Anda di halaman 1dari 11

METAFISIKA KEHADIRAN

(AKU “AJEKTIF KOMUNITER”, “KOMUNIKATIF” DAN “BEING”


THOMAS AQUINAS)

Erwin
STFT Widya Sasana Malang

ABSTRAK

Saya meletakkan fokus studi ini pada Aku “Ajektif Komuniter”, “Komunikatif” dan “Being”
Thomas Aquinas. Aku selalu berhubungan erat dengan tubuh. Aku tanpa tubuh, berarti Aku
bukanlah manusia. Tubuh pertama-tama adalah kehadiran. Di dalam penelitian ini, saya
menggunakan metode kepustakaan. Dalam studi ini, saya medapatkan temuan bahwa, ajektif
komuniter tidak berada untuk suatu hal yang sifatnya eksklusif melainkan inklusif. Aku ada
karena aku berkomunikasi. Tanpa komunikasi dengan sesamaku, berarti aku tidak mengindahkan
keberadaanku atau kehadiranku. Aku berusaha untuk menghadirakan diri dalam kebersamaan
dengan orang lain. Dengan adanya Aku beraktivitas, maka Aku hadir. Kehadiran menjadi sangat
penting, karena kehadiran merupakan eksistensiku. Menurut Aquinas, yang ada (being) adalah
apa yang mengada. Ide being sudah melekat dalam diri kita. Ide-ide lain seperti ilmu
pengetahuan, kuantitas, juga metafisika merupakan tahap-tahap dalam menjelaskan being. Ide
being sudah ada dalam diri Aku, artinya ide being, ada dalam diri manusia secara original.

Kata kunci: Aku, Ajektif Komuniter, Komunikatif, Being (yang ada, ada, hadir)

A. Aku (Aku-tubuh)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Aku adalah kata ganti orang pertama yang berbicara
atau yang menulis (dalam ragam akrab); diri sendiri; saya. 1 Jadi, Aku bukanlah orang lain, Aku
adalah diriku sendiri. Aku tidak akan berbicara atau menulis Aku sebagai orang lain. Aku adalah
yang ada. Armada Riyanto, CM, dalam bukunya yang berjudul Relasionalitas (Filsafat Fondasi
Interprestasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) mengatakan bahwa,

“Terminologi “Aku” hanya mungkin oleh karena tubuh. Manusia sejauh dalam
eksistensi dirinya, dengan segala pengalamannya, hadir dalam tubuhnya.
Seandainya “tanpa” tubuh, pastilah dia bukan manusia, bukan subjek (dari
sendirinya), dan tidak bisa menjadi tema penelitian ilmu sosial.” 2

1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi IV (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2016), 20.
2
Armada Riyanto, Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interprestasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) (Yogyakarta:
Kanisius, 2018), 227.
Dari kutipan di atas, dapat diketahui bahwa Aku selalu berhubungan erat dengan tubuh. Aku
tanpa tubuh, berarti Aku bukanlah manusia. Di sini dapat dilihat bahwa eksistensi dari Aku,
memiliki ketergantungan pada tubuh. Tubuh merupakan perwujudan dari Aku. Aku memiliki
pengalaman hidup selalu berkaitan dengan tubuh. Dalam kehidupan sehari-hari, Aku dan tubuh
tidak dapat terpisahkan. Jadi Aku dan tubuh adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
atau terpisahkan.

Aku-tanpa-tubuh adalah kemustahilan bahwa ia adalah manusia. Aku-tubuh merujuk pada


eksistensi diri sebagai manusia. Aku-tanpa-tubuh adalah bukan manusia. Oleh sebab itu, Aku
yang tidak bertubuh tidak dapat diakui atau dikatakan sebagai Aku. Aku “yang lain” bukanlah
Aku dalam terminology “Aku”. Jadi, Aku hanya dapat mengakui bahwa itu Aku, jikalau itu
merupakan diriku dan tubuhku.

