Anda di halaman 1dari 38

1

Orasi Ilmiah

Merancang Undang-Undang Kepresidenan Yang Bersumber Pada


Hukum Ketatanegaraan Majapahit

Oleh:
I Gede Yusa

Disampaikan Pada
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Dalam Bidang Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
Sabtu, 27 Maret 2021

Universitas Udayana
Bukit Jimbaran
2021
2

Orasi Ilmiah

Merancang Undang-Undang Kepresidenan Yang Bersumber Pada


Hukum Ketatanegaraan Majapahit

Oleh:
I Gede Yusa

Disampaikan Pada
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
Dalam Bidang Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
Sabtu, 27 Maret 2021

Universitas Udayana
Bukit Jimbaran
2021
3

Yang terhormat: Rektor Universitas Udayana beserta jajarannya;


Yang saya hormati:
Ketua dan anggota Senat Universitas Udayana;
Para Pimpinan Lembaga dilingkungan Universitas Udayana;
Para Pimpinan Fakultas dan Program Studi dilingkungan Universitas
Udayana;
Para undangan lainnya yang tidak dapat saya sebut satu persatu
Serta saudara mahasiswa yang saya cintai.

Om Swastyastu,
Pertama-tama saya memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang
Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rakhmat
beliaulah kita dapat berkumpul dan bertemu lewat online dalam acara
pengukuhan Jabatan Aklademik Profesor atau Guru Besar.

Hadirin yang saya hormati,


Hari ini adalah hari di mana kita bersama-sama merasakan kebahagiaan
terutama bagi saya pribadi dan keluarga, karena pada saat ini saya
dikukuhkan memegang jabatan akademik Profesor/Guru Besar. Namun
di sisi lain, pengukuhan saya sebagai Guru Besar sebenarnya
mempunyai makna bahwa saya dituntut untuk dapat berfikir, bersikap
dan berkarya dalam bidang keilmuan sesuai dengan jabatan tersebut.
Saya menyadari bahwa tugas demikian tidaklah mudah.
4

Sebagai langkah awal saya melaksanakan tugas jabatan Guru Besar, hari
ini saya menyampaikan orasi ilmiah dihadapan Rapat Terbuka Senat
Universitas Udayana. Sesuai dengan bidang ilmu yang saya tekuni
selama studi di perguruan tinggi yaitu Ilmu Hukum Tata Negara, maka
judul Orasi ilmiah yang akan saya sampaikan adalah “MERANCANG
UNDANG-UNDANG KEPRESIDENAN YANG BERSUMBER
PADA HUKUM KETATANEGARAAN MAJAPAHIT”.

Hadirin yang saya hormati,


Berbicara masalah lembaga kepresidenan di Indonesia, dalam hal ini
baik Presiden maupun Wakil Presiden secara yuridis kita hanya
mendapati dalam hukum dasar negara kita yaitu Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Secara normatip terkait
kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden di atur dalam Bab III tentang
Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Pasal 4 hingga Pasal 16 dan
tersebar pula dalam beberapa pasal yang lainnya seperti Pasal 20, Pasal
22, Pasal 23, dan Pasal 24. Jelaslah tampak bahwa Presiden dan Wakil
Presiden dalam menjalankan kekuasaannya hanya bersandarkan pada
tujuh belas (17) pasal saja padahal kita tahu kekuasaan Presiden dan
Wakil Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara
sangatlah luas dan kompleks. Apalagi kalau kita melihat dalam
pembukaan UUD disebutkan bahwa tujuan negara adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
5

ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,


perdamaian abadi dan keadilan sosial. Demikian juga dalam rangka
memenuhi amanat UUD terutama pada pembukaan alinea kedua yaitu
untuk membawa masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Sangat
berbeda jika kita lihat lembaga negara lainnya seperti Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA),
Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
lain-lainnya semuanya diatur dalam UUD dan diatur pula lebih rinci
dalam Undang-undang tersendiri dan peraturan perundang-undangan
lainnya.1 Oleh karena itulah maka dalam rangka kesetaraan pengaturan,
efektivitas pelaksaan tugas dan fungsi serta dalam mengembangkan
sistem checks and balances antar lembaga negara, maka sangatlah tepat
jika lembaga kepresidenan diatur pula dalam sebuah undang-undang
tersendiri.2

Hadirin yang saya hormati,


Tergelitik oleh pidato Gubernur Kalimantan Timur, Dr. Ir. H. Isran
Noor, M.Si dalam acara Musyawarah Nasional VI Asosiasi Pengajar
HTN-HAN Indonesia yang diselenggarakan pada tanggal 3-4 Februari
tahun 2021 di Samarinda, di mana telah berkumpul dan terhubung
online dengan 700 para ahli/pakar Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara, yang mana beliau mengharapkan agar dalam
penyusunan/perancangan sistem ketatanegaraan Indonesia kelak supaya
6

sungguh-sungguh bersumber pada hukum yang hidup dan berakar pada


masyarakat sendiri (kearifan lokal) dan tidak hanya mengambil alih
begitu saja sistem ketatanegaraan dan pemerintahan negara lain.
Jauh sebelumnya, Ir. Soekarno ketika berpidato dalam sidang BPUPKI
juga mengatakan bahwa Trias Politika adalah ajaran sistem
pemerintahan yang sudah kuno dan kurang begitu pas kalau diterapkan
sepenuhnya di Indonesia.3 Begitupun dengan pendapat peserta sidang
lainnya yang menginginkan agar sistem ketatanegaraan kita diambil dari
nilai-nilai sebagian besar sistem pemerintahan yang sudah dan pernah
ada yaitu sistem Kerajaan dan sistem pemerintahan desa-desa (adat) di
seluruh Indonesia, sehingga singkat kata akhirnya melahirkan lembaga
kenegaraan MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dengan
mengutamakan musyawarah mufakat dalam setiap pengambilan
keputusannya. Presiden adalah sebagai mandataris MPR yang dipilih
secara musyawarah mufakat oleh semua anggota MPR. Akan tetapi
dengan alasan demokrasi dan hak asasi manusia, ketika terjadi
amandemen pada UUD 1945 telah dirubah sangat prinsipil kewenangan
MPR termasuk juga pemilihan dan kekuasaan/kewenangan Presiden.4
Banyak pakar mengatakan bahwa perubahan sistem ketatanegaran dan
pemerintahan ini bersandar pada pemikiran barat/liberal yang mana satu
rakyat adalah satu suara yang lebih dikenal dengan sistem demokrasi
liberal individual. Padahal kalau kita hanya bertumpu pada demokrasi
ala barat maka menurut teori siklus kenegaraan yang digagas oleh
Polybios dengan Cyclus teori nya di mana sistem pemerintahan
7

demokrasi akan dapat melahirkan sistem pemerintahan Okhlorasi dan


Demokrasi adalah juga pelanjutan dari sistem pemerintahan Oligarkhi.5
Oleh karena itulah maka dalam kaitan dengan rekonstruksi sistem
ketatanegaraan di Indonesia ke depan, khususnya terkait dengan
merancang undang-undang lembaga kepresidenan maka sangatlah bijak
jika kita memahami dan mampu mengisi keinginan sebagian besar
anggota BPUPKI, keinginan sebagian rakyat Indonesia kini yang
terwakili oleh pandangan Gubernur Kalimantan Timur dan melihat
praktek ketanegaraan semenjak Proklamasi 17 Agustus 1945.6 Memang
kita akui dari bentangan usia sistem pemerintahan dan ketatanegaraan
yang pernah berlaku di Nusantara itu sudah lama atau tua tetapi dari
substansi atau muatan jiwa sistem terdahulu itu adalah modern atau
sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.7

