Anda di halaman 1dari 30

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN


Untuk menjelaskan gambaran umum lokasi penelitian, maka berikut peneliti
akan mendeskripsikan beberapa hal yang berkaitan dengan kondisi dan situasi di
Desa Raja Kecamatan Boawae Kabupaten Nagekeo, seperti keadaan geografis,
keadaan penduduk berdasarkan jenis kelamin dan umur serta agama. Beberapa
poin tersebut menjadi tolak ukur bagi peneliti dalam menggambarkan Desa Raja
yang merupakan lokasi bagi peneliti dalam melakukan penelitian.

4.1.1 Keadaan Geografis


1. Letak dan Luas Wilayah
Desa Raja merupakan sebuah desa yang terbentuk pada tahun1950, satu
desa yang berada di Kecamatan Boawae Kabupaten Desa Raja berada
dibagian Timur kecamatan Boawae dan berbatasan langsung dengan
kecamatan Mauponggo dan Kecamatan Aesesa Selatan. Desa Raja
memiliki wilayah seluas ±672,65Ha. Wilayah Desa Raja digunakan
untuk pemukiman, persawahan, perkebunan, pekarangan, perkantoran,
dan prasarana umum lainnya.Sisa wilayah desa ini berupa dataran
rendah, bukit-bukit dan wilayan pesisir.Untuk lebih jelasnya
penggunaan tanah dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.1Luas tanah Desa Raja Menurut Penggunaannya
No Penggunaan wilayah Luas wilayah
1 Pemukiman 27,480
2 Persawahan 63,31
3 Perkebunan 40,40
4 Pekuburan 1
5 Kantor dan sekolah 0,10
6 Irigasi teknis 50
7 Pemukiman 258,15

23
8 Ladang 133
9 Perkebunan perorangan 40,40
10 Kelurahan 2,10
11 Sawah desa 5
12 Lapangan olahraga 0,50
13 Pasar 0,70
14 Terminal 0,10
15 Hutan lindung 50,35
Jumlah 672,65 Ha
Sumber : Data Desa Raja 2018
Batas Wilayah Berdasarkan tabel 4.1 di atas, diketahui bahwa sebagian
besar dari wilayah Desa Raja dimanfaatkan untuk perkebunan seluas 40,40
Ha/m2, persawahan seluas 63,31 Ha/m2, hutan konservasi seluas 6 Ha,
pemukiman seluas 5 Ha, sekolah dan kantor seluas 0,10 Ha/m2, dan
pekuburan seluas 1 Ha. Sedangkan sisa lahannya berupa dataran rendah
seluas 50 Ha, bukit-bukit seluas 5 Ha dan wilaya pesisir seluas 8 Ha.

2. Batas Wilayah
Secara administratif batas wilayah Desa Raja terdiri dari:
 Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Rendubutowe (Kecamatan
Aesesa Selatan);
 Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Wolowea Timur;
 Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Raja Timur dan Desa Raja
Selatan;
 Sebelah Barat : Berbatasan dengan Desa Gero dan Dere Isa.

3. Kondisi Iklim
Kondisi iklim di Desa Raja merupakan iklim tropis, sehingga
menyebabkan musim kemarau relatif lebih panjang daripada musim hujan.
Musim kemarau akan berlangsung antara bulan Mei sampai bulan
November, sedangkan musim hujan akan berlangsung lebih singkat yaitu

24
antara bulan Desember sampai Maret. Jumlah bulan basah yang biasanya
berlangsung sekitar 4 bulan mempunyai intensitas curah hujan yang tidak
menentu.
Kondisi iklim atau musim seperti yang diuraikan diatas menjadikan
sebagian besar masyarakat Desa Raja sebagai petani ladang.Dan sebagai
petani ladang, masyarakat sangat bergantung pada iklim, sehingga masa
kerja efektif mereka sebagai petani hanya berkisar antara 5-6 bulan,
terutama pada musim hujan. Waktu selebihnya mereka manfaatkan untuk
melakukan pekerjaan lain seperti mengurus hewan peliharaan. Untuk
memenuhi kebutuhan air bersih, sebagian besar masyarakat di Desa Raja
memanfaatkan air dari sumber mata air yang dialirkan melalui pipa-pipa
menuju ke pemukiman warga.Pemenuhan kebutuhan air bersih ini dikelola
oleh swadaya masyarakat.Sedangkan pemanfaatan air kali oleh masyarakat
hanyalah untuk mencuci atau mandi dan mengairi sawah. Berkaitan dengan
penerangan di Desa Raja Kecamatan Boawae Kabupaten Nagekeo
memiliki fasilitas penerangan PLN yang memasok listrik untuk wilayah
Kecamatan Boawae dari Kecamatan Nangaroro (PLN dari Sub Rayon
Kabupaten Ende). Untuk Desa Raja sendiri, sistem pengaturan pemakaian
listrik adalah 24 jam tapi kadang listrik padam setiap hari.

4.1.2 Keadaan Penduduk


1. Keadaan Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah penduduk Desa menurut data terakhir tercatat sebanyak 1.515 jiwa,
dengan rincian laki-laki sebanyak jiwa 759 jiwa dan perempuan sebanyak
756 jiwa terdiri 313 Kepala Keluarga (KK). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada gambar 4.1 di bawah ini;

25
Gambar 4.1.Jumlah Penduduk Desa Raja, Menurut Jenis Kelamin
Sumber : Data Desa Raja Tahun 2018

Dengan demikian penduduk Desa Raja didominasi oleh laki-laki dengan


persentasi 50,09 % yang tersebar dalam 313 kepala keluarga dengan 759
jiwa. Sedangkan jumlah penduduk perempuan 756 jiwa dengan persentase
49,50%.

2. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan


Pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang sangat penting
dalam aspek kehidupan saat ini.Saat ini banyak orang menyadari bahwa
pentingnya untuk mengenyam pendidikan.Baik pendidikan formal maupun
non formal.Begitu juga masyarakat di Desa Raja Kecamatan Boawae
Kabupaten Nagekeo juga banyak yang bersekolah.Jumlah penduduk yang
bersekolah diusia 7 hingga 18 tahun sebanyak 427 jiwa.Sedangkan
pendidikan yang paling tinggi pada jenjang Sarjan(S1)sebanyak 50 orang.
Pendidikan merupakan salah satu aspek mendasar dalam kehidupan
setiap orang, sebab melalui pendidikan, pengetahuan dan keterampilan

26
seseorang dapat meningkatkan sumber daya manusia demi meningkatkan
pembangunan nasional, seperti halnya diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 31 tentang Pendidikan dan Kebudayaan. Pemerintah sebagai
salah satu aktor dalam hal ini yang mempunyai peran penting terus
berupaya membenahi sarana dan prasarana untuk meningkatkan pendidikan
pada seluruh lapisan masyarakat di setiap daerah. Sebaran pendudukan
berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Desa Raja Menurut Tingkat Pendidikan
No Usia Laki-Laki Perempuan Jumlah Persentase
(%)
1. 3-6 tahun belum sekolah 35 54 90 6,04
2. 3-6 tahun sedang TK 11 11 22 1,47
3. 7-18 tidak pernah sekolah 1 1 2 0,13
4. 7-18 sedang sekolah 219 208 427 28,65
5. 218-56 tidak pernah sekolah 3 4 7 0,46
6. 18-56 pernah SD Tetapi tidak 136 121 257 17,24
Tamat
7. Tamat SD/Sederjat 142 171 313 21,00
8. 12-56 tahun tidak tamat SLTP 30 26 56 3,75
9. 18-56 tidak tamat SLTA - - -
10. Tamat SMP/Sederajat 62 45 107 7,18
11. Tamat SMA/Sederajat 72 61 133 8,9
11. Tamat D1/Sederajat 1 - 1 0,6
12 Tamat D2/Sederajat - -
13. Tamat D3/Sederajat 11 16 27 15,17
14. Tamat S1/Sederajat 16 34 50 15,40
15. Tamat S2/Sederajat - - -
Jumlah 739 752 1490 100
Sumber: Data Desa Raja Tahun 2018