Armada Riyanto, CM mengatakan, “Tubuh pertama-tama adalah kehadiran. Karena


kehadiran, segala pengalaman manusia bertumpu pada tubuh.” 3 Dari pernyataan tersebut, dapat
ditarik kesimpulan bahwa tubuh merupakan tanda kehadirian dari seseorang, tanpa adanya tubuh
berarti orang tersebut tidak hadir. Hal tersebut dapat dipahami dengan contoh sederhana seperti;
Tubuh (Ben) tidak berada atau tidak hadir di dalam kelas Metafisika, berarti Ben tidak hadir,
walaupun ia adalah ada, tetapi berada di tempat lain. Dari contoh tersebut, dapat dipahami bahwa
tubuh pertama-tama adalah kehadiran. Bagaimana kehadiran merupakan hal yang pertama-tama
dari tubuh? Hal tersebut dapat dipahami dengan mengerti terlebih dahulu apa yang dikatakan
oleh Armada Riyanto, CM bahwa segala pengalaman manusia bertumpu pada tubuh. Oleh sebab
itu, pengalaman manusia menjadi ada karena adanya tubuh. Adanya pengalaman bersumber dari
tubuh. Jadi, tubuh manusia adalah sumber dari pengalaman. Karena tanpa tubuh, manusia tidak
mungkin ada dan tidak mungkin memiliki pengalaman. Sosialitas “Aku” adalah karena
tubuhnya.4

Armada Riyanto, CM dalam bukunya yang berjudul Relasionalitas (Filsafat Fondasi


Interprestasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) mengatakan bahwa,

“Dalam makna “Aku”-tubuh, di sini tidak dibedakan seakan-akan manusia itu


terdiri dari dua, yaitu tubuh dan jiwa. Bukan. “Aku” sebagai subjek, dan secara
konkret sebagai manusia yang memiliki pengalaman, merupakan manusia yang
men-tubuh atau mem-badan. Manusia bukan terdiri dari tubuh dan jiwa,
melainkan manusia adalah tubuh yang men-jiwa dan jiwa yang men-tubuh.
Artinya, kesatuan tubuh dan jiwa merupakan kesatuan natural (kodrati)
menyusun manusia sebagai subjek.”5

3
Ibid., 227.
4
Ibid., 227.

5 ?
Armada Riyanto, Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interprestasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) (Yogyakarta:
Kanisius, 2018), 228.
Dari pernyataan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Aku-tubuh tidaklah dibedakan,
yang mana secara harafiah seakan-akan manusia itu terdiri dari dua hal yang ada dan berbeda.
Aku merupakan subjek dan hal tersebut juga berarti Aku sebagai manusia yang memiliki
pengalaman dan Aku yang men-tubuh. Manusia bukanlah being yang terdiri dari dua substansi
antara tubuh dan jiwa, melainkan manusia adalah tubuh yang men-jiwa dan jiwa yang men-
tubuh.

Tubuh dan jiwa manusia merupakan kesatuan natural yang menjadikan manusia sebagai
being subjek. Jadi, tubuh dan jiwa tidak dapat dipisahkan. Tubuh dan jiwa adalah penyusun
manusia. Manusia dikatakan manusia karena memiliki tubuh dan jiwa. Tentang manusia,
Armada Riyanto, CM dalam bukunya yang berjudul Menjadi-Mencintai (Berfilsafat Teologis
Sehari-hari) mengatakan bahwa,

“Manusia memiliki badan atau tubuh. Badan itu sebuah materi seperti layaknya
materi lain. Ia bisa luka, bisa hancur, bisa juga “ditembel” meski tidak
sepenuhnya sempurna. Tetapi badan Manusia juga berbeda dengan materi yang
lain. Badan manusia mengatakan kehadiran. Badan itu mencetuskan “diri”
Manusia yang menghidupinya. Bukti mengenai kebenaran ini ialah ketika
Manusia mati tubuhnya dihormati. Di hadapan tubuh seseorang, kita seolah
tidak bisa bertindak lain kecuali menghormatinya, kata filsof Levinas. Dan,
apabila kita bertindak sebaliknya dengan menciderainya, kita disebut
melakukan perbuatan yang melawan perikemanusiaan. Maka, tubuh mewakili
kemanusiaan.”6

Dari pernyataan di atas, semakin menegaskan bahwa Aku-tubuh merupakan tanda kehadiran.
Tubuh menjadikan adanya “diri” Manusia yang menghidupinya. Dengan tubuh itulah Manusia
dapat mengatakan “Aku” sebagai pernyataan dari eksistensi diri. Dengan demikian, tidak
terbantahkan lagi bahwa Aku-tubuh merupakan “Aku” subjek.

