun hubungannya, yang jelas ayat ini memerintahkan:


Mintalah pertolongan, yakni kukuhkan jiwa kamu, dengan sabar
yakni menahan diri dari rayuan menuju nilai rendah dan dengan shalat
yakni mengaitkan jiwa dengan Allah SWT. serta bermohon kepada-
Nya guna menghadapi segala kesulitan serta memikul segala beban.
Dan sesungguhnya yang demikian itu, yakni shalat dan sabar itu atau
beban yang akan kamu pikul sungguh berat, kecuali bagi orang-orang
3
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Jilid. I, hal. 220-
221
33

yang khusyuk, yakni orang-orang yang tunduk dan yang hatinya


merasa tentram dengan berdzikir kepada Allah.
Kata (‫ )الصبر‬ash-shabr/sabar artinya menahan diri dari sesuatu
yang tidak berkenan di hati. Ia juga berarti ketabahan. Imam Ghazali
mendefinisikan sabar sebagai ketetapan hati melaksanakan tutunan
agama menghadapi rayuan nafsu.
Secara umum, kesabaran dapat dibagi dalam dua bagian pokok:
Pertama, sabar jasmani yaitu kesabaran dalam menerima dan
melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota
tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang
mengakibatkan keletihan atau sabar dalam peperangan membela
kebenaran. Termasuk pula dalam katagori ini, sabar dalam menerima
cobaan-cobaan yang menipa jasmani, seperti penyakit, penganiayaan,
dan semacamnya. Kedua, adalah sabar ruhani menyangkut
kemampuan menahan kehendak hawa nafsu yang dapat mengantar
kepada kejelekan, seperti sabar menahan amarah atau menahan nafsu
seksual yang bukan pada tempatnya.
Sedang (‫ )الصالة‬ash-shalah, dari segi bahasa adalah do‟a dan
dari segi pengertian syariat Islam ia adalah “ucapan dan perbuatan
tertentu yang dimulai dengan takbir dan dikhiri dengan salam”. Shalat
juga menghandung pujian kepada Allah atas limpahan karunia-Nya,
mengingat Allah, dan mengingat karunia-Nya mengantar seseorang
terdorong untuk melaksanakn perintah dan menjauhi larangan-Nya
serta mengantarnya tabah menerima cobaan atau tugas yang berat.
Demikian, shalat membantu manusia menghadapi segala tugas dan
bahkan petaka.4
Ayat di atas dapat bermakna: mintalah pertolongan kepada
Allah dengan jalan tabah dan sabar menghadapi segala tantangan serta
dengan melaksanakan shalat. Bisa juga bermakna, jadikanlah sabar
dan shalat sebagai penolong kamu, dalam arti jadikanlah ketabahan

4
Ibid., hlm. 221
34

menghadapi segala tantangan bersama dengan shalat, yakni do‟a dan


permohonan kepada Allah sebagai sarana untuk meraih segala macam
kebajikan.
Memahaminya demikian, menghilangkan keberatan mereka
yang menolak menjadikan ayat ini ditujukan kepada orang-orang
Yahudi. Memang orang Yahudi tidak shalat seperti shalatnya umat
Islam, tetapi mereka juga mengenak shalat, apalagi shalat seperti
dikemukakan di atas dapat berarti do‟a.

Firman-Nya: (  ) wa innaha lakabiratun

illa „ala al-khasyi‟in/dan sesungguhnya ia sungguh berat kecuali bagi


orag-orang yang khusyuk mengandung arti bahwa keduanya - sabar
dan shalat – tidak mudah dipraktikan kecuali oleh mereka yang
khusyuk. Ia juga berarti bahwa sabar dan shalat harus menyatu,
sebagaiman disyariatkan oleh penggunaan bentuk tunggal untuk
menunjuk keduanya (‫ )ِإ َّنهَا‬innaha/sesungguhnya ia, bukan (‫)ِإ َّنهُمَا‬
innahuma/sesungguhnya keduanya. Ini berarti, ketika Anda shalat atau
memohon, Anda harus sabar, dan ketika menghadapi kesulitan Anda
pun harus bersabar, dan kesabaran itu harus dibarengi dengan do‟a
kepada-Nya. Ada juga ulama yang memahami pengganti nama
(pronoun) pada kata innaha/sesungguhnya ia menunjuk kepada
tuntunan-tuntunan Allah yang disebut pada ayat-ayat lalu, yakni
melaksanakan tuntunan-tuntunan tersebut merupakan sesuatu yang
berat kecuali bagi mereka yang khusyuk.5
(‫ )خشىع‬khusyuk adalah ketenangan hati dan keengganannya
mengarah kepada kedurhakaan. Yang dimaksud dengan orang-orang
yang khusyuk oleh ayat ini adalah mereka yang menekan kehendak
nafsunya dan membiasakan dirinya menerima dan merasa tenang
menghadapi ketentuan Allah serta selalu mengharapka kesudahan yang
baik. Ia bukanlah orang yang terpedaya oleh rayuan nafsu. Ia adalah

5
Ibid., hlm. 222
35

yang mempersiapka dirinya untuk menerima dan mengamalkan


kebajikan. Orang-orang khusyuk yang dimaksud oleh ayat ini adalah
mereka yang takut lagi mengarahkan pandangannya kepada kesudahan
segala sesuatu sehingga dengan demikian mudah baginya meminta
bantuan sabar yang membutuhkan penekanan gejolak nafsu dan mudah
juga baginya melaksanakan shalat kendati kewajiban ini
mengaharuskan disipli waktu serta kesucian jasmani, padaha ketika itu
boleh jadi ia sedang disibukkan oleh aktivitas yang menghasilkan harta
atau kelezatan. Demikian Thahir ibn Asyur.
Ayat ini bukannya membatasi kekhusyu‟an hanya dalam shalat,
tetapi menyangkut segala aktivitas manusia. Adapun kekhusyu‟an
dalam shalat, ia menuntut manusia untuk menghadirkan kebesaran dan
keagungan Allah, sekaligus kelemahannya sebagai manusia di
hadapan-Nya. Puncak khusyuk adalah ketundukan dan kepatuhan
seluruh anggota badan, dalam keadaan pikiran dan bisikan hati secara
keseluruhan menuju ke hadrat Ilahi. Itulah puncaknya, tetapi ada
peringkat-peringkat di bawah itu. Peringkat terendah adalah sekadar
pengamalan yang tulus kepada-Nya walau diselingi oleh pikiran yang
melayang kepada hal-hal yang tidak bersifat negatif. Nabi Muhammad
SAW. ketika shalat masih mendengar suara tangis anak sehingga
beliau mempersingkat shalatnya, di kali lain beliau memperlama sujud
karena cucu beliau – putra Fathimah dan Ali ibn Abi Thalib –
menunggang pundak beliau ketika beliau sedang shalat. Dengan
demikian, kekhusyu‟an shalat tidak selalu berarti hilangnya segala
ingatan kecuali kepada Allah SWT.
Mereka yang dapat melaksanakan tuntunan sabar dan khusyuk
adalah mereka yang dijelaskan sifat-sifatnya oleh ayat berikut.6
Anak kalimat (‫ )يظنّىن‬yazhunnun/yang menduga keras, ada
yang memahaminya dalam arti yakin dan ada juga yang memahaminya
seperti makna kebahasaan kata itu, yakni dugaan keras, walaupun

6
Ibid., hlm. 222-223
36

belum sampai tingkat yakin. Bahasa Arab seringkali menggunakn kata


(ّ‫ )ظن‬zhann untuk makna yakin. Seanjutnya kata (‫ )مالقىا ربّهم‬mulaqu
rabbihim ada yang memahaminya dalam arti hari kemudian dan ada
juga yang memahaminya dalam arti perolehan ridha-Nya. Pada
umumnya, yang memahami kata zhann dalam arti “yakin” memahami
makna mulaqu rabbihim dalam arti percaya akan keniscayaan hari
Kemudian karena menurut mereka objek iman tersebut harus
dipercayai dengan sempurna tidak cukup sekadar dugaan.
Pendapat ketiga memahami kata zhann dalam arti
kebahasaannya dan memahami kalimat mulaqu rabbihim (menemui
Tuhan mereka) dalam arti hari Kemudian. Menurut penganut pendapat
ini, dengan menggunakan kata menduga keras, tergambar sekali lagi
toleransi Allah terhadap bisikan-bisikan hati, yang sesekali dapat
timbul dalam benak mmempertanyakan objek-objek keimanan.
Memang, manusia biasa bahkan sahabat Nabi pun, tidak jarang
menghadapi aneka pertanyaan yang muncul dalam benak mereka atau
dimunculkan oleh setan, menyangkut objek-objek keimanan.
Pertanyaan-pertanyaan itu dapat meresahkan, tetapi ada yang
memendamnya. “Kami lebih baik terjerumus ke dalam jurang yang
dalam daripada mengucapkannya,” ucap sementara sahabat Nabi.
Memang, saat munculnya pertanyaan-pertanyaan demikian, pastilah
ketika itu jiwa risau, iman tidak berada pada keteguhan keyakinan.
Bisa jadi yang bersangkutan berada dalam suasana keraguan, atau
sedikit di atas keraguan sehingga menjadi dugaan, dan bisa jadi pula
lebih rendah dari keraguan sehigga menjadi waham. Ayat di atas
menolernsi keyakinan yang melebihi tingkat keraguan, yakni dugaan,
walaupun belum sampai pada keimanan penuh dan keyakinan bulat.
Jarak antara keyakinan penuh dan dugaan itulah tempat pertanyaan-
pertanyaan yang sesekali muncul.
Yang memahami menemui Tuhan mereka, dalam arti menemui
ganjaran dan ridha-Nya, berpendapat bahwa penggalan ayat ini
37

menggambarkan optimisme yang menyelubungi jiwa orang-orang


yang khusyuk terhadap ganjaran yang akan mereka terima kelak. Kata
menduga keras, jika objeknya seperti yang dikemukakan ini, cukup
beralasan karena, dari satu sisi, tidak seorangpun yang dapat
memastikan atau yakin bahwa dia akan dapat menemui Allah dalam
keadaan Yang Maha Kuasa itu ridha padanya; dan di sisi lain, iman
adalah perpaduan antara harapan dan kecemasan, rasa tenang dan
takut.
Mengapa orang-orang yang meyakini adanya hari Pembalasan,
atau yang menduga keras keniscayaannya atau ganjaran Ilahi,
dikecualikan dari rasa beratnya shalat dan sabar? Para ulama
menjawab karena yang tergambar dalam benak mereka ketika itu
adalah ganjaran Ilahi, dan ini menjadikan mereka menilai ringan beban
dan cobaan-cobaan yang mereka alami.
Tuntutan dan kecaman di atas, walaupun tertuju kepada semua
manusia, dalam konteks turunnya ayat-ayat, ia ditujukan kepada orang-
orang Yahudi. Karena itu, ayat berikutnya mengajak orang-orang
Yahudi untuk mengingat nikmat-nikmat Allah yang lain.7

2. Menurut Syaikh M. Ali Ash-Shobuni dalam Shafwatut Tafasir

Allah mengajak bicara pendeta Yahudi dengan metode


kecaman “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan kebaikan),”
mengapa kamu mengajak manusia kepada kebajikan dan iman
terhadap Muhammad, “sedang kamu melupakan diri (kewajibanmu
sendiri).” Maksudnya, kamu meninggalkan dirimu, lalu kamu tidak
beriman dan tidak juga berbuat kebajikan. “Padahal kamu membaca
Al-Kitab?” padahal kamu sedang membaca Kitab Taurat, yang di
dalamnya terdapat sifat-sifat Muhammad SAW “Maka tidaklah kamu
berpikir?” Apakah kamu tidak paham bahwa yang kamu lakukan
adalah kekejian yang akan kembali kepada dirimu sendiri.

