Anda di halaman 1dari 44

BAB II KAJIAN

TEORI

Pada bab ini akan dibahas tentang landasan teori yang digunakan pada bab

selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi

yang diuraikan berupa definisi-definisi dan teorema. Adapaun materi-materi yang

digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-

Voltera, fungsi respon, titik ekuilibrium, linearisasi sistem persamaan nonlinear,

nilai eigen, vektor eigen, analisis kestabilan dan orbit periodik.

A. Persamaan Differensial

Definisi 2.1 (Ross, 1989:1)

Persamaan differensial adalah suatu persamaan yang menyertakan turunan dari

satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas.

Berdasarkan banyaknya variabel bebas yang disertakan dalam persamaan,

persamaan differensial diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu persamaan

differensial biasa dan persamaan differensial parsial.

Definisi 2.2 (Ross, 1989:2)

Persamaan differensial biasa adalah suatu persamaan differensial yang

menyertakan turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu

variabel bebas.

8
Contoh 2.1

Contoh dari persamaan differensial biasa.

�2 � ��
2
+ �� − 3� = 0 2.1
�� 2
( )
��
�3 � �2 �
+ 3 + 5� = sin �
�� 3 �� 2
2.2

Persamaan (2.1) merupakan persamaan differensial orde dua dan

persamaan (2.2) merupakan persamaan differensial orde tiga. Variabel y pada

Persamaan (2.1) merupakan variabel tak bebas sedangkan variabel x merupakan

variabel bebas tunggal sedangkan pada persamaan (2.2) variabel y merupakan

variabel tak bebas dan variabel t merupakan variabel bebas.

Definisi 2.3 (Ross, 1989:2)

Persamaan differensial parsial adalah persamaan differensial yang menyertakan

turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih dari satu variabel

bebas.

Contoh 2.2

Contoh dari persamaan differensial parsial,

𝜕� 𝜕
=� 2.3
𝜕� + �
𝜕

�� 2 � �� �� 2 �
2

+ + =0
��� 2 ��� 2 ��� 2
2.4

9
Persamaan 2.3 merupakan persamaan differensial orde satu dan persamaan 2.4

merupakan persamaan differensial orde dua. Pada persamaan (2.3) dan (2.4)

variabel v merupakan variabel tak bebas sedangkan variabel x dan y pada

persamaan (2.3) variabel x,y dan z pada persamaan (2.4) merupakan variabel

bebas.

B. Sistem Persamaan Differensial

Kumpulan dari beberapa persamaan differensial disebut sistem persamaan

differensial. Diberikan suatu sistem persamaan differensial sebagai berikut:

�1 = �1 (�1 , �2 , �3 , … , ��� ),

�2 = �2 (�1 , �2 , �3 , … , ��� ),

�3 = �3 (�1 , �2 , �3 , … , ��� ), 2.5

�𝑛 = ��� (�1 , �2 , �3 , … , ��� )

Sistem (2.5) dapat ditulis menjadi

� = � (� ) 2.6

dengan,

vektor � = (�1 , �2 , �3 , … , ��� )𝑇 ∈ �, �⊆ �: � → ℝ𝑛 dengan � =


��
ℝ .
(�1 , �2 , �3 , … , ��� )𝑇 dan � ∈ � ′ (�). Sistem persamaan differensial pada

dasarnya terbagi menjadi sistem persamaan differensial linear dan sistem


persamaan

differensial nonlinear.

1. Sistem persamaan differensial linear

1
Secara umum bentuk sistem persamaan differensial orde satu dengan variabel

tak bebas �1 , �2 , �3 , … , �𝑛 serta variabel bebas t dapat dinyatakan sebagai

berikut,

�1 = �11 (�)�1 + �12 (�)�2 + ⋯ +


�1�� (�)�𝑛 + �1 (�)

�2 = �21 (�)�1 + �22 (�)�2 + ⋯ +


�2�� (�)�𝑛 + �2 (�)

�3 = �31 (�)�1 + �32 (�)�2 + ⋯ +


�3�� (�)�𝑛 + �3 (�)

�𝑛 = �𝑛1 (�)�1 + �𝑛2 (�)�2 + ⋯ + �𝑛�� (�)�𝑛 +


��� (�) 2.7

Jika �� (�) dengan � = 1,2,3,4 … � bernilai nol maka sistem (2.7)

merupakan sistem persamaan differensial linear homogen, sedangkan jika ��

(�) ≠ 0 maka sistem (2.7) merupakan sistem persamaan differensial linear

nonhomogen (Ross,

1989:285). Sitem (2.7) dapat ditulis dalam bentuk

� = �� + � (�)
2.8

�1 �11 �12 … �1 (�)


�1𝑛
�2 �2 … �1 (�)
�21 2 �2𝑛
dengan � = [ ⋮ ], � = [ ⋱ ] dan � (�) = [ ].
⋮ ⋮ ⋮

�𝑛 �𝑛 �𝑛 … ��� (�)
1 2 � 𝑛𝑛

Jika � (�) = 0, maka didapatkan sistem persamaan linear homogen

� = ��

2.9 dengan vektor � = (�1 , �2 , �3 , … , ��� )𝑇 dan A adalah matriks ukuran

� × � yang entri-entrinya adalah bilangan real.

1
Contoh 2.3

Contoh dari sistem persamaan diferensial linear homogeny,



= 9� + 2� −
3�

1


= 5� − 4� + �
2.10



= 7� − 3� +
2�

2. Sistem persamaan differensial nonlinear

Sistem persamaan differensial dikatakan nonlinear jika ada persamaan

penyusunnya yang merupakan persamaan differensial nonlinear.

Persamaan diferensial dikatakan nonlinear jika persamaan diferensial tersebut

memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut ini (Ross, 1984: 6):

a. Memuat variabel tak bebas dan/atau turunan-turunannya berpangkat selain


𝑑𝑥
satu. Contoh: 𝑑𝑡
= � 2 − 5�

b. Terdapat perkalian pada variabel tak bebas dan/atau turunan-turunannya.


