Anda di halaman 1dari 7

Hegemoni dan Analisa Kasus

Teori hegemoni ini dikemukakan oleh Antonio Gramci (1891-1937). Gramci


mendefinisikan hegemoni sebagai pengaruh, kekuasaan, atau dominasi dari sebuah kelompok
sosial terhadap yang lain. Hegemoni didasarkan pada suatu keadaan dimana individu-
individu menjadi tidak sadar mengenai dominasi yang terjadi dalam kehidupan mereka.
Kelompok-kelompok masyarakat yang dominan berhasil mengarahkan orang untuk menjadi
tidak waspada dan membentuk sebuah persetujuan. Penerapan mengenai hegemoni
menyatakan bahwa beberapa orang mendapatkan keuntungan secara literal sementara yang
lain merugi. Apa yang terjadi dalam masyarakat yang hegemonis adalah pengaruh karena
adanya persetujuan, dan bukan karena pemaksaan. Artinya, orang cenderung patuh terhadap
ideologi dominan dari sebuah budaya (Turner, 2013: 67).

Hegemoni adalah sebuah rantai kemenangan yang didapat melalui mekanisme


konsensus (consenso) dari pada melalui penindasan terhadap kelas sosial lain. Hegemoni
pada hakekatnya adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang
problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan (Turner, 2013: 70). Dalam konteks
tersebut, Gramsci lebih menekankan pada aspek kultural (ideologis). Melalui produk-
produknya, hegemoni menjadi satu-satunya penentu dari sesuatu yang dipandang benar baik
secara moral maupun intelektual.

Analisa kasus dari hegemoni dapat dilihat dari beberapa tayangan televisi yang
memperlihatkan ideologi dominan yang berkembang di masyarakat saat ini. Salah satu
tayangan televisi yang menggambarkan dominasi dan menggambarkan sebuah hegemoni
adalah drama korea dengan judul “Boys Before Flower”. Drama ini bercerita tentang cerita
Cinderella masa kini, wanita yang berasal dari keluarga miskin hingga akhirnya mendapatkan
keberuntungan karena cinta. Meski sempat dipenuhi dengan intrik dan permasalahan yang
menderanya. Selain itu, karakter utamanya dianggap sebagai pejuang untuk bertahan hidup.
Nasib malang Geum Jan-di yang diperankan Ku Hye-sun, membuat penonton merasa iba.
Sedangkan aktor pria yang menjadi lawan mainnya adalah Lee Min-ho sebagai Goo Jun-pyo.
Dalam kisahnya, Goo Jun-pyo diceritakan sebagai pria tampan yang kaya raya, anak dari
pemilik sekolah, dan dapat membuat wanita jatuh hati kepadanya. Ia juga memiliki geng
yang beranggotakan 4 orang pria tampan dan juga kaya raya yang diberinama F4.
.
Adegan 1 Adegan 2

Pada adegan I memperlihatkan saat Goo Jun Pyo dan seluruh anggota F4 memasuki
sekolahnya, dan disambut oleh banyaknya siswa dan siswi yang terpesona dengan gaya dan
ketampanan mereka. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan sosial, dimana siapa pun yang
memiliki kekuasaan dapat membuat orang menjadi tunduk padanya. Pada adegan 2,
menceritakan bahwa terdapat seorang wanita yang mengidolakan Goo Jun Pyo hingga
memberanikan diri untuk membuatkan kue untuknya. Ini menjelaskan bahwa pria seperti Goo
Jun Pyo memiliki daya tarik sendiri untuk memikat hati wanita dengan segala kelebihannya.

Adegan 3 Adegan 4

Adegan 3 dan 4 menceritakan salah satu dari anggota F4, yang bernama So Yi Jung
yang tak kalah tampan dan juga kaya raya, memperlihatkan aksinya dengan menunjukkan
kemampuannya memainkan saksofon dan membuat para wanita terpesona oleh
penampilannya. Selain itu, digambarkan pula saat berada di tengah pesta So Yi Jung didekati
oleh banyak wanita karena tertarik oleh dirinya. Adegan-adegan ini ingin menjelaskan sosok
pria sejati yang diidolakan oleh para wanita salah satunya adalah pria yang tampan, kaya,
romantis, dsb. Secara tidak langsung, media ingin menyampaikan bahwa terdapat adanya
maskulinitas hegemonis. Hegemoni maskulinitas adalah pengaruh sosial dari model
maskulinitas yang sesuai dengan konstruksi sosial yang mendefinisikan sosok seorang laki-
laki, dimana interaksi laki-laki dan perempuan merupakan posisi terdepan dalam sebuah
media. Konstruksi sosial biasanya dihubungkan pada pengaruh sosial dalam pengalaman
hidup individu. Asumsi dasarnya pada “realitas adalah konstruksi sosial” dari Berger dan
Luckmann. Selanjutnya yang dikatakan bahwa konstruksi sosial memiliki berberapa
kekuatan. Pertama, peran sentral bahasa memberikan menkanisme konkret, dimana budaya
mempengaruhi pikiran dan tingkah laku individu. Kedua, konstruksi sosial dapat mewakili
kompleksitas dalam satu budaya tunggal dan tidak mengansumsikan keseragaman. Ketiga,
hal ini bersifat konsisten dengan masyarakat dan waktu (Ngangi, 2011: 1)

Adegan 5

Pada adegan 5, memperlihatkan bagaimana seorang pria menjadi pelindung bagi


wanita. Terlihat adanya kapital gender, dimana asal dari munculnya kekuatan ini adalah dari
dominasi maskulinitas. Kapital gender sudah dapat terlihat pada pria dengan sosok kuat, dan
perempuan adalah sosok yang lemah. Konstruksi ini dibangun agar maskulinitas dapat selalu
menjadi lebih dominan (Bourdieu dalam Ashall, 2004: 31).