7
Ibid., hlm. 224-225
38

Kemudian Allah menjelaskan cara mengalahkan hawa nafsu


dan syahwat, menghilangkan kecintaan terhadap kekuasaan, dan rakus
terhadap harta benda. Allah berfirman, “Dan mohonlah pertolongan.”
Maksudnya, mintalah pertolongan atas permasalahanmu semua,
“dengan sabar dan shalat.” Dengan mengangkat segenap beban pada
diri melalui taklif (beban pelaksanaan syariat), dan dengan shalat yang
merupakan tiang agama. “Dan (shalat) itu sungguh berat”,
maksudnya berat pelaksanaannya, “kecuali bagi orang-orang yang
khusyuk”, kecuali bagi orang yang tawadhu dan tenang, serta
mensucikan dirinya kepada Allah. Mereka adalah “orang-orang yang
meyakini,” maksudnya yang berkeyakinan penuh, tidak memiliki
keraguan. “Bahwa mereka akan menemui Tuhannya,” Mereka akan
bertemu dengan Tuhan mereka pada Hari Kiamat, lalu mereka
mendapat balasan atas amal-amalnya. “Dan bahwa mereka akan
kembali kepada-Nya.” Allah adalah tempat kembali mereka di Hari
Kiamat kelak.8

3. Menurut Syaikh Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi


Dalam firman Allah ini terdapat delapan masalah:

Pertama: Firman Allah Ta‟ala,   

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.” Ash-Shabr secara


literal adalah al-habs (menahan). (Contohnya), Qutila Fulaanun
Shabrun (si fulan dibunuh dengan cara dikurung), yakni dikurung dan
ditahan sampai meninggal dunia. Shabartu nafsii alaa asy-sya‟i (aku
menahan diriku atas sesuatu). Adapun al mashbuurah yang dilarang
dalam hadits adalah al mahbuusah (binatang yang dikurung sampai
mati). Ia juga disebut al mujatsamah (binatang yang dikurung hidup-
hidup dan akan dibunuh dengan cara dipanah dan yang lainnya).

8
Muhammad Ali Ash-Shobuni, Shafwatut Tafasir, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2011),
Cet. I, hal. 80
39

Kedua, Allah memerintahkan agar bersabar dalam ketaatan dan


meninggalkan penyimpangan di dalam kitab-Nya. Allah berfirman
‫( واصبروا‬dan bersabarlah). Dikatakan, “Fulaanun shaabirun „an al
ma‟aashi” (fulan bersabar dengan meninggalkan maksiat). Jika dia
bersabar dengan meninggalkan maksiat, maka sesungguhnya dia telah
bersabar dalam ketaatan. Inilah pendapat terbenar yang dikatakan
dalam masalah ini. An-Nuhas berkata “Tidak dikatakan kepada orang
yang bersabar dalam kemaksiatan: „Dia orang yang bersabar.‟ Akan
tetapi dikatakan, „Dia orang yang bersabar atas sesuatu.‟ Apabila
engkau berkata, „Dia orang yang bersabar,‟-secara mutlak, tidak
disandarkan kepada kata yang lain, maka dia adalah seperti yang telah

kami sebutkan. Allah Ta‟ala berfirman,    

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang


dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Qs. Az-Zumar [39]: 10)

Ketiga: Firman Allah Ta‟ala ‫“ والصلىاة‬dan shalat.” Mengenai


hal ini ada tiga pendapat: (1) Di antara berbagai jenis ibadah lainnya,
(dalam firman Allah ini) shalat disebutkan secara khusus guna
menegaskan tentang pentingnya shalat dengan menyebutkannya.
Apabila Rasulallah mengalami kebingungan atau diturunkan sesuatu
yang penting, maka beliau segera menunaikan shalat.9

Termasuk ke dalam firman Allah ini adalah apa yang


diriwayatkan bahwa Abdullah bin Abbas diberitahukan tentang
kematian saudaranya, yaitu Qutsam menurut satu riwayat: anak
perempuannya - saat dia sedang berada dalam perjalanan. Dia
kemudian kembali. Dia berkata, “(Dia) adalah aurat yang ditutupi,
biaya yang Allah cukupkan, dan pahala yang Allah berikan. Setelah itu
dia menyimpang dari jalanan dan shalat. Dia kemudian menghampiri

9
Imam Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hlm. 816-817
40

tunggangannya seraya membaca:    „Jadikanlah

sabar dan shalat sebagai penolongmu‟.” Dengan demikian, shalat


menurut penakwilan ini adalah sesuatu yang disyari‟atkan.

(2) Namun sekelompok ulama berkata, “Yang dimaksud dari


shalat tersebut adalah do‟a, sesuai dengan makna yang biasanya di
dalam bahasa. Jika demikian, maka ayat ini –menurut penakwilan ini–

adalah identik dengan firman Allah Ta‟ala,     

“Apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah


kamu dan sebutlah nama Allah.” (Qs. Al-Anfaal [7]: 45) sebab ats-
tsibaat (keteguhan hati adalah sabar, sedangkan adz-dzikar adalah
do‟a.

(3) Mujahid berkata, “Sabar yang dimaksud dalam ayat ini


adalah puasa. Oleh karena itulah bulan Ramadhan disebut dengan
bulan kesabaran. Dengan demikian, puasa dan shalat –menurut
pendapat ini –yang ada dalam ayat ini adalah sesuai, dimana puasa
dapat menghilangkan syahwat dan membuat zuhud dari keduniawian,
sedangkan shalat mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar.
Lebih dari itu, di dalam shalat dan puasa ini pun dibacakan al-Qur‟an
yang dapat mengingat kepada akhirat.

Keempat: Sabar atas penderitaan dan dalam ketaatan termasuk


pendidikan jiwa dan pengekangannya dari hawa nafsu, serta
mencegahnya dari berbagai tuntutannya. Ini merupakan karakter para
nabi dan orang-orang yang shalih.10

Yahya bin Al Yaman berkata, “Sabar adalah tidak mengandai-


andaikan situasi, selain apa yang Allah karuniakan kepadamu, serta

10
Ibid., hlm. 817-818
41

ridha terhadap apa yang Allah putuskan untukmu terkait dengan


urusan dunia dan akhiratmu.

Asy-Sya‟bi berkata, “Ali RA berkata, „Sabar itu sebagian dari


iman seperti kepala yang merupakan bagian dari tubuh‟.”

Ath-Thabari berkata, “Alangkah benar (apa yang dikatakan


oleh) Ali, sebab iman adalah mengenal Allah dengan hati, menetapkan
dengan lidah dan mengerjakan dengan anggota tubuh. Maka barang
siapa yang tidak bersabar dalam melakukan perbuatan dengan anggota
tubuhnya, sesunguhnya dia tidak berhak atas keimanan –secara
absolut. Dengan demikian, sabar dalam melaksanakan syari‟at adalah
seperti kepala yang merupakan bagian dari tubuh manusia, dimana
manusia tidak akan pernah mencapai kesempurnaan kecuali dengan
adanya kepala.”

Kelima: Allah telah menjelaskan tentang balasan perbuatan


sekaligus menetapkan tentang akhir dan batasannya. Allah berfirman

   “Barang siapa yang membawa amal baik

maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” (Qs. Al-An‟aam


[6]: 160)

Allah juga telah menetapkan bahwa pahala sedekah di jalan

Allah ialah di atas semua itu. Allah berfirman,    

   “perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-

orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa


dengan sebuah benih.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 261)11

11
Ibid., hlm. 818
42

Keenam: Adalah termasuk keutamaan sabar jika Allah


menyifati Dzat-Nya dengan Maha Penyabar. Hal ini sebagaimana yang
dijelaskan dalam hadits Abu Musa dari Nabi SAW, beliau bersabda,

“Tidak ada seorang pun atau tidak ada sesuatu pun yang lebih sabar
atas penderitaan yang pernah didengar daripada Allah. Sesungguhnya
mereka meninggalkan anak dalam (tanggungan)-Nya, kemudian Dia
melindngi mereka dan memberikan rezeki kepada mereka.” (HR. Al
Bukhari)

Para ulama kami berkata, “Makna dari penyifatan Allah


(terhadap Dzat-Nya) dengan kesabaran adalah Maha Penyantun,
sedangkan makna dari penyifatan (Dzat-Nya) dengan Maha Penyantun
adalah menangguhkan hukuman terhadap orang-orang yang berhak
menerimanya. Penyifatan Allah terhadap Dzat-Nya dengan kesabaran
tidak ada di dalam al-Qur‟an, melainkan dalam hadits Abu Musa. Hal
ini ditakwilkan oleh kelompok Ahlus Sunnah dengan
kesantunan.demikianlah yang dikatakn Ibnu Faurak dan yang lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dari nama Allah: Ash Shabuur (Maha
Penyabar) adalah memuballaghahkan kesantunan terhadap orang-
orang yang maksiat kepada-Nya.

Ketujuh: Firman Allah Ta‟ala   “Sesungguhnya yang

demikian itu sungguh berat.” Para ahli Ta‟wil berbeda pendapat

kembalinya dhamir yang ada dalam firman Allah  “Dan

sesungguhnya yang demikian itu.”12

12
Ibid., hlm. 819-820
43

Menurut satu pendapat, dhamir tersebut kembali hanya kepada


shalat –secara khusus. Sebab shalat itu sungguh berat bagi jiwa
manusia, tidak seperti halnya puasa. Dalam hal ini perlu diketahui
bahwa yang dimaksud dengan sabar dalam firman Allah ini adalah
puasa. Jika demikian, maka shalat yang ada dalam ayat ini adalah
pemenjaraan diri, sedangkan puasa adalah pengekangan diri dari hawa
nafsu. Sementara orang yang dilarang dari satu atau dua hawa nafsu itu
tidak seperti orang yang dilarang dari semua hawa nafsu. Sebab itu
puasa hanya melarang dari menggauli perempuan, makan dan minum.

