I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Kegiatan pengusahaan hutan selama ini ternyata telah menyebabkan terjadinya
penurunan baik kuantitas dan kualitas hutan primer (Kuswandi & Murdjoko, 2015) yang
secara langsung bisa berdampak pada kelestarian keanekaragaman dan produksi hutan,
dengan demikian pengelolaan hutan berada pada keadaan kelestarian hasil apabila besarnya
hasil sama dengan pertumbuhannya dan berlangsung secara terus-menerus (Davis dan
Johnson, 1987dalam Wahjono 2002).
Salah satu prasyarat dasar dalam pengelolaan hutan lestari adalah informasi yang
akurat tentang pertumbuhan dan hasil tegakan hutan pada berbagai rejim pengelolaan dan
alternatif silvikultur (Kim-mins, 1997dalam Krisnawati 2008). Untuk mengetahui informasi
yang akurat mengenai pertumbuhan dan hasil tegakan hutan dapat dilakukan melalui
pemodelan, di mana parameter-parameter model diduga berdasarkan data hasil pengukuran
Petak Ukur Permanen (PUP).
Pertumbuhan tegakan hutan merupakan pertumbuhan yang dinamis karena selain
peningkatan dimensi pohon, pertumbuhan juga dipengaruhi oleh berkembangnya pohon-
pohon baru dan pergantian pohon-pohon penyusun tegakan. Pertumbuhan tegakan pada hutan
bekas tebangan dapat dikaji di antaranya melalui pengamatan terhadap dinamika struktur
tegakan
Dalam pengelolaan hutan alam, ada dua kondisi tegakan yang harus diketahui oleh
para pengelola, yaitu struktur tegakan hutan primer (virgin forest) dan struktur tegakan
setelah tebangan (logged-over forest), karena kondisi pertumbuhan tegakan hutan primer
sangat berbeda dengan kondisi pertumbuhan tegakan hutan setelah penebangan. Pertumbuhan
Tegakan hutan primer pada dasarnya merupakan gambaran pertumbuhan tegakan pada
kondisi klimaks secara alami. Sedangkan Pertumbuhan tegakan hutan setelah penebangan
sangat diperlukan sebagai dasar dalam menetapkan perlakuan pembinaan tegakan tinggal,
karena pada kondisi struktur tegakan tertentu harus diperlakukan teknik pembinaan tertentu
pula (Krisnawati dan Wahjono, 1998dalam Wahjono 2002).
Pada Pertumbuhan tegakan hutan alam bekas tebangan, pemodelan struktur tegakan
hutan selain dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan strategi pengaturan hasil
seperti penetapan siklus tebang dan jatah tebangan berikutnya, juga sangat diperlukan sebagai
dasar dalam menetapkan perlakuan silvikultur atau pembinaan terhadap tegakan tinggal
(Volin dan Buongiorno, 1996dalam Muhdin 2011).
Sumber data untuk menganalisis pertumbuhan tegakan pada hutan bekas tebangan
diperoleh dari pengukuran diameter yang dilakukan secara periodik dari petak ukur permanen
(PUP). Ketersediaan informasi pertumbuhan tersebut dapat didukung melalui penyediaan
perangkat pendugaan dengan menggunakan model-model matematis. Saat ini prediksi
pertumbuhan didekati dengan membuat model-model pertumbuhan. Model pertumbuhan
telah banyak digunakan dalam pengelolaan hutan untuk mengetahui potensi tegakan saat ini,
memprediksi hasil pada waktu akan datang, dan untuk memberikan alternatif model
pengelolaan dan pilihan sistem silvikultur yang digunakan, sehingga dapat dijadikan
informasi dalam pengambilan keputusan (Muhdin et al., 2011)
Berdasarkan hal di atas, maka dalam penelitian ini akan disusun model struktur
tegakan horizontal di hutan alam bekas tebangan di IUPHHK-HA PT. Gema Hutani Lestari.
Dengan demikian tersusunnya model ini paling tidak dapat memberikan gambaran
perkembangan tegakan di areal bekas tebangan IUPHHK-HA PT. Gema Hutani Lestari.
