Anda di halaman 1dari 14

MANAJAMEN PERBANKAN

“PETA PERKREDITAN INDONESIA”

Dosen Pengampu : Tiksnayana Vipraprastha, SE., MM

Disusun oleh Kelompok 4 :

1. Ni Wayan Srijuli Artini 03 / 2002612010409


2. Gusti Agung Widiari 04 / 2002612010412
3. Ni Komang Lisnawati 05 / 2002612010420
4. Ni Kadek Remayanti 07 / 2002612010424
5. Gede Artha Wijaya 10 / 2002612010489

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR

DENPASAR
2023

PEMBAHASAN

A. Peta Perkreditan Nasional

Perkembangan kredit dalam bentuk rupiah dan valuta asing yang disalurkan oleh
perbankan menunjukkan pertumbuhan yang pesat pasca Pakto 1988, terutama tahun
1989-1991. Tabel di bawah menunjukkan dominasi bank pemerintah dan bank swasta
nasional dalam penyaluran kredit di Indonesia. Ekspansi kredit yang substansial akibat
kelonggaran dan kemudahaan yang diberikan oleh otoritas moneter. Namun gebrakan
Sumarlin, yang menandai era kebijakan moneter ketat, serta Pakfeb 1991, yang
mengarsipkan prudential banking practice, menyebabkan terjadinya perlambatan
ekspansi kredit yang cukup berarti. Namun, pada tiga tahun terakhir agaknya gairah
melakukan ekspansi kredit mulai terasa kembali, yang etrutama dilakukan oleh bank-
bank umum swasta nasional.

Posisi Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valas, 1995-1999 (Rp Miliar)

KELOMPOK BANK 1995 1996 1997 1998 1999


BANK PEMERINTAH
Posisi 93.480 108.925 153.266 220.747 112.288
Pangsa Pasar (%) 39,84 37,19 40,53 45,29 49,88
Pertumbuhan (%) 16,84 16,52 40,71 44,03 -49,13
BANK SWASTA NASIONAL
Posisi 111.644 149.955 168.723 193.361 56.012
Pangsa Pasar (%) 47,59 51,19 44,62 39,67 24,88
Pertumbuhan (%) 29,36 34,32 12,52 14,60 -71,03
BPD
Posisi 5.242 6.457 7.539 6.570 6.793
Pangsa Pasar (%) 2,23 2,20 1,99 1,35 3,02
Pertumbuhan (%) 24,78 23,18 16,76 -12,85 3,39
BANK ASING DAN CAMPURAN
Posisi 24.245 27.584 48.606 66.748 50.040
Pangsa Pasar (%) 10,33 9,24 12,85 13,69 22,23
Pertumbuhan (%) 32,01 13,77 76,21 37,32 -25,03
TOTAL
Posisi 234.611 292.921 378.134 487.426 225.133
Pertumbuhan (%) 24,21 24,85 29,09 28,90 -53,81
Sumber: Laporan Tahunan Bank Indonesia berbagai edisi, diolah kembali.

Dilihat secara sektoral, sektor yang paling banyak mendapat kucuran kredit
adalah sektor industri manufaktur, terutama tekstil, sandang, kulit, pengolahan bahan
kimia, batu-bara, hasil minyak bumi, karet, dan plastik. Peringkat kedua dan seterusnya
berturut-turut adalah sektor jasa, perdagangan, lain-lain, pertanian, dan pertambangan.
Trend ini tidak berubah selama 15 tahun terakhir.