Setelah itu, ia menyebar kepada pelarangan berbagai hawa


nafsu (lainnya), yaitu bicara, berjalan, melihat dan hal-hal lainnya yang
berhubungan dengan makhluk. Adapun mushalli (orang yang shalat),
dia dilarang untuk melakukan semua hawa nafsu itu. Dengan
demikian, seluruh anggota tubuhnya telah dibelenggu oleh shalat dai
semua hawa nafsu.

Jika demikian terjadi, maka shalat itu lebih berat bagi jiwa
manusia dan tingkat kesulitannya lebih hebat. Oleh karena itulah Allah

berfirman   “Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat.”

Menurut pendapat yang lain, dhamir tersebut kembali kepada


shalat dan sabar. Akan tetapi ia menjadi kinayah (kiasan) untuk sesuatu
yang lebih mayoritas, yaitu shalat. Hal ini seperti firman Allah,13

        

   

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak


menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada

13
Ibid., hlm. 820-821
44

mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (Qs. At-
Taubah [9]: 34)

Firman Allah,        “Dan apabila
mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk
menuju kepadanya.” (Qs. Al-Jumu‟ah [62]: 11)
Dalam ayat ini, Allah mengembalikan kinayah kepada perak,
sebab perak adalah sesuatu yang lebih banyak dan umum, juga kepada
perniagaan sebab ia adalah yang lebih baik dan lebih penting.

Menurut pendapat yang lain lagi, ketika kesabaran itu termasuk


di dalam shalat, maka dhamir itupun kembali kepadanya, sebagaimana

yang terdapat dalam firman Allah:      “Padahal

Allah dan Rasul-Nya itulah yang lebih patut mereka cari


keridhaannya.” (Qs. At-Taubah [9]: 62)

Dalam ayat ini, Allah tidak berfirman, “Yang lebih patut


mereka cari keridhaan keduanya.” Sebab keridhaan Rasul itu
termasuk ke dalam keridhaan Allah Azza wa jalla.

Menurut pendapat yang lain lagi, kinayah itu kembali kepada


masing-masing dari shalat dan sabar, akan tetapi dibuang supaya

ringkas dibaca. Allah Ta‟ala berfirman,     “dan

telah kami jadikan (Isa) putra Maryam besrta ibunya suatu bukti yang
nyata bagi (kekuasaan Kami).” (Qs. Al-Mu‟minuun [23]: 50)
Dalam ayat ini Allah tidak berfirman, “.... dua bukti nyata bagi
(kekuasaan Kami).”14
Menurut pendapat yang lain lagi, dhamir itu kembali kepada
ibadah yang terkandung dalam penyebutan sabar dan shalat.

14
Ibid., hlm. 821-822
45

Menurut pendapat yang lainnya lagi, dhamir itu kembali


kepada mashdar, yaitu isti‟aanah (permintaan tolong) yang

dikehendaki oleh firman Allah .

Menurut pendapat yang lainnya lagi, dhamir itu kembali


kepada jawaban Muhammad, sebab sabar dan shalat adalah dua hal
yang diserukan.
Menurut pendapat yang lainnya lagi, dhamir itu kemabli kpada
ka‟bah. Sebab perintah shalat adalah perintah untuk menghadapnya.

Makna kabiirah adalah berat lagi sulit. Ia adalah khabar bagi


lafazh inna. Selain al-Qur‟an, ungkapan itu boleh diucapkan dengan
wa innahu lakabiiratun illa „ala al khasyi‟in (Sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu).”
Sesungguhnya bentuk ucapan itu lebih ringan bagi lidah mereka. Para
pakar makna berkata “Kecuali bagi orang yang telah mendapat
dukungan sejak zaman azali dengan adanya pilihan dan petunjuk.”

Kedelapan: firman Allah Ta‟ala   “Bagi orang-orang

yang khusyu‟.” Al khasyi‟uun adalah jamak kata khasyi‟, yaitu al


mutawaadhi‟ (orang yang merendahkan diri). Al khusyu‟ adalah
kondisi di dalam jiwa yang tercermin pada anggota tubuh dengan
adanya ketenangan dan kerendahan diri.
Qatadah berkata, “Khusyu itu berada di dalam hati, ia adalah
perasaan takut dan menundukkan pandangan di dalam shalat.
Az-Zujaj berkata, “Orang yang khusyu‟ adalah orang yang
nampak padanya tanda-tanda kerendahan diri dan kekhusyuan.”15
Sufyan ats-Tsauri berkata, “Aku berkata kepada al A‟masy
tentang khusyu‟. Dia kemudian berkata, „Wahai Tsauri, engkau ingin
menjadi imam bagi orang-orang, tapi engkau tidak mengetahui makna
khusyu‟? aku pernah bertanya kepada Ibrahim an-Nakha‟i tentang
15
Ibid., hlm. 822-823
46

khusyu‟. Lalu dia berkata, „A‟masy, engkau ingin menjadi imam bagi
orang-orang, tapi engkau tidak mengetahui makna khusyu‟? Khusyu‟
itu tidak seperti memakan makanan yang kasar, memakai pakaian yang
kasar, dan menunduk-nundukkan kepala. Akan tetapi khusyu‟ adalah,
hendaknya engkau melihat orang yang mulia dan hina berstatus sama
di dala kebenaran. Engkau harus khusyu‟ kepada Allah pada setiap
kewajiban yang diwajibkan kepadamu.”
Umar bin Khathab pernah menatap seorang pemuda yang
menundukkan kepalanya, lalu dia berkata, “Wahai tuan fulan,
angkatlah kepalamu! Sebab itu tidak lebih dari apa yang ada di dalam
hati.”
Ali bin Abi Thalib berkata, “Khusyu itu di dalam hati, dan
hendaknya engkau melembutkan kedua telapak tanganmu kepada
seorang muslim, serta janganlah engkau berpaling dalam shalatmu.”
Pengertian dari hal ini aka dipaparkan secara lebih baik dalam firman

Allah Ta‟ala,         

"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu)


orang-orang yang khusyu‟ dalam shalatnya.” (Qs. Al-Mu‟minuun
[23]: 1-2)
Jika demikian, maka barang siapa yang menampakan
kekhusyu‟an lebih dari apa yang ada dalam hatinya, sesungguhnya dia
sedang menampakan kemunafikan di atas kemunafikan. Sahl bin
Abdullah berkata, “Seseorang tidak akan menjadi orang yang khusyu‟,
sampai setiap bulu yang ada pada tubuhnya menjadi khusyu‟.” Hal ini

berdasarkan firman Allah Ta‟ala,    

“....gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada


Tuhannya.” (Qs. Az-Zumar [39]: 23)16

16
Ibid., hlm. 823-824
47

Saya (Al-Qurthubi) katakan, “Ini adalah kekhusyu‟an yang


terpuji. Sebab jika perasaan takut telah bersemayam di dalam hati,
maka hal ini pasti akan menimbulkan kekhusyu‟an yang nyata,
sehingga tidak mungkin dapat ditepis oleh pemiliknya. Oleh karena
itulah engkau akan melihatnya menundukkan kepala, santun dan
rendah diri. Dahulu para salaf senantiasa berupaya menutupi hal-hal
seerti itu. Adapun orang yang tercela, dia akan berpura-pura
memperlihatkan hal itu, berpura-pura menangis dan menundukkan
kepala, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh itu.
Tujuannya adalah agar mereka terlihat bajik dan mulia. Semuanya
merupakan muslihat syetan dan tipu daya jiwa manusia.
Al Hasan meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki yang
menghela nafas di dekat Umar bin Khathab, seolah dia sedang berpura-
pura bersedih. Umar kemudian menamparnya atau mengatakan
perkataan yang menamparnya. Umar adalah sosok yang apabila
berbicara maka dia berbicara dengan keras, apabila berjalan maka dia
berjalan dengan cepat, apabila memukul maka dia pukulannya
menyakitkan, apabila beribadah maka dia ibadahnya jujur, dan apabila
khusyu‟ maka kekhusyu‟annya adalah sesungguhnya. Ibnu Najih
meriwayatkan dari Mujahid, dia berkata, “Orang yang khusyu‟ adalah
orang yang benar-benar beriman.”17

Firman Allah Ta‟ala,   “(Yaitu) orang-orang yang

meyakini.” Lafazh  (orang-orang yang) berada pada posisi jar

karena menjadi na‟at untuk lafazh  (orang-orang yang

khusyu‟). Namun boleh juga berada pada posisi rafa‟ dengan


memisahkan ayat ini dari ayat sebelumnya. Makna azh-zhann dalam
ayat ini, menurut mayoritas ulama adalah yakin. Contohnya dalam
firman Allah Ta‟ala,     "Sesungguhnya aku yakin,

17
Ibid., hlm. 824-825
48

bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku.” (Qs.


Al Haaqqah [69]: 20)
Firman Allah,    “Maka mereka meyakini, bahwa
mereka akan jatuh ke dalamnya.” (Qs. Al-Kahfi [18]: 53)
Namun menurut satu pendapat, lafazh azh-zhann yang terdapat
dalam ayat ini sah dipahami sesuai maknanya, dan dalam firman Allah
ini tersembunyi lafazh: bidzunuubihim (dengan membawa dosa-dosa
mereka). Dengan demikian, mereka seolah-olah menduga dapat
bertemu Allah dengan membawa dosa-dosa mereka. Demikianlah yang
dikemukakan oleh Al Mahdawi dan Al Mawardi.18
Ibnu Athiyah berkata, “Ini serampangan. Al Fara‟ bahkan
menduga bahwa azh-zhann terkadang mempunyai arti bohong. Namun
hal ini tidak diketahui oleh para ulama Bashrah. (Makna) asal lafazh
azh-zhann –dan ketentuan untuknya– adalah ragu-ragu yang disertai
dengan kecenderungan terhadap salah satu dari beberapa hal yang
diyakini. Namun keraguan ini terkadang bisa menjadi sesuatu yang
diyakini, seperti yang terjadi pada ayat ini dan yang lainnya. Akan
tetapi hal ini tidak berlaku untuk sesuatu yang telah dapat ditangkap
oleh indera. Oleh karena itulah bangsa Arab tidak berkata kepada
seorang laki-laki yang dapat dilihat dan hadir di tempat pembicaraan:
“Aku kira, ini adalah manusia.” Ketentuan tersebut hanya digunakan
untuk sesuatu yang belum dapat ditangkap oleh indera, seperti yang
terdapat dalam ayat dan syair tersebut.
Ada kalanya lafazh al yaqin pun berarti dugaan. Hal ini telah
dijelaskan di awal surah ini. Engkau dapat berkata, „Su‟tu biihi
zhannan (aku salah sangka terhadapnya),‟ asa‟tu bihi zhannan (aku
salah sangka terhadapnya).‟ Mereka memasukkan huruf alif (pada
lafazh asa‟tu) jika mereka memasukkan alif dan lam pada lafazh azh-

zhann. Makna   “menemui Tuhan-nya,‟ adalah (menemui

18
Ibid., hlm. 825
49

balasan dari Tuhannya. Menurut satu pendapat, Allah menggunakan


lafazh mulaaquu tersebut dengan wazan mufaa‟alah, padahal

pertemuan itu hanya dari satu pihak. Contohnya Afaahullah.  “dan

bahwa mereka” dengan fathah huruf hamzah, karena diathafkan

kepada annahum yang pertama. Lafazh  boleh dibaca: wainnahum

(dan sesungguhnya mereka) dengan memutus lafazh  (kepada-Nya),

yakni kepada Tuhannya. Namun menurut satu pendapat, kepada

balasan-Nya. Lafazh  (akan kembali) merupakan penetapan

tentang adanya kebangkitan, balasan, dan dihadapkan kepada Allah


SWT.19

4. Menurut Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari dalam


Tafsir ath-Thabari

Penakwilan firman Allah:    “Dan

mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan


(mengerjakan) shalat.”