Gambar 3.1. Bagan Pembuatan Petak Contoh dan Sub Petak Contoh di Lapangan
III.4. Analisa Data
Analisa data tegakan dilakukan menggunakan program spreadsheet (MS
Excel) yang meliputi:
III.4.1.Pengelompokan Data
Kegiatan pengelompokan data yang dilakukan meliputi pengelompokan
pohon menurut kelas diameter dan kelompok jenis. Dalam penelitian ini, data
dikelompokkan menjadi 17 kelas diameter dengan lebar kelas konstan 10 cm, yaitu
dari kelas diameter 10 cm sampai kelas diameter 180 cm.
Untuk menyederhanakan keragaman jenis yang ditemukan dalam PUP,
dalam penelitian ini dilakukan pengelompokan jenis-jenis pohon menjadi tiga
kelompok, yaitu kelompok jenis dari suku Dipterocarpaceae, Non Dipterocarpaceae,
dan Non Komersial (jenis-jenis yang belum dimanfaatkan secara komersial).
Pengelompokan jenis menjadi Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae juga
telah umum dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, seperti Mendoza et al.
(2000dalam Krisnawati 2008) dan Favrichon dan Kim (1998dalam Krisnawati 2008).
III.4.2.Penyusunan Model StukturTegakan
Model dibangun untuk memahami dan juga untuk memproyeksikan
pertumbuhan dan hasil (Vanclay, 2003). Lebih lanjut dijelaskan bahwa model dapat
dibangun dari petak pengamatan dan petak percobaan. Berbagai teknik telah
dibangun untuk menghasilkan model yang dapat menggambarkan kondisi sebenarnya
di lapangan dan kemudian digunakan untuk memproyeksikan.
Salah satu teknik yang masih berlaku hingga saat ini adalah model empirik atau
model statistik, dalam membangun model dipertimbangkan menggunakan model
linier, model eksponensial, model geometrik dan model kuadratik. Berikut adalah
bentuk umum dari masing-masing model:
1. Model Linier : Y =a+bX … .
2. Model Eksponential :Y =ae ( bX )
3. Model Logarithmic : Y = a+b ln x
III.4.3. Uji Keterandalan Model
Pemilihan model terbaik dilakukan dengan cara pengujian keterandalan model dari
setiap pendekatan yang dilakukan. Adapun kriteria yang dilakukan dalam pengujian
keterandalan model adalah sebagai berikut Pemilihan model terbaik dilakukan berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan antara lain:
Tabel 5.1, memperlihatkan kondisi jenis dominan per kelompok jenis. Jumlah
jenis dan karakteristik dimensi pohon/tegakan hasil pengukuran berulang di lokasi
penelitian. Jenis dominan yang terdapat di tiap kelompok jenis yaitu
Dipterocarpaceae, Non Dipterocarpaceae dan Non Komersil masing-masing jenis
Biahut Miha (Shore spp), Sapin (Castanopsis buruana Mig) dan Sangwaru.
Rata-rata diameter, tinggi dan volume per kelompok jenis didapatkan berbeda
selama periode pengukuran. Rata-rata diameter berkisar dari 33,0 – 34,7 cm untuk
kelompok jenis Dipterocarpaceae, 26,9 – 28,1 cm untuk kelompok jenis Non
Dipterocarpaceace dan 19,0 – 20,2 cm untuk kelompok jenis Non Komersil. Diameter
pohon per kelompok jenis cenderung mengalami pertambahan diameter masing-
masing sebesar 0,34 cm/thn untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, sedangkan
untuk kelompok jenis Non Dipterocarpaceae dan Non Komersil mengalami
pertambahan diameter sebesar 0,24 cm/thn. Kecenderungan terjadinya pertambahan
dimensi pohon tiap tahunnya juga terlihat pada rata-rata tinggi pohon tiap kelompok
jenis. Kelompok jenis Dipterocarpaceae memiliki rata-rata tinggi berkisar 19,7 – 23,0
m, kelompok jenis Non Dipterocarpaceae memiliki rata-rata tinggi berkisar 15,3 – 18,
5 m dan kelompok jenis Non Komersil memiliki rata-rata tinggi berkisar 13,9 – 17,3
m. Adanya pertambahan diameter dan tinggi pohon tiap tahunnya mengindikasikan
bahwa kondisi pertumbuhan pohon/tegakan tiap kelompok jenis di lokasi penelitian
dalam kondisi baik.
Tabel 5.1. memperlihatkan pula bahwa nilai luas bidang dasar dan volume
tegakan tiap kelompok jenis cenderung meningkat tiap tahunnya seiring dengan
bertambahnya diameter dan tinggi pohon.Huang et al (2000) yang dikutip oleh
Bustomi dan Yulianti (2013).