Data diatas menunjukkan bahwa masyarakat Desa Raja rata-rata


bersekolah. Paling banyak berada pada usia 7-18 tahun sedang sekolah
dengan persentase28,65%. Tingkat pendidikan paling tinggi pasa jenjang
Sarjana(S1) dengan jumlah 50 orang (15,40%).

27
3. Keadaan Penduduk Bedasarkan Aliran Kepercayaan
Agama adalah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktek-
praktek yang berkaitan dengan hal-hal yang dianggap suci, yaitu hal-hal
yang dibolehkan dan dilarang, yang mempersatukan suatu komunitas moral
(semua mereka yang terpaut satu sama lain ). Agama merupakan
seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang menghubungkan manusia
dengan kondisi akhir eksistensinya.Seperti yang dikemukakan oleh
Durkheim, salah satu karakteristik agama yang penting adalah bahwa
agama itu diorientasikan kepada sesuatu yang dirumuskan oleh manusia
sebagai sesuatu yang suci (sacred) yang berlawanan dengan dunia dalam
kehidupan sehari-hari (profan).
Untuk masyarakat Desa Raja sendiri, sebagian besarnya penduduknya
menganut Agama Katolik, diikuti oleh Agama Protestan. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4.3Jumlah Penduduk Desa Raja Menurut Agama
No Agama L P Jumlah Persentase (%)
1 Katolik 756 754 1510 99,66
2 Islam - - - -
3 Protestan 3 2 5 0,33
Jumlah 759 756 1515 100
Sumber : Data Desa Raja 2018

Tabel di atas menunjukkan bahwa agama Katolik merupakan agama


dominan di wilayah ini. Karena dari 1.515 total jumlah penduduk,
sebanyak 1.510 jiwa menganut Agama Katolik, atau sebanyak 99,66% dari
total penduduk Desa Raja, dan sisanya menganut Agama Protestan
sebanyak 5 jiwa atau sebanyak 0,33%. Sedangkan agama lainnya di Desa
Raja tidak ada.

28
4. Keadaan Penduduk Bedasarkan Mata Pencaharian
Keanekaragaman mata pencaharian penduduk di Desa Raja dalam
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yaitu ada yang bekerja sebagai
petani, buruh tani, PNS, pensiunan, dukun tradisional, wiraswasta.Mata
pencaharian dalam konteks ini adalah jenis pekerjaan tetap yang dilakukan
secara terus menerus oleh keluarga dalam rentang waktu tertentu. Untuk
lebih jelasnya mengenai keadaan penduduk menurut mata pencaharian
dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.4.Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian


No Pekerjaan Laki-laki Perempuan Jumlah %
1 Petani 413 351 2764 97,18
2 Pedagang 10 11 21 0,73
3 PNS 3 10 13 0,45
4 Bidan swasta .1 - 1 0,03
5 Pensiun PNS - 4 4 0,14
6 Jasa pengobatan alternatif 1 - 1 0.03
7 Karyawan perusanhan swasta 2 4 6 0,21
8 Karyawan perusahan 19 14 33 1,16
pemerintahan
9 Pengusaha kecil dan menenga 3 - 3 0,10
Jumlah 452 394 2844 100
Sumber: Data Desa Raja 2018

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat


Desa Raja sebagian besar bekerja sebagai petani yang berjumlah 2.764 jiwa
dengan persentase 97,18 %, diikuti oleh karyawan perusahaan pemerintah
33 orang dengan persentase 1,16%, diikuti oleh pedagang sebanyak 21 jiwa
dengan persentase 0,73 %, diikuti oleh pegawai negeri sipil 13 orang
dengan persentase 0,45%. Diikuti oleh karyawan perusahaan swasta 6
orang dengan persentase 0,21%, diikuti oleh pensiunan PNS sebanyak 4
orang dengan prensentase 0,14%, diikuti jasa pengobatan gratis dan bidan
swasta satu orang masing-masing satu orang orang atau persentase 0,03%.

29
4.2 KARAKTERISTIK INFORMAN
Informan dalam penelitian ini diambil dari tokoh adat, keluarga perempuan
yang sudah memiliki anak dengan keluarga perempuan yang belum memiliki
anak,serta masyarakat di Desa Raja yang mengerti/memahami tentang Belis.
Seluruh informan berjumlah 8 orang adapun karakteristik informan tersebut
diklasifikasikan berdasarkan umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan dan
status sosial untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 4.5. Karakteristik Informan
No Nama Jenis Umur Pekerjaan Pendidikan Status sosial
Kelamin
1 Dominikus L 84 Petani SR Tokoh Adat
2 Yoseph Kama L 54 Petani SD Tokoh Adat
3 Andreas Ba L 67 Petani SMP Keluarga
perempuan
yang belum
memiliki anak
4 Patricia Nono P 50 Guru S1 Keluarga
perempuan
yang belum
memiliki anak
5 Anton Godho L 61 Petani SMP Keluarga
perempuan
yang sudah
memiliki anak
6 Maria G. Wea P 50 Guru S1 Keluarga
perempuan
yang sudah
memiliki anak

30
7 Wilhelmus Naiwali L 34 Petani SD Masyarakat
8 Yusvina Una Wea P 37 Petani SD Masyarakat
Sumber : Data Primer 2018
Berdasarkan tabel 4.7 di atas, diketahui bahwa para informan tersebut berada
pada kisaran umur 34-84 tahun, dengan jenis kelamin laki-laki berjumlah 5 orang
dan jenis kelamin perempuan berjumlah 3 orang, jadi semua informan berjumlah
8 orang. 8 orang informan tersebut bekerja sebagai petani berjumlah 6 orang,
dan Guru 2 orang. 2 orang informan tersebut merupakan tokoh adat, 2 dari pihak
keluarga perempuan yang sudah memiliki anak, 2 dari pihak perempuan yang
belum memiliki anak dan 2 informan lainya merupakan masyarakat Desa Raja.