Kualitas kredit ditentukan oleh kolektibilitasnya, yaitu lancar tidaknya


pembayaran bunga dan pokok pinjaman serta kemampuan debitur yang ditinjau dari
keadaan usahanya. Oleh karena itu, kolektibilitas kredit dikategorikan menjadi: lancar,
kurang lancar, diragukan, dan macet (Djiwandono, 1994). Disebut lancar apabila
tunggakan kredit kurang dari 3 bulan. Digolongkan kurang lancar apabila tunggakan
berkisaran anatar 3 sampai 6 bulan. Kategori diragukan bila kredit tersebut tidak
memenuhi kriteria lancar namun masih bisa diselamatkan karena nilai agunanya ≥75%
dari utang, atau kredit tersebut tidak dapat diselamatkan namun nilai agunanya ≥100%
dari utang. Kredit baru disebut macet apabila setelah 21 bulan berstatus diragukan, belum
ada pelunasan atau penyelamatan kredit, atau kredit yang penyelesainnya telah
diserahkan kepada pengadilan negeri/BUPN, dan kredit yang telah dimintakan
pembayaran ganti rugi kepada perusahaan asuransi kredit.

Otoritas moneter menggolongkan kredit macet dan diragukan sebagai kredit


bermasalah. Perkembangan kolektibilitas kredit perbankan dapat dilihat pada tabel di
bawah. Terlihat bahwa secara absolut terjadi trend kenaikan kredit bermasalah.

Perkembangan Kolektibilitas Kredit Perbankan, Desember 1994-1998

1994 1997 1998


Kolektibilitas Kredit Rp miliar Pangsa Rp miliar Pangsa Rp miliar Pangsa
(%) (%) (%)
Lancar 190. 854 87,94 374.900 55,95 212.800 40,66
Dalam Perhatian Khusus - - 113.600 16,95 46.900 8,96
Kurang Lancar 7.300 3,36 104.400 15,58 66.400 12,68
Diragukan 10.203 4,70 42.900 6,42 83.300 15,91
Macet 8.663 3,99 34.200 5,10 113.900 21,79
Total 217.020 100,00 670.000 100,00 523.300 100,00
Sumber: Bank Indonesia sebagaimana dikutip Majalah Infobank (Agustus 1996) dan Majalah Bank
& Manajemen (Mei/Juni 1999).

B. Kausalitas Antara Kredit Dan PDB Dalam Jangka Pendek

Salah satu kontroversi utama di kalangan para ahli ekonomi pembangunan sejak
tahun 1960-an adalah kausalitas antara sektor finansial dengan sektor riil yang berarti
mana yang merupakan sebab dan mana yang merupakan akibat. Pandangan kaum 'neo-
liberal', sering disebut sebagai the development hypothesis, mengatakan bahwa
pembangunan sektor finansial berperanan penting dalam pembangunan ekonomi. Pada
dasawarsa 1980-an, ketika liberalisasi finansial menyebar ke seluruh dunia, peranan
sektor keuangan seakan tidak dipertentangkan lagi. Namun, Patrick (1966) tetap
mengajukan pertanyaan yang kritis dan mendasar yaitu sektor mana, finansial atau riil,
yang mendorong dinamika proses pembangunan ekonomi. Dengan kata lain, ada dua
kemungkinan hubungan kausalitas antara pembangunan sektor finansial dan pertumbuhan
ekonomi. Dua kemungkinan hubungan kausalitas antara pembangunan sektor finansial
dan pertumbuhan ekonomi, yaitu: (1) demand following, bahwa rendahnya pertumbuhan
finansial adalah manifestasi kurangnya permintaan akan jasa finansial; ataukah (2) supply
leading, bahwa sektor finansial mendahului dan mendorong pertumbuhan sektor riil.

1. Demand Following
Menyatakan adanya arah hubungan dari pertumbuhan ekonomi terhadap
perkembangan sektor keuangan. Dalam kerangka ini, kenaikan permintaan terhadap
jasa keuangan akan mendorong terjadinya peningkatan pada sektor keuangan ketika
perekonomian riil tumbuh.

