Anda di halaman 1dari 19

PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MENJAWAB TANTANGAN ABAD KE-21

PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MENJAWAB TANTANGAN ABAD KE-21

http://abuddin.lec.uinjkt.ac.id/articles/pendidikan-karakter-untuk-menjawab-tantangan-abad-ke-21-1

A.Pendahuluan

Membicarakan “Pendidikan Karakter untuk Menjawab Tantangan Abad ke-21” ini sangat penting, dengan beberapa alasan
sebagai berikut.

Pertama, abad ke-21 yang kini tengah kita alami, sebagaiman telah dikaji para ahli telah menimbulkan tantangan yang berdampak pada
terjadinya krisis di bidang karakter. Daniel Bell sebagaimana dikutip Mochtar Buchori menyebutkan adanya enam tantangan di
abad ke-21; yaitu integration of economy, fragmentation of politic, interdependence, high technologi, dan new colonization in
culture.[1] Keenam tantangan yang ditimbulkan abad ke-21 ini baik langsung atau tidak langsung berdampak pada terjadinya
krisis di bidang karakter. Integration of economy (penyatuan dalam perdagangan), menyebabkan timbulnya free market (pasar
bebas) yang penuh dengan persaingan yang tidak sehat. Dalam rangka memperebutkan pasar, perilaku ekonomi bisa
menghalalkan segala cara, seperti riba (membungakan uang secara tidak wajar), ghurur (menipu), maysir (judi-spekulasi),
penguasaan atas aset dan kesempatan (monopoli) yang mematikan kelompok pengusaha kecil; menimbun barang agar terjadi
ketimpangan antara suplay dan demand yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang dan jasa secara tidak wajar, dan
sebagainya. Selanjutnya fragmentation of politic dalam rangka menuntut perlakuan yang lebih demokratis, adil, manusiawi dan
egaliter, terkadang menimbulkan demokrasi yang kebablasan dan tindakan anarkhisme. Sementara itu interdependence
(kesaling-tergantungan) dalam rangka mendapatkan pengakuan dari negara lain (social recognition), terkadang menimbulkan
dampak terjadinya hegemoni negara yang kuat atas negara yang lemah. Dalam pada itu, penggunaan high technology berupa
komputer dan digital technologi terkadang disalah-gunakan untuk memprovokasi, memfitnah, adu domba, membunuh
karakter, dan sebagainya. Sementara itu, adanya new colonization in culture (penjajahan baru di bidang kebudayaan)
menyebabkan terjadinya dekadensi moral atau schock culture, terutama di kalangan young generation (generasi muda). Pola
dan pandangan hidup yang pragmatis, transaksional, hedonistik, materialistik dan sekularistik, menyebabkan masyarakat
hatinya menjadi keras, kurang tertarik pada nilai-nilai spiritual dan cenderung mengikuti gaya dan selera hidup yang
menggumbar syahwat, dan untuk mendapatkan semua itu bisa menghalalkan segala cara seperti menjual diri, dan sebagainya.

Kedua, adanya tanda-tanda zaman yang dapat menghancurkan masa depan bangsa. Thomas Lickona, Profesor dari Cortland
University, sebagaimana dikutip Masnur Muslich mengatakan, adanya 10 (sepuluh) tanda sebuah bangsa menuju kehancuran,
yaitu: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; (2)penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk; (3)pengaruh
peer-group yang kuat dalam tindakan kekerasan; (4)meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol,
dan seks bebas; (5)semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk; (6)menurunnya etos kerja; (7)semakin rendahnya rasa
hormat kepada orang tua dan guru; (8)rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara; (9)membudayanya
ketidakjujuran, dan (10)adanya rasa saling curiga dan kekerasan di antara sesama. Jika dicerna, ternyata sepuluh tanda zaman
tersebut sudah ada di Indonesia.[2]

Ketiga, adanya sebagian masyarakat yang memiliki mental block (penyakit mental), yaitu cara cara berfikir dan berperasaan
yang terhalang oleh ilusi-ilusi yang sebenarnya membuat kita terhambat untuk melangkah menuju kesuksesan. Gejala-gejala
mental block tersebut antara lain: (1)suka mengeluh; (2)memiliki virus perusak; (3)konflik batin; (4)tidak ada perubahan
kehidupan, dan (5)tidak mau mengambil resiko. Mental block tersebut terjadi disebabkan, antara lain: (1)karena pandangan
yang buruk terhadap kemampuan diri sendiri (bad self image); (2)pengalaman yang buruk (bad experience); (3)lingkungan yang
buruk (bad environment); (4)rujukan yang buruk (bad reference); dan (5)pendidikan yang buruk (bad education). Virus perusak
tersebut, antara lain: suka menyalahkan orang lain, mencari-cari alasan, mencari-cari pembenaran, mengedepankan gengsi,
malas, takut mengambil resiko, cenderung menunggu, tidak percaya diri dan buruk sangka.[3] Mental Block yang demikian itu
gejala-gejalanya sudah merata di kalangan masyarakat, bahkan di sekolah, serta erat kaitannya dengan lahirnya sepuluh tanda
zaman yang dapat menghancurkan masa depan bangsa. Hal ini antara lain dapat diselesaikan melalui pendidikan agama.[4]

Keempat, adanya distorsi terhadap pengertian karakter atau akhlak. Karakter atau akhlak sering diartikan sikap atau perilaku
yang sudah mendarah-daging, yang terdiri dari perilaku yang baik dan yang buruk. Orang yang rajin beribadah, shalat
berjama’ah di masjid, berpuasa wajib dan sunnah, menunaikan ibadah haji, suka membaca atau menghafal al-Qur’an,
memberikan tausiyah, tutur katanya lembut dan santun, hormat pada orang tua, tetangga dan sesama, murah senyum, dan
suka berderma dan sebagainya sering disebut orang yang akhlaknya baik. Namun orang yang akhlaknya baik itu ternyata juga
melakukan tindakan dan perbuatan yang tidak terpuji, seperti merusak hutan, melakukan perdagangan ilegal, membungakan
uang, melakukan korupsi, menerima suap, dan bahkan suka berzina. Dengan demikian orang yang dikatakan berakhlak baik itu,
tidak berbanding lurus dengan kemampuan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agama, etika, moral,
budaya dan hukum. Orang yang demikian itu telah mampu melaksanakan perbuatan yang baik (amar ma’ruf),namun belum
dapat menjauhkan atau melarang perbuatan yang buruk (nahyi al-munkar). Dengan demikian, saat ini telah terjadi semacam
distorsi tentang pengertian karakter, sehingga karakter tersebut tidak berhasil mengatasi kerusakan di bidang moral, terutama
yang berkaitan dengan ketidakjujuran.