4.3 ANALISIS HASIL PENELITIAN


4.3.1 Perbedaan Besaran Belis Antara Perempuan Yang Memiliki Anak Di
Luar Perkawianan Yang Sah Dengan Perempuan Yang Belum
Memiliki Anak.
Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) dalam tradisinya sudah
mengenal mahar atau mas kawin, yang biasa disebut belis. Belis biasanya
diberikan oleh keluarga mempelai pria kepada calon mempelai wanita dan
keluarganya. Secara sederhana, belis dapat diartikan sebagai pemberian
yang bersifat material kepada kerabat atau saudara pada perisitwa-peristiwa
tertentu. Bagi masyarakat NTT belis, merupakan bagian yang tidak terlepas
dari kehidupan sehari-hari dan muncul sebagai konsenkuensi dari
pelaksanaan adat istiadat setempat. Berbeda pulau maka akan berbeda pula
pemaknaan belis di tiap daerah. Perkawinan adat Nagekeo adalah
perkawinan yang membutuhkan proses mulai dari persiapan, peminangan,
proses pengantaran mas kawin (belis) atau dalam bahasa daerah adat yaitu
(tau ngawu) dan perkawinan. Setiap tahapan perkawinan ada ketentuan
dan prosedurnya dan juga ada jumlah jenis belis yang harus dipenuhi serta

31
tata cara pelaksanannya dan juga ada pengaturan tentang sanksi bila ada
pelanggaran. Budaya Nagekeo menekankan bahwa untuk memasuki suatu
perkawinan perlu ada persiapan baik biologis, ekonomi, dan sosial.
(Cyrilus Bau Engo, 2002: 61). Oleh karena itu,setiap pria (ata aki) perlu
mempersiapkan diri sebelum memutuskan untuk menikah. Dalam upacara
adat Desa Raja puncak upacara adat dalam perkawinan adalah upacara
pembelisan. Dalam proses ini biasanya kedua keluarga besar memiliki juru
bicara masing-masing yang nanti akan membicarakan berkaitan dengan
belis yaitu jenis belis dan jumlah belis. Tentang jenis belis dan jumlah belis
yang harus dibawa oleh pihak laki-laki harus sesuai dengan kesepakatan
melalui bheto lewa tali nao atau mendiskusikan tentang penetapan belis
antara pihak perempuan dan pihak laki-laki. Namun dalam penetapan belis
ada perbedaan antara perempuan (ata fai) yang belum memiliki anak
dengan yang sudah memiliki anak di luar perkawianan yang sah. Hal ini
senada dengan yang disampaikan oleh Bapak Dominikus DjoSeorang
tokoh masyarakat sebagai berikut; (Wawancara dilakukan pada tanggal 12
September 2018, pukul 16.00-17.05, bertempat di Rumah bapak
Dominikus).

“ Jadi dheo ngawu masyarakat desa raja babho ngawu antara fai
gae ta negha ne’e ana, ne’e fai gae ma lae ne’e ana. Ne’e perbedaan
ine, ngaza fai gae negha ne’e ana dheo ngawu pedha miu ta ngala,
ngaza pu’u de pihak fai gae pai ngawu bhadha eko lima, sapi eko lima,
ja eko lima, usa, lako, wea, wunu menge, tua, ne’e air susu ta ine.
Ngaza demu dheo ngawu tuga eko zua, eko zua ke mona apa. Uzu pu de
fai gae demu pai ngawu sama ke, ke pu de pihak ana aki demu talo, ke
ngala pihak ana aki ngala ea dhoa, bholo kebanyakan demu simo untuk
demu zua bahagia. Ngaza ta melae ne’e ana, ke demu menuntut ngawu

32
te demu pai tapi bholo ke mona harga mati latu, bilha pihak fai gae pai
ngawu eko lima zua, ngaza demu dheo eko lima eza ke demu simo”.

Terjemahan :
“Jadi dalam upacara masyarakat Desa Raja penetapan belis
antara perempuan yang sudah punya anak di luar perkawianan yang
sah dengan yang belum punya anak ada perbedaan ine, yaitu jika
perempuan yang sudah punya anak penetapan atau permintaan belis
tidak menuntut misalnya dari pihak perempuan meminta jumlah
belisnya 5 yaitu kerbau 5 ekor, sapi 5 ekor, kuda 5 ekor, kambing,
anjing, emas, siri pinang, moke, tambah lagi dengan uang air susu ibu,
tetapi jumlah belis yang dibawa hanya 2 itu tetap diterima oleh pihak
perempuan. Karena jika keluarga terlalu menuntut tetapi pihak laki-
laki tidak mampu membayar, bisa saja si laki-laki tersebut
meninggalkan si perempuan atau juga kebanyakan orang tua
menginginkan kebahagiaan anak. Danperempuan yang belum punya
anak belis yang diminta harus diupayakan atau dipenuhi oleh pihak
laki-laki kalaupun tidak sesuai tetapi tidak jauh perbedaan pemberian
belisnya misalnya diminta jumlah belisnya 7 tetapi yang diberi 6”.

Pernyataan diatas adalah argumen yang disampaikan oleh Toko Adat


yang menjelaskan bagaimana bisa terjadi perbedaan besaran jumlah belis
pada perempuan yang sudah memiliki anak dan yang belum memiliki
anak. Hal serupa juga disampaikan oleh Bapak Yoseph Kama dalam
kutipan wawancara sebagai berikut : (wawancara dilakukan pada tanggal
13 september 2018, pukul 13.00-13.45 bertempat di rumah bapak Yoseph
Kama)

“Bilha nge’e ine, sebenarnya mona ne’e perbedaan, bholo


perkembangan kita fai gae ta ne’e ana, pai ngawu pu’u de pihak fai

33
gae, pu’u de pihak ana aki demu dheo berapa saja demu simo. Ngaza ta
fai gae melae ne’e ana, ke demu selalu menuntut uzu ana demu jaga ko
waka.
Terjemahan :

“Jadi begini ine, sebenarnya dan seharusnya itu tidak ada


perbedaan, tetapi dengan perkembangan kita sekarang ini perempuan
yang sudah memiliki anak itu, permintaan belis dari keluarga
perempuan disanggupi dan dibawah oleh pihak laki-laki, berapa saja itu
tetap diterima oleh pihak keluarga perempuan. Terus kalau perempuan
yang belum memiliki anak belis yang diberikan lebih besar jumlahnya
dan belis yang mereka bawah itu harus sesusai dengan kesepakatan
kedua keluarga karena mereka menganggap anak mereka bisa menjaga
kehormatan keluarga”.

Selanjutnya disampaikan oleh Mama Patricia Nono sebagai keluarga


perempuan yang belum memiliki anak. (Hasil wawancara peneliti dengan
informan Patricia Nono (50 tahun). Wawancara dilakukan pada tanggal 8
september 2018 pukul 15.00-15.45 bertempat di rumah mama Patricia
Nono).
“Berdasarkan pengalaman selama di kampung ini ni yang mama
lihat ada perbedaan belis nona. Perempuan yang sudah memimiliki
anak belisnya lebih rendah bila dibandingkan dengan perempuan yang
sudah memiliki anak. Misalnya mama punya anak ini nikah dan belum
memiliki anak belisnya kami keluarga minta 7 yang dibawah oleh pihak
laki-laki 6 selisihnya tidak terlalu jauh dan kami keluarga menerima
karena pemberian belisnya tidak begitu jauh”.