2. Supply Leading

Mengedepankan arah hubungan dari perkembangan sektor keuangan terhadap


pertumbuhan ekonomi, yang berarti bahwa pembangunan institusi dan pasar
keuangan akan meningkatkan penawaran jasa keuangan yang akan mengarah pada
pertumbuhan ekonomi riil.
Dalam konteks ini, diyakini bahwa gangguan terhadap aliran kredit jangka
pendek suatu fenomena umum selama krisis perbankan dapat menimbulkan dampak
serius terhadap kinerja ekonomi. Bila kredit dan pertumbuhan ekonomi turun,
pertanyaan yang muncul adalah: apakah penurunan kredit ditentukan oleh sisi suplai
(sehingga kemungkinan menyebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi) ataukah sisi
permintaan (sehingga kemungkinan merupakan akibat penurunan pertumbuhan
ekonomi)? Dengan menyimbolkan "mengakibatkan" dengan " → ", akan diuji
hipotesis mengenai kausalitas sebagai berikut:

KREDIT → PDB ataukah PDB → KREDIT

Tabel dibawah ini menyajikan hasil uji kausalitas Granger untuk menganalisis
hubungan antara total kredit domestik (perbankan) dan PDB riil untuk kasus
Argentina, Cili, Filipina, dan Indonesia. Hasil kausalitas Granger menunjukkan bukti
statistik yang signifikan untuk kasus Filipina dan Indonesia. Di Filipina, terdapat
hubungan satu arah dari total kredit domestik ke PDB. Artinya, perkembangan kredit
domestik telah demikian aktif berperanan dalam proses pembangunan.

Uji Kausalitas Granger Antara Kredit Perbankan dan PDB di Beberapa Negara
Nilai Statistik F
NEGARA PERIODE
KREDIT → PDB PDB → KREDIT
Argentina 1975.1 – 1987.4 0,88 1,66
Chile 1975.1 – 1985.2 1,51 0,09
Filipina 1981.1 – 1988.3 3,32 0,68
Indonesia 1989.3 – 1994.4 0,02 9,88
Sumber: Sundararajan dan Balino (1991) untuk kasus Argentina, Chile, dan Filipina.
Untuk kasus Indonesia diolah sendiri oleh penulis berdasarkan data IMF dan Bank
Indonesia (berbagai tahun).

Keterangan:
Untuk Indonesia, jumlah lag adalah 1 (telah dicoba lag 2, 3, 4 ternyata hasilnya
konsisten), untuk negara lain jumlah lag adalah 4.

Bukti empiris untuk Indonesia dengan data kuartalan selama 1989.3-1994.4


menunjukkan adanya hubungan kausalitas satu arah antara kinerja ekonomi dengan kredit
perbankan. Dengan kata lain, Indonesia nampaknya mendukung hipotesis "demand-
following" (growth-led finance): tumbuhnya lembaga keuangan modern, beserta
terciptanya kekayaan dan utang mereka, serta jasa keuangan yang berkaitan, merupakan
tanggapan atas permintaan terhadap jasa-jasa keuangan (perbankan) dari investor dan
penabung di sektor riil. Ini sejalan dengan argumentasi Patrick (1966) bahwa sektor
keuangan masih berperan secara pasif dan permisif dalam proses pembangunan. Ini
diperkuat dengan hasil kausalitas Granger yang tidak signifikan dari kredit domestik
terhadap PDB. Yang terakhir terjadi karena pertumbuhan jasa-jasa keuangan tergantung
dari pertumbuhan output riil, komersialisasi dan monetisasi sektor pertanian dan sektor
tradisional lainnya. Ini bisa juga merupakan indikasi masih adanya dualisme di sektor
finansial Indonesia, yaitu antara sektor keuangan formal-modern dengan informal-
tradisional.

C. Peranan Kondisi Pasar Kredit

Pasar kredit merupakan tempat bertemunya pihak yang membutuhkan kredit dan
pihak pemberi kredit (Suharjono, 2003). Pihak yang membutuhkan kredit dapat berupa
masyarakat, kalangan usaha atau perusahaan kecil maupun besar. Pihak yang
memberikan kredit adalah bank, dimana bank memang berfungsi menyalurkan dana yang
dimiliki kepada pihak-pihak yang membutuhkan, tentunya dalam bentuk kredit. Tempat
bertemunya pihak yang memberikan kredit dan yang membutuhkan kredit adalah pada
bank yang bersangkutan. Pihak pengaju kredit harus mengajukan proposal pengajuan
kredit yang diberikan perbankan kepada pihak pengaju kredit dan dikenakan bunga. Suku
bunga dalam perbankan terdapat dua yaitu suku bunga simpanan dan suku bunga kredit.
Suku bunga simpanan adalah suku bunga yang diberikan kepada nasabah penyimpan
dana. Sedangkan, suku bunga kredit adalah suku bunga yang dikenakan kepada nasabah
peminjam dana kredit.