V.2. KerapatanPohon
.Dalam penelitian ini, diameter pohon berukuran > 10 cm dikelompokkan dalam
kelas-kelas dengan lebar kelas 10 cm dan disesuaikan dengan rentang nilai diameter
masing-masing kelompok jenis. Menurut Muhdin, dkk (2011), ketelitian hasil
pendugaan proyeksi struktur tegakan diduga sangat tergantung dari selang kelas yang
dibuat.
Namun selang kelas yang terlalu sempit dapat beresiko diperolehnya kelas
diameter tertentu yang tanpa pengamatan atau alih tumbuh yang melewati kelas
diameter terendah diatasnya.Kerapatan pohon per kelas diameter tiap tahun menurut
kelompok jenis di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 5.2.
Tabel 5.2.Kerapatan Pohon Per Kelas Diameter Menurut Kelompok Jenis dan Tahun
Pengukuran
Kerapatan per kelas diameter (n/ha)
Kelompok Jumlah
10-20 cm
20-30 cm
30-40 cm
40-50 cm
50-60 cm
60-70 cm
70-80 cm
80-90 cm
>100 cm
Tahun
Jenis (n/ha)
90-100
cm
I D 23 12 11 7 4 2 1 1 1 1 63
ND 57 33 19 9 6 1 1 0 0 0 126
NK 65 16 7 2 1 0 0 0 0 0 91
II D 21 13 11 8 4 2 1 1 1 8 70
ND 54 35 18 9 6 1 1 1 1 8 134
NK 68 16 7 2 1 1 1 1 0 0 97
III D 21 14 10 8 5 2 1 1 1 5 68
ND 53 35 20 10 6 2 1 1 1 3 132
NK 66 17 8 2 1 1 1 1 0 0 97
IV D 20 15 11 9 5 2 1 1 1 5 70
ND 51 36 20 10 6 2 1 1 1 3 131
NK 65 19 7 3 1 1 1 1 0 0 98
V D 19 14 10 8 5 2 1 1 1 5 66
ND 49 39 20 11 6 2 1 1 1 3 133
NK 64 20 7 3 1 1 1 1 0 0 98
Sumber: Hasil Analisis, 2021
Keterangan: D=Dipterocarpaceae; ND=Non Dipterocarpaceae; NK=Non Komersil
Tabel 5.2. memperlihatkan sebaran kerapatan tegakan per kelas diameter tiap
tahunnya menurut kelompok jenis di lokasi penelitian. Jumlah pohon per hektar tiap
kelompok jenis cenderung tinggi pada kelas diameter terkecil (10-20 cm) dan
menurun secara perlahan-lahan pada kelas diamater besar (>100 cm). Kecenderungan
pola sebaran jumlah pohon per hektar tiap kelompok jenis ini menyerupai pola kurva
J-terbalik. Kondisi ini memang secara alami terjadi pada hutan alam, yaitu jumlah
pohon semakin berkurang seiiring dengan pertambahan kelas diameter.
Walaupun secara umum terlihat bahwa pola sebaran kerapatan pohon tiap
kelompok jenis cenderung membentuk pola kurva J-terbalik, lazimnya struktur
tegakan normal pada hutan alam, namun jika diamati berdasarkan kelompok jenis
akan terlihat kecenderungan perubahan jumlah individu tiap kelas diameter memiliki
pola yang berbeda-beda. Kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 5.1 s.d. Gambar 5.5.
Keterangan: D = Dipterocarpaceae; ND = Non Dipterocarpaceace; NK = Non
Komersil
Gambar 5.1.Grafik Kerapatan Pohon (n/ha) per kelas Diameter
Menurut kelompok jenis pada Tahun I
Berdasarkan grafik hubungan kerapatan pohon (n/ha) per kelas diameter tiap kelompok
jenis yang diukur tiap tahunnya (tahun ke-1 s.d. tahun ke-5), terlihat kecenderungan
penurunan jumlah pohon pada kelompok jenis Dipterocarpaceace mengalami penurunan
secara kontinyu seiring dengan bertambahnya kelas diameter pada tahun ke-2 s.d. tahun ke-5.