Kelima, saat ini tengah terjadi praktek hukum transaksional dalam segala bidang kehidupan, yakni bahwa jasa atau barang
yang diterima seseorang harus sebanding dengan uang yang dibayarkan. Keadaan ini bukan hanya dalam bidang ekonomi,
melainkan juga telah merambah ke dalam bidang politik, sosial, pendidikan, bahkan agama.[5] Dalam bidang politik, tujuannya
bukan lagi memperjuangkan cita-cita, atau idealisme yang mencerminkan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara,
melainkan lebih pada kepentingan pribadi, partai, kelompok atau golongan. Dalam bidang sosial, bukan lagi didasarkan pada
semangat tolong menolong yang didasarkan atas kemanusiaan dan keikhlasan, melainkan lebih didorong oleh kepentingan take
and gave. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam kehidupan rumah tangga sebagian artis yang kawin cerai, atau bercerai secara
baik-baik, karena masing-masing pasangan tidak lagi dapat memuaskan secara ekonomi dan finansial. Hukum transaksional
dalam bidang pendidikan misalnya terlihat pada sikap masyarakat yang memandang biaya pendidikan sebagai modal investasi
yang harus kembali dan menguntungkan dengan cara tamatan pendidikan tersebut menjanjikan lapangan pekerjaan yang dapat
memudahkan untuk mendapatkan uang. Akibat dari keadaan yang demikian itu, maka program pendidikan yang tidak
markatable tidak lagi lagi diminati masyarakat. Selain itu biaya pendidikan yang dikeluarkan juga harus diimbangi dengan
tersedianya fasilitas yang lengkap dan baik, pelayanan dosen dan staf administrasi yang memuaskan, dan berbagai kemudahan
lainnya, sesuai dengan biaya yang mereka keluarkan. Pendidikan saat ini tidak lagi mengemban misi pendidikan karakter
bangsa, melainkan lebih cenderung sebagai bagian dari usaha bisnis yang mencari keuntungan, dengan tidak memperhatikan
pendidikan karakter bangsa. Pendidikan saat ini, menurut Fethullah Ghulen, banyak yang melahirkan para lulusan sebagai
“kalajengking yang siap menggigit dengan bisa racunnya yang membahayakan.”[6] Itulah sebabnya tidak mengherankan jika
saat ini, berbagai tindakan kriminal dan pelanggaran hukum, norma agama, dan susila banyak dilakukan di kalangan para
pelajar khususnya dan masyarakat pada umumnya.[7]

Keenam, bahwa rumusan pendidikan karakter bangsa di sekolah saat ini semakin memudar. Beberapa mata pelajar yang
diyakini sebagai bersentuhan dengan pembinaan karakter bangsa, seperti Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Pendidikan
Kewarganegaraan, Pendidikan Budi Pekerti, dan Pendidikan Sopan Santun semakin kurang diminati. Demikian pula pendidikan
agama yang berkaitan dengan pembinaan akhlak mulia, terjebak pada pemberian pengetahuan agama yang bersifat kognitif.
Berbagai mata pelajaran ini digeser oleh mata pelajaran yang berkaitan dengan pengembangan wawasan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta keterampilan yang diarahkan pada dihasilkannya manusia-manusia yang cerdas dan trampil serta kuat hard
skillnya, namun kurang diimbangi dengan mata pelajaran yang terkait dengan pendidikan karakter bangsa yang mengarahkan
pada penguatan soft skill, seperti kejujuran, toleransi, humanis, egaliter, santun, kerja keras, disiplin, bersahabat, dan
sebagainya.

Perumusan pendidikan karakter dalam rangka menjawab tantangan abad ke-21 pada lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar
hingga perguruan tinggi, baik formal maupun non-formal dengan berbagai aspeknya: visi, misi, tujuan, kurikulum, bahan ajar,
metode dan pendekatan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, manajemen dan evaluasi dan lainnya, harus
dirumuskan dengan bertitik tolak pada permasalahan tersebut di atas.[8]

B. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter secara harfiah dapat diartikan merubah atau membentuk watak, perilaku, perangai, tabi’at, dan kepribadian
seseorang sesuai dengan kriteria yang ditentukan.[9] Sedangkan secara esensial pendidikan karakter merupakan upaya untuk
membantu perkembangan jiwa anak-anak baik lahir maupun batin, dari sifat kodratnya menuju ke arah peradaban
manusia[10] yang lebih baik.[11] Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena pendidikan
karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah, tetapi bagaimana menanamkan kebiasaan (habit) tentang hal-hal
yang baik dalam kehidupan, sehingga anak/peserta didik memiliki kesadaran, dan pemahaman yang tinggi, serta kepedulian
dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari.[12]

Pendidikan karakter dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan
karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada
satuan pendidikan.[13] Selain itu pendidikan karakter juga diarahkan untuk mengembangkan kecerdasan moral (building moral
intellegence) atau mengembangkan kemampuan moral anak-anak yang dilakukan dengan membangun kecerdasan moral, yaitu
kemampuan memahami hal yang benar dan yang salah, yakni memiliki keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan
keyakinan tersebut, sehingga orang bersikap benar dan terhormat.[14]
Dengan demikian, pendidikan karakter terkait dengan pemahaman, penghayatan dan sikap terhadap nilai-nilai yang dianggap
luhur yang diwujudkan dalam perilaku baik yang berhubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam. Untuk mewujudkan keadaan
yang demikian pendidikan karakter membutuhkan dukungan pendidikan moral[15], pendidikan nilai (tatakrama, budi pekerti
dan akhlak),[16] pendidikan agama[17] dan pendidikan kewarganegaraan.[18]

Pendidikan karakter bangsa sebagaimana digambarkan tersebut di atas dewasa ini dalam keadaan mengkhawatirkan. Hal ini
antara lain dapat ditujukkan dengan meningkatnya praktek pelanggaran hukum, seperti penyalahgunaan narkoba, melakukan
hubungan seks di luar nikah, praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, tawuran antar pelajaran, konflik sosial, premanisme,
tindakan kekeran, pembunuhan dan lain sebagainya.[19] Keadaan yang demikian menyebabkan kehidupan manusia semakin
tidak nyaman, menimbulkan rasa cemas dan ketakutan, dan semakin mengkhawatirkan tentang masa depan bangsa.

C.Visi, dan Misi Pendidikan Karakter

Visi, dan misi pendidikan karakter pada abad ke-21 ini harus diarahkan pada upaya memperbaiki mental block (penyakit
mental) sebagaimana tersebut di atas.[20] Selain itu pendidikan karakter harus pula diarahkan pada upaya membantu
perkembangan jiwa anak didik dari sifat kodratnya menuju ke arah peradaban yang manusiawi dan baik. Pendidikan karakter
lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena tidak hanya berkaitan dengan masalah benar dan salah, tetapi menanamkan
kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan sebagai bangsa, sehingga peserta didik memiliki kesadaran dan
pemahaman yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai
bangsa.[21]

Pendidikan karakter pada abad ke-21 ini lebih lanjut dapat dipahami sebagai upaya menanamkan, membiasakan,
menyontohkan, dan melatihkan tentang praktek pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang berkaitan dengan
karakter bangsa, sehingga karakter tersebut menjadi jati dirinya, pribadinya, pola pikir, cara pandang, identitasnya, dan
sekaligus kecintaan dan kebanggaannya sebagai bangsa, serta meyakininya, bahwa nilai-nilai karakter tersebut sebagai yang
paling sesuai dengan kehidupan bangsa Indonesia. Nilai-nilai pendidikan karakter bangsa tersebut dijabarkan dan dielaborasi
dari ideologi dan falsafat hidup bangsa Indonesia, Pancasila[22], Undang-undang Dasar 1945, serta berbagai pikiran dan
pandangan yang dikemukakan para tokoh nasional Indonesia yang diakui kredibelitas, loyalitas, komitmen, kecintaan dan
kesungguhannya dalam memajukan bangsa Indonesia.