B. Aku Ajektif Komuniter

Armada Riyanto, CM menjelaskan dengan baik tentang Aku Komuniter (Ajektif). Dalam
buku Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interprestasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) ia
mengatakan bahwa,

“Aku manusia memiliki kebenaran kodrati bahwa dia hidup, menjadi bagian
dari komunitasnya. Tidak ada manusia yang kita maknai dirinya “sendirian”,
dalam maksud tidak memiliki komunitas. Bahkan seorang yang disebut “the
Last Mohicans” pun diatribusikan dirinya yang terakhir dari komunitas
kelompoknya, suku Mohicans.”7

6
Armada Riyanto, Menjadi-Mencintai (Berfilsafat Teologi Sehari-hari) (Yogyakarta: Kanisius, 2017), 5.

7
Armada Riyanto, Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interprestasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) (Yogyakarta:
Kanisius, 2018), 232.
Dari pernyataan di atas, kita dapat memahaminya bahwa “Aku” adalah bagian dari
komunitas. Aku sebagai bagian dari komunitas merupakan kebenaran kodrati sebagai manusia.
Manusia pun tidak dapat dipisakhan dari unsur kodrati tersebut. Armada Riyanto, CM
menjelaskannya tentang hal ini dengan sangat baik, ia memberikan contoh bahwa seseorang itu
tidak dapat dipisahklan dari kebenaran kodratnya sebagai bagian dari komunitas meskipun
seseorang tersebut merupakan orang terakhir dari sukunya. Kita dapat memahaminya dengan
pengertian yang lebih luas, bahwa seseorang bisa saja menjadi yang terakhir dalam sukunya,
tetapi ia adalah manusia. Aku adalah bagian dari manusia yang lain. Salah satu komponen
penting dalam memahami framework “Aku” ialah bahwa eksistensiku memiliki “ajektif”, yang
menjelaskan siapa aku, yaitu komuniter. 8

Sebagai manusia, Aku tidak dapat menyangkal atau tidak mengakui akan kodrat natural
yang melekat pada Aku sebagai makhluk yang berkomunitas (komuniter) atau sebagai makhluk
sosial. Keberadaan Aku sebagai makhluk komuniter menjadikan Aku sebagai individu yang
berada di antara individu yang lain. Meskipun berbeda, tetapi hakikat sebagai manusia tetap
sama dan ada. Aku adalah yang ada yang berkomunitas.

Dalam buku Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interprestasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen)
Armada Riyanto, CM mengatakan bahwa,

“Konsep ajektif komuniter ini turut menjelaskan mengapa kelompok minoritas


kerap mengalami penderitaan; sementara kelompok mayoritas dengan mudah
menegaskan dominasi kekuasaannya. Ajektif komuniter mengurai bahwa
manusia adalah dia yang keberanian dan kecemasannya kerap difondasikan
pada banyaknya keanggotaan dalam komunitas kelompoknya.”9

Dari hal di atas, Armada Riyanto, CM mencoba untuk menjelaskan sebab dan akibat serta
dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari konsep ajektif komuniter. Hal tersebut terjadi karena
merasa kelompoknya adalah kelompok yang besar atau menjadi kelompok yang mayoritas dari
sekian jumlah kelompok yang ada. Dengan adanya kelompok yang mayoritas, menimbulkan
perasaan berkuasa dan ingin menguasai kelompok yang kecil, hal tersebut dapat berakibat
adanya penindasan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas.

Ada banyak hal yang menjadi pemicu dari sikap atau tidakan kenlompok mayoritas menjadi
kelompok yang menindas minoritas. Beberapa hal tersebut ialah; Pertama, kelompok minoritas
memiliki anggota-anggota yang bersifat unggul sehingga menimbulkan iri hati dari kelompok
mayoritas. Iri hati tersebut berlanjut menjadi perasaan ingin menghancurkan yang minoritas
sehingga kualitasnya tidak menjadi saingan bagi kelompok mayoritas. Kedua, adanya kesatuan
dan kekompakan yang terjadi dalam kelompok minoritas, sehingga kelompok mayoritas merasa
terancam sehingga perlu untuk menghancurkan persatuan yang terjadi di dalam kelompok
minoritas. Ketiga, kelompok minoritas mayoritas merasa berhak untuk mengontrol klompok
8
Ibid., 232.
9
Ibid., 233.
minoritas. Dari tiga hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa adanya dapak negatif dari konsep
ajektif komuniter. Namun, ajektif komuniter juga dapat menguraikan mengapa manusia memiliki
komitmen kesetiaan yang mencengangkan terhadap komunitasnya.10

Armada Riyanto, CM mengatakan, “Ajektif komuniter merupakan framework “Aku”, sebab


komunitas identik dengan Aku.”11 Dengan menyatakan bahwa ajektif komuniter merupakan
bagain dari framework Aku, Armada Riyanto, CM ingin mengatakan bahwa Aku merupakan
bagian dari kelompok. Aku tidak dapat dipisahkan dari adanya kelompok. Di sini, Aku identik
dengan kelompok dan kelompok identik dengan Aku. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa Aku
dan kelompok merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan karena keduanya memiliki
keterkaitan yang erat dan tidak terpisahkan. Tetapi, ajektif komuniter bukanlah puncak dari
pengalaman eksistensi “Aku” (manusia). Sebab, sejauh “ajektif”, itu bukan satu-satunya ajektif
dari eksistensi manusia.12

Armada Riyanto, CM menyadari betul bahwa ajektif komuniter bukanlah puncak dari
pengalaman eksistensi dari “Aku”. Karena, jika komuniter dinyatakan sebagai ajektif, maka
ajektif dalam komuniter bukanlah satu-satunya ajektif dari eksistensi manusia. Kemudian ia
membuat kesimpulan dengan mengatakan bahwa,

“Dengan kata lain ajektif komuniter tidak dimaksudkan untuk eksklusif,


melainkan inklusif. Manusia Indonesia sejauh dirinya meng-Indonesia memiliki
“ajektif komuniter” yang tidak menyisihkan siapa pun berdasarkan artifisialitas
sosial. Satu-satunya ajektif komuniter “Aku” adalah keindonesiaan itu
sendiri.”13

Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa ajektif komuniter tidak berada untuk suatu
hal yang sifatnya eksklusif melainkan inklusif. Karena ajektif komunniter bersifat yang ada
berada di dalam kelompok dan yang ada tidak dapat dipisahkan dari kelompok karena ia
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kelompok. Yang ada tidak dapat berdiri sendiri,
meskipun yang ada merupakan orang terakhir dari kelompoknya, tetapi ia merupakan bagian dari
kelompok yang lain, kelompok manusia yang lebih besar.

C. Aku Komunikatif

Komunikasi dengan sesamaku merupakan usahaku dalam membangun komunikasi antar


subjek. Dalam buku Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, dan
Fenomen) yang ditulis oleh Armada Riyanto, CM, mengatakan bahwa,

10
Armada Riyanto, Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interprestasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) (Yogyakarta:
Kanisius, 2018), 234.
11
Ibid., 234.
12
Ibid., 235.
13
Ibid., 245.
“Karena “tubuh” atau “badan-nya”, manusia adalah subjek yang
berkomunikasi. Komunikasi dari manusia bukan sekadar disimak dalam
kaitannya dengan opini atau apa yang dikomunikasikan. Manusia dengan
badanya adalah manusia yang berkomunikasi. Kedipan mata atau gerakan bibir
yang sebentar atau lambaian tangan adalah contoh-contohnya bahwa itu bukan
sekadar bagian tubuh yang bergerak, melainkan itu adalah bentuk-bentuk
komunikasi diri.”14

Dari pernyataan di atas, Aku menyadari bahwa di dalam komunikasi dengan sesamaku, ada
subjek yang saling berkomunikasi atau berinteraksi. Aku menyadari bahwa relasiku dengan
sesamaku selalu ada komunikasi. Komunikasi ingin menunjukan bahwa selalu ada yang Aku
dapat dalam hidup berelasi dengan orang lain (sesamaku). Relasi antar subjek ini
menghantarkanku pada pengalaman dan pembelajaran hidup. Aku dapat belajar pengalaman
hidup dari sesamaku tanpa harus terlebih dahulu melakukan sesuatu untuk memiliki pengalaman
hidup yang dapat dijadikan pelajaran.