Hadirin yang terhormat,


Sebenarnya sistem ketatanegaraan yang pernah diterapkan di tanah
Nusantara ini dan yang pernah menguasai perdagangan di kawasan Asia
Tenggara hingga ke tanah Campa serta kepulauan Zanzibar di Afrika
adalah sebuah sistem ketatanegaraan Kerajaan yang dikenal dengan
Kerajaan Majapahit (1293-1500 M). Pada era keemasan Majapahit
ketika dipimpin oleh Raja Prabu Hayam Wuruk dengan maha patih
Gajah Mada. Sebelumnya juga terdapat kerajaan Sri Wijaya di
Sumatera dan Kerajaan Taruma Negara di Kutai, Kalimantan Timur. Di
samping tiga (3) kerajaan yang disebutkan tadi sebenarnya masih
8

banyak kerajaan yang telah tumbuh sebelumnya dan yang lahir


belakangan yang kesemuanya itu menerapkan sebagian besar sistem
ketatanegaraan Kerajaan dengan seorang Raja sebagai kepala negara
dan sebagai kepala pemerintahannya.8
Seperti kita ketahui Kerajaan Majapahit dan juga kerajaan sebelumnya
dalam pengaturan kesehariaan pemerintahan dan ketatanegaraannya
diatur dalam beberapa kitab perundang-undangan pada waktu itu
seperti: Kutaramanawa (Manawadharmasastra), Adigama,
Purwadigama, Sjewasjana, Swaradlambu, Sjiwasasana, Sarasamuscaya,
Radjapatigundala, Artasastra, dll. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan
Hindu yang agama masyarakatnya disebut Ciwa dan Budha.9 Kitab
hukum yang terkait dengan ketatanegaraan juga banyak diambil dari
berbagai dharmasastra dan Itihasa Mahabharata serta Ramayana.10
Memang kita akui semua naskah atau kitab hukum ketatanegaraan yang
berlaku zaman dahulu itu dari segi waktu sudah cukup lama tetapi dari
segi isi atau substansi sangatlah modern dan berisikan tentang keadilan
serta mewujudkan masyarakat yang damai dan sejahtera. Kalau kita
masih ingat dengan sesanti kerajaan Majapahit “Kadigwijanira
Narendra ing Praja” (kekuasaan memerintah yang berbahagia oleh
Sang Prabu) di mana sempat membawa masyarakatnya pada kondisi
Toto Tentram Kerto Raharjo, Gemah Ripah Loh Jinawi.
9

Hadirin yang saya muliakan,


Guru Besar Hukum Tata Negara pada fakultas hukum Universitas
Indonesia yaitu Prof. Mr. Djokosoetono,11 pernah mengatakan bahwa
seandainya peraturan-peraturan pada zaman Majapahit yang diterapkan
oleh Gadjah Mada itu tercatat dan catatan itu sampai kepada kita, maka
kita sudah mempunyai dasar hukum nasional. Tidak seperti sekarang ini.
Dari ucapan itu jelas bahwa Prof Djokosoetono yang menjadi
kebanggaan fakultas hukum Universitas Indonesia itu ingin
menggunakan perundang-undangan Majapahit sebagai landasan hukum
nasional Republik Indonesia. Sudah pasti bahwa keinginan itu bertalian
dengan watak kenasionalan kerajaan Majapahit. Begitu pula jika kita
rujuk pernyataan Prof Dr. Slametmuljana yang menyatakan
“bagaimanapun perundang-undangan Majapahit adalah pusaka
nasional, yang penerapannya pernah berhasil gilang gemilang berkat
kecapakan para pelaksananya. Oleh karena itu tidak ada jeleknya untuk
mempertimbangkan dalam penyusunan hukum nasional. Pusaka
nasional itu paling sedikit dapat dijadikan bahan perbandingan”.12

Hadirin yang sangat saya muliakan,


Merancang sebuah undang-undang, apalagi terkait dengan undang-
undang yang mengatur mengenai kekuasaan pemimpin negara atau
pemerintahan sudah tentu sangatlah berat dan diperlukan banyak
pengalaman dan kearifan. Thorbecke,13 seorang sarjana Belanda pernah
mengatakan tidak ada suatu ilmu yang kurang kita pahami di negara
10

kita selain ilmu merancang undang-undang. Di samping diperlukan ilmu


hukum, ilmu politik dan ilmu yang berhubungan dengan substansi
undang-undangnya, maka ternyata dalam merancang suatu undang-
undang sangatlah diperlukan ilmu seni merangkai kata-kata agar
maknanya tidak kabur atau ganda. Begitu pula untuk dapatnya suatu
undang-undang itu berlaku efektif di masyarakat maka harus minimal
berlandaskan tiga hal yang kuat yaitu landasan filosofis, landasan
sosiologis dan landasan yuridis.14
Persoalannya sekarang adalah jika kita bangsa Indonesia berkeinginan
untuk membuat satu rancangan undang-undang kepresidenan yang
berlandaskan kepada nilai-nilai filosofis dan sosiologis masyarakat yang
pernah ada dalam kerajaan Majapahit maka nilai-nilai manakah yang
akan diambil sehingga mampu menjawab tantangan bangsa ini ke depan.
Sebagai usulan untuk pembuatan rancangan undang-undang
kepresidenan maka pada kesempatan yang sangat baik ini saya memberi
masukan minimal terkait dengan materi muatan antara lain pertama
perihal syarat-syarat seorang Presiden/Wakil Presiden, kedua perihal
syarat-syarat Menteri sebagai pembantu Presiden, ketiga perihal
kewajiban Presiden didampingi oleh Penasehat, dan keempat perihal
hukuman kepada Presiden jika melanggar hukum. Dalam kesempatan
yang sangat terbatas ini ijinkan saya hanya mengambil empat (4) hal
terkait dengan usulan untuk mengambil nilai-nilai yang ada dalam
praktek ketatanegaraan Majapahit sebagai nilai kearifan lokal bangsa
11

Indonesia. Terkait dengan subtansi atau materi lainnya semoga dapat


dipakai sebagai bahan riset oleh peneliti lain.