Melalui berbagai referensi tersebut, karakter bangsa Indonesia dapat dijabarkan, sebagai karakter yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa, ber-Prikemanusiaan Yang Adil dan Beradab; berupaya menjaga dan memelihara Persatuan Indonesia, berpandangan
Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Berupaya mewujudkan
Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia. Dengan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, seorang yang berkarakter bangsa
Indonesia akan menjadi bangsa yang religious, memiliki visi transendental, mengutamakan nilai-nilai moral dan spiritual, di atas
nilai-nilai yang bersifat sesaat dan profan. Dengan ber-Perikemanusiaan, ia akan berupaya mengemban misi humanisasi dan
liberasi, serta menjauhkan cara-cara yang anarkis, kekerasan, dan intimidasi dalam memperjuangkan sesuatu. Dengan jiwa
persatuan Indonesia, ia akan menghargai dan menghormati adanya keragaman (pluralitas) dan menganggapnya sebagai
rahmat, anugerah, dan kekayaan yang harus disinergikan dan dikelola secara arif sehingga menjadi sebuah modal budaya dan
kultural yang amat dahsyat. Dengan sikap Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, ia akan mengedepankan cara-cara yang demokratis, musyawarah dan pendekatan kekeluargaan
yang penuh dengan kesantunan dalam memecahkan berbagai masalah, serta menjauhkan diri cara-cara yang memperlihatkan
hegemonitas dan diktator dalam memecahkan masalah, dan dengan menegakkan Keadila Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,
ia akan memiliki komitmen untuk mensejahterakan rayat Indonesia, serta menghindari cara-cara melakukan monopoli, atau
berbagai tindakan kecurangan yang merugikan bangsa Indonesia.[23]

Selain itu, seorang yang berkepribadian Indonesia juga adalah kepribadian yang mencintai dan bangga terhadap Indonesia
dengan cara mendarma baktikan segenap kemampuannya untuk kemajuan Indonesia. Bersamaan dengan itu, ia juga akan
menampilkan sikap menjagar persatuan dan kesatuan bangsa, memelihata Negara Kesatuan Indonesia, berjiwa Sumpah
Pemuda, yakni cinta tanah air Indonesia, bahasa Indonesia, dan bangsa Indonesia. Upaya ini antara lain diperlihatkan dengan
memajukan kehidupan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, pendidikan, kesehatan bangsa Indonesia dengan berdasarkan pada
nilai-nilai Pancasila. Selain itu juga ditujukan dengan bersedia mengamankan dan membela negara dan bangsa Indonesia dari
infiltrasi dan hegemoni negara-negara asing, baik dalam bentuk politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya. Upaya ini
dilakukan dengan cara menyumbangkan gagasan dan pemikiran, terjun langsung mengatasi masalah tersebut sesuai dengan
bidang, profesi, jabatan, kedudukan dan wewenang yang dimiliki. Selain itu juga dilakukan dengan menunjukkan prestasi dan
kontribusi yang signifikan bagi kemajuan bangsa dan negara.

Pendidikan karakter di abad ke-21 ini juga terkait erat dengan upaya memahami, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai
budaya bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, seperti nilai gotong royong, kekeluargaan, ramah,
santun, toleransi, bersahabat, saling menghargai dan saling menghormati, mengedepankan musyawarah dalam memecahkan
masalah, ta’at menjalankan ajaran agama, dan berbagai nilai nilai yang tumbuh dan berkembang di berbagai daerah di
Indonesia, yang selanjutnya dikenal dengan istilah kebijakan lokal (local wisdom). Berbagai nilai budaya tersebut digunakan
sebagai dasar yang membentuk sikap, pola pikir, paradigma, mindset, cara pandang dan perbuatan seluru bangsa Indonesia.

D.Tujuan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter sebagamaimana tersebut di atas, antara lain ditujukan pada timbulnya sikap dan kepedulian untuk
memerintahkan yang baik dan menjauhi yang munkar. Pernyataan ini menunjukkan, bahwa dalam pendidikan karakter
terdapat pesan yang kuat untuk menghasilkan manusia yang memiliki kesadaran untuk membangun sejarah, kebudayaan dan
peradaban, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para tokoh dunia, atau tokoh bangsa Indonesia di masa lalu.[24] Dengan
demikian tujuan pendidikan karakter bangsa antara lain menghasilkan orang-orang yang memiliki kesadaran historis, kultural
dan civilization (peradaban). Untuk dapat mewujudkan bangsa yang demikian itu, harus disertai pula dengan upaya
menciptakan karakter bangsa yang memiliki tradisi intelektual yang kuat, yaitu karakter yang: (1)mencintai kebenaran (bukan
mencari pembenaran); (2)kejujuran dan orisinalitas; (3)penghormatan pada ilmu; dan (4) sikap kosmopolitan.[25] Tradisi
intelektual ini pernah dipraktekkan ummat Islam di zaman klasik, saat di mana ummat Islam tampil sebagai pemandu
perjalanan sejarah, budaya dan peradaban ummat manusia hampir di seluruh dunia, dalam kurun waktu lebih dari tujuh abad
lamanya.

E.Berbagai Metode dan Pendekatan Pendidikan Karakter

Terdapat sejumlah pemikiran dan gagasan yang berkaitan dengan metode dan pendekatan pendidikan karakter di abad ke-21
di sekolah dan di berbagai lembaga pendidikan lainnya yang diyakini agar membawa kesuksesan. E.Mulyana. misalnya
menyatakan, bahwa kunci sukses pendidikan karakter bangsa di sekolah adalah: (1)pahami hakikat pendidikan katakter bangsa;
(2)sosialisasikan dengan tepat; (3)ciptakan lingkungan yang kondusif, (4)dukung dengan fasilitas dan sumber belajar yang
memadai; (5)tumbuhkan disiplin peserta didik; (6)pilih kepala sekolah ang amanah; (7)wujudkan guru yang dapat digugu dan
ditiru, dan (8)libatkan seluruh warga sekolah. Sedangkan model pembelajarannya adalah dengan (1)pembiasaan;
(2)keteladanan; (3)pembisaan disiplin peserta didik; (4)contextual teaching learning (CTL), (5)bermain peran, dan
(6)pembelajaran partisipatif.[26]

Sejalan dengan itu, ada pula yang memberikan gagasan pendidikan karakter bangsa di sekolah dan lembga pendidikan ini
dengan cara (1)mengajarkan; (2)keteladanan; (3)menentukan prioritas; (4)praksis prioritas, dan (5)refleksi. Cara ini didukung
dengan menerapkan locus pendidikan karakter di sekolah, yang langkahnya adalah: (1)menjadikan sekolah sebagai wahana
aktualisasi nilai; (2)setiap perjumpaan adalah momen pendidikan nilai; (3)wawasan wiyatamandala pada masa orientasi
sekolah; (4)manajemen kelas; (5)penegakan kedisiplinan di sekolah; (6)pendampingan perwalian; (7)pendidikan agama bagi
pembentukan karakter; (8)pendidikan jasmani; (9)pendidikan estetika, (10)menggunakan kurikulum integrated; dan
(11)pendidikan kehendak dan pengalaman.[27]

Strategi lain yang dapat dilakukan dalam pendidikan karakter di abad ke-21 ini adalah dengan cara mencari sebab-sebab
buruknya karakter bangsa tersebut. Abdul Halim Mahmud, mengatakan, bahwa selain sebab yang timbul dari diri sendiri, yakni
pengaruh hawa nafsu yang tidak terkendali, juga karena dari luar, yakni dari mereka yang sengaja menanamkan nilai-nilai yang
bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut bangsa tersebut.[28]

Pendidikan karakter di abad ke-21 dapat pula dilakukan dengan merubah paradigma pendidikan karakter yang lebih substantif.
Yakni bukan karakter yang hanya nampak di permukaan saja, melainkan yang lebih dalam lagi, sebagai sesuatu yang lahir dari
panggilan batin, mengandung dimensi spiritual dan transendental yang berbasis pada iman kepada Tuhan, serta kesadaran
bahwa segala yang dilakukan manusia senantiasa diawasi oleh Tuhan, dan kelak akan dimintakan pertanggung jawabannya di
akhirat nanti. Keimanan yang demikian itulah yang tercermin pada pribadi Nabi Muhammad SAW, Khalifah Umar bin Abdul
Azis, Hakim Syuraih, dan seorang wanita yang bernama Ghamidiah.[29] Mereka itu telah memiliki akhlak yang mulia, seperti
murah hati, santun, toleran, adil, namun jujur dan tegas. Semua itu terjadi, karena selama menjalankan amanah dan
kehidupannya senantiasa merasa diawasi oleh Tuhan. Mereka itu memiliki iman yang efektif dan transformatif, yaitu iman yang
memiliki vibrasi dan resonansi, serta selalu mempengaruhi pola pikir, tindakan dan perbuatannya.
Pembinaan karakter pada abad ke-21 di Sekolah dapat pula dilihat dari cara-cara yang dilakukan bangsa-bangsa lain di dunia
yang tergolong memiliki karakter yang baik, seperti Jepang, New Zealand, Turki, Iran dan sebagainya. Mereka itu terkenal
sebagai bangsa yang saat ini memiliki akhlak dan soft skill yang baik, yang selanjutnya dapat menjaga citra bangsanya, serta
membawa kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan.

Selain itu pendidikan karakter di abad ke-21 dapat pula ditempuh dengan mewujudkan pendidikan yang demokratis dengan
cara memenuhi persyaratannya sebagai berikut. Pertama, praktek pendidikan senantiasa menekankan pada kesetaraan dan
keadilan; Kedua, proses pembelajaran harus berujung pada pengembangan kemampuan kultural pada diri siswa. Kemampuan
ini antara lain berupa kesadaran akan dirinya sendiri, memahami dan menghormati kultur lain, mampu membantu kerjasama
dengan berbagai perbedaan-perbedaan kultur. Masing-masing siswa selaku individu terus diberikan kesempatan untuk
mengembangkan kesadaran identitas etnisnya. [30]

Pendidikan karakte pada abad ke-21 di sekolah lebih lanjut diarahkan pada upaya menumbuhkan etos kerja pribadi Muslim,
yang ciri-cirinya antara lain: (1)memiliki jiwa kepemimpinan (leadership), (2)senantiasa mengintrospeksi diri; (3)menghargai
waktu; (4)tidak pernah merasa puas dalam berbuat kebaikan; (5)mengembangkan hidup hemat dan efisien; (6)memiliki jiwa
kewirausahaan (entrepreneurship); (7)memiliki jiwa bersaing secara sehat; (8)keinginan untuk mandiri; (9) haus pada ilmu
pengetahuan dan pengalaman; (10)berwawasan makro (universal); (11)memperhatikan kesehatan dan gizi; (12)ulet, pantang
menyerah); (13)berorientasi pada produktivitas; dan (14)memperkaya jaringan silaturahmi.[31]

Selanjutnya untuk dapat melaksanakan berbagai metode dan pendekatan pendidikan karakter abad ke-21 di Sekolah dan
lembaga pendidikan lainya dapat pula dilakukan dengan melakukan pembenahan karakter sekolah itu sendiri, atau
pembenahan lembaga pendidikan secara keseluruhan. Sebagaimana diketahui, bahwa sistem persekolahan yang ada saat ini
juga sudah sulit diharapkan untuk mampu melahirkan manusia-manusia yang berkarakter, yang disebabkan karena karakter
sekolah itu sendiri kurang mendukung pendidikan karakter bangsa. Beberapa hal yang dapat diidentifikasi sebagai tidak baiknya
karakter sekolah di antaranya: (1)masih adanya sekolah yang membiarkan terjadinya praktek-praktek ketidak-jujuran dalam
meraih prestasi, seperti membiarkan siswa saling menyontek dalam menjawab soal-soal ujian, atau bahkan memberikan
bocoran soal ujian kepada para peserta didik dengan imbalan sejumlah uang; (2)penentuan hasil evaluasi yang hanya
menekankan segi kognitif, kecerdasan intelektual dan keterampilan, tanpa diimbangi dengan kecerdasan moral dan spiritual;
(3)praktek suap menyuap dan katabelece dalam penerimaan siswa baru; (4)adanya oknum guru yang melakukan pelecehan
seksual dan tindakan kekerasan, (5)tidak adanya kultur dan budaya sekolah yang mendorong tumbuhnya sikap kritis, mandiri,
dan bertanggung jawab, dan (6)bahkan masih ada sejumlah kepala sekolah dan pimpinan perguruan tinggi yang menjadi
tersangka dalam kasus korupsi.[32]

Karakter sekolah yang diharapkan dapat membentuk karakter bangsa tersebut juga dapat dilakukan dengan cara menerapkan
dua hal sebagai berikut. Pertama, dengan menerapkan pendidikan demokrasi dan multikultural di sekolah. Pendidikan
demokrasi adalah suatu proses di mana siswa berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi
kehidupan sekolah. Lewat partisipasi ini, para siswa akan berinteraksi dengan guru dan pendidik yang lain untuk menciptakan
kondisi pembelajaran yang lebih baik. Sedangkan pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memberikan perhatian,
pelayanan, dan toleransi kepada peserta didik yang memiliki berbagai latar belakang, termasuk berbagai strata status sosial
ekonomi. Keberagaman status sosial ekonomi ini merupakan tantangan lain bagi guru. Perhatian dan bantuan guru yang
diwujudkan dalam melaksanakan pembelajaran yang penuh penghayatan akan perbedaan status sosial ekonomi yang ada, akan
sangat besar artinya bagi peserta didik, khususnya peserta didik yang berada pada status sosial ekonomi yang rendah.[33]
Kedua, dengan menerapkan budaya atau kultur sekolah yang kondusif, yaitu berupa penerapan, pembiasaan dan
pembudayaan nilai-nilai luhur, seperti kejujuran, disiplin, etos kerja, berprestasi, menghargai perbedaan, toleransi[34],
berorientasi pada mutu, dan ikhlas.[35] Budaya sekolah ini selain akan menjadi identitas, juga akan menjadi sumber inspirasi,
cognitive frame work (bingkai kerja pemikiran), dan guide values (nilai yang membimbing) yang mengarahkan seluruh
komunitas sekolah, agar secara keseluruhan menjadi pribadi yang berkarakter yang baik, bahkan menjadi great person (orang
yang unggul).

F.Penutup

Pendidikan karakter dalam rangka menjawab tantangan abad 21 bangsa di merupakan hal yang perlu dilakukan. Melalui
pendidikan karakter yang demikian itu, akan dapat dihasilkan kader-kader pemimpinan bangsa yang memiliki komitmen yang
kuat untuk memajukan bangsa dan negara, memiliki identitas yang jelas, dan tidak terbawa arus globalisasi yang cenderung
lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat jangka pendek, hedonistik, individualistik, dan materialistik. Pendidikan karakter
abad ke-21 ini antara lain harus didasarkan pada nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran Islam, Pancasila, Undang-
undangan Dasar 1945, semangat Sumpah Pemuda, pandangan dan pemikiran para pemimpin bangsa yang kredibel, nilai-nilai
yang tumbuh dan berkembang di berbagai kepulauan di Indonesia.

Implementasi pendidikan karakter yang demikian itu saat ini berada dalam keadaan yang kurang kondusif, bahkan dalam
keadaan kritis. Merjalela dan membudayanya berbagai macam tindakan korupsi, konflik horizontal, tawuran antar pelajar,
radikalisme, terorisme, peredaran dan penggunan narkoba, perusakan lingkungan, dan prostitusi, menunjukkan masih belum
berjalannya implementasi pendidikan karakter bangsa di sekolah secara efektif. Keadaan tersebut juga menunjukkan, bahwa
sekolah atau lembaga pendidikan saat ini kurang memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan pendidikan karakter yang
demikian itu, yang disebabkan karena sekolah atau lembaga pendidikan tersebut tidak lagi memiliki karakter yang baik. Selain
itu pendidikan demokrasi, pendidikan multikultural, dan budaya yang unggul (great culture) yang mendukung implementasi
pendidikan pada lembaga pendidikan juga belum tumbuh sebagaimana mestinya.

Guna mendukung implementasi pendidikan karakter dalam rangka menjawab tantangan abad abad 21 yang demikian itu, maka
diperlukan hal-hal sebagai berikut. Pertama, menerapkan pendekatan belajar mengajar yang humanis emanisipatoris, yaitu
metode dan pendekatan yang lebih menekankan pada pemberian contoh (modeling), refleksi, problem solving, pengembangan
wawasan, dan penilaian yang objektif; Kedua dengan melibatkan seluruh unsur yang ada pada lembaga pendidikan; Ketiga,
memperbaiki karakter lembaga pendidikan; Keempat, menerapkan pendidikan demokrasi yang Islami dan Indonesiawi pada
lembaga pendidikan; Kelima, menerapkan pendidikan multikultural pada lembaga pendidikan, dan dan keenam menciptakan
budaya sekolah dan lembaga pendidikan yang mengarah pada dihasilkannya manusia yang unggul (great person) baik secara
fisik (hand), intelektual (head) moral, emosional, sosial dan spiritual (heart) yang didasarkan pada nilai-nilai luhur ajaran Islam
budaya bangsa.

Dengan cara demikian, implementasi pendidikan karakter bangsa di sekoah dan lembaga pendidikan dalam rangka menjawab
tantangan abad ke-21 akan terlihat dalam realitas kehidupan, dan bukan sesuatu yang bersifat teoritis belaka. Untuk itu
pembiasaan, bimbingan, dan teladan merupakan bagian dari strategi implementasi pendidikan karakter di abad ke-21 pada
lembaga pendidikan harus mendapatkan prioritas.

Daftar Pustaka

Abdul Ghofur, Wahyono, Strategi Qur’ani Mengenai Diri Sendiri dan Meraih Kebahagiaan Hidup, (Yogyakarta:Belukar Budaya, 2004), cet.
I.

Alfian, Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia, (Jakarta:LP3ES, 1981), cet. II.

Arief, Armai, Reformulasi Pendidikan Islam, (Ciputat:CRSD Press, 2007), cet. II.

Asmani, Jamal Ma’ruf, Tips Efektif Menjadi Sekolah Berstandar Nasional dan Internasional, (Jogjakarta:Hamoni, 2011), cet. I.

Bush, Tony and Les Bell, The Principles and Practice of Educational Management, ( London:A. SAGE Publications Company, 2002), First
Published.
Fatah, Abdul, Budaya Toleransi dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta:Young Progressive Muslim, 2012), cet. I.

Fuller, Graham E., A World Without Islam, (New York, Boston, London:Little, Brown and Company, 2010), First Edition.

Gulen, Muhammad Fethullah, Islam Rahmatan Lil Alamin, (Jakarta:Republika Penerbit, 2011), cet. I.

----------, Qadar di Tangan Siapakah Takdir atas Diri Kita, (Jakarta:Republik Penerbit, 2011), cet. I.

----------, Cahaya Al-Qur’an Bagi Seluruh Makhluk, Tafsir Ayat-ayat Pilihan Sesuai Kondisi Dunia Saat Ini, (Jakarta:Republika, 2011), cet. I.

---------, Dakwah Jalan Terbaik dalam Berfikir dan Menyikapi Hidup, (Jakarta:Republika, 2011), cet. I.

Hadad, Ismid, (ed.), Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial, (Jakarta:LP3ES, 1981), cet. II.

Hasan, Muhammad Tholchah, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, (Jakarta:Lantabora Press, 2000).

Heriyanto, Husain, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, (Bandung:Mizan, 2011), cet. I.

Hasbullah, Moeflich, Sejarah Intelektual Islam di Indonesia, (Bandung:Pustaka Setia, 2012), cet. I.

Ismail, Faisal, Pijar-pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur, (Yogyakarta:Lembaga Studi Filsafat Islam, 2002), cet. I.

Kamaluddin, Laode M., On Islamic Civilization Menyalakan Kembali Lentera Peradaban Islam Yang Sempat Padam, (Jakarta:Unissula
Republikata, 2010), cet. I.

Khan, Muhammad Waheeduddin, Muhammad Nabi untuk Semua, (terj.) dari buku Muhammad A Prophet for All Humanities,
(Jakarta:Bulan Bintang, 1998), cet. I.
Koesoema A., Doni, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta:Gramedia, 2007), cet. I

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Pendidikan Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2006), cet. I.

Mahmud, Ali Abdul Halim, Akhlak Mulia, (terj.) Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:Gema Insani Press, 1415 H./1995), cet. I.

Mulyasa, H.E., Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta:Bumi Aksara, 2012), cet. II.

Muslich, Masnur, Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta:Bumi Aksara, 2011), cet. I.

Muthahhari, Ayatullah Murthada, Pengantar Epistimologi Islam, (Jakarta:Shadra Press, 2010), cet. I.

Nata, Abuddin, Akhlak/Tasawuf, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2005), cet. I.

---------, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta:RajaGrafindo Persadam 2012), cet. I.

Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta:LkiS Yogyakarta, 2004), cet. I.

Al-Qardaw, Muhammad Yusuf, Iman dan Kehidupan, (terj.)H.A.R.Fakhruddin, dari buku al-Iman wa al-Hayat, (Jakarta:Bulan Bintang,
1986), cet. I.

Rahamn, Yusuf, (ed.), Islam and Society in Contemporary Indonesia, (Jakarta:Interdisciplinary Islamic Studies Program Faculty of
Graduate Studies, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta, 2006), First Edition.

Ramzy, A. Naufal (ed.), Islam dan Transformasi Sosial Budaya, (Jakarta:CV Deviri Ganan, 1993), cet. I.

Sucipto, Hery, Islam Madzah Tengah:Persembahan 70 Tahun Tarmizi Taher, (Jakarta:Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), cet. I.

Tasmara, Toto, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta:Dana Bhakti Wakaf, 1995), cet. I.
Tholhah, Imam, ect, (Team of Reviewers), The Strategic Role of Religious Education in The Development f Culture of Peacem, (Jakarta:
Centre for Research and Development of Religious Education and Religion: Ministry of Religious Affairs of the Republik
Indonesia, 2012), First Edition.

Triwibowo, Darmawan, Gerakan Sosial Wahana Civil Society bagi Demokrasi, (Jakarta:LP3ES, 2006), cet. I.

Young, Grogory G, Membaca Kepribadian Orang, (Jogjakarta:Thingk, 2008), cet. X.

Wahid, Abdurrahman (Gus Dur), Islamku, Islam Anda, Islam Kita:Agama Masyakara Negara Demokrasi, (Jakarta:The Wahid Institute,
2006), cet. I.

--------, Islam Kosmopolitan, (Jakarta:The Wahid Institute, 2008), cet. I.

Walujo, Imam dan Kons, Dialog:Indonesia Kini dan Esok, (Jakarta:Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional, (Jakarta:Leppenas, 1980),
cet. I.

Zamroni, Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural, (Yogyakarta:Gavin Kalam Utama, 2011), cet. I.

Zubaedi, Desin Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta:Prenada Media, 2011), cet. I.
[1] Lihat Mochtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta:Kanisius, 2005), cet. V, hal. 27-32.

[2] Munculnya era reformasi yang menjanjikan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan ternyata tidak banyak mewujudkan
harapan-harapan, terutama dalam hal mengatasi penyakit yang paling kronis diidap bangsa Indonesia, yaitu korupsi. Bukannya
memberantas, era reformasi membuka selubung-selubung mafia korupsi yang parah. Apabila korupsi pada zaman Orde Baru
dilakukan oleh penguasa sentral, pada era reformasi, korupsi dilakikan oleh mafia antardepartemen. Lihat Masnur Muslich,
Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional, (Jakarta:Bumi Aksara, 2011), cet. I, hal. 36; Lihat pula
Moeflich Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual di Indonesia, (Bandung:Pustaka Setia, 2012), cet. I, hal. 305.

