Anda di halaman 1dari 5

Kebijakan Pengeluaran Pemerintah

A. Public Expenditures Management / Managing Public Expenditures


Secara umum, dalam Budgeting (anggaran) sektor publik / pemerintah, kita telah mengenal istilah
Public Financial Management (PFM). Dalam pokok bahasan kali ini, terdapat istilah Public Expenditure
Manegement (PEM). Richard Allen dalam bukunya yang berjudul Managing Public Expenditure
(2004) menyatakan memang kedua istilah ini (PFM dan PEM) seringkali interchangeably. Namun secara
lebih spesifik, istilah Public Expenditure Management termasuk di dalamnya semua komponen dalam
proses anggaran suatu Negara, termasuk bagian upstream (persiapan, perencanaan) dan downstream
(pelaksanaan, akuntansi, control, pelaporan, monitoring, dan evaluasi) terutama yang terkait dengan
expenditures (belanja) Negara, termasuk juga aturan dan kerangka organisasi terhadap :

Perencanaan Pendapatan dan Belanja

Formulasi Medium-Term Expenditure Frameworks (MTEF)

Hubungan antara Anggaran dengan pembuatan kebijakan

Penyiapan Anggaran

Mengendalikan kas dan memantau belanja

Pelaksanaan internal control dan audit.

Pelaporan keuangan dan akuntansi

Menyediakan barang dan jasa publik dan management asset

Menilai kinerja

Eksternal Audit

Memastikan pengawasan dari legislatif.


Dari penjelasan oleh Richard Allen di atas, Public Expenditure Management (PEM) memiliki

lingkup dan pendekatan yang lebih luas daripada Conventional Budgeting (Penganggaran
Konvensional) yang biasa dilakukan oleh Negara berkembang. J. Edgardo Campos dalam The
Governance Brief - What is Public Expenditure Management (PEM) tahun 2001 menjelaskan 3 (tiga)
perbedaan utama antara PEM dengan CB.
Perbedaan pertama, PEM fokus terhadap pencapaian outcomes dan melihat (menggunakan)
belanja-belanja Negara sebagai alat untuk dapat menghasilkan output yang dibutuhkan untuk

mencapai outcomes yang ditentukan / diharapkan. Dalam arti sederhana dapat digambarkan sebagai
berikut: Negara ingin mencapai outcomes apa, dicapai dalam bentuk output apa, sehingga butuh dana
berapa untuk Belanja Negara. Oleh karena ada target output dan juga outcomes, maka dalam PEM
aka nada penilaian kinerja. Sedangkan pada Convencional Budgeting, fokusnya adalah belanja
berdasarkan pada inputnya. Dalam arti sederhana, berapa ada uangnya, disitu ada jumlah belanjanya.
Oleh karenanya seringkali dalam penerapan CB terjadi istila yang penting realisasi / dana habis
terbelanjakan. Pendekatan pemahaman antara PEM dan CB sudah sangat berbeda.
Perbedaan Kedua, PEM pendekatannya menekankan pada pentingnya memiliki proses yang
benar dalam penganggaran dan belanja pemerintah terutama yang berhubungan dengan outcomes
yang elah ditentukan/ diharapkan oleh Pemerintah. Sedangkan pendekatan yang dilakukan oleh CB
adalah legalistic. Artinya, pengguna anggaran tinggal menggunakan anggaran yang telah disiapkan
dan mengiplementasikannya sesuai dengan aturan dan prosedur yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dalam perspektif ini, Anggaran yang baik adalah anggaran yang menaati aturan dan prosedur.
Sebaliknya, dalam PEM, Anggaran yang baik adalah anggaran yang dapat memproduksi outputoutput yang dapat menciptakan improvements pada outcomes yang diharapkan. Jika implementasi
penerapan aturan dan prosedur yang telah ditetapkan telah dilakukan sebagaimana mestinya, namun
pencapaian outcomes tidak optimal, maka dalam perspektif PEM, aturan dan prosedur yang ada ini
kurang optimal dan perlu direformasi / disempurnakan.
Perbedaan Ketiga, pada PEM, terdapat konsekuensi tegas yang ada dan diberikan kepada
Pengguna Anggaran terhadap otonomi / fleksibilitas mereka dalam menghasilkan output yang
dibutuhkan (prinsip Lets The Manager Manage) untuk pencapaian outcomes yang diharapkan, yang
akan ditandingkan dengan akuntabilitas dari Pengguna Anggaran tersebut dalam proses pencapaian
output tersebut. Sedangkan dalam CB, hubungan antara Kementerian Keuangan sebagai Budget
Agency dengan Kementerian lain selaku Line Agency hanya berfokus pada alokasi anggaran (input)
dengan keterbatasan pada akuntabilitas pada pengalokasian anggaran tersebut. Konsekuensinya,
akuntabilitas dari dana yang dialokasikan ini seringkali tidak terkendali. Jikapun Line Agency gagal
dalam melaksanakan alokasi dana sesuai mandate / kesepakatan pengalokasian dana, secara umum
seringkali menemui kegagalan dalam proses akuntabilitasnya karena tidak jelas output dan outcomesnya.