Ketika Aku berkomunikasi dengan sesamaku, dan dalam komunikasi tersebut Aku dan
sesamaku berbagi pengalaman hidup. Aku dapat belajar dari hidupnya, baik itu pengalaman
hidup yang sukses (baik) maupun pengalaman hidup yang gagal (kurang baik). Dalam
komunikasi ini pula, sesamaku dapat belajar dari pengalaman hidupku. Disinilah komunikasi
antar subjek dibangun.

Aku bukanlah guru bagi sesamaku, tetapi Aku adalah sesama yang berjuang bersama
sesamaku untuk mencapai kebijaksanna dalam hidup. Dengan bijaksana, Aku dan sesamaku
dapat saling memberikan perubahan hidup dan pencerahan bagi keberadaanku maupun
keberadaan sesamaku. Perubahan dalam hidup merupakan sesuatu yang ingin dicapai. Kenapa
hal tersebut ingin dicapai? Karena perubahan dalam hidup merupakan tanda dari kebaikan
komunikasi.

Dalam komunikasi dengan sesamaku, komunikasi yang Aku dan sesamaku lakukan ialah
komunikasi yang berlangsung sepadan, sederajat dan semartabat. Komunikasi yang Aku dapat
dari sesamaku maupun yang sesamaku dapat dariku selalu dapat memberikan perubahan dalam
hidupku maupun hidupnya. Walupun pengalaman hidup penderitaan yang menjadi pembicaraan,
terlebih lagi jika pengalaman hidup yang membahagiakan. Armada Riyanto, CM mengatakan,
“Saat Aku dan sesamaku berkomunikasi, saat itu tercipta komunikasi, saat itu tercipta ‘kami’
(we). Kami bukan perpaduan antara Aku dan sesamaku, melainkan ‘keberadaan bersama’. Dan,
kebersamaan itu menyusun komunitas.”15 “Aku” merupakan Being-with (Mengada-dengan) yang

14
Armada Riyanto, Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interprestasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) (Yogyakarta:
Kanisius, 2018), 229.
15
Armada Riyanto, Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) (Yogyakarta:
Kanisius, 2018), 312.
lain, yang merupakan gambaran komunikatif. Kapasitas komunikatif “Aku” dengan kata lain
merupakan sebuah kodrat (Natura).16

Aku sebagai pribadi yang ada bersama pribadi yang lain ingin menyatakan bahwa Aku tidak
sendirian, Aku adalah subjek yang hidup bersama dengan orang lain dan dalam hidup tersebut
Aku berkomunikasi dengan yang lain. Armada Riyanto, CM, dalam buku relasionalitas,
menyatakan bahwa,

“Komunikasi menampilkan kenyataan bahwa “Aku” adalah subjek. Jika


setiap manusia adalah Being yang komunikatif, setiap orang adalah subjek
dalam komunikasi. Keluhuran dalam komunikasi manusia ini merupakan
martabat yang tidak dapat dicabut darinya. Setiap upaya pembungkaman sejauh
merupakan tindakan sepihak, bukan hanya pelanggaran terhadap hukum
melainkan juga merupakan tindakan perendahan martabat kodrat manusia. 17
Kodrat komunikatif manusia melahirkan bahasa. Bahasa adalah temuan paling
indah dari manusia. Bahasa tidak hanya memungkinkan elaborasi tubuh dalam
komunikasi, tetapi juga merepresentasikan kebenaran-kebenaran realitas.
Bahasa aalah juga representasi dari rasionalitas sekaligus relasionalitas.” 18

Dari pernyataan di atas, dapat di pahami bahwa dalam komunikasi dapat menampilkan
sebuah kenyataan yang menyatakan bahwa “Aku” adalah subjek. Hal tersebut bertalian dengan
manusia secara keseluruhan, jadi jika setiap manusia adalah Being yang komunikatif, maka dapat
ditarik benang merah bahwa setiap orang adalah subjek dalam kehidupan berkomunikasi.
Komunikasi merupakan tanda keluhuran yang ada dalam diri setiap manusia. Keluhuran tersebut
tidak dapat dicabut atau dihilangkan darinya. Komunikasi tidak melulu tindakan “berbicara”,
suatu tindakan “gerakan tangan, kedipan mata, dan lain sebagainya” juga merupakan suatu
komunikasi. Jadi, komunikasi antar subjek dapat dilakukan dengan berbagai cara.