Hadirin yang saya muliakan,


Terkait dengan masukan pertama (1) yaitu syarat-syarat untuk dapat
dipilih menjadi seorang Presiden atau Wakil Presiden, di samping sudah
ditentukan secara sumir di dalam Pasal 6 ayat (1) UUDNRI 1945 maka
perlu kiranya dipertimbangkan dan diambil nilai-nilai dari Kitab
Kautilya Artha Sastra V.2.17, untuk memenuhi permintaan Pasal 6 ayat
(2) UUD NRI 1945 yang menyatakan syarat-syarat untuk menjadi
Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Adapun persyaratan untuk menjadi pemimpin (Presiden/Wakil
Presiden) dalam Kitab Kautilya Arthasastra yang akan menjadi jiwa
dalam rancangan undang-undang kepresidenan nanti adalah sebagai
berikut :
1. Abhigamika, menarik hati rakyat sehingga rakyat mau mengikuti
dan menuruti perintahnya, lahir dari keluarga baik-baik,
membawa keberuntungan, cerdas dan bersemangat tinggi,
hormat pada yang lebih tua, taat pada ajaran agama, berkata
benar dan tidak ingkar janji;
2. Pradnya, menyangkut kemampuan intelektual, mau belajar, mau
mendengar, berpendirian teguh, mudah memahami
permasalahan, segala sesuatunya dipertimbangkan masak-
12

masak, tidak segan-segan menolak pendapat yang salah, selalu


berlandaskan kebenaran;
3. Utsaha, yaitu keberanian, tidak mudah berkecil hati, cepat dan
tangkas dalam melakukan pekerjaan;
4. Atmasampad, menyangkut kecakapan seperti pandai bicara,
gagah berani, mempunyai ingatan yang kuat, intelek, budi luhur,
mudah mengendalikan diri, ahli dalam seni, bebas dari tindakan
tercela, mampu memimpin tentara, mampu membalas budi,
mempunyai rasa malu, mampu berrtindak cepat dalam keadaan
darurat, memandang jauh ke depan, bisa menghargai orang,
mampu membedakan situasi, mampu menentukan kapan
memberi dan kapan menarik pemberian, mampu melihat titik
lemah lawan, tidak tertawa pada yang tidak pantas, tidak
memandang dengan muka musam, mengurangi birahi, marah,
serakah, kaku, mudah berubah fikiran dan suka menganiaya;
5. Sakya Samanta, artinya seorang pemimpin harus mampu
mengontrol bawahannya dan memperbaiki hal-hal yang patut
diperbaiki;
6. Akshudra Parishata, bahwa seorang pemimpin harus mampu
memimpin sidang dengan para bawahannya dan menyatukan
pendapat yang berbeda-beda. Parisatha artinya mencari inti
kebenaran dari berbagai pendapat, usul, saran yang dijumpai
dalam sidang.15
13

Di samping persyaratan untuk seorang Presiden dan Wakil Presiden


seperti tersebut di atas, maka perlu kiranya dipertimbangkan ajaran Asta
Brata, yaitu delapan (8) sifat para Dewa yang harus dimiliki oleh
seorang calon pemimpin atau Presiden. Kedelapan sifat Dewa tersebut
adalah sbb. :16
1. Indra Brata, mengajarkan bahwa seorang pemimpin
(Presiden/Wakil Presiden) hendaknya seperti Hyang Indra, yaitu
Dewa yang menurunkan hujan ke bumi secara merata, tanpa
pilih kasih. Artinya seorang pemimpin/Presiden harus mampu
memberi pelayanan kepada masyarakat secara adil, merata, dan
tanpa pilih kasih.
2. Surya Brata, menegaskan hubungan negara dengan rakyat dalam
hal pemungutan pajak dari rakyatnya, tetapi ditekankan agar
jangan sampai pajak itu dirasakan sebagai beban oleh rakyatnya.
Oleh karena itu, negara perlu memberikan kesejahteraan kepada
rakyatnya sehingga mereka tidak merasakan beban dalam
membayar pajak. Pada akhirnya pajak itu juga harus
dikembalikan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti
siklus alam. Matahari menarik uap air, mengumpulkan menjadi
awan, dan awan kemudian menurunkan hujan, hujan ini akhirnya
juga kembali mengalir ke sungai dan membrikan kesejahteraan
bagi mahluk hidup. Namun demikian Dewa Surya juga
memberikan penerangan kepada seluruh alam semesta dan
segala isinya.
14

3. Bayu Brata, Bayu atau angin selalu memenuhi ruang, tidak ada
satupun ruang yang tidak terisi oleh angin. Dia memberikan
kehidupan dalam wujud nafas, memenuhi ruang dan tidak
menyisakan satupun ruang yang tidak terjamah olehnya.
Demikian halnya dengan seorang pemimpin/Presiden, layaknya
berlaku seperti angin, yaitu mampu membaca seluruh pikiran
dan kehendak rakyat.
4. Yama Brata, Dewa Yama adalah Dewa Pengadil, yang
menghukum orang yang berbuat salah dan memberikan pahala
kepada orang yang suci, jujur dan setia.
5. Baruna Brata, Baruna (Waruna) Brata, yakni Dewa Baruna
dianggap Dewa yang bersenjata Naga Pasa yang bertugas
membasmi durjana dan musuh. Artinya pemimpin atau Presiden
harus memiliki pengetahuan atau wawasan yang luas sehingga
mampu menghilangkan kendala-kendala yang dapat merusak
kinerja organisasi atau kabinet yang dipimpinnya. Dalam
konteks ini, kendala-kendala yang menghambat berlangsungnya
sistem pemerintahan yang baik hendaknya dapat diketahui dan
segera dicarikan solusinya. Kendala itu bisa bersumber dari
struktur, kultur, maupun aparatur pemerintahan.
6. Chandra (Sasi) Brata, yakni tercermin dalam sifat-sifat Dewa
Bulan, tatkala Bulan penuh (Purnama) semua penghuni dunia
senang olehnya. Ini merupakan harapan setiap rakyat bahwa
Presiden hendaknya selalu ramah, dan menunjukkan muka yang
15