34
Demikian juga sama halnya disampaikan oleh Mama Maria G. Wea.
(Hasil wawancara peneliti dengan informan Mama Maria G Wea (50
tahun). Informan adalah keluarga perempuan yang sudah memiliki anak.
Wawancara dilakukan pada tanggal 11 september 2018, pukul 16.15-17.05
bertempat di rumah mama Maria Goreti Wea).
“Pengalaman saya selama ikut acara adat untuk pengurusan belis
di kampung raja ini, yang sudah punya anak itu belis yang diberikan
berapapun oleh pihak keluarga laki-laki diterima oleh pihak keluarga
perempuan tanpa ada perdebatan soal rendahnya belis itu, karena
mereka anggap sudah baik kalau mereka punya anak nikah. Termasuk
saya juga, kami keluarga tidak menuntut belis yang keluarga laki-laki
bawa kami terima saja, sedang kalau perempuan yang belum punya
anak itu biasanya belis itu besar dan yang dibawa harus sesuai dengan
yang diminta”.

Hal yang sama juga disanpaikan oleh Bapak Andreas Ba.


Hasil wawancara peneliti dengan informan Bapak Andreas Ba (67
tahun). Informan adalah keluarga perempuan yang belum memiliki anak.
Wawancara dilakukan pada tanggal 7 september 2018, pukul 16.00-16.45,
bertempat di rumah Bapak Andreas Ba.
“Yang Bapak tau ini tidak ada perbedaan ine ee, karena menurut
bapak itu semua perempuan harus menerima belis yang sesuai dengan
yang diminta oleh keluarga perempuan biar perempuan itu sudah
punya anak dan belum punya anak”.

35
Hasil wawancara peneliti dengan informan Bapak anton godho (61
tahun). Informan adalah keluarga perempuan yang sudah memiliki anak.
Wawancara dilakukan pada tanggal 14 September 2018, pukul 19.45-
20.25, bertempat di rumah Bapak Anton Godho.
“Ya yang bapak lihat selama pengurusan belis termaksud anak saya
sendiri pemberian belisanya berbeda, karena perempuan yang sudah
punya anak itu dikatakan dia tidak bisa jaga kehormatan orang tua dan
dia punya diri itu ine, sehingga belis yang diminta orang tua tidak
menuntut apa yang pihak laki-laki beri diterima saja, tapi kalau
perempuan yang belum punya anak itu keluarga bisa saja menuntut
belis besar apa lagi kalau perempuan itu sudah punya kerja yang bagus,
yang baik”.

Belis atau mahar dalm suatu perkawinan adat dari masing-masing


daerah tentunya berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Menurut tokoh adat Bapak Dominikus Djo bagi masyarakat Desa Raja
belis merupakan urusan yang benar-benar serius, dibahas secara intensif
oleh dua keluarga besar, sampai ada kesepakatan di antara kedua belah
pihak. Sistem perkawinan masyarakat Desa Raja adalah sistem perkawinan
patrilineal (perkawinan yang menganut garis keturunan Ayah). Sehingga
pihak perempuan yang sudah disahkan secara adat dan sudah membayar
belis harus mengikuti pihak keluarga laki-laki.
Jodoh orang nagekeo yang masih memegang adat atau katakanlah
pada zaman dahulu ketika adat masih sangat kuat, ditentukan oleh orang
tua. Dan jodohnya adalah anak perempuan dari saudara laki-laki ibu yang
disebut dengan “li ‘ana tenge”. Bahkan anak perempuan dari saudara
kandung laki-laki ibu lebih diutamakan. Tetapi dengan masuknya agama
Katolik, kalau yang saudara sekandung tidak diperbolehkan lagi tetapi dari
saudara sepupu laki-laki lain. Antara saudara dan saudari kandung boleh

36
saling menikahkan anaknya sesudah generasi ketiga. Itupun syaratnya
keturunan dari saudara perempuan yang laki-laki yang mengambil istri dari
keturunan saudara laki-lakinya. Tidak boleh sebaliknya karena itu
melanggar adat yang disebut “ngada heli”(menantang rumah adat) atau
dikatakan “ebu walo poza wawi” (merebut kembali daging babi).
Dikatakan “ngada heli” karena dalam struktur adat Nagekeo saudara laki-
laki disebut “ana di’i sa’o” yang menjaga “sao pu’u” (rumah pokok) yang
dilengkapi dengan “tadu bhada heli hele” (barang-barang pusaka/adat).
Saudara perempuan disebut “ana nuka sa’o” (anak yang pergi ke rumah
suami). Jadi keturunan anak perempuan yang sudah ikut keluarga suami,
yang perempuan kawin dengan keturunan saudara laki-lakinya mka disebut
“ngada heli”. Dikatakan “ebu walo poza wawi” karena dalam tata cara
perkawinan adat Nagekeo, pihak keluarga laki-laki membawa “bhada ja
wea,tua ‘ae”, (kerbau, kuda, emas, moke) sementara keluarga permpuan
membalasnya dengan “sada hoba wawi” (kain adat dan babi). Kalau
terlanjur karena cinta misalnya harus ada denda adat yang disebut “pe ngia
nidi pasu” (untuk menutup rasa malu). Cyrilus Bau Engo,2002, 63
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan
pemberian belis pada perempuan yang sudah memiliki anak dan yang
belum memiliki anak terdapat perbedaan antara pemberian belis yang
diberikan terhadap perempuan yang sudah memiliki anak dengan
perempuan yang belum memiliki anak. Dimana yang menjadi pembeda
dari kedua belis tersebut ialah pada jumlah belis yang diberikan, pemberian
belis kepada perempuan yang sudah memiliki anak jumlah pembayaran
belisnya relatif lebih rendah atau kecil tergantung kemampuan dari
keluarga pihak laki–laki serta pihak keluarga perempuan tidak terlalu
menuntut jika pihak laki–laki belum bisa memenuhi permintaan dari pihak
perempuan. Alasanya dasarnya karena mereka ingin kebahagiaan anak
perempuan mereka. Selain itu perempuan yang belum memiliki anak

37
jumlah pemberian belis yang diberikan lebih tinggi ( besar) apalagi status
sosial dari kedudukan keluarga perempuan itu tinggi atau wanita yang akan
dibeliskan memiliki status pekerjaan dan pendidikan tinggi biasanya
keluarga perempuan sangat menuntut dan tidak bisa dikompromikan.
Jumlah belis yang diminta pihak keluarga perempuan yang paling tinggi
berkisar sampai 6 sampai 7 ekorhewan yang dimaksud adalah kerbau 7
ekor salah satunya kerbau jantan besar yang disebut “bhada coe ‘ae”, 6
ekor yang lain disebut kerbau pengikut. Dalam bahasa adat disebut bhada
eko tuju, ta mosa tau coe ‘ae, ta dheko eko wutu. Sesudah kerbau biasanya
dihitung kuda yang biasa disebut ja dheko bhada (kuda pengikut kerbau)
sesuai jumlah kerbau. Pada zaman dahulu hanya kuda tetapi zaman
sekarang, kuda bisa diganti dengan sapi, ataupun keduanya. Sapi juga harus
sesuai dengan jumlah kerbau yaitu 7 ekor. Lalu dilengkapi dengan bambu
moke yang disebut bulo tua kapi bhada. Bambu mokenya harus dipotong
sedemikian rupa yaitu pangkalnya harus dipotong ditengah ruas, jangan
tepat dibukunnya. Bambu mokenya harus terdiri dari 7 ruas dengan
ungkapan dalam bahasa adat “alu lima esa, lima zua po”. Selain kerbau,
kuda, sapi dan moke, lazimnya keluarga laki-laki membawa juga kelapa
yang dihitung per empat buah satu rangkaian (liwu) sesuai kemampuan,
ayam beberapa ekor, kambing dan domba beberapa ekor dan satu dua ekor
anjing. Juga ada moke arak dalam bambunyayang lebih pendek atau dalam
jerigen. Biasanya yang membawa ayam, moke dan kelapa adalah para
tetangga (ulu eko padhi bi) yang ikut berpartisipasi (papa kesa
dhadho).Emas (wea teo) yang digantung di telinga (inga) perempuan.
Selain hewan hewan di atas pihak laki–laki juga harus menyiapkan uang
sebanyak 10 juta dimana uang ini merupakan uang air susu ibu.
Ini adalah belis yang normal dan biasa terjadi. Jumlah dan jenis sesuai
kesepakatan. Tetapi bisa terjadi ada kesepakatan lain yang dalam bahasa
daerah disebut “papa doi” (saling meminta). Dalam hal ini ada permintaan