𝑑𝑥
Contoh : 𝑑𝑡
= �� 2 + 8� − 3�

c. Terdapat fungsi yang memuat vaiabel tak bebas dan tidak dapat diperoleh

melalui behingga operasi penjumlahan, pengurangan, pembagian dan

perkalian (fungsi transedental dari variabel tak bebas) dan turunan-


𝑑𝑥
turunannya. Contoh: 𝑑𝑡
= � + sin �

Contoh 2.4

Contoh sistem persamaan differensial nonlinear,



= 5� −
��



= −3� + 2��
2.11

1

1
C. Model Matematika Predator-Prey Lotka-Voltera dan Fungsi Respon

Persamaan Lotka-Volterra, juga dikenal sebagai sistem persamaan

predator-prey karena persamaan ini menyatakan interaksi antara satu jenis

predator dan satu jenis prey. Bentuk persamaan ini berupa sepasang persamaan

differensial orde pertama dan non-linear. Persamaan ini adalah persamaan

yang masih sederhana dengan asumsi dasar dari persamaan Lotka-Voltera

yaitu populasi mengalami pertumbuhan dan peluruhan secara exponensial.

Berikut sistem

persamaan Lotka-Voltera (Verhulst,1990:180 ):

��
= �(� − ��)
��

��
= �(�� − �)
��

Dalam dinamika populasi, fungsi respon mengacu pada peningkatan

populasi pemangsa atau pengurangan populasi mangsa saat terjadi interaksi.

Fungsi respon predator adalah tingkat predasi (daya makan) predator terhadap

jumlah makanan/mangsa (Holling, 1959:293-230). Sehingga fungsi respon

berkaitan erat dengan peningkatan populasi predator atau pengurangan populasi

prey saat saling berinteraksi. Pada tahun 1913, Michaelis dan Menten

memperkenalkan sebuah fungsi respon dan pada tahun 1959, Holling

menggunakan fungsi respon ini sebagai salah satu fungsi respon predator. Holling

memperkenalkan 3 fungsi respon, yaitu fungsi respon tipe I, fungsi respon tipe II

dan fungsi respon tipe III (Ruan,S dan Xiao,D, 2001).

1
Fungsi respon tipe I terjadi pada predator dengan karakteristik pasif, dimana

ketika populasi mangsa meningkat maka daya konsumsi predator pun meningkat.

Contoh predator fungsi respon tipe I adalah laba-laba dengan serangga sebagai

mangsa. Misal fungsi respon dinotasikan dengan ��(�) maka persamaan

fungsi respon tipe I adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)

��(�) =
��.

Fungsi respon tipe II terjadi pada predator dengan karakteristik aktif dalam

mencari mangsa dan predator memerlukan waktu untuk mencerna mangsa.

Contoh predator fungsi respon tipe II adalah serigala dengan karibu sebagai prey.

Persamaan fungsi respon tipe II adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)



��(�) = �
.
�+

Fungsi respon tipe III terjadi pada predator yang cenderung akan mencari

populasi prey lain ketika populasi prey yang dimakan mulai berkurang. Contoh

predator fungsi respon tipe III adalah rusa tikus (mice deer) dengan kepompong

kupu-kupu sebagai prey. Persamaan fungsi respon tipe III adalah (Ruan,S dan

Xiao,D, 2001)

�� 2
��(�) =
�2 +
.
�2

Ketiga fungsi respon tersebut merupakan fungsi monoton naik. Berikut

grafik dari ketiga fungsi respon tersebut (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)

1
type 1 type 3

��(�)

type 2

Gambar 2.1 Grafik Tiga Fungsi Respon Holling

Selain ketiga fungsi respon monoton yang telah dikemukakan oleh Holling,

menurut S. Ruan dan D. Xiao (2001), Monod dan Haldane menambahkan satu

fungsi respon hasil penelitiannya. Fungsi respon ini didasari oleh adanya Interaksi

antara predator dan prey yang tidak monoton, yaitu saat jumlah populasi mangsa

meningkat, daya predasi pemangsa berkurang karena adanya sifat bertahan dari

mangsa. Contoh interaksi seperti ini adalah singa dan banteng, ketika jumlah

banteng sedikit maka tingkat konsumsi singa cenderung meningkat, namun ketika

jumlah banteng meningkat sehingga pertahanan hidup kelompok banteng pun

meningkat maka tingkat predasi singa menurun.

Contoh lainnya adalah proses pada penjernihan air. Salah satu cara

menjernihkan air adalah dengan memasukkan tawas ke dalam air tersebut

membunuh sejumlah bakteri dalam air. Ketika bakteri dalam jumlah tertentu

tawas dengan jumlah tertentu, dapat dengan mudah membunuh (memangsa)

bakteri tersebut. Namun, ketika bakteri semakin banyak tawas akan semakin sulit

membunuh bakteri, dan saat bakteri mencapai jumlah tertentu daya predasi tawas

1
terhadap bakteri cenderung semakin menurun. Persamaan fungsi respon tipe

Monod-Haldane adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)



��(�) = �
�� 2 + ��
+�

Menurut Shigui Ruan dan Dongmei Xiao, Sokol dan Howell (1980) juga

meneliti tentang predator-prey yang bersifat tak monoton. Dalam penelitiannya,

Sokol dan Howell menyatakan fungsi Monod-Haldane dalam bentuk yang lebih

sederhana, yaitu (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)



��(�) = �
�+
�2

Sokol dan Howell menyatakan bahwa model fungsi respon mereka secara

signifikan lebih baik dan lebih sederhana karena hanya melibatkan dua parameter.

Berikut grafik fungsi respon tak monoton (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)

Gambar 2.2 Grafik Fungsi Respon Tak Monoton.

D. Titik Ekuilibrium

Titik ekuilibrium atau titik kritis merupakan solusi dari sistem � = �(�)

yang tidak mengalami perubahan terhadap waktu. Definisi tentang titik

ekuilibrium akan dijelaskan pada Definisi (2.5) berikut ini,

1
Definisi 2.5 (Perko, 2001: 102)

Titik � ∈ ℝ𝑛 disebut titik ekuilibrium atau titik kritis dari sistem � = �(�)
jika

�(�) = 0.

