Anda di halaman 1dari 102

“Gak Onok Capek”:

Buruh Perempuan dalam Arus Perubahan Pola Pertanian Desa Madiredo

SKRIPSI

ELLZA MUTIA FIRDIANINDA

195110800111004

PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI

JURUSAN SENI DAN ANTROPOLOGI BUDAYA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2022
PERNYATAAN KEASLIAN

ii
LEMBAR PENGESAHAN

iii
APPROVAL SHEET

iv
KATA PENGANTAR

v
ABSTAK

vi
ABSTRACT

vii
DAFTAR ISI

Contents
PERNYATAAN KEASLIAN.................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................... iii
APPROVAL SHEET................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR............................................................................................... v
ABSTAK.................................................................................................................... vi
ABSTRACT............................................................................................................... vii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR................................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................. xiv
BAB I......................................................................................................................... 1
BAB II PENDAHULUAN......................................................................................... 1
2.1 Latar Belakang.................................................................................................. 1

2.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 5

2.3 Tujuan Penelitian.............................................................................................. 6

2.4 Manfaat Penelitian............................................................................................ 6

1.4.1 Secara Teoritis........................................................................................... 6

1.4.1 Secara Praktis............................................................................................. 7

2.5 Tinjauan Pustaka.............................................................................................. 7

2.6 Kerangka Teori................................................................................................. 17

2.7 Metodologi....................................................................................................... 20

1.7.1 Pemilihan Lokasi....................................................................................... 21

1.7.2 Pemilihan Informan................................................................................... 21

1.7.3 Teknik Pengambilan Data.......................................................................... 22

1.8 Sistematika Penyusunan.................................................................................. 22

viii
2.1. Lingkungan Geografis Desa Madiredo........................................................ 21

2.2. Mengenal Masyarakat Madiredo: Kehidupan Ekonomi, Sosial-Budaya, dan


Agama..................................................................................................................... 27

2.3. 1 Ekonomi Masyarakat Madiredo........................................................... 27

Selain bertani, beberapa diantara mereka memelihara dua sampai lima sapi yang
mereka manfaatkan susunya untuk diperah. Kandang sapi terletak di bagian belakang
rumah, setelah dapur. Sapi betina diperah susunya setiap 15 hari sekali, yang berarti
dalam satu bulan, masyarakat yang memelihara sapi betina mendapatkan penghasilan
dari susu sapi tersebut dua kali selama satu bulan. Susu sapi yang diperah kemudian
dijual di Koperasi Susu dan pendapatannya bisa mencapai 900.000 rupiah tiap
perahannya.............................................................................................................. 29

2.3. 2 Sosial-Budaya Masyarakat Madiredo.................................................. 32

2.3. 3 Agama Masyarakat Madiredo.............................................................. 34

2.3. Lingkungan Petani Madiredo...................................................................... 36

3.1. Pertanian di Madiredo.............................................................................. 37

3.2. Perubahan Produksi Apel di Madiredo.................................................... 40

3.3. Tenaga Kerja Pertanian Madiredo........................................................... 44

4.1. Buruh Perempuan Madiredo: Dulu dan Sekarang....................................... 59

4.2. Melihat Buruh Perempuan Madiredo dari Sudut Pandang Petani............... 62

4.3. Bertahan di Masa Transformasi................................................................... 67

4.3. 1 Dari Apel ke Sayuran........................................................................... 67

5. 1 . Kesimpulan............................................................................................... 76

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 78

ix
Gambar 2.1 Letak Gerografis Madiredo 22

Gambar 2.1a Telaga Madiredo.................................................................................... 25

Gambar 2.3 Buruh tani naik pick up ke tegal .............................................................. 35

Gambar 3.3a Pakaian para buruh perempuan saat bekerja .......................................... 45

Gambar 3.3b Buruh Perempuan yang sedang merempes pohon apel ......................... 48

Gambar 3.3c Buruh perempuan bungkus apel jenis manalagi .................................... 49

Gambar 3.3d Petani di kebun sayur ............................................................................. 53

Gambar 4.3a Buruh perempuan mengambil jeruk peras milik petani ........................ 70

Gambar 4.3.b Cabai dan sawi yang dibawa pulang buruh perempuan ....................... 71

x
xi
BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pujon merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Malang. Secara geografis,

Pujon terletak di dataran tinggi yang cocok untuk ditanami sayuran yang cocok

untuk ditanami sayuran dan buah-buahan. Desa Madiredo merupakan salah satu

desa yang terletak di Kecamatan Pujon. Desa ini berbatasan secara langsung dengan

hutan di pegunungan karena berada di wilayah paling tinggi di Kecamatan Pujon.

Dilansir dari (kumparan.com) tahun 2020 total 90% luas kebun apel di Desa

Madiredo mencapai 420 hektar yang berarti jika dijumlahkan luas kebun di desa ini

mencapai 467 hektar. Ketika mengunjungi Desa Madiredo, saya melihat bahwa

lahan pertanian di Desa Madiredo tidak hanya ada budidaya apel, pada beberapa

wilayah ada beberapa jenis tanaman lainnya seperti wortel, kentang, buncis, pokcoy,

jagung, dan sebagainya. Kedua jenis tanaman (buah dan sayuran) terletak

berdampingan di struktur tanah yang sama. Dalam hal pertanian, masyarakat Jawa

tergantung pada budidaya padat karya, kecil-kecilan, dan aneka tanaman (multicrop)

(Geertz, 1983). Kondisi geografis itu, menguntungkan desa ini untuk pertanian. Hal

ini menjadikan sebagian besar pekerjaan warga di desa ini adalah petani.

Mayoritas masyarakat di Desa Madiredo memiliki lahan pertanian yang biasanya

mereka dapatkan secara turun temurun. Mereka memanfaatkan lahan perkebunan

miliknya yang biasanya adalah sayuran untuk kemudian dijual di pasar dan

mendapatkan keuntungan darinya. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh (Suryanata,

2022) bahwa petani memanfaatkan lahan kebunnya untuk kepentingan ekonomi

dengan menjual hasil kebunnya ke pasar.

1
2

Dilansir dari situs internet (mongbay.co.id) menyebutkan masa kejayaan apel

malang pada tahun 1984 tercatat total ada 7,3 juta pohon apel di Batu bertambah

menjadi total 9 juta pohon apel di tahun 1988. Produksinya sendiri naik dari 146.690

ton menjadi 275.065 ton. Lahan seluas 1 hektar pohon apel dapat menghasilkan total

10 ton buah apel dalam sekali panen. Dalam sejarahnya, para petani di tahun 1950

mengusahakan perkembangan apel wilayah Batu, Malang sehingga wilayah tersebut

menjadi pusat perkembangan buah apel di Indonesia.

Budidaya apel kemudian mulai masuk ke Pujon sekitar tahun 1990. Pada saat

itu, ketika budidaya apel sedang populer dan banyak peminatnya di Malang,

masyarakat Pujon mulai ikut budidaya apel. Cuaca dingin di waktu itu menjadi

faktor utama pendukung budidaya apel menjamur dan diminati banyak petani.

Pohon apel yang usianya masih muda dan sedang sehat-sehatnya menjadikan

banyak petani pemilik lahan budidaya apel memiliki kedudukan yang istimewa.

Sampai sekarang masih banyak daerah yang mengusahakan budidaya apel di

Pujon, salah satunya Madiredo. Luasnya perkebunan apel di Desa Madiredo,

memberi dampak positif untuk warga sekitar, dengan terbukanya lapangan

pekerjaan yaitu petani dan buruh tani untuk menggarap kebun. Menurut penjelasan

dari (bps.go.id) petani sendiri memiliki definisi seseorang yang mempunyai usaha di

bidang pertanian dengan risikonya untuk kemudian dijual. terdapat dua jenis petani,

yaitu pemilik dan penggarap. Petani pemilik biasanya mempekerjakan petani

penggarap untuk menggarap lahannya. Berbeda dengan keduanya, buruh petani

bukan merupakan petani, melainkan orang yang bekerja di ladang atau sawah milik

orang lain dan mengharapkan upah dari sana.


3

Tidak dapat dipungkiri bahwa masuknya budidaya apel di Madiredo berdampak

sangat baik bagi petani maupun buruh perempuan di Madiredo. Meningkatnya

permintaan dari pasar menjadikan para petani di Madiredo berbondong-bondon

membeli lahan kebun untuk mengusahakan budidaya apel. Beberapa petani lainnya

mengganti lahan kebun sayuran miliknya menjadi kebun apel, pada saaat itu. Ini

kemudian berdampak pada perluasan kesempatan kerja bagi para buruh tani di

Madiredo.

Salah satu yang menangkap peluang pekerjaan pertanian di Desa Madiredo

adalah para perempuan. Mereka bekerja sebagai buruh tani apel, menggarap

pekerjaan bertani di kebun apel milik petani dengan mengharapkan upah harian

darinya. Pencitraan dari buruh perempuan sendiri adalah buruh yang ideal, terampil,

rapi, teliti, dan patuh. Selain itu, buruh perempuan dianggap bahagia dengan

kesempatan kerja yang diberikannya, sehingga buruh perempuan menjadi penurut

dan mudah diatur (Tjandraningsih, 2021). Dalam pertanian apel, buruh perempuan

biasanya bertugas memangkas dahan yang tumbuh ke samping supaya tidak

mengganggu pertumbuhan pohon apel di sebelahnya atau biasanya buruh

perempuan juga memetik apel ketika sudah masa panen. Keterlibatan buruh

perempuan dalam pertanian memberi dampak yang positif dan menguntungkan.

Dalam beberapa tahun terakhir, produksi apel semakin merosot. Dilansir dari

media internet (terakota.id) peningkatan suhu yang terekam di Badan Meteorologi

Klimatologi dan Geofisika terus meningkat. Tercatat di tahun 2009 ke tahun 2010

produksi apel yang semula 129.15,2 ton turun mencapai 84.278,9 ton yang berarti

presentasi penurunannya mencapai 50%. Kemudian pada dua tahun berikutnya


4

produksi apel hanya mencapai 70.000 ton. Pada tahun 2013 produksi apel kembali

naik menjadi 83.891, 5 ton. Selanjutnya, produksi apel kembali menurun menjadi

23.176, 4 ton di tahun 2020.

Kenyataannya bahwa masyarakat pedesaaan Jawa merasa enggan

menginggalkan tempat tinggalnya untuk mencari kesempatan kerja yang lebih luas

dan besar, menandakan bahwa migrasi di masyarakat pedesaan Jawa masih rendah

(Husken, 1998). Hal itu menjadi salah satu faktor perempuan di Desa Madiredo

terutama masyarakat kelas menengah ke bawah akhirnya ikut berpartisipasi dalam

pertanian di Desa Madiredo.

Perubahan cuaca yang dibarengi dengan menurunnya produktivitas dari pohon

apel itu sendiri karena usianya yang sudah tidak remaja, membuat para petani apel

terpaksa memangkas dan menghabiskan pohon apel miliknya. Beberapa petani

lainnya bahkan memutuskan untuk menjual lahan apelnya dalam rangka

menghindari kerugian yang akan didapat pada kemudian hari. lahan bekas apel

tersebut kemudian dirombak sedemikian rupa menjadi lahan sayuran, seperti dulu

sebelum budidaya apel masuk ke Madiredo.

Setelah melalui masa kejayaan apel malang, dinamika produksi apel malang

pada saat ini sedang mengalami penurunan. Penurunan produksi apel ternyata

memberikan pengaruh pada nasib buruh perempuan yang sebelumnya

menyandarkan hidupnya di sektor ini. Hal itu membuat para petani pemilik lahan

kemudian melakukan proses rasionalisasi seperti yang dijelaskan (Husken, 1998)

yang mengakibatkan pengurangan kesempatan tenaga kerja dan terjadilah pasar

tenaga kerja yang tertutup, yaitu mengurangi para pekerja yang kurang produktif.

Dengan cara inilah tenaga kerja wanita kemudian dikurangi.


5

Partisipasi perempuan dalam kegiatan mencari nafkah memberikan dampak

yang baik yaitu ikut mendorong kesejahteraan keluarganya. Selain itu, kebutuhan

keluarga yang sebelumnya tidak terpenuhi, menjadi terpenuhi dengan penghasilan

yang didapat perempuan dari pekerjaannya (Intan & Meliza, 2021).

Hal ini kemudian menjadi penting untuk dikaji lebih jauh untuk mengetahui

bagaimana perubahan pertanian setelah dinamika apel turun. Melihat kondisi

geografi Desa Madiredo yang strategis untuk ditanami berbagai macam tanaman.

Kemudian tidak hanya berdampak pada pertanian saja, buruh tani perempuan yang

bekerja di kebun apel juga terkena imbas dari turunnya produksi apel. Ini juga

menjadi menarik untuk ditelusuri lebih mendalam mengenai sejauh mana pengaruh

perubahan dinamika penurunan produksi apel bagi buruh tani wanita dan bagaimana

strategi mereka dalam menghadapi persoalan ini.

I.2 Rumusan Masalah

Desa Madiredo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Pujon

dimana desa ini memiliki wilayah perkebunan yang luasnya mencapai 467 hektar.

Lahan seluas 467 hektar juga ditanami berbagai macam sayuran yang cocok untuk

dataran tinggi. Kondisi geografis ini, menjadikan mayoritas warga di Desa Madiredo

bekerja sebagai petani atau buruh tani. Produksi apel sendiri mulai masa

keemasannya di Malang pada tahun 1970 an. Hal ini menjadi salah satu faktor

terbukanya lapangan pekerjaan di Desa Madiredo yaitu sebagai buruh tani apel.

Salah satu yang menangkap peluang pekerjaan ini adalah perempuan. Namun, dalam

beberapa tahun terakhir, produksi apel menurun yang berdampak pada keseluruhan

aspek yang berhubungan dengan pertanian apel. Dalam hal ini, kemudian peneliti

merumuskan permasalahan menjadi sebagai berikut


6

1. Bagaimana perubahan pola pertanian yang terjadi di Desa Madiredo setelah

produksi apel turun?

2. Bagaimana perubahan pola produksi dari apel ke sayuran berpengaruh terhadap

penyerapan pekerjaan buruh tani perempuan?

3. Bagaimana perilaku dan strategi yang dilakukan buruh tani perempuan terhadap

perubahan pola produksi apel ke sayuran?

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana perubahan pertanian

setelah dinamika apel mengalami penurunan. Berkaitan dengan itu, penelitian ini juga

akan mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana perubahan pertanian tersebut

memengaruhi buruh tani perempuan. Terakhir, penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan dan mengkaji lebih dalam mengenai strategi yang dilakukan para

buruh tani perempuan untuk bertahan di kondisi ketika dinamika penurunan buruh apel.

I.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Secara Teoritis

Harapannya penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian di masa

depan mengenai pertanian subsisten dan cash crop khususnya pada pertanian apel

di malang. Tidak hanya itu, penelitian saya juga harapannya bisa dijadikan sebagai

dasar literasi untuk penelitian selanjutnya mengenai strategi pertahanan yang

dilakukan oleh buruh wanita.

1.4.1 Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada masyarakat Desa

Madiredo dan masyarakat yang lebih luas mengenai pola perubahan pertanian yang
7

terjadi di Desa Madiredo sebagai pusat pertanian di Pujon, Kabupaten Malang. Hal

ini menjadi penting karena pola perubahan yang terjadi merupakan bagian dari

sejarah pertanian di desa tersebut. Kemudian, harapannya penelitian ini juga bisa

memberikan kajian mendalam tentang bagaimana pola perubahan pertanian di Desa

Madiredo mempengaruhi buruh tani wanita yang bekerja disana.

I.5 Tinjauan Pustaka

Samuel Popkin (1986) melakukan penelitian mengenai kehidupan sosial petani

di Vietnam. Dalam studi kasusnya, Popkin membandingkan wilayah Annam dan

Tonkin yang memiliki sistem pertanian subsisten, dimana di dalamnya memiliki

kewargadesaan yang kuat, usaha pemilikan tanah oleh orang-orang luar mendapat

tantangan dari lokal dan mustahil, terdapat peningkatan tajam dalam stratifikasi,

serta konflik intra-elit juga meningkat dan memecah belah desa dan wilayah

Koncincin yang memiliki sistem pertanian komersial. Wilayah Koncincin tidak ada

sistem kepangkatan intern yang rumit, pasar tanah terbuka yang membolehkan siapa

saja membeli tanah di desa, dan tidak ada persoalan mengenai warga local atau

bukan. Dalam tulisannya, Popkin ingin mengetahui mengapa desa-desa di

Koncincin sangat berbeda (dari segi politik dan ekonomi) dengan desa-desa di

Annam dan Tonkin pada masa kolonial. Selain itu, Popkin juga ingin mengetahui

mengapa dan bagaimana perubahan di daerah Annam dan Tonkin itu terjadi.

Berawal dari sistem pajak dari Perancis yang dibebankan kepada laki-laki di

setiap desa termasuk petani miskin. Di Annam dan Tonkin ketika petani tersebut

tidak dapat membayar pajaknya, maka pajak tersebut akan dibebankan ke anggota

keluarga lainnya. Ketika anggota keluarga lainnya tidak bisa membayarkan pajak
8

tersebut, maka harta dari petani tersebut akan di lelang, dan apabila cara tersebut

masih gagal, maka petani akan menjual anaknya sebagai budak kepada orang lain.

Sistem ini berpengaruh besar kepada petani subsistensi yang miskin cadangan tunai

(Popkin, 1986). Mereka akan menjual hasil tani sesegera mungkin setelah panen.

Banyaknya petani yang melakukan hal yang sama membuat harga menjadi turun

drastis.

Daerah Koncincin adalah daerah yang menjadi koloni lebih dahulu

dibandingkan dengan Annam dan Tonkin. Kehadiran Prancis sendiri lebih kuat di

daerah Koncincin daripada di Annam dan Tonkin. Meskipun begitu, penguasa-

penguasa kolonial tidak bisa membuat kebijakan-kebijakannya yang bertujuan untuk

menguasai daerah ini. Tiap kelas di Koncincin sedikit lebih tinggi dibandingkan

dengan kelas-kelas daerah lain yang sama.

Perbedaan antara pertanian komersial di Koncincina dengan pertanian subsisten

di Annam dan Tonkin tidak cukup menjelaskan besarnya perbedaan politik dan

ekonomi di kedua wilayah tersebut (Popkin, 1986). Dua faktor yang menjadi

penting menurut Popkin untuk menjelaskan perbedaan pola ekonomi politik

Koncincin dan Annam-Tonkin adalah perbedaan kondisi tanah di Koncinci yang

terdapat banyak tanah luas dan tidak bertuan dan sistem produksi seperti sistem

irigasi dan curah hujan di wilayah Koncincin lebih dibandingkan dengan daerah

lainnya, membuat daerah Koncincin tidak membutuhkan peraturan-peraturan

mengenai sistem pengairan seperti daerah lainnya. Hal yang mebuat daerah

Koncincin minim konflik intra desa dan intra desa dibandingkan dengan wilayah

lainnya.
9

Sistem tanam paksa yang diberlakukan pada masa penjajahan Belanda di

Indonesia disebut (Geertz, 1983) cukup menguntungkan dan menjadi titik

perubahan sistem pertanian di Indonesia. Diperkenalkannya tanaman cashcrop

(tanaman perdagangan) seperti kopi, memberikan keuntungan yang cukup terlihat

untuk petani dibandingkan tanaman subsisten (padi) sebelumnya. Dijelaskan bahwa

berkurangnya produksi padi yang mengakibatkan berkurangnya lahan untuk

menanam padi sehingga penduduk setempat terpaksa harus mengimpor beras.

Terdapat dua jenis tanaman yang dipaksakan dalam sistem itu yaitu, tanaman

tahunan yang dapat digilir dengan padi (tebu, nila, tembakau) dan tanaman keras

yang tidak dapat digilir dengan padi (kopi, teh, dan lada). Dalam tulisannya, Geertz

mengambil kasus dua tanaman yang memberi keuntungan yang tinggi untuk

ekonomi rakyat petani, yaitu tenu dan kopi. Berbeda dengan kopi, tenaga kerja

yang dibutuhkan untuk tebu berubah-ubah besarnya sesuai dengan musim. Tenaga

kerja untuk tanaman kopi relatif tetap jumlahnya.