Komunikasi Aku dan sesamaku ialah komunikasi yang saling berinteraksi untuk eksistensi
diri. Komunikasi ini dibangun dalam kehidupan sehari-hari. Aku selalu berkomunikasi dengan
sesamaku dimanapun aku berada. Komunikasi merupakan jalan bagiku (bagi manusia) untuk
eksistensi diri yang mengelola dan menjaga keberadaanku, keberlangsunganku, dan kehadiranku.

16
Ibid., 230.
17
Ibid., 230.
18
Ibid., 231.
Di dalam komunikasiku dengan sesamaku, Aku bukanlah yang menjadi tokoh sentral atau
yang mendominasi dalam komunikasi. Melainkan Aku dan sesamaku ialah dua subjek yang
berada bersamaan tetapi bukan satu. Aku bukan sesamaku, tetapi Aku adalah pribadi yang utuh.
Aku bersama sesamaku membangun komunikasi untuk menunjukkan keberadaanku atau
kehadiranku. Aku ada karena aku berkomunikasi. Tanpa komunikasi dengan sesamaku, berarti
aku tidak mengindahkan keberadaanku atau kehadiranku.
Komunikasi antara Aku dan sesamaku merupakan komunikasi yang saling mengadakan
(tanda kehadiran). Dengan demikaian Aku mengakui kehadiran dari sesamaku dan sesamaku
mengakui dari kehadiranku. Aku berada bersama sesamaku secara bersamaan. Sesamaku
bukanlah bagian dari diriku, melainkan ada secara individu.
D. Aku Being

Dalam buku Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen)
yang ditulis oleh Armada Riyanto, CM, mengatakan bahwa,

“Dalam bahasa Indonesia, being diterjemahkan dengan ada. Tetapi, terminologi


ada tidak memiliki kewibawaan maka yang mendalam sebagaimana
dimaksudkan dalam konteks maksud di atas. Ada-nya manusia yang
dibanggakan oleh Tuhan berbeda dengan sebutan sehari-hari semacam “kursi
itu ada.” Jika kursi itu dikatakan ada, artinya kursi itu tidak hilang. Kursi itu di
tempatnya sediakala. Tetapi, jika dikatakan manusia ada, manusia itu hadir
dengan seluruh dirinya. Kehadiran manusia dalam keseluruhan dirinya hendak
mengatakan sebuah aktivitas.”19

Dari pernyataan di atas, ingin menyatakan bahwa Aku (manusia) adalah mahkluk yang ada
(Being). Kenapa Aku disebut sebagai makhluk Being? Karena Aku ada bersama dengan orang-
orang yang berada disekitarku. Dalam kehidupan sehari-hari, Aku tidak dapat dipisahkan dari
dari relasionalitas. Aku dibentuk menjadi manusia yang selalu membutuhkan orang lain.
Membutuhkan orang lain di sini bukan berarti bahwa saya selalu membutuhkan orang lain
(ketergantungan pada orang lain). Membutuhkan orang lain disini berarti bahwa Aku tidak bisa
hidup tanpa kelompok, karena kodrat sebagai manusia dengan hadir bersama kelompok.
Sebagai yang ada, Aku selalu membutuhkan komunitas. Hidup berkomunitas dengan yang
lain merupakan hal yang sangat penting karena hal tersebut merupakan tanda kehadiranku.
Karena dalam kehidupan berkomunitas, Aku menunjukkan kehadiranku dan menghidupi
hakikatku.

