Politik Dalam Proses Penganggaran Kesehatan
Politik Dalam Proses Penganggaran Kesehatan
Politik anggaran merupakan suatu proses intervensi yang dilakukan oleh para
aktor untuk memengaruhi alokasi anggaran yang akan diperoleh, untuk
memenuhi preferensi kelompok atau individu dari para aktor tersebut. Dengan
kata lain merupakan tarik-menarik kekuatan politik dari para aktor dalam proses
anggaran dan penentuan alokasi anggaran untuk memenuhi preferensi para
aktor. Politik anggaran yang dimaksud disini adalah mulai dari proses
penganggaran sampai dengan alokasi dan distribusi anggaran.
Kemenkeu
menetapkan
pagu sementara
Penetapan
pagu Pembahasan
definitif di anggaran di
DPR DPR
Politik anggaran yang terjadi di DPR pada umumnya berkaitan dengan program
yang bersifat fisik seperti pembangunan rumah sakit, baik melalui dana tugas
pembantuan maupun DAK. Penelitian yang dilakukan oleh Herawati mengatakan
bahwa pembagian anggaran rumah sakit yang disalurkan melalui dana tugas
pembantuan lebih banyak diatur oleh DPR. Pemegang program di Kemenkes
sering terkaget-kaget karena pagu definitif yang ditetapkan mengalami
perubahan yang sangat tajam (sekitar 90%) dibanding dengan pagu sementara
yang diusulkannya. Padahal pemegang program rumah sakit di Kemenkes
dalam membagi anggaran baik untuk rumah sakit vertikal maupun daerah
telah menggunakan formula. Namun ternyata formula anggaran yang telah
dibuat oleh pemegang program rumah sakit tidak dapat memengaruhi keputusan
politik DPR. Responden yang berasal dari DPR mengatakan sering terjadi konflik
internal di DPR, hal ini disebakan karena beberapa anggota banyak yang
merambah ke daerah yang bukan merupakan perwakilan konstituennya
Menkes menuturkan dalam tiga tahun terkahir, secara nominal anggaran
Kementerian Kesehatan mengalami penurunan, namun tidak mengurangi esensi
dan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada masyarakat. Hal ini merupakan
cerminan anggaran tepat guna
APBN Kementerian Kesehatan tahun 2023 mencapai Rp85,5 triliun dari Rp.
178,7 Triliun total anggaran kesehatan, atau sebesar 47,8%. Di dalamnya
termasuk anggaran untuk pembayaran iuran JKN bagi 96,8 juta jiwa peserta PBI
sebesar Rp 46,5 triliun.
Rincian anggaran Kesehatan dimaksud meliputi:
Rp5,9 triliun (7,0%) untuk Transformasi Layanan Primer
Rp18,4 triliun (21,5%) untuk Transformasi Layanan Rujukan
Rp1,4 triliun (1,6%) untuk Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan
Rp46,6 triliun (54,5%) untuk Transformasi Pembiayaan Kesehatan
Rp3,8 triliun (4,4%) untuk Transformasi SDM Kesehatan
Rp0,5 triliun (0,5%) untuk Transformasi Teknologi Kesehatan
Rp8,9 triliun (10,4%) untuk kegiatan rutin dan dukungan manajemen.
Kementerian Kesehatan juga berperan dalam menentukan pemanfaatan Dana
Transfer ke Daerah (TKD) Bidang Kesehatan Tahun 2023 sesuai transformasi
kesehatan, dengan total anggaran Rp51,7 triliun, untuk Dana Alokasi Khusus
(DAK) Fisik, DAK Nonfisik, dan Specific Grant Dana Alokasi Umum Bidang
Kesehatan.
DAK Fisik sebesar Rp. 12,9 Triliun dialokasikan untuk pembangunan,
rehabilitasi, dan pemenuhan alat kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan
primer dan rujukan. Sementara DAK Non Fisik sebesar Rp. 12,7 Triliun
dialokasikan untuk biaya operasional puskesmas, pemenuhan obat esensial dan
Bahan Medis Habis Pakai serta peningkatan kinerja tenaga kesehatan dan
kader. Sebanyak Rp. 26 Triliun dialokasikan untuk spesific grant Dana Alokasi
Umum yang diarahkan untuk prioritas pemenuhan layanan primer dan rujukan.