Contoh 2.5

Akan dicari titik ekuilibrium dari sistem berikut ini,

�1 = 2�1 −
2�1 �2

�2 = 2�2 − 2�1 +2 2.15


�2

Penyelesaian:

Misalkan � = (�1 , �2 )𝑇 adalah titik ekuilibrium dari Sistem (2.15) maka

2�1 − 2�1 �2 = 0
2.16

2�2 − �
2 + 2� = 0
1 2
2.17

Dari persaaan (2.16) didapatkan

2�1 (1 − �2 ) =
0

⇔ �1 = 0 atau �2 =
1

Substitusi �1 = 0 ke persamaan (2.17) sehingga didapatkan

�2 (2 + �2 ) =
0

⇔ � 2 = 0 atau �2 =
−2

Substitusi �2 = 1 ke persamaan (2.17) sehingga didapatkan


1
2 − �21 + 1 = 0 ⇔ �
2
1 =3

⇔ �1 = −√3 atau �1 = √3

2
Jadi sistem (2.15) memiliki 4 titik ekuilibrium yaitu (0,0)�� , (0,
−2)�� ,
𝑇
(−√3, 1) dan (√3, 1)𝑇 .

E. Nilai Eigen dan Vector Eigen

Definisi 2.6 (Anton, 1991: 277)

Jika A adalah matriks � × �, maka vektor tak nol x didalam ℝ𝑛

dinamakan vektor eigen dari A jika Ax adalah kelipatan skalar dari x, yakni

�� = ��

(2.18) untuk suatu skalar �. Skalar � dinamakan nilai eigen dari A dan x

dikatakan vektor eigen yang bersesuaian dengan �.

Selanjutnya untuk mencari nilai-nilai eigen dari matriks A, Persamaan (2.18)

dapat ditulis menjadi

�� =
��

⟺ �� =
���

⟺ �� − ���
=0

⟺ (� − ��)� = 0

(2.19) dengan I adalah matriks identitas. Menurut Howard Anton (1991: 278)

supaya � menjadi nilai eigen maka harus ada pemecahan tak nol dari

Persamaan (2.19). Persamaan (2.19) akan mempunyai pemecahan tak nol jika dan

hanya jika

���(� − ��) = 0.

(2.20) Persamaan (2.20) disebut persamaan karakteristik dari A, sedangkan skalar

� yang memenuhi persamaan (2.20) adalah nilai eigen dari A.

2
Contoh 2.6

Akan dicari nilai eigen dan vektor eigen dari matriks A berukuran 2 × 2 berikut,

−2 −2
�=[
2 3 ]

akan dicari nilai-nilai eigen dan vektor eigen dari matriks A.

a. Nilai eigen dari matriks A

� − �� =−2
[ −2 ] − 1
� [0 ]
2 3 0 1

−2 −2] − [� 0]
=[ 2 3 0 �
−2 − � −2
=[
2 3− ]

Sehingga diperoleh persamaan karakteristik dari � yaitu,

���(� −
��) = 0

−2 − �
⇔| −2 |=0
2 3−�

⇔ (−2 − �)(3 − �) − (−2)2 =


0

⇔ �2 − � − 2 = 0

⇔ (� + 1)(� − 2) = 0

⇔ � = −1 ∨ � =
2

Jadi nilai-nilai eigen dari matriks A yaitu � = −1 dan � = 2.

b. Vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai-nilai eigen matriks A.


Untuk � =
−1
[−2 − � −2 ] [�1 ] = 0
2 3 − � �2
−1 −2
�1
[ ][ ] =0
2 4 �2

2
−�1 − 2�2 =
{
0
2�1 + 4�2 =
0

Persamaan −�1 − 2�2 = 0 ekuivalen dengan �1 = −2�2 , misalkan �2


=�
maka �1 = −2�.
Sehingga

� = [ 1 ] = [−2 ]
�2 1

jadi vektor eigen yang bersesuaian dengan � = −1 adalah −2


[ ].
1
Untuk � =
2
[−2 − � −2 ] [�1 ] = 0
2 3 − � �2
−4 −2
�1
[ ][ ] =0
2 1 �2
−4�1 − 2�2 = 0
{2� + � =0
1 2

Persamaan 2�1 + �2 = 0 ekuivalen dengan �2 = −2�1 , misalkan �1 = �


maka
�2 = −2�.
Sehingga
�1 1
� =[ ] =[ ]�
�2

1
jadi vektor eigen yang bersesuaian dengan � = 2 adalah [ ].
−2

F. Linearisasi Sistem Persamaan Nonlinear

Linearisasi merupakan proses mengubah suatu sistem persamaan diferensial

nonlinear menjadi sistem persamaan diferensial linear. Menurut Perko (2001,

102), jika diberikan sistem persamaan diferensial nonlinear

� = � (� )
2.21

2
dengan � ∈ � ⊆ ℝ�� , �: � → ℝ�� , f merupakan fungsi nonlinear dan

kontinu maka sistem linear linear � = �� dengan matriks � = ��(�)

disebut sebagai linearisasi dari � = �(�) di �.

Sebelum ditunjukkan proses linearisasi dari sistem persamaan differensial

nonlinear, akan dibahas terlebih dahulu matriks Jacobian yang dijelaskan dalam

Teorema 2.1.

Teorema 2.1 (Perko, 2001: 67)


Jika �: ℝ𝑛 → ℝ𝑛 terdiferensial di �0 maka turunan 𝜕𝑓
, �, � = 1, 2, 3, … ,

parsial �� �,
𝑥�
di �0 ada untuk semua � ∈ ℝ𝑛 dan
𝑛
𝜕

��(�0 )� = ∑ (�0 )�� .
���
�=1

Bukti:
𝜕 �1 𝜕 �1 𝜕 �1
(� (� (� )�
)� 0 1 )� 0
���1 ���2 �� 0 𝑛
2
𝑛 ���2 �𝑛
���2 �

�2
(�0 ) + (�0 )
+ ⋯ + �� �0 �𝑛
( )
∑ 𝜕� (�0 )��
�1
�=1
� =
���1 ���2�2 �𝑛 ⋮
⋮ ⋮

��
𝜕 �𝑛 𝜕 �𝑛 𝜕 �𝑛
(� )� (� (� )�
)� 0 2 ��
[���1 0 1 ] [�� ] [��
0
]
�2 �𝑛

𝜕 �1 𝜕 𝜕 �1
(� �1 ) … (� )
0 )
(� 0
���1 ���2 ���𝑛
0 �
1

𝜕 �2 𝜕 �2 𝜕
(� ) �2
0 (� ) … 2 (0� ) �
= ���1 ���2 �� [ ⋮]
0
�𝑛
2
⋮ ⋮ ⋱ ⋮ �𝑛
𝜕 �𝑛 𝜕 �𝑛 𝜕 �𝑛
(� ) ) … (� )
0 (� 0
[���1 ���2 ���𝑛 ]
0

= ��(�0 )�

Matriks ��(�0 ) disebut matriks Jacobian dari fungsi �: ℝ𝑛 → ℝ𝑛

yang terdiferensial di �0 ∈ ℝ�� . ��(�0 ) dapat dinotasikan dengan ��(�0 ).