19
Armada Riyanto, Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) (Yogyakarta:
Kanisius, 2018), 203.
Apakah Aku bisa hidup tanpa kelompok? Ya, tentu bisa. Jikalau seseorang tinggal di dalam
gua dan tidak berelasi dengan siapapun. Tetapi hal tersebut merupakan sikap reduktif terhadap
kehadiran dan menciptakan zona isolatif. Manusia tidak bisa dipisahkan dari hakekatnya sebagai
makhluk sosial atau berkelompok. Contoh lain ialah cerita tentang “Tarzan”, Tarzan yang
dirawat oleh sekelompok gorila menjadikanya bertingkah dan berkomunikasi seperti gorila.
Meskipun bertingkah seperti gorila dan berkomunikasi seperti gorila, Tarzan tidak kehilangan
hakekatnya, ia menghadairkan dirinya sebagaimaan ia berada. Dalam kasus Tarzan, juga ingin
manyatakan bahwa manusia (Aku) selalu berusaha untuk bereksistensi.

Contoh Aku sebagai yang ada (Being) dalam konteks kehidupan sehari-hari ialah ketika Aku
hidup bersama dengan orang lain dan membentuk komunitas. Misalnya Aku tinggal (hadir)
dalam komunitas Asrama Putra Katolik, ada (hadir) bersama komunitas Mahasiswa Kalimantan
Barat, ada (hadir) dalam komunitas Mahasiswa STFT Widaya Sasana, ada (hadir) dalam
komunitas Angkatan 2017 STFT Widaya Sasana.
Contoh diatas ingin menunjukkan bahwa Aku hadir dalam kelompok atau komunitas dan
selama hidup, Aku tidak dapat dipisahkan dari kelompok. Karena akan ada kelompok yang baru
seiring berjalannya waktu tanpa menghilangkan kehadiran dari kelompok sebelumnya.

Armada Riyanto, CM dalam buku Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks,
Liyan, dan Fenomen) mengatakan bahwa,

“Aktivitas manusia adalah aktivitas kesadaran dirinya tentang “Aku”. Manusia


itu indah, bukan semata karena dia ada di tempatnya atau dia tidak hilang, tetapi
karena kehadirannya mencetuskan aktivitas ke-“Aku”-annya yang sangat kaya.
Kerap mengejutkan. Tak terduga.”20

Dari pernyataannya tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa, apa yang menjadi aktivitas
manusia merupakan tindakan dalam kesadaran yang penuh terhadap dirinya tentang Aku. Di sini,
juga ingin mangatakan bahwa ke-Aku-an manusia merupakan sebagai tanda kehadiriannya, Aku
tidak hilang. Kehadiran merupakan tujuan utama dari eksistensi Aku. Aku berusaha untuk
menghadirakan diri dalam aktivitasku bersama orang lain. Dengan adanya Aku beraktivitas,
maka Aku hadir. Kehadiran menjadi sangat penting, karena kehadiran merupakan eksistensiku.

E. Aku “Being” Thomas Aquinas

20
Armada Riyanto, Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, dan Fenomen) (Yogyakarta:
Kanisius, 2018), 203.
Mereka yang cukup akrab dengan teks-teks filsafat Aquinas akan segera merasa bahwa
“Esse” atau “Being” (mengada) merupakan terminology kunci dalam metafisikanya. “Tuhan”
didefinisikan olh Aquinas dalam bingkai pengertian “Esse”. Begitu pula, segala sesuatu
dikatakan mempunyai hubungan dengan “Esse”. Karena apa pun yang ada adalah mengada.
perbedaan antara Tuhan dan ciptaan, serta antara ciptaan yang satu dengan ciptaan yang lain
dipahami pula dalam bingkai terminology kunci tersebut. Bgitu pula istilah-istilah dasar seperti
“substansi” dan “aksidens”, “kausalitas” dan “analogi”, dijelaskan oleh Aquinas atas dasar
konsep “Esse”. Oleh karena itu, agar dapat mengerti keseluruhan metafisika Aquinas, agaknya
tidak ada jalan lain yang lbih mmadai daripada mulai berusaha mengerti beberapa pengertian
dasar yang diturunkan dari konsep kunci “Esse”.

Aquinas mengerti istilah “Pengada” (Ens, Being) atas cara yang konkre, yakni apa saja yang
secara spontan dapat ditangkap oleh intelek. 21 Dengan demikian ia menegaskan bahwa “Being”
merupakan hal pertama yang dapat ditangkap oleh intelek; “Being” merupakan objek langsung
dari intelek. Hal itu berarti, apa saja yang dapat dimengerti oleh intelek boleh disebut “Being”.