Salah satu contoh model politik anggaran di Daerah seperti dibawah ini, sektor
kesehatan memang telah memperoleh anggaran 10% dari APBD, namun yang
dikelola oleh Dinas Kesehatan hanya 30%, sedang 70% dikelola oleh SKPD
(Satuan Kerja Perangkat Daerah)/ instansi lain termasuk Setda (Sekretariat
Daerah) dan Legislatif. Dari 30% yang dikelola Dinas Kesehatan, 70%
dibantukan ke daerah dalam bentuk Bantuan Keuangan Gubernur dan hanya
30% dikelola oleh Dinas Kesehatan. Dapat disimpulkan bahwa Dinas
Kesehatan hanya mengelola 10% dari 10% APBD untuk sektor kesehatan
TAPD
Legislatif
Dinkes setda
SKPD
Lain MASYARAKAT
LSM
Kab/ kota
Banyak daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah, tidak dapat memberikan
alokasi anggaran untuk sektor kesehatan yang memadai. Sebaliknya daerah dengan
kapasitas fiskal yang tinggipun ternyata tidak mengalokasikan anggaran untuk sektor
kesehatan yang memadai, karena komitmen terhadap sektor kesehatan rendah. Oleh
karena itu perjuangan para aktor kesehatan harus diberikan apresiasi yang tinggi,
karena dapat membawa policy problem tentang anggaran kesehatan dalam agenda
kebijakan. Agenda setting terjadi karena tercapai policy window, dimana politics stream,
policy stream dan problem stream dapat bertemu dalam satu titik.
Proses penganggaran merupakan suatu proses yang paling pelik dan unik karena
penuh dengan konflik kepentingan, terjadi tarik- menarik dari para aktor untuk
memenuhi preferensi mereka. Konflik rebutan kekuasaan terjadi baik pada saat
penetapan pagu indikatif, pagu sementara maupun pagu definitif. Sektor kesehatan
pada umumnya tidak mempunyai kekekuatan untuk memperjuangkan anggaran yang
diusulkan, mereka hanya pasrah pada kekuatan para aktor di lingkungan makro
organisasi kesehatan seperti Kemenkeu dan DPR untuk Pusat, TAPD dan DPRD
untuk Daerah.
Aktor yang berada di DPR menggunakan kekuasaannya untuk melakukan perubahan
anggaran yang telah diusulkan oleh Kementerian Kesehatan. Pada umumnya mereka
berdalih memperjuangkan Daerah yang merupakan perwakilian konstituennya.
Meskipun pada ujung-ujungnya adalah untuk memenuhi preferensi kelompok atau
partainya. Konflik terjadi di lingkungan internal DPR karena beberapa diantaranya
merambah Daerah yang bukan merupakan kekuasaannya.
Proses penganggaran di Daerah sangat dipengaruhi oleh TAPD dan DPRD. Hal ini
disebabkan karena belum optimalnya komitmen dari para aktor pengambil kebijakan
baik di lingkungan eksekutif maupun legislatif. Keadaan tersebut diperkuat dengan
ketidak percayaan kepada sektor kesehatan apakah anggaran yang diusulkan
memang sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Kani dkk. Selain itu, kemungkinan juga untuk
memenuhi preferensi politik dari aktor besar.
Proses penganggaran merupakan ’’black box” yang sesungguhnya sangat sulit untuk
diketahui secara detil. Easton dalam Buse et al mengatakan bagaimana terjadinya
perubahan dalam proses pembuatan kebijakan sehingga dianggap sebagai kotak
hitam atau “black box”.Dalam proses penetapan anggaran hal ini bisa diasumsikan
bahwa anggaran yang diusulkan oleh Kemenkes, ketika ditetapkan oleh DPR terjadi
perubahan anggaran.