[3] Lihat Zubaidi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta:Pranada Media, 2011), cet.
I, hal. 69; Lihat pula Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta:RajaGrafindo
Persada,2006), cet. I. hal.

[4] Tujuan utama pendidikan agama (Islam) ialah keberagamaan peserta didik itu sendiri, bukan terutama pada pemahaman tentang
agama. Dengan perkataan lain, yang diutamakan oleh pendidikan agama Islam bukan hanya knowing (mengetahui tentang
ajaran dan nilai-nilai agama), ataupun doing (bisa mempraktikan apa yang diketahui), setelah diajarkannya di sekolah, tetapi
justeru lebih mengutamakan being-nya (beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilai-nilai agama). Karena itu
pendidikan agama (Islam) harus lebih dioerientasikan pada tataran mora action, yakni agar peserta didik tidak hanya berhenti
pada tataran kompetent (competence), tetapi sampai memiliki kemauan (will), dan kebiasaan (habit) dalam mewujudkan
ajaran dan nilai-nilai agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya Nurcholish Madjid mengatakan: Karena agama
Islam adalah untuk kepentingan manusia guna mewujudkan kebahagiaannya, maka ia mau tak mau harus menyejarah, yakni,
menyatu dengan pengalaman hidup manusia sendiri yang menjelma dalam sejarah. Lihat Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan
Islam, Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2006), cet. I, hal. 147; Lihat pula Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), cet. II, hal. 328

[5] Agama memuat apa yang tidak dapat diketahui manusia, yaitu pesan Tuhan bagi kita, pesan tentang sikap yang diharapkan Tuhan
dari kita terhadap Tuhan sendiri, terhadap manusia lain dan terhadap dunia. Dari agama manusia mendapatkan inspirasi hidup,
aray tujuan hidup, pandangan dan sikap hidup sebagai orang beriman, Agama tidak bertentangan dengan akal budi. Setelah
melalui ketegangan-ketegangan akhirnya disadari, bahwa pandangan-pandangan yang diangkat dari hasil observasi adalah
merupakan kemajuan akalbudi manusia. Dan ternyata hal itu tidak bertentangan bahkan justeru menguntungkan kehiduan
agama. Ketika agama Islam masuk ke kepulauan Nusantara segera ia menemukan lahan untuk mampu mengembangkan
kreativias baru. Banyak unsur-unsur budaya lokal dalam bifang-bidang seperti arsitektur, seni rupa, tari. Musik, sastra, filsafat,
keterampilan, hukum dan lain-lain dibiarkan tetap hidup dengan cara mengislamkannya. Caranya antara lain dengan mencari
padanan-padanan dari unsur-unsur budaya lokal itu dengan nilai-nilai Islam. Tari-tarian, musik, atau seni suara yang
mengandung unsur mantera diganti degan unsur dzikir yang banyak dipakai oleh para sufi dalam berkesenian. Selanjutnya Gus
Dur (panggilan akrab Abdurrahman Wahid) mengatakan: Akan merugikan umat Islam apabila menjadikan agamanya hanya
sebagai komsumsi doktrinitas masyarakat komunal dan membiarkan umat Islam tetap jumud dan tidak bebas menjalani proses
dialektika kehidupan dalam ruangan kehidupan modern, berupa negara bangsa. Akibat dari kejumudan umatnya ini, Islam tidak
akan berperan dalam mewujudkan cita-cita menegakkan keadilan, kemanusiaan, dan demokrasi. Islam hanya akan menjadi
agama orang-orang yang hendak melarikan diri dari wacana bumi, yang tidak memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan
risalah nubuwah. Lihat Subadio Sastrosatomo, Apa Arti Hidup Merdeka, dalam Dialog:Indonesua Kini dan Esok,
(Jakarta:Leppenenas, 1980), hal. 39; Lihat pula A. Naufal Ramzy (Editor), Islam dan Transformasi Sosial Budaya, (Jakarta:CV
Deviri Ganan, 1993), hal. 150; Lihat pula Ismid Hadad (Editir), Kebudayaan, Politik dan Keadilan Sosial, (Jakarta:LP3ES, 1981),
cet. I, hal. 159-161; Lihat pula Ubaidillah Achmad, Gus Dur Pergulatan antara Tradisionalis VS Leberalis, (Jombang: PT Madani
Adil Makmur, 2005), cet. I., hal. 49

[6] Muhammad Fethullah Gulen lahir ada 1938 di sebuah desa kecil di Turki. Ayahnya, Ramea Afandi, dikenal sebagai ulama yang santun,
Ibunya, Rafiah Hanem, dikenal taat dan salihah. Ia banyak melahirkan gagasan dan pemikiran yang mencerahkan umat, penuh
hikmah dan nasehat bagi ummat manusia, agar tidak terpedaya oleh pengaruh kehidupan modern dan globalisasi yang terjadi
saat ini yang cenderung berwatak hedonistik, materialistik, sekularistik. Ia menyebutkan beberapa korban mental dan moral
yang disebabkan pengaruh modernisasi dan globalisasi tersebut, sebagaimana yang terlihat dalam dunia pendidikan saat ini.
Lihat Fethullah Gulen, Dakwah Jalan Terbaik dalam Berpikir dan Menyikapi Hidup, (Jakarta:Republika Penerbit, 2011), cw=et. I.;
Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, Menjawab Pertanyaan dan Kebutuhan Manusia, (Jakarta:Republika Penerbit, 2011), cet. I,; Qadar
di Tangan Siapakah Takdir atas Diri Kita? (Jakarta:Republika Penerbit, 2011), cet. I.Cahaya Al-Quran bagi Seluruh Makhluk, Tafsir
Ayat-ayat Pilihan Sesai Kondisi Dunia Saat ini, (Jakarta:Republika Penerbit, 2011), cet. I.

[7] Dalam beberapa bulan terakhir ini, berbagai mass media cetak, elektronik, dan lainnya banyak mengangkat tema tentang berbagai
tindakan dan perilaku menyimpang, melanggar hukum, dan mengganggu ketertiban masyarakat, seperti tawuran antara pelajar
di kota-kota besar, bahkan hingga ke daerah dengan menelan korban jiwa, meningkatnya penggunaan obat-obat terlarang,
geng motor, seks bebas, dan berbagai perilaku menyimpang lainnya.

[8] Pemetaan terhadap berbagai masalah yang terkait dengan permasalahan menurunnya atau semakin buruknya karakter bangsa
seharusnya didasarkan pada penelitian yang kredibel, objektif, komprehensif dan aktual. Dengan cara demikian permasalahan
moral tersebut dapat dipetakan faktor-faktor penyebabnya, dan sekaligus dapat ditawarkan solusi atau cara untuk
memecahkannya.

[9] Para ahli pendidikan pada umumnya sepakat, bahwa karakter seseorang dapat dirubah atau dibentuk melalui kegiatan pendidikan.
Pendidikan yang baik akan menyebabkan karakter seseorang menjadi baik, dan pendidikan yang buruk akan menyebabkan
karakter seseorang menjadi buruk. Kesimpulan ini didasarkan pada fakta, bahwa terdapat bangsa-bangsa di dunia ini yang
karakternya baik dan karakternya buruk yang disebabkan karena pendidikan yang mereka terima, baik di rumah, di sekolah, di
masyarakat: lingkungan, pengalaman, teman pergaulan, dan lain sebagainya. Sejarah mencatat, bahwa Nabi Muhammad SAW
tercatat sebagai Nabi yang sukses dalam membina dan merubah karakter bangsa Arab yang sebelumnya dikenal sebagai yang
suka bertikar, berjudi, meminum khamar, berbuat zina, mempraktekkan riba, memperbudak manusia, mengurangi timbangan,
mengurangi timbangan, bahkan membunuh bayi perempuan. Mereka itu di dalam al-Qur’an disebut sebagai yang berada dalam
keadaan tersesat (fi dhalalin mubin), berbuat kerusakan di muka bumi (fasadin fi al-ardl), bertengkar (a’daan), dan berada di
tepi jurang api neraka (ala safa khufratin min al-naar). Karakter masyarakat yang demikian itu kemudian berubah menjadi
karakter yang bersaudara, tolong menolong, kasih sayang, simpati, empati, sebagaimana yang diperlihatkan oleh orang Anshar
terhadap kaum Muhajirin. Allah SWT berfirman: Dan orang-orang yang telah menempati Madinah dan telah beriman (Anshar)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. al-Hasyr, 59:9).