Yang paling menonjol adalah maskulinitas yang bisa dipahami dari semangat hero
atau kepahlawanan. Artinya, dimungkinkan terjadi hegemoni dan dominasi nilai-nilai tertentu
ke dalam gaya hidup kita Misalnya, sosok pria digambarkan sebagai pelindung bagi wanita,
karena wanita merupakan sosok yang lemah dan wajib untuk dilindungi. Pada adegan ini,
ingin menjelaskan bahwa pria sebagai sosok pelindung merupakan salah satu kriteria pria
idaman bagi para wanita saat ini. Tipe ini pria dengan sifat seperti ini disebut dengan tipe
warrior masculinity menjelaskan bahwa laki-laki harus menjadi sosok yang heroik atau
gagah, dapat melindungi, dan mempunyai kekuatan (http://www.inside-man.co.uk).

Adegan 6 Adegan 7

Pada adegan 6 dan 7, menggambarkan bahwa sosok wanita yang melekat pada
konstruksi sosial di masyarakat adalah wanita ideal dengan tubuh langsing. Begitu pula Ibu
Geum Jan Di yang ingin melihat anaknya memiliki tubuh ideal agar bisa menarik hati para
pria. Hegemoni wanita dengan tubuh ideal tidak dapat dilepaskan dari bentuk tubuh yang
langsing dan ramping. Hal ini disetujui Baudrillard (2009:181) bahwa kecantikan wanita tak
dapat dipisahkan dengan kerampingan.
Susan Bordo juga mengatakan bahwa di antara representasi perempuan yang paling
kuat dan berpengaruh adalah bahwa kebudayaan barat mempromosikan “tubuh langsing”
sebagai norma kultural disipliner.(Barker, 2009;268) Dan Barker menjelaskan bahwa tubuh
yang langsing adalah tubuh yang tergenderkan karena tubuh yang langsing berarti
perempuan. Kelangsingan adalah kondisi ideal terkini bagi daya tarik perempuan sehingga
gadis-gadis dan perempuan secara kultural lebih menghindari salah makan ketimbang laki-
laki. (Barker,2009:268) .
Adegan 8
Adegan 9

Adegan 8 dan 9 menjelaskan bagaimana orang tua yang menginginkan anaknya


memiliki pasangan yang mapan secara finansial untuk masa depannya. Konstruksi sosial
yang terbentuk di masyarakat saat ini adalah, banyaknya orang tua yang menginginkan
anaknya menikah dengan pasangan yang sudah matang secara finansial. Dengan pemikiran
diatas, maka permasalahan dalam penelitian adalah bagaimana tayangan televisi
menggunakan image-image simbolik (seperti seperti, ketampanan, kekayaan, pelindung bagi
wanita, keromantisan, dsb) yang menjadi kekuatan hegemonik dalam menyebar dan
melestarikan sebuah ideologi yang menempatkan bahwa maskulinitas memiliki power yang
besar dalam mengendalikan sisi feminitas. Dominasi orang-orang berkuasa dan dominan
menunjukkan bahwa mereka dapat menguasai kaum marjinal. Ransome, salah satu penafsir
dari pemikir Gramsci menjelaskan berbagai variasi makna konsep yang terdapat dalam teori
hegemoni sebagai berbagai macam cara kontrol sosial bagi kelompok yang dominan. Dia
membedakan antara pengendalian koersif yang diwujudkan melalui kekuatan langsung atau
ancaman kekuatan, dengan pengendalian konsensual yang muncul ketika individu-individu
“secara sengaja” atau “secara sukarela” mengasimilasikan pandangan dunia atau hegemoni
kelompok dominan tersebut: sebuah asimilasi yang memungkinkan kelompok tersebut
bersikap hegemonik (Dominic S, 2004 :189).
Daftar Pustaka

Ashall, Wendy. 2004. Masculine Domination: Investing in Gender. Studies in Social and
Political Thought.

Barker, Chris.2009.Cultural Studies.Yogyakarta,Kreasi Wacana


Baudrillard, Jean. 1998. The Consumer Society Myths and Structures. London: Sage
Publication

Charles R. Ngangi, Konstruksi Sosial dalam Realitas Sosial-Volume 7 Nomor 2

Strinati, Dominic. 2004. Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Jakarta :
PT Bentang Pustaka,

West, Richard, Lynn H. Turner. 2013. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi.
Jakarta : Salemba Humanika
TUGAS PERTEKOM MASSA

Disusun oleh : Dannia Ayu Martina


NIM : 14040118410008
Peminatan : Komunikasi Strategis

ANALISA DRAMA KOREA

Anda mungkin juga menyukai