tenang kepada rakyat, baik dalam keadaan senang maupun


kesusahan. Artinya seorang pemimpin atau Presiden harus dapat
memberi kesejukan dan kenyamanan pada rakyatnya. Dalam
konteks ini, Chandra Brata merupakan teladan prilaku dalam
memberikan pelayanan. Presiden harus melayani rakyatnya
dengan lemah lembut, ramah-tamah, sopan, dan menyejukkan
hati orang yang dilayani (customer). Jadi Chandra Brata
menekankan pentingnya sikap pemimpin atau Presiden dalam
memberikan pelayanan yang nyaman dan menyejukkan kepada
rakyatnya.
7. Agni Brata, menguraikan bahwa seorang Presiden hendaknya
meneladani sifat Agni (api) yang selalu menyala dan berkobar.
Sifat Agni yang membakar dimaknai sebagai kekuatan untuk
menumpas segala kejahatan yang dapat merongrong
kewibawaan negara. Namun, sifat Agni juga dapat dimaknai
sebagai semangat yang selalu berkobar dalam diri seorang
Presiden. Pertama seorang Presiden tidak boleh kehilangan
semangat dalam memberikan pelayanan yang terbaik kepada
masyarakat. Kedua seorang Presiden hendaknya juga harus
mampu memotivasi dan membangkitkan semangat rakyatnya.
8. Prthiwi atau Kuwera Brata, Prthiwi Brata dalam Manawa
Dharmasastra atau Kuwera atau Dhana Brata dalam Kakawin
Ramayana merujuk pada hal yang sama, yakni Dewa-Dewi
penganugerah kekayaan dan kemakmuran bagi manusia,
16

sekaligus simbol dari kekayaan itu sendiri. Sebagai


penganugerah kekayaan, mengajarkan bahwa seorang Presiden
hendaknya mengutamakan upaya-upaya peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Sebagai penutup dari konsep pelayanan Asta Brta ini, Kakawin
ramayana, sloka 84, menguraikan seperti berikut:
Nahan de sang natha kemita, irikang bhumi subhaga,
Pararthasih yagong sakalara, nikang rat wi nulatan,
Tuminghal yatna asing sawuwusikanang sasana tinut,
Tepet masih tar weruh kutima, milaging bancana dumeh.
Artinya:
“Demikianlah kewajiban seorang Raja atau Presiden untuk
melindungi dunia demi untuk kemakmuran dan kebahagiaan
rakyat. Seorang Presiden harus selalu mengutamakan
kepentingan-kepentingan rakyatnya dan segala penderitaan
rakyat harus dipikirkan. Segala ajaran-ajaran di dalam kitab-
kitab suci harus diikuti dengan seksama. Dengan demikian,
rakyat akan tetap mencintai Presiden dengan teguh, tidak
mengenal kecurangan serta menjauhi penipuan, itulah
akibatnya”.
Nasehat Rama kepada adiknya Bharata tersebut menekankan pada
keteladanan orang-orang bijak yang selalu berpegang pada dharma.
Menghindarkan pada kesenangan nafsu duniawi dan sebaliknya, justru
selalu memikirkan atau melenyapkan penderitaan rakyat atau orang-
17

orang yang dipimpinnya. Presiden atau pemimpin yang demikian


menurut Canakya Nitisastra (1.11) akan menjadi tempat sandaran bagi
rakyatnya.

Bapak/Ibu hadirin yang saya hormati,


Berbicara masalah usulan ke dua (2) terkait dengan syarat-syarat
Menteri sebagai pembantu Presiden maka dalam kesempatan ini
dapatlah saya usulkan untuk memetik nilai-nilai kearifan lokal yang
pernah dijadikan sesuluh dalam kehidupan masyarakat Nusantara ini.
Secara spesifik, kualifikasi yang harus dimiliki oleh seorang calon
Menteri atau pembantu Presiden agar dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik seperti tersurat dalam naskah suci adalah sebagai berikut:
1. Pratinidhi (Pembantu Utama) adalah orang yang harus tahu
mana yang harus dikerjakan dan yang tidak perlu dikerjakan.
2. Pradhana adalah orang yang mempunyai pandangan yang luas
terhadap semua hal.
3. Sachiwa adalah orang yang mempunyai keahlian dalam ilmu
bela diri/perang (pertahanan).
4. Mantrim adalah orang yang tahu tentang politik dan diplomasi
5. Pradwiwaka adalah orang yang tahu watak manusia, sastra dan
filsafat.
6. Pandita adalah orang yang tahu dan taat tentang agama dan
moral.
18

7. Amatsya adalah orang yang tahu dan ahli tentang tanah dan
sumber daya alam.
8. Sumantra adalah orang yang pandai mengatur pendapatan,
anggaran belanja negara, dan keuangan pada umumnya.
Begitu pentingnya kedudukan dan peran menteri dalam menjalankan
roda pemerintahan juga terdapat dalam Arthasastra seperti dijelaskan
dalam Canakya Sutra “Naikam cakram paribhramayati” (Kereta tidak
bisa bergerak dengan satu roda”). Maksudnya, Raja atau Presiden tidak
akan mampu menjalankan pemerintahan sendiri sehingga diperlukan
bantuan pihak lain atau dewan menteri (Atmatya). Menurut Kautilya,
dewan menteri harus ditunjuk dari penduduk asli, teruji kesetiaannya,
berasal dari keluarga terhormat, mudah diawasi, terlatih dalam seni,
berilmu, tekun, tangkas, cakap berbicara, gagah berani, cerdas, berakal,
mempunyai kekuatan, mampu memimpin, serta mampu mengatasi
berbagai situasi.

Bapak/Ibu dan hadirin yang saya hormati,


Terkait dengan persoalan usulan ketiga (3) yaitu kewajiban Presiden
didampingi oleh Penasehat, maka dapatlah kiranya di ambil contoh
ketika Para Raja di Kerajaan Majapahit selalu didampingi oleh Pendeta
yang mumpuni atau dikenal dengan Bhagawanta (Purohita).17 Di dalam
beberapa kitab hukum tata negara hindu disebutkan bagaimana
seharusnya seorang pemimpin negara atau pemerintahan itu wajib
didampingi oleh pendeta atau yang ahli agama. Kepemimpinan seorang
19

Raja atau Presiden yang didampingi oleh Pendeta lazim dikenal dengan
Rajarshi. Secara harfiah Rajarshi terdiri atas dua kata, Raja dan Rshi.
Raja berarti seorang pemimpin tertinggi dalam sistem monarkhi atau
kerajaan. Sementara itu Rshi menunjuk pada seseorang yang
berkedudukan sebagai pendeta agama atau orang yang memiliki
pengetahuan mendalam di bidang keagamaan. Dalam sistem
ketatanegaraan Hindu konsep Raja dan Rshi ini menunjukkan hubungan
penting antara Swamin dan Purohita. Menurut Maharsi Kautilya seorang
Purohita harus dipilih dari para pendeta yang benar-benar paham tentang
Sadangga (badan-badanVeda) dengan kata lain seorang Purohita
haruslah pendeta yang memahami isi kitab suci Veda. Dalam Kautilya
Arthasastra, IX.V.10-11 dijelaskan bahwa seorang Raja (Svamin)
hendaknya mengikuti nasihat Purohita, seperti bhakti seorang murid
kepada gurunya, seorang anak kepada ayahnya atau pembantu kepada
majikannya. Sebab kaum Ksatriya hanya akan berhasil apabila ada
Brahmana, kekuatannya disucikan oleh mantra dan nasehat para menteri
(Atamatyasampat), dengan kerja dan pengetahuan ketatanegaraannya ia
akan menjadi jaya tidak terkalahkan. Di sini tampak bahwa hubungan
antara Svamin dan Purohita dalam sistem ketatanegaraan Hindu
merupakan kesatuan fungsional yang saling mendukung satu dengan
lainnya.18
Sejalan dengan itu, dalam Kakawin Ramayana dijelaskan
hubungan antara Natha yang artinya Raja (Presiden) dan Wiku yang
berarti Purohita sebagai berikut:
20

Brahmana ksatrya padulur,


Jatinya paras parossarpanaya,
Wiku tanpa natha ya ilang,
Tan pawiku kunang Wisirna.

Artinya: Brahmana dengan Ksatrya harus bergandengan,


Sesungguhnya mereka harus bekerja sama bahu-membahu,
Pendeta tanpa Raja akan lenyap,
Demikian juga Raja tanpa Pendeta akan hancur.19
Demikianlah bahwa usulan saya ketika rancangan undang-undang
kepresidenan ini akan lahir maka lembaga Penasehat Presiden harusnya
didudukan pada tempat yang semestinya bukan sebagai underbow atau
dibawah Presiden (seperti pada Wantimpres sekarang ini), tetapi harus
sejajar seperti Lembaga Dewan Pertimbangan Agung dulu, tentunya
struktur kelembagaan dan muatannya tidak segemuk seperti DPA zaman
sebelum reformasi.20

Bapak dan Ibu serta hadirin yang saya hormati,


Untuk permasalahan usulan ke empat (4) terkait dengan Hukuman
kepada Presiden jika melanggar hukum maka dapatlah saya katakan
dengan istilah samabedha. Sama berarti setiap warga negara itu
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, tetapi
bedha itu berarti bahwa seseorang itu dibedakan hukumannya
tergantung pada kedudukan atau jabatan yang diemban serta fasilitas
yang didapat oleh seseorang itu.
21

Semakin tinggi kedudukan atau jabatan seseorang dengan fasilitas yang


semakin nyaman tentunya hukumannya lebih berat daripada orang yang
tidak memegang jabatan dan tidak memahami hukum atau aturan.
Di dalam draft atau rancangan undang-undang lembaga kepresiden yang
beredar secara luas di masyarakat khususnya di dunia maya tidak
terdapat secara khusus mengatur mengenai hukuman yang dijatuhkan
kepada Presiden/Wakil Presiden jika melanggar hukum malahan
terdapat rancangan norma terkait dengan kekebalan Presiden dan Wakil
Presiden dari tindakan hukum baik perdata maupun pidana. Demikan
juga jika Presiden dan Wakil Presiden melanggar hukum maka untuk
dapat disidik harus mendapat persetujuan tertulis dari Pimpinan MPR. 21
Intinya masyarakat dewasa ini malah menganggap jika seseorang
berkedudukan tinggi harus mendapat perlakuan beda/istimewa dengan
masyarakat pada umumnya.
Di kerajaan Majapahit dan kerajaan lainya pada zaman dahulu sangat
ketat dan tepat dalam menerapkan hukumnya. Pernah dalam prasasti
disebutkan seorang putra mahkota dalam suatu kerajaan dihukum
potong tangan karena menyentuh barang yang bukan miliknya. 22 Begitu
pula jika kita membaca kitab Hukum Manawadharmasastra disebutkan
jika yang melanggar hukum adalah kaum buruh atau pembantu maka
hukumannya adalah sesuai dengan ketentuan sanksi yang terdapat pada
pasal itu. Sedangkan jika yang melanggar hukum para kaum pedagang
atau ekonom maka hukuman di kalikan dua dan jika pelanggar
hukumnya adalah para Ksatrya atau pemimpin masyarakat maka
22

hukumannya tiga kali lipat dan terakhir jika yang melanggar hukum
adalah para kaum Brahmana atau yang menguasai Kitab Suci maka
hukumannya adalah empat kali lipat.23
Berkaitan dengan pencantuman sanksi dalam rancangan undang-undang
lembaga kepresidenan kelak sebagai ius konstituendum maka saya
mengusulkan agar hukuman kepada Presiden dan Wakil Presiden jika
terbukti melanggar hukum itu bisa diperberat karena dianggap sangat
menguasi hukum dan malah sebagai pembuat hukum (undang-undang).
Disamping itu pula Presiden/Wakil Presiden sebagai panutan
masyarakat atau warga negara maka harus menjadi contoh dan tauladan
dalam mentaati hukum itu sendiri.
23

PENUTUP

Berdasarkan paparan tersebut di atas, secara ringkas dapat saya


simpulkan sebagai berikut:
1. Undang-undang Lembaga Kepresiden agar segera dibentuk dalam
rangka kesetaraan pengaturan kelembagaan, efektifitas pelaksanaan
tugas dan fungsi serta mewujudkan sistem checks and balances antar
lembaga negara.
2. Undang-undang Lembaga Kepresidenan yang akan dibentuk harus
berlandaskan pada nilai-nilai filosofis bangsa dan sesuai dengan
kondisi sosiologis masyarakat Indonesia serta berlandaskan hukum
positip yang berlaku.
3. Nilai-nilai positip dari kejayaan kerajaan masa lalu sebagai nilai
kearifan lokal kiranya dapat dipertimbangkan menjadi jiwa
substansi atau materi muatan undang-undang kepresidenan.
24

UCAPAN TERIMA KASIH

Sebagai penutup orasi ilmiah pengukuhan jabatan Guru Besar saya ini,
ijinkan saya menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada Catur Guru, yaitu empat (4) guru saya :
Pertama adalah Guru Sawadyaya yaitu Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, Para Dewa dan Dewi serta Bhetara-
Bhetari yang telah memberikan sinar sucinya dan terus melindungi dan
menuntun saya sampai saat ini. Kedua adalah Guru Wisesa yaitu
Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan yang telah mengangkat saya dalam jabatan akademik
Profesor atau Guru Besar. Begitu juga Mahkamah Konstitusi RI yang
telah membantu pembiayaan penelitian disertasi saya sehingga selesai
pada waktunya.