Penelitian tentang pertanian subsisten dan cash crop juga telah dilakukan oleh

Siti Zurinani (2012) berjudul “Budidaya Kopi di Hutan dan Dinamika Pelapisan

Sosial Petani Jawa”. Dalam tulisannya Zurinani (2012) ingin mengetahui apakah

penanaman kopi di hutan mengubah status quo ataukah mempertahankan status quo

di dalam masyarakat? Sebelum Perhutani memberi akses masyarakat untuk

membudidayakan kopi di hutan, terdapat dua kategori tanah di Sawangan yaitu

sawah yang ditanami padi dan jagung untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi dan

pekarangan yang biasanya digunakan untuk komoditas jangka panjang yang

biasanya ditanami sayuran (Zurinani, 2012).


10

Sebelum kopi mulai dibudidayakan di masyarakat Sawangan, petani mulai

kesulitan untuk pemenuhan konsumsi ketika populasi semakin meningkat (Zurinani,

2012). Masuknya budidaya kopi karena program Pengelolaan Hutan Bersama

Masyarakat (PHBM) menjadi peluang yang menguntungkan untuk peningkatan

kesejahteraan dan peningkatan perekonomian para petani. Petani kemudian mulai

memadatkan kawasan hutan dengan budidaya kopi. Mereka tidak menebang atau

menghilangkan pohon-pohon yang ada di dalam hutan. Petani membudidayakan

kopi di sela-sela pohon yang sebelumnya sudah ada di hutan. Pada saat itu,

bertepatan dengan permintaan kopi di pasar yang semakin meningkat, petani

menjadi semakin gencar memperluas penanaman kopi di hutan.

Semakin berjalannya waktu, akses jalan menuju pasar menjadi lebih baik dan

nyaman. Kepemilikan barang untuk produksi kopi juga semakin modern yang

menjadikan proses produksi budidaya kopi lebih efektif. Tidak hanya itu,

perekonomian rumah tangga masing-masing petani penggiat kopi juga mengalami

peningkatan. Salah satu petani yang sebelumnya termasuk kelas menengah, ketika

peluang menanam kopi muncul di tahun 1990 an bersamaan dengan permintaan

kopi di pasar yang tinggi dan peran pemerintah, petani tersebut mulai menanam kopi

dan berhasil menguasai 3,3 ha kebun kopi di hutan. Petani tersebut kemudian di

tahun 2000 membeli televisi dengan parabolanya dan memperbesar daya listrik dari

uang hasil budidaya kopi.

Tulisan (Suryanata, 2002) membahas mengenai bagaimana dataran tinggi di

Jawa Timur mengalami perubahan ekonomi yang disebabkan oleh berubahnya tata

guna lahan yang dramatis. Dimulai dari tahun 1980 dimana permintaan pasar
11

terhadap buah-buahan meningkat yang cepat ditanggapi oleh para petani di lahan

kering. Lahan kering tersebut kemudian mengalami transformasi pola penggunaan

secara besar-besaran dan banyak desa yang mengalami peningkatan pendapatan

secara drastis karena ini. Salah satu buah yang mulai diproduksi karena

meningkatnya permintaan pasar disini adalah apel.

Dalam penelitiannya, (Suryanata, 2002) memilih dua lokasi yaitu Sukarejo yang

pertaniannya sudah terintegrasi dengan pasar sejak akhir abad 19 karena produksi

sayurannya dan desa Wanasari dimana mesyarakatnya hanya bertani untuk sekedar

memenuhi kebutuhan subsisten. Meningkatnya permintaan pasar terhadap buah-

buahan mengubah sistem pertanian dan orientasi kedua desa tersebut kepada pasar.

Pada tahun-tahun awal menanam pohon apel, para petani juga secara bersamaan

menanam sayuran dibawahnya.

Pupuk kandang mulai tergantikan oleh pupuk kimia pada akhir tahun 1970-an.

Hal ini bersamaan dengan peluang investasi menanam sayuran meluas dan peluang

berdagang juga membesar. Hal ini berdampak pada penurunan daya tarik

pemeliharaan ternak untuk pengumpulan kekayaan. Sistem budidaya sayuran

dengan masuknya bahan kimia kemudian memunculkan kelembagaan bagi hasil

(maro) yang menghubungkan petani miskin dan kaum pemilik modal. Beberapa

petani yang membudidayakan sayuran yang butuh banyak modal, menjanjikan

separuh hasil dari usahanya kepada mereka pemilik modal yang mau membiayai

benih, pupuk, dan bahan kimia lainnya.

Keberhasilan budidaya apel mempercepat proses diferensiasi ekonomi desa

Sukarejo. Para petani kecil di desa ini tetap bisa menanam sayuran meskipun pohon
12

apel yang tumbuh di lahannya disewa orang lain. Pohon apel sendiri menjadi aset

berharga dan kepemilikannya dapat diperjual-belikan terpisah dari lahan tempat

tumbuhnya. Kebutuhan uang tunai biasanya berasal dari biaya pemeliharaan kebun

apel yang belum membuahkan hasil. Untuk hal itu, cara yang dilakukan adalah

menyewakan sebagian pohon yang digarap. Permasalahan nominal dari uang yang

dibayar akan dirundingkan oleh penyewa dan pemilik lahan, namun dalam hal ini

pemilik lahan memiliki posisi yang lebih lemah dibandingkan penyewa. (Suryanata,

2002) juga mengungkapkan bahwa sekitar seperempat dari pemilik lahan bekerja

sebagai pekerja upahan di lahan mereka sendiri. Dengan ini, para pemilik lahan

dapat sekaligus memastikan bahwa tanaman sayur mereka tidak terinjak-injak oleh

penyewa.

Budidaya apel juga memunculkan lembaga baru serupa dengan sistem bagi hasil

sayuran di tahun 1970-an. Para pemilik lahan yang miskin modal mencari kredit

untuk membiayai tenaga kerja dan produksi apel, sementara itu pemaro apel

menyediakan modal sekaligus tenaga kerja yang memiliki ketrampilan untuk

bekerja di lahan milik petani. Dalam hal ini, pemilik lahan masih memiliki hak

untuk menanam sayuran di lahan miliknya sendiri, sementara lahan miliknya

ditanami apel yang dibiayai pemaro apel.

Di bagian akhir, (Suryanata, 2002) menyimpulkan bahwa perubahan tata guna

lahan telah mengubah hubungan kerja petani, proses diferensiasi, dan mempercepat

proses diferensiasi ekonomi. Meskipun pola distribusi lahan tidak banyak, tetapi

perubahan ini berhasil menghasilkan kelas petani apel kaya yang memiliki kekuatan

yang dominan di desa. Penduduk desa pun berpendapat bahwa meskpun


13

keberhasilan apel berdampak pada peningkatan kesenjangan ekonomi di desa, tetapi

keberhasilan apel juga memberi dampak baik dengan meningkatnya kemakmuran di

desa mereka.

Penelitian mengenai transformasi pertanian sebelumnya telah dilakukan oleh Sri

Indarti, dkk (2016). Dalam tulisannya (Indarti, Luthfi, & Kismini, 2016) membahas

tentang transformasi pertanian di Desa Kunir dari padi ke tembakau dan diferensiasi

ekonomi di masyarakat desa tersebut. Pada awalnya, bentuk pertanian di Desa Kunir

adalah subsisten yaitu hanya dengan mengandalkan tanaman padi dan palawija

untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Kemudian, pemerintah bekerja

sama dengan perusahaan masuk dan membawa perubahan pertanian di desa

tersebut. Perusahaan menawarkan tembakau sebagai komoditas untuk ditanam dan

dirawat oleh para petani disana.

Dalam tulisannya, (Indarti, Luthfi, & Kismini, 2016) menyebutkan beberapa

perbedaan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah tembakau

masuk. Ketika para peteni hanya menanam padi dan palawija, dalam satu tahun di

musim hujan mereka akan menanam padi dan pada saat musim kemarau, petani

akan menanam palawija. Satu tahun hanya dibagi dua pertanian yang berbeda yaitu

padi dan palawija. Kemudian tembakau masuk dan mengubah pola pertanian disana.

Tanaman padi yang dahulunya ditanam mulai bulan oktober sampai maret, kini

penanamannya mulai januari sampai april. Pada bulan april disaat yang bersamaan,

petani akan mulai menuai benih tembakau untuk dipelihara sampai masa panen di

bulan September. Kemudian di bulan Oktober, petani baru akan menanam palawija.

Karena tembakau membutuhkan perawatan yang lebih intensif, buruh tani lebih

sering bekerja pada saat tembakau dibandingkan padi dan palawija. Dikatakan,
14

petani menjadi lebih kapitalis pada saat tembakau masuk karena orientasi mereka

yang sebelumnya hanya untuk pemenuhan kebutuhan, berganti menjadi mencari

keuntungan. Selain itu, tidak sama dengan pada saat pertanian padi, gotong royong

dan kerja sama sudah tidak efektif di pertanian tembakau. Buruh tani tembakau

menjadi bergantung dengan petani pemilik lahan. Karena perbedaan ekonomi antar

keduanya cukup mencolok, terkadang ketika buruh tani membutuhkan, mereka akan

meminjam uang kepada pemilik lahan.

Persamaan penelitian yang dilakukan Samuel Popkin (1986), Zurinani (2012),

Suryanata, (2002) dan Indarti, dkk (2016) dengan penelitian yang saya lakukan

adalah keempat penelitian tersebut sama-sama membahas mengenai daerah yang

sistem pertaniannya adalah komersial. Kemudian perbedaan antara ketiga penelitian

tersebut dengan penelitian yang saya lakukan adalah keduanya membahas

perbedaan sistem pertanian komersial dan subsisten. Dalam studi kasus yang

dibahas dalam penelitian Samuel Popkin (1986), Zurinani (2012), Suryanata, (2002)

dan Indarti, dkk (2016) terdapat daerah yang menggunakan sistem pertanian

subsisten. Berbeda dengan penelitian saya, pertanian yang saya lakukan di Desa

Madiredo sudah komersial.

Yuni Aster Juanda, dkk (2019) dalam tulisannya, membahas mengenai strategi

apa saja yang dilakukan para buruh tani untuk bertahan hidup. Dalam kasus yang

dikaji (Juanda , Alfiandi, & Indraddin, 2019) kebanyakan kelas ekonomi buruh tani

tergolong menengah ke bawah dan pendidikannya rendah. Terkadang kebutuhan

hidup keluarga masih belum terpenuhi hanya dengan bekerja sebagai buruh tani

saja. Salah satu strategi yang dilakukan para buruh tani untuk memenuhi
15

kebutuhannya adalah dengan menerima tawaran pekerjaan tawaran dari pemilik

lahan, sehingga mereka akan mendapatkan penghasilan tambahan. Penelitian ini

memiliki persamaan dengan penelitian yang saya lakukan yaitu mengenai strategi

yan dilakukan buruh tani dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

Sementara itu, pembahasan mengenai buruh petani perempuan terdapat dalam

tulisan Tania Li (2020). Dalam bukunya, (Li & Semedi, 2022) menyinggung tentang

pembagian pekerjaan kebun berdasarkan gender, dimana pekerjaan pemeliharaan

kebun kebanyakan dikerjakan oleh perempuan. Selain itu dalam tulisannya, Li juga

membahas mengenai bagaimana para buruh tani wanita muda yang ekspresif dalam

perlawanan tuntutan perusahaan dengan menolak mengenakan pakaian longgar yang

biasa digunakan pekerja wanita tua untuk melindungi badan. Mereka menggunakan

kombinasi kaos dan celana jeans yang modis, seolah mereka tidak melakukan

pekerjaan yang berat di lapangan.

Pembahasan mengenai peran pekerja rumah tangga perempuan dalam kegiatan

pertanian di lahan milik keluarga mereka telah dibahas oleh Kavita Baliyan (2018).

Baliyan melakukan studinya di Uttar Pradesh Barat, India mengenai buruh petani

perempuan yang bekerja hanya ketika kebutuhan pekerja petani meningkat. Mereka

merupakan buruh tani perempuan cadangan yang pekerjaannya tidak tetap dan

musiman (Baliyan, 2018). Peneliti mengkaji tentang buruh tani perempuan di

pertanian tebu, gandum, dan yang lainnya seperti kentang dan beras.

(Baliyan, 2018) mengungkapkan dalam tulisannya bahwa dalam kegiatan bertani,

terdapat pemisahan yang jelas berdasarkan jenis kelamin. Dalam pertanian padi,

biasanya perempuan bertugas membersihkan tanaman di sekitar padi yang dapat


16

mengganggu, membersihkan dan menyimpan gabah. Semakin luas lahan pertanian

milik petani pemilik, maka akan semakin banyak buruh tani perempuan yang

dipanggil untuk bekerja di lahan miliknya, begitu juga sebaliknya. Sementara itu,

petani yang hanya memiliki lahan yang kecil, akan mengurangi biaya pengeluaran

dengan memperkerjakan petani dari keluarga untuk menggarap lahannya.

Sistem pertanian yang dikendalikan oleh rumah tangga atau unit berbasis

kerabat, maka keputusan produksi dan investasinya juga dibuat di tingkat rumah

tangga itu sendiri (Ortiz, 2005). Pada tahun sebelumnya, Ortiz melakukan studi

kasus mengenai pasar tenaga kerja kopi di Kolombia. Produksi kopi meningkat

ketika agroteknologi kopi mulai diperkenalkan di tahun 1960. Hal itu

mengakibatkan kebutuhan tenaga kerja juga semakin tinggi. Dalam tulisannya

dijelaskan bahwa merka memperkerjakan penduduk local, kecuali perempuan

karena dianggap tidak cocom untuk bejerja di ladang. Namun, dalam sejarah

disebutkan bahwa perempuanlah yang memiliki peran utama dalam panen. Terdapat

dua alasan utama mereka menghindari memperkerjakan perempuan yang pertama

yaitu dari perempuan itu sendiri memang menolak dan suami atau ayah mereka yang

menolak (Ortiz, 1999) berpendapat bahwa alasan perempuan bekerja di pertanian

sebelum tahun 1960 adalah karena keluarga mereka membutuhkan penghasilan dan

banyak dari keluarga yang tinggal di tempat pertanian mereka bekerja.

Persamaan penelitian yang dilakukan Tania Li (2020), Kavita Baliyan (2018),

dan Ortiz (1999) dengan penelitian yang saya lakukan adalah ketiganya membahas

mengenai eksistensi dan peran pekerja wanita dalam pertanian. Kemudian

perbedaan kedua penelitian tersebut dengan penelitian yang saya lakukan adalah
17

kedua penelitian tersebut tidak membahas mengenai perubahan atau sistem

pertanian komersial.

Berdasarkan kajian pustaka yang telah saya lakukan, dalam penelitian ini, saya

mencoba menggabungkan dua hal terkait perubahan pola pertanian dan eksistensi

serta perilaku buruh tani perempuan dalam pertanian itu sendiri.

I.6 Kerangka Teori

Masyarakat di Desa Madiredo memanfaatkan secara komersial lahan pertanian

yang mereka dapatkan secara turun temurun. Tidak hanya perkebunan apel, sayuran

yang mereka tanam juga mereka serahkan ke pengepul untuk dijual di pasar. Hal itu

selain karena lahan yang dimiliki masyarakat Madiredo cukup luas, mereka

menyadari keuntungan yang di dapat dari pasar. Hal ini merupakan bagian dari

perilaku petani rasional. Dalam bukunya yang berjudul “Petani Rasional” (Popkin,

1986) menjelaskan tentang teori perilaku petani rasional.

Rasionalitas dalam masyarakat petani berarti individu mengevaluasi

kemungkinan hasil yang terkait dengan pilihan mereka sesuai dengan preferensi dan

nilai mereka (Popkin, 1986). Para petani secara sadar membuat pilihan yang mereka

yakini dapat memaksimalkan utilitas yang diharapkan. Rasional yang dimaksud

Popkin bukan tentang kepentingan pribadi, petani tetap memikirkan lingkungan dan

orang disekitarnya, tetapi ketika membicarakan tentang pertaniannya, petani

memperhitungkan kemungkinan hasil yang diinginkan berdasarkan dirinya sendiri.

Maka dari itu Popkin menyebut petani rasional bertindak dengan cara

mementingkan diri sendiri.


18

Tulisan Samuel. L. Popkin (1986) berfokus pada pengambilan keputusan

individu (petani) dan konsepsi secara luas tentang peran desa dalam kehidupan

ekonomi petani. Dalam tulisannya Popkin memodifikasi asumsi atau teori ekonomi

moral. Mempertimbangkan gambles atau perjudian (pertaruhan) dalam bertani dan

resiko, menerapkan logika investasi desa, hubungan patron-klien serta pasar, melihat

konflik dan pengorbanan antara keuntungan pribadi dan kolektif yang terlihat dalam

keduanya, serta pengelolaan desa dan kehidupan petani di dalamnya.

Popkin mengevaluasi para ahli ekonomi moral yang mengatakan bahwa dalam

suatu desa, tanah dimiliki bersama dan pajak dibayar oleh desa dengan tujuan

pemerataan dan redistribusi internal. Asuransi dan kesejahteraan seluruh desa

memberikan jaminan subsisten bagi penduduk desa yang miskin. (Popkin, 1986)

kemudian mengkritik pendapat tersebut dan berpendapat bahwa motif dari

perhitungan petani adalah bertahan hidup dari lingkungan yang beresiko tidak

mengarah ke lantai subsistensi dan asuransi seluruh desa yang luas. Tetapi, prosedur

yang menghasilkan dan menegakkan ketidaksetaraan dalam desa, karena prosedur

mendistribusikan nilai tanah dan pajak menguntungkan petani kaya. Sementara itu,

asuransi dan kesejahteraan tingkat desa pun terbatas.

Disaat ahli ekonom moral menekan pentingnya norma, menganggap norma

standard, dan prosedur desa serta pertukaran patron-klien adalah fixed (tetap) dan

ditentukan oleh kebudayaan yang sudah ada, Popkin memiliki pendapat bahwa

norma-norma tersebut dapat ditempa, di negoisasai kembali, dan digeser sesuai

dengan pertimbangan kuasa dan interaksi strategis antar individu. Dalam hal ini

selalu ada pengorbanan antara norma yang bertentangan dan tidak konsisten. Norma
19

sendiri tidak dapat secara langsung dan sederhana menentukan tindakan. Popkin

berpendapat bahwa norma sangat sulit untuk diurutkan. Kemudian, masalah

penerapan norma sendiri menyebabkan ketidakpastian yang melekat dalam

mengandalkan lembaga desa untuk kesejahteraan dan asuransi di masa depan.

Kemudian, Popkin mengkritik ekonomi moral yang memiliki pandangan terlalu

ramah tentang desa dan ikatan patron-klien dan pandangan yang terlalu keras

tentang potensi pasar. Ekonomi moral tidak selalu melihat dengan dekat pada cara-

cara di pasar yang dapat menguntungkan petani. Popkin memiliki pandangan bahwa

petani melihat satu sama lain ketidakpastian atau ancaman yang cukup untuk

membuat interaksi sosial menjadi sulit. Kemudian, Popkin juga mengkritik ekonomi

moral yang berpendapat bahwa teknologi dan perkembangan pasar tidak bernilai,

bahkan dapat menurunkan kesejahteraan banyak petani. Popkin lebih menekankan

pengambilan keputusan individu dan interaksi strategis dengan asumsi bahwa

mereka mengejar tujuan mereka secara rasional. Dalam hal ini, Popkin tidak

mengaitkan pandangan bahwa individu hanya peduli pada komoditas material dan

pendapatan uang.

Dalam hal ini masyarakat petani Madiredo tidak terkecuali buruh perempuan

juga memiliki sifat rasional petani seperti yang dijelaskan oleh Popkin. Para pekerja

perempuan di Madiredo terbuka atas pasar kerja dan dapat memilih pekerjaan tani

mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu sesuai dengan pertimbangan

keuntungan dan risiko yang akan didapatkan.

Secara keseluruhan, Popkin memiliki pendapat yang berbeda mengenai

masyarakat petani, terhadap teori ekonomi moral. Asumsi ini mengenai hubungan
20

patron-klien dan Popkin mempertanyakan tentang kualitas kesejahteraan dan

asuransi yang ada di desa. Kemudian, Popkin juga menunjukkan bahwa

dibandingkan kinerja lembaga-lembaga tersebut. Komersialisasi pertanian juga tidak

sepenuhnya merusak petani, bukan karena kapitalisme atau kolonialisme selalu lebih

baik dari pada yang diasumsikan oleh ekonomi moral, tetapi karena lembaga

tradisional lebih keras dan bekerja kurang baik.

I.7 Metodologi

Penelitian mengenai pola pertanian di Desa Madiredo menggunakan metode

etnografi dengan pendekatan kualitatif. Dalam tulisan (Windiani & Nurul, 2016)

dijelaskan bahwa ciri khas dari metode etnografi adalah keterlibatan penuh peneliti

dengan masyarakat yang diteliti untuk mengeksplor budaya masyarakat supaya

mendapatkan data yang mendalam. Tujuan dari penelitian yang menggunakan

metode etnografi sendiri adalah untuk memahami perilaku suatu masyarakat yang

kompleks serta memahami bagaimana perilaku manusia di dalam suatu masyarakat

tersebut.