Pada tahun awal (tahun ke-1) pola kecenderungan penurunan jumlah pohon seiring
bertambahnya kelas diameter terlihat berfluktuatif. Pada kelas diameter awal pertumbuhan
(10-20 cm) jumlah pohon mulai menurun sampai pada kelas diameter 20-30 cm, namun pada
kelas diameter 30-40 cm jumlah pohon mulai meningkat walaupun tidak seperti pada kelas
diameter pertumbuhan awal, selanjutnya menurun pada kelas diameter 40-50 cm dan
meningkat lagi pada kelas diameter 50-60 cm. Setelah itu, jumlah pohon mengalami
penurunan secara konstan pada kelas diameter 60-70 cm. Fenomena ini diduga disebabkan
faktor genetik pohon dan tindakan pemeliharaan yang belum dilakukan secara baik.
Kondisi penurunan jumlah pohon per hektarnya pada kelompok jenis Non
Dipterocarpaceae terlihat juga berbeda pada tahun ke-5. Awalnya melambat pada kelas
diameter 20-30 cm dan selanjutnya bergerak cepat pada kelas diameter >30-40 cm.
Penurunan jumlah pohon per hektar pada kelompok jenis Non Komersil selama periode
pengukuran terlihat konstan dimana jumlah pohon berkurang seiiring dengan bertambahnya
kelas diameter. Suhendang (1985) yang dikutip oleh Boreel (2009) menjelaskan bahwa
bentuk struktur tegakan hutan untuk semua jenis pohon mengikuti bentuk kurva J-terbalik,
tetapi bentuknya sangat bervariasi apabila dibuatkan untuk setiap jenisnya.
Tabel 5.4, menjelaskan bahwa dari pemilihan model terbaik berdasarkan kriteria uji
dengan memperhatikan nilai koefisien determinasi (R 2), koefisien determinasi terkoreksi
(Ra2) dan galat baku atau standar error (SE), maka model struktu tegakan terbaik untuk
menggambarkan model struktur tegakan horisontal di areal bekas tebangan (ABT) PT. Gema
Hutani Lestari tiap tahunnya per kelompok jenis adalah model logaritmik.
VI. PENUTUP
6.1. Kesimpulan
1. Model penduga terbaik yang terpilih untuk menggambarkan model struktur tegakan
horisontal tiap tahunnya per kelompok jenis adalah model logarithmik berdasarkan kriteria
uji nilai koefisien determinasi (R2), koefisien determinasi terkoreksi (Ra2) dan galat
baku atau standar error (SE).
2. Faktor yang terindikasi paling mempengaruhi pertumbuhan tegakan maupun
dalam penyusunan model penduga pertumbuhan tegakan antara lain faktor alam,
karakteristik data, kegiatan perusahaan dalam hal ini teknik pembalakannya serta
faktor Human Error.
6.2. Saran
Untuk mendapatkan model struktur tegakan yang representatif sebaiknya digunakan data
dari hasil pengukuran sampai akhir rotasi. Serta lebih diperhatikan lagi kegiatan
silvikulturnya agar mencegah terjadinya kerusakan-kerusakan pohon yang dapat
menyebabkan pertumbuhan/riap hutan menurun sehingga mempengaruhi pertumbuhan
tegakan.
DAFTAR PUSTAKA
Adianti M. 2011. Studi Model Struktur Tegakan Hutan Tanaman Pinus merkusii Jungh et de
Vriese Tanpa Penjarangan Di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Afdhal. 2015. Persamaan Matematika Untuk Struktur Tegakan Horizontal Hutan Alam Bekas
Tebangan Di Areal Kerja IUPHHKH-HA PT. Gunung Gajah Abadi Kalimantan
Timur. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
Arets, E. J. M. M. (2005). Long-term responses of populations and communities of trees to
selective logging in tropical rain forests in Guyana: Utrecht University.
Ayuningtyas. 2014. Struktur Tegakan Horizontal Hutan Alam Di Areal Kerja Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam ( IUPHHKH-HA ) PT. Wapoga
Mutiara Timber Unit II Provinsi Papua. Departemen Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Bone Iskar. 2010. Model Dinamika Struktur Tegakan Untuk Pengaturan Hasil Hutan Alam
Bekas Tebangan : Kasus HPH PT. Gema Hutan Lestari Pulau Buru Provinsi
Maluku
Boreel Aryanto, 2009. Model tegakan dan sebaran spasial jenis pohon torem (Manilkara
kanosiensis H.J. Lam & B.J.D. Meeuse) di Pulau Yamdena Kabupaten Maluku
Tenggara Barat.Institut Pertanian Bogor.
Broto, H. 2008. Model Penduga Volume Pohon Sengon (Paraserianthes falcataria) pada
Tegakan Hutan Rakyat. Fakultas Kehutanan IPB Bogor.
Bruenig EF. 1996. Conservation and Management of Tropical Rainforest : An Integrate
Approach to Sustainability. Wallingford : CAB International
Bustomi dan Yulianti. 2014. Model Penduga Volume Pohon Weru (Albizia procera (Roxb.)
Benth ) Di Kabupaten Majalengka – Jawa Barat. Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Produktivitas Hutan Kampus Balitbang Kehutanan.
Davis, L.S dan Johnson K.N. 1987. Forest Management 3 rd Edition. Mc Graw-Hill
Book Company. New York.
Defrianto. 2013. Struktur Tegakan Hutan Alam Sebelum Dan Sesudah Penebangan Di Areak
Konsesi Hutan Pulau Siberut, Sumatra Barat. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Elias. 2002. Rasionalisasi Kegiatan Logging Dan Kondisi Minimum Struktur Tegakan Yang
Boleh Ditebang Dalam Pengelolaan Hutan Alam Tropika Indonesia. Teknologi
Hasil Hutan, 15(1), 35-47.
Ermayani E. 2000. Studi Model Struktur Tegakan Dan Prospek Pertumbuhan Tegakan Hutan
Alam Bekas Tebangan ( Studi Kasus Di HPH PT. Dwimajaya Utama Provinsi
Kalimantan Tengah ). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Favrichon, V. and Y.C. Kim. 1998. Mo-delling the Dynamics of A Low-land Mixed
Dipterocarp Forest Stand: Application of A Density-Dependent Matrix Model. In :
Bertault, J-G and K. Kadir (Editiors). 1998. Silvicultural Re-search in A Lowland
Mixed Dip-terocarp Forest of East Kaliman-tan, The Contribution of STREK
Project, CIRAD-Forêt, FORDA, and PT. INHUTANI I. CIRAD-Forêt Publication:
229-245.
Hardjana. 2013. Model Hubungan Tinggi Dan Diameter Tajuk Dengan Diameter Setinggi
Dada Pada Tegakan Tengkawang Tungkul Putih ( Shorea macrophylla (de Vriese)
P.S Ashton ) Dan Tungkul Merah ( Shorea stenopthera Burck.) Di Semboja,
Kabupaten Sanggau. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda.
Krisnawati H. 2008. Model Pertumbuhan Matriks Transisi Untuk Hutan Alam Bekas
Tebangan Di Kalimantan Tengah. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Kuswandi. 2017. Model Pertumbuhan Tegakan Hutan Alam Bekas Tebangan Dengan Sistem
Tebang Pilih Di Papua. Balai Penelitian Dan Pengembangan Lingkungan Hidup
Dan Kehutanan Manokwari.
Kuswandi R, & Murjoko. 2015. Population Structures Of Four Tree Species In Logged-over
Tropical Forest In South Papua, Indonesia : An Integral Projection Model
Approach. Manokowari Forestry Research Institue.
Mendoza, G.A., H. Önal, and W. Soe-tjipto. 2000. Optimising Tree Di-versity and Economic
Returns from Managed Mixed Forests in Kalimantan, Indonesia. Journal of
Tropical Forest Science 12: 298-319.
Muhdin. 2011. Pendugaan Dinamika Struktur Hutan Alam Bekas Tebangan. Departemen
Manajemen Hutan. Institut Pertanian Bogor.
Natural Resources Development Center. 2013. Konsep Dan Kebijakan Pengelolaan Hutan
Produk Lestari Dan Implementasinya. Jakarta.
Nursetyanti A. 2007. Karaktersitik Tegakan Hutan Alam Produksi Setelah Penebangan:
Kasus di Provinsi Kalimantan Timur. [Skripsi]. Bogor:Program Diploma III
Manajemen Hutan Produksi, DepartemenManajemen Hutan, Fakultas Kehutanan.
Institut Pertanian Bogor.
Wicaksono. 2014. Komposisi Jenin Pohon Dan Struktur Tegakan Hutan Manggrove Di Desa
Pasar Banggi Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah. Fakultas Kehutanan IPB.
Bogor.