Ketiga adalah Guru Pengajian saya dari Sekolah Dasar Negeri No.6
Klungkung, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Klungkung, Sekolah
Menengah Pertama Negeri Sibetan, Bebandem Karangasem dan
Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Klungkung. Kemudian dosen saya
dari program S1 dan S2 Fakultas Hukum Universitas Udayana serta
dosen Program S3 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang
terutama Dosen sekaligus kolega saya antara lain : Prof Dr. IDG
Atamadja,S.H.,M.S, Prof. Dr. I Made Pasek Diantha,S.H.,M.S, Prof. Dr.
I Nyoman Nurjaya,S.H.,M.S., I Ketut Wirta Griadi,S.H.,M.H., Prof. Dr.
25

IGN Wairocana,S.H.M.H.(alm), Prof. Dr. I Ketut Mertha,S.H.,M.H.,


Prof.Dr.R.A. Retno Murni,S.H.,M.H., I Wayan Koti Cantika,S.H. (alm),
Prof. Dr. Ibrahim.R,S.H.,M.H., Prof. Dr. I Made Subawa,S.H.,M.S.,
Prof. Dr. I Wayan Parsa,S.H.,M.H., Prof. Dr. Putu Sudarma
Sumadi,S.H.,S.U., Prof. Dr. I Wayan Windia,S.H.,M.Si., Prof.Dr. I
Ketut Rai Setiabudhi, S.H.,M.S., Prof. Dr. I Made Arya
Utama,S.H.M.Hum, Prof. Dr. Ni Ketut Supasti
Dharmawan,S.H.,M.H.,LL.M., dan Dr. Dewi Bunga,S.H.,M.H.
Begitu juga seluruh dosen bagian Hukum Tata Negara dan Bagian
lainnya yang tidak dapat saya sebut satu persatu, terima kasih atas
support dan kebersamaannya selama ini dalam menjalankan kewajiban
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Catur Guru keempat adalah Guru Rupaka, yaitu orang tua saya, Bapak I
Nyoman Karsa dan Ibu Ni Nengah Ringin, yang ke duanya sudah
almarhum. Walaupun ke dua orang tua saya tidak bisa menikmati
pendidikan sekolah dasar sebagaimana mestinya tapi saya yakin karena
doa beliaulah saya bisa menapaki pendidikan sampai jenjang tertinggi.
Demikian juga kedua mertua saya, Bapak Kapten Pol. I Komang Alit
dan Ibu Ni Nyoman Sujani yang juga sudah almarhum, saya hanya bisa
berdoa semoga kedua orang tua dan mertua saya Amor ring Acintya.
26

Para undangan yang saya hormati,


Pada hari yang berbahagia ini ijinkan juga saya menyampaikan rasa
terimakasih yang khusus dan sangat mendalam kepada isteri saya
tercinta, Ni Ketut Ardani,S.H.,M.Kn, atas kerelaan dan dorongannya
terhadap saya untuk melanjutkan studi di S2 dan S3 serta perhatian
khusus dalam perjuangan perolehan jabatan akademik ini.
Kepada keluarga lainnya terutama kakak saya I Putu Arta (alm), Kakak
Ni Nengah Trepti (alm), Kakak Dra.Ni Ketut Esti,A.Md.S.Si, Kakak Ni
Luh Putu Ari, Kakak I Made Wirya,B.Sc.,S.Sos, Kakak I Komang
Nitia,B.A (alm), Kakak Dra Ni Ketut Dirgawati dan Adik Dra. Ni Luh
Made Suastikarani,M.Pd., begitu juga dengan saudara kandung Isteri
saya antara lain yaitu, Komang Nila Adnyani,S.H., Gede Pasek
Suardika,S.H.,M.H.dan Kadek Wati Satyani,S.E., sudah sepantasnya
saya juga menyampaikan terima kasih atas segala bantuan dan doanya
dalam menjalani masa kehidupan ini karena berfungsi juga sebagai
orang tua pengganti. Begitupun dengan seluruh Ipar dan Keponakan
serta Cucu keponakan dan Kumpi Keponakan yang selalu dalam
kebersamaan dan menghibur di kala suka dan duka.
Sebagai akhir dari pidato ini perkenankanlah saya menyampaikan pesan
dan harapan kepada anak saya I Gede Yudi Arsawan,S.H., I Made
Sidartha Dipayhana dan Ni Nyoman Andrani Kusumawati yang saat ini
sedang bergelut menuntut ilmu, juga kepada semua anak didik saya
khususnya Bagus Hermanto,S.H., dan para mahasiswa tercinta
utamanya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana baik
27

program sarjana maupun program pasca sarjana supaya tekun dan


disiplin dalam menuntut ilmu, karena ketekunan dan kedisiplinan
merupakan modal utama untuk mencapai sukses.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.


28

Catatan:
1) Dapat dilihat ada satu lembaga negara sudah berganti tiga (3) hingga
lima (5) kali undang-undang, seperti UU MD3, UU MK dll.
2) Jika kita lihat di negara lain hampir sebagian besar lembaga
kepresidenan diatur dalam sebuah undang-undang.
3) Dalam sidang BPUPKI, anggota Sanoesi sempat juga memunculkan
sistem Kerajaan. Dapat dilihat dalam Risalah BPUPKI, h.123.
4) Sebelum amandemen titik berat pemerintah ada di Eksekutif
(Executif Heavy) namun setelah amandemen menjadi legeslatif heavy
5) IDG Atmadja, 2012, Ilmu Negara, Setara Press, Malang. H.131, bisa
juga dilihat dalam Boli Sablon, Joko Soetono, dan Azhary.
6) Untuk hari kelahiran NKRI sebelumya ada dua pandangan, yaitu 17
Agustus 1945 dan 18 Agustus 1945.
7) IDG Atmadja,2011, Negara dan Pemerintah Menurut Hindu,Setara
Press, Malang, h.121.
8) Kerajaan yang ada seperti Medang Kemulan, Pajajaran, Singosari,
dll.
9) J.H.C.Kern, W,H.Rassers, 1982, Ciwa dan Buddha, Djambatan, XV.
10) Kisah Mahabarata dan Ramayana sering dijadikan pagelaran
Wayang dengan bahasa Kawi atau Jawa Kuno.
11) Prof. Mr. Djokosoetono karena kepintaran dan keahliannya waktu
mahasiswa sering lulus dengan tidak perlu diuji oleh dosennya.
12) Slametmuljana, 1967, Perundang-undangan Madjapahit,
Bhratara, Jakarta, h.18.
29