38
khusus misalnya ada permintaan ja ‘a’i (kuda pilihan untuk tunggangan),
teo ta ine (emas untuk ibunya), pusi be ta ema (isi bere untuk bapaknya,
biasanya juga emas), ada ja toda ha’e (kuda untuk mengangkut makanan
babi), ada ja deke (kuda sebagai tongkat).
Berdasarkan penuturan tokoh adat Bapak YosefKama bahwa dalam
upacara adat pemberian belis masyarakat Desa Raja pihak laki-laki
sebenarnya menerima balasan dari pihak keluarga perempuan seperti
Babi(wawi),Bere(tas adat), Piring, Kula(Pengganti piring), tikar( tee),
bantal(lani), kain adat, kopi, gula, kue adat ( vilu dan kembang goyang)dan
rokok. Selain itu jika pihak laki-laki yang sudah memenuhi semua tunutuan
adat dan tuntutan keluarga, pihak pria boleh membawa si wanita kembali
ke rumah orangtua laki-laki untuk beo sao (mengenal rumah) kurang
lebihselama empat hari setelah itu si wanita ini boleh kembali kerumahnya
dan setalah 4 hari si wanita boleh kembali ke rumah orang tuannya setelah
itu keduanya boleh melangsungkan pernikahan atau pemberkatan secara
agama. Namun pembelisan bisa dibayar pada saat perkenalaan kedua
keluarga besar orang tua wanita dan pria. Disaat perkenalan pihak keluarga
laki-laki boleh membawa hewan seperti kerbau, sapi, babi dan kambing,
supaya pada saat tau ngawu atau belis keluarga laki-laki hanya membawa
sebagian jumlah belis yang belum terselesaikan.
Dari penjelasan beberapa informan-informan mengenai perbedaan
belis atau mahar di atas peneliti juga menyimpulkan beberapa makna
pemberian belis baik terhadap perempuan maupun terhadap pihak laki-laki.
1. Perkawinanan adat atau belis yang dilakukan mengikat persaudaraan
antara keluarga pria dan wanita.
2. Perkawinan adat membutuhkan persiapan matang baik secara biologis,
maupun secara ekonomi.
3. Perkawinan adat mengangkat harkat dan martabat perempuan dan
keluarga.

39
4. Perkawinan adat menjamin hak-hak anak yang dilahirkan.
5. Perkawinan adat membutuhkan keterlibatan kerabat, handai taulan dan
tetangga.

4.3.2 Proses-proses Perkawinan Adat Desa Raja


Menurut Engo (2002;61) proses-proses perkawinan dari masyarakat Nage
dijelaskan sebagai berikut:

1. Persiapan/Pendewasaan

Untuk menandakan seseorang sudah akil balik ada upacara “gedho


logo” (sunat bagi anak laki-laki) dan“koa ngi;i” (potong gigi bagi anak
perempuan). Khusus anak perempuan, bila belum potong gigi ternyata hamil
maka menurut kepercayaan setempat akan menimbulkan kemarau
panjang.Dan bila ada kemarau panjang kemudian ketahuan ada anak gadis
yang hamil yang melanggar adat yang disebut “sala we’e ngi’i
bha”melakukan hubungan seks sebelum potong gigi) maka dia akan dipanggil
(diteriaki) pada malam hari oleh orang kampong lain dengan menyebutkan
nama orang yang bersalah dan mereka harus memotong kerbau sebagai denda
adat agar hujan segera turun. Upacara “gedho logo”dan ”koa ngii”, dahulu
sangat ketat dilaksanakan tetapi sekarang ini jarang sekali orang
melakukannya. Padahal ini penting untuk menandakan bahwa orang baru
boleh menikah setelah siap secara biologis. Soal teknik sunat dan potong
giginya barangkali yang perlu disesuaikan dengan pertimbangan-
pertimbangan kesehatan dan situasi zaman sekarang.

Upacaranya sendiri sebenarnya harus tetap dijalankan, karena ada nilai


yang mengajarkan seseorang baru berumah tangga setelah cukup umur, ada
nilai-nilai budaya penghormatan terhadap lingkungan dan menghargai norma
dan tata nilai adat yang baik. Kalau sunat dan potong gigi mengacu kepada

40
persiapan biologis, maka orang Nagekeo juga menekankan persiapan social
ekonomi. Untuk ini diungkapkan melalui ungkapan adat yang mengatakan:
Geze ne’e fai, kema kole ‘uma, kaza kole tua (sebelum mencari isteri harus
tahu dulu kerja kebun dan menyadap/iris tuak/moke).

2. Peminangan (Tana Ngale)

“Tana ngale” ini suatu tahapan penting karena tahapan inilah yang
menentukan harkat dan martabat perempuan dan juga mendudukung kuatnya
kedudukan si perempuan secara adat dalam keluarga laki-laki. Karena dengan
dilaksanakan tahapan ini maka terpenuhilah tuntutan adat tentang kuatnya
suatu perkawinan adat yaitu “Ngusa ne’e ta’adadho padha lodo teda, ngusa
ne’e ta’a tula ‘ulu wa’u muzi”. (Harus ada orang yang datang melamar yang
ditandai dengan datangnya orang yang melamar di rumah keluarga
perempuan).

Yang melamar biasanya utusan keluarga laki-laki, bisa perempuan atau


ibu-ibu, bisa laki-laki atau bapak-bapak. Dan yang melamar biasanya
menggunakan symbol dengan mengatakan bahwa mereka akan minta benih/
bibit (pai wini ngani), atau minta kain (pai bo’a wozo). Pada waktu tana ngale
belum ada belis. Tetapi sebagai tanda persudaraan biasanya mereka yang
datang melamar membawa ayam, siri pinang, dan moke. Biasanya pihak
perempuan sudah tahu sehingga mereka pun menyiapkan santapan ala
kadarnya untuk makan bersama (nalo).

Kalau lamaran sudah diterima, biasanya mereka disebut sudah ada


tunangan (ne’e nasa nae/ne’e nasa lawa). Sang pemuda sudah boleh
mengunjungi sang anak gadis di rumah orang tuanya. Secara adat satiap kali
daatang harus membawa ayam, siri pinang, dan moke atau paling kurang gula
pasir, satu atau dua kilo gram.

41
3. Teo Tada

Teo tada, atau sering juga disebut tada teo atau u’u odhoa artinya
menggantungkan emas ditelinga sebagai tanda sudah dilmar atau larangan
untuk jangan didekati pemuda lain. Setelah lamaran diterima maka orang tua
perempuan akan mengatakan kepada pihak laki-laki bahwa peristiwa lamaran
hanya diketahui oleh kedua keluarga yang akan berbesanan. Namun orang
sekampung dan orang lain belum tau untuk itu keluarga perempuan
menyarankan agar keluarga laki-laki datang melaksanakan tahapan adat teo
tada atau tada teo.

Pada tahap ini secara adat, orang tua laki-laki akan membawa 1 ekor
kerbau (bhada sa eko), 1 ekor kuda (ja sa eko), dan satu pasang emas (wea sa
tenga). Dan sebagaimana lazimnya juga dibawa ayam, siri pinang, dan moke.
Orang tua akan menjamu makan dengan lauk daging babi cukup untuk
dimakan habis sehingga tidak ada yang dibawa pulang (lama aze ma mona).
Namun ketentuan moi ga’e dan ana weta berlaku dalam hal makan terutama
lauknya. Ana weta akan dihidangkan daging babi sementara moi ga’e
disiapkan daging ayam dan kambing, atau domba, atau anjing. Pada
kesempatan ini akan langsung berunding lagi waktu untuk tahap selanjutnya
yaitu beo sa’o.

4. Beo sa’o

Setelah tahapan teo tada maka sesuai kesepakatan dilanjutkan dengan


tahapan beo sa’o (mengenal rumah). Tahapan beo sa’o ini adalah tahapan
dimana kedua keluarga sudah semakin akrab. Pada tahap ini sesuai
kesepakatan pihak laki-laki akan membawa 1 ekor kerbau, 1 ekor kuda, dan
satu pasang emas dan ayam, siri pinang dan moke. Atau berdasarkan
kesepakatan bisa bawa dua ekor kerbau, dua ekor kuda dan dua pasang emas
(bhada eko dhua, ja eko dhua, wea teo dhua).

42
Pada saat “beo sa’o” ini, biasanya dilakukan perundingan untuk
mencapai kesepakatan apakah dalam proses pengurusan belis selanjutnya
kedua keluarga memerlukan perantara atau juru bicara yang disebut bheto
lewa tali nao atau a’I zala atau kedua keluarga berbicara secara langsung.
Belis yang dibicarakan biasa disebut ulu liwu, kata bahasa nage yang berarti
jumlah. Yang dimaksudkan adalah jumlah belis berupa kerbau, kuda,
kambing, domba dan emas dan permintaan lainnya. Kalau kedua keluarga
sepakat untuk bicara secara langsung maka pada kesempatan itu langsung
dibicarakan tentang jumlah dan jenis belis. Tetapi bila menggunakan
perantara maka pihak keluarga perempuan akan melakukan perundingan
keluarga untuk menentukan jumlah dan jenis belis baru sang perantara
menyampaikan kepada keluarga laki-laki. Mereka akan sepakat menentukan
dua orang sebagai bheto lewa tali nao, biasanya satu orang ditentukan oleh
keluarga perempuan, satu orang ditentukan oleh keluarga laki-laki. Bheto lewa
tali nao yang akan menyampaikan permintan belis dari pihak keluarga
perempuan ke pihak keluarga laki-laki.

Pada kesempatan ini, pihak keluarga perempuan akan memotong baabi


untuk menjamu keluarga laki-laki. Dan biasanya daging babi yang disiapkan
karena hanya khusus untuk keluarga laki-laki saja (‘ana weta) maka biasanya
tidak habis. Untuk pihak keluarga perempuan akan disiapkan oleh pihak
keluarga laki-laki kambing, domba, anjing, dan ayam untuk dijadikan daging
bagi keluarga perempuan. Dalam proses adat perkawinan maka pihak
keluarga laki-laki (ana weta) hanya makan daging babi. Pihak keluarga
perempuan (moiga’e) tidak boleh makan daging babi karena hal ini pantang
menurut adat Nage karena mereka takut melanggar adat yang disebut ka ngolo
yaitu makan daging babi untuk ana weta yang dapat menyebabkan orang yang
makan daging babi tersebut selalu gagal meminjam sesuatu dari orang lain
(sogo mona ngala), dan ini biasanya dimanfaatkan oleh pihak keluarga laki-

43
laki untuk mengajak sang calon istri ke rumah keluarga laki-laki yang biasa
disebut dengan istilah “tu lama poza” (antar dagi yang sisa). Atau memang
keluarga laki-laki berniat untuk memanggil (enga) sang calon istri ke rumah
keluarga laki-laki.

Untuk “tu lama poza” dan “enga” ini dilakukan bila keluarga laki-laki
sudah siap dengan belis. Karena menurut ketentuan adat, “tu lama poza dan
enga”, hanya dibolehkan 3 hari 3 malam. Artinya setelah tiga hari tiga malam
pihak keluarga laki-laki harus mengantar belis kepada keluarga kepada
keluarga perempuan sesuai dengan permintaan keluarga. Bila lewat dari
waktu yang ditentukan adat akan dikenai denda adat “keso kobe laga leza”
(melanggar ketentuan waktu), dan kalau kelamaan sampai anak
perempuannya hamil maka akan dikenakan denda “keso ine laga ame”
(melanggar ketentuan orang tua).

Dalam adat perkawinan menurut budaya Nage juga dikenal istilah wa’e
‘ana atau iwa wae ‘ana. Maksudnya, karena anak perempuan sudah resmi
dilamar dan sudah sampai dengan tahap beo sa’o, anak perempuan sudah
disebut anak mantu (‘ana tu’a).

5. Tau Ngawu

Tau ngawu, atau sering juga disebut tu teo artinya membawa belis. Pada
saat “ beo sa’o” sudah disepakati tentang apakah pakai juru bicara atau
berbicara langsung. Baik bicara langsung atau melalui juru bicara, yang
dibicarakan berkaitan dengan belis yaitu jenis dan jumlah belis.tentang jenis
belis, yang harus dibawa oleh keluarga laki-laki adalah : kuda, kerbau, emas,
sapi, kambing, domba, anjing, ayam, kelapa, pinang, siri, dan moke. Pada saat
membawa belis yang dalam bahas adat disebut “tau ngawu, tu teo”. Jumalah
dan jenis hewan yang dibawa sesuai dengan kesepakatan, baik melalui
pembicaraan langsung atau melalui bheto lewa tali nao. Dalam menentukan

44
jumlah belis ada patokan yang sering digunakan patokan pertama adalah belis
mamanya, belis tantenya atau belis kakak perempuannya. Ada yang
berpatokan pada jumlah orang yang akan menerima belis yaitu adik kakak
dari bapaknya atau saudara laki-lakinya yang sudah menikah dan ada satu hal
yang akan diminta oleh keluarga perempuan selain dengan patokan seperti
tersebut diatas, bila mana dalam keluarga pihak perempuan ada dua atau 3
orang gadis, sementara gadis yang dilamar memiliki kakak perempuan maka
juga ada permintaan belis yang disebut laga ka’e atau bae ka’e (melangkahi
kakaknya). Berkaitan dengan ini bila mana pemuda yang akan menikah
memiliki kakak laki-laki maka keluarga laki-laki meminta kain dari keluarga
perempuan melalui anak gadisnya untuk memberikan laga ka’e atau bae ka’e.
Hal ini diminta sebenarnya bukan soal barang tetapi semacam permohonan
maafdari sang adik kepada kakaknya.

Orang Nage percaya bahwa kalau adat laga ka’e atau bae ka’e tidak
dibuat maka sang kakak akan berat jodohnya atau sulit mendapatkan jodoh.
Jumlah hewan minimal 2, tetapi jangan 3 ekor karena angka 3 yang berkaitan
dengan pemberian oleh orang nage dianggap sebagai maki (ta momo). Hewan
yang utama dalam belis adalah kerbau. Kerbau ini diibaratkan dengan bambu
moke. Bila pihak laki-laki sepakat 2 ekor kerbau misalnya mereka
mengatakan bahwa mereka membawa 2 bambu moke (edi tua bulo dhua).

6. So topo seli bhuja, ti’i te’e pati lani

So topo seli bhuja, ti’i te’e pati lani (sahnya perkawinan adat).
Perkawinan adat akan disahkan pada saat pengataran belis. Pada saat
pengataran belis, rombongan keluarga laki-laki yang membawa belis selalu
didahului oleh sepasang suami istri yang adalah kakak adik satu suku dari
keluarga laki-laki yang membawa “topo bhuja”. Kalau suaminya membawa
topo bhuja, maka istrinya membawa ayam jantan merah, bertelinga putih

45
(manu lalu to, wea bha), membawa tempat siri pinang (ipe nata beu) yang
berisi pinang, kemudian diatasnya ditaruh siri dimana sejumlah batang sirih
diikat dengan tali pandan, sejumlah 4-5 ikat (heu zae ‘au zeta wawo nata ne’e
ta ngae, ne’e ta pongo, pongo wutu lima), kemudian kedalam bere tempat siri
pinang (ipe nata heu) dimaksukan sebuah pisau kecil yang disebut “tudhi oti
nata”.

Dari tahapan-tahapan diatas berikut adalah tanggapan yang disampaikan


oleh Bapak Dominikus Djo:

Tahap yang pertama ine, tahap persiapan diri atau tahap pereknalan,
mereka yang mau menikah itu harus ada persiapan diri. Ditahap ini
perempuan sudah siap untuk menikah atau hidup berumah tangga dan
memperkenalkan kedua orang tua.Tahap kedua, tahap peminangan. Tahap
keluarga laki-laki datang bawa dengan ayam, siri pinang moke, kopi gula.
Tahap ini belum ada belisnya karena keluarga laki-laki datang untuk lamar
atau memberitahu keluarga kalau mereka ingin menjadi si anak
perempuan dari keluarga ini untuk jadi anak mantu mereka. Tahap ketiga,
Resmi. Ditahap ini keluarga laki-laki sudah membawa setengah belis
perempuan atau kalau lamaran sudah diterima berarti di tahap ini mereka
bawa kerbau 1 ekor, sapi 1 ekor, kuda 1 ekor, kambing 1 ekor, anjing untuk
dibunuh 1 ekor dengan emas 2 pasang.di tahap ini juga mereka bisa bawa
si perempuan untuk tinggal 3 hari di rumah keluarga laki-laki (beo sa’o)
setalah tiga hari keluarga laki-laki antar kembali perempuan ke rumah
orang tua. Karena ditahap ini sudah ada setengah belis yang diberikan.
Sebelum ke tahap selanjutnya pada tahap ini pihak keluarga perempuan
yang sudah memiliki anak akan meminta denda adat (waja na) untuk
menutup rasa malu (pe ngia nidi pasu )tergantung pada pihak keluarga
perempuan yang meminta biasanya 1 ekor kerbau. Setelah itu tahap
membawa belis. Dimana tahap ini seluruh belis dibawa oleh keluarga laki-

46
laki kepada keluarga perempuan dan pernikahan adat telah selesai (so topo
seli bhuja, ti’i te’e pati lani) . Selanjutnya pengurusan nikah.

Selain itu juga disampaikan oleh bapak wilhelmus nai dalam kutipan
wawancara sebagai berikut :(wawancara dilakukan pada tanggal 13 september
2018, pada pukul 17.00-17.35 bertempat di rumah Bapak wilhelmus Nai)

Tahapan yang pertama biasanya perkenalan. Dimana mereka saling


memperkenalkan keluarga. Tahapan yang kedua, resmi dimana pihak laki-
laki membawa setengah belis kepada pihak keluarga perempuan sehingga
mereka berdua sudah dikatakan bertunangan dan perempuan tersebut
sudah bisa dibawa oleh keluarga laki-laki, tetapi setelah itu diantar kembali
kedapa keluarga perempuan, selanjutnya tahap pembawaan belis, dimana
seluruh belis yang diminta akan dipenuhi oleh pihak keluarga laki-laki dan
membawanya kepada pihak keluarga perempuan. Dalam tahap ini ada
yang namanya pembayaran denda adat oleh perempuan yang sudah
memiliki anak yaitu bisa saja kerbau 1 sampai 2 ekor tergantung pihak
keluarga yang memintanya. Setelah tahap pembawaan belis maka tahap
selanjutnya pemberkatan nikah atau persiapan untuk menikah.

Dari hasil wawancara diatas penulis menyimpulkan bahwa tahapan-


tahapan perkawinan adat yang dilakukan oleh masyarakat desa raja, tahapan
yang pertama dilakukan adalah tahapan persiapan diri dimana ditahap ini
terdapat ritual untuk kedua anak yaitu anak perempuan dan anak laki-laki
sehingga mereka dikatan telah siap atau telah mempersiapakan diri untuk
melakukan pernikahan. tahapan selanjutnya adalah tahapan peminangan yang
dimana keluarga laki-laki datang atau berkunjung kepada keluarga perempuan
untuk membicarakan tentang hubungan dan keseriusan dari kedua anak
mereka, dan ingin melanjutkan hubungan mereka agar bisa berlanjut ke tahap

47
pernikahan. dalam tahap ini tidak ada pembelisan kepada perempuan tersebut
karena pada tahap ini keluarga laki-laki hanya datang untuk memberitahukan
bahwa pihak keluarga laki-laki akan melamar si perempuan. Tahapanyang ke
tiga yaitu resmi atau disebut juga dengan tahapan lamaran ditahap ini si
perempuan sudah menerima setengah belis dari pihak keluarga laki-laki dan
pernikahan adat mereka sudah dikatakan resmi atau sudah menjadi pasangan
tetapi belum diperbolehkan satu rumah karena belum diikat oleh pernikahan
agama. Tahapan yang keempat, tahapa dimana pihak keluarga laki-laki
memenuhi setiap penentuan belis yang diminta oleh pihak keluarga
perempuan. Tahapan untuk seorang perempuan yang sudah memiliki anak
semua tahapannya sama dengan tahapan yang dilakukan oleh pihak keluarga
perempuan yang belum memiliki anak, pembeda dari tahapan kedua
perempuan ini terletak pada pemberian denda adat kepada perempuan yang
sudah memiliki anak.