1.7.1 Pemilihan Lokasi

Penelitian dilakukan di Desa Madiredo, Kecamatan Pujon, Kabupaten

Malang. Saya memilih Desa Madiredo sebagai lokasi penelitian saya dengan

latar belakang desa ini merupakan salah satu desa yang memiliki lahan pertanian

terluas di Malang, sekaligus merupakan pusat pertanian sayur di Malang. Oleh

karena itu, banyak masyarakat di Desa Madiredo yang bekerja sebagai petani

untuk menggarap lahan milik sendiri maupun lahan pertanian milik orang lain.
21

1.7.2 Pemilihan Informan

Pemilihan Informan merupakan salah satu hal yang terpenting dalam

penelitian. (Spradley, 2007) menjelaskan bahwa informan merupakan

pembicara asli / native speaker. Dalam memilih informan, saya mengklasifikasi

sesuai dengan penelitian yang akan saya laksanakan.

Dalam penelitian ini, memilih dan memprioritaskan informan perempuan

yang bekerja sebagai buruh tani. Latar belakang saya memilih buruh perempuan

adalah agar saya bisa mendapatkan gambaran dan penjelasan mengenai

bagaimana lingkungan sosial dan budaya mereka pada saat bekerja sebagai

petani. Selain itu, saya juga memilih informan petani di Madiredo untuk

mengetahui lebih dalam mengenai pandangannya sebagai petani apel maupun

sayur terhadap pertanian dan buruh perempuan di Madiredo. Kemudian, untuk

menunjang penelitian, saya juga memilih masyarakat asli Desa Madiredo

terutama yang bekerja di pertanian dan sudah tinggal sejak lama di desanya

untuk mendapatkan informasi lebih luas dan mendalam mengenai sejarah dan

lingkungan pertanian di Desa Madiredo.

1.7.3 Teknik Pengambilan Data

Pengumpulan data dilakukan sesuai dengan teknik dalam prinsip-pripsip

etnografi seperti observasi, observasi partisipasi, dan wawancara mendalam.

Observasi partisipasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui dan merasakan

secara langsung kehidupan masyarakat yang diteliti. Hal ini selaras dengan

tulisan (Windiani & Nurul, 2016) bahwa keterlibatan penuh peneliti dalam

masyarakat bertujuan untuk mengeksplor budaya masyarakat dan mendapatkan


22

data yang mendalam. Dalam pengambilan data, saya menggunakan alat bantuan

seperti buku, alat tulis, dan alat perekam suara agar mempermudah saya untuk

mendapatkan data yang lengkap dan mendalam. Data-data yang saya dapatkan

dari lapangan kemudian saya susun dan rapikan kembali dalam catatan lapangan

(field note) yang nantinya akan diolah kembali untuk menjadi data utama yang

akan ditulis dalam penelitian ini. Wawancara dan observasi partisipasi menjadi

sangat penting dilakukan untuk mengetahui kehidupan masyarakat petani

perempuan pada saat bertani. Oleh karena itu, untuk mendapatkan data yang

lengkap dan mandalam, saya akan mengikuti pekerjaan buruh tani perempuan

pada saat bertani di pagi hari sampai siang hari.

1.8 Sistematika Penyusunan

Penulisan pada skripsi ini terdiri dari lima bab. Bab pertama yaitu

pendahuluan diawali dengan sub bab latar belakang. Sub bab ini berisi latar

belakang dan urgensi saya dalam melakukan penelitian ini. Selanjutnya terdapat

sub bab rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka

yang berisi penelitian terdahulu mengenai pertanian, teori yang digunakan untuk

menganalisis data, dan metode yang dilakukan untuk melakukan penelitian.

Selanjutnya bab dua berisi kondisi demografis lokasi penelitian dan

menjawab pertanyaan mengenai bagaimana perubahan pola pola pertanian yang

terjadi di Desa Madiredo setelah produksi apel turun? Bab selanjutnya yaitu bab

tiga menjawab pertanyaan tentang bagaimana perubahan pola produksi dari apel

ke sayuran berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja buruh tani

perempuan? Dan bab empat menjawab pertanyaan bagaimana perilaku dan


23

strategi yang dilakukan buruh tani perempuan terhadap pola produksi apel ke

sayuran? bab terakjir yaitu bab lima berisikan kesimpulan.


BAB II

MADIREDO: PERTANIAN SUBUR PETANI MAKMUR

Bab ini berisi tentang letak geografis Madiredo dan potensi-potensi alam yang

menguntungkan Madiredo untuk perekonomiannya. Selanjutnya dalam bab ini, saya

akan memperkenalkan masyarakat Madiredo. Untuk memperdalam dan mempermudah

penjelasan mengenai masyarakat Madiredo, pada bagian ini saya akan membagi ke 3

aspek kehidupan di Madiredo, yaitu (1) Ekonomi, (2) Sosial-Budaya, dan (3) Agama.

Pada bagian akhir, saya akan menyinggung sedikit mengenai masyarakat pertanian di

Madiredo.

2.1. Lingkungan Geografis Desa Madiredo

Perjalanan sejauh 55 kilometer dari Kota Malang menuju Desa Madiredo

saya tempuh selama kurang lebih 1 jam. Dari jalanan datar berisi kendaraan roda

dua dan empat dengan pemandangan kanan dan kiri dipenuhi pemukiman,

beberapa terlihat bangunan ruko tinggi sampai memasuki jalanan yang berkelok-

kelok naik dan turun dengan pemandangan di samping kanan jurang, akhirnya

saya sampai di Desa Madiredo.

Desa Madiredo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan

Pujon, Kabupaten Malang. Desa ini berbatasan langsung dengan wilayah hutan

di sebelah utara dan berbatasan Desa Ngroto di bagian selatan. Sementara itu

pada bagian timur Desa Madiredo berbatasan dengan Desa Wiyurejo dan Desa

Taman Sari yang berbatasan di sebelah barat (Profil Desa Madiredo, 2020).

Jarak yang perlu ditempuh untuk sampai ke jalan provinsi hanya sekitar 3

24
25

kilometer. Akses menuju desa ini cukup mudah dengan transportasi pribadi roda

empat atau dua maupun dengan transportasi umum. Jalanan di Desa Madiredo

mayoritas sudah di aspal. Akses jalan di Madiredo yang belum di aspalpun

kebanyakan hanya akses jalan yang berada di dalam wilayah perkebunan.

Struktur tanah di Madiredo memiliki ciri khas pedesaan jawa di dataran

tinggi yang bervariasi dengan kontur tanah yang naik-turun dan berkelok-kelok.

Jalanan di Madiredo sendiri masih cukup untuk diisi dua kendaraan roda dua

dari arah yang berbeda. Di beberapa wilayah ketika ada kendaraan roda empat

lewat dari arah berlawanan, kendaraan roda dua harus memperlambat

kecepatannya atau menunggu supaya kedua kendaraan tidak bergesekan.

Di kesehariannya mobil pick up lah yang cukup sering berlalu lalang di

Madiredo. Selain biasanya untuk mengangkut buruh tani untuk mengantar ke

tegal dan hasil tani berupa sayur mayur yang akan dikirim ke pasar, mobil pick

up tersebut juga berisi aneka ragam sayuran yang biasanya dijual keliling untuk

masyarakat Madiredo.

Gambar 2.1 Letak Gerografis Madirejo


(Sumber: Balai Desa Madiredo)
Su
26

Berada di wilayah dataran tinggi, Desa Madiredo memberi keuntungan

ekonomi bagi masyarakatnya untuk pertanian. Desa Madiredo mempunyai

kekhasannya sendiri yaitu menjadi salah satu pusat pertanian sayur dan produksi

apel terbesar di Malang. Lahan pertanian di Madiredo diisi oleh berbagai macam

budidaya sayuran seperti sawi, wortel, tomat, buncis, cabai, tomat, dan masih

banyak lagi. Tidak berhenti disana, di Desa Madiredo juga terdapat perkebunan

apel yang cukup luas untuk dikirim ke berbagai daerah di Indonesia.

Terdapat dua jenis lahan pertanian yang ada di Desa Madiredo, yaitu tegal

atau kebun (baik sayur maupun buah-buahan) dan tetelan yang merupakan hutan

milik negara yang dikelola oleh masyarakat secara individu. Tegal atau

perkebunan letaknya berpencar-pencar, tidak seperti tetelan yang terletak di satu

tempat yaitu di pegunungan sebelah utara Madiredo. Masyarakat Madiredo

biasanya menyebut tegal yang terletak dekat pemukiman adalah “sawah”.

Tetelan atau hutan milik negara terletak di pegunungan yang terletak di bagian

utara Desa Madiredo. Kehadiran kebijakan yang dibuat oleh Perhutani yaitu

Pengelolaann Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) membawa dampak yang

positif dalam perekonomian di masyarakat Madiredo karena dengan kebijakan

ini masyarakat petani disekitar hutan diizinkan masuk dan mengelola hutan

dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga. Hal

ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh (Zurinani, 2012) kebijakan PHBM

direalisasikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal

di sekitar penggunungan dan pelestarian sumber daya hutan.


27

Berdasarkan data yang didapat dari Balai Desa Madiredo, luas lahan

pertanian di Madiredo mencapai 500 km 2. Dari 500 km2 tersebuh masih banyak

pertaniannya berupa tanaman keras yang masa produksinya bisa mencapai lebih

dari 20 tahun. Sementara itu, luas tetelan atau hutan milik negara bisa mencapai

400 km2 dimana hanya seluas 250 km2 saja yang dikelola masyarakat.

Terdapat 6 dusun yang ada di dalam Desa Madiredo. Keenam dusun

tersebut adalah Bengkaras, Sobo, Lebo, Ndelik, Meduran, Persil, dan Mantung.

Beberapa dusun tersebut memiliki keunikannya masing-masing. Seperti Dusun

Ndelik yang jika diartikan “Ndelik” Secara bahasa Indonesia adalah “sembunyi”

dusunnya sendiri terletak di belakang dan jauh dari balai desa. Kemudian ada

dusun Meduran yang diceritakan dahulu sekitar tahun 1800 an orang Madura

melakukan transmigrasi dan menempati Madiredo. Maka dari itu, wilayah di

Madiredo yang mereka tempati diberi nama Meduran. Namun kini banyak

warga Madura tersebut yang sudah kawin beranak dengan warga lokal sehingga

untuk sekarang sedikit ditemui orang atau warga asli keturunan Madura di

Madiredo. Selain itu, masyarakat Madiredo menyebut wilayah RT 12, 13, 14 di

Dusun Bengkaras, Blok Nongko. Blok nongko sendiri merupakan wilayah

perluasan di Madiredo. Diceritakan dahulu ada orang yang memiliki lahan luas.

Di lahan yang luas tersebut, ia menanam pohon nangka sebanyak mungkin.

Kemudian, pohon nangka tersebut akhirnya harus ditebangi karena lahan

tersebut akan dijadikan pemukiman. Begitulah sejarahnya ketika saya bertanya

kepada salah satu warga Blok Nongko bagaimana asal-usul nama dari Blok

Nongko.
28

Suasana dingin langsung menyerang tubuh seketika saya tiba di Desa

Madiredo untuk pertama kalinya. Padahal, pada saat itu saya sampai disana

sekitar pukul 12 siang hari. Meskipun tengah hari, pada saat itu matahari disana

tidak terasa menyengat sama sekali. Suhu tertinggi di Desa Madiredo hanya

mencapai 23º celcius. Semakin matahari menghilang, suhu di Madiredo akan

semakin menurun. Suhu terendahnya bisa mencapai 12º celcius pada malam

hari. Suhu yang tidak pernah hangat di Madiredo membuat air di Madiredo ikut

mendingin, sekalipun pada saat siang hari.

Tidak hanya terdapat bentangan lahan pertanian berwarna hijau dan asri

yang sangat luas, Desa Madiredo memiliki lokasi wisata yang dapat menarik

para wisatawan dari luar untuk berkunjung, yaitu Telaga Madiredo. Dahulu,

Telaga Madirodo dianggap telaga mistis dimana tidak satupun orang berani

mendatanginya (klikwarta.com). Berbanding terbalik, sekarang telaga ini sudah

diubah mejadi objek wisata pemandian yang ramai dikunjungi masyarakat di

luar Madiredo untuk mandi, bermain air atau sekedar menikmati hawa dingin di

Madiredo dan pemandangan asri disekitarnya. Harga tiket masuk Telaga

Madiredo adalah 5000 untuk satu orangnya. Namun, terkhusus untuk warga

lokal Madiredo, akan mendapat potongan harga tiket masuk telaga.

Ketika berjalan menuju pemandian telaga, kita disuguhi bentangan lahan

hijau berundak yang diisi oleh berbagai macam budidaya sayuran dan budidaya

apel. Sementara itu, bagian kiri adalah sungai kecil aliran dari telaga itu sendiri.

Terdapat dua kolam, yang pertama lebih dangkal, biasanya untuk bermain anak-

anak dan orangtua yang mendampinginya dan yang lebih dalam, biasanya untuk
29

orang dewasa. Tidak hanya telaga untuk bermain air, disana juga terdapat

beberapa tempat bermain untuk anak-anak seperti perahu gowes kecil dan kolam

berisi pasir pantai. Kemudian juga ada spot tempat duduk gantung

menggunakan tali dan kayu yang menghadap langsung ke bentangan lahan hijau

di depannya. Para pengunjung biasanya duduk bersantai di ayunan dari kayu

tersebut suntuk menikmati pemandangan di depannya sambil merasakan angin

dingin yang membuat suasana semakin nikmat. Tidak jarang juga kita bisa

melihat pekerja tani sedang melakukan pekerjaannya di lahan tersebut.

Gambar 2.2 Telaga Madiredo


(Sumber: dokumen pribadi)
Su Madiredo 2 sekolah tingkat TK, 2
Terdapat 6 sekolah formal di Desa

sekolah tingkat SD/MI, 2 sekolah tingkat SMP/MTs, dan 1 sekolah tingkat

SMA/MA. Desa Madiredo sendiri sebenarnya lebih dikenal sebagai desa di

Kecamatan Pujon yang banyak berdiri pondok pesantrennya (Hestiqomah,

2014). Sebelumnya terdapat tujuh pondok pesantren berada di Desa Madiredo.

Hal itu menjadi salah satu alasan mengapa terdapat banyak masjid yang megah

dan besar di Madiredo. Kini jumlah pondok pesantren di Madiredo berkurang 1


30

menjadi 6 karena kiyai dari satu pesantren tersebut meninggal dan kebetulan

tidak memiliki keturunan untuk melanjutkan pondok pesantrennya. Satu

pesantren di Madiredo sendiri bisa menampung 500 – 900 santri baik dari

masyarakat lokal Madiredo maupun dari berbagai macam daerah di luar Malang

raya, seperti Kudus, Banyuwangi, Demak, dan lainnya. Hal itu yang membuat

masyarakat sini terbiasa dengan kedatangan orang asing.

2.2. Mengenal Masyarakat Madiredo: Kehidupan Ekonomi, Sosial-Budaya, dan

Agama

2.3. 1 Ekonomi Masyarakat Madiredo

Luasnya lahan pertanian yang ada di Madiredo memberi kesempatan bagi

masyarakatnya untuk bekerja di pertanian. Tidak hanya petani dan

buruhnya, sebagian masyarakat Madiredo juga ada yang bekerja di bagian

lainnya, tetapi masih dalam lingkungan pertanian. Pekerjaan yang cukup

popular adalah monol. Monol berasal dari kata ‘monolan’ atau sepeda motor

yang jog bagian belakangnya diubah dengan kayu pipih supaya bisa

mengangkut hasil sayuran yang dipanen di pagi atau siang hari. Untuk hasil

panen yang lebih banyak, biasanya diangkut menggunakan truck pick up

bagi mereka yang memilikinya. Di Madiredo sendiri terdapat pusat oleh-

oleh olahan buah apel, salah satunya adalah Carang Apel. Pembuatan olahan

buah apel tersebut membutuhkan pekerja wanita, sama halnya dengan para

petani kebun apel yang membutuhkan pekerja wanita untuk bekerja

dengannya.
31

Pekerjaan sebagian masyarakat Madiredo lainnya pengepul (tengkulak).

Merekalah pedagang yang menyalurkan hasil tani ke Unit Pelaksana Teknis

Sub Terminal Agribis Mantung Pujon (UPT STA Mantung) atau masyarakat

biasa menyebutnya dengan ‘pasar mantung’. Berdasarkan Peraturan Bupati

Malang Nomor 1 Tahun 2017, UPT STA Mantung didirikan sebagai

fasilitas pemasaran komoditas tanaman pangan, holtikura, dan perkebunan

pada dinas. Mengenai mekanisme dari Pasar Mantung ini adalah dengan

cara lelang dengan sasaran harga yang lebih berpihak pada petani. Selain

itu, di Madiredo juga terdapat jasa membersihkan wortel dan kentang.

Mereka bertugas membersihkan wortel, kentang, atau hasil tegal yang kotor

tanah.

Gambar 2.3 Telaga Madiredo


(Sumber: Web Pingpoint)
32

Selain bertani, beberapa diantara mereka memelihara dua sampai lima

sapi yang mereka manfaatkan susunya untuk diperah. Kandang sapi terletak

di bagian belakang rumah, setelah dapur. Sapi betina diperah susunya setiap

15 hari sekali, yang berarti dalam satu bulan, masyarakat yang memelihara

sapi betina mendapatkan penghasilan dari susu sapi tersebut dua kali selama

satu bulan. Susu sapi yang diperah kemudian dijual di Koperasi Susu dan

pendapatannya bisa mencapai 900.000 rupiah tiap perahannya.

Bangunan rumah di Madiredo cukup bervariasi. Dari rumah besar

terlihat mewah dengan garasi mobil dan taman kecil di depan rumah

sampai rumah kecil tidak memiliki garasi berada di dalam gang sempit

seluas 1,5 meter ada di Madiredo. Dari banyaknya variasi bentuk rumah di

Madiredo, kita bisa melihat secara jelas bagaimana perbedaan ekonomi

disana. Saya pernah masuk ke rumah milik petani apel yang mengusahakan

budidaya apel (4 lahan dan budidaya sayuran (1 lahan).

Terdapat dua bangunan yaitu bangunan lama dan baru. Bangunan lama

terlihat sangat tua, gelap, dan kumuh. Bagian depan adalah ruangan yang

berisi alat-alat pertanian seperti tanki penyemprot pesitisida. Kemudian

terdapat ruangan yang di dalamnya terdapat dipan kasur yang di depannya

diberi tv. Masuk lebih dalam mulai terlihat dapur dengan bangunan baru

yang cukup luas. Terdapat satu pasang meja dan 4 kursi yang biasanya

selain digunakan untuk makan, juga untuk duduk sambil berbincang-

bincang santai di sore hari. Masuk melalui pintu yang ada di dapur menuju

bangunan baru sangat terasa perbedaannya. Cat tembok yang lebih cerah,
33

banyak furnitur rumah yang baru lebih modern penuh mengisi seluruh

ruangan. Sofa, karpet, dan tv keluaran terbaru berada di ruang tamu.

Tangga besar yang bentuknya melengkung menambah suasana rumah

menjadi terlihat semakin megah. Terdapat dua kamar dibawah dan tiga

kamar di atas. Dapur rumah tersebut juga terlihat modern dan baru dengan

adanya kitchen set. Dinding rumah tersebut juga tidak dibiarkan kosong.

Beberapa foto dengan berbagai macam ukuran di tempel untuk membuat

dindin tidak terlihat kosong.

Sementara itu, rumah keluarga yang memiliki kebun sayur dari tetelan

dengan luas tidak seberapa, harus masuk gang sempit. Rumah yang

sebagian besar dindingnya berbahan kayu ini terlihat padat dan kecil.

Ruang tamu berisi meja, kursi biasa berbahan kayu. Lantainya belum

keramik, jadi menggunakan alas berbahan plastik bermotif. Terdapat dua

kamar, untuk orang tua dan satu anak. Ada satu ruangan lainnya berisikan

kasur cukup lebar satu yang di depannya tv tabung. Sementara itu bagian

dapur masih berupa tanah, sehingga untuk masak dan makan, harus

mengenakan sandal supaya kakinya tidak kotor.