13) Dapat dilihat dalam Irawan Soejito, Teknik Membuat Undang-


Undang.
14) Dapat dibaca lebih lengkap dalam Geldings Theory, dan Maria
Farida, Hestu,C.H., serta Marhaendra,W.A. Gede dkk.
15) IB Gunadha, 2012, Aneka Politik Hindu,Widya Dharma, Denpasar,
h.133.
16) Presiden Suharto di TMII membuat Museum Asta Bhrata.
17) Di kerajaan Majapahit juga dikenal dengan Dangacarya Kasaiwan
(penganut Ciwa) dan Dangacarya Kasogatan (penganut Buddha).
18) IB Gunadha, Op.cit. h.162
19) Dapat diibaratkan sebaga dua sisi mata uang kepeng.
20) Anggota DPA dulu kebanyakan dari mantan Menteri atau Gubernur.
21) Jika pimpinan MPR baik dengan Presiden atau satu partai tentu sulit
didapat persetujuan tertulis.
22) Peristiwa ini pernah terjadi di Kerajaan Kalingga atau Holing.
23) Dapat dilihat lebih lengkap dalam Manawadharmasastra.
30

DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, IDG, 2012, Ilmu Negara, Setara Press, Malang.
Azhary, 1983, Ilmu Negara Pembahasan Buku Prof.Mr.R Kranenburg,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Boli Sabon, Max, 1992, Ilmu Negara, Buku Panduan Mahasiswa, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Gunada, IB, 2012, Aneka Politik Hindu, Widya Dharma, Denpasar.
Irawan Soejito, 1969, Teknik Membuat Undang-Undang, Pradnya
Paramitha, Jakarta.
Hestu Cipto Handoyo, 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Naskah
Akademik, Univ.Atma Jaya, Yogyakarta.
Kern, J.H.C.,W.H.Rassers, 1982, Civa Dan Buddha, Djambatan.
Maria Farida Indriati S, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius,
Yogyakarta.
Marhaendra,W.A.Gede,dkk, 2017, Perancangan Peraturan
Perundang-undangan, Pustaka Ekspresi, Tabanan, Bali.
Mahkamah Konstitusi RI, 2008, UUD NRI 1945, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan MK, Jakarta.
Pudja, G.M.A., dan Tjok Rai S, 1977, Manawa Dharmacastra (Manu
Dharmacastra), C.V. Junasco, Jakarta.
Slametmuljana, 1967, Perundang-undangan Madjapahit, Bhratara,
Jakarta.
Sekretariat Negara RI, 1995, Risalah Sidang BPUPKI, Jakarta.
Yusa, I Gede,Ed.,2011, Demokrasi, HAM dan Konstitusi, Setara Press
Malang.
31

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Prof. Dr. I Gede Yusa, S.H., M.H.


2. Tempat/Tanggal lahir : Klungkung, 20 Juli 1961
3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. NIP : 19610720 198609 1 001
5. Golongan/Pangkat : IV.c/Pembina Utama Muda
6. Jabatan : Guru Besar
7. Agama : Hindu
8. Nama Isteri : Ni Ketut Ardani, S.H., M.Kn.
9. Nama Anak : 1. I Gede Yudi Arsawan, S.H.
2. I Made Sidartha Dipayhana
3. Ni Nyoman Andrani Kusumawati
10. Alamat Kantor : Jl. Pulau Bali No. 1 Denpasar 80114
11. Perguruan Tinggi : Fakultas Hukum Universitas Udayana
12. Alamat Rumah : Jl. Pesona Utama No. 6 Denpasar 80222
13. Alamat Email : gedeyusa345@gmail.com/
gedeyusa@rocketmail.com
14. Telp/HP : (0361) 726633/081239633130
32

Riwayat Pendidikan
1. Tahun 1973 : Tamat SD No.6 Klungkung
2. Tahun 1976 : Tamat SMP Negeri 1 Sibetan
Karangasem
3. Tahun 1980 : Tamat SMA Negeri 1 Klungkung
4. Tahun 1985 : Lulus Sarjana Hukum Jurusan Hukum
Tata Negara, FH Unud
5. Tahun 2005 : Lulus Magister Hukum Program Pasca
Sarjana Univeritas Udayana.
6. Tahun 2011 : Lulus Program Doktor Ilmu Hukum, FH
Univeritas Brawijaya.

Riwayat Pekerjaan
1. Asisten Dosen (CPNS) : 1986
2. Dosen Pengajar FH Unud : 1986 – sekarang
3. Dosen Tidak Tetap Unwar : 1987 – 1997
4. Dosen TT Poltekkes Denpasar : 1996 – sekarang
5. Dosen TT AKBID Kartini Dps : 2007 – 2019
6. Dosen TT FT Arsitektur Unud : 1995 – 2016
7. Dosen TT Poltek Negeri Bali : 2008 - 2010
8. Staf PD I FH Unud : 1990 – 1994
9. Humas Dekan FH Unud : 1995 – 1999
10. Sekretaris PUSDOKPUB FH : 2005 – 2010
11. Ketua Bagian HTN : 2005 – 2009
2013 - 2017
12. Sekretaris Pusat Kajian Konstitusi : 2009-2016
13. Ketua DPD APHAMK Bali : 2010 – 2020
14. Wakil Dekan III FH Unud : 2016 - 2020
33

Kegiatan Penelitian (Terpilih)


1. Tahun 2006 : Peneliti, Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Penggunaan
Hak-Hak DPRD Propinsi Bali.
(DIPA Unud, 2006)
2. Tahun 2007 : Peneliti, Legal Standing
Masyarakat Hukum Adat Bali
Dalam Pengujian Undang-
Undang di Mahkamah
Konstitusi. (Mandiri)
3. Tahun 2010 : Peneliti, Pengaturan
Kewenangan Pemerintah
Provinsi Dan/atau
Kabupaten/Kota Di Bali
Dalam Pengelolaan Sampah
Untuk Mewujudkan Bali
Mandara (Dana Hibah
Kompetisi).
4. Tahun 2011 : Peneliti, Rekonstruksi Awig-
Awig Desa Pakraman Menuju
Masyarakat Madani. (DIPA FH
Unud)
5. Tahun 2011 : Peneliti, Tanggungjawab Pemda
Dalam Melestarikan Rumah
Tradisional Untuk Menunjang
Kepariwisataan Di Bali (Nuffic
Belanda)
6. Tahun 2011 : Konsultan Peneliti, Tinjauan
Yuridis Peraturan Gubernur
Bali Nomor 12 Tahun 2009
Tentang Pembatalan Peraturan
34

Daerah Kabupaten Tabanan


Nomor 6 Tahun 2008 Tentang
Retribusi Pemakaian Kekayaan
Milik Daerah Tabanan,
DIPA,Unud.
7. Tahun 2016 : Peneliti, Perubahan Hak Waris
Perempuan, DIPA, UNUD.
8. Tahun 2017 : Peneliti , Tentang Pensertifikatan
Tanah Adat Pada Kesatuan
Masyarakat Adat Klungkung,
DIPA, UNUD.
9. Tahun 2017-2019 : Peneliti, Penerimaan Masyarakat
Hukum Adat Atas Keluarnya
Keputusan MUDP
No.01/KEP/PSM- 3/MDP
BALI/X/2010 Tentang Hak
Waris Perempuan (Studi Empiris
di Seluruh Kabupaten dan Kota
di Bali),PNBP, UNUD.
10. Tahun 2020 : Peneliti, Model Pengisian Hakim
Mahkamah Konstitusi Berbasis
Aktualisasi Nilai Pancasila dan
Hukum Hindu: Prototipe Penataan
Sistem Rekruitmen Kelembagaan
Negara di Indonesia, PNBP,
UNUD.
35