Kredit macet melonjak secara tajam sebelum dan pada saat terjadinya krisis
perbankan (Sundararajan dan Balino, 1991: bab 1). Oleh karena itu, para peneliti
menuding bahwa kondisi dan perilaku pasar kredit merupakan salah satu penjelas
terjadinya krisis. Argumennya, permintaan akan kredit bersifat inelastis terhadap suku
bunga, sementara penawaran kredit dianggap elastik pada kondisi tertentu di mana
terdapat kelebihan permintaan akan kredit. Akibatnya, pada kondisi puncak siklus bisnis,
kredit ditentukan oleh dana dan penjatahan kredit. Pada kondisi semacam ini,
pemotongan suplai kredit akan menyulut menurunnya siklus bisnis.

Banyak ekonom berpendapat bahwa penjatahan kredit dan hancurnya pasar


kredit sebagai fenomena ekuilibrium yang mencerminkan kegagalan pasar dalam
berbagai bentuk, seperti adverse selection dan moral hazard. Adverse selection muncul
karena kenaikan suku bunga akan menurunkan harapan keuntungan dari pemberian
pinjaman yang mengakibatkan hanya peminjam dengan risiko tinggi yang mau
meminjam dana. Moral hazard terjadi akibat peminjam terdorong untuk mengambil
risiko yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, risiko macet dipandang merupakan fungsi
positif dari suku bunga, rasio debt/equity dari peminjam, dan derajat ketidakpastian
dalam sistem keuangan. Dampak tingginya suku bunga kredit terhadap kondisi keuangan
peminjam yang tergolong high leverage telah menghasilkan anjloknya permintaan kredit
dan kenaikan risiko pinjaman di Argentina, Cili, Filipina, dan Uruguay. Kasus
ambruknya Barings PLC telah menggoncang pasar keuangan global, terutama bagi
perbankan Jepang. Menurut Nikkei Financial Daily (1995), bank-bank terbesar Jepang
menderita rugi antara $100 juta hingga $200 juta atas sekuritas yang mereka pinjamankan
kepada Barings. Posisi Barings yang demikian besar di pasar derivatif menimbulkan
dampak terhadap Bursa Saham Tokyo, sebagaimana ditunjukkan oleh anjloknya Indeks
Nikkei lebih dari 1.000 titik menjadi 16.618. Turunnya pasar modal amat penting bagi
perbankan Jepang karena kebanyakan modal mereka dipegang dalam bentuk saham di
perusahaan lain. Klimaksnya, pada bulan Januari 1995 Sumitomo Bank, sebagai bank
terbesar di dunia dengan aset sebesar $560 miliar mengumumkan untuk
menghapusbukukan kredit macetnya sebesar $8 miliar (Martin, 1995). Akibatnya,
Sumitomo Bank menderita rugi sebelum pajak sebesar $2,8 miliar. Dua bulan
sebelumnya, Mitsubishi Bank juga mengumumkan penghapusbukuan lebih dari $ 1
miliar karena kredit macet di dua perusahaan keuangan afiliasinya. Tabel dibawah ini
menunjukkan daftar persentase kredit macet di bank-bank utama Jepang.