2
Selanjutnya akan ditunjukkan proses linearisasi dari sistem persamaan

diferensial nonlinear (2.21) ke dalam sistem persamaan diferensial linear namun

sebelumnya akan diberikan teorema mengenai deret Taylor, berikut teorema Deret

Taylor:

Teorema 2.2 (Purcell, 1987:57)

Andaikan � sebuah fungsi yang memiliki turunan dari semua

tingkatan dalam suatu selang (� − �, � + �). Syarat yang perlu dan cukup

agar deret


′′ � (�) 𝑛 � (�

) (�) + �𝑛(�)(� − �) + (� − � )2 + ⋯ + (� )
(� − � ) + 𝑅 𝑛
2! �!

menggambarkan fungsi � pada selang itu, ialah


��� ���� (�) = 0
��→∞

dengan ���� (�) suku sisa dalam Rumus Taylor,


yaitu
��+1
� ��+1 (�)
���� (�) =
( � + 1) !
(� − � )

dengan � suatu bilanga dalam selang (� − �, � + �).

Diberikan sistem persamaan diferensial nonlinear seperti pada sistem

(2.21) dan misalkan � = (�1 , �2 , … , ��� )𝑇 adalah titik ekuilibrium dari

sistem (2.21). Deret Taylor dari fungsi

� (� ) =

(�1 (�1 , �2 , … , ��� ), �2 (�1 , �2 , … , ��� ), … , ��� (�1 , �2 , … , ��� ) )𝑇

disekitar titik ekuilibrium � adalah sebagai berikut,

2

�1 (�1 , �2 , … , ��� )𝑇 = �1 (�1 , �2 , � (�1 , �2 , , … , ��� )�� (�1 −
… , ��� )𝑇 + �1 �1 ) + ⋯
��
�1

𝜕� 1 𝜕 2 �1
+ 1 (� , � , … , � )�� (� [ (�1 , �2 , , … , ��� )�� (�1 −
���𝑛 1 2 �� 𝑛
2! �1 )22
− ��� ) + ���1

𝜕 2 �1 𝜕2
+ 2 (�1 , �2 , 2, … , ��� )�� (�2 − ��
�2 ) + ⋯ + �1 (�1 , �2 , … , ��� ) (�𝑛 −
���2 2
�� ��� )

𝜕2 �2

+ 1 (� , � , , … , ��� )�� (�1 − �1 )(�2 − �2 ) + ⋯
���1 ���2 1 2

𝜕 2 �1
+ ��
�����−1 ���𝑛 (�1 , �2 , , … , ��� ) (�𝑛−1 − ���−1 )(�𝑛 −
��� )] + ⋯

1 𝑛
+ [ 𝜕 �(�
1
1 , �2 , , … , ��� )
��
(�1 − �1 )𝑛
�! ���
𝑛
1

𝜕𝑛

+ 1𝑛 (�1 , �2 , , … , ��� )�� (�2 − �2 )𝑛 + ⋯
��
�2

𝜕 𝑛 �1
+ 𝑛 �1 , �2 , … , ���
( )�� (�𝑛 − ��� )��
1 ] + ��𝑓
��� 𝑛



��� (�1 , �2 , … , ��� )𝑇 = ��� (�1 , � (�1 , �2 , … , ��� )�� (�1 −
�2 , … , ��� )𝑇 + �𝑛 �1 )
��
� �1


+ 𝑛 (�1 , �2 , … , ��� )�� (�2 − �2 ) + ⋯
���2

𝜕� 𝜕 2 �𝑛
+ 𝑛 (� , � , … , � )�� (� 1[ (�1 , �2 , , … , ��� )�� (�1 −
���𝑛 1 2 �� 𝑛
2! �1 )22
− ��� ) + ���1

𝜕2
�𝑛
+ 2
(�1 , �2 , , … , ��� )�� (�2 − �2 )2 + ⋯
2
��
�2

2
𝜕 2 �𝑛 𝜕2
+ (�1 , �2 , …
��� 2 �(�𝑛 − (�1 , �2 , , … , (�1 − �1 )(�2 −
, ����) �𝑛
��� )2 + 𝑇
�2 )
���1 ��� )
���2

𝜕 2 �𝑛
+⋯+ (�1 , �2 , , … , ��� )�� (���−1 − ���−1 )(�𝑛
�����
− ��� )] + ⋯
−1 ���𝑛

1 𝑛
+ [ 𝜕 �(�
𝑛
1 , �2 , , … , ��� )
��
(�1 − �1 )𝑛
�! ���
𝑛
1

𝜕 𝑛 �𝑛
+ 𝑛 (�1 , �2 , , … , ��� )�� (�2 − �2 )𝑛 + ⋯
���2

𝜕 𝑛 �𝑛
+ 𝑛 �1 , �2 , … , ���
( )�� (�𝑛 − ��� )��
𝑛 ] + ��𝑓
��� 𝑛

Karena dicari bentuk linier terdekat dari fungsi � (� )

= (�1 (�1 , �2 , … , ��� ), �2 (�1 , �2 , … , ��� ), … , ��� (�1 , �2 , … , ��� ) )𝑇

dan karena

�1 , �2 , … , �𝑛 ada disekitar �1 , �2 , … , �𝑛 sehingga nilai dari (�1 −


�1 ), (�2 −

�2 ), … , (�𝑛 − ��� ) sangat kecil maka penurunan pada deret Taylor hanya

hingga turunan pertama dan deret Taylor dari fungsi

�(�) = (�1 (�1 , �2 , … , ��� ), �2 (�1 , �2 , … , ��� ), … , ��� (�1 , �2 , … ,

��� ) )𝑇 disekitar titik

ekuilibrium � berubah
menjadi

�1 (�1 , �2 , … , ��� )𝑇 = �1 (�1 , �2 , � (�1 , �2 , , … , ��� )�� (�1 −
… , ��� )𝑇 + �1 �1 )
��
� �1


+ 1 (� , � , , … , ��� )�� (�2 − �2 ) + ⋯
���2 1 2

���1 ��
+
���𝑛 (�1 , �2 , … , ��� ) (�𝑛 − �1�� ) + ��𝑓

2



�2 (�12, �2 , … , ��� )𝑇 = �2 (�1 , �2 , (� , � , , … , ��� )�� (�1 −
𝑇 �� 1 2
… , ��� ) + � )
�1 1



�2
+ (�1 , �2 , … , ��� )�� (�2 − �2 ) + ⋯
���2

3
���2
+
���𝑛 (�1 , �2 , … , ��� )�� (�𝑛 − ��� ) + ��𝑓
2



��� (�1 , �2 , … , ��� )𝑇 = ��� (�1 , � (�1 , �2 , … , ��� )�� (�1 −
�2 , … , ��� )𝑇 + �𝑛 �1 )
��
� �1


