Anda di halaman 1dari 8

Nama : Natasha N Islami

NIM : 2010174027

Informasi Jurnal 1
Judul Jurnal : Perkembangan Desain Produk Berbasis Budaya Di Indonesia
Tahun : 2014
Penulis : Ratih Setyaningrum, Heddy Shri Ahimsa-Putra
Pendahuluan
Penelitian yang dituliskan pada jurnal ini berasal dari latar belakang kayanya nilai – nilai kebudayaan
dan keberagaman suku bangsa di Indonesia yang masih dijungjung tinggi dan diaplikasikan dalam
kehidupan sehari – hari. Hal tersebut dibuktikan oleh perancangan produk yang berorientasi pada niali
– nilai budaya bangsa. Pada pembahasan ini dilakukan analisa perkembangan produk budaya di
Indonesia meliputi aspek kebudayaan dan aspek pemasaran.
Metode
Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu mengidentifikasi permasalahan dan kebutuhan
konsumen dengan mengamati perilaku, wawancara, dan survey lapangan.
Hasil dan Pembahasan
Hasil dan pembahasan dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu identifikasi produk budaya dan
analisisi aspek pemasaran. Pada hasil pertama, yaitu mengidentifikasi nilai budaya yang melatar
belakangi perancangan sebuah produk dari 3 indikator kebudayaan (Organisasi sosial, Religi, dan
Mata Pencharian. Berikut hasil identifikasi :
1. Indikator Kebudayaan dari Organisasi Sosial
Sistem kekerabatan yang kental di Indonesia dapat mempengaruhi perancangan sebuah
produk transportasi seperti Mobil MVP yang dapat memuat banyak orang, sebanyak 7 seater.
Contoh lainnya yaitu desain produk tempat tidur bertingkat yang digunakan oleh keluarga
besar yang memiliki jumlah anak banyak untuk menghemat tempat.
2. Indikator Kebudayaan dari Religi/Keagamaan
Keagamaan dapat mempengaruhi keputusan perancangan, seperti urinoir di Indonesia harus
memiliki pancuran air untuk membersihkan bagian tubuh agar kebersihan tubuh tetap terjaga
setelah buang air kecil, hal ini dipengaruhi oleh mayoritas masyarakat Indonesia beragama
Islam yang diwajibkan untuk bebas dari najis,
3. Indikator Kebudayaan dari Mata Pencaharian
Pencaharian penduduk sehari – hari yang didominasi oleh petani dan pedagang mendorong
terciptanya inovasi produk seperti motor bak terbuka beroda tiga agar dapat menampung
barang hasil kebun yang lebih banyak dan luas, disamping itu kenyamanan kerja akan
tercapai karena produk menjadi lebih ergonomis.
Hasil kedua mengenai hasil Analisa aspek pemasaran :
1. Pemasaran Produk Budaya Aspek Organisasi Sosial
Didapatkan hasil penjualan mobil MPV didominasi oleh Toyota Avanza (68.362 unit) yang
memang sudah memiliki citra baik di Indonesia dan persepsi bahwa sparepart mobil Jepang
lebih murah dan mudah didapatkan dibanding mobil keluaran negara lain. davidson sekitar
400 juta rupiah (Detik-oto, 2012). Produk budaya juga merambah ke bidang interior
perumahan. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya penjualan tempat tidur bertingkat. Tren
masyarakat saat ini yang memilih rumah desain minimalis merupakan faktor penunjang
munculnya produk tempat tidur bertingkat. Bagi masyarakat Indonesia yang memiliki 2 anak
atau lebih yang tinggal dirumah minimalis, tempat tidur bertingkat merupakan produk yang
memberikan solusi tepat.
2. Pemasaran Produk Budaya Aspek Keagamaan
Produk toilet urinoir telah memasuki pasar Indonesia. Mayoritas penduduk Indonesia yang
beragam Islam memotivasi perubahan desain toilet bagi kaum laki – laki yang lebih dapat
melindungi dari najis air kencing. Produsen harus melakukan inovasi sesuai dengan
kebutuhan konsumen karena masyarakat Indonesia selektif dalam memilih produk.
3. Pemasaran Produk Budaya Aspek Mata Pencharian
Motor bak terbuka terbukti memberikan efisiensi pada para pekerja dengan mata pencaharian
seperti petani dan pedagang sebesar 30% untuk wilayah Jawa Tengah. Produk ini dilatar
belakangi oleh nilai budaya mata pencaharian penduduk Indonesia yang didominasi oleh
masyarakat pedesaan dengan hasil kebunnya dan perkotaan dengan mata pencaharian sebagai
pedagang.