Rasio Kredit Macet Terhadap Total Kredit pada Bank-Bank Utama Jepang,
September 1994
NAMA BANK PERSENTASE
Nippon Trust Bank 7,2
Hokkaido Takushoku Bank 6,8
Nippon Credit Bank 5,6
Mitsui Trust and Banking 4,9
Yasuda Trust and Banking 4,4
Sakura Bank 4,1
Tokai Bank 3,9
Dai-Ichi Kangyo Bank 3,8
Fuji Bank 3,8
Mitsubishi Trust and Banking 3,5
Sumber: Neil A. Martin (1995)

D. Penyebab dan Penggolongan Kredit Bermasalah


a) Penyebab Kredit Bermasalah

Kredit bermasalah merupakan suatu keadaan di mana nasabah sudah tidak


sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti yang
telah diperjanjikannya. Penyebab kredit macet secara garis besar menurut
Djiwandono (1994), terdiri dari faktor eksternal dan internal.

1. Faktor eksternal
 Lingkungan usaha debitur
 Musibah (misal: kebakaran, bencana alam) atau kegagalan usaha
 Persaingan antar bank yang tidak sehat
2. Faktor internal
 Kebijakan perkreditan yang kurang menunjang
 Kelemahan sistem dan prosedur penilaian kredit
 Pemberian dan pengawasan kredit yang menyimpang dari prosedur
 Itikad yang kurang baik dari pemilik, pengurus, dan pegawai bank.

b) Penggolongan Kredit Bermasalah


Menurut BI, kredit bermasalah digolongkan ke dalam kolektibilitas Kurang
Lancar, Diragukan (D) dan Macet (M). Berdasarkan pasal 10 PBI No.7/2/PBI/2005,
maka kualitas kredit ditetapkan menurut faktor penilaian prospek usaha, kinerja
debitur dan kemampuan membayar. Dengan memperhatikan ketiga faktor penilaian
tersebut, berdasarkan pasal 12 ayat (3) PBI No. 7/2/PBI/2005, maka kualitas kredit
ditetapkan menjadi:

1. Lancar
- Industri atau kegiatan usaha memiliki potensi pertumbuhan yang baik dan stabil
sehingga perolehan laba tinggi dan stabil.
- Tenaga kerja yang memadai dan belum pernah tercatat mengalami perselisihan atau
pemogokan serta permodalan yang kuat.
- Pasar yang stabil dan tidak dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian
sehingga pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada
tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit.
2. Dalam Perhatian Khusus (DPK)
- Pangsa pasar sebanding dengan pesaing sehingga memiliki perolehan laba cukup baik
namun memiliki potensi menurun.
- Hubungan debitur dengan bank baik dan debitur selalu menyampaikan informasi
keuangan secara teratur dan masih akurat
- Manajemen yang baik sehingga likuiditas dan modal kerja umumnya baik.
3. Kurang Lancar
- Industri atau kegiatan usaha menunjukkan potensi pertumbuhan yang sangat terbatas
atau tidak mengalami pertumbuhan sehingga penurunan laba rendah dan likuiditas
serta modal kerja terbatas.
- Pasar dipengaruhi oleh perubahan kondisi perekonomian sehingga rasio utang
terhadap modal cukup tinggi.
- Terdapat tunggakan pembayaran pokok atau bunga yang telah melampaui 90 hari.
4. Diragukan
- Industri atau kegiatan usaha menurun sehingga laba sangat kecil atau negatif.
- Persaingan usaha sangat ketat dan operasional perusahaan mengalami permasalahan
yang serius sehingga kerugian operasional dibiayai penjualan aset atau pinjaman
baru.
- Terdapat tunggakan pembayaran pokok atau bunga yang telah melampaui 180 hari
sampai dengan 270 hari.
- Dokumentasi kredit tidak lengkap dan pengikatan angunan yang lemah.
5. Macet
- Kelangsungan usaha sangat diragukan, industry mengalami penurunan dan sulit untuk
pulih kembali.
- Debitur tidak mampu memenuhi seluruh kewajiban.
- Terdapat tunggakan pembayaran pokok atau bunga yang telah melampaui 270 hari.

Kredit bermasalah merupakan kondisi yang sangat ditakuti oleh setiap pegawai
bank. Dengan adanya kredit bermasalah tersebut akan menyebabkan menurunnya
pendapatan bank, yang selanjutnya memungkinkan terjadinya penurunan laba. Kondisi
kinerja usaha bank yang kurang bagus akan berpengaruh secara menyeluruh terhadap
upaya perbaikan kesejahteraan pegawai, pemupukan modal sendiri, pengembangan usaha
dan sebagainya.