+ 𝑛 (�1 , �2 , … , ��� )�� (�2 − �2 ) + ⋯
���2

���𝑛 ��
+
���𝑛 (�1 , �2 , … , ��� ) (�𝑛 − ���� ) + ��𝑓

dengan ��𝑓1 , ��𝑓2 , … , ��𝑓𝑛 disebut bagian nonlinear atau sisa yang nilainya
mendekati

nol sehingga nilai dari ��𝑓1 , ��𝑓2 , … , ��𝑓𝑛 dapat diabaikan dan karena (�1 , �

�2 , , … , ��� )

adalah titik ekuilibrium sistem (2.21) maka �1 (�1 , �2 , … ,


��� )𝑇 =

�2 (�1 , �2 , … , ��� )𝑇 = ⋯ = ��� (�1 , �2 , … , ��� )𝑇 = 0 . Sehingga


diperoleh
𝜕� 𝜕
�1 = 1 (�1 , �2 , … , (� − � ) + (�1 , �2 , , … , (�2 − �2 ) + ⋯
�1
1� )𝑇 ��� )𝑇
��� �� 1 1

���2
���1
+ (�1 , �2 , … , ��� )�� (�𝑛 − ��� )
���𝑛

𝜕� 𝜕
�2 = 2 (�1 , �2 , … , (� − � ) + (�1 , �2 , … , (�2 − �2 ) + ⋯
1� 𝑇 �2 𝑇
�� ) ��� )
��� 1 1

���2
���2
+ (�1 , �2 , … , ��� )�� (�𝑛 − ��� )
���𝑛

𝜕� 𝜕
�𝑛 = 𝑛 (�1 , �2 , … , (� − � ) + (�1 , �2 , … , (�2 − �2 ) + ⋯
1� 𝑇 �𝑛 𝑇
�� ) 1 1 ��� )
���
���2
���𝑛
3
+ (�1 , �2 , … , ��� )�� (�𝑛 − ��� ).
���𝑛
2.22

Sistem (2.22) dapat ditulis ke dalam bentuk matriks berikut:

3

1

[ ⋮ 2] =
�𝑛
𝜕 𝑓1 𝜕 𝑓1
)𝑇 (� , , … , )𝑇 … (� , … , )𝑇
(� , ,�… ,
𝜕 𝑓1
� � ,� �
� 1 𝑛 1 2 1 𝑛
��𝑥 1
𝑛
��𝑥2 ��𝑥𝑛
2
�1 − �1
2
𝜕 𝑓2 𝜕 𝑓2 𝜕 𝑓2
(� , , … , )𝑇 (� , , … , )𝑇 … (� , … , )𝑇 �2 − �2
� 1 � 𝑛 � 1 � 2 ,� 1 � 𝑛
��𝑥 1 ��𝑥 2 ��𝑥𝑛 [ ]
2 𝑛 2 ⋮
⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝜕 𝑓𝑛 �𝑛 − �𝑛
(� , , … , )𝑇
𝜕 𝑓𝑛
(� , , … , )𝑇 …
𝜕 𝑓𝑛
(� , … , )𝑇
� 1 � � 1 � ,� 1 �
[��𝑥1 𝑛 ��𝑥2 2 ��𝑥𝑛 𝑛 ]
2 𝑛 2

Misalkan �1 = �1 − �1, �2 = �2 − �2 , … , �𝑛 = �𝑛 − ��� , dan didapatkan

�1
�2
[ ]=

�𝑛
𝜕 𝑓1 𝜕 𝑓1 𝜕 𝑓1
(� , , … , )𝑇 (� , , … , )𝑇 … (� , … , )𝑇
� � 𝑛� 1 2
� ,� 1 �2 𝑛 �1
��𝑥1 1 ��𝑥2 ��𝑥𝑛
2 𝑛
𝜕 𝑓2 𝜕 𝑓2 𝜕 𝑓2
(� , , … , )𝑇 (� , , … , )𝑇 … (� , … , )𝑇 �2
� 1 � 𝑛 � 1 � 2 ,� 1 � 𝑛
��𝑥 1 ��𝑥2 ��𝑥𝑛 [ ] 2.23
2 𝑛 2 ⋮
⋮ ⋮ ⋱ ⋮
𝜕 𝑓𝑛 𝑇 𝜕 𝑓𝑛 𝑇 𝜕 𝑓𝑛 �𝑛
(� , , … , ) (� , , … , ) … (� , … , )𝑇
[�
��𝑥1 1 � 𝑛 �
��𝑥2 1 � 2 ,� ��𝑥𝑛 1 � 𝑛 ]
2 𝑛 2

dari Sistem (2.23) didapatkan matriks Jacobian

�(�(�
))
𝜕 �1 𝜕 �1 𝜕 �1
(� , … , )𝑇 (� , … , )𝑇 … (� , … , )𝑇
� � �
,� 1 𝑛, � 1 2 ,� 1 2 𝑛
���1 ���2 ���𝑛
2 𝑛

𝜕 �2 𝜕 �2 𝜕 �2
(� , … , )𝑇 (� , … , )𝑇 … (� , … , )𝑇
� � �

= ,��� 1 𝑛 ,�
���
1 2 ,� ���𝑛
1 2 𝑛
1 2
2 𝑛

⋮ ⋮ ⋱ ⋮
3
𝜕 �𝑛 𝜕 �𝑛 𝜕 �𝑛
(� , … , )𝑇 (� , … , )𝑇 … (� , … , )𝑇
� � �
,� 1 𝑛 ,� 1 2 ,� 1 𝑛
[���1 ���2 ���𝑛 ]
2 𝑛 2

dan sistem hasil linearisasi dari sistem (2.21) adalah

� = �(�(�))�.
2.24

Jika tidak ada bagian real dari nilai eigen-nilai eigen matriks �(�(�)) yang

bernilai nol, maka sifat kestabilan Sistem (2.21) dapat dilihat dari Sistem (2.24)

dan titik �

3
disebut sebagai titik ekuilibrium hiperbolik. Definisi resmi mengenai titik

ekuilibrium hiperbolik dapat dilihat pada Definisis 2.7 berikut.

Definisi 2.7 (Perko, 2001: 102)

Titik ekuilibrium � ∈ ℝ𝑛 disebut titik ekuilibrium hiperbolik dari Sistem (2.21)

jika bagian real nilai eigen dari matriks �� (�) tidak ada yang bernilai nol.

Contoh 2.7

Akan dicari matriks Jacobian dari sistem (2.15) serta akan dilakukan identifikasi

untuk masing-masing titik ekuilibrium. Pencarian titik ekuilibrium telah dilakukan

pada Contoh 2.5 dan didapatkan titik ekuilibrium untuk sistem (2.15) adalah
𝑇
(0,0)�� , (0, −2)�� , �dan (√3, 1) .
(−√3, 1)

Matriks Jacobian dari Sistem (2.25) adalah


𝜕 ( 2�1 − 2 𝜕 ( 2�1 −
�1 �2 ) 2�1 �2 ) 2 − 2�2 2�1
�(�(�)) =[ ]
= �� ��
�1 �2
𝜕 ( 2�2 − �1 𝜕 ( 2�2 − �1 + −2�1 2 + 2�2
+ �2 ) �2 )
[ ���1 ���2
]

Untuk �1 = (0,0)𝑇

2
�(�(0,0)�� )[=
0
]
0 2

Didapatkan nilai eigen dari �(�(0,0)�� ) yaitu

2−�
| 0 |=0
0 2−�

⇔ (2 − �)(2 − �) =
0

⇔ �1 = 2 ∨ �2 =
2

3
Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium �1 = (0,0)𝑇

adalah titik ekuilibrium hiperbolik.

3
Untuk �2 = (0, −2)𝑇

6 0
�(�(0, −2)�� )[= ]
0 −2

Didapatkan nilai eigen dari �(�(0, −2)�� ) yaitu

6−�
| 0 |=0
0 −2 − �

⇔ (6 − �)(−2 − �) =
0

⇔ �1 = 6 ∨ �2 =
−2

Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium �2 = (0, −2)𝑇

adalah titik ekuilibrium hiperbolik.


𝑇
Untuk �2 = (−√3, 1)
𝑇
� (�(−√3, 1) ) = [ 0 −2√3
]
2√3 4
𝑇
Didapatkan nilai eigen dari � (�(−√3, ) yaitu
1)

0−� −2√3
| |=0
2√3 4−

⇔ −�(4 − �) − (−2√3)(2√3) = 0

⇔ �2 − 4� + 12 = 0

⇔ (� − 2 − √8�)(� − 2 + √8�) = 0

⇔ �1 = 2 + √8� ∨ �2 = −2 + √8�
𝑇
Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium �3 = (−√3, 1)

adalah titik ekuilibrium hiperbolik.


𝑇
Untuk �2 = (√3, 1)

3
𝑇
� (�(√3, 1) ) = [ 0 2√3
]
−2√3 4
𝑇
Didapatkan nilai eigen dari � (�(√3, ) yaitu
1)

0−� 2√3
| |=0
−2√3 4 − �

⇔ −�(4 − �) − (−2√3)(2√3) = 0

⇔ �2 − 4� + 12 = 0

⇔ (� − 2 − √8�)(� − 2 + √8�) = 0

⇔ �1 = 2 + √8� ∨ �2 = −2 + √8�
𝑇
Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium �4 = (√3, adalah
1)

titik ekuilibrium hiperbolik.

G. Analisis Kestabilan

Kestabilan titik ekuilibrium dari sebuah sistem persamaan differenssial

secara umum dibagi menjadi tiga jenis yaitu stabil, stabil asimtotik dan tidak

stabil. Kestabilan titik ekuilibrium ini akan dijelaskan dalam definisi-definisi dan

teorema berikut.

Definisi 2.8 (Olsder, 2004:57)

Diberikan sistem persamaan differensial �(�) = �(�(�)) dengan �

∈ ℝ�� , penyelesaan dengan keadaan awal �(0) = �0 dinotasikan oleh �(�,

�0 ).

 Suatu titik ekuilibrium � dikatakan stabil bila untuk setiap � > 0 ada �
>

0 dan �𝛿 sedemikian hingga bila ‖���𝛿 − �‖ < � maka ‖�(�,


�𝑡�� ) − � ‖ <

� untuk semua � > ��� .

3
 Suatu titik ekuilibrium � dikatakan stabil asimtotik bila titik � stabil
dan

ada �1 > 0 sedemikian hingga ��� ‖�(�, �0 ) − �‖ = 0 untuk


semua
��→

�0 ���� ������ℎ� ‖�0 − �‖ < �1 .

 Suatu titik ekuilibrium dikatakan takstabil bila tidak memenuhi definisi

stabil.

Ilustrasi pada ℝ2 dari Definisi 2.9 disajikan pada Gambar 2.3 berikut ini,

Gambar 2.3 Ilustrasi Kestabilan

Secara intuisi, stabil untuk nilai awal yang cukup dekat dengan titik

ekuilibrium maka untuk nilai t yang cukup tinggi, penyelesaian sistem sangat

dekat dengan titik ekuilibrium dalam suatu persekitaran. Sedangkan stabil

asimtotik berarti penyelesaian konvergen ke titik ekuilibrium (asalkan titik awal

adalah cukup dekat ke titik ekuilibrium). Takstabil artinya selalu ada penyelesaian

yang dimulai dari manapun dekatnya dengan titik ekuilibrium tapi akhirnya

menjauh dari titik ekuilibrium.

Analisis kestabilan berdasarkan definisi masih terlalu sulit dilakukan, oleh

karena itu terdapat cara analisis kestabilan berdasarkan nilai eigen dari sistem

persamaan differensial. Teorema berikut memberikan syarat kestabilan dari

persamaan differensial � = ��, dimana matriks � mempunyai peranan

penting

3
khususnya nilai eigen (�) dari matriks � yaitu bagian real dari � yang

dinotasikan oleh 𝑅��.

Untuk suatu sistem persamaan differensial linear � = �� dengan �

adalah matriks berukuran � × � dan titik ekuilibrium yang diambil sebagai titik

asal adalah

� = 0 (meskipun mungkin ada titik ekuilibrium yang lainnya saat

determinan matriks � sama dengan nol). Untuk selanjutnya dikatakan

bahwa persamaan differensial � = �� atau bahkan matriks � itu sendiri adalah

stabil asimtotik, stabil atau takstabil bila titik asal � = 0 sebagai titik ekuilibrium

adalah stabil asimtotik, stabil atau takstabil (Olsder,2004:58).

Teorema 2.3 (Olsder, 2004:58)

Diberikan persamaan differensial � = �� dengan matriks A berukuran � × �

dan mempunyai nilai karakteristik yang berbeda �1 ,· · · , �� (� ≤ �).

 Titik asal � = 0 adalah stabil asimtotik bila dan hanya bila 𝑅��� < 0

untuk semua � = 1,· · · , �.

 Titik asal � = 0 adalah stabil bila dan hanya bila 𝑅��� ≤ 0 untuk
semua

� = 1,· · · , � dan untuk semua �� dengan 𝑅��� = 0 multisiplisitas

aljabar sama dengan mutiplisitas geometrinya.

 Titik asal � = 0 adalah takstabil bila dan hanya bila 𝑅��� > 0

untuk beberapa � = 1,· · · , � atau ada �� dengan 𝑅��� = 0 dan

multisiplisitas aljabar lebih besar dari mutiplisitas geometrinya.

4
Analisis kestabilan juga dapat dilakukan dengan melihat potret fase sistem.

Potret fase dari persamaan differensial menurut Hale dan Kocak (1991)

merupakan

4
kumpulan dari semua orbit, sedangkan orbit merupakan proyeksi dari grafik solusi

pada bidang-�� dengan kata lain potret fase juga merupakan proyeksi dari

grafik solusi pada bidang-��. Pada potret fase juga diberi panah berarah. Potret

fase dari sebuah sistem hampir seluruhnya berdasarkan nilai eigen (�). Desinisi

dari bentuk- bentuk potret fase dapat dilihat pada Definisi 2.9.

Definisi 2.9 (Verhulst, 1990:28)

Diberikan sebuah sistem persamaan linear dimensi dua � = �� dengan

nilai eigen �1 dan �2 .

1. Sistem dikatakan Node pada titik asal jika kedua nilai eigen bernilai real

dan bertanda sama. Stabil Node jika �1 , �2 < 0 dan tidak stabil Node

jika
�1 , �2 > 0.

2. Sistem dikatakan Saddle pada titik asal jika kedua nilai eigen bernilai real

dan berbeda tanda. Saddle bersifat tidak stabil.

3. Sistem dikatakan Focus pada titik asal jika kedua nilai eigen bernilai

kompleks, �1 , �2 = � ± �� dengan � ≠ 0. Stabil Focus jika � < 0

dan tidak

stabil Focus jika � > 0.

4. Sistem dikatakan Center pada titik ekuilibrium jika kedua nilai eigen

bernilai imajiner murni. Jika sistem linear dikatakan focus maka sistem

stabil namun jika sistem hasil linearisasi bernilai Center maka kestabilan

sistem asli tidak dapat ditentukan.

Contoh potret fase untuk setiap kasus dapat dilihat pada Gambar 2.4a, 2.4b,

2.4c, 2.4d, 2.4e dan 2.4f.

4
Gambar 2.4a Stabil Node

Gambar 2.4b Tidak Stabil Node

Gambar 2.4c Saddle

4
Gambar 2.4d Stabil Focus Gambar 2.4e Tidak Stabil Focus

Gambar 2.4f Center

4
H. Orbit Periodik
Pada model matematika Predator-prey, untuk mengetahui apakah mangsa

dan pemangsa akan selalu ada dalam sistem maka digunakan orbit periodik. Jika

sistem memiliki orbit periodik maka mangsa dan pemangsa akan selalu ada secara

bersama-sama. Definisi orbit periodik secara formal dapat dilihat pada Definisi

2.10.

Definisi 2.10 (Hale, 1991:179)

Suatu solusi ��(�, � 0 ) dari sistem � = �(�) disebut sebagai solusi

priodik jika ��(� + ��, � 0 ) = ��(�, � 0 ) untuk semua � ∈ ℝ dan 𝑝

> 0. Orbit � (� 0 ) =

{��(�, � 0 ), � ∈ ℝ} dari sebuah solusi priodik disebut orbit priodik (orbit

tertutup). Keberadaan orbit periodik dapat ditunjukkan dengan menggunakan

kriteria Dulac. Teorema 2.4 Kriteria Dulac (Hale, 1991:373)

Misal �(�1 , �2 ) adalah fungsi bernilai real � 1 pada daerah � ⊆


�� 2. Jika
𝜕 (𝐵 𝑓1 ) 𝜕 ( 𝐵 𝑓2 )
+ tidak bernilai nol dan tidak terjadi perubahan tanda di �
maka
��𝑥 𝜕𝑥2
1

� = �(�) tidak memiliki orbit periodik.

I. Lumpur Lapindo dan Bacillus subtilis


Sekitar November 2006, lumpur Sidoarjo mulai dibuang melalui Kali

Porong melalui outlet sekitar 20 km dari hulu sungai, dengan harapan debit air

Sungai Porong dapat mengalirkan buangan lumpur Sidoarjo ke laut dalam di Selat

4
Madura (BAPEL –BPLS dalam Gita Anggraeni, Suntoyo, Muhammad Zikra,

2014). Kali

4
Porong (Sungai Porong) merupakan salah satu cabang dari sungai Brantas yang

berhulu di Mojokerto. Lumpur panas dibuang melalui Sungai Porong dengan

menggunakan pompa dimana debit lumpur yang dibuang antara 0.5 m3/s - 4,5 m3/s

atau sekitar 1.8 juta L/Jam – 16.2 juta L/Jam. Hal ini berakibat pada penurunan

kualitas air Sungai Porong.

Menurut Kep.Menkes. No. 907/2002, air layak dikonsumsi jika kadar

logam berat di air tidak lebih dari 0,003 ppm untuk Cd (Kadmium), 1 ppm

untuk Cu (Tembaga), 0,05 ppm untuk Pb (Timbal) dan 0,05 ppm untuk Cr

(Kromium). Namun air Lumpur Sidoarjo mengandung logam berat antara lain

Pb 0,05 ppm, Cr 0,65 dan Cu 0.0144 ppm dan air Sungai Porong mengandung Cd

0.0271 ppm (Faisal Aziz P dkk, 2013:1) sehingga air Sungai Porong tidak layak

konsumsi.