Sebagian anak-anak usia sekolah di Madiredo tidak melanjutkan ke

perguruan tinggi, bahkan ada yang tidak menyelesaikan pendidikan di

sekolah menengahnya dan memutuskan untuk menikah. Beberapa yang

lainnya berhenti di sekolah dasar, kemudian melanjutkan pendidikan non

formal, dengan mendalami pelajaran agama islam di pondok pesantren.


34

Setelah itu, mereka, anak-anak perempuan di rumah mengerjakan

pekerjaan rumah, beberapa ada yang menjadi preman1.

Disamping itu, mereka menunggu usia yang legal dalam pemerintahan

untuk menikah dengan pasangannya. Sesuai dengan Undang-Undang

nomor 16 tahun 2019 yang menyatakan bahwa usia minimal menikah

adalah 19 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan yang merupakan

perubahan dari Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan

bahwa batas minimal usia menikah bagi laki-laki adalah 19 tahun dan

wanita adalah 16 tahun. Ini terlihat jelas dari perbedaan usia ibu dan anak

disini. Mayoritas jarak usia anak pertama dan ibu 18-20 tahun.

Pada kenyataannya di Desa Madiredo, saya menemui seorang ibu

mengaku menggunakan metode kontrasepsi KB suntik di tangan, setelah

melahirkan anak pertamanya di usia 18 tahun. Itu merupakan suatu hal

yang biasa terjadi di Madiredo (terutama blok nongko) dimana anak

perempuan menikah dan memiliki anak di usia dini. Dalam hal ini, mereka

mempunyai caranya sendiri untuk dapat mendaftarkan pernikahannya sah

secara negara yaitu bekerja sama dengan lembaga yang mengurus urusan

pernikahan setempat.

Banyaknya pernikahan dini yang terjadi di Madiredo berdampak pada

angka kelahiran yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari data yang didapat

dari balai desa dimana jumlah penduduk anak (usia 0 – 15) dan penduduk

usia produktif (15 – 56) lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk

1
Dalam bahasa lokal ‘preman’ artinya adalah pekerja tani
35

lansia. Selain itu, di masyarakat Madiredo memiliki pandangan atau

perasaan malu ketika tidak segera menikah.

Gambar 2.4 Data Umur Warga Desa Madiredo


(Sumber: Balai Desa)

2.3. 2 Sosial-Budaya Masyarakat Madiredo


Sore hari, saya memutuskn untuk keluar dari rumah bu Fara (induk
semang saya) untuk berkunjung ke rumah Naja warga blok nongko
seumuran saya dengan jalan kaki sambil menikmati hawa dingin sore
hari di Desa Madiredo. Keluar dari gang, saya berpapasan dengan mobil
pick up berwarna putih yang sedang tidak mengangkut apapun di bagian
belakang dan hanya seorang laki-laki dewasa sopir dari mobil pick up
tersebut. Belum sempat saya menyapa sopir mobil pick up tersebut, sopir
tersebut bertanya “Lare pundi mbak?” (Anak mana mbak?), tanya sopir
pick up tersebut dengan nada ramah. Kemudian saya menjawab bahwa
saya adalah mahasiswa yang sedang melakukan penelitian untuk tugas
akhir.

Relasi antar warga Madiredo sangat akrab dan bisa dipastikan mereka

mengenal satu sama lain. “Tinggal nyebut jenenge sopo, rt piro sudah pasti

kenal” (Tinggal menyebutkan siapa namanya dan dari RT berapa orang tersebut,

pasti warga kenal), tegas Pak Wid. Guyub atau akrab, saling mengenal satu sama

lain, begitu pengakuan dari salah satu warga lokal Madiredo yang dituakan.
36

Tidak hanya yang dituakan di keluarga, kebanyakan masyarakat Madiredo juga

saling mengenal sampai keturunan paling bawahnya. Hal ini saya bisa rasakan

ketika saya berjalan-jalan pada sore hari bersama warga lokal seusia saya,

banyak warga sekitar yang kebetulan sedang di luar pulang dari ibadah atau

sekedar menikmati sore hari melihat saya dengan tatapan yang bingung

bertanya-tanya siapa saya dan kira-kira ada urusan apa saya disini.

Salah satu faktor yang menjadi penyebab keakraban antar warga di

Madiredo adalah banyak terjadinya perkawinan dengan tetangga. Selain itu,

ikatan pertalian kekerabatan termasuk mekanisme penting yang memperkuat

solidaritas yang terjadi dalam hubungan patron-client2 (Husken, 1998). Di

Madiredo sendiri, ada pak Khaldun yang sebelumnya merupakan petani yang

bekerja di lahan milik pak bagus yang kemudian dinikahkan dengan anak

perempuan pak bagus atau istilahnya dipek mantu karena sifat pak Khaldun yang

pekerja keras dan lugu.

Rendahnya migrasi (dalam hal ini urbanisasi) juga menjadi faktor yang

penting untuk dilibatkan dalam pembicaraan mengenai relasi sosial masyarakat

Madiredo. Urbanisasi sendiri dilakukan oleh masyarakat desa yang merasa

belum puas dengan pendapatan atau tingkat ekonominya dan minimnya

kesempatan kerja di desanya yang kemudian memutuskan untuk pindah ke kota

untuk mencari peluang ekonomi yang lebih banyak di kota. Mereka yang

biasanya meninggalkan desa untuk pergi ke kota, adalah siswa yang merantau

untuk melanjutkan pendidikan setelah Sekolah Menengah Atas, yaitu menjadi


2
Hubungan ketergantungan antara juragan/pemilik lahan dengan pekerja/anak buah. Dimana pemilik
lahan/juragan biasanya membantu permasalahan keungan pekerjanya ketika dibutuhkan, sebagai imbalan
kesetiaan anak buah dalam mengerjakan pekerjaan di lahan milik juragan.
37

mahasiswa di universitas yang letaknya di tengah kota, atau santri yang

melanjutkan pendidikan pesantrennya di luar Madiredo. Biasanya, mereka yang

kembali setelah menyelesaikan pendidikan tingkat perguruan tinggi akan bekerja

sebagai guru di sekolah-sekolah yang ada di Madiredo. Beberapa yang lainnya

juga memutuskan untuk mencari pekerjaan di luar Madiredo dan tinggal di luar

Madiredo.

2.3. 3 Agama Masyarakat Madiredo

Seluruh masyarakat Madiredo beragama Islam. Ajaran agama islam di

Madiredo lebih condong ke ajaran dari Nadhlatul Ulama (NU). NU sendiri

merupakan salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia yang didirikan oleh

KH. Hasyim Asy’ari yang menjungjung tinggi nilai nasionalisme (Farih, 2016).

Pandangan ajaran NU toleransi dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan

dengan ajaran agama islam, oleh karena itu ajaran dari NU memiliki ciri khasnya

sendiri yaitu tradisionalis.

Banyanknya masjid dan musola di Madiredo menjadi salah satu bukti

ketaatan masyarakat Madiredo menjalankan ibadahnya. Ketika memasuki waktu

ibadah, seketika di Madiredo dipenuhi doa-doa pujian dari pengeras suara

masjid. Doa-doa tersebut bahkan menjadi penanda selesainya pekerjaan bertani

di Madiredo. Aspek kehidupan masyarakat Madiredo tidak dapat terlepas dari

kepercayaan agama islam yang mereka anut. Oleh karena itu, di setiap aspek

kehidupan mereka, seperti kelahiran, kematian, wujud rasa syukur, dan

sebagainya selalu mereka kaitkan dengan agama islam yaitu dengan

mengadakan acara keagamaan.


38

Di Madiredo sendiri banyak diadakan acara keagamaan yang melibatkan

masyarkatnya untuk berpartisipasi di acara tersebut. Beberapa acara keagaamaan

seperti Tahlilan, Yasinan, Dibaan, dan sebagainya biasanya hanya melibatkan

masyarakat lingkup RT saja. Kegiatannya pun rutin dilakukan dalam kurun

waktu tertentu dan tempatnya berada di rumah anggota secara bergilir.

Kemudian terdapat acara keagamaan yang membutuhkan lebih banyak

partisipasi masyarakat, yaitu kenduran atau slametan. Acara ini diadakan bagi

mereka yang ingin memperingati suatu kejadian di hidup mereka seperti

kelahiran, pernikahan, kematian, panen, dan sebagainya (Geertz, 2013).

Partisipasi masyarakat tidak hanya dibutuhkan pada saat hari slametan tersebut

diselenggarakan. Untuk mengadakan slametan, dibutuhkan persiapan yang tidak

membutuhkan sedikit bantuan berupa tenaga (masyarakat sekitar) maupun biaya.

Banyaknya acara keagamaan adalah salah satu faktor penting yang

mendorong keakraban masyarakatnya. Masyarakat tidak hanya berkumpul untuk

inti dari acara-acara tersebut, tetapi mereka juga berkumpul untuk menyiapkan

acara-acara tersebut. Biasanya para ibu-ibu sudah mulai menyiapkan

hidangannya dari pagi hari. Untuk acara kecil, hanya anggota keluarga yang

dimintai bantuan untuk menyiapkan acaranya, tetapi untuk acara besar tetangga-

tetangga akan dimintai bantuannya juga (Geertz, 2013). Biasanya ibu-ibu yang

membantu urusan dapur akan membawa anak-anak mereka. Sementara ibu-ibu

sibuk urusan dapur anak-anak akan bermain bersama di kamar atau pada bagian

depan rumah.
39

2.3. Lingkungan Petani Madiredo

Matahari masih bersiap untuk menyinari Madiredo. Begitu juga masyarakat

Madiredo di rumahnya masing-masing. Sekitar pukul 5.00 keluarga petani

Madiredo mulai sibuk mempersiapkan diri untuk memulai harinya. Anak-anak

bangun dan bersiap untuk sekolahnya, bapak menyiapkan alat-alat untuk

berkebun. Beberapa ada yang sambil menyesap rokoknya, mengganti wadah

berisi air di sangkar burung peliharaannya, atau memberi makan sapi yang

dipelihara di belakang rumah sambil menunggu matahari menerangi jalanan

menuju tegal nya, dan ibu mulai menanak nasi sembari memasak sayur dan lauk

untuk sarapan keluarga dan bekal untuk dibawa ke tegal.

Ketika jalanan Madiredo sudah mulai diterangi matahari sekitar pukul 6

pagi, disana mulai terlihat banyak orang keluar rumah. Anak-anak berjalan

bersama teman-temannya menuju sekolah.“Biasane nek pagi-pagi jam 6 ngono

mbak, ibu-ibu jejer-jejer baris berangkat bareng-bareng ngoten niku teng tegal.

Mlaku titil-titil ngono kui. Biasane sekeluarga ngoten Mbak, enten ibu, bapak

nek enek anak e seng iso bantu diajak” (Biasanya kalau pagi-pagi jam 6 gitu

Mbak, ibu-ibu bersampingan baris berangakat bersama begitu ke kebun. Jalan

barengan gitu. Biasanya sekerluarga gitu Mbak, ada ibu. Bapak, kalau ada

anaknya yang bisa bantu, diajak), terang Bu Novi kepada saya, saat saya ikut

keluarga Bu Novi pergi ke tetelan untuk ngunduh (panen) ucet3 yang sudah siap.

Karena pada saat itu kami berangkat sedikit terlambat, jadi saya tidak sempat

melihat para petani perempuan berangkat menuju tegal (kebun milik sendiri)

maupun tetelan (kebun milik negara, biasanya budidaya sayuran). Jarak yang
3
Sebutan warga lokal untuk buncis pendek
40

perlu ditempuh dari rumah Bu Novi menuju tetelan kurang lebih 2 kilometer.

Sebelum memasuki wilayah perkebunan, datarannya naik turun, tetapi masih

berupa aspal. Ketika sudah mulai masuk wilayah perkebunan, jalanan mulai

berkelok-kelok dan tidak rata. Sampai di tetelan milik Bu Novi, saya melihat

suami Bu Novi sudah lebih dulu mengerjakan pekerjaannya yaitu memetik ucet

yang sekiranya sudah siap untuk dipasarkan.

Petani laki-laki biasanya jalan sendiri dengan membawa alat pertanian

seperti cangkul atau menggendong tabung berisi cairan pestisida untuk

disemprotkan ke tanaman. Tidak jarang terlihat petani laki-laki berangkat ke

tegal dengan menaiki sepeda monolan yaitu sepeda motor yang dimodifikasi

bagian belakangnya dengan menambahkan kayu lebih lebar untuk nanti

digunakan sebagai tempat hasil tani dari tegal. Mereka biasanya menggunakan

setelan celana berbahan kaos atau kargo dengan menggunakan atasan berbahan

kaos yang nyaman dipakai untuk berkebun. Tidak lupa biasanya mereka

menggunakan topi berjenis apapun untuk melindungi kepala mereka dari

sengatan matahari di kebun mereka. Sepatu yang digunakan adalah sepatu boots

khas untuk bertani berbahan karet.

Berbeda dengan petani laki-laki, para petani perempuan biasanya berjalan

berkelompok dengan petani perempuan lainnya sembari bercengkrama entah

membicarakan kabar terbaru tetangga atau saudaranya. Seringkali mereka

menyapa tetangga yang kebetulan sedang melakukan aktivitas pagi hari di luar

rumah atau memberi makan bayinya. Pakaian yang mereka kenakan biasanya

adalah kaos santai dengan celana longgar berbahan kain bermotif ramai, juga
41

ada yang mengenakan celana berbahan kaos, jilbab kaos yang langsung

dikenakan, sebagian menggunakan menggunakan topi kemudian dilapisi jilbab

kain segi empat yang dibentuk segitiga dan dikenakan di atas topi.

Gambar 2.5 Buruh tani naik pick up ke tegal


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Tidak hanya itu, sering terlihat mobil pick up di pagi hari membawa

sekelompok petani perempuan ke tegal. Biasanya mereka adalah buruh petani

yang bekerja di perkebunan apel. mobil pick up yang dikendarai oleh bapak-

bapak, berjalan sesuai rute menjemput buruh petani perempuan dari yang

rumahnya paling jauh dari kebun sampai yang paling dekat. Pada saat itu,

kebetulan saya ikut kerja Mak Nur yang rumahnya paling dekat dengan wilayah

pertanian. Pada saat mobil pick up berhenti di depan rumah Mak Nur, terlihat

sudah ada sekitar 10 petani perempuan yang duduk di bagian belakang mobil.

Saya sendiri dipersilahkan oleh ibu-ibu disana untuk duduk di depan, di samping

sopir.
42

Dalam pertanian terdapat pembagian pekerjaan yang jelas antara laki-laki

dan perempuan. Hal ini ditentukan oleh alat pertanian yang digunakan (Geertz,

Involusi Pertanian , 1983). Di perkebunan apel, petani perempuan di Madiredo

biasanya mendapat bagian rempes (menghilangkan daun-daun kering di sekitar

mata apel atau bunga apel), mbungkus (melapisi buah apel supaya terlindungi

dari hama), dan ngunduh (panen). Sementara itu, di budidaya sayur pekerjaan

perempuan biasanya merawat sayuran tersebut.

Suatu saat saya ikut Mak Roh bekerja di tetelan milik Pak Agus yang
terletak di lereng pegunungan. Pada saat itu, tetelan milik Pak Agus
sedang diisi tanaman Tomat sayur yang sudah mulai berbuah, tinggal
menunggu beberapa hari untuk siap diunduh. Mak Roh bekerja naleni
(mengikat) batang tomat yang mulai merembet supaya tidak menganggu
tanaman di sebelahnya. Sementara itu, petani laki-laki biasanya bekerja
menyemprotkan obat (cairan pestisida) atau biasanya menggembur tanah
dengan cangkul supaya bisa kembali di tanami tumbuhan lainnya. Selain
itu, mereka biasanya juga bertugas untuk membawa hasil panen
(sayuran) untuk dibawa ke pengepul.
Mayoritas keluarga di Madiredo biasanya memiliki lahan perkebunan yang

di dapat dari berbagai macam sumber. Beberapa diantaranya ada yang

mendapatkan lahan perkebunan dari keturunan, karena perkawinan, membeli

lahan milik orang lain, atau mengolah lahan perkebunan milik pemerintah. “Iki

seko kene tekan kono iku mbak, iku punya e nana anak pertama saya. Nah, yang

seterusnya kesana sampe bates iku lho mbak. Itu punya e izam anak saya yang

kecil itu.” (Ini dari sini sampai sana itu Mbak, itu milik Nana, anak pertama

saya. Nah, yang setrusnya kesana sampai batas itu lo Mbak, itu milik Izam, anak

saya yang kecil), jelas Bu Novi kepada saya mengenai pembagian kebun yang

pada saat itu ditanami ucet


BAB III POLA PERTANIAN MADIREDO

Pada bab ini akan dijelaskan lebih mendalam mengenai pertanian di Madiredo.

Hal ini menyangkut bagaimana masyarakat Madiredo bertani dan bagaimana

masyarakat Madiredo memanfaatkan hasil taninya. Kemudian juga akan

dibahas mengenai bagaimana sejarah produksi budidaya apel di Madiredo dari

awal budidaya apel masuk ke Madiredo sampai pada produksi apel yang

mengalami penurunan pada beberapa tahun belakang. Terakhir, pada bab ini

akan dijelaskan mengenai tenaga kerja di pertanian Madiredo. Untuk

memperjelas, saya membagi bagian ini menjadi 3, yaitu (1) buruh perempuan,

(2) pekerja laki-laki, (3) pekerja santri

3.1. Pertanian di Madiredo

Pertanian di Jawa tergantung pada budidaya padat karya, kecil-kecilan dan

aneka tanaman atau multicrop (Geertz, 1983). Begitu juga dengan perkebunan

sayur di Madiredo. Pada saat saya berkunjung ke Madiredo untuk pertama

kalinya. Saya di ajak Bu Novi ke tetelan miliknya. Di perjalanan sebelum

memasuki wilayah perkebunan, saya dapat melihat bentangan lahan hijau yang

sangat luas. Kebun apel yang kebetulan saya lewat pada saat itu pun tidak terlalu

luas, hanya berisi sekitar 30-40 pohon apel saja. Itu pun pohon apel yang sudah

rusak karena pengaruh pestisida. Terlihat dari batangnya yang berwarna biru.

Di kontur tanah bagian atas ketika ditanami apel, bawahnya tidak bisa

ditanami buah-buah lainnya karena nanti buah apelnya tidak mau thukul

(tumbuh). Oleh karena itu biasanya ditanami sayur-sayuran seperti wortel, sawi,

buncis juga sekaligus sembari menunggu waktu panen buah apel. Hal ini sejalan

43
44

dengan yang dijelaskan (Geertz, 1983) dimana para petani akan menanam

berbagai jenis sayuran seperti bawang merah, kol, sawi, dan sebagainya di

sepanjang deretan pohon apel.

Awalnya saya tidak mengerti dan hanya mencoba mengimbangi pekerjaan


Mak Roh yang sangat lincah dan teliti dalam mengikat tanaman tomat yang
mulai merembet ketika saya ikut Mak Roh naleni (mengikat) tanman tomat
yang sudah mulai tumbuh panjang ke owes di kebun milik Pak Khaldun.
Kemudian saya dipesani Mak Roh untuk hati-hati dalam melangkahkan kaki
ke depan karena ternyata bagian belakang tanaman tomat yang tingginya
melebihi kepala (yang berarti depan saya persis) sedang tumbuh benih cabai
yang panjangnya baru sekitar 10-15 centimeter. Jadi ketika sudah waktunya
ngunduh (panen) tomat, tidak perlu menunggu waktu terlalu lama untuk
tanaman berikutnya, karena pada saat yang bersamaan ketika tanaman tomat
sudah mulai tumbuh tinggi, Pak Kadirin, pemilik lahan sudah nandur
(menanam benih) cabai. Ketika cabai sudah mencapai masa panen,
kemudian diganti rencananya akan ditanami sawi.

Tidak ada aturan atau urutan sayur apa yang selanjutnya ditanam, semuanya

terserah dan mengikuti keinginan pemilik tanah. “Pokok e sak sak e pak tani”

(Pokoknya terserah pemilik lahan), ucap Mak Roh ketika menjelaskan kepada

saya mengenai tanaman apa saja yang akan dibudidayakan. Masa panen sayuran

berbeda-beda tergantung jenis sayurannya apa. Tomat sayur yang sedang

dikerjakan Mak Roh bersama dengan 3 teman petani perempuan lainnya ini

memakan waktu empat bulan untuk sampai masa panen.