Kesimpulan
Produk berbasis budaya lebih diminati karena relevan, memudahkkan dalam penggunaanya serta
sesuai dengan budaya Indonesia sehingga juga mampu menjadi produk sukses di pasar Indonesia.
Inovasi desain sangat perlu melihat kebiasaan dan kebudayaan yang berlaku pada suatu tempat agar
menciptakan rancangan yang inklusi dan efisien.
Nama : Natasha N Islami
NIM : 2010174027

Informasi Jurnal 2
Judul Jurnal : Konsep Terapan Ergokultur Sunda Pada Desain Sarana Niaga Bersepedamotor untuk
Kuliner Cepat Saji Keliling di Kota Bandung
Tahun : 2014
Vol : 2
Penulis : Edi Setiadi Putra
Pendahuluan
Penelitian yang dituliskan pada jurnal ini berasal dari latar belakang maraknya pedagang makanan
siap saji di Kota Bandung, pada dasarnya merupakan adaptasi dari perkembangan pelayanan pesan-
antar, dengan konsep yang baru dan berbeda, yaitu para pedagang lokal tidak menunggu pesanan dari
konsumen, tetapi justru bergerak ‘menjemput bola’ mengunjungi calon konsumen di manapun berada.
Kondisi geografi dimana konsumen berdomisili adalah sangat beragam, semakin jauh dari pusat kota
semakin sulit ditempuh, karena kondisi jalan yang umumnya buruk, turunan curam, tanjakan terjal
dan pelosok yang sempit. Situasi lingkungan ini menjadikan bisnis kuliner keliling memiliki risiko
yang tinggi

Metode
Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu bersifat deskriptif kuantitatif untuk mendapatkan
pemahaman teoritikal dengan pendekatan kajian pengamatan dan pendalaman wawasan melalui
penelitian etnografi agar relevan dengan kian penelitian yang bersumber data fenomenologi sosio –
kultural masyarakat kota Bndung yang sebagian besar berbudaya Sunda.
Hasil dan Pembahasan
Hasil dan pembahasan dari penelitian ini dibagi menjadi lima, yaitu membahas mengenai karakteristik
bisnis kuliner keliling di kota Bandung, jenis usaha kuliner dan prinsip manajemen kuliner keliling,
Analisa permasalahn ergonomi, konsep dan implementasi nilai budaya sunda, dan implementasi
ergokultur sunda pada desain produk. Pada pembahasan pertama dapat dihasilkan sebagai berikut :
1. Karakter usaha pedagang kuliner keliling di Kawasan Bandung Timur
Pedagaang kuliner keliling yang teridentifikasi yaitu aktivitas makanan cepat saji (fastfood)
dengan metode penjualan langusung, penjualan langsung atau ‘jemput bola’ dan dengan
keadaan operasional bergerak dan mangkal disebut sebagai PKL (Pedagang Kaki Lima).
Sedangkan pada hasil kedua lebih membahas mengenai jenis usaha kuliner dengan karakteristik
sarana niaga. Terdapat tiga jenis pedagang kuliner keliling, yaitu sebagai berikut :
1. Pedagang Perorangan
Usaha individu umumnya memiliki sarana niaga yang sangat sederhana dengan ciri lain
sangat kurang memperhatikan faktor keamanan, higenis, dan kenyamanan. Sarana niaga yang
dimiliki sangat berbeda satu sama lain dengan pedagang lainnya
2. Pedagang Kelompok Kecil
Pedagang kelompok kecil dan menengah sudah menggunakan produk sarana niaga yang
dirancang seragam dengan identitas yang sama. Karakteristik sarana niaga ini memiliki
standar dimensi yang sama , sudah menggunakan merk dagang, namun kurang
memperhatikan faktor keamanan, kehersihan, dan kenyamanan
3. Pedagang Kelompok Besar atau Korporasi
Pedagang kelompok besar umumnya sudah memiliki merk dagang sebagai suatu korporasi
dengan karakteristik sarana niaga yang sudah memiliki stamsar operasional kerja (SOP) dan
perlengkapan yang sama, memiliki standar menu dan cita rasa, memilii sertifikasi halal MUI,
namun masih kurang memperhatikan keamanan, kebersihan, dan kenyamanan
Pada hasil ketiga membahas mengenai ergonomi yang perlu diterapakan dalam sarana niaga kuliner
keliling bersepeda motor meliputih hal hal berikut :
1. Penyesuaian kemampuan beban sepedamotor sebagai standar baku
Tekanan beban yang berlebihan dapat mempengaruhi konstruksi sepeda motor. Perhatian
terhadap perlunya pembatasan beban adalah untuk optimalisasi keseimbangan berat yang
mempengaruhi kesetimbangan dan kemudahan pengendalian.
2. Pertimbangan kemudahan operasional
Penempatan sarana niaga tidak menghalangi gerakan-gerakan normal manusia, termasuk
dalam operasional penggunaan sepeda motor. Posisi kaca spion dipergunakan sebagai salah
satu acuan untuk mengukur batasan dimensi.
3. Penyesuaian kemampuan beban sepedamotor melalui layout beban yang efisien dan
praktis
Optimalisasi beban yang dapat dibawa oleh sepedamotor sebaiknya mengikuti standar
spesifikasi kemampuan struktur dalam menahan beban. Tata letak sarana niaga kuliner adalah
terletak di belakang sesuai dengan peruntukan beban tambahan selain pengemudi
4. Pertimbangan keselamatan berkendara (safety riding) dengan implementasi komponen
keselamatan lalulintas
Wirausaha kuliner keliling termasuk katagori high risk (sangat riskan), karena berpotensi
mengalami kecelakaan kerja yang fatal. Perhatian untuk waspada dalam berlalulintas di jalan
raya, merupakan persyaratan mutlak yang wajib dipenuhi oleh produk yang terkait pekerjaan
ini. Karenanya dibutuhkan upaya untuk memenuhi standar keselamatan.
5. Pertimbangan higenitas kuliner dalam lingkungan jalan raya
Pekerjaan niaga kuliner keliling butuh memperhatikan kehigenisan dari pengaruh lingkungan
jalan raya atau lalu lintas.
Hasil keempat membahas mengenai implementasi nilai budaya sunda dalam ergokultutal sunda,
menackup nilai dasar masyarakat sunda dalam memahami kuliner dengan memuat ragam kecerdasan
lokal. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan budaya Sunda dalam desain sarana niaga ini adalah
sebagai berikut :
1. Filosofi keindahan suatu bentuk produk harus sesuai dengan situasi dan kondisi dimana
keindahan itu hidup. Dunia kuliner Sunda menjunjung tinggi aktivitas kuliner berada dalam
ruang lingkup kebersihan, Kesehatan, dan keindahan (baik vita rasa maupun bentuk sajian
kuliner), sehingga paduan ketiga cakupan ini akan membentuk wujud hasrat yang melebihi
dimensi kebutuhan
2. Konsep pancaraken ‘Tetenong’ sangat relevan dengan sarana niaga kuliner keliling, produk
sarana membawa makanan tersebut merupakan artefak Budaya Sunda yang sudah menjadi
tradisi. Tetenong adalah wadah khusus makanan siap santap berbentuk silinder berdiameter 60
cm sd 100 cm, terbuat dari anyaman bambu yang dilengkapi tutup yang kedap. Tetenong yang
kecil dibawa dengan disuhun menggunakan kepala, untuk dibawa dan diberikan kepada orang
tua, sebagai bakti anak kepada ayah-ibunya. Tetenong hanya dapat diisi dengan makanan siap
santap, berkualitas tinggi, bergizi, sehat dan bersih. Inspirasi adat Sunda mengenai
penggunaan tetenong untuk mengantarkan makanan siap saji, merupakan salah satu kearifan
lokal yang cocok dikembangkan pada konsep tata saji hidang siap santap. Tetenong ini dapat
mempertahankan kesegaran masakan, sehingga dalam perjalanan jauh saat pengantaran,
kualitas makanan dapat terjaga sempurna.
Untuk hasil terakhir yaitu implementasi pendekatan ergokultur sunda pada desain produk, berikut
adalah hasilnya :
1. ‘Baso Tahu’ dan ‘Siomai Bandung’ menjadi salah satu kuliner favorit di kota Bandung,
termasuk dalam kuliner sehat yang digemari dari pusat kota hingga pelosok desa. Arah
pengembangan produk ditujukan pada perancangan sarana niaga ang dipasang pada sepeda
motr jenis komuter.
2. Sesuai dengan konsep membawa kuliner siap saji dalam Budaya Sunda dalam bentuk adat
tetenong maka produk tetenong disesuaikan dengan Batasan kemampuan dan efisiensi dalam
proses niaga. Dimensi total standar yang optimum adalah panjang = 45 cm, lebar = 25 cm dan
tinggi = 30 cm untuk modul yang dipasang di sisi kiri maupun kanan sepeda motor, sehingga
total lebar produk dan sepedamotor mencapai 85 cm. Dimensi ini memungkinkan pedagang
dapat memasuki gang-gang kecil, sesuai kebutuhannya yang khas.
3. Produk dirancang dengan citra yang menyerap nilai budaya Sunda.
Kesimpulan
Peniaga kuliner keliling mengharapkan adanya fasilitas niaga yang baik dan benar. Dimana fasilitas
niaga tidak saja harus bersih dan sehat, tetapi juga harus praktis dan mudah dipakai (easy handling),
aman dan nyaman dipakai (user friendly). Fasilitas niaga kuliner juga diharapkan dapat menarik minat
pembeli/pelanggan, sebagai suatu atraksi budaya kuliner yang bernilai luhur, karena kuliner
merupakan salah satu wujud budaya yang lestari. Dengan demikian fasilitas niaga yang sesuai dengan
nilai-nilai budaya Sunda bagi masyarakat Kota Bandung dan sekitarnya merupakan suatu kebutuhan
yang sangat penting.
Nama : Natasha N Islami
NIM : 2010174027

Informasi Jurnal 3
Judul Jurnal : Design Anthropology in Participatory Design
Tahun : 2015
Penulis : Rachel Charlotte Smith1, Mette Gislev Kjærsgaard2
Pendahuluan
Penelitian yang dituliskan pada jurnal ini berasal dari latar belakang adanya tantangan dan perubahan
masyarakat, dan cara bagi antropolog dan desainer untuk terlibat dalam penelitian dan desain
partisipatif yang melampaui sumber pengetahuan yang diperoleh dari observasi atau percobaan.
Hasil dan Pembahasan
Dari penelitian ini dibagi menjadi 4 bahasan, yaitu Dari Etnografi Ke Antropologi Desain, Entnografi
Dalam Desain Patisipatif, Antropologi Desain Sebagai Kritik Budaya, dan Antropologi Desain dalam
Desain Partisipatif: Menatap ke Depan.
Pembahasan pertama membahas mengenai perubahan etnografi ke antropologi desain meliputi :
1. Perubahan lanskap teknis, sosial, politik, dan ekonomi mengubah cara kita berpikir tentang
dan mempraktikkan desain, partisipasi, dan etnografi dalam dunia yang semakin global dan
digital.
2. Pada dua dekade terakhir etnografi telah menjadi hal yang biasa dalam desain partisipatif,
mungkin sudah waktunya untuk membayangkan kembali hubungan etnografi dengan desain,
bukan sebagai hubungan tunggal dengan desain partisipatif, tetapi sebagai kontribusi yang
bervariasi.
3. Dengan penyebaran desain partisipatif di luar pengaturan lokal, barat, dan komersial,
menunjukkan peluang dan tantangan baru etnografi dan desain partisipatif yang berkaitan
dengan keterlibatan jangka panjang dan berkelanjutan dengan isu, situs, dan desainer.
4. Perspektif yang muncul pada antropologi desain dapat berperan dalam memperluas diskusi
tentang peran etnografi dan antropologi dalam desain partisipatif
Pembahasan ke-dua, Entnografi Dalam Desain Patisipatif menghasilkan bahasan sebagi berikut :
1. Etnografer dan antropolog telah terlibat dalam desain, inovasi, dan pengembangan produk
selama lebih dari 30 tahun, mengadopsi dan mengembangkan berbagai peran dan pendekatan
interdisipliner.
2. Betapapun berbedanya berbagai pendekatan etnografi dalam desain, mereka sering tampak
berbagi minat dalam meminimalkan jarak antara konteks penggunaan dan desain,
menciptakan keakraban dan empati dengan 'yang (etnografis) Lain' - baik dalam bentuk
pengguna, informan atau mitra desain.