Pada tahun 2013, Faisal Aziz P,dkk telah melakukan penelitian guna

mengurangi kandungan logam berat pada air Sungai Porong dengan menggunakan

bakteri Bacillus Subtilis. Menurut penelitian tersebut, kemampuan B. subtilis

untuk menurunkan COD (Chemical Oxygen Demand) adalah sebesar 211,7 – 752

mg/L dari semula 6.438,1 mg/L atau sebesar 88,41 % - 96,73 %. COD merupakan

kadar limbah anorganik yang diukur dari banyaknya oksigen yang diperlukan

untuk memecah limbah anorganik. Jika nilai COD sungai porong pada awalnya

adalah

20,2 mg/L, maka dengan teknologi B. subtilis COD menurun menjadi 0,66 –

2,34 mg/L. Sedangkan kemampuan untuk dapat mengikat logam berat seperti

Cd, Pb dan Cu masing – masing sebesar 87%, 77% dan 54%. Berikut tabel

kemampuan reduksi B. subtilis (Faisal Aziz P dkk, 2013:9):

4
Tabel 2.1 Reduksi Logam Berat oleh B.subtilis

Penggunaan mikrobia dalam penurunan kadar logam berat pada air telah

banyak digunakan. Secara umum mikrobia mengurangi bahaya pencemaran logam

berat dengan cara: detoksifikasi (biopresipitasi), biohidrometalurgi, bioleaching

dan biokumulasi. Detoksifikasi atau biopresipitasi pada prinsipnya mengubah ion

logam berat yang bersifat tonsik menjadi senyawa bersifat tidak tonsik.

Biohidrometalurgi pada prinsipnya mengubah ion logam yang terikat pada suatu

senyawa yang tidak dapat larut dalam air menjadi senyawa yang dapat larut dalam

air. Bioleaching merupakan aktivitas mikrobia untuk melarutkan logam berat dari

senyawa yang mengikatnya dalam bentuk ion bebas. Bioakumulasi merupakan

cara yang paling umum digunakan oleh mikrobia untuk menangani logam berat.

Pada prinsipnya bioakumulasi merupakan pengikatan ion-ion logam dalam

struktur sel mikrobia (David Ariono, 1996).

Salah satu mikrobia yang dapat digunakan dalam pengurangan kadar logam

berat pada air adalah bakteri Bacillus subtilis. Bakteri Bacillus subtilis memiliki

potensi untuk menjernihkan sumber air. Kemampuan bakteri tersebut dalam

menghasilkan asam poliglutamat (PGA) dapat berperan sebagai flokulan,

dimana zat ini dapat mengikat polutan dalam air. Bakteri B. subtilis

memiliki laju pertumbuhan dan waktu generasi secara berturut - turut sebagai

berikut 1,15/jam

4
dan 33,43 menit. Waktu generasi adalah waktu yang diperlukan oleh

mikroorganisme untuk meningkatkan jumlah sel menjadi dua kali lipat jumlah

semula (Doddi Yudhabuntara, 2013). Berikut mekanisme bakteri Bacillus subtilis

dalam menjernihkan air (Faisal Aziz P dkk, 2013:8):

1. B.subtilis sebagai bioflokulan

Mekanisme penjernihan air menggunakan B.subtilis didasarkan bahwa

mikroorganisme ini mampu memproduksi bioflokulan sehingga mampu mengikat

zat polutan. Proses penjernihan air kotor karena zat polutan ialah sebagai berikut.

Air kotor+Mikroorganisme+O2  mikroorganisme + Flok + Air bersih +CO2

Prinsip teknik ini adalah menginteraksikan mikroorganisme dengan air

kotor yang mengandung polutan-polutan. Mikroorganisme mengikat polutan dan

akan membentuk gumpalan partikel yang ukurannya dapat memungkinkan untuk

dipisahkan dengan sedimentasi atau filtrasi (flok). Di dalam air kotor oksigen

yang ada hanya sedikit karena polutan akan mengubah kondisi COD dan BOD

tetapi bakteri tetap mampu berkembang dan berperan. Flok-flok bakterien

menyebabkan air kotor tersebut mengendap di dasar, sehingga akan terpisah

antara polutan, air dan mikroorganisme.

2. B.subtilis sebagai penghasil asam Poliglutamat (PGA)

Proses penjernihan air dapat dilakukan dengan memanfaarkan asam

poliglutamat (PGA), dimana PGA tersebut juga dihasilkan oleh B.subtilis, proses

penjernihan digambarkan dalam skema berikut ini

4
Asam poliglutamat (PGA) + Air mengandung polusi  Flok +Air bersih

Prinsip teknik ini adalah asam poliglutamat dicampur dengan air yang

mengandung polusi dan akan menghasilkan flok yang mengendap di dasar,

sehingga akan terpisah antara polutan dan air. Hal ini diakibatkan PGA

mengandung anion yang mengikat polutan yang mengandung kation sehingga

akan mengakibatkan endapan di dasar.

3. B.subtilis untuk mengikat dan menyerap logam berat

Proses penjernihan air yang mengandung logam berat dapat dilakukan

dengan menggunakan mikroorganisme, yang terdiri dari dua tahap yaitu aktif

uptake dan pasif uptake.

dikontakkan
Mikroorganisme Air yang tercemar logam berat

Proses pasif Proses aktif


uptake uptake
Pertukaran Menyerap
ion logam berat

Pengurangan logam berat

Gambar 2.5 Proses Penjernihan Air

Prinsip teknik ini ialah mengontakkan mikroorganisme dengan air yang

tercemar polutan dan terjadi dua proses yaitu proses aktif uptake dan proses pasif

uptake. Proses pasif uptake terjadi ketika ion logam berat mengikat dinding sel

dengan dua cara yang berbeda, pertama pertukaran ion di mana ion monovalent

dan divalent seperti Na+, Ca2+ dan Mg+ pada dinding sel digantikan oleh ion-ion

logam berat Cd2+ dan Ni2+ dan yang kedua adalah formasi kompleks antara

ion-ion

5
logam berat dengan functional groups seperti carbonyl, amino, thiol, hydroxyl,

phosphate dan hydroxyl-carbonyl yang berada pada dinding sel. Sedangkan pada

proses aktif uptake, mikroorganisme memakan logam berat untuk pertumbuhan

mikroorganisme. Logam berat dapat diendapkan dan ekskresi pada tingkat ke dua.

Pada tahap tertentu mikroorganisme ini dapat mati, sehingga dari kedua proses

tersebut menyebabkan terjadi pengurangan polutan ion logam berat.

Anda mungkin juga menyukai