[10]Manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Selain memiliki potensi jasmani dan rohani, manusia juga memiliki fithrah kalbu,
akal, dan nafsu. Berbagai potensi ini dapat didorong ke arah yang baik dan ke arah yang burk, tergantung kepada pendidikan
yang diberikan kepada manusia. Lihat Abdul Mujib, Fitrah & Kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologis, (Jakarta:Darul
Falah, 1423 H./2000 M.), cet. I, hal. 36-69; Nuansa-nuansa Psikologi Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2002), cet. III, hal. 77-
91.

[11] Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang mengandung nilai-nilai yang dianggap luhur dan mulia oleh masyarakat, misalnya
anjuran atau suruhan terhadap anak-anak untuk duduk yang baik, tidak berteriak-teriak agar tidak mengganggu orang lain,
berbadan bersih, berpakaian rapih, hormat terhadap orang tua, menyayangi yang muda, menghormati yang tua, menolong
teman, dan seterusnya merupakan proses pendidikan karakter. Lihat H.E. Mulyasa, Manajemen Pendidikana Karakter,
(Jakarta:Bumi Aksara, 2012), cet. I. hal. 1

[12] Lihat H.E.Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, op, cit, hal. 3.

[13] Lihat H.E.Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, loc, cit, hal. 9.

[14] Lihat Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta:Prenada Media Group,
2011), cet. I, hal. 55.

[15] Pendidikan moral adalah pendidikan yang berkaitan dengan pertanyaan apakah aku manusia yang baik atau yang buruk, dan
ditujukan agar kebebasan dan keunikan individu tidak dilanggar, bagaimana memperlakukan orang a lain, cara bertindak.
Pendidikan moral merupakan usaha dari manusia yang dilakukan secara otonom untuk mendefinisikan dirinya sendiri sebagai
orang yang baik melalui keputusan dan perilakunya yang dilakukan secara bebas. Integritas moral seseorang tidak ditentukan
oleh jaringan struktural yang ia alami, melainkan ditentukan oleh keputusan pribadinya yang ia lakukan secara bebas
berdasarkan kesadaran nurani, keputusan yang berdasar suara hati. Inilah yang membuat saja yang berasal dari luar individu
tidak dapat membelenggu kebebasannya, bergantung pada pengalaman hidupnya sejak kecil. Pertumbuhan rerasa moral
seorang individu banyak ditentukan oleh jalinan relasional antara naluri, kehidupan sosial, dan perkembangan akal budi yang
berbaur menjadi satu, membentuk seorang menjadi individu yang demikian itu. Lihat Doni Koesoema A, Pendidikan
Karakter:Strategi Pendidikan Anak di Zaman Global, (Jakarta:Grasindo, 2007), cet. I, hal. 193-198.
[16] Pendidikan nilai adalah sesuatu hal yang menjadikannya disukai, diinginkan, berguna dan berharga, sehingga dapat menjadi
semacam pegangan bagi kepentingan tertentu; sesuatu yang memberi makna dalam hidup, titik tolak, isi dan tujuan;
pendidikan budi pekerti, watak luhur, tatakrama, sopan santun, berhubungan dengan Tuhan dan dengan manusia, nilai yang
berasal dari agama, orientasi hidup, baik luhur dan luhur, serta pantas diperjuangkan, mengenal, menyadari, menghayati dan
aplikasi etis. Lihat Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter:Strategi Pendidikan Anak di Zaman Global, op, cit, hal. 199.

[17] Pendidikan agama merupakan fondasi yang paling kokoh, kemantapannya paling luhur, kekayaan yang paling tinggi, sumber
kedamaian manusia yang paling dalam. Manusia beragama mempersatukan dirinya dengan realitas terakhir yang lebih tinggi,
yaitu Allah Sang Pencipta, yang menjadi fondasi kehidupan mereka. Yaitu agama yang bukan hanya terjebak pada ritualitas
yang kaku, tetapi maknanya yang dalam, agama yang transformatif dan efektif yang memadukan dimensi ritual, filsafat dan
tasawuf, yakni dimensi kognitif, afektif dan psikomotoriknya. Lihat Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter:Strategi Pendidikan
Anak di Zaman Global, loc, cit, hal. 199.

[18] Pendidikan kewarganegaraan diarahkan pada sebuah proses dimana seorang individu memiliki kesiapan pengerahuan dan perilaku
untuk dapat hidup tertib dan aktif di dalam masyarakat, warga negara yang demokratis, terbuka, aktif, kreatif, bukah hanya
dengan individu, tetapi dengan masyarakat. Lihat Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter:Strategi Pendidikan Anak di Zaman
Global, op, cit. hal. 200.

[19][19] Terdapat sejumlah perbuatan yang menggambarkan rendahnya karakter para siswa di Indonesia. Antara lain tentang tindakan
kekerasan (bullying) di sekolah, seperti siswa yang sering memalak temanya, mengucilkan seorang teman dan memusuhinya,
mengejek dan menghina teman, mengancam teman yang tidak memberikan contekan, mengambil barang teman dengan
paksa, melukai teman secara fisik, mempermalukan teman dan masih banyak tindakan bullying lainnya. Selain itu terdapat pula
sumber kekerasan di sekolah yang disebabkan oleh guru,manajemen sekolah, tata usaha, teman sepermainan, atau bahkan
orang tuanya sendiri, walaupun mungkin kapasitas dan jumlah kekerasan yang disebabkan masing-masing sumber berbeda.
Kekerasan di sekolah bisa terjadi di semua bagian wilayah sekolah, baik di kelas pada saat belajar, kamar mandi, mobil
jemputan, atau bahkan pada saat anak melakukan kegiatan ekstrakurikuler dan KBM lapangan. Lihat Masnur Muslich,
Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisus Multidimensional, (Jakarta:Bumi Aksara, 2011), cet. I, hal.

[20] Lihat Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta:Prenada Media, 2011), cet.
I, hal. 69.

[21] Lihat Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta:Bumi Aksaram 2011), cet. I, hal. 3.

[22] Sebagaimana telah disepakati bersama, bahwa Pancasila adalah Dasar Negara kita, Republik Indonesia. Di samping itu ia juga
merupakan ideologi atau pandangan hidup bersama yang dapat mempersatukan kita bangsa Indonesia yang beraneka ragam
ini dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ia juga merupakan pantulan kepribadian kita bersama, karena Pancasila
memberikan corak atau ciri yang khas kepada bangsa Indonesia yang membedakannya dari bangsa-bangsa lain. Lihat Alfian,
Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia, (Jakarta:LP3ES, 1981), hal. 104

[23] Jika kita telah berbulat hati untuk mengisi Pancasila dan UUD 1945 karena kita yakin, sebagai warganegara, akan kebenarannya,
maka tidak ada pilihan lain, selain memberi bobot yang sesuai kepada MPR/DPR. Betapapun kemungkinan tak sempurnanya
lembaga ini, namun setidaknya ia adalah satu-satunya yang “Syah” yang legitimate, secara konstitusional. Hal ini bukan saja
karena keharusan ideologi dan demi konsensus politik, tetapi juga kemestian yang dipantulkan oleh situasi kita sekarang. Lihat
Ismed Hadad, (Editor), Kebudayaan Politik, dan Keadilan Sosial, (Jakarta:LP3ES, 1981), cet. II, hal. 53; Lihat pula Alfian, Politik,
Kebudayaan dan Manusia Indonesia, (Jakarta:LP3ES, 1981), cet. II, hal. 104-105.