Kegiatan Publikasi (Terpilih)


1. Buku, Sistem dan Kewenangan Perijinan di Kabupatem
Badung, Penerbit Bali Aga, Denpasar, 2005.
2. Buku, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif Tinjauan Hukum Tata
Negara Darurat, Penerbit Bali Aga, Denpasar, 2006.
3. Jurnal Konstitusi, Peranan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah:
Identifikasi Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi
Pelaksanaannya (Studi Terhadap DPRD Propinsi Bali),
Jakarta, 2008
4. Buku, Hukum Perizinan,Penerbit Bali Aga, Denpasar, 2008.
5. Jurnal Konstitusi, Mengkaji Ulang Pelaksanaan Pemilu
Langsung, Jakarta, 2010
6. Buku, Pernak-Pernik Pemikiran Hukum dan HAM, Penerbit
Bali Aga, Denpasar, 2010.
7. Buku, Demokrasi, HAM dan Konstitusi, Penerbit Setara Press,
Malang, 2011.
8. Buku, Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi
oleh Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (Desa Pakraman),
Penerbit Bali Aga, Denpasar, 2012.
9. Jurnal Konstitusi, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Sebagai
Lembaga Constititutional Review Terkait Putusan MK
No.138/PUU-VII/2009, Jakarta, 2012
10. Journal Constitutional Review, Identification and Analysis of
the Rights of Indigenous Peoples in the Study of Constitituional
Law (A Study of Balinese Traditionl Community), The
Constitional Court of The Republic of Indonesia, Jakarta,
2016.
11. Journal, The Authority of Government in Clearing Hatefull
and Hostilities Electronic Information Based on Tribe,
Religion, Race and Intergroup, International Journal of
36

Electrical and Computer Engineering (IJECE), UAD,


Yogyakarta.
12. Buku Monograf, Kartu Identitas Anak, Penerbit Swasta Nulus,
Denpasar, 2017
13. Buku, Perubahan Hak Mewaris Perempuan Bali, Penerbit
Swasta Nulus, Denpasar,2018
14. Jurnal Konstitusi, Gagasan Pemberian Legal Standing Bagi
Warga Negara Asing dalam Constitional Review, Mahkamah
Konstitusi, Jakarta, 2018
15. Jurnal, The Balinese Traditional Law Instrument: a Realism
between the Balance of Cosmic and Human Rights Context,
Padjadjaran, Bandung, 2018
16. Proceeding, Penerimaan Masyarakat Hukum Adat Atas
Keputusan MUDP Bali No.01/KEP/PSM- 3/MDP
BALI/X/2010 Tentang Hak Waris Perempuan (Studi Empiris
di Kabupaten Badung, Jembrana dan Kota Denpasar),
ICOSTH, Unud, Bali, 2019
17. Jurnal, Constitutional Court of the Republic of Indonesia:
Does the Ultra Petita Principle Reflect the Truth of Law, FH
Universitas Lampung, 2020.
18. Journal, No-Spouse Employment and the Problem of the
Constitutional Court of Indonesia, Journal of Advanced
Research in Law and Economics, Asers Publishing, Romania,
2020
37

Kegiatan Seminar (Terpilih)


1. Pembicara, Diskusi Publik Nasional RUU Rahasia Negara,
Denpasar, 28 Juli 2006.
2. Pembicara, Lokakarya Jurnal Konstitusi, Obrolan Konstitusi,
MKRI, Jakarta, Agustus 2007.
3. Pembicara, Diskusi Nasional Tentang Administrasi
Negara,LAN,Denpasar, Agustus 2008.
4. Pembicara, Uji Sahih RUU Pembangunan Pedesaan, Kerja sama
DPR RI, Denpasar, Agustus 2008.
5. Pembicara, Seminar Nasional Pengkajian Hukum Nasional, KHN,
Jakarta 25-26 Agustus 2008.
6. Pembicara/Nara Sumber, Uji Sahih Buku Hukum Acara MK,
Jakarta, Agustus 2010.
7. Pembicara, FGD, Penguatan Strategi Pembangunan Ekonomi
Yang Berwawasan Nusantara Guna Menjaga Ketahanan Nasional
Dalam Rangka Memperkokoh NKRI, Kerjasama MPR RI,
Denpasar, 27 Nopember 2010.
8. Nara Sumber, Fokus Grup Diskusi, Dasar Hukum Legal Standing
Kesatuan Masyarakat Adat di Indonesia, MKRI, Jakarta, 2011.
9. Pembicara, Seminar Video Confrence, Otonomi Khusus, MKRI,
UNUD, UNS,UNEJ,UNILA, UNIV. KHAIRUN, Maluku, 2011.
10. Pembicara, Seminar Nasional, Hukum Darurat Negara Dalam
38

Penanganan Covid-19, Universitas Bali Dwipa. 2019.


11. Pembicara, Seminar Nasional, Mau Dibawa Kemana Revisi UU
Mahkamah Konstitusi, Daring, 5 Agustus 2020.
12. Nara Sumber, Kedudukan dan Peran Bawaslu Dalam
Perselisihan Pemilu, Klungkung, Desember 2020.

Kegiatan Kursus/Penataran ( Tiga 3 Terpilih )


1. Penataran P4 Pola 145 Jam, Pejambon, Jakarta, 1993.
2. Penataran Dosen Kewiraan, Lemhannas, Jakarta, 1994.
3. Kursus Aplied Approoch (Akte V), Denpasar, 1995.

Tanda Penghargaan ( Tiga (3) Terpilih )


1. Dosen Teladan II Fakultas Hukum Unud. (1993-Dekan).
2. Karya Satya Pengabdian 15 Tahun (2010 –Presiden RI).
3. Bandhana Kartika Budaya Adikarya (2018 –Forum Generasi
Muda Puputan Badung).

Perolehan HKI
1. Buku Monograf Konstitusionalitas Permendagri No.2 Tahun
2016 Tentang Kartu Identitas Anak. Nomor :00017730 2.
Tanggal pemberian 17 Desember 2019.
2. Perubahan Hak Mewaris Perempuan Di Bali. Nomor
:000177303. Tanggal pemberian 17 Desember 2019.

Anda mungkin juga menyukai