Lahan budidaya sayuran di Madiredo biasanya relatif lebih dekat dengan

pemukiman dibandingkan lahan budidaya apel. Para buruh perempuan biasanya

hanya perlu berjalan kaki menuju utara untuk ke budidaya sayuran yang

mayoritas berada di hutan negara (tetelan). Di Dusun Bengkaras sendiri, daerah

yang paling dekat dengan wilayah lahan pertanian (terutama budidaya sayuran)

adalah wilayah blok nongko. Budidaya sayuran yang berada di tetelan biasanya
45

milik keluarga petani yang tidak terlalu kaya. Mereka biasanya mendapatkan

lahan sayuran tersebut secara turun menurun. Oleh karena itu, kebanyakan

budidaya sayuran di tetelan biasanya digarap cukup satu keluarga ayah, ibu, dan

terkadang membawa anak untuk membantunya.

Madiredo sendiri berada di dataran tinggi, jadi sayuran seperti sawi, wortel,

kentang, cabai, tomat, buncis, bawang, dan sebagainya sangat cocok

dibudidayakan di pertanian desa ini. Keuntungan yang didapat petani yang

membudidayakan sayuran sangat tidak menentu dan memiliki resiko yang lebih

tinggi dibandingkan dengan apel. Sesuai dengan hukum ekonomi, petani sayuran

akan mendapatkan keuntungan yang lebih ketika kebetulan jenis sayuran yang

sedang mereka usahakan jarang diusahakan oleh petani sayuran lainnya.

Sehingga, hanya ada satu jenis sayuran yaitu dari petani tersebut. Namun, hal itu

jarang terjadi karena usaha tani sayuran sendiri sudah ada dimana-mana dan

biasanya dalam sekali waktu para petani yang kaya mengusahakan dua jenis

sayuran yang berbeda di lahan yang berbeda.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, pertanian di Madiredo

menggunakan metode tumpang sari dimana dalam satu lahan, petani

mengusahakan minimal dua jenis sayuran supaya lebih efektif. Untuk

mewujudkan ini, setelah petani membuat bedengan, yaitu mengolah tanah

mengatur ketinggian tanah agar sesuai dengan kebutuhan tanaman, bedengan

akan dilapisi mulsa plastik. Untuk lahan yang cukup luas biasanya, terdapat 3 –

4 lubang di mulsa plastik. Langkah terakhir adalah menanam bambu tipis yang
46

ujungnya sudah diruncingkan sebagai sandaran tanaman sayuran yang nantinya

akan tumbuh tinggi.

Orientasi pertanian di Madiredo adalah ke pasar. Luasnya lahan pertanian di

Madiredo, menjadikan hasil taninya melimpah. Kebutuhan subsistensi (makanan

pokok) masyarakat sudah terpenuhi, bahkan bisa dibilang terlampau, karena

budidaya sayurannya melimpah. Tidak harus ada krisis ekonomi untuk petani

melibatkan dirinya di pertanian komersil. Keterlibatan para petani di pertanian

komersil bukan sebagai respon tindakan penghabisan dalam situasi yang buruk,

tetapi sebagai respon karena adanya kesempatan baru yang lebih

menguntungkan secara ekonomi petani (Geertz, Involusi Pertanian , 1983)

Sejak dulu, sebenarnya desa-desa di Jawa Timur sudah melakukan proses

komersialisasi sebelum akhirnya di tahun 1920 an mengalami kemunduran dan

terjadi diferensiasi sosial yang nyata dan terlihat sepeti pemerataan kemiskinan

karena para petani kaya kehilangan kontrolnya atas tenaga kerja dan kehilangan

sebagian besar modalnya. Kemudian 10 tahun kemudian di tahun 1935, desa-

desa ini mulai berkembang dengan adanya berbagai proses komerisalisasi dan

moneterisasi.

3.2. Perubahan Produksi Apel di Madiredo

Budidaya pohon apel berasal dari kawasan beriklim sedang yang berada di

wilayah tropis. Suhu dan cuaca menjadi faktor yang penting untuk keberhasilan

budidaya pohon apel. Pohon apel sendiri membutuhkan suhu yang dingin untuk

bisa tumbuh dan berkembang sehingga menghasilkan buah yang matang

sempurna. Dibutuhkan waktu 4,5 – 7 bulan untuk sampai tahap panen buah
47

apel, tergantung pemilik kebun apel itu sendiri. Itu berarti dalam satu tahun bisa

dilakukan panen sampai 3 kali.

Mengutip dari situs (mongbay.com) apel mulai masuk ke Indonesia pada

tahun 1930 an dibawa oleh peneliti dan petani dari Belanda dan Australia.

Kemudian, pada tahun 1953 Depatermen Pertanian mendatangkan dua jenis apel

yaitu Rome Beauty dan Princes Noble dari luar negeri. Pada tahun-tahun itulah

mulai berkembang banyak jenis-jenis apel di Indonesia dan apel mulai masuk di

masa kejayaannya pada tahun 1970 an. Berdasarkan catatan dari Balijetstro

(Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika), pada tahun 1984

terdapat total 7.3 juta pohon apel yang kemudian berkembang menjadi 9 juta

pohon pada 4 tahun berikutnya yaitu, 1988. Produksi apelnya sendiri naik dari

146.690 ton menjadi 275.065 ton.

Di Malang, kawasan pusat buah apel yang cukup terkenal adalah Kota Batu.

Namun sekarang, karena perubahan suhu dan cuaca –selain itu juga di Kawasan

Batu sendiri banyak dibangun berbagai taman hiburan yang membuat semakin

sempitnya ruang hijau, Batu kini bukan lagi merupakan pusat apel. “Juragan-

juragan dari Jakarta itu, nek mau nyari apel pergine ke Batu mbak. Padalah

apel ndek Batu iku wes punah. Hawa ne wes panas. Wes dadi pabrik kabeh ndek

kono iku”(Juragan-Juragan dari Jakarta itu, kalau mau nyari apel, perginya ke

Batu Mbak. Padahal ape di Batu itu sudah punah. Hawanya sudah panas. Sudah

jadi pabrik semua disana itu), terang Pak Joko, yang saat itu mengantarkan saya

dan para pekerja wanita ke kebun apel untuk rempes4

4
Menghilangkan daun-daun kering yang ada di sekitar mata atau bunga apel supaya tidak menghalangi
pertumbuhannya
48

Apel mulai masuk Madiredo di awal tahun 1990 pada saat itu bersamaan

dengan masa kejayaan buah apel malang sehingga permintaan buah apel dari

pasar sangat tinggi. Berbeda dengan wilayah Batu dimana apel menjadi

pengganti tanaman jeruk yang rusak karena serangan hama penyakit

(agendaindonesia.com), di Madiredo apel menjadi pengganti budidaya sayuran.

Banyak petani di Madiredo pada saat itu yang dengan berani bertaruh

mengajukan pinjaman kredit untuk mulai membudidayakan tanaman apel.

Salah satu faktor yang menyebabkan apel mulai berkembang dan mencapai

masa kejayaannya di Madiredo adalah pada saat itu iklim dan suhu di Madiredo

yang sangat mendukung untuk budidaya apel. Selain itu, dengan kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian, para petani juga melakukan

pengolahan tanah dengan memberi pupuk jerami untuk mendukung

pertumbuhan dan perkembangan pohon apel.

Tahun 1990 an apel ketika baru mulai memasuki masa kejayaanya di

Madiredo, dimana kondisi pohon apel itu sendiri masih remaja dan

menghasilkan buah apel yang sempurna dan manis. “Disini cuacanya agak asrep

Mbak. Tapi enggak sedingin dulu pas tahun 1990 an. Pohon apel masih remaja

dan bagus-bagusnya”, (jelas supir mobil pick up yang mengantar para buruh

perempuan ke tegal pagi itu). Pada saat memasuki masa kejayaannya, luas kebun

apel di Madiredo mencapai 300 hektar. Itu merupakan masa-masa dimana

perekonomian para petani di Madiredo meningkat. Terlihat jelas dari banyaknya

bangunan rumah baru dengan gaya yang lebih modern di Madiredo.


49

Di masa-masa kejayaan apel tersebut, petani apel semakin terlihat

peningkatan ekonominya. Selain membangun rumah mewah dan membeli

kendaraan baru, banyak petani apel sukses yang kemudian melakukan ibadah

naik haji. Hal ini berkaitan dengan satu-satunya agama yang dianut para

masyarakat Madiredo adalah Islam. Tidak semua penganut agama islam dapat

melaksanakan ibadah haji, salah satunya karena terhalang biaya untuk

melaksanakannya. Dalam hal ini, melaksanakan ibadah haji merupakan salah

satu simbol keberhasilan, sekaligus menunjukkan peningkatan ekonomi yang

dicapai (Geertz, Involusi Pertanian , 1983). Oleh karena itu, beberapa petani di

Madiredo yang sukses dipanggil dengan sebutan “Pak Haji” atau “Bu Haji”.

Mulai tahun 2010 ketika cuaca di Madiredo sedikit lebih menghangat,

bersamaan dengan umur pohon apel yang sudah tidak muda lagi secara perlahan

hasil panen mulai berkurang karena penurunan produktivitas pohon apel itu

sendiri. Perubahan cuaca semakin drastis dan tidak bisa diprediksi selama 5

tahun belakangan. Tahun-tahun sebelumnya, bisa dipastikan musim kemarau

terjadi pada bulan April - Oktober dan musim hujan terjadi pada bulan

November – Maret, namun sekarang cuaca hujan maupun panas sulit untuk

diprediksi lagi. Terkadang dalam seminggu cuaca bisa panas tidak ada hujan

sama sekali, kemudian di minggu selanjutnya cuaca tiba-tiba menjadi dingin dan

hujan berhari-hari. Sementara itu, bunga di pohon apel biasanya mulai

berkembang di waktu malam hari sekitar pukul 20.00 – 23.00. Hal ini bisa

menjadi momok bagi para petani ketika cuaca sulit diprediksi.


50

Dalam beberapa tahun terakhir, ketika pohon apel mengalami penuruan

produktivitasnya, para petani mulai melakukan peremajaan pohon apel dengan

cara menebas batang pohon apel dan membakarnya sehingga akan tumbuh

batang baru dari pohon yang sama. Tidak sedikit juga petani yang merombak

lahan pohon apelnya menjadi lahan budidaya sayuran. Selain budidaya sayuran,

ada juga petani yang bertaruh dengan mencoba meraba-raba mengganti lahan

pohon apelnya menjadi pohon jeruk. Hal ini dapat menjadi pilihan yang dirasa

dapat menguntungkan para petani, karena tidak seperti apel biaya produksi jeruk

dan sayuran lebih murah dibandingkan apel.

3.3. Tenaga Kerja Pertanian Madiredo

3.3.1. Buruh Perempuan

Berbeda dengan suasana di sepanjang jalan RT 11, di RT 12,13,14 atau


yang warga lokal biasa menyebutnya ‘Blok Nongko’, pada pagi hari
ketika matahari belum sepenuhnya menampakkan diri, pukul 6 banyak
buruh perempuan sudah memulai harinya, berjalan ke tegal untuk
mengumpulkan perolehan di hari itu.

Buruh perempuan di Madiredo muncul dari masyarakat kelas bawah.

Mereka biasanya berasal dari keluarga yang memiliki lahan kebun sayuran

sekitar 5000 meter sampai 10.000 meter di tetelan. Pada bagian sebelumnya

telah disebutkan bahwa pendapatan yang diperoleh dari usaha budidaya sayuran

sebenarnya tidak bisa diprediksi seberapa besar keuntungannya pada awal

mereka mulai menanam. Mereka juga cenderung pesimis dengan perolehan yang

di dapat dari budidaya sayuran miliknya, melihat banyaknya persaingan untuk

budidaya sayuran. Selain itu, permintaan dari pasar yang selalu meminta sayuran

yang masih segar, sementara petani tidak memiliki teknologi yang cukup untuk
51

membuat sayuran yang sedang mereka usahakan untuk tetap segar, juga

berdampak buruk kepada petani sehingga mreka mengalami kerugian.

Dalam hal ini perempuan juga memiliki akses yang terbatas untuk

sumber modal jika dibandingkan pria, sehingga para perempuan biasanya

mencari pekerjaan sekitar rumah dengan upah harian yang rendah (Geertz,

1983). Untuk mengatasi minimnya pendapatan yang didapat dari budidaya

sayuran yang keluarga mereka usahakan, perempuan dari keluarga tersebut

menjadi buruh tani di lahan pertanian milik orang lain.

Usia buruh perempuan di Madiredo sangat beragam dari umur 18 tahun

yang baru saja lulus dari sekolah menengahnya, sampai diatas lanjut usia yang

bahkan sudah ada dua generasi dibawahnya. Hampir 75% usia buruh tani

perempuan di Madiredo sekitar 30-60 tahun. Berdasarkan data penduduk yang

tercatat di Sekretariatan Balai Desa Madiredo, jumlah petani perempuan di Desa

Madiredo sebanyak 1113 orang, sedangkan jumlah buruh tani perempuan di

Madiredo sebanyak 67 orang. Pada kenyataannya, jumlah buruh tani perempuan

di Madiredo lebih dari yang tercacatat secara resmi di KTP. Banyak juga

masyarakat perempuan di Madiredo yang pada kolom pekerjaan di KTP tercatat

sebagai ‘Ibu Rumah Tangga”, namun, kesehariannya bekerja sebagai buruh tani.

Pekerjaan untuk buruh perempuan di pertanian Madiredo cukup

bervarisi. Buruh perempuan di pertanian cenderung bekerja bagian

pemeliharaan. Keterlibatan perempuan dalam pertanian sebenarnya sangat

dominan. Terlihat dari kehadiran petani perempuan dari proses penyemaian

sampai proses panen dalam suatu pertanian (Geertz, 1983). Untuk kebun apel,
52

para buruh perempuan mendapat pekerjaan rempes, membungkus, ngunduh

(memetik buah apel yang sudah waktunya panen).

Para petani apel di Madiredo biasanya sudah memiliki satu atau dua

orang buruh perempuan yang mereka percayai untuk mencarikan buruh

perempuan yang lainnya untuk bekerja di lahan miliknya. Biasanya buruh yang

‘dipasrahi’ tersebut akan mengajak buruh perempuan yang sudah biasa bekerja

bersama dengannya dalam waktu yang lama atau dengan kata lain, mereka

hanya akan mengajak kelompoknya atau bisa disebut yang cara kerjanya sesuai

dengan dirinya. Hal itu kemudian memunculkan kelompok-kelompok tidak

terlihat buruh perempuan di Madiredo. Kemudian, buruh perempuan yang diberi

tugas mencari tenaga kerja buruh perempuan lainnya, biasanya mendapatkan

upah dua kali lipat dari petani, karena dia dianggap bertanggungjawab atas

buruh-buruh perempuan yang diajak.

Rempes dilakukan setelah proses panen buah apel. Setelah buah apel

dipetik sampai habis, kemudian tersisa pohonnya yang masih bisa berbuah lagi

5-6 bulan kemudian. Maka dari itu, perlu perawatan dan pemeliharaan pohon

apel supaya panen apel selanjutnya bisa maksimal dan menghasilkan buah yang

apik. Langkah pertama yang dilakukan adalah rempes. Rempes sendiri hanya

dilakukan oleh buruh perempuan. Mereka dengan teliti dan kiat menghilangkan

daun-daun kering atau hal lain yang berada di mata atau bunga apel supaya tidak

menganggu perkembangannya. Untuk pekerjaan ini, para buruh perempuan

hanya memerlukan sarung tangan, senggek (tongkat kayu yang ujungnya


53

melengkung) untuk menarik batang kecil pohon apel yang tinggi, atau kursi

plastik untuk dinaiki ketika rempes pohon apel bagian tertinggi.

Jumlah buruh perempuan yang dibutuhkan untuk rempes tergantung pada

luasnya kebun apel yang dikerjakan. Di masa sekarang, 1 mobil pick up yang

cukup diisi 10-15 buruh perempuan biasanya cukup untuk pekerjaan ini. Total

ada sekitar 80 pohon dalam satu lahan untuk di rempesi. Setelah semua buruh

perempuan turun dan mobil pick up yang mengantar kami kembali, kami

berjalan masuk ke kebun yang tidak terlalu luas tersebut, kemudian kami

meletakkan bekal makanan kami sembarang di bawah. Setelah itu, ibu-ibu

bersiap memakai sarung tangan yang biasanya mereka buat dari kaos kaki yang

dilubangi supaya jari-jari tangan bisa keluar dan leluasa untuk bergerak.

Gambar 3.1 Buruh Perempuan yang sedang merempes pohon apel


Sumber: (Dokumen pribadi)

Ssatu pohon apel, biasanya dikerjakan oleh 3-5 buruh perempuan untuk

dirempesi. Sembari melakukan pekerjaanya, mereka biasanya berbincang-


54

bincang satu sama lain. Topik yang dibicarakannya pun juga bermacam-macam,

khas ibu-ibu. Waktu akan terasa lebih cepat, karena pekerjaan ngrempes

dilakukan dengan santai sembari berbincang-bincang satu sama lain.

Ketika apel mulai tumbuh, pekerjaan selanjutnya yang harus dilakukan

adalah membungkusnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melindungi

buah apel dari serangan hama dan cuaca yang buruk. Di Madiredo sendiri, apel

dibungkus dengan kertas yang anti air. Kertas itu, biasanya berbentuk segitiga.

Namun, juga ada kertas yang berbentuk persegi. Biasanya satu kertas bisa

membungkus 1-3 buah apel yang berdekatan. Kertas pembungkus sudah

disediakan oleh pemilik kebun, sehingga para buruh perempuan hanya perlu

membawa steples untuk merekatkan kertas. Kertas berbentuk segitiga atau

persegi panjang dibungkuskan apel melalui belakang kemudian dua ujungnya

disatukan dengan staples lalu bagian atas dan bawah kembali disatukan dengan

staples untuk menutupi seluruh bagian apel sehingga buah apel terhindar dari

serangan hama dan cuaca yang buruk.

Tidak semua buruh perempuan di Madiredo bisa melakukan pekerjaan

membungkus apel. Kebanyakan petani meminta buruh petani hanya

membungkus apel jenis manalagi (atau mereka biasa menyebutnya ‘apel hijau’)

karena kulit apel manalagi lebih tipis dan rawan oleh serangan serangga atau

hewan malam seperti kelelawar. Sementara itu, dalam satu pohon buah apel, bisa

tumbuh 2-3 jenis pohon apel. Kebanyakan dalam satu pohon apel, berbuah apel

jenis manalagi (hijau) dan apel anna (merah). Keduanya cukup sulit dibedakan

untuk orang-orang atau buruh perempuan yang masih awam, karena butuh
55

kejelian lebih untuk bisa membedahakan tangkai apel jenis manalagi dan apel

anna.

Gambar 3.2 Buruh perempuan bungkus apel jenis manalagi


Sumber: (Dokumen pribadi)

Upah yang didapat para buruh perempuan untuk pekerjaan membungkus

dan ngrempes kisaran 35.000 – 40.000 per hari, tergantung dar pemilik kebun

apel tersebut. Pada hari sebelum bekerja, pemilk tegal akan menghubungi salah

satu pekerja wanita yang bisa dibilang sudah dipercaya atau sudah sering bekerja

dengannya untuk mengerjakan kebun apel esok harinya. Petani akan mengatakan

kepada buruh perempuan tersebut butuh sejumlah buruh perempuan untuk

besok, kemudian si buruh perempuan tersebut akan mencarikan sejumlah buruh

perempuan lainnya (yang biasanya adalah teman terdekatnya) untuk bekerja

ngrempes atau membungkus buah apel.

Pada saat kami makan, pemilik kebun apel dengan pakaian yang tidak
jauh berbeda dengan para buruh perempuan datang dengan anaknya yang
seumuran dengan saya. Pemilk kebun tersebut tampak sudah sangat
akrab dengan para buruh tani. Dia datang dan bertanya kepada masing-
masing buruh perempuan berapa hari mereka sudah bekerja untuk
dibayar langsung. Satu hari pengerjaan berangkat jam 6 pagi dan pulang
56

bedhug (adzan dhuhur) diberi upah sebesar 40.000. Mak Nur, mak Ipeh,
dan mbak Heni beserta satu buruh yang tidak ikut pada hari ini, mulai
bekerja di hari yang berbeda sehingga pemberian upahnya pun juga
berbeda-beda.
Pekerjaan buruh perempuan di kebun apel yang terakhir adalah ngunduh

atau jika diartikan secara harfiah dalam bahasa indonesia adalah memetik

buah apel. Tidak seperti dua pekerjaan sebelumnya, untuk ngunduh hanya

membutuhkan waktu seminimal mungkin (biasanya satu hari kerja). Sebisa

mungkin apel dapat dipanen dalam satu hari oleh para buruh perempuan. Ini

berarti para buruh perempuan tidak bergantung pada waktu bedug –waktu

yang biasa menjadi penananda berakhirnya pekerjaan mereka. Ngunduh

biasanya selesai melebihi waktu bedug, entah siang hari, bahkan bisa sampai

sore hari, tergantung dari perbandingan luas kebun apel dan jumlah pekerja

wanitanya.

Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang paling disenangi para buruh

perempuan di Madiredo. Ini karena, upah yang didapatkan dari ngunduh apel

bisa sampai dua kali lipat dari upah yang didapat dari pekerjaan rempes dan

membungkus buah apel, yaitu mulai dari 50.000 – 100.000, tergantung dari

pemilik kebun apel itu sendiri.

Bu Tin dua hari lalu tidak ikut matun bersama kami, karena bu Tin pergi
ngunduh atau panen buah apel di kebun apel milik orang. “Ngono iku
seng juragan e wes biasa Mbak. Dino iki gak melok, soale ngunduh
nggon liyo” (Seperti itu pemilik kebunnya sudah biasa Mbak, Hari ini
tidak melanjutkan pekerjaan sebelumnya, karena petik apel di kebun apel
milik orang lain), jelas bu Aminah kepada saya.
Dalam rumah tangga kapitalis, keputusan produksi tergantung kemampuan dan

kemauan kepada anggota rumah tangga itu sendiri untuk berpartisipai dalam

pasar tenaga kerja atau tidak (Geertz, Involusi Pertanian , 1983). Dalam hal ini
57

misalnya, buruh perempuan mengorbankan upah harian seharga 35.000 rupiah,

melanjutkan pekerjaan rempes kebun dimana ia bekerja hari sebelumnya untuk

mendapatkan upah 60.000 rupiah, dengan bekerja ngunduh apel di kebun milik

petani lainnya. Pada dasarnya prinsip ini bertujuan untuk memaksimalkan

utulitas di tingkat rumah tangga. Bagi buruh perempuan di Madiredo,

mendapatkan tawaran untuk ngunduh apel seperti mendapatkan jackpot yang

mereka tidak akan berpikir dua kali untuk menerima tawaran tersebut.

Berbeda dengan pekerjaan di kebun apel, di kebun sayur tidak perlu

pekerjaan rempes. Karena apel merupakan tanaman keras, sehingga ketika sudah

massa panen, tidak perlu mencabut seluruh pohon dan mengulangi proses

penyemaian dari awal lagi. Berbeda dengan sayuran ketika sudah waktunya

panen, petani atau buruh tani akan memetiknya sampai akar, dengan tujuan

supaya bisa diganti tanaman baru lainnya.

Pekerjaan yang sudah pasti di budidaya sayuran adalah ngunduh.

Meskipun sama-sama panen, upah untuk pekerjaan ngunduh di budidaya

sayuran tidak sebesar ketika ngunduh apel. Sementara itu, pekerjaan lainnya,

tergantung dari jenis sayuran itu sendiri. Untuk tanaman sayur yang dapat

tumbuh tinggi bisa lebih dari 120 cm seperti cabai atau buncis, biasanya ada

pekerjaan mengikat tanaman dengan rafia ke bambu yang sudah dipasang di

sepanjang baris tanaman tersebut, supaya tanaman itu tumbuhnya tidak

merembet dan menganggu tanaman lain dan supaya terlihat lebih rapi.

Berbekal tali rafia yang sudah dipotong-potong, tanaman tomat yang


merembet ke sisi kanan kiri tumbuh panjang diikat ke bambu supaya rapi
dan tidak mengganggu tanaman di sampingnya. Tomat yang sedang
dikerjakan adalah tomat buah yang bulat besar-besar dan masih berwarna
58

hijau. Tidak hanya mengikat tanaman tomat yang merembet, mak Roh
juga memotong daun dan batang yang sudah kering atau layu supaya
tidak mengganggu.

Gambar 3.3 Petani di kebun tomat


(Sumber: Dokumen pribadi)

Dalam sub bab sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa metode pertanian di

Madiredo adalah Tumpang Sari. Jadi ketika tanaman sebelumnya sudah

mencapai masa panen, tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk tanaman

selanjutnya tumbuh. Salah satu contohnya adalah kebun sayur milik Pak

Khaldun yang pada saat itu saya kunjungi, sedang menanam cabai besar. Pada

saat itu, tanaman cabai tersebut sudah berbuah tetapi masih belum waktu untuk

dipanen. Buruh perempuan disitu matun atau mereka juga menyebutnya bubuti.

Matun disini bertujuan untuk membersihkan wilayah sekitar tanaman di kebun

sayur yang pada saat itu sedang proses tumbuh. Kebetulan tanaman sebelum

cabai besar ini adalah sawi.

Banyak sisa sawi yang tidak ikut dipanen kemarin karena tidak layak,

jelek, kotor karena rusak akibat terlalu sering kena air hujan yang menimbulkan
59

sawi tersebut busuk dan tidak segar, masih di gundukan tanah –tempat dimana

sayuran tersebut ditanam.

Para pekerja kemudian mengenakan rangkepan atau celana/sarung kain


yang digunakan di luar pakaian bagian bawah supaya pakaian yang
sedang dikenakan tidak kotor karena tanah. Setelah itu, mereka
mengenakan kasut atau sarung tangan berbahan dasar kain “Nek gak
nganggo kasut yo gilo ta, kenok sawi bosok mambu”, (Kalau tidak
memakai kaus tangan ya jijik, terkena sawi busuk yang bau)

Pekerjaan di wilayah budidaya sayuran bermacam-macam, tergantung dari jenis

sayuran tersebut. sebelumya, tanaman tomat tumbuh tinggi ke atas, sehingga

pekerjaannya dilakukan sambil berbdiri. Sedangkan untuk bubuti sawi, pekerja

perempuan harus melakukannya sambil jongkok, karena tanaman sawi tidak

tumbuh tinggi keatas.

Beberapa buruh perempuan yang sedang bekerja bubuti mengakui lebih

memilih pekerjaan matun di budidaya sayuran, daripada matun di kebun apel.

Hal ini berkaitan dengan kenyamanan tubuh mereka saat melakukan pekerjaan.

Matun di budidaya sayuran tidak perlu kelelahan melihat keatas bahkan sampai

naik kursi untuk menyelesaikannya. Berbeda dengan pekerjaan pemeliharaan

lainnya di pohon apel. Tinggi pohon apel melebihi tinggi manusia, sehingga

untuk mencapai ujung batang atau daun tertinggi pohon, terkadang buruh

perempuan harus menaiki kursi plastik atau naik ke batang pohon apel yang

paling kuat dan masih dibantu menggunaka senggek untuk merendahkan dahan

pohon apel untuk pekerjaannya.


60

Gambar 3.4 Petani di kebun tomat


(Sumber: Dokumen pribadi)

Para pekerja perempuan yang sedang asik berbincang-bincang di sela

pekerjaan membungkus apel, mengaku lebih memilih bekerja di wilayah

pertanian kebun apel dibanding bekerja di pabrik olahan apel. “Nek seng kok

ngono iku dinggo sek cantik-cantik gak gelem kenek panas”, celetuk bu Sutiyah

(Kalau yang maunya bekerja di olahan apel itu untuk para ibu-ibu cantik yang

tidak mau terkena panas matahari). Mereka lebih memilih bekerja di luar dengan

terik matahari, suasana lebih luas terbuka, sehingga bebas bergerak dibanding di

ruangan tertutup yang dirasa mereka akan bosan mengerjakan pekerjaan yang

hanya duduk diam.

Ketika bertani, para buruh perempuan di Madiredo biasanya

menggunakan atasan nyaman yang bisa menyerap keringat dan tidak

membatasi ruang gerak –biasanya berbahan kaos. Bawahan yang mereka

gunakan cukup bervariasi. Beberapa ada yang menggunakan celana panjang

berbahan kain, ada yang berbahan kaos, beberapa juga ada yang menggunakan
61

terusan rok yang lebar, ada pula yang menggunakan bawahan kain batik atau

jarik. Mereka semua juga menggunakan kerudung langsungan yang biasanya

berbahan kaos, untuk menutupi rambut mereka. Berbeda dengan topi petani

yang biasanya disebut ‘caping’, pekerja wanita di Madiredo biasanya lebih

sering menggunakan topi pantai wanita berbahan kain dengan bordiran kecil

atau sedikit manik-manik sebagai hiasannya yang modelnya diikatkan ke

belakang supaya tidak copot atau terbang. Untuk topi yang dirasa kurang lebar

bagian depannya (sehingga cukup melindungi kepala dari terik matahari),

mereka biasanya menggunakan jilbab kain segiempat yang mereka lipat

menjadi segitiga untuk melapisi topi, sehingga kepala mereka terlindungi dari

teriknya matahari. Kemudian, beberapa diantara mereka juga menggunakan

masker wajah, selain untuk melindungi wajah kotor, juga untuk menutup

hidung dari bau menyengat dari sayuran yang sudah membusuk. Karena

beberapa ada yang tidak biasa dengan pekerjaan rempes dan membungkus,

sehingga mabuk. Untuk alas kaki, mereka semua seragam menggunakan sepatu

boots yang biasanya berwarna hijau berbahan karet.

Bekal makanan adalah hal wajib yang sudah pasti selalu dibawa buruh

perempuan ketika pergi ke tegal. Biasanya mereka membawa beberapa kotak

makan berisi nasi, sayur, lauk. Beberapa diantara mereka juga membawa

kerupuk, buah, atau makanan ringan untuk dibagi-bagikan ke yang lainnya pada

saat istirahat makan.

Pada saat saya ikut bekerja bersama 5 buruh perempuan di kebun milik
pak Khaldun untuk cabai yang sebelumnya ditanami sawi putih, bu
Aminah bahkan membawa cobek dan ulekannya untuk membuat
sambal cabai hijau yang dipetik langsung dari tanamannya pada saat
62

matun. Selain membawa cobek dan ulekan, bu Aminah juga membahwa


garam dan bawang sebagai penambah supaya rasanya semakin nikmat.
Biasanya, ketika pekerjaan hari itu dikerjakan sampai 15 pekerja, salah satu dari

pekerjanya akan membawa termos besar isi teh manis hangat untuk nanti dibagi-

bagikan ke yang lainnya. Meskipun begitu, beberapa diantara mereka tetap

membawa botol minum berisi air putih.

Gambar 3.5 Pakaian dan bawaan para buruh perempuan


saat bekerja
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
Barang bawaan mereka pun bermacam-macam, sesuai dengan

pekerjaan yang mereka kerjakan pada hari itu. Namun, ada satu barang yang

wajib dibawa para buruh perempuan ketika mereka bekerja, yaitu sarung tangan.

Sarung tangan yang mereka bawa biasanya berbahan kaos. Kegunaan dari

sarung tangan ini sendiri sebenarnya hanya untuk melindungi tangan dari batang

atau daun-daun kering yang bisa melukai tangan mereka. Maka dari itu,

beberapa dari mereka menggunakan kaus kaki yang mereka lubangi ujungnya

supaya kelima jarinya bisa masuk, sehingga jadilah sarung tangan. Ada juga

yang membawa sarung tangan berbahan plastik (biasanya digunakan untuk

masak, sekali pakai) untuk melindungi sarung tangannya supaya tidak basah
63

terkena air yang kebanyakan ditemukan di kebun sayur. Semua barang bawaan

mereka, mereka masukan kedalam tas selempang yang terbuat dari karung bekas

yang kebanyakan warnanya sudah lusuh.

Aspek kenyamanan menjadi penting bagi buruh perempuan di Madiredo

untuk memilih pekerjaan serabutan mereka. Meskipun begitu, diatas aspek

kenyamanan, aspek ekonomi masih menjadi nomor satu pilihan dari para buruh

perempuan disini. Terlihat dari bagaimana mereka tidak ragu-ragu meninggalkan

pekerjaan pemeliharaan (rempes, matun, bungkus, dan sebagainya) yang hari

sebelumnya belum selesai untuk pekerjaan ngunduh apel di kebun milik petani

lain.

3.3.2. Pekerja Laki-laki

Dalam pertanian di Madiredo, pekerjaan untuk laki-laki lebih beragam,

tidak hanya terbatas pada bagian pemeliharaan, seperti buruh perempuan.

Terdapat dua jenis pekerjaan di pertanian untuk laki-laki di Madiredo. pertama

adalah pekerjaan di bagian pemeliharaan. Tentu saja pekerjaan pemeliharaan

laki-laki dan perempuan berbeda. Pekerjaan bagian pemeliharaan untuk laki-laki

lebih memerlukan kekuatan fisik yang lebih besar dibandingkan dengan

perempuan. Beberapa contohnya adalah mencangkul, menancapkan batang

bambu, menebas pohon apel yang akan dilakukan peremajaan. Tetapi ada juga

pekerjaan bagian pemeliharaan yang tidak terlalu membutuhkan fisik yang lebih,

tetapi pekerjaan ini memiliki resiko yang lebih besar, yaitu penyemprotan

pesitisida. Penyemprotan pestisida dilakukan satu minggu sekali atau lima hari

sekali, tergantung kondisi iklim dan cuaca pada saat itu. Ketika sering hujan,
64

maka semakin sering dilakukan penyemprotan pestisida. Selain itu, juga melihat

keadaan tanaman tersebut

Perbedaan upah yang diberikan kepada buruh laki-laki dan perempuan

salah satunya bergantung pada jenis dan seberapa besar beban pekerjaan tersebut

(Geertz, Involusi Pertanian , 1983). Pekerja (buruh petani) laki-laki menerima

upah 50.000 rupiah setiap harinya. Selain itu, buruh petani laki-laki biasanya

juga mendapatkan jatah makan siang lengkap nasi, lauk, dan sayuran. Bagi

beberapa istri petani yang memiliki waktu cukup luang, mereka akan memasak

makanan yang nantinya sekitar pukul 8.30 akan diantar ke tegal untuk jatah

makan siangnya. Ada juga petani yang memasrahkan sejumlah uang untuk

makan ke pekerjanya, sehingga pada waktu hendak istirahat makan, 1 atau dua

orang buruh laki-laki akan turun dan membeli nasi bungkus di warung makanan

terdekat. Selain mendapatkan jatah makan siang, buruh laki-laki juga

mendapatkan jatah rokok satu bungkus, masing-masingnya. Rokok tersebut

biasanya mereka konsumsi setelah makan sambil menghabiskan waktu istirahat.

Suatu ketika pada waktu para buruh perempuan memutuskan makan dan
istirahat setelah merasa lelah bubuti sawi, bu Suriyah tiba-tiba membuka
pembicaan mengenai perbedaan upah yang diberikan antara buruh
perempuan dan laki-laki. “Lha kui arek lanang seng matun wingi
bayarane yo tetep ya 50.000. La mosok dibayar e 50.000” (Itu buruh
laki-laki yang ikut matun kemarin diberi upahnya juga tetep ya, 50.000),
keluh bu Suriyah kepada buruh yang lainnya. Bu Suriyah merasa
pemberian upah tidak adil, padahal pekerjaan yang dikerjakan pada hari
lalu antara buruh perempuan dan laki-laki sama-sama matun.
Pada saat itu di lahan sayuran milik Pak Khaldun, buruh perempuan dan

laki-laki bekerja dalam waktu dan lahan yang sama. Buruh perempuan bekerja

matun, mencabuti sisa sawi yang masih tertanam di gundukan tanah, sementara

itu buruh laki-laki memasang bambu di sepanjang pinggiran gundukan untuk


65

sebagai pembatas antar baris. Pekerjaan para buruh laki-laki pada saat itu sudah

selesai di hari sebelumnya karena kebetulan jumlah buruhnya juga lebih banyak

dibandingkan buruh perempuan, namun pada hari itu para buruh laki-laki masih

ikut bekerja di tegal milik pak Khaldun, sehingga mereka juga bekerja

mencabuti sisa sawi, seperti para buruh perempuan. Ini merupakan salah satu

contoh ketimpangan antara buruh laki-laki dan buruh perempuan dalam hal

pemberian upah. Karena pemberian upah yang lebih besar untuk laki-laki sudah

menjadi peraturan tidak tertulis semenjak dulu, maka apapun pekerjaan buruh

tani laki-laki upah yang diberikan akan tetap sama, mengikuti standar pemberian

upah buruh tani laki-laki disana.

Jenis pekerjaan yang lainnya di bagian akomodasi. Pekerjaan ini

membutuhkan kendaraan seperti sepeda monolan, mobil pick up, atau truck yang

cukup untuk mengangkut hasil kebun baik apel maupun sayuran. Untuk

mengangkut sayuran, biasanya dilakukan pagi-pagi sekali saat matahari masih

belum terlihat. Sementara itu, untuk mengangkut apel, biasanya fleksibel,

bergantung pada seberapa lama para buruh perempuan menyelesaikan pekerjaan

ngunduh nya. Pekerjaan ini diberi upah sebesar 50.000 rupiah untuk sekali

perjalanannya.

3.3.3. Pekerja Santri

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa banyak didirikan pondok

pesantren di Desa Madiredo. Di Madiredo sendiri, tidak hanya masyarakat lokal

yang mendapatkan kesempatan untuk bekerja di lahan pertaniannya. Warga

pendatang seperti para santri yang belajar di pondok pesantren disana juga bisa
66

bekerja sebagai buruh harian. “Orang luar kalau mondok disini yo istimewa.

Makan ikut juragan, dapat bayaran”, jelas pak Joko yang saat itu mengantar saya

dan para buruh perempuan ke kebun apel untuk dibungkus. Sekolah para santri

dimulai siang hari sekitar pukul 2. Karena itulah para santri yang bekerja

sambilan menjadi buruh petani di Madiredo tidak ada masalah mengenai

pembagian waktu, karena jadwal keduanya tidak saling bertabrakan.


BAB IV BURUH PEREMPUAN DALAM ARUS PERTANIAN MADIREDO

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai buruh perempuan di Madiredo.

Bab ini akan menjawab pertanyaan dari rumusan masalah mengenai bagaimana

perubahan pola produksi apel ke sayuran di Madiredo berpengaruh terhadap

penyerapan tenaga kerja buruh perempuan dan bagaimana perilaku dan strategi

yang dilakukan buruh perempuan sebagai respon dari perubahan pola tersebut.

Terdapat 2 pilihan strategi untuk para buruh perempuan ketika masa transformasi,

yaitu di pertanian dan di non pertanian.

4.1. Buruh Perempuan Madiredo: Dulu dan Sekarang

Apel merupakan tanaman keras, dimana masa produksinya terhitung lama bisa

mencapai 20 tahun, bahkan lebih. Di masa panen, ketika umur dari pohon tersebut

masih remaja, tidak dipungkiri, petani apel bisa mendapatkan untung yang berkali-

kali lipat, apalagi ketika masa panen apel bersamaan dengan permintaan pasar yang

tinggi. Dalam bab sebelumnya, telah dijelaskan mengenai bagaimana apel mulai

masuk di Madiredo mulai masa kejayaannya sampai 5 tahun belakangan, produksi

apel di Madiredo mulai mengalami penurunan. Masa penurunan produksi buah apel

di Madiredo menjadi hal yang baru sekaligus memilukan bagi para petani, maupun

buruh tani apel di Madiredo.

Saat saya ikut mak Nur bungkus apel, kami diantar menggunakan mobil pick up

bersama para buruh perempuan lainnya. Saya dipersilahkan duduk di depan,

sebelah pak Joko sopir yang membawa kami ke tegal. Di sepanjang perjalanan,

saya melihat lahan kosong yang cukup luas yang ternyata itu adalah lahan bekas

pohon apel yang sudah dibongkar, karena usianya yang sudah tua dan sudah sulit

67
68

untuk berbuah.”Orang sini pas di waktu apel itu istimewa, kaya-kaya. Orang

perempuan yang kerja itu biayanyak dulu. Orang matun iku di rempes orang 150

bareng-bareng. Kerja iku”, terang pak Joko kepada saya.

Ketika apel menjadi tanaman baru yang dianggap menguntungkan di Madiredo,

para petani kemudian mulai membeli lahan dan menanam pohon apel di lahan

tersebut. Para petani yang tidak memiliki cukup uang untuk membeli dan

memproduksi buah apel, tanpa ragu-ragu akan mengajukan pinjaman kredit di

bank. Mereka berani memutuskan untuk mengajukan pinjaman kredit, karena yakin

akan keuntungan yang didapat ketika masa panen mendatang.

Di akhir tahun 1990 an, luas lahan apel di Madiredo mencapai 300 hektar

(sumber: Balai Desa Madiredo). Sementara itu, untuk lahan apel seluas 1000 meter,

dapat diisi sampai 100 pohon apel, dimana dibutuhkan 12-13 buruh perempuan

untuk proses panennya. Luasnya kebun apel di masanya, berdampak sangat

menguntungkan bagi para buruh perempuan di Madiredo. Hal ini karena semakin

meluasnya kesempatan kerja yang didapatkan para buruh perempuan di Madiredo.

saat mencapai puncak kejayaan apel di Madiredo, para petani memperebutkan para

buruh tani perempuan untuk bekerja di lahannya. Dalam hal ini kemudian terjadi

hubungan patron-klien dimana para petani menjalin hubungan baik dengan para

buruh supaya buruh-buruh tersebut bekerja di lahan apel miliknya. Para petani

memberi kemudahan bagi para buruh-buruhnya untuk melakukan pinjaman berupa

uang (Suryanata, 2022).

Pada masa itu, kerap terjadi panen raya karena produksi apel di Madiredo yang

sangat berlimpah. Masa itu adalah masa yang paling disenangi para buruh
69

perempuan di Madiredo, karena itu adalah saat-saat dimana para petani

memperebutkan para buruh perempuan untuk bekerja di ladangnya. “Mben akeh

apel rempesan, pekerjane yo uakeh Mbak. Nganti koyo gerak jalan ngono iku”

(Dulu ketika masih banyak pekerjaan rempes apel, buruh perempuan yang bekerja

juga banyak, sampai seperti gerak jalan), jelas bu Novi kepada saya. Para petani

pada saat itu bahkan berani menawarkan upah yang lebih tinggi dibanding petani

lainnya supaya buruh perempuan incarannya mau bekerja di lahannya. Dalam hal

ini, terlihat jelas perilaku rasional para buruh perempuan di Madiredo dalam

mengambil keputusan. Mereka akan bekerja dengan petani yang menawarkan upah

yang lebih besar dibandingkan petani lainnya.

“Biasane kan ono pegawean. Saiki wes raono pegawean” (biasanya ada

pekerjaan, sekarang tidak ada pekerjaan), jelas bu Mujidah kepada saya mengenai

kondisi para buruh perempuan setelah produksi apel menurun. Para petani yang

lahan apelnya sudah tidak bisa berproduksi secara maksimal, karena penyakit

maupun cuaca memilih untuk membongkar pohon apel dan menggantinya dengan

sayuran. Sementara itu, para intensitas pekerjaan buruh perempuan menjadi

berkurang, karena budidaya apelnya sudah menjadi budidaya sayuran.

Kebutuhan buruh perempuan di budidaya apel dan sayuran tentu saja berbeda.

Seperti yang sudah dijelaskan, untuk proses panen kebun apel seluas 1000 meter,

dibutuhkan 13-14 tenaga buruh perempuan. Selain itu, pekerjaan yang diperlukan

untuk budidaya apel juga lebih banyak dibandingkan dengan sayuran. Pada

budidaya apel, dibutuhkan tenaga kerja untuk rempes, membungkus buah apel

(untuk melindungi dari hama dan hewan), dan ngunduh. Sementara itu, untuk
70

budidaya sayuran dengan luas yang sama, hanya memerlukan 4-6 tenaga buruh

perempuan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Pekerjaan yang paling utama untuk

buruh perempuan di budidaya sayuran juga lebih sedikit, yaitu hanya matun dan

ngunduh.

Sesaat sebelum sopir menginjak pedal gas di mobil pick up yang hendak
mengangkut kami untuk matun melanjutkan pekerjaan kemarin, bu Sarinah
salah satu dari tiga buruh pada saat itu, mengusulkan untuk mengajak salah satu
tetangganya, bu Tinah untuk ikut matun bersama kami, karena dua orang buruh
yang kemarin matun tidak ikut hari ini. Sayangnya, saat dihampiri di rumahnya
bu Tinah sedang tidak berada di rumahnya. Bu Sarinah menyayangkan
kesempatan kerja yang ada, karena itulah ia mengusulkan untuk mengajak bu
Tinah, tetangganya.
Para buruh perempuan di Madiredo dulu tidak perlu merasa gelisah kebingungan

dimana atau dengan siapa esoknya mereka akan bekerja, karena pekerjaan akan

selalu datang, bahkan mereka bisa memiliki kesempatan untuk memilih upah yang

lebih besar. Tidak seperti sekarang yang produksi apelnya berkurang, para buruh

perempuan menerima semua tawaran pekerjaan dari petani yang tidak pasti setiap

hari selalu ada.

4.2. Melihat Buruh Perempuan Madiredo dari Sudut Pandang Petani

Banyaknya buruh perempuan di Madiredo, menimbulkan terbentuknya berbagai

interaksi sosial, baik antar sesama buruh atau petani (juragan) dan buruhnya. Dulu

ketika lahan apel masih sangat luas dan menghasilkan panen yang berlimpah, petani

memang saling berebut buruh perempuan satu sama lain dengan cara berani

memberi upah lebih banyak dibandingkan petani lainnya. Hal itu kemudian menjadi

sebuah pengalaman yang dapat menjadi pelajaran bagi para petani karena tidak

selamanya para buruh perempuan yang mereka pekerjakan memuaskan. Dalam hal

ini seiring berjalannya waktu setelah para petani merasa tidak cocok dengan kinerja
71

dari buruh perempuan yang mereka pekerjakan, mereka memutuskan untuk tidak

mempekerjakan buruh perempuan tersebut untuk garapan selanjutnya. Harapannya,

para produsen pertanian bisa puas dengan solusi yang digunakan untuk

permasalahan produksi, salah satunya adalah biaya yang digunakan untuk menarik

dan mempekerjakan para tenaga kerja yang sesuai (Ortiz, 2005).

Batas waktu bekerja para buruh perempuan di Madiredo adalah terdengarnya

suara doa pujian-pujian dari pengeras suara masjid atau mushola. Biasanya, ketika

sudah terdengar pujian-pujian dari pengeras suara masjid, para buruh sesegera

mungkin meninggalkan lahan dan kembali ke pondok untuk membersihkan diri dan

meringkas barang bawaannya untuk pulang ke rumah. Tetapi, ada satu cerita

dimana pada saat itu lantunan pujian dari pengeras suara di masjid sudah terdengar,

namun pekerjaan mereka masih tersisa sedikit lagi untuk diselesaikan, karena itu

kemudian para buruh perempuan memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan

mereka. Di waktu pemberian upah, para buruh tersebut melaporkan bahwa mereka

menambah waktu pekerjaan mereka 10 menit setelah waktu pekerjaan selesai,

dengan tujuan meminta upah lebih dari petani, karena kelebihan waktu pekerjaan

selama 10 menit tersebut. mau tidak mau petani memberi tambahan upah kepada

para buruh tersebut karena tambahan waktu kurang lebih 10 menit.

Waktu berangkat para pekerja tani di Madiredo sebelum jam 6 dari rumah,

sehingga perkiraanya pukul 6 lebih sedikit para pekerja tani sudah berada di tegal

dan mulai pekerja. Suatu saat ketika masa panen apel, petani mempekerjakan buruh

perempuan yang sama dengan sebelumnya. Sangat disayangkan, karena para buruh

perempuan tersebut korupusi waktu, karena mereka baru berangkat setengah 7 pagi
72

yang berarti sudah siang dan terlambat untuk para pekerja tani bekerja. Kelakuan

nakal para buruh perempuan lainnya adalah pada saat panen, mereka tidak segera

memulai pekerjaannya sampai petaninya datang dan ikut bekerja dengan mereka.

Saya mendapatkan cerita mengenai pengalaman tidak mengenakan dalam kasus

ini dari petani apel. Di masa panen, Pak Farhan pemilik kebun apel mempekerjakan

buruh perempuan untuk membantunya ngunduh apel. Hari itu, para buruh

perempuan baru sampai ke tegal disaaat pak Farhan sudah mulai memetik buah

apel yang beratnya mencapai 2 kuwintal. Tidak hanya itu, ketika bekerja di lahan

kemudian tiba-tiba hujan turun para buruh perempuan akan menghentikan

pekerjaannya dan meneduh di pondok. “Ndek kene iku. Apa ya ibaratnya. Buruh itu

gak takut koyo ndek perusahaan-perusahaan kan yo betul-betul adil ya mbak. Kene

itu juragan e leren, rewang e yo melok leren” (Disini itu, ibaratnya buruh petani

tidak takut dengan petaninya. Tidak seperti pekerja yang ada di perusahaan-

perusahaan yang benar-benar adil. Disini kalau juragannya istirahat, buruhnya juga

ikut istirahat), jelas istri pak Farhan kepada saya pada saat menceritakan

pengalaman buruknya mempekerjakan buruh perempuan yang nakal. Dalam hal ini,

petani merasa tidak adil karena ia merasa tidak bisa memotong upahnya dengan

alasan terlambat bekerja, tidak seperti para buruh yang meminta upah lebih karena

mereka menambah sedikit waktu bekerja supaya pekerjaan di hari itu bisa selesai.

Suasana di tegal yang beberapa kali saya kunjungi dengan beberapa buruh
perempuan yang berbeda, tidak selalu sama, tergantung dari masing-masing
kelompok buruh perempuan tersebut. Pada saat saya ikut ngrempes bersama
dengan 14 buruh perempuan lainnya, saya cukup terkejut dengan ramainya
suasana di tegal sesaat setelah mereka meletakkan tas dan barang bawaannya
untuk memulai pekerjaan. Mereka bekerja dengan tangan yang merempes pohon
apel sembari terus berbicang-bincang dengan pembahasan yang tidak ada
habisnya. Pembahasan pertama pada saat itu adalah gossip penyanyi dangdut
73

idola ibu-ibu yang saat itu sedang ramai meminta gugatan cerai karena
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Banyak dari mereka yang kecewa
dengan keputusan artis yang mencabut tuntutan di polisi. Namun beberapa dari
mereka juga ada yang setuju dengan keputusan sang artis karena suaminya
tampan yang kemudian langsung disaut ibu-ibu lainnya dengan kalimat kasar
yang menghina suaminya yang melakukan KDRT. Pembahasan mengenai artis
tersebut yang panjang lebar akhirnya selesai, namun perbincangan masih belum
selesai. Salah satu ibu-ibu menjadi sumber berita dan menceritakan bahwa suami
dari artis tersebut sudah selingkuh selama empat tahun dengan model cantik.
Beliau bahkan tidak ragu-ragu menceritakan gosip yang mengatakan bahwa
suami dari artis tersebut selingkuh dengan wanita lain, sampai melakukan
hubungan seksual sampai 11 kali. Kemudian ibu-ibu lainnya berekasi heboh dan
kaget.
Suasana di tegal akan mulai terasa sunyi ketika sudah mendekati waktu istiahat

untuk makan. Setelah makan bekal dan istirahat rasanya ibu-ibu menjadi lebih

semangat melanjutkan pekerjaannya. Sebelumnya mulai sunyi antara kehabisan

bahan obrolan atau sudah mulai lelah, kini mereka kembali berbincang-bincang.

Gaya bahasa ibu-ibu pada saat di tegal yaitu berbicara dengan nada tinggi dan asal

ceplos. Tidak hanya itu, mereka juga sering mengeluarkan kata kasar dari yang kata

kotor seperti telek sampai kata kotor sebutan kelamin.

Menurut petani idealnya satu pohon apel bisa dirempes 1 atau 2 orang saja.

Ketika mempekerjakan 14 buruh perempuan dalam satu waktu ada 7 pohon apel

yang dirempes. Kenyataanya, ketika merempes 1 pohon, biasanya para buruh

menggerombol sampai 5 orang. Menurut petani hal ini justru yang menjadikan

pekerjaan mereka tidak produktif karena dekatnya jarak mereka satu sama lain

memecah fokus buruh perempuan saat bekerja. Mereka jadi berbincang-bincang

satu dengan lainnya, yang menjadikan waktu bekerja semakin lama.


74

Gambar 4.1 Petani ikut mengantar dan mengawasi


buruh perempuan yang bekerja
(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Tidak semua buruh perempuan di Madiredo memiliki sifat nakal seperti yang

saya paparkan diatas. Masih banyak buruh perempuan lainnya di Madiredo yang

memiliki sifat pekerja keras, jujur, dan maksimal. Disini kemudian terjadi semacam

‘politik kerja’ ketika segerombolan buruh perempuan yang nakal bekerja dengan

buruh perempuan yang jujur dan bekerja dengan maksimal. Mereka yang bekerja

dengan jujur dan maksimal biasanya adalah sebagian kecil atau bahkan individu

yang berada di dalam sekelompok buruh nakal, sehingga secara kekuatan pasti

buruh tersebut akan kalah. Pada pekerjaan selanjutnya, kemudian dimulailah

permainan politik kerja dimana buruh nakal hanya akan mengajak buruh yang sama

nakal-nya sehingga tidak terlihat perbedaan tingkat keproduktivitasan antar

individu dalam satu kelompok pekerja tersebut. Dalam hal ini beberapa petani bisa

menyadari bahwa satu atau dua buruh yang kemarin bekerja dengannya ada, tetapi

saat ini tidak ada. Kemudian petani secara individu akan mengajak buruh jujur
75

tersebut untuk bekerja lagi dengannya. Disitulah, kekuatan buruh penanggungjawab

dikalahkan dengan petani pemilik lahannya.

Dalam hal ini para petani kemudian belajar dari pengalaman masa lalu yang

kurang mengenakan dengan tidak mempekerjakan para buruh tani perempuan yang

nakal di kemudian hari. Beberapa petani lebih memilih saudara-saudaranya untuk

bekerja di lahan miliknya, karena dianggap buruh yang memiliki hubungan saudara

dengan petani ini memiliki rasa sungkan dan tanggung jawab yang tinggi. Para

buruh ini memang berangkat kerjanya siang, tapi mereka juga bertanggungjawab

pulangnya menjadi lebih siang juga. Selain itu, mereka juga tidak pernah

perhitungan masalah upah seperti para buruh yang sebelumnya. Dengan begitu,

mengajak saudara untuk bekerja di lahan miliknya menjadi sebuah pilihan yang

tepat bagi petani dalam kasus ini, karena sesuai dengan harapan bahwa para buruh

menyadari dan bertanggungjawab atas pekerjaan sesuai dengan upah yang diberi

(Ortiz, 2005).

4.3. Bertahan di Masa Transformasi

4.3. 1 Dari Apel ke Sayuran

“Capek ga kerasa mbak, sing penteng anakku sangu sekolah. Ibuk i gak onok

capek e mbak” (Capek tidak terasa Mbak, yang penting anakku punya uang jajan

sekolah. Ibu itu tidak ada lelahnya, Mbak), jelas mak Ranah kepada saya pada saat

kami istirahat mengikat tanaman tomat di tetelan yang berada di lereng pegunungan

milik pak Kadirin. Untuk mencapai tetelan milik pak Kadirin yang pada saat itu

ditanami tomat sayur dan cabai (menggunakan metode tumpang sari), kami harus

melewati jalanan setapak yang terkadang tidak rata tanahnya, penuh bebatuan,
76

becek karena sisa hujan kemarin, jembatan yang terbuat hanya dari batang pohon,

dan tanjakan yang curam dan cukup panjang. Mak Ranah sendiri terlihat sangat

lincah dan sudah terbiasa melewati medan terjal seperti ini. Dengan semangat yang

amat besar, ia berjalan tanpa henti dari keluar rumahnya sampai menuju lereng

pegunungan yang cukup tinggi dengan medan yang luar biasa menguji nyali.

Mak Ranah sudah bekerja menggarap tetelan milik pak Kadirin semenjak tomat

sayur ini mulai ditanam sampai sekarang tanamannya sudah tumbuh cukup tinggi

sekitar 150 cm, sehingga pekerjaannya sekarang adalah mengikatnya supaya

pertumbuhannya tidak menganggu tanaman di sekitarnya. Mak Ranah memiliki

hubungan yang sangat baik dengan pak Kadirin sebagai juragannya. Pak Kadirin

memberi secara cuma-cuma hasil kebun yang sedang ia garap kepada mak Ranah,

kapanpun mak Ranah meminta atau merasa butuh.

Memiliki tiga anak membuat mak Ranah tidak kehilangan semangat untuk terus

bertani diusia paruh abadnya ini. Ia merasa harus sehat secara fisik supaya dapat

membiayai pendidikan anak-anaknya –paling tidak sampai lulus SMA. Bahkan,

beberapa kali mak Ranah bekerja lembur sampai waktu ashar supaya mendapatkan

upah lebih dari petani. Anak pertama mak Ranah perempuan, sudah menikah dan

sudah memiliki anak yang sekarang sekolah tingkat menengah pertama. Anak

kedua mak Ranah laki-laki dan sekarang sedang bekerja di kebun wortel milik

petani. Anak terakhirnya, perempuan masih sekolah menengah atas tingkat akhir.

Mak Ranah belakangan merasa resah karena anak bungsunya ini memiliki

keinginan untuk melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Mak Ranah


77

merasa tidak cukup percaya diri untuk membiayai pendidikan anak bungsunya ke

perguruan tinggu, karena kondisi ekonominya.

Dulu, mak Ranah memiliki kebun apel yang dalam sekali panennya bisa

mencapai 10 ton di tahun 1990 an. Berjalannya waktu kemudian lahan apel tersebut

tatu (rusak) dan tidak bisa menghasilkan buah apel yang maksimal. Daripada

memaksa untuk dilanjutkan, mak Ranah memilih untuk sekalian memangkas semua

pohon apel dan segera menggantinya dengan sayuran. Meskipun pendapatan yang

didapatkan dari hasil sayur jauh lebih sedikit dibandingkan apel, setidaknya mak

Ranah tidak mengalami kerugian yang cukup tinggi, karena biaya untuk produksi

apel lebih mahal.

Di waktu berikutnya, mak Ranah memutuskan untuk menjual lahan apel

miliknya seluas 1600 meter untuk membelikan rumah anak pertamanya. Lahan ucet

yang ia dapatkan dari warisan kedua orangtuanya juga terpaksa ia jual dan laku 12

juta pada saat itu. “Penghasilane rodok seret” (penghasilannya agak seret), jelas

mak Ranah kepada saya. Saat ini mak Ranah hanya memiliki kebun sayuran yang ia

garap sendiri bersama keluarganya. Untuk sampingan, mak Ranah bekerja dengan

petani lainnya menjadi buruh petani, karena pendapatan yang didapat budidaya

sayuran miliknya sendiri tidak cukup untuk keluarganya. Waktu berjalan, nasib

mak Ranah pun kini menjadi terjungkir. Dahulu ketika mak Ranah punya lahan

apel, beliau mempekerjakan banyak buruh perempuan untuk menggarap lahannya.

Kini, lahan apel miliknya sudah ia jual dan tidak ada lagi yang tersisa, giliran mak

Ranah yang bekerja dengan petani yang membeli lahan apel milik mak Ranah

dulunya.
78

Suasana di tetelan pada saat itu sangat sepi, tidak banyak petani atau buruh
perempuan yang bekerja di lahan sayuran disana. Beberapa lahan sayuran juga
terlihat banyak tanaman liar disekitar lahan sayuran yang memang sengaja
dibiarkan saja. “Iku ki jarang mengerjakan. Nggarai opo? Lah sayurane kan
murah kabeh. Dadine iku jadi digarap sendiri. Gak balik modal. Dadi yo
nggoleh maneh, nggoleh duek maneh. Wong tani yo Mbak, gampang. Sok mben
enek larang e yowes, seneng. Tapi lek onok hargane turun, yowes” (Ini itu
jarang dikerjakan karena apa? Lah, sayurannya kan murah semua. Jadi
dikerjakan sendiri. Tidak balik modal. Jadinya ya menanam yang lainnya lagi,
mencari uang lagi. Orang tani itu, Mbak gampang. Besok bisa dijual mahal,
yaudah senang. Tapi kalau harganya turun, yasudah), jelas bu Novi panjang
lebar kepada saya pada saat panen di tetelan miliknya.
Keuntungan yang didapat petani dari budidaya sayuran lebih sedikit

dibandingkan dengan budidaya apel, karena fluktuasi harga sayuran umumnya lebih

tinggi dibandingkan dengan buah (Irawan, 2007). Hal ini karena pada saat ini

terjadi tidak seimbangnya jumlah pasokan jenis sayuran tersebut dan tinggi

rendahnya minat pembelian di pasar. Sementara itu, petani tidak bisa menampung

hasil panen sayurannya supaya mendapatkan waktu yang tepat untuk mendapatkan

hasil jual yang tinggi, karena mereka tidak memiliki teknologi yang cukup

memadai untuk menyimpan sayuran yang sifatnya mudah rusak. “Ibarate koyo

wong main, wong judi” (Ibaratnya seperti orang bermain , orang judi), jelas bu

Novi kepada saya pada saat panen ucet di tetelan miliknya. Banyak petani bahkan

memilih untuk membiarkan budidaya sayurannya dengan tidak merawatnya sampai

masa panen karena hasil dari budidaya sayurannya bahkan tidak bisa menutupi

biaya produksi dari budidaya tersebut, sehingga menimbulkan kerugian.