Abu Ja’far berkata: Bahwa firman-Nya:   “Dan

mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar.” Maksudnya,


jadikanlah kesabaran sebagai penolong kalian dalam memegang teguh
perjanjian-Ku atas kalian untuk menaati perintah-Ku dan mengikuti
Rasul-Ku SAW.

Ada yang mengatakan, bahwa sabar dalam ayat ini maknanya


adalah puasa, dimana puasa adalah salah satu makna sabar. Kata sabar
asal maknanya adalah menahan diri dari apa yang disukainya. Oleh

19
Ibid., hlm. 826
50

karenanya orang yang sabar atas suatu musibah ia disebut sabar karena
dapat menahan gejolak jiwanya. Demikian juga bulan Ramadhan ia
disebut bulan sabar karena orang yang berpuasa di dalamnya sanggup
menahan diri dengan sabar dengan makan dan minum sepanjang diri.

Adapun makna shalat telah kami jelaskan pada bagian yang


lalu. Jika ada yang berkata: kami mengerti makna menjadikan sabar
sebagai penolong, tapi apa makna menjadikan shalat sebagai
penolong?

Jawabannya: sesungguhnya dalam shalat terdapat bacaan


bacaan ayat-ayat Al-Qur‟an yang menyeru manusia agar menjauhi
kenikmatan dunia yang fana dan mencintai akhirat yang kekal abadi
selama-lamanya. Dengan mengingat makna ini maka shalat menjadi
pemicu bagi pelakunya untuk senantiasa taat kepada Allah dan
bersungguh-sungguh.

Jadi, perintah Allah kepada para pendeta Yahudi agar


menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong bagi mereka adalah
sama dengan perintah-Nya kepada Rasul-Nya agar beliau demikian,
sebagimana firman-Nya:

          

          
“Maka bersabarlah engkau atas apa yang yang mereka katakan, dan
bertasbihlah dengan memuji Tuhan-mu sebelum matahari terbit dan
terbenam, dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu malam hari dan
pada waktu-waktu siang hari, supaya engkau merasa senang.” (Qs.
Thaahaa [20]:130).20

20
Abu Ja‟far Muhammad, Tafsir Ath-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), hlm. 670-
672
51

Penakwilan firman Allah:     “Dan

sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-


orang yang khusyu`.”

Abu Ja’far berkata: Dhamir ‫ هاء‬pada kata ‫ وَِإ َّنهَا‬adalah


kembali kepada shalat. Ada yang mengatakan bahwa ‫ وَِإ َّنهَا‬maknanya
adalah memenuhi seruan Muhammad SAW. Namun makna ini jauh
dari zhahir ayat, dan tidak dibenarkan beralih dari makna yang zhahir
kepada makna yang tersembunyi kecuali dengan dalil yang kuat.
Adapun kata ٌ‫ لَ َك ِبيْرَة‬maknanya adalah umat besar dan berat. Adapun
firman-Nya: ... “Kecuali bagi orang-orang yang khusu`.” Kecuali bagi
orang-orang yang tunduk dan patuh dengan perintah-Nya, takut
dengan siksa-Nya dan yakin dengan janji dan ancaman-Nya.
Jadi, makna ayat ini adalah: Wahai para ahli kitab, tahanlah diri
kalian dengan sabra dalam menaati Allah dan menjauhi larangan-Nya,
dan dengan mendirikan shalat yang mencegah kalian dari perbuatan
keji dan mungkar, yang mendekatkan kepada keridhaan Allah, yang
berat pelaksanaannya kecuali bagi orang yang tawadhu‟ kepada Allah
dan tunduk kepada-Nya.21

Penakwilan firman Allah:   „(Yaitu) orang-orang


yang meyakini.”
Abu Ja’far berkata: Jika ada orang berkata: bagaiman Allah
menginformasikan tentang orang yang tunduk dan patuh kepada-Nya
bahwa ia menduga akan bertemu dengan-Nya, sementara kata
„menduga‟ artinya ragu, dan orang yang ragu bertemu Allah berarti
kafir? Jawabannya: orang Arab biasanya menyebut kata yakin dengan
dugaan, dan dugaan dengan yakin, seperti menyebut kata gelap dan

21
Ibid., hlm. 673-675
52

terang dengan sudfah, dan masih banyak lagi kata-kata yang lain,
seperti kata Duraid bin Shimah dalam syairnya:

Yakinlah bahwa dua ribu orang bersenjata akan datang kepada


kalian.
Juga seperti firman Allah Ta‟ala:

          
“Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka lalu meyakini bahwa
mereka akan jatuh ke dalamnya, dan mereka tidak menemukan tempat
berpaliing daripadanya.” (QS. Al-Kahfi:53)22

Penakwilan firman Allah:    “Bahwa mereka


akan menemui Tuhannya.”
Abu Ja’far berkata: Jika ada orang berkata: bagaimana
dikatakan bahwa mereka akan menemui Tuhan mereka, dan
memudhaf-kan kata ‫ ُمالَقُىا‬kepada kata ْ‫ َر ِبهِم‬, sedang Anda tahu bahwa
maknanya adalah: mereka akan bertemu Tuhan mereka? Dan jika
maknanya demikian, maka semestinya huruf nun tidak dihilangkan.
Jawabannya: para ahli bahasa sepakat bahwa memudhaf-kan
nama yang tetap dari akar kata َ‫ فَ َعل‬dan ُ‫يَفْعَل‬, dan menghilangkan nun
yang bermakna ُ‫ يَفْعَل‬dan ٌ‫( فَاعِل‬akan terjadi) adalah boleh. Jadi, tidak ada
masalah dengan pertanyaan ini.
Akan tetapi para ahli bahasa berebda pendapat tentang sebab
idhafah dan pengguguran nun. Ulama Bashrah mengatakan: nun
digugurkan dari ْ‫ ُمالَقُىا رَ ِبهِم‬dan dari kata kerja yang berbentuk nama
sepertinya, dimana ia bermakna ُ‫( يَفْعَل‬akan terjadi), dan ia yang
dimaksud, seperti firman Allah:

22
Ibid., hlm. 675-676
53

    


...

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (Qs. Aali „Imraan [3]:
185).

Sepeti firman-Nya:        

“Sesungguhnya Kami akan mengirimkan unta betina sebagai cobaan


bagi mereka, maka tunggulah (tindakan) mereka dan bersabarlah.”
(Qs. Al Qamar [54]: 27).

Adapun para ulama Kufah mengatakan: dibenarkan me-


mudhafkan ‫ ُمالَقُىا‬dan bermakna َ‫ يَلْ َقىْن‬dan menggugurkan nun darinya
karena berbentuk nama, jadi ia dapat di-mudhafkan kepada nama
seperti halnya nama-nama.

Jadi, penakwilan ayat ini adalah: jadikanlah sabar dan shalat


sebagai penolong kalian dalam menepati janji-Ku, dan sesungguhnya
shalat itu sangat berat kecuali bagi orang-orang yang takut dengan
siksa-Ku, yang tunduk dengan perintah-Ku dan yang yakin dengan
pertemuan-Ku.23

Alasan Allah menginformasikan bahwa shalat itu sangat berat


kecuali bagi orang-orang yang memiliki sifat seperti diatas, adalah
karena orang yang tidak yakin dengan kehidupan akhirat dan konsep
pahala-siksa maka sholat tentu menjadi beban yang besar baginya,
dimana shalat yang ia lakukan tidak diyakini sebagai ritual yang
memberi manfaat dan mencegah bahaya, dan tentu barangsiapa yang
bersifat demikian maka shalat akan menjadi beban yang berat baginya.
Akan tetapi orang yang yakin bahwa ia akan bertemu dengan Allah,
mengharap pahala-Nya dan takut siksa-Nya maka shalat baginya terasa
sangat ringan dan nikmat. Maka Allah memerintahkan kepada para
pendeta Yahudi yang menjadi lawan bicara dalam ayat ini agar
23
Ibid., hlm. 677-678
54

mendirikan shalat dengan mengharap pahalanya jika benar-benar yakin


bahwa mereka akan dikembalikan kepada Allah dan menemui-Nya.

Penakwilan firman Allah:    “Dan bahwa


mereka akan kembali kepada-Nya”
Abu Ja’far berkata: dhamir ْ‫ هُم‬pada kata ْ‫ وََأ َّنهُم‬adalah kembali
kepada kata َ‫الخَاشِ ِعيْن‬, sedang dhamir ‫ هَاء‬pada kata ِ‫ إَِليْه‬adalah kembali
kepada kata ْ‫ َر ِبهِم‬Dengan demikian, penakwilan ayat ini adalah: dan
sesungguhnya ia sangat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu‟
yang yakin bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.24

5. Menurut Syaikh Asy-Syanqithi dalam Tafsir Adhwa’ul Bayan


“Meminta pertolongan kepada Allah dalam urusan-urusan
dunia dan akhirat dengan sabar” merupakan sebuah ungkapan yang
tidak sulit untuk dipahami. Adapun mengenai hasil dari permintaan
tolong kepada Allah melalui shalat, Allah SWT telah mengisyaratkan
hal itu dalam sejumlah ayat dari kitab-Nya (Al-Qur‟an). Dia telah
menyebutkan bahwa di antara hasil dari permintaan tolong kepada
Allah melalui shalat itu adalah bahwa seseorang dapat tercegah dari
hal-hal yang tidak pantas bagi dirinya. Dan hal itu telah dijelaskan oleh
Allah dalam firman-Nya,

...   


     
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji
dan mungkar.” (Q.S. Al-„Ankabut [29]:45). Selain itu shalat juga
dapat mendatangkan rezeki, sebagaimana firman-Nya,

            

  

24
Ibid., hlm. 673-675
55

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan


bersabarlah kamu dala mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki
kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang
baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa.” (Q.S. Thaha [20]: 132)
Oleh karena itu, ketika Nabi SAW sedang menghadapi suatu
masalah, maka beliaupun bersegera untuk mengerjakan shalat.25

Penjelasan mengenai hal itu adalah bahwa ketika seorang


hamba berdiri di hadapan Tuhannya sambil bermunajat kepada-Nya
dan membaca kitab-Nya, maka segala sesuatu yang ada di dunia inipun
akan dianggap hina olehnya. Sebab pada saat itu, dia hanya
mengharapkan sesuatu yang ada di sisi Allah dan takut kepada (siksa)-
Nya. Lalu, dia akan menjauhi segala sesuatu yang tidak diridhai Allah,
sehingga Allah pun akan memberi rezeki dan petunjuk kepadanya.

Yang dimaksud dengan “azh-zhann” disini adalah “al-yaqiin”


(keyakinan) sebagaimana telah ditunjukkan oleh firman Allah SWT,

    ...

“serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (Q.S. Al-


Baqarah [2]: 4); dan firman-Nya,

          
“dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan,
dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya
mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (Q.S. Al-Mu‟minuun
[23]: 60)26

25
Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa‟ul Bayan, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), Cet. I, hal.
173
26
Ibid., hlm. 174
56

D. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter yang Terkadung dalam Al-Qur’an


Surat Al-Baqarah Ayat 45-46

Berdasarkan hasil analisis, penulis menemukan beberapa nilai


pendidikan karakter yang terkandung dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah
ayat 45-46. Adapun nilai-nilai pendidikan karakter tersebut yang akan
dibahas pada bab ini antara lain meliputi: pendidikan sabar, pendidikan
karakter yang terdapat dalam shalat berupa religius, khusyuk, disiplin, dan
tanggungjawab.

1. Sabar
Kata al-shabr atau “sabar” secara bahasa berarti tabah hati.
Menurut Dzu al-Nun al-Mishri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-
hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika
seseorang mendapat cobaan dan menampakkan sikap cukup walaupun
sebenarnya berada dalam kefakiran (ekonomi). Selanjutnya, Ibn Atha
mengatakan, sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan
dengan sikap yang baik. Dan, pendapat lain mengatakan, sabar berarti
menghilangkan perasaan tertimpa cobaan tanpa menunjukkan rasa
kesal. Ibn “Utsaimin al-Hairi mengatakan, sabar adalah mampu
menabahkan diri atas segala sesuatu yang kurang menyenangkan.27

Dalam perspektif tasawuf, sabar berarti menjaga adab


dihadapan musibah yang menimpanya, selalu tabah dalam perintah
Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.28

Menurut pakar Bahasa Arab, Ibnu Faris mengemukakan


tentang sabar adalah sebuah upaya untuk menahan diri dan mengekang

27
M. Sholihin & M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika dan Makna Hidup,
(Bandung: Nuansa, 2005), cet. I, hlm. 186-187
28
Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendiriannya, (Jakarta: Preneda Media, 2005), cet. I,
hlm. 67
57

segala bentuk keinginan mengikuti hawa nafsu yang dilakukan dengan


kesungguhan.29

Sabar merupakan karakter al-Qur‟an yang paling utama dan


ditekankan oleh al-Qur‟an baik pada surat-surat Makkiyah maupun
Madaniyah, serta merupakan karakter yang terbanyak sebutannya
dalam al-Qur‟an.

Imam Ghazali berkata dalam kitabnya Ihya Ulumuddin,


sebagaimana dikutip oleh Yusuf Qordawi dalam bukunya Ash-Shabru
Fil Qur‟an “Allah menyebut sabar di dalam al-Qur‟an lebih dari 70
tempat”.30

Abu Thalib al-Makky, di dalam Qut al Qulub juga mengutip


perkataan sebagian ulama, “adakah yang lebih utama daripada sabar,
Allah telah menyebutkannya di dalam kitabNya lebih dari 90 tempat?
Kami tidak mengetahui sesuatu yang disebutkan Allah sebanyak ini
kecuali sabar”.

Di dalam al-Mu‟jam al-Mufahros li Alfadzil Qur‟an asal kata


(‫ )صبر‬dengan semua pecahan katanya disebutkan di dalam al-Qur‟an
sebanyak seratus kali lebih.

Perbedaan perhitungan di atas tidak bertentangan dengan


perhitungan yang ada di dalam al-Mu‟jam al-Mufahros, sebab di
dalam suatu tempat terkadang asal kata (‫ )صبر‬disebutkkan lebih dari
sekali; sebagian ulama menganggapnya satu tempat dan sebagian
lainnya menganggap dua tempat atau lebih. Misalnya di dalam firman
Allah di akhir surat an-Nahl:

29
Muchlis M. Hanafi, Spiritualitas dan Akhlak, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-
Qur‟an, 2010), Cet. I, hlm. 305
30
Yusuf Qardawi, Sabar. Sifat Orang Beriman, Terj. dari Ash-Shabru Fil Qur‟an oleh
Aziz Salim Basyarahil (Jakarta: Rabbani Press, 2003), hlm. 10
58

           

           

     

Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan


yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu, akan tetapi
jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-
orang yang bersabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah
kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah
kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan jangan kamu
bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. (Q.S. An-
Nahl/16: 126-127)

Dalam dua ayat ini kompnen kata shobaro (‫ )صبر‬disebutkan


empat kali; yang bisa dihitung satu tempat atau dua tempat menurut
kriteria perhitungan di atas.

Sikap sabar sangat dianjurkan oleh al-Qur‟an, Allah SWT


berfirman:

              

              

  

“Maka bersabarlah kamu seperti telah bersabar orang-orang yang


mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul, dan janganlah kamu
meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat
azab yang diancamkan kepada mereka, (mereka merasa) seolah-olah
tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah)
59

suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum


yang fasik.” (QS. Al-Ahqaf: 35)

        

 
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, dan kuatknlah
kesabaranmu, dan tetaplah bersiap siaga (diperbatasan negerimu),
dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS. Ali
Imran: 200)

          

    


“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)

Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Syarh Riyadh ash-Shalihin


berkata, “Sabar secara etimologis berarti menahan, dan secara syar‟i
adalah menahan diri dalam tiga hal, yaitu: taat kepada Allah; menjauhi
larangan-larangan-Nya; menghadapi ketentuan Allah yang
menyakitkan sekalipun.”
Kesabaran itu sendiri dibagi menjadi tiga macam:
a. Sabar dalam ketaatan kepada Allah
b. Sabar dari kemaksiatan
c. Sabar ketika mendapat cobaan31
Dalam pendapat lain dijelaskan bahwa kesabaran dibagi
menjadi empat kategori, yaitu:

31
Sa‟id Hawwa, Tazkiatun Nafs, (Jakarta: Pena Budi Aksara, 2006), cet. IV, hlm. 386
60

a. Sabar menanggung beratnya melaksanakan kewajiban. Kewajiban


menjalankan shalat lima waktu, kewajiban membayar zakat,
kewajiban melaksanakan haji bila mampu. Bagi orang yang sabar,
betapapun beratnya kewajiban itu tetap dilaksanakan, tidak peduli
apakah dalam keadaan melarat, sakit, atau dalam kesibukan.
Semuanya tetap dilaksanakan dengan patuh dan ikhlas. Orang yang
sabar melaksanakan kewajiban berarti mendapat taufik dan
hidayah Allah SWT.
b. Sabar menanggung musibah atau cobaan. Cobaan bermacam-
macam, silih berganti datangnya. Namun bila orang mau bersabar
menaggung musibah atau cobaan disertai tawakal kepada Allah,
pasti kebahagiaan terbuka lebar. Namun yang sabar menanggung
musibah pasti memperoleh pahala dari Allah SWT.
c. Sabar menahan penganiayaan dari orang. Di dunia ini tidak bisa
luput dari kezhaliman. Banyak terjadi kasus-kasus penganiayaan
terutama menimpa orang-orang yang suka menegakkan keadilan
dan kebenaran. Tetapi bagi orang yang sabar menahan
penganiayaan demi tegaknya keadilan dan kebenaran, pasti dia
orang-orang yang dicintai Allah.
d. Sabar menanggung kemiskinan dan kepapaan. Banyak orang-orang
yang hidupnya selalu dirundung kemiskinan akhirnya berputus asa.
Ada yang menerjunkan dirinya ke dunia hitam, menjadi perampok,
pencopet dan pembegal. Ada lagi kemudian yang terjun menjadi
pengemis, pekerjaannya setiap hari hanya minta-minta. Orang-
orang yang seperti ini tidak memiliki sifat sabar. Sebaliknya orang
yang sabar menanggung kemiskinan dan kepapaan dengan jalan
mencicipinya apa adanya dari pembagian Allah serta
61

mensyukurinya, maka ia adalah yang di dalam hidupnya selalu


dilimpahi kemuliaan dari Allah SWT.32

Allah menyifati orang-orang yang sabar dengan berbagai sifat


dan menyebutkan keutamaan sabar dalam al-Qur‟an lebih dari
sembilan puluh tempat. Ditambah lagi kemuliaan-kemuliaan atau
derajat yang tinggi yang diperoleh karena sifat sabar itu.

Keutamaan sabar tersebut antara lain:

a. Orang yang sabar yang pantas menjadi pemimpin suatu kaum,


“Dan kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang
memberi petunjuk dan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan
adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.” (QS. As-Sajdah: 24)
b. Kesabaran mendatangkan pertolongan dari Allah,
“... Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik
(sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka.
Dan kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir‟aun dan kaumnya
dan apa yang telah dibangun mereka.” (QS. Al-A‟raaf: 137)
c. Ganjaran pahala bagi orang yang sabar sangat besar,
“... Dan sesungguuhnya kami akan memberi balasan kepada
orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 96)
“... Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang
dicukupkan pahala tanpa batas.” (QS. Az-Zumaar: 10)
d. Orang yang sabar mendapat pahala dua kali lipat,
“Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran
mereka....” (QS. Al-Qashash: 54)
e. Dalam setiap ibadah telah Allah tentukan kadar pahalanya, kecuali
pahala sabar. Oleh karena itu, puasa merupakan ibadah yang
pahalanya merupakan rahasia Allah dan menunjukkan pahala yang

32
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah,
2007), cet. I, hlm. 47
62

diperoleh sangat besar. Hal itu dikarenakan puasa adalah separuuh


dari kesabaran,
“... Dan bersabarlah sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar.” (QS. Al-Anfaal: 46)
f. Kebersamaan Allah beserta orang-orang yang sabar merupakan
pahala yang tidak dapat dihitung. Kesabaran akan membawa
kemenangan,
“Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa dan mereka datang
menyerang kamu dengan seketika itu juga, iscaya Allah menolong
kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda.” (QS. Ali
Imran: 125)
g. Allah memberikan kepada orang-orang yang bersabar berbeda
dengan yang lain,
“Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan
rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang
mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 157)
h. Orang yang sabar diberikan keberkahan, rahmat dan petunjuk.
Masih banyak lagi ayat yang berbicara tentang kemuliaan sifat
sabar dan sangat terlalu banyak untuk disebutkan.33
2. Pendidikan Karakter dalam Shalat
a. Religius
Religius yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk
agama lain.34
Pada hakekatnya manusia tidak dapat mendekatkan diri
kepada Allah SWT dan memperoleh keridlaan-Nya selama dia
kotor jiwa, pikiran dan perbuatannya. Apabila ia ingin bertakarrub
dan mendapat keridlaan-Nya, haruslah ia membersihkan dirinya
33
Sa‟id Hawwa, op. cit., hlm. 386-387
34
Anas Salahudin & Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter (Pendidikan Berbasis
Agama dan Budaya Bangsa), (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hlm. 54
63

dari pekerjaan-pekerjaan tercela dan sifat-sifat jahat. Firman Allah


dalam surat al-A‟la ayat 14-15:

         
“Sesungguhnya berbahagialah orang yang membersihkan dirinya,
yang ingat nama Tuhan serta mendirikans shalat.”

Jadi shalat itu adalah suatu cara untuk membersihkan diri.


Karena membiasakan shalat itu berarti mendidik hati dan pikiran
seseorang untuk membaktikan dan menggerakkan amal kebaikan,
mendorong dan memberikan semangat untuk beramal baik,
melarang dan mempertakuti untuk berbuat jahat.35 Sebagaimana
firman Allah SWT:

          

         


   

 

“Bacalah Kitab (al-Qur‟an) yang telah diwahyukan kepadamu


(Muhammad) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah)
mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya dari
ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-Ankabut: 45)36

b. Disiplin
Disiplin yaitu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib
dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.37 Setiap manusia

35
Moh. Ardani, Akhlak Tasawuf Nilai-nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadat dan
Tasawuf, (Bandung: CV. Karya Mulia, 2005), Edisi II, hlm. 125
36
Kementrian Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Solo: PT. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, 2013), cet. III, hlm. 7
37
Anas Salahudin & Irwanto Alkrienciehie, op.cit., hlm. 54
64

memiliki kewajiban moral terhadap dirinya sendiri, jika kewajiban


tersebut tidak terpenuhi maka akan mendapat kerugian dan
kesulitan. Dengan demikian kewajiban manusia terhadap dirinya
sendiri menurut Hamzah Ya‟kub (1993:138-140) adalah sebagai
berikut:
1) Memelihara kesucian diri baik jasmani maupun rohani
2) Memelihara kerapian diri di samping kebersihan jasmani dan
rohani perlu diperlihatkan faktor kerapian sebagai manifestasi
adanya disiplin dan keharmonisan pribadi.
3) Berlaku tenang (tidak terburu-buru), ketenangan dalam sikap
termasuk ke dalam rangkaian karakterul karimah.
4) Menambah pengetahuan. Hidup ini penuh dengan pergulatan
dan kesulitan. Untuk mengatasinya pelbagai kesulitan hidup
dengan baik diperlukan ilmu pengetahuan. Adalah kewajiban
manusia menuntut ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk
memperbaiki kehidupannya di dunia ini dan untuk beramal
sebagai persiapan ke alam baka. (QS. Az-Zumae [39]: 9)
5) Membina disiplin pribadi, salah satu kewajiban terhadap diri
sendiri ialah menempa diri sendiri, melatih diri sendiri untuk
membina disiplin pribadi. Disiplin pribadi dibutuhkan sebagai
sifat dan sikap yang terpuji (fadhilah) yang menyertai
kesabaran, ketekunan, kerajinan dan kesetiaan dan lain-lain.

Berdasarkan uraian di atas bahwa kewajiban terhadap diri


sendiri baik jasmani maupun rohani harus ditunaikan agar dapat
kebahagiaan dunia dan akhirat, karena itulah maka setiap pribadi
berkewajiban membina diri melalui latihan “mawas diri” dan
pengendalian diri.38

Shalat merupakan sarana yang efektif untuk membentuk


karakter disiplin. Di dalam rukun-rukun ibadah termasuk juga

38
Heri Gunawan, op.cit., hlm. 10-11
65

shalat berjamaah, Allah SWT telah mengaruniai manusia dengan


sistem yang lengkap untuk mengatur diri sebagai latihan, latihan
badan dan anggota, melatih hawa nafsu, melatih akal pikiran,
melatih tunduk dan taat kepada disiplin yang tetap. Sistem
perbuatan yang ditentukan waktunya, diatur geraknya dan sebutan-
sebutan yang mengiringinya, menyertai tiap-tiap gerak itu. Shalat
itu berulang-ulang dilakukan, lima waktu dalam sehari, berulang-
ulang dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun. Dengan demikian
ibadah-ibadah yang lainnya, dilakukan berulang-ulang pada waktu
yang ditentukan. Karakter dan budi pekerti memang menghendaki
perbuatan-perbuatan yang mesti dikerjakan; perbuatan yang teratur
dengan aturan yang tetap, pada waktu yang tetap berulang-ulang.
Ilmu jiwa dan kesehatan telah mengakui dan mengetahui kenyataan
itu.

Ibadah shalat harus dikerjakan dengan tertib dan tepat pada


waktunya, agar semua berjalan dengan teratur dan seragam.
Terutama ketertibanlah yang harus diperhaikan dalam mengerjakan
shalat. Ketertiban harus pula dijalankan dalam kehidupan sehari-
hari. Waktu bangun, waktu bekerja, waktu makan, waktu istirahat,
waktu tidur dan sebagainya haruslah tetap. Akibat daripada
ketertiban itu adalah ketenangan dan ketentraman hati dalam
menghadapi cobaan dan godaan. Ketertiban harus diperhatikan
tidak hanya terhadap diri sendiri. Tetapi juga harus diperhatikan
terhadap orang lain, masyarakat, pemimpin, rakyat dan negara.39

Shalat berjamaah yang terdiri dari berdiri, rukuk dan sujud,


gerak dan diam, mengandung do‟a tawadlu, tashbih dan ta‟thim;
semuanya itu harus dilakukan dengan tertib dan teratur, mengikuti
perbuatan dan komando imam. Semuanya itu harus dilakukan tepat

39
Moh. Ardani, op.cit., hlm. 134-135
66

pada waktu yang telah dilakukan. Firman Allah dalam surat an-
Nisa ayat 103:

         

        

   


“kemudian apabila kamu telah merasa aman maka dirikanlah
shalat itu. Sesungguhnya shalat itu adalah fardlu yang telah
ditetapkan waktunya atas orang-orang yang beriman.”

Lima kali dalam sehari semalam seorang muslim wajib


mengerjakan shalat. Islam telah mengintegrasikan shalat dalam
kehidupan sehari-hari. Bagaimanapun sibuknya manusia dengan
urusan dunianya, ia harus mengingat kepada Tuhannya, harus
melakukan shalat tepat pada waktunya yang telah ditentukan.

Jadi shalat jamaah melatih diri kita masing-masing untuk


melakukan disiplin, tertib dan teratur. Latihan-latihan ini dilakukan
pada shalat tetapi maksudnya agar bisa dijelmakan dalam praktek
kehidupan sehari-hari. Hasil latihan ini akan terbukti dalam sikap
dan laku perbuatan seseorang sehari-hari, apakah dia bersikap
disiplin, hidup teratur dan tertib, ataukah sebaliknya yang berarti
latihan itu tidak berhasil.40

c. Tanggung Jawab
Tanggung jawab yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia

40
Ibid. Hlm. 136
67

lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial


dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.41
Menurut Drs. M. Ngalim Purwanto MP. dalam buku
administrasi dan supervisi pendidikan, tanggung jawab adalah
“kesanggupan untuk menjalankan suatu tugas kewajiban yang
dipikulkan kepadanya dengan sebaik-baiknya.”42 Jadi dapat
dikatakan bahwa tanggung jawab adalah sikap dan perilaku
seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajiban dengan
sebaik-baiknya terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan,
negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Tanggung jawab bersifat kodrati, yang artinya tanggung
jawab itu sudah menjadi bagian kehidupan manusia bahwa
manusia dan yang pasti masing-masing orang akan memikul suatu
tanggung jawabnya sendiri-sendiri. Apabila seseorang tidak mau
bertanggung jawab, maka tentu ada pihak lain yang memaksa
untuk tindakan tanggung jawab tersebut. Sebagaimana firman
Allah:

             
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan
melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az-Zalzalah: 7-8)

Ayat diatas menjelaskan bahwa sekecil apapun amal yang


kita lakukan semuanya akan mendapat balasan dan kita harus
mempertanggungjawabkan segala amal yang kita lakukan.
Tanggung jawab bukanlah keistimewaan. Ketika seseorang

41
Hamzah, Pendidikan Karakter Berbasis Agama Islam di Madrasah Aliyah Negeri
Ketapang Kalimantan Barat, (Jakarta: Pustikom FST UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013),
hlm. 55
42
Ngalim Purwanto, Admistrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2009), hlm. 73
68

diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga atau


institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung jawab yang
besar sebagai seorang pemimpin yang harus mampu
mempertanggung jawabkannya. Bukan hanya dihadapan manusia,
tapi juga di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu, jabatan dalam
semua level atau tingkatan bukanlah suatu keistimewaan sehingga
pemimpin atau pejabat tidak boleh merasa menjadi manusia yang
istimewa sehingga ia merasa harus diistimewakan dan ia sangat
marah bila orang lain tidak mengistimewakan dirinya. Nabi SAW.
bersabda:

“Ibnu Umar r.a. mendengar Rasulullah saw. bersabda:


“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah
pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Seorang lelaki adalah pemimpin bagi
keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin di rumah
suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam
harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan
Ibnu Majah)43
Setiap manusia yang berjuang memiliki tujuan untuk
memenuhi keperluannya sendiri atau untuk keperluan pihak lain.
Untuk itu, ia menghadapi manusia lain dalam masyarakat atau

43
Muhammad Shidiq Hasan Khan, Ensiklopedia Hadits Shahih, (Jakarta: Hikmah, 2009)
hlm. 92
69

menghadapi lingkungan alam. Dalam usahanya itu manusia juga


menyadari bahwa ada kekuatan lain yang ikut menentukan, yaitu
kekuasaan Tuhan. Dengan demikian tanggung jawab itu dapat
dibedakan menurut keadaan manusia atau hubungan yag dibuatnya,
atas dasar ini dikenal beberapa macam tanggung jawab, yaitu:
1) Tanggung jawab terhadap Tuhan
Tuhan menciptakan manusia di bumi ini bukanlah tanpa
tanggung jawab. Manusia mempunyai tanggung jawab
langsung terhadap Tuhan. Sehingga tindakan manusia tidak
bisa lepas dari hukum-hukum Tuhan yang telah diatur
sedemikian rupa dalam berbagai kitab suci melalui bermacam-
macam agama. Manusia diciptakan oleh Allah SWT. untuk
menyembah-Nya, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya. Setiap manusia akan dipertanyakan dan
diperhitungkan serta mempertanggungjawabkan segala
perbuatannya dihadapan Allah SWT.44
2) Tanggung jawab terhadap diri sendiri
Tanggung jawab terhadap diri sendiri menentukan kesadaran
setiap orang untuk memenuhi kewajibannya sendiri dalam
mengembangkan kepribadian sebagai manusia pribadi.
3) Tanggung jawab terhadap keluarga
Keluarga merupakan masyarakat kecil. Keluarga terdiri dari
ayah, ibu, anak dan juga orang lain yang masih memiliki
hubungan darah. Setiap anggota keluarga wajib bertanggung
jawab kepada keluarganya. Tanggung jawab tersebut
menyangkut kehormatan dan nama baik keluarga.
4) Tanggung jawab terhadap masyarakat
Pada hakikatnya manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan
manusia lain, sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk

44
Ali Abdul Halim Mahmud, Fiqih Responsibilitas: Tanggung Jawab Muslim dalam
Islam, (Jakarta: Gema Insani Press), hlm. 20
70

sosial. Karena membutukan manusia lain maka ia harus


berkomunikasi dengan manusia lain. Sehingga dngan demikian
manusia disini merupakan anggota masyarakat yang tentunya
mempunyai tanggung jawab seperti anggota masyarakat yang
lain agar dapat melangsungkan hidupnya dalam masyarakat
tersebut.
5) Tanggung jawab terhadap bangsa/negara
Suatu kenyataan lagi bahwa setiap manusia, setiap individu
adalah warga negara suatu negara. Dalam berpikir, berbuat,
bertindak, bertingkah laku manusia tidak dapat berbuat
semaunya sendiri. Bila perbuatan itu salah, maka ia harus
bertanggung jawab kepada negara.45

3. Khusyu’

Secara bahasa kata khusyu‟ tersebut dapat dilihat sebagai


berasal dari khasya‟a-yakhsya‟u-khusy‟an atau ikhtasya‟a dan
takhasya‟a yang secara sederhana berarti memusatkan penglihatan
pada bumi dengan memejamkan mata, atau meringankan suara ketika
shalat. Namun, jika direnungkan lebih dalam akan didapati bahwa
khusyu‟ lebih mengarah pada pengertian tunduk dan bahka takhasyu‟
yang berarti menjadikan diri menjadi khusyu‟. Jika pengertian ini yang
dijadikan pedoman, maka pencapaian derajat khusyu‟ membutuhkan
usaha dan perjuangan bagi siapa saja yang ingin memperolehnya.

Pengertian khusyu‟ berdasarkan al-Qur‟an terdapat dalam surat


al-Baqarah ayat 46:

        


(Yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui
Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”

45
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/06/12/mengenal-arti-kata-tanggung-
jawab-567952.html (diakses pada tanggal 20 juli 2017, jam 02.00)
71

Dalam khazanah syariat Islam, istilah khusyu‟ tersebut dapat


dimaknai sebagai keadaan jiwa yang penuh dengan ketenangan dan
ketawadhuan yang selanjutnya keadaan tersebut terpancar pada
seluruh gerakan tubuh dan ucapan.46

Menurut Muhammad Munir Jimbaz dalam karyanya Karakter


Orang Sukses Dunia Akhirat, menjelaskan “menurut pengertian
bahasa, khusyu‟ berarti sikap yang hina atau rendah hati. Dalam segi
suara, khusyu‟ berarti diam. Sedangkan dalam hal pandangan mata
khusyu‟ berarti menundukkan mata.”

Para ulama mempunyai pengertian sendiri mengenai khusyu‟.


Sebagian dari mereka berpendapat bahwa khusyu‟ adalah termasuk
dalam amalan hati, seperti perasaan takut atau gentar. Sebagian lainnya
menyatakan bahwa khusyu‟ termasuk dalam amalan anggota badan,
seperti sikap tenang atau rendah hati. Namun ada pula yang
berpendapat sebagai suatu kesatuan dari amalan hati dan anggota
badan sekaligus. Dalam pengertian ini, khusyu‟ berarti perasaan takut,
gentar, tenang dan rendah hati.47

Dalam shalat misalnya, khusyu‟ dapat meliputi suara, gerakan


badan, pendengaran, atau bahkan penglihatan. Berkaitan dengan hal
tersebut, menarik sekali keterangan al-Qur‟an surat Thaha ayat 108
sebagai berikut:

  


 
        

    

46
Jefry Noer, Pembinaan Sumber Daya Manusia Berkualitas & Bermoral Melalui Shalat
yang Benar, (Jakarta: Kencana, 2006), cet. I, hlm. 138-139
47
Muhammad Munir Jimbaz, Karakter Orang Sukses Dunia Akhirat, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1993), cet. IV, hlm. 71
72

“Dan merendahkan semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah


maka kamu tidak akan mendengar kecuali bisikan saja.” (QS. Thaha:
108)

Selanjutnya Allah juga menegaskan pada surat al-Ghasiyah ayar 2


sebagai berikut:

   


“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina.” (QS. Al-Ghasyiyah:2)

Dengan demikian Allah SWT. menggambarkan kekhusyu‟an tersebut


yang tidak hanya meliputi hati, akan tetapi juga seluruh fisik.48

Dengan shalat yang khusyu‟ dan senantiasa memeliharanya


akan mengantarkan manusia untuk memiliki pribadi dan jiwa yang
kuat untuk membangun masyarakat dan negara yang adil dan makmur.

Jadi, dengan shalat yang khusyu‟ kita akan menang,


sebagaimana ditegaskan dalam azan sebagai panggilan untuk
mengerjakan shalat: “Hayya „alash shalah, hayya „alal falah (Mari
shalat, mari menuju kemenangan).49

Sesungguhnya, khusyu‟ merupakan manivestasi tertinggi dari


hati yang sehat. Maka jika ilmu khusyu‟ diangkat, hal itu berarti bahwa
hati telah rusak. Apabila khusyu‟ telah hilang, maka hati dikuasai oleh
berbagai penyakit berbahaya dan keadaan buruk, seperti cinta dunia
dan bersaing untuk meraihnya. Jika hati telah dikuasai berbagai
penyakit, maka ia kehilangan kecenderungan kepada akhirat. Jika
sampai seperti itu keadaan hati, maka tiada lagi kebaikan bagi kaum
muslimin. Cinta kepada dunia menimbulkan persaingan untuk

48
Jefry Noer, op.cit., hlm. 138-139
49
Sudirman Tebba, Nikmatnya Shalat yang Khusyu‟, (Tangerang: Pustaka IrVan, 2008),
cet. I, hlm. 17
73

meraihnya, dan persaingan untuk meraihnya tidak dapat dijadikan


dasar tegaknya urusan dunia dan agama.

Hilangnya khusyu‟ merupakan tanda bahwa hati telah


kehilangan kehidupan dan vitalitasnya, maka nasihat tidak lagi
berpengaruh, dan ambsi-ambisi buruk menguasainya.50

Menurut para ahli fiqih (fuqaha) hadirnya hati bukanlah hal


yang wajib dalam shalat. Sebab tidak semua manusia mampu dan terus
menerus khusyu‟ dalam shalatnya. Dan juga perlu waktu sebelum
seseorang mampu mengendalikan khayalnya ketika shalat. Oleh karena
itu, menurut hukum fiqih, khusyu‟ yang terus menerus bukanlah suatu
syarat sehingga dapat membatalkan shalat. Namun, keadaan seperti itu
dipandang sangat disunahkan, sedemikian rupa sehingga beberapa ahli
fiqih membolehkan penundaan shalat asal masih dalam waktunya agar
hati dapat khusyu‟.51

Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencapai


nilai khusyu‟ tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, menumbuhkan kesadaran bahwa sesungguhnya yang
terpenting dari pelaksanaan shalat itu adalah kuatnya motivasi di dalam
hati untuk dapat berinterkasi dengan Tuhan dalam shalat pada
khususnya, dan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya.
Kedua, sebelum mengucapkan takbiratulihram, setiap orang yang akan
melaksanakan shalat harus mampu membangun sebuah keadaan di
dalam dirinya bahwa Allah yang akan dihadapinya melalui ibadah
tersebut benar-benar mengawasi hatinya dan mengetahui segala
rahasia.
Ketiga, pelaku shalat hendaknya selalu mengingat hal-hal yang dapat
memelihara kekhusyu‟an shalatnya. Ia harus menanamkan seluruh

50
Sa‟id Hawwa, op.cit., hlm. 38
51
Abu Muhammad Zainul Abidin, Khusyuk: Mikraj Ruhani Wali Allah, (Jakarta: Al-
Huda, 2004), cet. I, hlm.24-25
74

kriteria yang ditawarkan Allah dan Nabi tentang shalat khusyu‟


tersebut, serta menganggap bahwa shalat harus dijadikan sebagai
wadah untuk mengambil ibrah dan melihat Allah sebagai puncak
keteladanan yang mempunyai sifat Maha Tinggi.
Keempat, selama pelaksanaan shalat, kita dituntut untuk dapat
menghadirkan hati, sebab melalui hati yang jernihlah seseorang dapat
merasakan kehadiran Allah dalam shalatnya. Yang termasuk
membantu hadirnya hati di dalam shalat adalah berusaha untuk
memahami dan menekuni makna yang terkandung di dalam bacaan,
khususnya dari kalam Allah, serta yang menjadi bacaan di dalam
dzikir, takbir, dan do‟a di sela-sela shalat.
Kelima, seorang yang shalat harus terlebih dahulu menetapkan
kesadarannya, ia harus mampu menjaga ketenangan hatinya selama
menjalankan shalat. Itulah sebabnya Allah menentang seorang hamba
yang datang menghadapnya dalam keadaan tidak sadar atau mabuk.
Keenam, setiap yang melakukan shalat haruslah mengetahui bahwa
shalat ini adalah mujahadat untuk mencapai Allah, karenanya
pelaksanaan shalat selalu mendapat tantangan dan gangguan dari setan
dan manusia.
Ketujuh, setiap pelaku shalat mesti memiliki visi ukhrawi dalam setiap
tindakannya. Seorang hamba yang melaksanakan ibadah shalat tidak
pernah tenggelam dalam kenikmatan dunia, baginya dunia hanyalah
salah satu fase yang harus dilalui bukan fase terakhir. Dengan perasaan
tersebut pelaku shalat selalu memilki gairah dan semangat untuk
mengikuti amalan shalatnya dengan amalan-amalan lain. Pendeknya,
yang melakukan shalat harus bisa melampaui kepentingan akhirat dari
kepentingan dunianya, maka ia mengisi aktivitasnya sesuai dengan
kepentingan lain. Dengan demikian shalat akan menjadi penerang jalan
menuju interaksi dengan setiap permasalahan dunia dan akhirat jika
benar-benar dilakukan dengan khusyu‟. Dengannyalah diperoleh
kehadiran hati untuk mengingat Allah dan kemudahan dalam
75

menghadapi setiap permasalahan karena selalu didampingi Allah dan


pada akhirnya merupakan jalan memperoleh kebahagiaan ukhrawi.52
Kekhusyu‟an merupakan ruhnya setiap ibadah karena di
dalamnya terdapat keseriusan dan keikhlasan. Karenanya kekhusyu‟an
akan mampu melahirkan pengaruh yang amat besar bagi jiwa
seseorang yang pernah dan senantiasa mengalaminya. Secara
sederhana kekhusyu‟an dalam ibadah khususnya shalat dapat
mengantarkan pelakunya kepada berbagai hal berikut:
Pertama, khusyu‟ dalam shalat menumbuhkan kemampuan
untuk berkonsentrasi.
Kedua, shalat yang dilakukan dengan khusyu‟ akan
mempengaruhi dan menghidupkan jiwa yang melaksanakannya.
Ketiga, kekhusyu‟an dalam shalat dapat memupuk kerendahan
hati baik kepada Allah juga terhadap sesama manusia, sebab ia telah
menyaksikan keagungan dan kemegahan Allah SWT.
Keempat, khusyu‟ dapat mengantarkan seseorang menuju
ma‟rifat yang hakiki terhadap Allah SWT. dan keinginan untuk selalu
menghadap-Nya.
Kelima, khusyu‟ akan menjaga dan memelihara pelakunya dari
perbuatan, perkataan yang tidak berguna dan dari hal-hal yang dapat
memalingkan dirinya dari mengingat dan menaati perintah Allah.
Keenam, shalat yang dilakukan secara khusyu‟ akan menjadi
wadah dimana seorang hamba secara bebas dapat mengungkapkan
perasaan syukur atas segala nikmat yang diperolehnya dari Tuhan.
Ketujuh, shalat khusyu‟ juga dapat dijadikan sebagai upaya
memperoleh kesucian jiwa dan kemudahan.53

52
Jefry Noer, op.cit., hlm. 144-147
53
Ibid., hlm. 149-154
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari berbagai uraian yang penulis paparkan sebelumya dapat
disimpulkan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam
surat al-Baqarah ayat 45-46 adalah sebagai berikut:
1. Sabar adalah tabah hati. Sabar merupakan karakter al-Qur’an yang
paling utama dan ditekankan oleh al-Qur’an baik pada surat-surat
Makkiyah maupun Madaniyah, serta merupakan karakter yang
terbanyak sebutannya dalam al-Qur’an.
2. Nilai pendidikan karakter dalam shalat, diantaranya:
a. Religius yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan
ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah
agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
b. Disiplin yaitu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Setiap manusia
memiliki kewajiban moral terhadap dirinya sendiri, jika kewajiban
tersebut tidak terpenuhi maka akan mendapat kerugian dan
kesulitan.
c. Tanggung jawab yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia
lakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial
dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
3. Khusyu’ dimaknai sebagai keadaan jiwa yang penuh dengan
ketenangan dan ketawadhuan yang selanjutnya keadaan tersebut
terpancar pada seluruh gerakan tubuh dan ucapan.

B. Saran
1. Al-Qur’an selain sebagai petunjuk bagi umat manusia juga sebagai
sumber ilmu pengetahuan. Mempelajari dan menghayati isi
kandungannya merupakan kewajiban khususnya bagi umat muslim. Di

76
77

antaranya dengan cara membaca, mengkaji dan mempelajari


penafsiran-penafsiran para ulama mengenai isi kandungan al-Qur’an.
2. Guru sebagai pendidik di sekolah diharapkan mampu menanamkan
nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam surat al-Baqarah
ayat 45-46 kepada anak didiknya dengan menjadi teladan, supaya anak
didik memiliki kepribadian yang baik.
3. Menanamkan nilai-nilai karakter kepada anak bukan hanya tanggung
jawab guru di sekolah tapi tanggung jawab seluruh elemen masyarakat.
Oleh karena itu masyarakat perlu berpartisipasi menanamkan nilai
karakter kepada anak, agar tercipta lingkungan masyarakat yang
harmonis dan sejahtera.
4. Sekolah harus terus mengoptimalkan pendidikan karakter dan
memberikan pembinaan karakter secara intensif kepada seluruh siswa
di sekolah agar tidak terjadi krisis karakter yang membahayakan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Yatimin, Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Amzah,


cet. I, 2007

Abidin, Abu Muhammad Zainul, Khusyuk: Mikraj Ruhani Wali Allah, Jakarta: Al-Huda,
cet. I, 2004

Ardani, Moh., Akhlak Tasawuf Nilai-nilai Akhlak/Budipekerti dalam Ibadat dan


Tasawuf, Bandung: CV. Karya Mulia, Edisi II, 2005

Bahri, Zainul, Menembus Tirai Kesendiriannya, Jakarta: Preneda Media, cet. I,


2005

Buchori, Didin Saefuddin, Metodologi Studi Islam, Bogor: Granada Sarana


Pustaka, cet. I, 2005

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai


Pustaka, Cet. II, 2002

Fazlurrahman, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, cet.


II, 1992

Al-Ghazali, Muhammad, Induk Al-Qur’an, Jakarta: Cendikia Centra Muslim, cet.


I, 2003

Gunawan, Heri, Pendidikan Karakter Konsep Dan Implementasi, (Bandung:


Alfabeta, cet. II, 2012

Hamzah, Pendidikan Karakter Berbasis Agama Islam di Madrasah Aliyah Negeri


Ketapang Kalimantan Barat, Jakarta: Pustikom FST UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2013
Hanafi, Muchlis M., Spiritualitas dan Akhlak, (Jakarta: Lajnah Pentashihan
Mushaf al-Qur’an, cet. I, 2010

Hawwa, Sa’id, Tazkiatun Nafs, Jakarta: Pena Budi Aksara, cet. IV, 2006

78
79

http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/06/12/mengenal-arti-kata-tanggung-
jawab-567952.html (diakses pada tanggal 20 juli 2017, jam 02.00)

Hudory, Syaikh Muhammad, Tarikh Tasyri Islami, Bairut: Darul Fiqr, cet. VII,
1981

Jimbaz, Muhammad Munir, Karakter Orang Sukses Dunia Akhirat, Jakarta:


Pustaka Al-Kautsar, cet. IV, 1993

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Solo: PT. Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, cet. III, 2013

Khan, Muhammad Shidiq Hasan, Ensiklopedia Hadits Shahih

Koesoema, Doni, Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta:
Grasindo, cet. II, 2010

Mahmud, Ali Abdul Halim, Fiqih Responsibilitas: Tanggung Jawab Muslim


dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press

Muhammad, Abu Ja’far, Tafsir Ath-Thabari, Jakarta: Pustaka Azam, 2007

Al-Munawar, Said Agil Husin, Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem


Pendidikan Islam, Ciputat: PT. Ciputat Press, 2005

__________, Said Agil Husin, Al-Qur,an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki,


Jakarta: Ciputat Press, cet. I, 2002

Nata, Abuddin, Al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, cet.
VII, 2000

____, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam I, Pamulang: Logos, 1997

Noer, Jefry, Pembinaan Sumber Daya Manusia Berkualitas & Bermoral Melalui
Shalat yang Benar, Jakarta: Kencana, cet. I, 2006

Purwanto, Ngalim, Admistrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja


Rosdakarya, 2009
80

Q-Anees, Bambang, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, Bandung: Simbosa


Rekatama Media, 2008

Qardawi, Yusuf, Sabar. Sifat Orang Beriman, Terj. dari Ash-Shabru Fil Qur’an
oleh Aziz Salim Basyarahil, Jakarta: Rabbani Press, 2003

Al-Qurthubi, Imam, Tafsir al-Qurthubi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007

Sabri, M. Alisuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, Jakarta: UIN Jakarta Press, cet. I,
2005

Salahudin, Anas & Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter (Pendidikan


Berbasis Agama dan Budaya Bangsa), Bandung: Pustaka Setia, 2013

Saleh, Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Jakarta: Sultan Thaha Press, cet. II,
2007

Ash-Shobuni, Muhammad Ali, Shafwatut Tafasir, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,


cet. I, 2011

Shihab, M. Quraish, dkk, Ensiklopedia Al-Qur’an: Kajian Kosakata, Jakarta:


Lentera Hati, cet. I, 2007

______, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Jilid. I. 2002

______, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, cet. X, 2000

Sholihin, M. & M. Rosyid Anwar, Akhlak Tasawuf: Manusia, Etika dan Makna
Hidup, Bandung: Nuansa, cet. I, 2005

Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT.


Remaja Rosdakarya, cet. VIII, 2012

Syam, M. Noor, Filsafat Pendidikan Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,


Surabaya: Usaha Nasional, cet. IV, 1988

Asy-Syanqithi, Tafsir Adhwa’ul Bayan, Jakarta: Pustaka Azzam, Cet. I, 2006


81

Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, cet.
IV, 2010

Tebba, Sudirman, Nikmatnya Shalat yang Khusyu’, Tangerang: Pustaka IrVan,


cet. I, 2008

Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997

Zaini, Syahminan, Tinjauan Analisis Tentang Iman, Islam dan Amal, Jakarta:
Kalam Mulia, cet. I, 1984

Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,


cet. II,2008

Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi Dan Aplikasinya Dalam


Lembaga Pendidikan, Jakarta: Kencana, cet. I, 2011

Anda mungkin juga menyukai