4.3.3 Fungsi dan Nilai Belis


Budaya belis merupakan suatu budaya yang diwariskan dari nenek
moyang kepada masyarakat. Budaya belis adalah sebagai bentuk
penghargaan, penghormatan kepada perempuan dan keluarganya, belis
sebagai pengikat hubungan perkawinan, belis juga merupakan alat pengesahan
perkawinan, lambang status perempuan. Belis juga mempunyai makna yang
sangat penting dalam perkawinan adat.

Belis dalam adat Nage biasanya berupa hewan ternak berupa kerbau,
sapi kuda, kambing, anjing, ayam, dan ada juga berupa emas, moke, siri
pinang dan sejumlah uang sebagai air susu ibu.

Fungsi belis sendiri ada bermacam-macam yaitu sebagai berikut : alat


untuk mempererat kedua keluarga, sebgai penentu sahnya perkawinan, dan
sebagai penanda bahwa si perempuan telah keluar dari keluarga asalnya.

48
Nilai belis merupakan pengikat dimana yang terjadi adalah saling
memberi satu sama lain. Belis mempunyai nilai tersendiri yaitu sebagai tanda
penghargaan. Hal ini berkaitan dengan adat menetap setelah menikah. Nilai
belis juga pemersatu kedua belah pihak, belis menjadi pemersatu kedua
keluarga. Dan nilai belis juga untuk kehormatan dan martabat manusia.
(https://oranglamalera.wordpress.com/2013/03/15/nilai-belis-lamaholot/)

Dalam hal fungsi dan nilai dari belis sendiri beberapa informan
memberikan jawaban sebagai berikut :

Wawancara dengan Bapak Dominikus Djoselaku toko adat di Desa


Raja.

“Fungsi dari belis sendiri adalah untuk memperkuat ikatan


persaudaraan dan juga untuk menyatuhkan dua keluarga yang berbeda
berkat ikatan pernikahan. Dan nilai belis yaitu untuk menghargai harkat
dan martabat perempuan, dan juga kedua orang tua”.

Hal yang sama juga dituturkan oleh informan Bapak Anton Godho.

“Fungsi belis merupakan penyatuan dua keluarga dan nilai belis


sebagai penghargaan kapada pihak perempuan”.

Wawancara mendalam juga dilakukan dengan Mama Yusvina Una


Wea sebagai berikut :
“Kalau fungsi belis sendiri merupakan pengikat kedua keluarga
sehingga menjadi satu keluarga. Dan nilai belis sebagai penghormatan
kepada jasa orang tua dan kepada perempuan yang ingin dinikahi.

Bagi masyarakat Nage, belis menjadi tanda bahwa perempuan tidak


begitu saja masuk kedalam suku suaminya. Perempuan harus dihargai. Pihak

49
laki-laki menyerahkan sejumlah uang, barang dan hewan untuk meresmikan
masuknya sang perempuan ke suku keluarga laki-laki. Belis dalam hal ini
bertujuan menghargai martabat kaum perempuan. Selain itu juga agar tidak
terjadi perceraian. Dengan adanya belis seorang laki-laki merasa bahwa
istrinya adalah bagian dari hidupnya. fungsi dan nilai belis sebagai sesuatu
yang penting karena belis sendiri merupakanpemersatu antara kedua suku dan
keluarga yang berbeda. Dengan memberi belis dan menerima belis, kedua
suku dan dan keluarga resmi memiliki pertalian kekerabatan. Selain sebagai
tanda pertalian kekerabatan suku atau keluarga, belis juga merupakan simbol
penghargaan terhadap nilai luhur perkawinan. Karena setelah perkawinan
seseorang akan mendapat status sosial yang baru, sebagai suami dan istri, dan
sebagai ayah dan ibu. Meraka mengganggap bahwa ini sebagai tanda baik
karena dengan ini terjalin juga hubungan yang lebih luas dengan
dilangsungkan pernikahan anak-anak mereka.

4.4 Implikasi Sosiologis


Belis memiliki fungsi sosial sebagai perekat hubungan sosial
kekerabatan di dalam suatu rumpun keluarga.Belis bukanlah suatu beban yang
menghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat karena merupakan tradisi
yang sudah diyakini manfaat dan kebaikannya, terutama dalam menjaga nilai
kekerabatan, gotong-royong, dan kebersamaan dalam masyarakat. Dikatakan
menjaga nilai gotong-royong karena dalam mempersiapkan belis yang
ditentukan pihak keluarga perempuan, sedangkan pihak keluarga laki-laki
akan mengumpulkan belis sesuai dengan jumlah belis yang diminta oleh pihak
perempuan.Budaya belis dalam perkawinan adat, masih dilestarikan oleh
masyarakat Desa Raja, Kabupaten Nagekeo sampai saat ini.Kebudayaan ini
merupakan salah satu kebudayaan yang sering dilakukan oleh nenek moyang
dan kemudian dilestarikan oleh generasi penerusnya atau masyarakatnya
sehingga menjadi kebudayaan atau tradisi yang sering dilakukan oleh

50
masyarakat. Kebudayaan ini mengandung nilai-nilai luhur yang
mencerminkan luhurnya budaya orang Timur

Menggunakan dasar teori pertukaran dari PeterBlau, teori ini


mengatakan bahwa berkaitan dengan tindakan sosial yang saling memberi
atau menukar objek-objek yang mengandung nilai antar individu berdasarkan
tatanan sosial tertentu. Adapun objek yang dipertukarkan bukanlah benda
yang nyata, melainkan hal-hal yang tidak nyata.

Kaitan antara teori pertukaran dari Peter Blau dengan penelitian


tersebut adalah bahwa besaran belis yang diberikan kepada perempuan yang
sudah mempunyai anak dengan perempuan yang belum mempunyai anak
sedikit berbeda.Berbeda bukan dalam hal belis melainkan dalam besaran
jumlah belis yang di bawa atau diberikan kepada pihak perempuan.Dalam hal
ini perempuan yang belum memiliki anak mendapatkan belis dengan jumlah
yang lebih besar daripada perempuan yang sudah memiliki anak. Jumlah
besaran belis yang diberikan kepada perempuan yang belum memiliki anak
misalnya pihak keluarga perempuan meminta belis dengan jumlah 7 dalam hal
ini 7 ekor kerbau, tujuh ekor sapi, tujuh ekor kuda, kambing, anjing dan ayam.
Sedangkan peda perempuan yang sudah memiiki anak, maka besaran belis
yang diberikan bisa setengah jumlah belis dari perempuan yang belum
memiliki anak.

Perbedaan besaran belis antara perempuan yang sudah memiliki anak


dan belum memiliki anak di kabupaten Nagekeo jika dilihat dari teori
pertukaran oleh Peter Blau maka, belis yang diberikan sama-sama
menguntukan kepada kedua belah pihak dimana pihak laki-laki memberi atau
memenuhi belis yang diminta oleh pihak keluarga perempuan, sedangkan
pihak keluarga laki-laki juga mendapat balsan dari pemberian belis oleh pihak
keluarga perempuan dan juga pihak keluarga perempuan melepaskan si

51
perempuan untuk ikut bersama keluarga laki-laki dan tinggal bersama dengan
si laki-laki di rumah keluarga lak-laki.

52

Anda mungkin juga menyukai