[24] Di dalam sejarah tercatat sejumlah nama yang memiliki sumbangan besar bagi sejarah kehidipan ummat manusia melalui peran
kesejarahan, kebudayaan dan peradaban yang mereka lakukan. Di Indonesia mereka itu anatara lain para ulama karismatik,
seperti dari kalangan ulama:Hasyim Asy’ari, Wahid Hasyim, Saifuddin Zuhri, Wahab Hasbullah; dari kalangan nasionalis:
Soekarno, Hatta, Mohammad Yamin, Amir Syarifuddin, dan lainnya yang pada masanya mereka tergolong sebagai pemuda.

[25] Peran membangun sejarah, kebudayaan dan peradaban sangat jelas ditemui dalam Islam, melalui konsep amar ma’ruf nahi munkar
yang oleh sebagian ulama dikategorikan sebagai fardlu kifayah. Lihat Husain Heriyanto, Menggali Naral Saintifik Peradaban
Islam, (Bandung:Mizan, 2011), cet. I. hal. 68; Lihat pula Graham E. Fuller, A yang mengatakan: Imagine, if you will, a world
without Islam. Nearlu impossible, it would seen, when images and references to Islam dominate our headline, airwaves,
somputer screen, and political debates, dalam World Without Islam, (New York, Boston, London:Little, Brown and Company,
2010), hal.3. Lihat pula Hamid Fahmy Zarkasyi, yang mengatakan: Islam yang diturunkan sebagai al-din, sejatinya telah memiliki
konsep seminalnya sebagai peradaban, karena kata al-din, berarti peradaban, dalam arikelnya :Ikhtiar Membangun Kembali
Peradaban Islam yang Bermartabat, dalam Laode M. Kamaluddin, On Islamic Civilization, Menyalakan Kembali Lentera
Peradaban Islam Yang Sempat Padam, (Jakarta:Republikata, 2010), cet. I, hal. 13-

[26] PendidikanLihat H.E.Mulyana, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta:Bumi Aksara, 2011), cet. II, hal. 165-189.

[27] Lihat Doni Koesoema A. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta:Gramedia, 2007), cet. I, hal. 222-
268.

[28] Lihat Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (terj.)Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta:Gema Insani, 1415 H./1995), cet. I, hal. 96-97.
Dari sudut pandangan ajaran Islam, pendidikan karakter lebih diarahkan pada upaya preventif atau membentengi diri dengan
hal-hal yang dapat mencegah berbagai gangguan moral. Yaitu dengan cara mengenal diri dan mengakui kekeliruan dengan cara
bertaubah, uzlah, sabat dan zuhud, serta dengan cara mengenal penyakit diri, yaitu namimah, bakhil, hasad, ghibah, riya, ujub,
marah, zalim, bahaya lidah, ashhabiyyah, angan-angan kosong. Caranya dengan melakukan penataan diri: pendidikan hati,
mengenal strategi iblis, telinga yang fungsional, amar ma’ruf nahi munkar dan amal saleh. Lihat Wahyono Abdul Ghour, Strategi
Qur’ani Mengenal Diri Sendiri dan Meraih Kebahagiaan Hidup, (Yogyakarta:Belukar Budaya, 2004), cet. I, hal. 95-120.
[29] Nabi Muhammad SAW diakui oleh Allah SWT dan para malaikat sebagai orang yang paling baik akhlaknya dan paling sukses dalam
perjuangannya dibandingkan para Nabi lainnya serta para pemimpin dunia lainnya. Demikian pula Khalifah Umar bin Abdul Azis,
salah seorang khalifah dari Bani Umayyah dikenal sebagai khalifah yang paling adil dan jujur serta berhasil mensejahterakan
rakyat dalam tempo tidak lebih dari tiga tahun. Demikian Hakim Syuraih terkenal sebagai hakim yang jujur, tegas dan berani,
sehingga berani memvonis Khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai yang kalah dalam persidangan perkara baju besi dengan orang
Yahudi; dan wanita al-Ghamidiyah yang dengan rela mengakui kekhilafannya bersalah melakukan perzinahan dan siap untuk
dihukum rajam sampai mati. Lihat Yusuf al-Qardawi, al-Iman wa al-Hayat, (terj.). H.A.R.Fakhruddin, Iman dan Kehidupan,
(Jakarta:Bulan Bintang, 1987), cet. I, hal. 89-102; Lihat Muammad Muhammad Waheeduddin Khan, Muhammad a Prophet for
All Humanities, (Jakarta:Bulan Bintang, 1998), cet. I, hal. 19-25.

[30] Lihat Zamroni, Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural, (Yogyakarta:Gavin Kalam Utama, 2011), cet. I, hal. 34; Lihat
pula Reformulasi Pendidikan Islam, (Ciputat:CRSD Press, 2007), cet. II, hal. 83-89; Muhammad Tholchah Hasan, Islam dalam
Perspektif Sosio Kultural, (Jakarta:Lantabora Press, 2000), cet. II, hal. 240;

[31] Lihat Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta:Dana Bhakti Wakaf, 1995), cet. II, hal. 29-62

[32] Lihat Darmaningtyas, Pendidikan Rusak-rusakan, (Jakarta:Kompas, 1992), cet. I, hal. 89; Lihat pula Abdurrahman Wahid, Islamku,
Islam Anda, Islam Kita, (Jakarta:The Wahid Institut, 2006), cet. I, hal. 223; Lihat pula Zamroni, Pendidikan Demokrasi pada
Masyarakat Multikultural, (Jakarta:Gavin Jalam Utama, 2011), cet. I, hal.

[33] Lihat Zamroni, PendidkanDemokrasi pada Masyarakat Multikultural, (Jakarta:Gavin Kalam Utama, 2011), cet. I, hal 128

[34] Pengertian dasar tentang toleransi ditegaskan oleh United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO)
sebagai sikap saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan
berekspresi, dan karakter manusia. Dalam Islam toleransi diartikan sebagai tasamuh al-Islam yang mengandung arti kemurahan,
pengampunan, kasih sayang, dan perdamaian. Lihat Abdul Fatah,Budaya Toleransi dalam Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam, (Ciputat:Young Progressive Muslim), 2012, hal. 8-19; Lihat pula Team of Reviewers, The Strateguc Role of Religious
Education in the Development of Culture og Peace, (Jakarta:Centre for Research and Development of Religious Education and
Religion, Ministry of Religion Affairs of Republic of Indonesia, 2012), First Edition, p.443-460; Lihat pula Hery Sucipto, Islam
Madzhab Tengah, Persembahan 70 Tahun Tarmidzi Taher, (Jakarta:Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), cet. I, hal. 188-191.

[35] Di sekolah diperlukan contoh dan teladan dari kalngan guru, sebagai seorang yang menjadi panutan para siswa. Semakin rendah
jenjang pendidikan, semakin penting keteladanan dari pendidik. Keteladanan ini bukan artifisial atau dibuat-buat, melainkan
sudah menjadi bagian perilaku atau kebiasaan guru, khususnya perilaku pendidik dalam interaksi dengan siswa di kelas-kelas,
atau sering disebut dengan the hidden curriculum. Lihat Zamroni, Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural, op, cit,
hal. 50-51; Lihat pula Muhammad Tholchah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural, (Jakarta:Kantabora Press, 2000), cet.
II, hal.12-19.

Anda mungkin juga menyukai