Oleh karena itu manajemen kredit selalu berusaha membuat pedoman deteksi dini
(early warning system) terhadap setiap perubahan yang terjadi pada kredit nasabah,
karena kredit menjadi bermasalah tentu melalui suatu proses yang memakan waktu cukup
lama. Deteksi dini atas kredit bermasalah dapat dilakukan secara sistematis dengan
mengembangkan sistem “pengenalan dini” yang berupa suatu daftar kejadian atau gejala
yang diperkirakan dapat menyebabkan suatu pinjaman berkembang menjadi kredit
bermasalah. Daftar tersebut dapat disusun mulai dari sisi nasabah, sisi ekstern nasabah
(faktor keuangan, faktor manajemen, faktor operasional) dan sisi ekstern (sisi bank).

a. Sisi Nasabah
- Faktor Keuangan yang meliputi utang meningkat sangat tajam, utang meningkat tidak
seimbang dengan peningkatan asset dan pendapatan bersih menurun.
- Faktor Manajemen yang meliputi perubahan dalam manajemen, sakit atau
meninggalnya orang penting dalam perusahaan (key person) dan kegagalan dalam
perencanaan.
- Faktor Operasional yang dapat dildentifikasikan sebagai penyebab kredit bermasalah,
antara lain hubungan nasabah dengan mitra usahanya semakin menurun, kehilangan
satu atau lebih pelanggan utama serta tertundanya penggantian mesin dan peralatan
yang sudah ketinggalan atau tidak efisien.

b. Sisi Ekstern Nasabah

Faktor-faktor ekstern yang dapat diidentifikasikan sebagai penyebab kredit


bermasalah, antara lain seperti perubahan kebijaksanaan pemerintah di sektor riil,
kenaikan harga faktor-faktor produksi yang tinggi (BBM, angkutan, dan sebagainya)
serta meningkatnya tingkat suku bunga pinjaman maupun bencana alam (force majeure)

c. Sisi Bank

Faktor-faktor yang dapat diidentifikasikan sebagai penyebab kredit bermasalah,


antara lain seperti gagal dalam memenuhi syarat-syarat dalam perjanjian kredit, adanya
over kredit atau underfinancing, adanya manipulasi data dan kelemahan analisis oleh
pejabat kredit sejak awal proses pemberian kredit.

3. Upaya Penyelamatan Dan Penyelesaian Kredit Macet


1. Penyelamatan Kredit Macet

Rencana tindak lanjut yang dapat dilakukan dalam upaya penyelamatan kredit
bermasalah jika diperkirakan prospek usaha masih baik adalah dengan cara 3R, yaitu:

a. Reschedulling (Penjadwalan Kembali), yaitu perubahan syarat kredit yang hanya


menyangkut jadwal pembayaran atau jangka waktunya yang dilakukan kepada
debitur yang memiliki iktikad baik untuk membayar kewajibannya, meliputi:
- Memperpanjang jangka waktu kredit. Dalam hal ini si debitur memberikan
keringanan dalam masalah jangka waktu kredit misalnya perpanjangan jangka
waktu kredit dari 6 bulan menjadi 1 tahun sehingga si debitur mempunyai waktu
yang lebih lama untuk mengembalikan.
- Memperpanjang jangka waktu angsuran Memperpanjang angsuran hampir sama
dengan jangka waktu kredit. Dalam hal ini jangka waktu angsuran kreditnya di
perpanjang pembayaranya, misalnya dari 36 kali menjadi 48 kali. Dengan hal ini
tentu saja jumlah angsuran pun menjadi mengecil seiring dengan penambahan
jumlah angsuran.