Jadi, “Being” adalah apa yang ada atau sesuatu yang dapat ditunjuk eksistensinya “di sana”.
Ungkapan “di sana” menunjuk baik pada realitas actual maupun pada pada ide yang hanya
bereksistensi dalam intelek. Dalam batasan itu, secara harafiah “Being” atau “Ens” dimengerti
sebagai sesuatu yang mempunyai ada atau secara lebih tepat “sesuatu yang mengada”. Aquinas
menjelaskan bahasa metafisika mengenai pengada yang ia gunakan. Menurutnya, terminology-
terminologi kunci bahasa metafisika terdiri dari “pengada atau yang ada” (ens) dan “mengada”
(esse).22 Kata “ens” yang merupakan bentuk dari kata kerja “esse” digunakan oleh Aquinas
untuk menyatakan “yang ada” yang konkret (Being).

Menurut Aquinas, yang ada ialah apa yang mengada.23 Definisi ini mengandung dua elemen,
yaitu subjek dan suatu tindakan. Dua elemen tersebut membentuk satu kesatuan utuh secara
tumpang-tindih, sehingga yang ada memuat aktivitas mengada, atau aktivitas mengada menjadi
karakter khusus dari yang ada.

Sama seperti aktus suatu makhluk hidup ialah “hidup” (to live), demikian pula yang ada
adalah sesuatu yang aktusnya ialah ‘mengada’ (to be).24 Dengan ini Aquinas ingin menekankan
bahwa setiap yang ada menerima karakternya yang paling dasar dari aktus mengada. Dengan
kata lain, yang ada dimungkinkan oleh aktus mengada. Kemudian dalam bukunya yang berjudul
Summa Theolgiae, Aquinas menegaskan lagi bahwa secara prinsip, yang ada menyatakan sesuatu
yang secara aktual mengada.25 Berarti yang ada merupakan sesuatu yang berpartisipasi dalam
aktus mengada atau sesuatu yang sedang beraktivitas.

21
Johanis Ohoitimur, Metafisika sebagai Hermeneutika (Jakarta: Obor, 2006), 48.
22
Johanis Ohoitimur, Metafisika sebagai Hermeneutika (Jakarta: Obor, 2006), 48.
23
Ibid., 48.
24
Ibid., 51.
25
Ibid., 52.
Thomas Aquinas mengatakah bahwa, “Being ada dalam manusia.”26 Dalam metafisika kita
kembali ke ide dasar: being. Ide tentang being bersifat innatus. Ide being sudah melekat dalam
diri kita. Ide-ide lain seperti ilmu pengetahuan, kuantitas, juga metafisika merupakan tahap-tahap
dalam menjelaskan being. Ide being sudah ada dalam diri Aku, artinya ide being, ada dalam diri
manusia secara original. Dapat dikatakan dengan cara lain, seseorang tidak dapat berbicara
mengenai being, kalau ia sendiri tidak menemukannya sebelumnya; Aku ingat karena Aku
mengenal atau mengetahuinya dan Aku hadir dalam peristiwa.

Thomas Aquinas juga mengatakan, “Being berada (hadir) di dalam diri saya (Aku).” 27
Kedudukan ontologis dari manusia ialah bahwa ia dapat diterangi oleh akal budi dan inteleknya.
Kemampuan manusia memahami kebenaran dan menginginkan kebaikan mempunyai hubungan
yang erat dengan being. Being menerangi, memberikan informasi kepada pikiran manusia. Being
menjadi aturan dasar atau hukum dasar dalam berpikir dan bertindak. Maksudnya being ada
dalam setiap kegiatan dan kehadiran Aku.

DAFTAR PUSTAKA

Bagus, Lorens. Metafisika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.


Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi IV. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2016.
Ohoitimur, Johanis. Metafisika sebagai Hermeneutika. Jakarta: Obor, 2006.
Riyanto, Armada. Menjadi-Mencintai (Berfilsafat Teologi Sehari-hari), cet. Ke-5. Yogyakarta:
Kanisius, 2017.
Riyanto, Armada. Relasionalitas (Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, dan
Fenomen). Yogyakarta: Kanisius, 2018.

26
Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), 52.
27
Ibid., 53.

Anda mungkin juga menyukai