3. Kritik terhadap banyak literatur tentang etnografi dalam desain menunjukkan bahwa
meskipun pendekatan kolaboratif telah menjadi lebih canggih dan pemahaman tentang nilai
wawasan budaya menjadi lebih kompleks, etnografi dalam dan untuk desain seringkali
didasarkan pada konsep antropologi yang sempit dan telah ditentukan sebelumnya
4. Pendekatan untuk merancang antropologi cenderung berbeda dari desain partisipatif
tradisional dan desain yang diinformasikan secara etnografi dengan menekankan kerangka
teoretis atau budaya dan konteks sosio-politik di mana studi lapangan dan kolaborasi desain
dilakukan dan dipahami dalam proses desain, dan dengan berfokus pada bagaimana ini
mempengaruhi proses produksi dan desain pengetahuan yang saling terkait.
Pembahasan ke-tiga, Antropologi Desain Sebagai Kritik Budaya menghasilkan bahasan sebagai
berikut:
1. Otto dan Smith berargumen untuk antropologi desain sebagai cara mengetahui yang berbeda
yang menggabungkan analisis dan tindakan dalam proses membangun pengetahuan.
2. antropologi desain menawarkan kesempatan untuk memikirkan kembali dan memperluas
keterlibatan antropologi dalam desain partisipatif. Di sini tujuannya bukan hanya 'semakin
dekat' dengan pengguna dan konteks kehidupan nyata, melalui sosialisasi, mediasi dan
fasilitasi, tetapi juga untuk menciptakan jarak kritis dan informasi teoretis untuk memahami
dan merefleksikan hubungan yang kompleks dan terletak antara manusia, teknologi. dan
desain
3. Tujuan antropologi desain melampaui deskripsi dan empati
4. Kontribusi dari pendekatan antropologi desain ini adalah untuk menciptakan poin wacana lain
melalui penekanan dan pengerjaan ulang asumsi yang mendasari dan kerangka budaya
pemahaman yang lazim dalam konteks tertentu.
5. Bahwa pendekatan antropologi desain dan produksi pengetahuan ini melarutkan batas antara
praktik antropologi dan penelitian desain untuk menciptakan refleksi kritis bagi perubahan
teknologi dan budaya.
Pembahasan ke-empat, Antropologi Desain dalam Desain Partisipatif: Menatap ke Depan.
menghasilkan bahasan sebagi berikut :
1. Antropologi desain sebagai studi dengan orang, yang bertujuan untuk membuka mata dan
pikiran kita terhadap kemungkinan keberadaan lainnya.
2. Kritik antropologi desain tentang bagaimana orang tua sering dibingkai secara stereotip dalam
penelitian TIK dan proyek desain, yang dinilai kurang kompeten dan membutuhkan
teknologi. Melalui deskripsi etnografis, keterlibatan desain partisipatif, dan perspektif teoretis
antropologis, penulis menantang 'Yang Lain' dari orang tua ini, dan menyerukan desain yang
lebih kritis dan refleksif untuk penuaan.
3. desain partisipatif sebagai praktik dekonstruktif yang diarahkan untuk melibatkan peserta
dalam konsekuensi jangka panjang dari proses pembangunan, daripada membuat produk yang
menarik.
4. gangguan merupakan hal mendasar bagi perubahan sosial, tetapi dapat digunakan secara
konstruktif dalam pertemuan antara desain antropologi dan desain partisipatif untuk
mengatasi dan mengubah konflik pengetahuan yang tertanam di dalam praktik yang tidak
kompatibel, sistem nilai dan politik.
5. pendekatan antropologi desain berfungsi sebagai tindakan yang secara kolaboratif
mendefinisikan dan mengatasi masalah berorientasi masa depan. Pendekatan antisipatif dan
refleksif ini memberi arah pada hasil yang muncul, bukan yang telah ditentukan sebelumnya.
Penulis membuat kasus yang kuat tentang bagaimana persimpangan desain partisipatif,
antropologi desain, dan antropologi pendidikan dapat bermanfaat digunakan untuk mengatasi
tantangan masyarakat kontemporer (dan masa depan).

Kesimpulan
Pergeseran dari etnografi ke dalam dan untuk desain membuka refleksi kritis dan transformatif
tentang masa depan yang muncul dan bagaimana memungkinkan perubahan sosial dengan
mengintervensi realitas yang ada. Antropologi desain dan desain partisipatif jelas saling terkait dan
diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengeksplorasi dan mengkonsolidasikan potensi
antropologi desain di bidang ini untuk mengatasi tantangan masyarakat saat ini dan masa depan.

Anda mungkin juga menyukai