b. Reconditioning (Persyaratan Kembali), yaitu penyelamatan pembiayaan


bermasalah dengan mengubah seluruh atau sebagian perjanjian antara bank dan
nasabah dengan harapan nasabah dapat melunasi kewajibannya, seperti:
- Kapasitas bunga, yaitu bunga dijadikan hutang pokok.
- Penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu. Dalam hal ini penundanaan
pembayaran bunga sampai waktu tertentu, maksudnya hanya bunga yang dapat
ditunda pembayaranya, sedangkan pokok pinjamanya tetap harus dibayar seperti
biasa.
- Penurunan suku bunga. Penurunan suku bunga dimaksud agar lebih meringankan
beban nasabah. Penurunan suku bunga akan mempengaruhi jumlah angsuran yang
semakin mengecil, sehingga diharapkan dapat membantu meringankan nasabah.
- Pembebasan bunga. Dalam pembebasan suku bunga diberikan kepada nasabah
dengan pertimbangan nasabah akan mampu lagi membayar kredit tersebut. Akan
tetapi nasabah tetap mempunyai kewajiban membayar pokok pinjamanya sampai
lunas.

c. Restructuring (Penataan Kembali), yaitu upaya dalam menyelamatkan pembiayaan


bermasalah dengan mengubah struktur pembiayaan tersebut, berupa:
- Tindakan bank kepada nasabah dengan cara menambah modal nasabah dengan
pertimbangan nasabah memang membutuhkan tambahan dana dan usaha yang
dibiayai memang masih layak. Tindakan ini dengan menambah jumlah kredit
ataupun dengan menambah equity.
- Mengkonversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru.
- Perubahan jenis fasilitas kredit termasuk konversi pinjaman dalam valuta asing
atau sebaliknya.

2. Penyelesaian Kredit Macet atau Bermasalah

Selanjutnya apabila usaha penyelamatan dengan 3R tersebut tidak berhasil


dilakukan, maka harus segera dilakukan upaya penyelesaian agar bank tidak
mengalami kerugian. Penyelesaian kredit bermasalah dapat dilakukan secara:

a. Penyelesaian kredit bermasalah secara damai


- Pemberian keringanan bunga untuk kredit kolektibilitas diragukan dan macet
dengan pembayaran lunas ataupun angsuran. Dalam putusan peresetujuan
penyelesaian kredit bermasalah dengan keringanan bunga harus dicantumkan
syarat batal dan kembali pada kewajiban sesuai surat utang, apabila kewajiban
yang telah dijadwalkan tidak dipenuhi dengan tertib.
- Penjualan angunan dibawah tangan, yaitu penyelamatan kredit secara damai
dengan penjualan angunan dibawah tangan.
- Penebusan sebagian atau seluruh barang angunan oleh debitur atau pemilik barang
angunan.
- Penjualan sebagian atau seluruh harta kekayaan debitur.

b. Penyelesaian kredit bermasalah melalui saluran hukum

Apabila upaya penyelamatan atau penyelesaian secara damai sudah


diupayakan secara maksimal dan belum memberikan hasil atau nasabah tidak
menunjukkan itikad baiknya (on will) dalam menyelesaikan kreditnya, maka
penyelesaiannya ditempuh melalui saluran hukum. Penyelesaian melalui saluran
hukum harus didasarkan kepada keyakinan bahwa posisi bank secara yuridis kuat dan
beban biaya legitasi yang ringan.

Penyelesaian kredit bermasalah melalui saluran hukum dapat dilakukan


dengan cara sebagai berikut:
- Penyelesaian kredit melalui pengadilan negeri
- Penyerahan pengurusan kredit macet kepada BUPLN/PUPN
- Penyerahan penyelesaian kredit macet melalui kejaksaan
- Penyelesaian kredit dengan pengajuan klaim asuransi

DAFTAR PUSTAKA

Kuncoro, M., & Suhardjono. (2002). Manajemen Perbankan : Teori dan Aplikasi Edisi Pertama.
Yogyakarta, Indonesia: BPFE.

Kuncoro, M., & Suhardjono. (2019). Manajemen Perbankan : Teori dan Aplikasi Edisi Kedua.
Yogyakarta, Indonesia: BPFE.

Anda mungkin juga menyukai