Bagi para buruh perempuan sendiri, bekerja di budidaya sayuran milik petani

sebenarnya memberikan keuntungan lebih karena selain mereka mendapatkan upah

dari pekerjaan mereka, disini mereka jadi memiliki kesempatan untuk mendapatkan

sayuran segar langsung dari kebun secara cuma-cuma.


79

Gambar 4.2 para buruh perempuan mengambil jeruk


peras milik petani pada saat perjalanan pulang dari
tegal
(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Setelah terjadi penurunan produksi apel, buruh perempuan di Madiredo tidak

setiap hari, 30 hari dalam 1 bulan mendapat panggilan untuk bekerja di lahan

pertanian milik para petani. Ada kalanya mereka dalam hitungan hari, minggu,

maupun bulan sepi atau tidak ada yang mengajak untuk menggarap tani. “Yo koret-

koret, Mbak”, kata mbak Alfi kepada saya saat itu. Secara bahasa koret-koret

berarti ‘mengais’. Dalam hal ini ketika mereka sedang mendapatkan pekerjaan di

budidaya sayuran, di setiap harinya para buruh perempuan akan mengambil sedikit-

sedikit sisa sayuran atau memetik sayuran yang sekiranya lebih masak dibanding

yang lain dari lahan yang mereka kerjakan. Sayuran yang mereka dapatkan dari

sana biasanya bisa menjadi cukup untuk menjadi persediaan bahan makan

beberapa hari, bahkan minggu ke depan.

Banyak sekali sisa sawi dari yang masih tertanam sampai akarnya maupun yang
sudah lepas dari tanah di lahan yang saat itu sedang ditanam cabai hijau. Pada
saat itu, saya sedang ikut bekerja dengan para buruh perempuan untuk matun –
mencabuti sisa sawi hijau kemarin yang tidak layak jual di pasaran karena sudah
80

jelek, rusak, dan kotor di kebun cabai hijau. Petani yang membawa saya kesana
mengatakan sambil mengambil sawi yang tergeletak di tanah dan mencabuti
bagian luar daun sawi hijau sampai tersisa daun sawi hijau lebih kecil yang
bagus dan masih segar sambil mengatakan bahwa sawi ini masih bisa dibawa
pulang untuk dimasak di rumah.

Gambar 4.3 Sisa sawi yang tidak lolos masuk pasar


dan cabai yang sudah matang lebih dulu untuk
dibawa pulang dan dikonsumsi di rumah
(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Bagi para petani sendiri, hal seperti itu sudah biasa terjadi dan mereka merasa

biasa saja ketika buruh perempuan mengambil sisa sayuran yang ada di kebun

untuk dibawa pulang. Tidak hanya sayuran yang sudah tergeletak di tanah, para

buruh perempuan terkadang bahkan sampai memetik beberapa sayuran yang

terlihat sudah matang untuk dibawa pulang.

4.3. 2 Ketika Pertanian Tidak Bisa Menjadi Solusi


Selain kebutuhan pokok seperti makanan, kebutuhan untuk menempuh

pendidikan anak juga perlu dipenuhi. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional bahwa wajib belajar 12 tahun.

Dalam undang-undang tersebut juga dikatakan bahwa pemerintah menjamin

terselenggaranya wajib belajar dari tingkat SD sampai SMA tanpa memungut

biaya. Sayangnya, sekolah yang didirikan pemerintah di Madiredo hanya sebatas

Sekolah Dasar, yaitu SD Negeri 01, 02, dan 03 Madiredo. Selain ketiga sekolah
81

tersebut, sekolah-sekolah yang berdiri di Madiredo merupakan milik swasta dimana

siswa dan orangtua dibebankan uang SPP atau biasanya disebut ‘Infaq’ pada setiap

bulannya.

Ketika para buruh perempuan membawa 1 plastik besar berisi sawi-sawi tidak
bisa lolos masuk pasaran, buruh laki-laki yang kebetulan saat itu juga bekerja
bersama membawa tumpukan besar rumput liar yang mereka ikat menggunakan
robekan karung di punggungnya. Mobil pick up yang sebelumnya pada saat
mengantar kami ke kebun terasa longgar, pada saat mengantar pulang mobil
tersebut jadi terasa sesak terisi tumpukan rumput liar dan sawi-sawi yang dibawa
pulang para buruh. Tumpukan rumput liar tersebut mereka gunakan sebagai
pakan sapi-sapi yang mereka pelihara di rumah.
Pada bagian sebelumnya, saya telah menyinggung sedikit bahwa selain bertani,

beberapa masyarakat Madiredo memiliki peliharaan sapi untuk mereka manfaatkan

hasil susunya. “Nrimo wae, Mbak. Menikmati pengangguran”, ungkap bu Mujidah

kepada saya dengan nada yang santai. Bagi beberapa buruh perempuan yang

memelihara sapi perah di rumahnya, saat-saat dimana tidak ada pekerjaan di

pertanian bukan menjadi masalah yang besar. Mereka masih mendapat pemasukan

dari hasil perahan sapi peliharaan mereka.

Semua masyarakat Madiredo yang memelihara sapi perah, terdaftar sebagai

anggota di Koperasi Susu Sae Pujon (Kopsu Sae). Mengutip artikel dari

(malangkab.go.id), koperasi ini mampu menjadi urat nadi perekonomian bagi

seluruh anggotanya. Partisipasi ke koperasi sangat cocok bagi masyarakat lemah

yang memiliki akses terbatas, sekaligus menjadi faktor yang penting untuk

pembangunan ekonomi (Jaime & Salazar, 2011). Memerah sapi dilakukan dua kali

dalam satu bulan pada tanggal 15 dan 30. Mereka biasanya memerah susu sapi

pagi-pagi buta dan menyerahkannya langsung ke koperasi untuk diolah dan

mendapatkan uang dari sana. Hasil perahan susu sapi sangat beragam dan tidak bisa
82

diprediksi. Sapi yang berkulias tinggi, tentu akan menghasilkan susu yang banyak.

Hasil susu perahan terkadang bisa mencapai sampai 15 liter. Sementara itu untuk 1

liter susu sapi dihargai 7000 – 10.000 rupiah.

Gambar 4.4 Sapi peliharaan warga yang mereka


manfaatkan susunya
(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Terdaftar sebagai anggota koperasi merupakan hal yang menguntungkan bagi

para masyarakat Madiredo yang memelihara susu perah. Selain bayaran yang

mereka dapat pada tanggal 9 dan 24 pada tiap bulannya untuk hasil perahan sapi

yang diserahkan, mereka juga mendapatkan “sukarela” dan “persenan”. Seperti

koperasi pada umumnya, Koperasi Susu Sae memiliki tujuan untuk

mensejahterakan ekonomi anggotanya dengan bagi hasil dan memberi fasilitas

menabung. Uang dari hasil perahan sapi, sebagian diwajibkan untuk ditabung di

koperasi tersebut. Semakin sedikit uang dari hasil perahan sapi yang diambil,

berarti semakin banyak tabungan yang mereka simpan di koperasi. Tabungan

pokok ini, mereka sebut “suka rela”. Sementara itu, bagi yang sudah menjadi

anggota minimal 3 bulan setiap tahunnya ketika mendekati lebaran, mereka akan
83

mendapatkan persen atau sembako berupa beras 10 kg, minyak 2 liter, gula 5 kg,

kopi, dan teh saset.

Kebutuhan diluar keluarga untuk masyarakat Madiredo adalah kebutuhan untuk

bermasyarakat. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa setiap ada warga

yang ingin memperingati hari penting dihidupnya, akan mengadakan slametan.

Untuk mengadakan slametan, biaya yang dibutuhkan tentu tidak sedikit. Sebagai

contoh, salah satu acara yang biasanya diadakan slametan adalah acara pernikahan.

Orangtua dari pihak perempuan memiliki kewajiban untuk mengadakan acara

pernikahan anaknya. Biasanya orangtua dari pihak perempuan akan menunggu

masa panen untuk menyelenggarakannya (Geertz, 2013). Dalam hal ini, buruh

perempuan (yang hanya memiliki lahan tetelan tidak seberapa) memiliki

kesempatan untuk meminjam uang kepada juragannya untuk mengadakan slametan.


BAB V KESIMPULAN

5. 1 . Kesimpulan

Desa Madiredo memiliki lahan pertanian melimpah yang menjadikan

sebagian besar pekerjaan masyarakatnya adalah petani. Dalam hal ini, para

petani di Madiredo melihat adanya kesempatan yang menguntungkan untuk

perekonomian mereka, sehingga pertanian di Madiredo, mereka manfaatkan

secara komersil dengan menjual hasil taninya ke pasar (Popkin, 1986). Model

pertanian yang digunakan di Madiredo adalah tumpang sari, dimana dalam satu

lahan, ada dua jenis tanaman berbeda yang dibudidayakan secara bersamaan,

sehingga tidak perlu menunggu waktu yang lama untuk panen hasil sayuran satu

dengan yang lainnya. Masuknya budidaya apel pada awal tahun 1990 di

Madiredo bersamaan dengan permintaan pasar yang tinggi, memberi dampak

yang sangat baik untuk perekonomian masyarakat Madiredo, terutama para

buruh perempuan.

Budidaya pertanian di Madiredo adalah sayuran dan apel. Buruh

perempuan biasanya bekerja pada bagian pemeliharaan (Mahanani, 2003).

Budidaya apel membutuhkan tenaga kerja dari buruh perempuan untuk

merempes, membungkus apel, dan panen apel. Dari tiga pekerjaan tersebut,

panen apel merupakan pekerjaan dengan upah paling tinggi, sehingga para buruh

perempuan tidak ragu-ragu untuk meninggalkan pekerjaan pekerjaan

sebelumnya yang belum selesai untuk bekerja panen di budidaya apel milik

petani lainnya. Sementara itu, untuk budidaya sayuran, pekerjaan buruh

perempuan lebih bervariasi, namun tetap pada bagian pemeliharaan. Pekerjaan

84
85

untuk buruh perempuan memiliki beban fisik yang lebih ringan dibandingkan

dengan para buruh laki-laki di Madiredo, oleh karena itu upah yang didapat para

buruh perempuan juga lebih sedikit, yaitu sekitar 30.000 – 40.000 per harinya

untuk pekerjaan pemeliharaan dan 50.000 – 100.000 untuk panen apel.

Saat itu, ketika memasuki masa kejayaan apel di Madiredo, para petani

yang sukses dan kaya karena budidaya apelnya memiliki kedudukan yang

‘istimewa’ di Madiredo. Para petani yang sukses, membangun rumah menjadi

lebih megah dan modern dengan pendapatan dari budidaya apel miliknya.

Banyak petani yang juga melaksanakan ibadah haji sebagai bentuk pencapaian

tingkat ekonominya. Tidak hanya untuk petani, meluasnya budidaya apel pada

tahun 1990 di Madiredo, memberi dampak positif bagi para buruh perempuan

yaitu semakin luasnya kesempatan kerja mereka. Pada masanya, ketika apel

mengalami masa kejayaan di Madiredo, para petani berani memberi penawaran

upah yang lebih tinggi dibanding petani lainnya untuk mendapatkan tenaga kerja

dari buruh perempuan di budidaya apel mereka. Para buruh perempuan pun pada

saat itu memiliki kesempatan untuk memilih upah mana yang lebih

menguntungkan untuk dirinya. Hal ini sesuai dengan (Becker, 1965) dimana

tujuan utamanya adalah memaksimalkan utilitas dalam rumah tangga.

Terdapat ‘politik kerja’ di dalam buruh perempuan Madiredo. Mereka

yang dirasa gaya kerjanya di tegal tidak cocok dengan penanggung jawab buruh

tidak akan diajak oleh penganggung jawab buruh lagi di pekerjaan selanjutnya,

ketika petani membutuhkan tenaganya lagi. Hal ini kemudian menimbulkan

adanya kelompok-kelompok buruh perempuan di Madiredo, dimana mereka


86

biasanya hanya akan mengajak teman kerja yang gaya bekerjanya sama satu

sama lain. Dalam hal ini yang dibicarakan adalah seberapa produktif mereka

bekerja, seberapa lama mereka mengambil waktu istirahat, dan bagaimana

mereka bekerja sama satu dengan yang lainnya untuk meminta upah lebih

kepada petani ketika mereka merasa waktu bekerja mereka lebih dari biasanya.

Seiring berjalannya waktu pohon apel semakin menua dan rusak karena

pengaruh obat pesitisida, bersamaan dengan perubahan iklim dan cuaca yang

sulit di prediksi menjadikan para petani menghabisi lahan budidaya apel nya

karena resiko ruginya tinggi dan menggantinya kembali dengan budidaya

sayuran, seperti dulu sebelum apel muulai masuk di Madiredo. Hal ini kemudian

berdampak cukup besar bagi para buruh perempuan karena kesempatan bekerja

mereka berkurang seiring dengan berkurangnya budidaya apel di Madiredo.

Durasi dari pekerjaan di budidaya sayuran memang cenderung lebih

lama dibandingkan dengan pekerjaan di budidaya apel, tetapi jumlah buruh

perempuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan di budidaya apel bisa dua kali lipat

lebih banyak, untuk luas lahan yang sama. Ditambah, banyaknya petani yang

mengusahakan budidaya apel di tahun 2000 an menjadikan buruh perempuan

kerap bekerja di tegal. Beberapa buruh perempuan bahkan sempat sampai

berbulan-bulan tidak bekerja di kebun milik petani. Mereka kemudian

kehilangan kesempatan untuk ‘memilih’ dan mulai menerima semua pekerjaan

yang ditawarkan para petani di Madiredo.

Meskipun begitu, sebenarnya bekerja di budidaya sayuran merupakan hal

yang cukup menguntungkan bagi para buruh perempuan, di masa transformasi


87

ini. Dengan bekerja di budidaya sayuran, mereka memiliki kesempatan untuk

mengambil sayur mayor yang tidak layak masuk pasar namun masih layak

dikonsumsi untuk dibawa pulang. Para petani juga mengizinkan, bahkan

menyuruh para buruh perempuan yang bekerja di lahannya untuk mengambil

untuk persediaan di kemudian harinya.

Sebagai penutup, kalimat “Gak Onok Capek” yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah, para buruh perempuan Madiredo meskipun sedang sepi

atau tidak sedang bekerja di lahan apel maupun sayuran milik petani, mereka

tetap memiliki lahan milik keluarganya yang masih harus diolah dan diurus

sebagai penghasilan pokok mereka yang sebenarnya dari segi ekonomi, mereka

masih merasa kurang dengan pendapatan dari lahan sayuran milik pribadi.

Beberapa buruh perempuan yang keluarganya memelihara sapi, mereka dapat

memanfaatkan susu dari sapi perahannya 2 kali dalam 1 bulan yang kemudian

diserahkan ke Koperasi Susu Sae Pujon untuk mendapatkan uang dari sana.

Sementara itu, hubungan baik yang terjalin antara petani dan buruh tani dalam

rangka memperpanjang durasi kontrak pekerjaan antara petani dan buruh

(patron-client) memberi dampak yang positif tidak hanya pada petani yang

lahannya digarap oleh para buruh, tetapi juga kepada para buruh ketika mereka

membutuhkan uang lebih untuk acara-acara besar yang mereka adakan dalam

kehidupan bermasyarakat.

5. 2 . Saran
DAFTAR PUSTAKA

Arumingtyas, L. (2020, Desember 22). MONGBAY Situs Berita Lingkungan. Retrieved

September 12, 2022, from mongbay.co.id:

https://www.mongabay.co.id/2020/12/22/kondisi-miris-buruh-perempuan-di-

kebun-sawit/

Baliyan, K. (2018). Use of Female Family and Hired Labour in Agriculture: An

Empirical Study In Wetern Uttar, India. Rivera Open Gender and Women

Studies 2(1):2, 1-20.

Becker, G. (1965). A Theory of the Alocation of Time . Economic Jurnal:75, 493-517.

Farih, A. (2016). Nadhlatul Ulama (NU) dan Kontribusinya dalam Memperjuangkan

Kemerdekaannya dan Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan Vol. 24 No. 2, 251-

284.

Geertz, C. (1983). Involusi Pertanian . Jakarta: Yayasan Obor .

Geertz, C. (2013). Agama Jawa; Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa.

Depok: Komunitas Bambu.

Hestiqomah, R. (2014) Pengembangan Bahan Ajar Interaktif untuk Meningkatkan Hasil

Belajar pada Materi Sumber Daya Alam MI Nurul Huda Plosorejo. thesis.

Husken, F. (1998). Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi

Sosial di Jawa 1830-1980. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

88
89

Indarti, S., Luthfi, A., & Kismini, E. (2016). Transformasi Pertanian dan Diferensiasi

Sosial Ekonomi Petani di Desa Kunir Kecamatan Sulang Kabupaten Rembang.

Solidarity 5 (1), 1-10.

Intan, C., & Meliza, R. (2021). Kehidupan Buruh Tani Perempuan dalam Membantu

Perekonomian Rumah Tangga. Aceh Anthropological Journal, Volume 5 No 1,

83-90.

Irawan, B. (2007). Fluktuasi Harga, Transmigrasi Harga dan Marjin Pemasaran Sayuran

dan Buah. Analisis Kebijakan Pertanian Volume 5 No. 4 , 358-373.

Jaime, M. M., & Salazar, C. A. (2011). Participation in Organization, Technical

Efficiency and Territorial Differences: A Study of Small Wheat Farmer in Chile.

Chillean Journal of Agricultural Research 7(1), 104-113.

Juanda , Y. A., Alfiandi, B., & Indraddin. (2019). Strategi Bertahan Hidup Buruh Tani

di Kecamatan Danau Kembar Alahan Pajang. JISPO Vol.9 No.2, 514 - 530.

“KOPERASI "SAE" Pujon Merupakan Pionir yang Luar Biasa” 13 May 2023,

www.malangkab.go.id/mlg/default/page?title=malangkab-pusat-opd-wakil-

bupati-malang-kopsae-ini-merupakan-pionir-yang-luar-biasa. Accessed 13 May

2023.

Kota Batu dan Apel, 2 Hal yang tak Terpisahkan (2023) agendaindonesia.com.

Available at: https://www.agendaindonesia.com/kota-batu-dan-apel-2-hal-tak-

terpisahkan/ (Accessed: 03 May 2023).

Li, T. M., & Semedi, P. (2022). Hidup Bersama Raksasa Manusia dan Pendudukan

Perkebunan Sawit. Serpong: Marjin Kiri.


90

Mahanani, S. (2003). Keadilan Agraria bagi Perempuan Petani (Dalam Konteks

Perempuan Petani dan Pengaturan Sumber Agraria Tanah). Jurnan Analisis

Sosial Vol.8 No. 3 , 1-12.

Ortiz, S. (1999). Harvesting Coffe, Bargaining Wages: Rural Labour Markets in

columbia 1975-1990. Ann Arbor: University of Michigan Press.

Ortiz, S. (2005). Decision and Choice: the Rationality of economic actors . A Handbook

of Economic Anthropology, 59-77.

Popkin, S. (1986). The Rational Peasant: The Political Economy of Peasant Society.

Theory and Society Vol.9 No.3, 411-471.

Spradley, J. (2007). Metode Etnografi. Tiara Wacana.

Suryanata, K. (2022). Dari Pekarangan Menjadi Kebun Buah-Buahan: Stabilisasi

Sumber Daya dan Diferensiasi Ekonomi di Jawa. In T. Li, Proses Transformasi

Daerah Pedalaman di Indonesia (pp. 330-361). Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Tjandraningsih, I. (2021). Buruh Perempuan Menguak Mitos. In I. Abdullah, Sangkan

Paran Gender (pp. 253-271). Yogyakarta: Pustaka Pelajar .

Windiani, & Nurul, F. (2016). Menggunakan Metode Etnografi dalam Penelitian

Sosial . Dimensi 9(2), 87-92.

Yani, N. L., & Indrayani, L. (2021). Keterlibatan Perempuan Dalam Sektor Pertanian

Untuk Menunjang Kesejahteraan Keluarga Menurut Perspektif Feminisme

(Studi Kasus di Desa Songan, Bangli, Bali). Ekuitas Jurnal Pendidikan Ekonomi

Volume 9 Nomor 2, 261-269.


91

Zurinani, S.I. (2012) Budidaya Kopi di Hutan dan Dinamika Pelapisan Sosial Petani

Jawa. thesis.

Anda mungkin juga menyukai