Reforming Public Expenditures

The Allocation of Public Expenditures

The Expenditures Cycle

The Purpose / Tujuan PEM

Agregate Fiscal Disciplin

Allocative Efficiency

Operational Efficiency

Kebijakan Belanja Pemerintah Pusat di Indonesia


o

3 Fungsi Utama Belanja Pemerintah

Belanja Pemerintah Pusat, sebagai bagian dari belanja negara merupakan salah satu instrumen
kebijakan fiskal yang sangat strategis, dimana pemerintah dapat secara langsung melakukan tindakan dan
contoh kebijakan untuk mencapai berbagai tujuan dan sasaran program pembangunan melalui
pengelolaan anggaran untuk mempengaruhi alokasi sumber daya ekonomi, baik alokasi antarprogram,
antarsektor, maupun antarfungsi pemerintahan, mendukung stabilitas ekonomi, serta menunjang distribusi
pendapatan yang lebih merata. Hal ini, selain terkait dengan dampak besaran dan komposisi belanja
negara atas permintaan agregat yang merupakan penentu output nasional, juga terkait dengan tiga fungsi
anggaran belanja pemerintah, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.
Fungsi alokasi dari belanja Pemerintah Pusat dimanfaatkan dalam bentuk pendanaan program dan
kegiatan pemerintah, baik untuk penyediaan infrastruktur, maupun pengeluaran belanja barang dan jasa
Pemerintah untuk mendorong permintaan agregat dan mendorong sumber daya teralokasikan secara
efisien.
Fungsi distribusi dilakukan dalam bentuk dukungan untuk pemberdayaan berbagai kelompok
yang berpenghasilan rendah untuk mengatasi kesenjangan pendapatan masyarakat, melalui pendanaan
terhadap kegiatan-kegiatan yang mendukung pengentasan kemiskinan, peningkatan kesempatan kerja,
dan peningkatan penyediaan pelayanan dasar di bidang pendidikan. Implementasi fungsi distribusi belanja
Pemerintah Pusat, termasuk juga penyediaan berbagai jenis subsidi, baik subsidi harga maupun subsidi
langsung ke kelompok sasaran. Subsidi dimaksud adalah subsidi yang merupakan program pemerintah
dalam rangka pemerataan pendapatan untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang kurang mampu
secara ekonomi, seperti subsidi beras untuk masyarakat miskin (Raskin).
Fungsi stabilisasi, belanja pemerintah dapat digunakan sebagai instrumen untuk meredam
fluktuasi pada aktivitas perekonomian, seperti mengontrol laju inflasi dan pengangguran. Salah satu
contohnya adalah kegiatan peningkatan stimulus fiskal berupa keringanan pajak terhadap beberapa
komoditas yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, seperti keringanan bea masuk terhadap
beberapa barang mentah, dalam bentuk subsidi pajak.

Mandatory Spending / Pengeluaran yang Diwajibkan

Pengeluaran negara yang diwajibkan (mandatory spending) adalah pengeluaran negara pada
program-program tertentu yang dimandatkan atau diwajibkan oleh ketentuan peraturan perundangan
yang berlaku. Pengeluaran ini mengakibatkan ruang gerak fiskal menjadi terbatas, sehingga fungsi utama
kebijakan fiskal yang dijalankan Pemerintah yaitu fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi tidak dapat
berjalan dengan optimal. Pengeluaran jenis ini akan menjadi risiko fiskal berupa penambahan beban fiskal
yang berimplikasi terhadap penambahan defisit anggaran. Selain itu, pengeluaran untuk mandatory
spending juga menambah beban fiskal saat diperlukan adanya realokasi anggaran (dari jenis belanja
yang kurang produktif ke jenis belanja yang lebih produktif) untuk menghadapi perekonomian yang
sedang menghadapi ancaman krisis.
Beberapa ketentuan peraturan perundangan terkait mandatory spending diantaranya adalah:
1. kewajiban penyediaan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN/APBD sesuai
amanat Amandemen UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 tentang Penyediaan Anggaran Pendidikan
dari APBN/APBD
2. kewajiban penyediaan dana perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) sekurangkurangnya sebesar 26 persen dari penerimaan dalam negeri neto, Dana Bagi Hasil (DBH),
dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sesuai

ketentuan

UU

No.

33

Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah


3. penyediaan dana otonomi khusus untuk Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (sesuai UU No. 11
Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh) dan Provinsi Papua yang mencakup Provinsi Papua
dan Papua Barat (sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua). Besaran dana otonomi khusus dimaksud masing-masing sebesar dua persen dari DAU
Nasional
4. alokasi dana kesehatan sekurang-kurangnya sebesar lima persen dari APBN di luar gaji, sesuai
dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Untuk menahan mandatory spending jangan sampai menjadi makin membebani ruang fiscal,
Pemerintah melaksanakan berbagai langkah mitigasi resiko dari pengeluaran pemerintah yang diwajibkan
ini. Langkah mitigasi yang dipersiapkan oleh Pemerintah atas risiko pada APBN yang muncul dari
pengeluaran negara yang diwajibkan adalah dengan :
1. melakukan moratorium terhadap pembentukan lembaga baru,
2. konsep anggaran berbasis kinerja,
3. penghematan anggaran kementerian/lembaga,

4. penghematan subsidi energi, dan


5. prioritas pada pos pembiayaan dan investasi Pemerintah.
6. Pemerintah juga berencana merombak mekanisme transfer ke daerah, khususnya dana alokasi
umum, yang selama ini menjadi insentif fiskal daerah yang melakukan pemekaran. Alokasi DAU
tidak lagi dikaitkan langsung dengan belanja pegawai, tetapi dialokasikan hanya atas dasar celah
fiskal, yakni selisih antara kebutuhan fiskal, dengan kapasitas fiskal daerah.
7. Selain itu, dalam setiap pembahasan peraturan perundangan perlu dibuat kesepakatan antara
Pemerintah dan DPR agar ketentuan peraturan perundangan yang akan diterbitkan diupayakan
menghindari terciptanya mandatory spending baru, dan lebih berpihak pada ruang gerak
Pemerintah yang longgar.
Dengan demikian, langkah-langkah mitigasi dimaksud diharapkan dapat menambah ruang gerak
APBN dalam meningkatkan multiplier effect perekonomian, misalnya dalam bidang infrastruktur.
o

Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat

Budget Deficit

Kenapa Anggaran Defisit ?


o

Perkembangan Defisit dan Pembiayaan di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai