Anda di halaman 1dari 56

Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 23 No.

2 [Agustus 2022] 151-164


Efek Pengolahan Konvensional Pada Kandungan Gizi dan Anti Gizi Biji Petai (Maharani dkk)

EFEK PENGOLAHAN KONVENSIONAL PADA KANDUNGAN GIZI


DAN ANTI GIZI BIJI PETAI (Parkia speciosa Hassk.)

Effect of Conventional Processing on Nutritional and Anti Nutritional Content of


Petai (Parkia speciosa Hassk.) Seed

Putri Maharani1, Umar Santoso1, Yasmin Aulia Rachma2, Aprilia Fitriani1,3, Supriyadi
Supriyadi1*

1Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian –


Universitas Gadjah Mada
Jl. Flora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281, Indonesia
2Program Studi Teknologi Hasil Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian –

Universitas 17 Agustus 1945 Semarang


Jl. Bendan Dhuwur, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang
3Teknologi Pangan - Fakultas Teknologi Industri - Universitas Ahmad Dahlan

Jl. Ringroad Selatan, Kragilan, Tamanan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta


Penulis Korespondensi, email : suprif248@ugm.ac.id

Disubmit : 26 Januari 2022 Direvisi : 3 Juli 2022 Diterima : 22 Agustus 2022

ABSTRAK

Biji Petai (Parkia speciosa Hassk.) merupakan komoditas kacang-kacangan khas Indonesia
dengan kandungan protein yang tinggi. Namun, biji Petai juga dikenal mengandung senyawa
antigizi asam fitat, tanin dan tripsin inhibitor yang dapat menurunkan nilai cerna protein. Proses
pengolahan konvensional kukus selama 10 menit, rebus selama 8 menit, dan goreng selama 2
menit dilakukan untuk menurunkan senyawa antigizi dan meningkatkan kecernaan protein biji
Petai. Biji Petai yang digunakan untuk analisis adalah biji Petai bubuk yang telah dikeringkan
menggunakan freeze dryer. Efek proses pengolahan divaluasi senyawa gizi, antigizi, dan nilai
cerna protein in vitro. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh proses pengolahan
kukus, rebus, dan goreng terhadap senyawa gizi (kadar air, protein, lemak, abu, dan
karbohidrat), antigizi (asam fitat, tanin, serta tripsin inhibitor), dan kecernaan protein in vitro
pada Petai. Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap Satu Faktor, yaitu jenis
proses pengolahan. Data diolah dengan One Way ANOVA menggunakan aplikasi SPSS 2.1
dengan tingkat kepercayaan 95%, kemudian dilanjutkan uji Duncan apabila terdapat beda
nyata. Diperoleh hasil bahwa ketiga proses pengolahan tersebut signifikan menurunkan
konsentrasi senyawa antigizi asam fitat, tanin, serta tripsin inhibitor. Proses perebusan
merupakan proses pengolahan terbaik yang dapat menurunkan senyawa antigizi asam fitat
sebesar 75%, tanin sebesar 49%, dan tripsin inhibitor sebesar 70%. Proses pengolahan kukus dan
rebus secara signifikan meningkatkan nilai cerna protein in vitro, yaitu masing-masing
sebanyak 0,84% dan 2,55%. Temuan ini dapat dijadikan referensi proses pengolahan bagi
konsumen biji Petai di Indonesia untuk mendapatkan manfaat asupan protein dari biji Petai
dengan maksimal.

Kata kunci: Kukus; Protein in vitro; Rebus; Tanin; Tripsin Inhibitor

ABSTRACT

Petai seeds (Parkia speciosa Hassk) are a typical Indonesian legume commodity with high protein
content. However, Petai seeds are also known to contain anti-nutritional compounds phytic acid, tannins,
and trypsin inhibitors that can reduce protein digestibility. The conventional processing process was

151
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 23 No. 2 [Agustus 2022] 151-164
Efek Pengolahan Konvensional Pada Kandungan Gizi dan Anti Gizi Biji Petai (Maharani dkk)

steamed for 10 min, boiled for 8 min, and fried for 2 min to reduce antioxidant compounds and increase
the protein digestibility of Petai seeds. Petai seeds used for analysis are powdered Petai seeds that have
been dried using a freeze dryer. The effects of the processing were evaluated for nutritional compounds,
antinutrients, and protein digestibility values in vitro. This study aims to determine the effect of steamed,
boiled, and fried processing on nutritional compounds (water content, protein, fat, ash, and
carbohydrates), antinutrients (phytic acid, tannins, and trypsin inhibitors), and protein digestibility in
vitro in Petai. The research was conducted with a one-factor completely randomized design, namely the
type of processing. The data was processed by One Way ANOVA using the SPSS 2.1 application with a
95% confidence level, then continued with Duncan's test if there was a significant difference. The results
showed that the three processing processes significantly reduced the concentration of anti-nutritional
compounds phytic acid, tannins, and trypsin inhibitors. The boiling process is the best processing process
that can reduce the antioxidant compounds of phytic acid by 75%, tannins by 49%, and trypsin
inhibitors by 70%. Steamed and boiled processing significantly increased the protein digestibility in vitro,
which were 0.84% and 2.55%, respectively. This finding can be used as a reference for the processing
process for consumers of Petai seeds in Indonesia to get the maximum benefit of protein intake from Petai
seeds

Keywords: Steam; Proteins in vitro; Boiled; Tannins; Trypsin Inhibitor

PENDAHULUAN legum yang dapat menurunkan kecernaan


protein, pati dan mineral karena sifatnya
Biji Petai (Parkia speciosa Hassk.) sebagai chelating agent (Hidayat, 2016).
diketahui sebagai kacang-kacangan Selanjutnya, tanin merupakan metabolit
beraroma khas yang banyak dikonsumsi di sekunder tumbuhan yang tergolong
Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sebagai antigizi karena dapat menurunkan
Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand kecernaan protein dengan membentuk
(Orwa et al., 2009). Komoditas ini diketahui komponen kompleks pada interaksinya
memiliki komponen zat gizi seperti protein, dengan protein dan menghambat kinerja
lemak, karbohidrat, mineral, dan beberapa enzim-enzim pencernaan (Osunbitan et al.,
vitamin seperti vitamin C, tiamin (B1), dan 2015). Tripsin inhibitor adalah senyawa
vitamin E (Kamisah et al., 2013). Selain yang tergolong antigizi karena dapat
diketahui kaya akan zat gizi, biji Petai menurunkan aktivitas enzim proteolitik
dikenal akan kadar proteinnya yang tinggi seperti tripsin dan kemotripsin (Li et al.,
(Linsberger et al., 2013). Bahkan dalam 2017).
penelitian yang telah dilakukan Efek toksik dan anti-nutrisi dalam
sebelumnya dalam 100 g biji Petai makanan nabati sebagian besar dapat
terkandung 27,5 g protein (Chhikara et al., dihilangkan dengan pemberian perlakuan
2018). Namun keistimewaan ini juga diikuti panas seperti perebusan, pengukusan,
daya cerna protein yang rendah (El-Hady et maupun penggorengan (Hamid et al., 2017).
al., 2003). Pada biji Petai ditemui senyawa Pada kehidupan sehari-hari, masyarakat
antigizi yang dapat menurunkan manfaat Indonesia biasa mengkonsumsi biji Petai
protein pada tubuh (Martin-Cabrejas et al., secara segar maupun dengan proses
2009; Asikin et al., 2018). pengolahan seperti goreng, rebus, bakar
Senyawa antigizi merupakan dan kukus. Bongoni et al. (2014) pada
senyawa yang disintesis pada metabolisme penelitiannya menyatakan bahwa
tumbuhan yang dapat menurunkan pengolahan pangan menggunakan panas
pemanfaatan gizi seperti protein, vitamin mampu menghancurkan anti-nutrisi seperti
dan mineral bahan pangan jika dikonsumsi asam fitat, tanin dan tripsin inhibitor
(Gemede dan Ratta, 2014). Beberapa dengan signifikan, sehingga dihasilkan
komponen antigizi yang terkandung dalam peningkatan daya cerna protein secara in
biji Petai adalah asam fitat, tanin, dan vitro. Selain itu, berdasarkan penelitian
tripsin inhibitor. Asam fitat merupakan Fitriani et al. (2021), proses pengukusan dan
bentuk utama penyimpanan fosfat pada biji perebusan mampu menurunkan senyawa

152
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 23 No. 2 [Agustus 2022] 151-164
Efek Pengolahan Konvensional Pada Kandungan Gizi dan Anti Gizi Biji Petai (Maharani dkk)

asam fitat sebesar 1-2 mg/g bahan, tanin =1:5 (b/v), sedangkan media minyak
0,003-0,004 mg/g bahan, dan tripsin memiliki perbandingan bahan:minyak
inhibitor 0,227-0,236 TUI/mg bahan serta =1:0,05 (b/v). Adapun variabel yang
meningkatkan kadar protein pada biji diamati dalam penelitian ini meliputi:
kabau sebesar 5-12%. Namun belum
terdapat penelitian mengenai perlakuan 1. Penentuan Kandungan Gizi Biji
pemberian proses pengolahan kukus, Petai
rebus, dan goreng terhadap senyawa Kandungan gizi pada biji Petai
antigizi, gizi, dan kecernaan protein secara ditentukan dengan prosedur AOAC (1995).
in vitro pada biji Petai. Sehingga penelitian Kadar air, protein, lemak, abu, dan
ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui karbohidrat dianalisis menggunakan
pengaruh proses pengolahan kukus, rebus, metode pengeringan oven, mikro-Kjeldahl,
dan goreng terhadap senyawa gizi (kadar ekstraksi soxhlet, pengabuan, dan
air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat), karbohidrat by difference (Yovani, 2022).
antigizi (asam fitat, tanin, serta tripsin
inhibitor), dan kecernaan protein in vitro 2. Penentuan Kandungan Antigizi Biji
pada Petai. Petai (asam fitat, tanin, tripsin
inhibitor)
a. Pengukuran kadar asam fitat
METODE mengacu pada Deliani (2008).
Sampel sebanyak 0,5 g disuspensikan
Peralatan yang digunakan adalah dalam 20 ml larutan HNO3 0,5N.
lain labu Kjeldahl, soxhlet, lemari destruksi, Selanjutnya, diekstraksi selama 4 jam
destilator, moisture analyzer Ohaus MB90, dan disaring. Filtrat diambil 0,5 ml
Minolta Optics Chroma Meter CR-400, dan dimasukkan dalam tabung
universal testing mechine Zwick/Z.5, dan reaksi, kemudian ditambahkan 0,4
spektrofotometer genesys 10S UV-Vis. ml aquades serta 1 ml FeCl3 0,05 M,
Bahan yang digunakan meliputi biji Petai lalu tabung reaksi ditutup dan
yang diperoleh dari Pasar Krasak, Salaman, direndam dalam air mendidih
Magelang dengan karakteristik tangkai selama 20 menit. Setelah dingin,
polong seragam dan utuh. Buffer pH 8, ditambahkan 5 ml amil alkohol dan 1
HCl, FeCl3.6H2O, HNO3, amyl alcohol ml ammonium tiosianat, kemudian
(MERCK-100975), pepsin 1,07 u/g protein disentrifugasi dengan kecepatan 3000
(SIGMA-77161), pancreatin 3,56 u/gram rpm selama 20 menit. Setelah
protein (SIGMA-P1750), NaOH, Folin- terbentuk dua lapisan, amil akohol
Ciocalteu reagent (SIGMA-F9252), diukur absorbansinya pada panjang
ammonium thiocyanate, trichloroacetic acid gelombang 495 nm. Hasil
(TCA) (MERCK100807). Standar yang dibandingkan dengan kurva standar
digunakan dalam penelitian ini antara lain asam fitat. Standar asam fitat dibuat
bovine serum albumin, tannic acid dengan konsentrasi larutan asam
(SIGMA-403040), dan phytic acid (SIGMA- fitat yakni 50, 100, 150, dan 200 ppm
P8810). yang diencerkan dengan pelarut
Variabel bebas penelitian ini adalah HNO3. Kadar asam fitat dinyatakan
proses pengolahan pangan konvensional dalam mg/g bahan kering.
meliputi perebusan, pengukusan, dan b. Pengukuran kadar tanin berdasarkan
penggorengan. Perebusan dilakukan pada metode Chanwitheesuk et al. (2005)
suhu 100°C dengan durasi perebusan dan Helrich (1990) dengan
selama 8 menit. Perlakuan suhu yang sama mofifikasi. Sebanyak 0,5 g sampel
dengan waktu 10 menit dilaksanakan pada bubuk diekstrak dengan 250 ml
metode pengukusan. Metode akuades pada kondisi air mendidih
penggorengan dilakukan dengan metode selama 2 jam. Ekstrak didinginkan
shallow frying pada suhu 150°C selama 2 dan disaring dengan kertas saring.
menit. Pengolahan yang menggunakan Satu mililiter ekstrak yang diperoleh
media air dengan perbandingan bahan:air ditambah dengan 0,5 ml reagen folin

153
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 23 No. 2 [Agustus 2022] 151-164
Efek Pengolahan Konvensional Pada Kandungan Gizi dan Anti Gizi Biji Petai (Maharani dkk)

ciocalteu dan 2 ml Na2CO3 dalam waterbath. TI dinyatakan


(pembuatan Na2CO3 mengacu pada dalam mg/g bahan.
Helrich (1990), selanjutnya divortex 3. Penentuan Nilai Cerna Protein In
dan diinkubasi selama 30 menit pada vitro
suhu kamar. Larutan ditera pada 760 Analisa nilai cerna protein dianalisis
nm dengan spektrofotometri uv-vis. sesuai dengan prosedur Almeida et
Kurva standar dibuat dengan al. (2015) dengan sedikit modifikasi,
menggunakan standar asam tannat dimana sampel sebanyak 250 mg
pada konsentrasi 0; 0,01; 0,02; 0,04; atau 250 ul aquades (untuk kontrol
0,06; 0,08; dan 0,1 mg/ml yang blank) dilarutkan ke dalam 15 ml
disiapkan. dari 0,1 mol ekuivalen/L HCl yang
c. Pengukuran aktifitas tripsin inhibitor mengandung 1,5 mg/ml pepsin.
(TI) mengacu pada penelitian Fitriani Kemudian diinkubasi selama 3 jam
et al. (2021). Sebanyak 1 g sampel pada suhu 37oC dalam waterbath.
diekstrak dengan 0,01 M NaOH. Proses hidrolisis pepsin dihentikan
Ekstraksi berlangsung selama 3 jam. melalui netralisasi dengan
Selanjutnya, disentrifugasi selama 20 ditambahkan dengan 7,5 ml dari 0,5
menit dengan kecepatan 3500 rpm. mol/ekuivalen NaOH. Kemudian,
Sebanyak 2 ml supernatant proses menggunakan enzim
ditambahkan ke dalam tabung reaksi pankreatin. Ditambahkan 10 ml dari
kemudian ditambahkan 2 ml tripsin 0,2 mol/L phosphate buffer (pH 8)
serta 5 ml BAPNA. Kemudian, yang mengandung 10 mg pankreatik
dilakukan inkubasi pada suhu 37℃ serta 1 ml dari 0,005 mol/L sodium
selama 10 menit. Kemudian azide untuk mencegah pertumbuhan
ditambakan 30% asam asetat mikroba. Setelah itu, diinkubasi
sebanyak 1 ml. Lalu disaring dengan selama 24 jam pada suhu 37oC.
kertas saring Whatman No.54 dan Setelah proses hidrolisis pankreatik,
dibaca absorbansi pada panjang ditambahkan 1 ml dari 10 g/100 ml
gelombang 410 nm. Larutan blanko asam trikloroasetat, kemudian
dibuat dengan cara 2 ml akuades disentrifugasi selama 20 menit
ditambahkan ke dalam tabung reaksi dengan kecepatan 200 rpm. Diambil
dan 2 ml tripsin serta 5 ml BAPNA. supernatan untuk diukur kandungan
Kemudian, diinkubasi pada suhu total protein berdasarkan kandungan
37℃ selama 10 menit. Kemudian N menggunakan metode kjedahl
ditambakan 30% asam asetat AOAC (AOAC, 1995).
sebanyak 1 ml. Selanjutnya disaring
dengan Whatman No.54 dan dibaca Analisis Data
absorbansi pada panjang gelombang Penelitian dilakukan menggunakan
410 nm. Larutan BAPNA yang Rancangan Acak Lengkap (RAL) Non
dibuat dengan cara menimbang 40 Faktorial dengan satu faktor, yaitu metode
mg BAPNA dilarutkan dalam 1 ml pengolahan Petai. Data dianalisis dengan
dimethyl sulfoxide (DMSO), aplikasi SPSS 2.1 menggunakan one way
selanjutnya diencerkan hingga 100 ANOVA, dan dilanjutkan uji Duncan’s
ml dengan 0,05 M tris-buffer pH 8,2. Multiple Range Test pada tingkat
Larutan BAPNA diletakkan pada kepercayaan 95% apabila terdapat beda
suhu 37 °C hingga digunakan. nyata.
Larutan tripsin disiapkan dengan
melarutkan 4 mg tripsin dalam 200
ml HCl 0,001 M. Larutan tripsin HASIL DAN PEMBAHASAN
disimpan dalam ice waterbath.
Larutan BAPNA dan tripsin selalu
disiapkan pada saat akan melakukan Nilai Gizi Biji Petai
pengukuran aktivitas TI. Larutan Nilai gizi biji Petai selama proses
BAPNA dijaga kondisi suhu 37 oC pengolahan dapat dilihat pada Tabel 1.

154
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 23 No. 2 [Agustus 2022] 151-164
Efek Pengolahan Konvensional Pada Kandungan Gizi dan Anti Gizi Biji Petai (Maharani dkk)

pengujian nilai gizi dilakukan pada biji bahwa biji Petai rebus menunjukkan kadar
Petai dengan perlakuan yang menghasilkan air tertinggi, sedangkan biji Petai goreng
sifat fisik yang paling mendekati olahan menunjukkan kadar air yang paling
Petai di beberapa rumah makan. Biji Petai rendah. Kadar air Petai meningkat dari
kukus merupakan biji Petai yang diolah 5,34% bb pada segar menjadi 6,09% bb
dengan pengukusan selama 10 menit, biji selama perebusan 8 menit dan menjadi
Petai rebus merupakan biji Petai yang 5,43% selama pengukusan 10 menit.
diolah dengan perebusan selama 8 menit, Peningkatan kadar air tersebut terjadi
dan biji Petai goreng merupakan biji Petai karena adanya kontak antara bahan pangan
yang diolah dengan penggorengan selama dengan air maupun uap air yang berperan
2 menit. sebagai media pengolahan (Wang et al.,
2020). .
Kadar air
Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat

Tabel 1. Nilai senyawa gizi pada biji Petai hasil pengolahan


Senyawa Gizi Segar Rebus Kukus Goreng
Kadar air (%wb) 5,34 ± 0,02b 6,09 ± 0,46a 5,53 ± 0,37b 4,94 ± 0,14b
Protein (%db) 28,36 ± 0,26a 29,57 ±1,23a 29,59 ± 0,3a 24,80 ± 0,19b
Lemak (%db) 26,28 ± 0,24b 26,57 ± 0,11b 26,38 ± 0,11b 40,30 ± 0,14a
Abu (%db) 3,98 ± 0,11a 2,39 ± 0,03d 3,69 ± 0,43b 3,12 ± 0,04c
Karbohidrat (%db) 36,04 ± 0,33a 35,38 ± 1,34a 34,81 ± 1,01a 26,84 ± 0,25b
Perbedaan notasi menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) pada baris yang sama

Perebusan memiliki kadar air yang (2015), Peningkatan kadar protein pada
lebih tinggi jika dibandingkan dengan proses pengolahan bisa disebabkan oleh
pengukusan. Hal tersebut disebabkan pada terjadinya hidrolisis pada protein molekul
proses perebusan menggunakan media air besar suatu bahan pangan menjadi protein
panas sehingga kontak dan penetrasi panas dengan molekul kecil (peptida) ataupun
pada Petai lebih besar, sedangkan asam amino. Hidrolisis protein yang terjadi
pengukusan hanya menggunakan media selama pengolahan berbanding lurus
uap panas. Media yang berupa air panas dengan peningkatan kecernaan protein
memberikan panas yang menyebakan sehingga meningkatkan kadar protein
struktur jaringan pada Petai menjadi dalam bahan (Mittal et al., 2012).
mengembang dan berpori. Hal ini serupa Berbeda dengan proses
dengan hasil penelitian Sari et al. (2018) penggorengan Petai yang dapat
dimana kadar air pada labu rebus lebih menurunkan kadar protein cukup tinggi,
tinggi dari pada labu kukus. Peningkatan hal tersebut diduga akibat dari suhu yang
kadar air akibat proses perebusan juga digunakan sangat tinggi dan menyebabkan
terjadi pada sampel Kara Benguk (Mucuna protein akan rusak. Hal tersebut serupa
flagellipes) dimana semakin lama proses dengan penelitian Sundari et al. (2015)
perebusan, kadar air semakin meningkat. dimana penggorengan dapat menurunkan
Perebusan selama 20 menit mengakibatkan kadar protein karena sebagian minyak
kenaikan kadar air dari 12,14% menjadi 12, goreng akan menempati rongga-rongga
30% (Onuegbu et al., 2013). bahan pangan menggantikan posisi air
yang menguap sehingga konsentrasi
Kadar protein protein persatuan berat bahan menjadi
Berdasarkan hasil pada Tabel 1. lebih kecil.
diketahui bahwa terjadi peningkatan pada Panas atau suhu tinggi juga dapat
kadar protein Petai dengan pengolahan menyebabkan denaturasi pada struktur
perebusan dan pengukusan meskipun protein. Denaturasi adalah suatu
peningkatan yang terjadi tidak signifikan perubahan atau modifikasi terhadap
secara statistik. Menurut Olanipekun et al. struktur sekunder, tersier, dan kuartener

155
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 23 No. 2 [Agustus 2022] 151-164
Efek Pengolahan Konvensional Pada Kandungan Gizi dan Anti Gizi Biji Petai (Maharani dkk)

molekul protein tanpa terjadinya tertinggi terjadi pada biji Petai goreng, hal
pemecahan ikatan-ikatan kovalen. ini sesuai dengan hasil penelitian dari
Pada proses produksi pangan suhu (Ismed, 2016), dimana penggorengan pada
juga berpengaruh terhadap kecepatan keripik wortel memiliki kandungan lemak yang
kerusakan suatu bahan atau penurunan cukup tinggi, yaitu berkisar antara 15-20%.
mutu. Suhu tinggi yang digunakan pada Proses penggorengan menggunakan
proses penggorengan inilah yang juga minyak goreng sebagai media penghantar
menyebabkan penurunan kandungan panas menyebabkan terjadinya proses
protein pada penggorengan biji Petai dehidrasi air pada sampel. Dengan
(Ismed, 2016). masuknya minyak goreng kedalam bahan
pangan, sehingga air menguap dan celah
Kadar Abu atau pori pori tergantikan oleh minyak
Kadar abu dapat diartikan sebagai goreng. Dengan demikian kandungan
komponen yang tidak mudah menguap, lemak pada Petai goreng meningkat. Hal
tetap tinggal dalam pembakaran dan ini dikarenakan proses penggorengan
pemijaran senyawa organik. Hasil menggunakan minyak goreng sebagai
penelitian terhadap kadar abu disajikan media penghantar panas sehingga terjadi
pada Tabel 1. diketahui bahwa terjadi penetrasi minyak goreng kedalam daging
penurunan kadar abu pada biji Petai itik sehingga air yang terdapat pada daging
setelah proses pengolahan konvensional itik menguap, kemudian celah atau pori-
secara berturut-turut dari Petai segar ke pori yang tadinya berisi air diganti dengan
Petai rebus, kukus dan goreng yaitu 3,98% minyak goreng (Nurmala et al., 2014). Oleh
menjadi 2,39%, 3,58%, 3,11%. Petai rebus karena itu kandungan lemak yang terdapat
memiliki kadar abu yang paling rendah. pada daging itik yang di goreng ini
Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang bertambah banyak karena penyerapan
dilakukan oleh Omenna et al. (2016) minyak goreng tersebut.
menunjukkan bahwa perlakuan memasak
kacang tunggak secara signifikan mampu Karbohidrat (By difference)
menurunkan kadar abu karena adanya Pengukuran kadar karbohidrat
proses difusi mineral dalam kacang menuju didasarkan atas metode by difference yang
air yang digunakan dalam perendaman berarti sangat berhubungan dengan kadar
maupun perebusan. komponen gizi lainnya (kadar air, abu,
Mineral (abu) merupakan komponen protein dan lemak). Karbohidrat banyak
yang mudah larut dalam air atau minyak, terkandung dalam bahan pangan nabati,
terutama minyak yang dipanaskan selama baik berupa gula sederhana, heksosa,
penggorengan (Ismed, 2016). Menurut pentosa maupun karbohirat dengan
Bethke dan Jansky (2008) proses perlakuan molekul yang tinggi seperti pati, pektin,
dengan perebusan selama 10 menit dapat selulosa, dan lignin (Ismed, 2016).
menurunkan beberapa kandungan mineral Kadar karbohidrat biji Petai dapat
akibat terjadinya leaching. Adanya leaching dilihat pada Tabel 1. Biji Petai segar
menyebabkan beberapa mineral seperti memiliki kadar karbohidrat signifikan
potassium, zink dan magnesium larut ke tertinggi terhadap kadar karbohidrat biji
dalam media air (Mariod et al., 2012). Petai rebus, kukus dan goreng. Kadar
karbohidrat biji Petai segar, rebus, kukus
Kadar Lemak dan goreng secara berurutan yaitu 36,04
Hasil penelitian pada Tabel 1. %bk, 35,38%bk, 34,71 %bk, dan 26,84 %bk.
menunjukkan bahwa Petai segar, rebus dan Penurunan kadar karbohidrat pada biji
kukus tidak berbeda nyata secara berturut- Petai dimungkinkan karena pada saat
turut yaitu 26,28% menjadi 26,57%, 26,37%. proses pengolahan terjadi peluruhan
Namun peningkatan kadar lemak pada biji padatan bahan baik yang larut air maupun
Petai setelah mengalami pengolahan yang larut lemak. Hasil dari kadar
penggorengan dengan memliki perbedaan kabohidrat ini sesuai dengan penelitian
signifikan 40,29% jika dibandingkan dari Omenna et al. (2016) dimana kacang
dengan Petai segar. Kenaikan kadar lemak tunggak hasil perebusan dan pengukusan

156
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 23 No. 2 [Agustus 2022] 151-164
Efek Pengolahan Konvensional Pada Kandungan Gizi dan Anti Gizi Biji Petai (Maharani dkk)

secara signifikan lebih rendah dibanding hasil pengolahan dapat terjadi karena sifat
dengan kacang tunggak segar. dasar asam fitat yang labil terhadap suhu
Senyawa Anti gizi Biji Petai tinggi, sehingga kondisi suhu tinggi pada
Proses pengolahan biji Petai tidak proses pengukusan, perebusan dan
hanya menyebakan perubahan pada penggorengan menyebabkan kerusakan
senyawa gizi namun juga terjadi perubahan pada asam fitat (Nzewi dan Egbuonu,
pada senyawa antigizi. Senyawa anti gizi 2011). Kerusakan asam fitat karena suhu
merupakan senyawa yang disintesis pada tinggi disebabkan karena terjadinya
metabolisme tumbuhan yang dapat hidrolisis asam fitat sehingga merubah
menurunkan pemanfaatan nutrisi sehingga komposisi inositol heksafosfat menjadi
berpengaruh terhadap kecernaan penta-dan tetrafosfat (Alonso et al., 1998).
komponen gizi (Anggrahini, 2007). Proses Pengolahan dengan perebusan dan
pengolahan dilakukan sebagai upaya pengukusan menghasilkan kadar asam fitat
dalam menurunkan senyawa anti gizi yang biji Petai lebih rendah dibandingkan
dapat mencegah rendahnya kecernaan dengan biji Petai goreng. Hal tersebut dapat
beberapa komponen gizi seperti protein dimungkinkan karena asam fitat terlarut
dan mineral (Adeleke et al., 2017). dalam media yang digunakan selama
Komponen senyawa anti gizi yang terdapat proses pengolahan (Osman, 2007; McEwan
pada biji Petai diantaranya yaitu asam fitat, et al., 2014).
tanin, dan tripsin inhibitor. Perubahan anti
gizi dari biji Petai segar (kontrol)
dibandingkan dengan biji Petai yang diberi 0,1000
0,0801
perlakuan kukus, rebus, dan goreng
Asam Fitat (g/g)

0,0800
kemudian diamati penurunan pada tanin, 0,0616
asam fitat, dan tripsin inhibitor. Biji Petai 0,0600
0,0379
hasil pengolahan secara signifikan mampu 0,0400
menurunkan senyawa atigizi. 0,0212
0,0200
Asam Fitat 0,0000
Asam fitat banyak terdapat pada Petai Petai Petai Petai
bahan pangan nabati terutama pada jenis Segar Rebus Kukus Goreng
legum, serealia dan kacang-kacangan. Metode Pemasakan
Asam fitat dapat menurunkan kelarutan
Gambar 1. Perubahan Konsentrasi Antigizi
dan kecernaan protein ketika berikatan
Asam Fitat Selama Proses Pemasakan
dengan protein (Mariod et al., 2012). Biji
Petai segar mengandung 0,8 asam fitat/g
bahan. Proses pengolahan seperti Tanin
pengukusan, perebusan dan penggorengan Proses pengolahan diharapkan
mampu menurunkan kadar asam fitat pada mampu menurunkan kadar tanin pada
Petai. Petai goreng mengandung asam fitat Petai. Perubahan senyawa antigizi tanin
0,61 g/g bahan, lebih rendah dibandingkan selama proses pengolahan konvensional
dengan Petai segar. Adapun asam fitat dapat dilihat pada Gambar 2. Kadar tanin
Petai rebus dan kukus masing-masing yaitu proses pengolahan dengan perebusan
0,21g/g bahan dan 0,38 g/g bahan. signifikan (taraf signifikansi 95%)
Perubahan konsentrasi antigizi Asam Fitat menurunkan kadar tanin biji Petai dari
selama proses pengolahan dapat dilihat 0,0078 mg/g bahan pada Petai segar
pada Gambar 1. menjadi 0,0040 mg/g bahan. Namun,
Penelitian serupa yang dilakukan pengukusan dan penggorengan
oleh Pramita (2008) menunjukkan bahwa menunjukkan penurunan yang tidak
proses perendaman, kukus, rebus, dan signifikan dibandingkan dengan Petai
presto pada berbagai koro benguk, segar, Petai kukus 0.050 mg/g dan goreng
glinding, dan pedang mampu menurunkan memiliki kadar tanin sebesar 0,0063 mg/g
kadar asam fitat mencapai 60–80%. bahan.
Penurunan kadar asam fitat pada biji Petai

157
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 23 No. 2 [Agustus 2022] 151-164
Efek Pengolahan Konvensional Pada Kandungan Gizi dan Anti Gizi Biji Petai (Maharani dkk)

Penurunan kadar tanin juga terjadi Petai rebus, kukus maupun goreng. Hal ini
pada penelitian Harifah (2017) dimana biji membuktikan bahwa proses pengolahan
lamtoro selama proses perebusan dan konvensional dapat mengurai aktivitas
pengukusan yang mengalami penurunan tripsin inhibitor.
sebesar 46%, hal ini terjadi akibat dari sifat
tanin yang labil terhadap pemanasan dan
mudah larut dalam air sehingga terjadi
leaching dan degradasi molekul tanin serta 0,0250 0,0225

Tripsin Inhibitor (TIU/mg)


beberapa komponen tanin yang akan larut
kedalam media. Menurut Alonso et al. 0,0200
(2000), proses pengolahan dengan suhu 0,0150 0,0127
tinggi mampu merusak molekul tanin serta 0,0101
merubah sifat kimia molekul tersebut, 0,0100 0,0068
sehingga menurunkan kereaktifannya dan 0,0050
kemampuannya membentuk kompleks
yang tidak larut dengan molekul lain. 0,0000
Alonso et al., (1998) menambahkan bahwa Petai Petai Petai Petai
suhu yang tinggi pada proses pengolahan Segar Rebus Kukus Goreng
dapat menyebabkan kerusakan pada tanin, Metode Pemasakan
karena selama proses pengolahan terjadi Gambar 3. Perubahan Konsentrasi Antigizi
perubahan struktur molekul tanin secara Tripsin Inhibitor Selama Proses Pemasakan
kualitatif.

Penurunan aktivitas tripsin inhibitor


0,0100 ini serupa dengan penelitian Agrahar-
0,0078
Murugkar dan Jha (2010) dimana proses
0,0080
Tanin (mg/g)

0,0063 pengukusan tepung kedelai selama 10


0,0060 menit serta pengeringan udara panas pada
0,0040 0,0050
0,0040 suhu 60 oC dapat menurunkan aktivitas
tripsin inhibitor sebesar 80%. Merebus dan
0,0020 memanggang juga efektif dalam
0,0000 menurunkan kadar faktor anti nutrisi
Petai Petai Petai Petai dalam kacang tunggak, kandungan tripsin
Segar Rebus Kukus Goreng inhibitor pada sampel kacang tunggak segar
Metode Pemasakan sebesar 19,81 TIU/mg bahan turun menjadi
0,33 TIU/mg bahan setelah dilakukan
Gambar 2. Perubahan Konsentrasi Antigizi
proses berebusaan selama 65 menit pada
Tanin Selama Proses Pemasakan
suhu 100 oC (Omenna et al., 2016). Proses
pemanasan mampu menurunkan aktivitas
tripsin inhibitor karena tripsin inhibitor
Tripsin Inhibitor
memiliki sifat yang labil terhadap
Perubahan konsentrasi tripsin
pemanasan akibat dari adanya deaminasi
inhibitor pada Petai dengan proses
pemutusan ikatan kovalen seperti hidrolisis
pengolahan konvensional dapat dilihat pada
ikatan peptida pada residu asam
Gambar 3. Berdasarkan tersebut kandungan
karboksilat serta rusaknya ikatan disulfia
tripsin inhibitor pada sampel segar sebesar
(Alonso et al., 1998).
0,0321 TIU/mg bahan; rebus sebesar 0,0115
TIU/mg bahan; kukus sebesar 0,0100
Kecernaan Protein In vitro (IVPD)
TIU/mg bahan, dan goreng sebesar 0,0137
Nilai cerna protein dipelajari guna
TIU/mg bahan. Presentase penurunan
mengetahui seberapa besar protein suatu
tripsin inhibitor tertinggi terjadi pada Petai
bahan pangan dapat dicerna dengan baik
rebus sebesar 35,82%. Biji Petai yang diolah
dalam sistem pencernaan. Kecernaan
segar memiliki kandungan tripsin inhibitor
protein dapat diartikan sebagai efektivitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan biji
absorbsi protein oleh tubuh (Asrullah et al.,

158
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 23 No. 2 [Agustus 2022] 151-164
Efek Pengolahan Konvensional Pada Kandungan Gizi dan Anti Gizi Biji Petai (Maharani dkk)

2012). Hal tersebut berkaitan dengan Petai segar.


keberadaan senyawa/komponen lain Proses pengukusan dan perebusan
dalam suatu bahan pangan yang dapat signifikan meningkatkan nilai cerna protein
mempengaruhi kecernaan protein. Salah biji Petai, dengan nilai masing-masing yaitu
satunya yaitu keberadaan senyawa anti gizi 66,32% dan 67,45%. Peningkatan nilai cerna
pada bahan pangan, yang umumnya protein tersebut diduga terjadi akibat
banyak terdapat pada bahan pangan jenis proses pengukusan dan perebusan yang
kacang-kacangan. mampu merusak struktur senyawa anti gizi
Selain itu faktor yang mempengaruhi seperti tanin dan asam fitat yang mengikat
kecernaan protein suatu bahan adalah lama protein menjadi komponen tidak larut,
penyimpanan. Pada penelitian Sari et al. sehingga perebusan dan pengukusan dapat
(2017), yang menyatakan daya cerna meningkatkan kelarutan protein dan
protein in vitro pada biji Petai tanpa meningkatkan nilai cernanya (Alonso et al.,
pengolahan dengan penyimpanan suhu 1998; Alonso et al., 2000; Habiba, 2002).
kamar terjadi peningkatan dari 66,37% Selain itu, peningkatan nilai cerna protein
pada penyimpanan hari ke-4 menjadi dari biji Petai dengan perlakuan perebusan
70,83% pada hari ke-8. Namun pada dan pengukusan ini menyebabkan asam
penyimpanan biji Petai dengan suhu 15 °C fitat, tanin dan tripsin inhibitor larut pada
peningkatan nilai cerna tidak berbeda media air yang berinteraksi dengan protein
signifikan. Menurut Hejazi et al. (2016), untuk membentuk kompleks. Proses
terjadi peningkatan nilai daya cerna protein pengolahan terbukti dapat dapat
selama pematangan biji amaranth sehingga meningkatkan kecernaan protein dengan
presentasi nilai cerna tergantung pada lama menghambat aktifitas enzim protease
waktu penyimpanan. (Adeleke et al., 2017). Pengukusan dan
perebusan juga dapat merusak struktur
tripsin inhibitor sehingga kemampuannya
70,0 67,45 dalam menghambat aktifitas enzim
66,32
Kecernaan Protein (%)

68,0 65,77 protease yang bertugas memecah protein


66,0 biji Petai dapat diinaktivasi (Alonso et al.,
62,19 1998; Alonso et al., 2000; Habiba, 2002;
64,0
Krupa-Kozak, 2008). Hal ini sesuai dengan
62,0 data hasil pengujian senyawa anti gizi,
60,0 proses perebusan menghasilkan biji Petai
58,0 dengan tingkat senyawa anti gizi lebih
56,0 rendah dibandingkan dengan proses
Petai Petai Petai Petai pengukusan. Hasil tersebut berbanding
Segar Rebus Kukus Goreng lurus dengan nilai cerna protein biji Petai
Metode Pemasakan rebus yang menunjukkan hasil signifikan
lebih tinggi dibandingkan dengan
Gambar 4. Perubahan Nilai Kecernaan
pengukusan. Hasil yang diperoleh dalam
Protein In vitro Selama Proses Pemasakan
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Deng et al. (2015) dimana
Nilai cerna protein biji Petai
nilai in vitro digestibility protein (IVDP)
signifikan meningkat setelah melalui proses
pada buckwheat signifikan meningkat
pengolahan rebus dan kukus seperti yang
setelah perebusan. Peningkatan tersebut
dapat dilihat pada Gambar 4. Namun,
berkisar antara 73,56–78,32%.
proses penggorengan menghasilkan nilai
Peningkatan IVDP buckwheat
cerna biji Petai terendah (62,19%)
berbanding lurus dengan penurunan
dibandingkan dengan biji Petai segar
aktifitas TI dan kadar Tanin karena adanya
(65,77%). Rendahnya nilai cerna in vitro
proses pengolahan dengan suhu tinggi.
Petai goreng ini diduga akibat kadar
Selain itu, rusaknya struktur dinding sel
protein total Petai setelah digoreng
karena proses perebusan mampu
mengalami penurunan yang signifikan jika
meningkatkan IVDP pada kabau (Fitriani et
dibandingkan dengan kadar protein biji
al., 2021). Penelitian serupa yang dilakukan

159
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 23 No. 2 [Agustus 2022] 151-164
Efek Pengolahan Konvensional Pada Kandungan Gizi dan Anti Gizi Biji Petai (Maharani dkk)

oleh Adeleke et al. (2017) menunjukkan 2897/UN.1.DITLIT/DIT-LIT/PT/2020.


bahwa penurunan senyawa anti gizi (asam
fitat, tanin, saponin dan TI) berbanding
lurus terhadap peningkatan IVDP pada DAFTAR PUSTAKA
kacang tanah asli Afrika dengan perlakuan
perendaman dan perebusan. Perebusan Adeleke, O, -R., Adiamo, O, -Q., Fawale, O,
kacang tanah asli Afrika selama 30 menit -S., Olamiti, -G., 2017. Effect of
mampu meningkatkan IVDP dari 68,35% processing methods on
menjadi 89,34%. Hasil penelitian Harifah antinutrients and oligosaccharides
(2017), daya cerna protein yang diuji secara contents and protein digestibility of
in vitro pada biji lamtoro gung mengalami the flours of two newly developed
peningkatan setelah diberi perlakuan bambara groundnut cultivars.
perebusan dan pengukusan. Menurut International Food Research Journal.
Lehninger (1998), proses pengolahan secara 24(5), 1948–1955.
termal mampu mengakibatkan terjadinya http://www.ifrj.upm.edu.my/24%
denaturasi protein yang menyebabkan 20(05)%202017/(15).pdf
susunan tiga dimensi molekul protein Agrahar-Murugkar, -D., Jha, -K., 2010.
menjadi struktur yang acak. Dengan Effect of drying on nutritional and
terbukanya lipatan protein menjadikan functional quality and electrophoretic
enzim pencernaan lebih mudah untuk pattern of soyflour from sprouted
menghidrolisis dan memecah protein soybean (Glycine max). Journal Food
menjadi monomer-monomer. Science Technology. 47(5), 482-487.
https://doi.org/10.1007/s13197-010-
0082-5
SIMPULAN Almeida, C, -C., Monteiro, M, L, -G., Costa-
Lima, B, R, -C., Alvares, T, -S., Conte-
Seluruh proses pengolahan berhasil Junior, C, -A., 2015. In vitro
menurunkan senyawa antigizi tanin, asam digestibility of commercial whey
fitat dan tripsin inhibitor pada biji Petai protein supplements. LWT - Food
dengan signifikan. Metode perebusan Science and Technology. 61(1), 7–11.
menjadi metode yang paling tinggi dalam https://doi.org/10.1016/j.lwt.2014.1
menurunkan antigizi yaitu pada asam fitat 1.038
sebesar 75%, tanin sebesar 49%, dan tripsin Alonso, -R., Aguirre, -A.., Marzo, -F., 2000.
inhibitor sebesar 70%. Metode perebusan Effects of extrusion and traditional
menjadi metode yang paling baik dalam processing methods on antinutrients
mempertahankan komponen gizi biji Petai and in vitro digestibility of protein
dan meningkatkan nilai cerna protein in and starch in faba and kidney beans.
vitro biji Petai. Peningkatan nilai cerna Food Chemistry. 68(2), 159-165.
protein in vitro biji Petai sebesar 2,55%. https://doi.org/10.1016/S0308-
8146(99)00169-7
Alonso, -R., Orue, -E., Marzo, -F., 1998.
UCAPAN TERIMA KASIH Effects of extrusion and
conventional processing methods
on protein and antinutritional factor
Terima kasih kepada Kementerian content in pea seeds. Food
Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Chemistry. 63(4), 505-512.
Republik Indonesia yang telah mendanai https://doi.org/10.1016/S0308-
penelitian ini melalui skema Penelitian 8146(98)00037-5
Terapan Unggulan Perguruan Tinggi Anggrahini, -S., 2007. Pengaruh lama
(PTUPT) 2020. Penelitian ini adalah bagian pengecambahan terhadap
dari penelitian yang berjudul “Peptida Bioaktif kandungan α-tokoferol dan
dari Indigenous Indonesian Stinky Bean senyawa proksimat kecambah
Sebagai Sumber ACE Inhibitor untuk Menekan kacang hijau (Phaseolus radiatus L.).
Penyakit Hipertensi” dengan nomor AGRITECH. 27(4), 152-157.

160
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 23 No. 2 [Agustus 2022] 151-164
Efek Pengolahan Konvensional Pada Kandungan Gizi dan Anti Gizi Biji Petai (Maharani dkk)

https://doi.org/10.22146/agritech. food applications and health


9850 benefits of Parkia speciosa (stinky
beans). Agriculture & Food Security.
Asikin, -Y., Kusumiyati, Taira, -E., Wada, - 7(46), 1-9.
K., 2018. Alterations in the https://doi.org/10.1186/s40066-
morphological, sugar composition, 018-0197-x
and volatile flavor properties of Deliani. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi
Petai (Parkia speciosa Hassk.) seed Terhadap Kadar Protein, Lemak,
during ripening. Food Research Komposisi Asam Lemak dan Asam
International. 106, 647-653. Fitat pada Pembuatan Tempe. Tesis.
https://doi.org/10.1016/j.foodres.2 Universitas Sumatera Utara. Medan
018.01.044 Deng, -Y., Padilla-Zakour, -O., Zhao, -Y.,
Asrullah, -M., Mathar, A, -H., Jafar, C, -N., Tao, S., 2015. Influences of high
Fatimah., 2012. Denaturasi dan hydrostatic pressure, microwave
daya cerna protein pada proses heating, and boiling on chemical
pengolahan lawa bale (makanan compositions, antinutritional
tradisional Sulawesi Selatan). Media factors, fatty acids, in vitro protein
Gizi Masyarakat Indonesia. 1(2), 84- digestibility, and microstructure of
90. https://www.e- buckwheat. Food and Bioprocess
jurnal.com/2014/11/denaturasi- Technology. 8(11), 2235–2245.
dan-daya-cerna-protein-pada.html https://doi.org/10.1007/s11947-
Association of Official Analytical Chemist 015-1578-9.
(AOAC). 1995. Official Methods of El-Adawy, T, -A., 2002. Nutritional
Analysis of Association of Official composition and antinutritional
Analytical Chemist. AOAC factors of chickpeas (Cicer arietinum
International, Virginia USA L.) undergoing different cooking
Bethke, P, -C., Jansky, S, -H., 2008. The methods and germination. Plant
effects of boiling and leaching on Food for Human Nutrition. 57, 83–97.
the content of potassium and other https://doi.org/10.1023/a:1013189
minerals in potatoes. Journal of Food 620528
Science. 75(5), 80-85. El-Hady, E, A, -A., Habiba, R, -A., 2003.
https://doi.org/10.1111/j.1750- Effect of soakingand extrusion
3841.2008.00782.x conditions on antinutrients and
Bongoni, -R., Verkerk, -R., Steenbekkers, -B., protein digestibility of legume
Dekker, -M., Stieger, -M., 2014. seeds. LWT-Food Science and
Evaluation of different cooking Technology. 36 (3), 285-293.
conditions on broccoli (Brassica https://doi.org/10.1016/S0023-
oleracea var. italica) to improve the 6438(02)00217-7
nutritional value and consumer Fitriani, -A., Santoso, -U., Supriyadi, -S.,
acceptance. Plant Foods Human 2021. Conventional processing
Nutrition. 69(3), 228-234. affects nutritional and
https://doi.org/10.1007/s11130- antinutritional components and in
014-0420-2 vitro protein digestibility in Kabau
Chanwitheesuk, -A., Teerawutgulrag, -A., (Archidendron bubalinum).
Rakariyatham, -N., 2005. Screening International Journal of Food Science.
of antioxidant activity and 2021, 1–8.
antioxidant compounds of some https://doi.org/10.1155/2021/3057
edible plants of Thailand. Food 805
Chemistry. 92(3), 491–497. Gemede, H, -F., Ratta, -N., 2014.
https://doi.org/10.1016/j.foodche Antinutritional factors in plant
m.2004.07.035 foods: Potential health benefits and
Chhikara, -N., Devi, H, -R., Jaglan, -S., adverse effects. International Journal
Sharma, -P., Gupta, -P., Panghal, - of Nutrition and Food Sciences. 3(4),
A., 2018. Bioactive compounds, 284-289.

161
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 23 No. 2 [Agustus 2022] 151-164
Efek Pengolahan Konvensional Pada Kandungan Gizi dan Anti Gizi Biji Petai (Maharani dkk)

Habiba, R, -A. 2002. Changes in anti- https://doi.org/10.1155/2013/7090


nutrients, protein solubility, 28
digestibility, and HCl-extractability
of ash and phosphorus in vegetable Krupa-Kozak, -U., 2008. Main nutritional
peas as affected by cooking and antinutritional compounds of
methods. Food Chemistry. 77(2), 187- bean seeds – A rewiev. Polish
192. Journal of Food and Nutrition Science.
https://doi.org/10.1016/S0308- 58(2), 149-155.
8146(01)00335-1 Lehninger, AL. 1998. Dasar-Dasar Biokimia.
Hamid, Thakur, N, -S., Khumar, P., 2017. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Anti-nutritional factors, their Li, -J., Xiang, -Q., Liu, -X., Ding, -T., Zhang,
adverse effects and need for -X., Zhai, -Y., Bai, -Y., 2017.
adequate processing to reduce them Inactivation of soybean trypsin
in food. AgricINTERNATIONAL. inhibitor by dielectric-barrier
4(1), 56-60. discharge (DBD) plasma. Food
https://doi.org/10.5958/2454- Chemistry. 232, 515-522.
8634.2017.00013.4 http://dx.doi.org/
Harifah, CS. 2017. Perubahan Perubahan 10.1016/j.foodchem.2017.03.167.
Zat Gizi serta Nilai Cerna Protein Linsberger-Martin, -G., Weiglhofer, -K.,
secara In vitro serta Profil Asam Phuong, T, P, -T., Berghofer, -E.,
Amino Biji Lamtoro Gung (Leucaena 2013. High hydrostatic pressure
Leucocephala) Kukus dan Rebus. influences antinutritional factors
Tesis. Universitas Gadjah Mada. and in vitro protein digestibility of
Yogyakarta split peas and whole white
Hejazi, S, -N., Orsat, -V., Azadi, -B., Kubow, beans. LWT-Food Science and
-S. 2016. Improvement of the in vitro Technology. 51(1), 331-336.
protein digestibility of amaranth https://doi.org/10.1016/j.lwt.2012.
grain through optimization of the 11.008
malting process. Journal of Cereal Mariod, A, -A., Ahmed, S, -Y., Abdelwahab,
Science. 68, 59–65. S, -I., Cheng, S, -F., Eltom, A, -M.,
https://doi.org/10.1016/j.jcs.2015.1 Yagoub, S, -A., Gouk, S, -W., 2012.
1.007 Effects of roasting and boiling on
Helrich, K. 1990. Official Methods of Analysis the chemical composition, amino
of Association of Official Analytical acids and oil stability of safflower
Chemistry. AOAC, Washington DC. seeds. International Journal of Food
Hidayat, -C., 2016. Pemanfaatan fitase Science and Technology. 31(1), 1-7.
sebagai upaya penanggulangan https://doi.org/10.1111/j.1365-
asam fitat dalam ransum ayam 2621.2012.03028.x
pedaging. Wartazoa. 26(2), 57–68. Martin-Cabrejas, M, -A., Aguilera, -Y.,
http://dx.doi.org/10.14334/wartaz Pedrosa, M, -M., Cuadrado, -C.,
oa.v26i2.1178 Hernandez, -T., Diaz, -S., Esteban,
Ismed. 2016. Analisis proksimat keripik R, -M., 2009. The impact of
wortel (Daucus carota L.) pada suhu dehydration process on
dan lama penggorengan yang antinutrients and protein
berbeda menggunakan mesin digestibility of some legume flours.
vacuum frying. Jurnal Teknologi Food Chemistry. 144(3), 1063-1068.
Pertanian Andalas. 20(2), 25–32. https://doi.org/10.1016/j.foodche
https://doi.org/10.25077/jtpa.20.2. m.2008.10.070
25-32.2016 McEwan, -R., Shangase, F, -N., Djarova, -T.,
Kamisah, -Y., Othman, -F., Qodriyah, M, -S., Opoku, A, -R., 2014. Effect of three
Jaarin, -K., 2013. Parkia speciosa processing methods on some
hassk.: A potential phytomedicine. nutrient and anti-nutrient factor
Evidence-Based Complementary and constituent of Colocasia esculata
Alternative Medicine. 2013, 1-9. (Amadumbe). African Journal of Food

162
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 23 No. 2 [Agustus 2022] 151-164
Efek Pengolahan Konvensional Pada Kandungan Gizi dan Anti Gizi Biji Petai (Maharani dkk)

Science. 8(5), 286-291. https://doi.org/10.1016/S0189-


https://doi.org/10.5897/AJFS2013. 7241(15)30049-7.
1139 Orwa, C, Mutua, A, Kindt, R, Jamnadass, R,
Mittal, -R., Nagi, H, P, -S., Sharma, -P., Simons, A. 2009. Agroforestree
Sharma, -S., 2012. Effect of Database: A Tree Reference and
processing on chemical composition Selection Guide Version 4. World
and antinutritional factors in Agroforestry
chickpea flour. Journal of Food Osman, M, -A., 2007. Effect of different
Science and Engineering. 2, 180-186. processing methods on nutrient
https://doi.org/10.17265/2159- composition, antinutritional factors,
5828/2012.03.008 and in vitro protein digestibility of
Nurmala, -I., Rachmawan, -O., dolichos lablab bean [Lablab
Suryaningsih, -L., 2014. Pengaruh purpuresus (L) sweet]. Pakistan
metode pemasakan terhadap Journal of Nutrition. 6(4), 299-303.
komposisi kimia daging itik jantan https://doi.org/10.3923/pjn.2007.2
hasil budidaya secara intensif. 99.303
Jurnal Universitas Padjajaran. 3(2), 1- Osunbitan, S, -O., Taiwo, K, -A.,
10. Gbadamosi, S, -O., 2015. Effects of
http://jurnal.unpad.ac.id/ejournal different processing methods on the
/article/view/3623 anti- nutrient contents in two
Nzewi, -D., Egbuonu, A, C, -C., 2011. improved varieties of cowpea.
Effect of boiling and roasting on American Journal of Research
the proximate properties of Communication. 3(4), 74–87.
asparagus bean (Vigna http://www.usa-journals.com/wp-
sesquipedalis). African Journal of content/uploads/2015/03/Osunbit
Biotechnology. 10(54), 11239-11244. an_Vol34.pdf
https://doi.org/10.5897/AJB11.452 Pramita, D, S, 2008. Pengaruh Teknik
Olanipekun, B, -F., Otunola, E, -T., Oyelade, Pemanasan Terhadap Kadar Asam
O, -J., 2015. Effect of fermentation Fitat dan Aktivitas Koro Benguk
on antinutritional factors and in (Mucuna Prurens), Koro Glinding
vitro protein digestibility of (Phasealus Lunatus), dan Koro
bambara nut (Voandzeia subterranean Pedang (Canavallia Ensiformis).
L.). Food Science and Quality Skripsi. Universitas Sebelas Maret.
Management. 39, 96-110. Surakarta
https://core.ac.uk/download/pdf Sari, F, K, Supriyadi, Santoso, U. 2017.
/234684038.pdf Perubahan Komponen Rasa dan
Omenna, E, -C., Olanipekun, O, -T., Kolade, Kecernaan Protein Petai (Parkia
R, -O., 2016. Effect of boiling, speciosa Hassk) Selama
pressure cooking and germination Penyimpanan Pada Suhu Kamar
on the nutritional and antinutrients dan Suhu 15°C. Tesis. Universitas
content of cowpea (Vigna Gadjah Mada. Yogyakarta
unguiculata). ISABB Journal of Food Sari, N, -P., Putri, W, D, -R., 2018. Pengaruh
and Agriculture Science. 6(1), 1-8. lama penyimpanan dan metode
https://doi.org/10.5897/ISABB- pemasakan terhadap karakteristik
JFAS2016.0036 fisikokimia labu kuning (Cucurbita
Onuegbu, N, -C., Nworah, K, -O., Essien, P, moschata). Jurnal Pangan dan
-E., Nwosu, J, -N., Ojukwu, -M., Agroindustri. 6(1): 17-27.
2013. Proximate, functional and https://doi.org/10.21776/ub.jpa.20
anti-nutritional properties of boiled 18.006.01.3
proximate, functional and anti- Sundari, -D., Almasyhuri, Lamid, -A., 2015.
nutritional properties of boiled Pengaruh proses pemasakan
ukpo seed (Mucuna flagellipes) flour. terhadap komposisi zat gizi bahan
Nigerian Food Journal. 31(1), 1–5. pangan sumber protein. Media
Litbangkes. 25(4), 235-242.

163
Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 23 No. 2 [Agustus 2022] 151-164
Efek Pengolahan Konvensional Pada Kandungan Gizi dan Anti Gizi Biji Petai (Maharani dkk)

http://ejournal.litbang.kemkes.go.i Yovani , T., Wangrimen, G.H., Fitriani, A.,


d/index.php/MPK/article/view/4 2022. Characterization of Ganyong
590/0 (Canna discolor) and Cowpea
Wang, Y, -H., Zhang, Y, -R., Xu, -F., Zhang, (Vigna unguiculata) Flour Affected by
-Y, -L., 2020. Effect of boiling and Heat Moisture Treatment. Journal of
steaming on the surface tackiness of Agri-Food Science and Technology. 3(1),
frozen cooked noodles. LWT-Food 28-35.
Science and Technology. 130, 1-9. https://doi.org/10.12928/jafost.v3i1.
https://doi.org/10.1016/j.lwt.2020.1 6504
09747

164
ANALISIS PENGARUH WAKTU PEMANASAN TERHADAP
KADAR OKSALAT DALAM BAYAM HIJAU (Amarantus hybridus)
DENGAN MENGGUNAKAN METODE SPEKTROFOTOMETRI UV-Vis

Rusvirman Muchtar*, Yusi Fudiesta, Sukrido, Devi Windaryanti


Jurusan Kimia, Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi – Bandung
*Corresponding author email : ir.muctar@gmail.com

ABSTRACT

Green spinach( Amaranthus hybridus) was utilized as complement of food as vegetable as spinach is cooked
through instillation process with stewed (clear spinach vegetable) and slicing (spinach vegetable). Besides
contains a lot of nutrient, spinach also contain substance anti nutrient which is oxalate what do get to precipate
calcium and forms calcium oxalate that can't be absorbed by body, so formed by causative dissolvable salt
sediment its appearance calculus disease. After been done research to spinach vegetable of trick second upon
with at poaching was gotten by content oxalate as big as 0,108 g (without condiment) and 0,112 g (with
condiment) with optimum time 3 minutes. On brew with slicing oxalate content 0,112 g (without condiment)
and 0,125 g (with condiment) with maximum time 5 minutes. Measurement oxalate content utilizes UV Vis's
Spectrophotometer method on wavelength 345 nm. Oxalat's rate in green spinach lies under letal dose is
contemned according to BADAN POM RI 2012 (6 - 8 g).

Keywords: Spinach, Oxalate, Spectrophotometry Uv-Vis

ABSTRAK

Bayam hijau (Amaranthus hybridus) sudah dimanfaatkan sebagai pelengkap makanan berupa sayuran bayam
dimasak melalui proses pemanasan dengan rebusan (sayur bayam bening) dan ditumis (sayur bayam). Selain
mengandung banyak gizi, bayam juga mengandung zat anti gizi yaitu oksalat yang dapat mengendapkan
kalsium dan membentuk kalsium oksalat yang tidak dapat diserap oleh tubuh, sehingga terbentuk endapan
garam yang tidak dapat larut yang menyebabkan munculnya penyakit batu ginjal. Setelah dilakukan penelitian
terhadap sayur bayam dari kedua cara di atas dengan di rebus didapatkan kandungan oksalat sebesar 0,108 g
(tanpa bumbu) dan 0,112 g (dengan bumbu) dengan waktu optimum 3 menit. Pada pemasakan dengan
penumisan kadar oksalat 0,112 g (tanpa bumbu) dan 0,125 g (dengan bumbu) dengan waktu maksimum 5
menit. Pengukuran kadar oksalat menggunakan metode Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
345 nm. kadar oksalat dalam bayam hijau berada di bawah letal dosis terendah menurut Badan POM RI 2012
(6-8 g).

Kata Kunci : Bayam (Amaranthus hybredus), Asam oksalat, Spektrofotometer UV-Vis

Submitted on: 7 April 2017 Accepted on: 1 Desember 2017

DOI: https://doi.org/10.25026/jsk.v1i8.81

PENDAHULUAN mudah diperoleh di setiap pasar, baik


Bayam (Amarantus hybridus) pasar tradisional maupun passar modern.
termasuk jenis sayuran daun yang sudah Chamjangali et al (2006) melaporkan
lama dikenal dan dibudidayakan secara bahwa sayur bayam mengandung kadar
luas di Indonesia. Bayam merupakan oksalat sebanyak 3,8 ppm, penelitian-
salah satu jenis sayuran komersil yang penelitian terbaru juga menunjukan bahwa

Jurnal Sains dan Kesehatan. 2017. Vol 1. No 8. 415


p-ISSN: 2303-0267, e-ISSN: 2407-6082
Analisis pengaruh waktu pemanasan terhadap Kadar oksalat dalam bayam hijau (Amarantus hybridus)
dengan menggunakan metode spektrofotometri uv-vis

kandungan kadar oksalat bertambah atau yang berwarna merah. Memiliki tinggi
semakin banyak larut apabila dibiarkan batang sekitar 0.4-1 mtr dan bercabang,
terlalu lama atau sayuran dipanaskan batang lemah dan berair, daun bertangkai,
kembali. berbentuk bulat telur serta pangkal
Pemanasan dengan cara perebusan runcing berwarna merah. Manfaat utama
suhu tinggi, selain mengurangi kadar bayam merah adalah memperlancar sistem
oksalat dapat juga menurunkan beberapa pencernaan, menurunkan resiko terkena
nutrisi penting dalam bahan sayur, dan kanker, mengurangi kolestero dan anti
penurunan kadar oksalat sampai 52,1% diabetes (Purwaningsih, 2007).
bila dimasak pada suhu 600C selama satu Manfaat dari kandungan nutri
jam. Menurut Sentra Informasi bayam diantaranya ; a) melawan sel
Keracunana Nasional dan Badan POM RI kanker (adanya vitamin A dan C, serat,
(2012) rata-rata dosis letal asam oksalat asam folat, 13 flavonoid, dari hasil
pada manusia dewasa 15-30 gram. Dosis penelitian, menunjukan kandungan
letal terendah yang pernah di laporkan tersebut dapat menurunkan resiko kander
adalah 6-8 gram (fitriani dkk., 2016). 34 % terutama kanker payudara, kanker
Menurut Jiang et al (1996), kandungan rahim, kanker prostat, kanker kulit,
oksalat yang tinggi dalam urin atau b).Sumber Anti-inflamasi, bayam
komponen darah dapat menyebabkan mengandung sifat alkalinitas yang tinggi
penyakit ginjal, kekurangan vitamin, sehingga membuat sayur ini pilihan yang
penyakit usus dan hiperoksaluria. Selain sempurna bagi penderita penyakit
itu oksalat merupakan asam kuat sehingga inflamasi, seperti rheumatoid arthritis dan
dapat mengiritasi saluran pencernaan osteoarthritis, c).Menutrisi tulang dan
terutama lambung. Jenis-jenis bayam sendi, Kandungan kalsium yang terdapat
yakni bayam hijau dan bayam merah, dalam bayam mampu untuk menguatkan
Bayam hijau adalah jenis bayam yang semua tulang pada tubuh. Sehingga dapat
biasa dikonsumsi, bentuk daunnya yang meminimalisir terjadi pengeroposan pada
kecil dan lembut sangat digemari oleh tulang atau osteoporosis sedini mungkin
masyarakat, bayam ini juga disebut bayam dengan rutin mengkonsumsi bayan, d).
cabut (Amaranthus Tricolor. L).terdiri Mengurangi risiko penyakit
dari 2 spesies yaitu : 1).Amaranthus kardiovaskular, bayam merupakan sumber
hybridrus caudatus.L, memiliki daun agak folat yang baik, yang dapat mengurangi
panjang dengan ujung agak runcing, homosistein, asam amino yang ditemukan
berwarna hijau kemerahan atau merah tua dalam darah. Oleh sebab itu penelitian ini
dan bunganya tersusun dalam rangkaian diarahkan terhadap waktu pemanasan
panjang berkumpul pada ujung batang, yang baik pada sayur bayam dengan
dan 2).Amaranthus hybridrus proses perebusan (sayur bayam bening)
paniculatus.L, memiliki dasar daun yang dan prosaes penumisan (sayur bayam
lebar sekali, berwarna hijau, rangkaian tumis) menggunakan bumbu masak dan
bunga panjang tersusun secara teratus dan tanpa bumbu masak. Pengukuran kadar
besar-besar pada ketiak daun (Rukmana, oksalat menggunakan metoda
1994). Bayam merah atau blitul rubrum. Spektrofotometer UV-Vis.
Cirinya yaitu memiliki batang dan daun

Jurnal Sains dan Kesehatan. 2017. Vol 1. No 8. 416


p-ISSN: 2303-0267, e-ISSN: 2407-6082
Analisis pengaruh waktu pemanasan terhadap Kadar oksalat dalam bayam hijau (Amarantus hybridus)
dengan menggunakan metode spektrofotometri uv-vis

Gambar 1. Bayam (a) Hijau dan (b) Merah (Jamaluddin, 2012)

Tabel 1 Kandungan gizi pada 100 gram bayam hijau dan bayam merah. (Lingga,2010)
Komponen Bayam Bayam Komponen Bayam Bayam Komponen Bayam Bayam
Gizi Hijau merah Gizi Hijau merah Gizi Hijau merah
Energi 36 kcal 51 kcal Fosfor 67 mg 111 mg Air 86,9 g 86,0 g
Protein 3,5 g 4,6 g Zat besi 3,9 g 2,2 g Bgn larut 71 % 71 %
Lemak 0,5 g 0,6 g Vit. A 6,09 g 5,80 g
Karbohidrat 6,5 g 10,0 g Vit.B1 6,5 g 10,0 g
Kalsium 267 mg 368 mg Vit.C 267 mg 368 mg

METOLOGI PENELITIAN

Bayam hijau
dicuci, dipotong kecil-kecil
Bayam bersih yang
sudah dipotong kecil
bumbu
Tumis tanpa bumbu Rebus

tumis bumbu tumis tanpa bumbu rebus bumbu rebus tanpa bumbu
(TB) (TTB) (RB) (RTB)

Proses pemasakan
dipanaskan 3,5,8,10 menit
dinginkaan dan blender
Bayam bentuk pasta
Proses pelarutan
-tambahkan akuades
-dikocok dan dekantasi
Larutan TB,TTB,RB,RTB

diukur dengan spektrofometer Uv-Vis


Data evaluasi Pelaporan

Jurnal Sains dan Kesehatan. 2017. Vol 1. No 8. 417


p-ISSN: 2303-0267, e-ISSN: 2407-6082
Analisis pengaruh waktu pemanasan terhadap Kadar oksalat dalam bayam hijau (Amarantus hybridus)
dengan menggunakan metode spektrofotometri uv-vis

Alat dan Bahan bahan kimia, aquades, bayam hijau, Asam


Alat-alat gelas laboiratorium, pH asetat, besi (II) aluminium sulfat, kalium
meter, spektrofotometer UV-Vis T60 PG bromat, kalium iodida, natrium asetat, natrium
Instrumen, stop watch, hotpalte, timbangan oksalat
analitis dan teknis, sentrifuge dan bahan-

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan Panjang Gelombang Maximum

kurva panjang gelombang maksimum


0,45

0,35
absorbansi

0,25

0,15

0,05
280 300 320 340 360 380
panjang gelombang

Gambar 3 kurva panjang gelombang maksimum

Pembuatan kurva standar oksalat.

Kurva standar oksalat


1,1
1
0,9
0,8
absorbansi

0,7
0,6
0,5
0,4 y = 0,0487x + 0,0335
0,3 R² = 0,998
0,2
0,1
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
konsentrasi (ppm)

Gambar 4. Kurva standar oksalat

Jurnal Sains dan Kesehatan. 2017. Vol 1. No 8. 418


p-ISSN: 2303-0267, e-ISSN: 2407-6082
Analisis pengaruh waktu pemanasan terhadap Kadar oksalat dalam bayam hijau (Amarantus hybridus)
dengan menggunakan metode spektrofotometri uv-vis

Penentuan Kadar Oksalat Dalam Bayam Hijau

kadar oksalat dalam bayam hijau yang direbus


0,12
kadar oksalat (gram)

0,11
0,108
0,10
0,1
0,09
0,08 0,084
0,07 0,076
0,06
0 2 64 8 10 12
waktu (menit)
Gambar 5 Kadar oksalat dalam bayam hijau yang direbus

kadar oksalat dalam bayam hijau yang direbus


tambah bumbu
0,14
kadar oksalat (gram)

0,13
0,12
0,128
0,12
0,112
0,108
0,11

0,10
0 2 4 6 8 10 12
waktu (menit)

Gambar 6 Kadar oksalat dalam bayam hijau yang direbus tambah bumbu

kadar oksalat dalam bayam hijau yang tumis


0,14
kadar oksalat (gram)

0,13 0,132
0,12
0,124
0,11
0,112
0,10 0,092
0,09
0,08
0 2 4 6 8 10 12
waktu (menit)
Gambar 7. Kadar oksalat dalam bayam hijau yang ditumis tanpa bumbu

Jurnal Sains dan Kesehatan. 2017. Vol 1. No 8. 419


p-ISSN: 2303-0267, e-ISSN: 2407-6082
Analisis pengaruh waktu pemanasan terhadap Kadar oksalat dalam bayam hijau (Amarantus hybridus)
dengan menggunakan metode spektrofotometri uv-vis

kadar oksalat dalam bayam hijau yang tumis


tambah bumbu
0,129
kadar oksalat ( gram) 0,126 0,128 0,128
0,123 0,125 0,12
0,12
0,117
0 2 4 6 8 10 12
waktu (menit)
Gambar 8. Kadar oksalat dalam bayam hijau yang tumis tambah bumbu

Pembahasan seperti pada gambar 5 dan gambar 8


Pada gambar 3 terlihat panjang dengan waktu maksimum permanasan
gelombang spektrofoto meter maksimum juga 3 menit. Waktu penumisan di
pada 345 nm , panjang gelombang perpanjang juga menjadikan sayur tumis
maximum ini akan digunakan dalam bayam menjadi layu dan menggumpal
penentuan kadar oksalat dalam bayan dengan kandungan oksalat berkurang dan
hijau sebagai sampel. Untuk menghitung kemungkinan zat gizi hilang atau
kadar oksalat dalam bayam melalui berkurang. Sayur bening bayam dan sayur
persamaan regresi linier y= 0,487 x + tumis bayam waktu yang baik untuk di
0,0335 dengan koefisien korelasi 0,998 konsumsi selama 3 menit dan kandungan
yang diperoleh dari perhitungan kurva oksalat masih berada di bawah batas
standar oksalat gambar 4. ambang yang diizinkan Badan POM RI
Kandungan oksalat dalam sayur 2012 yaitu 6 – 8 g, dengan demikian kedua
bayam yang direbus tanpa bumbu macam sayuran tersebut layak di
diperlihatkan pada gambar 6, dimana konsumsi sebagai makanan pelengkap
waktu pemanasan maksimum pada 3 dari makanan 5 sehat 4 sempurna.
menit, kadar oksalat 0,108 g direbus tanpa
bumbu (sayur bayam bening) dan 0,112 g KESIMPULAN
direbus pakai bumbu (sayur bening Berdasarkan penelitian yang telah
bayam) dengan waktu pemanasan dilakukan pengaruh waktu pemanasan
maksimum 3 menit. Bila waktu bayam hijau terhadap kadar oksalat dapat
pemanasan diperpanjang atau disimpulkan sebagai berikut:
memasaknya dengan waktu lebih dari 3 1. Pada proses pemanasan dengan
menit, bayam akan layu atau menggumpal direbus semakin lama kadar
kemungkinan kandungan gizi berkurang oksalatnya semakin rendah, waktu
atau hilang sedang kandungan oksalat juga pemanasan optimumnya yaitu pada 3
berkurang dalam hal ini sebaiknya bayam menit dengan kadar oksalat sebesar
jangan dikonsumsi sebagai makanan 0,108 gram. Perebusan dengan
sayuran. bumbu diperoleh waktu optimumnya
Pemasakan sayur bayam melalui yaitu pada 3 menit dengan kadar
penumisan atau sayur tumis bayam oksalat sebesar 0,112 g.
diperoleh kandungan oksalat 0,132 g 2. Pada proses pemanasan dengan
tanpa bumbu dan 0,128 g pakai bumbu ditumis waktu pemanasan

Jurnal Sains dan Kesehatan. 2017. Vol 1. No 8. 420


p-ISSN: 2303-0267, e-ISSN: 2407-6082
Analisis pengaruh waktu pemanasan terhadap Kadar oksalat dalam bayam hijau (Amarantus hybridus)
dengan menggunakan metode spektrofotometri uv-vis

optimumnya yaitu 5 menit dengan [4]. Jamaluddin, 2012,Pengetahuan Masyarakat


kadar oksalat sebesar 0,112 g. Tentang Sayur Bayam,
http://elib.unikom.ac.id/files/dish1/619/jbptu
Penumisan dengan bumbu diperoleh nikompp-gdl-Jamaluddin-30944-10-
waktu optimumnya yaitu 5 menit unikom_j-i. Diakes pada 6 Desember 2016.
dengan kadar oksalat sebesar 0,125g [5]. Jiang, Z.L, M.X.Zhao, L.X.Liao. 1996.
3. Kadar oksalat dalam bayam hijau Catalytic Spectrophotometric Methods For
yang dihasilkan berada di bawah letal Determination of Oxalic Acid. Analytical
Chemical. Acta 320: 139-143.
dosis terendah menurut Badan POM [6]. Ramdani, S. 2010. Bayam Jadi Pilihan Usaha.
RI 2012 yaitu 6-8 g. Cet 2. Sarjana Ilmu Pustaka. Bandung.
[7]. Rukmana, R. 1994. Bayam, Bertaman &
DAFTAR PUSTAKA Pengolahan Pascapanen. Kanisius.
[1]. Ahmad, D. 2008. Manfaat Tanaman Obat. Yogyakarta.
Penerbit Edsa Mahkota. Jakarta. [8]. Santoso, A.M. 2013. Distribution Of Calcium
[2]. Chamjangali, M.A. Keley, V. Bagherian, G. Oxalate Cristal, Reduction Of Oxalates, And
2006. Kinetic Spectrophotometric Method The Effect Of Cultivation Method On Its
For The Determination Of Trace Amounts Of Formation In Some Vegetable.
Oxalate By An Activation Effect. Analytical Seminar Nasional X Pendidikan Biologi FKIP
Sciences. Vol 22. Hal 333-336. UNS. Vol 10. No. 2
[3]. Fitriani, H. Nurlailah.Rakhmina, D. 2016.
Kandungan Asam Oksalat Sayur
Bayam. Jurnal Analis Kesehatan. Kemenkes
Banjarmasin. Vol 2(2). Hal 51-55.

Jurnal Sains dan Kesehatan. 2017. Vol 1. No 8. 421


p-ISSN: 2303-0267, e-ISSN: 2407-6082
Jurnal Dunia Gizi, Vol. 5, No. 2, Desember 2022: 69-75

E-ISSN : 2614-6479
Open Access
https://doi.org/10.33085/jdg.v5i2.5528 Journal of The World of Nutrition

ORIGINAL ARTICLE

EFEK PEREBUSAN BASA DAN ASAM TERHADAP KANDUNGAN GIZI DAN ZAT ANTI
GIZI PADA PEMBUATAN TEMPE BIJI KECIPIR

Effects of Alkaline and Acid Boiling Treatment on Nutritional and Anti-Nutritional


Value of Winged Bean Tempe

Nurul Putrie Utami1*, Aprilia Fitriani2, Nabila Fadhila1, Okvania Putri Nabila1, Wahyu Nugroho2
1
Program Studi Bisnis Jasa Makanan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta,
Indonesia
2
Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta,
Indonesia
* Penulis Korespondensi

Abstrak
Pendahuluan; Biji kecipir merupakan salah satu tanaman yang mudah dibudidayakan di daerah tropis dan
memiliki kandungan gizi yang tinggi terutama protein. Namun, penggunaannya dalam konsumsi sehari-hari masih
jarang karena adanya sifat organoleptik yang kurang disukai dan mengandung zat anti gizi. Pembuatan biji kecipir
menjadi tempe diharapkan dapat meningkatkan daya terima biji kecipir. Tujuan; untuk mengetahui efek
pemberian zat basa dan asam pada perebusan biji kecipir dalam pembuatan tempe biji kecipir terhadap kandungan
gizi dan zat anti gizinya. Bahan dan Metode; jenis penelitian eksperimental dengan desain Rancangan Acak
Lengkap (RAL). Perlakuan yang dilakukan adalah pembuatan tempe biji kecipir dengan perebusan 2x dengan air
biasa (kontrol), perebusan pertama dengan basa, dan perebusan pertama dengan basa dan perebusan kedua dengan
asam. Hasil dari tempe yang telah dibuat kemudian dianalisis kadar air, abu, gizi makro, serat, tanin, dan asam
fitat. Hasil; Kedua perlakuan memiliki dampak pada kadar air yang lebih tinggi dibandingkan kontrol (p<0,05).
Kandungan gizi protein, lemak, dan serat lebih tinggi pada perlakuan kontrol (p<0,05), tetapi kadar fitat lebih
tinggi dari perlakuan lain (p<0,05). Sedangkan pada perlakuan asam dan basa, cenderung memiliki kadar
karbohidrat yang lebih tinggi serta tanin yang lebih tinggi (p<0,05). Kesimpulan; Penggunaan basa dan asam pada
perebusan biji kecipir hanya dapat meningkatkan kadar karbohidrat dan menurunkan asam fitat. Kandungan
protein, lemak, serat, dan tanin yang lebih rendah dijumpai pada perlakuan tanpa basa dan asam.
Kata Kunci: Biji Kecipir, Tempe, Perebusan, Asam, Basa

Abstract
Background; Winged bean seeds are one of the plants that are easily cultivated in the tropics and have a
high nutritional content, especially protein. However, its use in daily consumption is still rare because of its
unfavorable organoleptic properties and contains anti-nutritional substances. Making winged bean seeds into
tempeh is expected to increase the acceptability of winged bean seeds. Objectives; The purpose of this study was
to determine the effect of giving alkaline and acid substances on boiling winged bean seeds in making winged bean
tempeh on the nutritional content and anti-nutritional substances. Material and Method; This type of experimental
research with a completely randomized design (CRD). The treatments were making winged bean tempeh with 2x
boiling with plain water (control), the first boiling with base, and the first boiling with base and the second boiling
with acid. The results of the tempeh that have been made are then analyzed for water content, ash, macronutrients,
fiber, tannin, and phytic acid. Results; Both treatments had a higher impact on water content than the control
(p<0.05). Nutrient content of protein, fat, and fiber higher in the control treatment (p<0.05), but the phytate
content was higher than the other treatments (p<0.05). While in acid and alkaline treatment, tend to have higher
carbohydrate content and higher tannins (p<0.05). Conclusion; The use of bases and acids in boiling winged
bean seeds can only increase carbohydrate levels and reduce phytic acid. Lower content of protein, fat, fiber, and
tannin was found in the treatment without base and acid.
Keywords: Winged Bean, Tempeh, Boiling, Acid, Alkaline

Nurul Putrie Utami: Universitas Ahmad Dahlan, Jalan Pramuka 42, Sidikan, Umbuharjo, Yogyakarta, Indonesia
55161. Email:nurul.putrie@culinary.uad.ac.id
69
Jurnal Dunia Gizi, Vol. 5, No. 2, Desember 2022: 69-75

PENDAHULUAN
Protein merupakan zat gizi esensial yang dibutuhkan oleh tubuh manusia karena memiliki fungsi
sebagai pembangun tubuh, transpor zat gizi, dan penunjang fungsi fisiologis tubuh penting lainnya.
Umumnya sumber protein hewani memiliki penyerapan lebih baik karena memiliki asam amino yang
lebih lengkap sehingga penyerapan dan penggunaan dalam tubuh lebih optimal. Sedangkan protein
nabati disebut memiliki kualitas lebih rendah karena memiliki asam amino pembatas dan mengandung
zat anti gizi yang menghambat penyerapan zat gizi (1). Protein nabati tidak seunggul protein hewani,
tetapi memiliki kontribusi gizi yang bermanfaat bagi tubuh manusia karena kandungan antioksidan,
serat, serta vitamin mineral yang dikandungnya.
Potensi pangan sumber protein nabati sangat tinggi di Indonesia, salah satunya biji kecipir.
Walaupun kurang populer pada hidangan kuliner Indonesia, kandungan protein pada biji kecipir cukup
tinggi yaitu 41,57%, lebih tinggi dibandingkan kacang kedelai, kacang koro, dan kacang hijau (2). Selain
itu, kadar asam amino esensial seperti arginin, alanin, fenilalanin, isoleusin, dan leusin juga
kandungannya lebih tinggi pada biji kecipir (3). Dibandingkan produk protein nabati serupa, biji kecipir
merupakan bahan yang memiliki kandungan protein tinggi sehingga bisa dimanfaatkan dan diolah
menjadi pangan yang bergizi tinggi. Namun, dalam masakan sehari-hari, biji kecipir tidak seunggul
protein nabati lainnya seperti kedelai karena rasa yang cenderung langu dan teksturnya yang keras (4,5).
Pengolahan biji kecipir dalam meningkatkan kandungan gizinya salah satunya adalah dengan
pembuatan tempe. Pada penelitian sebelumnya tempe biji kecipir diberikan beberapa tambahan seperti
biji wijen untuk mengurangi rasa langunya, tetapi skor aroma langu masih dan keras (6). Penelitian lain
yang mencoba menambahkan ikan teri juga belum dapat membuat tekstur yang disukai, walaupun aroma
langu pembuatan tempe biji kecipir bisa tertutupi dengan aroma teri (7). Sehingga dalam pengembangan
tempe berbahan baku biji kecipir sebagai produk tinggi protein terkendala oleh sifat organoleptiknya
yang menyebabkan proses pengolahan yang dilalui akan berbeda dengan kedelai.
Dalam mengatasi kendala tekstur yang keras dan aroma langu, maka perlu ada beberapa perlakuan
seperti perendaman dalam waktu lebih lama dan perebusan dengan penggunaan asam basa sebelum
dibuat menjadi tempe (1). Penggunaan basa dalam perebusan biji kecipir sebelum diolah mampu
membuat tekstur lebih lunak (8). Sedangkan perebusan pada kondisi asam cenderung membuat tekstur
sulit melunak (1). Namun, pada pembuatan tempe, penggunaan zat asam juga diperlukan dalam
pembuatan tempe karena dalam fermentasi tempe memerlukan pH 4,3-5,3 (9). Pembuatan tempe biji
kecipir dimaksudkan untuk menurunkan kadar fitatnya sehingga penyerapan protein pada biji kecipir
akan lebih baik, menurunkan kadar asam sianida dan meningkatkan kandungan protein (10,11).
Beberapa modifikasi penelitian ini pada perlakuan biji kecipir sebelum dilakukan fermentasi
menjadi tempe kecipir terhadap kandungan gizinya. Perlakuan yang dilakukan berupa perebusan basa
serta perebusan basa dan asam terhadap kandungan gizi makro (protein, lemak, karbohidrat, serat)
menjadi olahan tempe biji kecipir beserta kandungan zat anti gizinya (asam fitat dan tanin).

METODE
Jenis penelitian adalah eksperimen dengan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian
ini dilaksanakan dengan 3 perlakuan pada pembuatan tempe biji kecipir untuk memperbaiki karakteristik
sensoris (mengurangi bau langu dan tekstur yang keras) serta menurunkan senyawa anti nutrisinya.
Perlakuan kontrol berupa perebusan awal dan perebusan kedua tanpa penambahan senyawa asam
ataupun basa. Perlakukan kedua yaitu perebusan awal dengan penambahan larutan basa 10% dan
perebusan kedua tanpa tambahan senyawa lain lain. Sedangkan perlakuan ketiga adalah perebusan awal
dengan penambahan larutan basa dan perebusan kedua dengan penambahan larutan asam cuka 10%.
Penelitian pembuatan tempe biji kecipir ini dilaksanakan di Laboratorium Prodi Bisnis Jasa Makanan,
Universitas Ahmad Dahlan. Analisis proksimat dan anti gizi dilakukan di CV Chem-Mix Pratama.
Penelitian ini telah mendapatkan persetujan etik oleh Komisi Etik Universitas Ahmad Dahlan pada tahun
2022 dengan Nomor : 012208115.
Alat pengolahan adalah kompor, panci, besek, plastik, dan tusuk gigi. Bahan biji kecipir diperoleh
dari petani Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahan lain yang digunakan adalah air, sodium
bikarbonat (soda kue), cuka, dan ragi tempe. Proses pembuatan tempe kecipir dapat dilihat pada Gambar

Nurul Putrie Utami: Universitas Ahmad Dahlan, Jalan Pramuka 42, Sidikan, Umbuharjo, Yogyakarta, Indonesia
55161. Email:nurul.putrie@culinary.uad.ac.id
70
Jurnal Dunia Gizi, Vol. 5, No. 2, Desember 2022: 69-75

Sortasi dan pencucian biji kecipir

Perendaman 1 (24 jam)

Perebusan (30 menit) Perebusan + 10% sodium Perebusan + 10% sodium


bikarbonat (30 menit) bikarbonat (30 menit)

Perendaman 2 (12 jam)

Pengupasan kulit dan pencucian

Perajangan (12 jam)

Perebusan (1 jam) Perebusan (1 jam) Perebusan + 1% asam cuka


(1 jam)

Penirisan dan pendinginan

Peragian (2% ragi/kg biji kecipir)

Pembungkusan

Pemeraman (30 jam)

Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Tempe Biji Kecipir

Uji proksimat yang meliputi kadar air, abu, protein total, lemak dan karbohidrat dianalisa dengan
metode AOAC (12). Kadar air dianalisa dengan menggunakan metode termogravimetri, kadar abu
menggunakan metode pengabuan kering menggunakan instrument muffle furnace. Kadar protein total
dianalisis dengan menggunakan metode mikro Kjeldahl. Kadar lemak dianalisa dengan menggunakan
metode termogravimetri dengan ekstrasi lemak menggunakan metode soxhletasi. Analisa karbohidrat
mengacu pada metode perhitungan by difference. Serat kasar diukur dengan metode hidrolisis asam basa
dan dilanjutkan dengan metode termogravimetri. Kadar tannin dievaluasi dengan menggunakan
pengukuran absorbansi ekstrak tannin sampel, yang selanjutnya plotting absorbansi pada kurva standar
asam tanat (13). Terakhir, pengukuran asam fitat dimulai dengan ekstraksi Fe pada sampel. Konsentrasi
asam fitat dihitung dengan menggunakan nilai Ar Fe dan Mr asam fitat.
Data dianalisis perbedaan dengan menggunakan Uji ANOVA (analysis of variance). Jika
ditemukan perbedaan antar variabel selanjutnya akan diuji lanjut dengan DMRT (Duncan’s Multiple
Range Test) dengan menggunakan software SPSS.

Nurul Putrie Utami: Universitas Ahmad Dahlan, Jalan Pramuka 42, Sidikan, Umbuharjo, Yogyakarta, Indonesia
55161. Email:nurul.putrie@culinary.uad.ac.id
71
Jurnal Dunia Gizi, Vol. 5, No. 2, Desember 2022: 69-75

HASIL
Kandungan air tempe biji kecipir pada sampel kontrol signifikan tertinggi (p<0,05) dengan nilai
59,121% dibandingkan kedua perlakuan lainnya. Sebaliknya, kandungan kadar air tempe biji kecipir
perlakuan perebusan basa dan asam-basa menunjukkan hasil yang tidak signifikan (p<0,05), masing-
masing secara berurutan yaitu 59,834% dan 59,781%. Kadar abu pada Tabel 1 menunjukkan hasil yang
tidak ada perbedaan yang signifikan (p<0,05) pada masing-masing perlakuan.

Tabel 1. Hasil Uji Proximat dan Zat Anti Gizi pada Tempe Biji Kecipir
Kontrol Basa Asam dan Basa
Variabel
Mean ± SD Mean ± SD Mean ± SD
Kadar Air (%) 59,12a±0,16 59,83b±0,14 59,78b±0,08
Kadar Abu (%bk) 3,64a±0,11 3,99a±0,35 3,62a±0,12
c b
Kadar Protein (%bk) 49,85 ±0,50 48,24 ±0,01 46,12a±0,15
c b
Kadar Lemak (%bk) 9,92 ±0,10 8,84 ±0,21 8,23a±0,21
Kadar Karbohidrat (%bk) 0,11a±0,07 2,69b±0,11 6,98c±0,52
c b
Kadar Serat Kasar (%bk) 36,48 ±0,05 34,51 ±0,10 33,44a±0,08
b a
Total Energi (kal/100 g) 123,89 ±0,39 121,13 ±0,57 121,94a±0,21
a b
Kadar Tanin (%bk) 0,994 ±0,001 1,050 ±0,003 1,164c±0,001
c b
Kadar Asam Fitat (%bk) 0,052 ±0,000 0,042 ±0,000 0,036a±0,000
Catatan: %bk: %bahan kering. Tanda superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan
yang signifikan antar perlakuan (P<0,05)

Kandungan zat gizi makro (protein, lemak, karbohidrat) pada tempe biji kecipir di ketiga
perlakuan menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05) pada parameter kadar protein. Kadar
protein sampel kontrol menunjukkan kadar protein tertinggi (49,85%bk), diikuti dengan perlakuan
perebusan dengan basa (48,24%bk) dan perebusan kombinasi asam-basa (46,12%bk). Ketiga perlakuan
menunjukkan perbedaan yang signifikan pada parameter kadar lemak. Sampel kontrol menunjukkan
jumlah yang signifikan (p<0,05) tertinggi dengan nilai 9,92%bk dibandingkan dengan sampel perebusan
basa (8,84%bk) dan asam-basa (8,23%bk).
Hasil sebaliknya ditemukan pada pengujian kadar karbohidrat. Ketiga perlakuan menunjukkan
perbedaan yang signifikan (p<0,05), tetapi kadar karbohidrat tertinggi yaitu pada sampel perebusan
asam-basa (6,98%bk), diikuti oleh sampel perebusan basa (2,69%bk), dan kadar karbohidrat terendah
yaitu pada sampel control (0,11%bk). Kadar serat kasar pada tempe biji kecipir menunjukkan tren yang
serupa dengan parameter uji kadar protein dan kadar lemak. Ketiga perlakuan menunjukkan perbedaan
signifikan (p<0,05), dengan kadar serat kasar tertinggi ditemukan terdapat pada sampel kontrol
(36,48%bk), diikuti dengan sampel perebusan basa (34,51%bk), dan kadar serat terkecil ditemukan pada
tempe biji kecipir dengan perebusan kombinasi asam-basa (33,44%bk). Hasil perhitungan total energi
yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) pada sampel kontrol dengan
kedua sampel lainnya. Sampel kontrol menunjukkan nilai total energi tertinggi (123,89kal/100g),
sedangkan sampel tempe biji kecipir dengan perebusan basa dan kombinasi asam-basa menunjukkan
perbedaan yang tidak signifikan (p<0,05).
Terdapat dua jenis senyawa anti gizi yang dievaluasi dalam penelitian ini, yaitu tannin dan asam
fitat. Ketiga perlakuan menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05) pada parameter kadar tannin
dan asam fitat. Namun, kedua parameter uji tersebut menunjukkan perbedaan tren hasil analisa. Kadar
tannin tertinggi ditunjukkan oleh sampel tempe dengan perebusan kombinasi asam-basa (1,164%bk),
diikuti dengan perebusan basa (1,050%bk), dan kadar tannin terendah ditemukan pada sampel kontrol
(0,994%bk). Sebaliknya, kadar asam fitat tertinggi ditunjukkan oleh sampel kontrol (0,052%bk), diikuti
oleh sampel perebusan basa (0,042%bk) dan kadar asam fitat terendah ditemukan pada sampel tempe
biji kecipir perebusan kombinasi asam-basa (0,036%bk).

PEMBAHASAN
Kacang-kacangan termasuk biji kecipir mengandung zat anti gizi seperti tanin dan fitat serta
memiliki tekstur dan rasa yang kurang disukai dibandingkan kacang kedelai sehingga cenderung kurang
Nurul Putrie Utami: Universitas Ahmad Dahlan, Jalan Pramuka 42, Sidikan, Umbuharjo, Yogyakarta, Indonesia
55161. Email:nurul.putrie@culinary.uad.ac.id
72
Jurnal Dunia Gizi, Vol. 5, No. 2, Desember 2022: 69-75

termanfaatkan dengan baik (14,15). Pemasakan kacang-kacangan seperti perebusan dan pemanggangan
dapat menurunkan kandungan oksalat, tanin, asam fitat, tripsin inhibitor, dan sianida dibandingkan
kacang-kacangan dalam kondisi mentah (16). Proses pembuatan biji kecipir menjadi tempe biji kecipir
diharapkan dapat meningkatkan daya terima biji kecipir serta mengurangi permasalahan akibat
kandungan zat anti gizi yang secara alami terkandung pada biji kecipir (7).
Proses pembuatan tempe biji kecipir melalui proses yang cukup panjang yaitu perendaman awal,
perebusan pertama, perendaman kedua, perebusan kedua, dan pemberian ragi untuk dilanjutkan proses
inkubasi hingga menjadi tempe. Sebelum dibuat menjadi tempe, biji kecipir direndam selam 24 jam.
Proses perendaman dapat membuat air masuk melalui dinding biji dan masuk ke bagian dalam kacang
sehingga memperlunak tekstur kacang-kacangan (17). Perendaman ini dapat memperpendek waktu
perebusan untuk dilakukan tahap pengolahan selanjutnya (1).
Proses perebusan pertama diberikan perlakukan dengan pemberian baking soda dan tanpa baking
soda. Pemberian baking soda bertujuan untuk melunakkan tekstur biji kecipir. Penambahan baking soda
10 g/L setelah perendaman awal 24 jam dapat membuat biji kecipir memberikan tekstur yang lebih lunak
dan memiliki kandungan protein dan lemak yang tinggi (8). Biji kecipir yang direbus dangan baking
soda menjadi lebih mudah dalam pengupasan kulitnya. Pada proses perebusan biji kecipir, tingkat
kematangan bijinya juga dapat dipengaruhi oleh kesadahan air. Semakin tinggi kandungan kalsium,
fosfor dan magnesium cenderung akan memperlama durasi perebusan (1).
Kadar abu tempe kecipir antar perlakuan tidak jauh berbeda, tetapi kadar air lebih tinggi pada
perlakuan basa dan diikuti dengan perlakuan basa dan asam. Namun, analisa ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang menyebutkan bahwa penambahan basa pada proses perebusan biji kecipir dapat
melunakkan tekstur dari biji kecipir sehingga dapat meningkatkan daya terima dan mempermudah untuk
pengolahan menjadi olahan masakan lain (8). Pemberian baking soda para perebusan kacang-kacangan
dapat memberikan efek perlemahan struktur sehingga biji air lebih mudah masuk ke dalam biji (18).
Pada perlakuan dengan perebusan kedua dengan asam cuka ternyata membuat kadar airnya lebih rendah.
Hal ini disebabkan karena air dengan pH rendah atau asam mengubah sifat struktural pati yang membuat
sel tahan terhadap penyerapan air (1). Namun, pemberian asam merupakan tahapan yang penting untuk
dilakukan karena mengoptimalkan proses fermentasi pada pembuatan tempe dan juga mengatasi
penerimaan sensori dari biji kecipir yang dimasak dengan tambahan basa (9,19).
Kandungan zat anti gizi diperoleh kadar asam fitat terendah pada perlakuan asam basa dan tannin
terendah yaitu pada perlakuan kontrol. Proses pengolahan dengan berbagai perlakuan dapat menurunkan
asam fitat karena terjadi hidrolisis oleh enzim fitase (16,20,21). Sedangkan kadar tanin yang meningkat
merupakan efek samping dari proses fermentasi tempe. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya
bajwa fermentasi tempe paling baik terjadi pada perlakuan basa dan asam (9). Proses fermentasi tempe
yang terjadi dengan baik dapat meningkatkan kadar tanin karena tanin yang sebelumnya terikat pada
enzim yang dihasilkan oleh jamur tempe sehingga jumlahnya akan terus meningkat dengan semakin
lamanya fermentasi (21).
Perlakuan biji kecipir dengan perebusan asam mengandung zat gizi makro protein dan lemak yang
lebih rendah, dan kadar karbohidrat yang lebih tinggi. Temuan ini serupa dengan penelitian oleh
Wanjekeche et al. yang menemukan bahwa perebusan air bisa memiliki kadar protein yang lebih tinggi
dan karbohidrat rendah dibandingkan perlakuan asam dan basa (22). Perlakuan asam basa memiliki
beberapa keuntungan sensoris yaitu membuat kacang-kacangan lebih mudah diterima tekstur dan
rasanya dengan perebusan basa, serta membuat warna lebih cerah dan diterima pada perebusan asam.
Pengembangan produk makanan dengan bahan baku kecipir memiliki prospek yang menjanjikan.
Selain bijinya, beberapa bagian tanaman seperti kulit biji, daun, bunga, dan umbi-umbian dapat dimakan
dan kaya akan protein dan gizi lainnya (23). Namun, dalam pemanfaatannya perlu memperhatikan
keberadaan zat anti gizi yang bisa menghambat utilitas biji kecipir. Proses fermentasi dapat menurunkan
beberapa zat anti gizi dan meningkatkan kandungan protein.
Kelemahan penelitian ini yaitu hanya meneliti kandungan gizi serta zat anti gizinya dan belum
mencapai uji organoleptik untuk mengetahui daya terima dari tempe biji kecipir ini. Mengingat
penambahan zat basa selain dimaksudkan untuk mempermudah proses pembuatan tempe berikutnya
ternyata juga bisa memberikan dampak rasa yang kurang disukai menurut penelitian sebelumnya (1).

Nurul Putrie Utami: Universitas Ahmad Dahlan, Jalan Pramuka 42, Sidikan, Umbuharjo, Yogyakarta, Indonesia
55161. Email:nurul.putrie@culinary.uad.ac.id
73
Jurnal Dunia Gizi, Vol. 5, No. 2, Desember 2022: 69-75

KESIMPULAN
Penggunaan basa dan asam pada perebusan biji kecipir diperlukan untuk memperbaiki tekstur
dalam pembuatan tempe dan menciptakan kondisi optimal untuk fermentasi. Kadar energi, protein,
lemak, dan serat tertinggi pada pembuatan tempe tanpa pemberian asam dan basa. Pemberian basa dan
asam pada pengolahan pembuatan tempe dapat meningkatkan kadar karbohidrat dan tanin serta
menurunkan asam fitat tempe biji kecipir. Penambahan zat basa selain dimaksudkan untuk
mempermudah proses pembuatan tempe berikutnya ternyata juga bisa memberikan dampak rasa yang
kurang disukai. Perlu dilakukan uji organoleptik dan uji hedonik serta modifikasi proses pengolahan
untuk menciptakan biji kecipir yang berdaya terima tinggi juga masih berpeluang untuk dikembangkan,
diharapkan bisa menjadi salah satu solusi kerentanan pangan dan penyelesaian masalah gizi terutama
gizi kurang di Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH


Kami mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Ahmad Dahlan yang telah membiayai penelitian ini pada skema Penelitian Dasar tahun
anggaran 2022.

KONFLIK KEPENTINGAN
Penulis menyatakan tidak ada konflik dalam publikasi artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA
1. Munthali J, Nkhata SG, Masamba K, Mguntha T, Fungo R, Chirwa R. Soaking beans for 12 h
reduces split percent and cooking time regardless of type of water used for cooking. Heliyon. The
Authors; 2022;8(9):1–11.
2. Ekafitri R, Isworo R. Pemanfaatan kacang-kacangan sebagai bahan baku sumber protein untuk
pangan darurat. Pangan. 2014;23(2):134–44.
3. Rizkiyanti D, Suaniti NM, Ratnayani K. Analisis Asam Amino Penstimulasi Sekresi Insulin dalam
Biji Kecipir, Biji Asam, dan Biji Kelor Dengan HPLC. J Kim. 2016;10(1):58–64.
4. Santosa AP, Nugroho B, Ningtyas A. Peningkatan Nilai Gizi dan Daya Terima Sensoris pada
Tempe Biji Kecipir (Psophocarpus Tetragonolobus L) dengan Penambahan Biji Wijen. Agritech J
Fak Pertan Univ Muhammadiyah Purwokerto. 2019;21(1):74.
5. Nababan FE, Nasution E, Ardiani F. Uji Daya Terima Tempe Biji Kecipir Beras Merah dan
Kandungan Gizinya. J Gizi, Kesehat Reproduksi dan Epidemiol. 2005;1(1):1–10.
6. Santosa AP, Nugroho B, Ningtiyas A. Peningkatan Nilai Gizi Dan Daya Terima Sensoris Pada
Tempe Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus L) dengan Penambahan Biji Wijen. Agritech.
2019;21(1):75–82.
7. Murti DFA. Pengaruh Suplementasi Tepung Ikan Teri Terhadap Karakter Fisikokimia Dan
Sensoris Pada Tempe Kecipir (Psophocarpus Tetragonolobus L.). Universitas Katolik
Soegijapranata Semarang; 2020.
8. Buckle KA, Sambudi H. Effect of soaking and boiling treatments on the quality of winged bean
seed. J Sci Food Agric. 1990;(53):379–88.
9. Astawan M, Wresdiyati T, Maknun L. Tempe Sumber Zat Gizi dan Komponen Bioaktif untuk
Kesehatan. Bogor: PT Penerbit IPB Press; 2017.
10. Setiawan RD, Zakaria FR, Sitanggang AB, Prangdimurti E, Adawiyah DR, Erniati E. Pengaruh
Perbedaan Waktu Panen Terhadap Karakteristik Kimia Biji Kecipir. J Teknol dan Ind Pangan.
2019;30(2):133–42.
11. Aisjah T. Bioproses Biji Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L) DC) oleh Rhizopus oligosporus
terhadap Peningkatan Protein Murni dan Penurunan Asam Sianida (Bioprocess of Winged Bean
Seeds (Psophocarpus tetragonolobus (L) DC) BY Rhizopus oligosporus to Improved. J Ilmu
Ternak. 2012;12(1):35–40.
12. AOAC. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Maryland:
Association of Official Analytical Chemist; 2005.
13. Chanwitheesuk A, Teerawutgulrag A, Rakariyatham N. Screening of antioxidant activity and
antioxidant compounds of some edible plants of Thailand. Food Chem. 2005;92(3):491–7.
Nurul Putrie Utami: Universitas Ahmad Dahlan, Jalan Pramuka 42, Sidikan, Umbuharjo, Yogyakarta, Indonesia
55161. Email:nurul.putrie@culinary.uad.ac.id
74
Jurnal Dunia Gizi, Vol. 5, No. 2, Desember 2022: 69-75

14. Mohanty CS, Singh V, Chapman MA. Winged bean: An underutilized tropical legume on the path
of improvement, to help mitigate food and nutrition security. Sci Hortic (Amsterdam). Elsevier;
2020;260:1–8.
15. Adegboyega TT, Abberton MT, Abdelgadir AH, Dianda M, Maziya-Dixon B, Oyatomi OA, et al.
Nutrient and Antinutrient Composition of Winged Bean (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC.)
Seeds and Tubers. J Food Qual. 2019;1–8.
16. Ndidi US, Ndidi CU, Olagunju A, Muhammad A, Billy FG, Okpe O. Proximate, Antinutrients and
Mineral Composition of Raw and Processed (Boiled and Roasted) Sphenostylis stenocarpa Seeds
from Southern Kaduna, Northwest Nigeria. ISRN Nutr. 2014;1–9.
17. Engsner J. Optimizing the preparation of cooked chickpea. Swedish University of Agricultural
Sciences; 2020.
18. Chigwedere CM, Njoroge DM, Van Loey AM, Hendrickx ME. Understanding the Relations
Among the Storage, Soaking, and Cooking Behavior of Pulses: A Scientific Basis for Innovations
in Sustainable Foods for the Future. Compr Rev Food Sci Food Saf. 2019;18:1135–65.
19. Abdel-Aleem WM, Abdel-Hameed SM, Latif SS. Effect of Soaking and Cooking on Nutritional
and Quality Properties of Faba Bean. J Food Dairy Sci. 2019;10(10):389–95.
20. Purwandari FA, Annisa EDN, Rachmawati AT, Puspitasari D, Wikandari R, Setyaningsih W, et al.
and sensory properties of Jack bean ( Canavalia ensiformis ) tempe. Food Res. 2021;5(3):327–33.
21. Almasyhuri A, Yuniati H, Slamet DS. Kandungan asam fitat dan tanin dalam kacang-kacangan
yang dibuat tempe. PGM. 1990;13(65):65–72.
22. Wanjekeche E, Wakasa V, Mureithi JG. Effect Of Germination, Alkaline And Acid Soaking And
Boiling On The Nutritional Value Of Mature And Immature Mucuna (Mucuna Pruriens) Beans.
Trop Subtrop Agroecosystems. 2013;1(2–3):183–92.
23. Sriwichai S, Monkham T, Sanitchon J, Jogloy S, Chankaew S. Dual-Purpose of the Winged Bean
(Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC.), the Neglected Tropical Legume, Based on Pod and Tuber
Yields. Plants. 2021 Aug;10(1746):1–12.

Nurul Putrie Utami: Universitas Ahmad Dahlan, Jalan Pramuka 42, Sidikan, Umbuharjo, Yogyakarta, Indonesia
55161. Email:nurul.putrie@culinary.uad.ac.id
75
Pengaruh Laju Dosis Iradiasi Gamma (60Co) terhadap
Senyawa Antigizi Asam Fitat dan Antitripsin pada Kedelai
(Glycine max L.) ISSN 1907-0322
(Rindy Panca Tanhindarto, dkk.)

Pengaruh Laju Dosis Iradiasi Gamma (60Co) terhadap


Senyawa Antigizi Asam Fitat dan Antitripsin pada Kedelai
(Glycine max L.)
Effect of Dose-rate of Gamma Irradiation (60Co) on the Anti-
nutritional Compounds Phytic Acid and Antitrypsin on
Soybean (Glycine max L.)

Rindy Panca Tanhindarto1, Purwiyatno Hariyadi2, Eko Hari


Purnomo2 dan Zubaidah Irawati3
1
Sekolah Pascasarjana, Program Studi Ilmu Pangan (PS-IPN),
Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, PO Box 220 Bogor 16002
Email : rindypt@yahoo.com
2
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA IPB
3
Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, BATAN
Diterima 28 Maret 2013; Disetujui 13 Mei 2013

ABSTRAK

Pengaruh Laju Dosis Iradiasi Gamma (60Co) terhadap Senyawa Antigizi Asam
Fitat dan Antitripsin pada Kedelai (Glycine max L.). Telah dilakukan penelitian terhadap
pengaruh iradiasi gamma dengan berbagai laju dosis pada senyawa antigizi (asam fitat dan
antitripsin) dan warna kedelai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh
laju dosis terhadap penurunan konsentrasi senyawa antigizi dan warna kedelai. Sampel
diiradiasi dengan laju dosis 1,30; 3,17; 5,71 dan 8,82 kGy/jam dengan waktu iradiasi bervariasi
dari 0,5 jam sampai 55 jam. Sampel dianalisis kadar asam fitat dan aktivitas antitripsin, serta
nilai warna L a b kedelai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model kinetika sederhana
dapat digunakan untuk menjelaskan perubahan konsentrasi senyawa antigizi dan warna
kedelai selama proses radiasi. Data penelitian mengindikasikan bahwa proses radiasi pada laju
dosis lebih tinggi (waktu lebih pendek) lebih efektif dalam menghancurkan senyawa antigizi
dibandingkan dengan proses radiasi pada laju dosis lebih rendah (waktu lebih lama).
Selanjutnya, proses radiasi pada laju dosis lebih tinggi (waktu lebih pendek) juga memiliki
efek yang kurang merugikan pada warna biji dan tepung kedelai dibandingkan dengan proses
radiasi dengan laju dosis lebih rendah (waktu lebih lama). Temuan ini menunjukkan bahwa
proses radiasi pada dosis yang sama berpotensi dapat dioptimalkan dengan pemilihan
kombinasi yang paling sesuai terhadap laju dosis dan waktu iradiasi
Kata kunci : proses radiasi, laju dosis, kedelai, asam fitat, antitripsin, warna

ABSTRACT

Effect of Dose-rate on the Anti-nutritional Compounds Phytic Acid and


Antitrypsin on Soybean (Glycine max L.). An investigation on the effect of gamma
irradiation at different dose-rate on the anti-nutritional compounds (phytic acid and
antitrypsin) and the color of soybean has been conducted. The purpose of the study was to
analyze the influence of the dose-rate on the rate of change of anti-nutritional compounds and
color. Samples were irradiated with dose-rates of 1.30; 3.17; 5.71 and 8.82 kGy/hour with
irradiation time varied from 0.5 to 55 hours. Phytic acid content and antitrypsin activity, as
well as their L a b color values were analyzed. Results showed that a simple first order
kinetics model can be used to describe changes in the concentration of the anti-nutritional
compounds and color soybeans during the radiation processing. Data indicate that irradiation
process at higher dose-rate (shorter time) is more effective in destroying anti-nutritional
compounds as compared to that of irradiation process at lower dose-rate (longer time).
Furthermore, irradiation process at higher dose-rate (shorter time) also have less detrimental

23
Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi
A Scientific Journal for The Applications of Isotopes and Radiation ISSN 1907-0322
Vol. 9 No. 1, Juni 2013, 23 — 33

effect on color of the soybean and the resulted soybean flour as compared to that of
irradiation process at lower dose-rate (longer time). These findings suggest that irradiation
process at a same dose may potentially be optimized by selecting the most appropriate
combination of dose-rate and time of irradiation.
Keywords : radiation processing, dose-rate, soybean, phytic acid, antitrypsin, color.

PENDAHULUAN 10.2-18.2% dan AAT 4.5-9.2% [11].


Perlakuan iradiasi dosis 30 dan 45 kGy pada
Proses radiasi sinar gamma yang biji kanola [12] dan biji Mucuna pruiens
merupakan pemanfaatan radionuklida 60Co dengan dosis 15-30 kGy akan
telah dimanfaatkan untuk menghambat menghilangkan keseluruhan asam fitat [13].
pertunasan, mengurangi mikroba atau Iradiasi dengan dosis 5-10 kGy dilaporkan
membunuh mikroba patogen dan dapat menurunkan asam fitat pada beberapa
memperpanjang masa simpan baik bahan jenis kacang-kacangan (pea, cowpea, lentil,
pangan segar, kering maupun olahan. Untuk kidney bean, dan chickpea) sampai sekitar
produk serealia, proses radiasi ini sudah 6.5-32.7% dan diperkirakan bahwa iradiasi
dimanfaatkan baik untuk mereduksi dengan dosis 34.9-59.7 kGy akan
senyawa toksik dan antigizi [1, 2, 3, 4, 5] menyebabkan kerusakan total asam fitat
maupun untuk tujuan sanitasi [1] dan [14]. Perlakuan pemasakan tidak
karantina [6, 7]. menurunkan asam fitat dalam pembuatan
Penggunaan radiasi pengion untuk bubur sorgum, tetapi kombinasi pemasakan
mereduksi senyawa antigizi, seperti asam dan iradiasi (10 kGy) menyebabkan
fitat dan antitripsin kedelai sudah dilakukan penurunan asam fitat bubur sorgum sebesar
[1,5] dan kerusakan asam fitat dan 40% [15]. Kadar asam fitat pada 2 varietas
antitripsin akan pro-porsional terhadap kacang Brasil yang direndam selama 10 jam
kenaikan dosis radiasi yang diterima [5]. Di dikombinasikan dengan pemasakan 100°C
samping itu, kedelai yang diiradiasi dengan dan iradiasi 0.5-10 kGy, ternyata perlakuan
dosis tinggi sampai 30 kGy juga memberikan iradiasi tidak menyebabkan kerusakan asam
keunggulan; yaitu waktu pemasakan kedelai fitat walaupun ada kenaikan dosis [16].
dapat diturunkan dan memperbaiki sifat Perlakuan iradiasi gamma dosis 2 kGy
fungsional isolat protein [8]. dengan laju dosis 20 Gy/menit
Perlakuan iradiasi dengan dosis 5, 15, dikombinasikan dengan perendaman dan
30 dan 60 kGy pada kedelai akan pemasakan pada biji dan tepung dari 2
menurunkan aktivitas antitripsin (AAT) varietas jewawut, terlihat bahwa perlakuan
berturut-turut sebesar 41.8, 56.3, 62.7 dan iradiasi tidak menyebabkan kerusakan asam
72.5% [5]. Iradiasi dosis 5 kGy dengan laju fitat setelah penyimpanan selama 30 dan 60
dosis 5.4 kGy/jam pada kedelai bebas lemak hari [17].
dari 3 varietas yang berbeda akan Secara teknis sumber radiasi dapat
menurunkan AAT sebesar 51-63% pula berasal dari mesin berkas elektron
tergantung dari varietas kedelai [9]. Untuk namun implementasinya di Indonesia masih
menurunkan AAT pada kedelai bisa terbatas [18,19]. Perlakuan iradiasi dengan
dilakukan dengan cara perendaman berkas elektron dosis 10, 15, 20, 25, dan 30
dikombinasikan dengan pemasakan dan kGy pada sorgum menurunkan kadar asam
iradiasi 2-8 kGy, dimana kerusakan AAT fitat berturut-turut sebesar 39, 49, 66, 79
akan meningkat dengan naiknya dosis dan 90% [20]. Dengan sumber radiasi yang
radiasi dan perlakuan pemasakan [10]. sama dosis 30 dan 45 kGy pada kedelai [21]
Perlakuan iradiasi kacang buncis dosis 2.5- dan tepung kanola akan menghilangkan
10 kGy akan menurunkan asam fitat sebesar

24
Pengaruh Laju Dosis Iradiasi Gamma (60Co) terhadap
Senyawa Antigizi Asam Fitat dan Antitripsin pada Kedelai
(Glycine max L.) ISSN 1907-0322
(Rindy Panca Tanhindarto, dkk.)

keseluruhan asam fitat, serta menurunkan magnetik (Velp Scientifica tipe Ate, Italy)
AAT kedelai sebesar 73% dan 88% [22]. dan alat penunjang lainnya.
Sampai saat ini, publikasi penelitian
tentang proses radiasi pada produk pangan Persiapan Sampel
sering berfokus pada pengaruh dosis radiasi Berat sampel kedelai ditimbang
dan perubahan zat antigizi serta mutu masing-masing perlakuan 100 g dan dikemas
produk yang dihasilkan. Pengaruh iradiasi dengan plastik polietilen. Dilakukan 3 kali
pada dosis yang sama tetapi dengan laju ulangan untuk setiap sampel.
dosis yang berbeda belum pernah dilakukan.
Oleh karena itu, penelitian ini Proses Radiasi
bertujuan untuk mempelajari pengaruh laju Sampel yang akan diiradiasi diletakkan
dosis pada efektivitas iradiasi. Informasi ini pada bidang iradiasi dengan lokasi yang
akan bermanfaat untuk melakukan optimasi berbeda; untuk mendapatkan perlakuan
proses radiasi; dengan pemilihan kombinasi iradiasi dengan laju dosis tertentu. Dari
perlakuan laju dosis dan waktu iradiasi penelitian pendahuluan, telah diidentifikasi
untuk memberikan dosis radiasi tertentu 4 lokasi pada bidang iradiasi masing-masing
dengan tujuan tertentu tetapi bisa dengan laju dosis 1.30; 3.17; 5.71 dan 8.82
meminimalkan kerusakan yang terjadi. kGy/jam. Perlakuan iradiasi untuk setiap
Secara khusus; penelitian ini bertujuan sampel dilakukan pada suhu kamar (28 ±
untuk mempelajari pengaruh laju dosis 2)°C dengan waktu bervariasi: dari 0.5 jam
terhadap penurunan konsentrasi senyawa sampai 55 jam; tergantung dari laju
antigizi dan warna kedelai selama proses dosisnya.
radiasi.
Dosimetri
Pengukuran dosis radiasi dilakukan
BAHAN DAN METODE dengan dosimeter Harwell Amber 3042
(Harwell Dosimeters Ltd, Oxfordshire, UK)
Bahan menggunakan spektrophotometer [23].
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kedelai (Glycine max L.) Warna
varietas Mitani diperoleh dari hasil Pengukuran warna dilakukan dengan
pemuliaan tanaman PATIR, BATAN. Bahan notasi warna skala Hunter L a b
kimia standar asam fitat dan tripsin menggunakan alat Chromameter 200b [24].
diperoleh dari Sigma Chemical Co, pereaksi Lempeng standar putih Y = 94,6; x =
kimia dengan analytical grade dan bahan 0,3127; y = 0,3197, dimana Y = faktor
penunjang lainnya. kecerahan dengan dasar persen pantulan
100%, x dan y = koordinat chromaticity
Peralatan diagram CIE x,y.
Peralatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Iradiator Karet Alam Analisis asam fitat
(IRKA) sebagai sumber radiasi sinar gamma Penetapan kandungan asam fitat
dari radionuklida 60Co, dengan aktivitas dilakukan dengan mengikuti metode
sumber radiasi 60Co adalah 122947,83 Ci. BHADARI dan KAWABATA [25]. Sampel
IRKA berlokasi di PATIR BATAN, Pasar digiling dan ditimbang 5 g, lalu diekstrak
Jumat Jakarta. Spektrophotometer UV tipe dengan 100 ml 2,4% HCl. Hasil ekstrak
Spectro UV 2450 Shimadzu, Chromameter sampel disentrifuse dan disiapkan 3 ml
200b Minolta Ltd, pHmeter (Eutech supernatan sampel dan blanko, ditambah 1
Instruments, Singapura), penangas air ml Wade reagent. Supernatan diukur dengan
(Napco model 220A, USA), sentrifuse (IEC spektrophotometer pada panjang gelombang
Centra 8 Centrifuge, USA), pengaduk 500 nm.

25
Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi
A Scientific Journal for The Applications of Isotopes and Radiation ISSN 1907-0322
Vol. 9 No. 1, Juni 2013, 23 — 33

Analisis antitripsin Dimana: yang dimaksud dengan


Penetapan aktivitas antitripsin reaktan ini bisa berupa senyawa asam fitat,
dilakukan dengan mengikuti metode SMITH antitripsin ataupun nilai kecerahan kedelai,
dkk. [26]. Sampel tepung ditimbang 1 g dan dan k adalah konstanta laju reaksi
diekstrak dengan 10 mM NaOH (50 ml) perubahan (Persamaan 1), untuk n = 1,
selama 3 jam, serta pH diatur 9,4-9,6. maka persamaan 2 diintegrasikan,
(Ekstrak yang diperoleh diencerkan sehingga menghasilkan persamaan 3.
persentase penghambatan supernatan
didefinisikan 1 ml ekstrak akan [reaktan]t
menghasilkan daya penghambat 40-60 Ln =-kt Ln[reaktan]t =
[reaktan]o
persen). Disiapkan 2 ml untuk masing-
Ln[reaktan]o - kt (3)
masing sampel, larutan standar tripsin dan
blanko. Kemudian semuanya direaksikan
Persamaan 3 menunjukkan bahwa plot
dengan BAPNA, 5 ml. Diinkubasi kedalam
antara nilai ln[reaktan]t terhadap waktu
penangas air 37°C. Setelah 10 menit
iradiasi t akan menunjukkan hubungan
ditambahkan 1 ml asam asetat 30%.
garis lurus dengan kemiringan sebesar k.
Supernatan diukur dengan
Analisis sidik ragam dan uji beda nyata
spektrophotometer pada panjang gelombang
terkecil dilakukan pada α =5% untuk
410 nm. Aktivitas penghambatan tripsin
dinyatakan sebagai AAT (1 μg tripsin melihat perbedaan bermakna pada
perlakuan berbagai laju dosis dan waktu
dinyatakan sebagai 0,0190 satuan absorbansi
iradiasi terhadap perubahan warna notasi a
pada 410 nm per 50 ml campuran reaksi
dan b.
pada kondisi yang digunakan). Penghitungan
AAT menggunakan rumus:
HASIL DAN PEMBAHASAN
⎛ mg ⎞ 2,632 x D x Ai
AAT ⎜⎜ ⎟⎟ =
⎝ g ⎠ S Perubahan Senyawa Antigizi Selama
Proses Radiasi
dimana: D = faktor pengenceran; Ai = Senyawa antigizi yang diamati pada
perubahan absorbansi dan S = berat sampel. penelitian ini adalah asam fitat dan
antitripsin. Hasil analisis konsentrasi asam
Analisis data fitat dan aktivitas antitripsin pada kedelai
Perubahan konsentrasi senyawa asam dalam penelitian ini, berturut-turut, adalah
fitat, antitripsin dan kecerahan (warna) 14.98 mg/g dan 28.31 mg/g. Kandungan
kedelai ditabulasikan dan dianalisis dengan asam fitat ini sesuai dengan laporan
model kinetika sederhana. Secara umum KUMAR dkk. [29] dimana kandungan asam
bentuk reaksi perubahan [27, 28] yang fitat kedelai berkisar antara 9.2-16.7 mg/g.
terjadi adalah sebagai berikut: Namun demikian, kandungan antitripsin
kedelai varietas Mitani ini lebih kecil
k daripada angka yang dilaporkan DIXIT dkk.
Reaktan Produk (1) [9] yaitu sebesar 55.86-91.84 mg/g untuk 3
genotipe kedelai yang dianalisnya. Variasi
Jika t menyatakan waktu dan n adalah kandungan konsentrasi senyawa antigizi ini
ordo reaksi, maka laju perubahan reaktan diduga disebabkan karena perbedaan
menjadi produk dinyatakan sebagai berikut: varietas, lokasi tanam dan musim panen.
Secara umum, penelitian ini
δ [reaktan] menunjukkan bahwa proses radiasi mampu
= - k [reaktan]n (2)
δ t mendegradasi senyawa antigizi pada kedelai
(Gambar 1). Iradiasi sinar gamma dilaporkan

26
Pengaruh Laju Dosis Iradiasi Gamma (60Co) terhadap
Senyawa Antigizi Asam Fitat dan Antitripsin pada Kedelai
(Glycine max L.) ISSN 1907-0322
(Rindy Panca Tanhindarto, dkk.)

dapat memutus struktur kimia asam fitat dan antitripsin pada berbagai laju dosis
menjadi inositol phospat dan inositol [11,14] disajikan pada (Tabel 1).
dan pemecahan struktur cincin fitat itu Dari Tabel 1 terlihat bahwa pada
sendiri [15]. Sedangkan penurunan senyawa perlakuan laju dosis yang sama, nilai k
antitripsin akibat iradiasi gamma disebabkan untuk degradasi antitripsin lebih besar
terjadi pemutusan struktur protein kedelai daripada nilai k untuk degradasi asam fitat.
[9], terutama pada asam amino yang Hal ini menunjukkan bahwa asam fitat
mempunyai ikatan —S-S- dan —S-H- sehingga memiliki daya tahan lebih tinggi daripada
aktivitas antitripsin menurun [5]. antitripsin terhadap proses radiasi dengan
Lebih lanjut; Gambar 1 juga laju dosis 1.30 sampai 8.82 kGy/jam.
menunjukkan bahwa degradasi senyawa Gambar 2 memperlihatkan pola data
antigizi karena proses radiasi pada laju dosis penurunan senyawa antigizi sebagai fungsi
1.30; 3.17; 5.71 dan 8.82 kGy/jam dapat dosis radiasi. Gambar 2 mengindikasikan
dijelaskan dengan model reaksi ordo bahwa jumlah penurunan senyawa antigizi
pertama (Persamaan 3), dimana, nilai pada perlakuan iradiasi pada dosis yang
konstanta laju degradasi (k) untuk asam fitat sama, dipengaruhi oleh laju dosis yang

0.0 0.0
0 5 10 15 20 25 30 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
-0.2
-0.1
Ln [AAT / AAT awal]

-0.4
Ln [C / C awal]

-0.2
-0.6

-0.3 -0.8

-1.0
-0.4

-1.2
-0.5
-1.4

-0.6 -1.6

Waktu iradiasi (jam) Waktu iradiasi (jam)

1,30 kGy/jam 3,17 kGy/jam 5,71 kGy/jam 8,82 kGy/jam 1,30 kGy/jam 3,17 kGy/jam 5,71 kGy/jam 8,82 kGy/jam

(a) (b)
Gambar 1. Perubahan konsentrasi (a) asam fitat dan (b) aktivitas antitripsin kedelai
selama proses radiasi dengan berbagai laju dosis.

Tabel 1. Nilai k dan r2 dari perubahan senyawa antigizi


selama proses radiasi pada berbagai laju dosis.
Laju dosis Nilai k
Parameter r2
(kGy/jam) (jam-1)
1.30 0.0197 0.9363
3.17 0.0611 0.9841
Asam fitat 5.71 0.0903 0.8888
8.82 0.2191 0.7622
1.30 0.0302 0.9221
3.17 0.0881 0.8517
Antitripsin 5.71 0.1434 0.9274
8.82 0.2558 0.9434

27
Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi
A Scientific Journal for The Applications of Isotopes and Radiation ISSN 1907-0322
Vol. 9 No. 1, Juni 2013, 23 — 33

digunakan. Pada dosis yang sama, terdapat mungkin merupakan salah satu faktor
indikasi cukup kuat bahwa iradiasi dengan penting dalam upaya optimalisasi proses
laju dosis lebih tinggi (waktu lebih rendah) radiasi.
akan memberikan tingkat penurunan zat
antigizi yang lebih besar daripada Perubahan Warna Selama Proses
penurunan zat antigizi yang terjadi pada Radiasi
iradiasi dengan laju dosis lebih rendah Sistem notasi warna Hunter dicirikan
(waktu lebih tinggi). dengan 3 parameter L a b. Notasi L
Namun demikian, data yang diperoleh menyatakan kecerahan warna, sedang notasi
masih menunjukkan adanya pola yang tidak a dan b merupakan warna campuran hijau-
konsisten; terutama untuk laju dosis 3.17 merah dan warna campuran biru-kuning.
dan 5.71 kGy/jam. Setidaknya; penelitian ini Hasil analisis perubahan warna kedelai
memberikan indikasi bahwa laju dosis selama proses radiasi pada laju dosis 1.30;

16 30

25
14
Asam fitat (mg/g)

AAT (mg/g)

20

12

15

10
10

8 5
0 5 10 15 20 25 30 35 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80

Dosis radiasi (kGy) Dosis radiasi (kGy)

1,30 kGy/jam 3,17 kGy/jam 5,71 kGy/jam 8,82 kGy/jam 1,30 kGy/jam 3,17 kGy/jam 5,71 kGy/jam 8,82 kGy/jam

(a) (b)
Gambar 2. Perubahan konsentrasi (a) asam fitat dan (b) aktivitas antitripsin kedelai
sebagai fungsi dari dosis radiasi.

-0.01 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
-0.01
Ln [nilai L / nilai L awal
Ln [nilai L / nilai L awal

-0.02
-0.03

-0.03
-0.05

-0.04

-0.07
-0.05

-0.09 -0.06

Waktu iradiasi (jam) Waktu iradiasi (jam)

1,30 kGy/jam 3,17 kGy/jam 5,71kGy/jam 8,82 kGy/jam 1,30 kGy/jam 3,17 kGy/jam 5,71kGy/jam 8,82 kGy/jam

(a) (b)
Gambar 3. Perubahan kecerahan (warna) (a) biji dan (b) tepung kedelai selama proses
radiasi dengan berbagai laju dosis.

28
Pengaruh Laju Dosis Iradiasi Gamma (60Co) terhadap
Senyawa Antigizi Asam Fitat dan Antitripsin pada Kedelai
(Glycine max L.) ISSN 1907-0322
(Rindy Panca Tanhindarto, dkk.)

3.17; 5.71 dan 8.82 kGy/jam dapat yang bermakna terhadap nilai a kedelai
ditabulasikan pada Tabel 2. Namun dengan naiknya waktu iradiasi, tetapi
demikian, nilai a dan b kurang terdapat indikasi tidak bermakna terhadap
mendiskripsikan warna produk karena nilai b tepung kedelai.
menunjukkan perubahan warna kearah Analisis warna biji dan tepung kedelai
merah dan kuning. Hasil analisis statistik yang dihasilkan akan dijelaskan dengan
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan menggunakan nilai L (kecerahan). Hasil

Tabel 2. Perubahan warna biji dan tepung kedelai selama proses radiasi dengan berbagai
laju dosis.
Laju dosis Waktu Sampel biji kedelai Sampel tepung kedelai
(kGy/jam) iradiasi
(jam) L a b L a b
0 54.9 0.3 d 20.7 a 83.4 -5.4 a 19.5 bc
5 53.9 0.3 d 20.5 b 82.9 -5.2 ab 18.5 de
10 53.1 0.6 d 19.6 b 82.9 -5.1 ab 18.3 de
15 53.3 1.0 c 18.3 c 81.4 -5.2 ab 18.3 de
1.30 kGy/jam 20 53.7 0.5 d 17.5 e 81.4 -5.0 b 18.1 e
25 53.5 0.6 d 17.9 cde 81.5 -5.0 b 18.9 cd
35 52.7 1.3 b 18.0 cd 80.1 -4.3 c 19.6 abc
45 51.9 1.9 a 17.7 de 79.7 -4.2 cd 19.9 ab
55 50.7 1.6 a 16.9 f 79.3 -4.3 d 20.3 a
0 54.9 0.3 e 20.7 b 83.4 -5.4 a 19.5 ab
1 53.6 1.0 c 21.1 a 83.0 -5.2 ab 16.6 e
3 53.5 1.0 c 21.1 a 80.7 -4.9 c 18.7 c
5 52.9 0.8 cd 20.2 c 82.8 -4.9 c 17.5 d
3.17 kGy/jam 7 52.6 0.5 de 20.1 cd 82.4 -5.2 ab 18.7 c
9 52.0 0.5 de 19.1 e 81.4 -5.0 bc 19.1 bc
12 51.7 1.6 b 19.9 d 80.4 -4.6 d 19.3 bc
15 51.6 1.8 ab 18.4 f 79.9 -4.3 e 19.3 bc
18 51.5 2.0 a 17.4 g 79.9 -4.3 e 19.9 a
0 54.9 0.3 d 20.7 a 83.4 -5.4 a 19.5 a
1 54.2 1.1 bc 21.2 a 82.7 -4.7 ab 17.7 c
2 53.6 1.0 c 20.4 a 81.6 -4.6 ab 18.7 b
3 53.3 0.6 cd 19.0 b 81.3 -4.3 bc 18.5 b
5.71 kGy/jam 4 52.8 0.6 cd 17.2 d 80.8 -4.2 c 18.3 bc
5 52.1 0.3 d 17.6 cd 80.6 -4.5 ab 18.1 bc
7 51.7 1.7 a 18.5 b 80.6 -4.6 ab 19.7 a
9 51.2 1.6 ab 18.3 bc 80.3 -4.5 ab 19.6 a
12 50.7 1.7 a 17.2 d 80.1 -4.5 ab 19.5 a
0 54.9 0.3 d 20.7 ab 83.4 -5.4 a 19.5 ab
0,5 54.4 1.3 bc 21.7 a 83.1 -5.0 b 17.6 d
1 54.3 1.2 bc 21.3 a 83.1 -5.0 b 17.6 d
1,5 54.8 1.2 bc 19.9 b 83.1 -5.0 b 17.6 d
8.82 kGy/jam 2 54.6 1.1 c 19.9 d 81.6 -4.6 cd 18.7 c
3 54.3 1.0 c 18.0 bc 81.4 -4.7 c 19.1 abc
4 53.9 1.1 c 19.7 bc 81.3 -4.8 c 19.2 abc
5 52.5 1.5 ab 18.7 cd 81.1 -4.8 c 18.8 bc
7 52.3 1.6 a 18.2 d 79.7 -4.5 d 19.7 a
Keterangan : Pada kolom yang sama dinyatakan huruf berbeda bila bermakna (α =5%).

29
Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi
A Scientific Journal for The Applications of Isotopes and Radiation ISSN 1907-0322
Vol. 9 No. 1, Juni 2013, 23 — 33

penelitian ini menunjukkan bahwa proses Terlihat bahwa penurunan kecerahan


radiasi akan menyebabkan perubahan (warna) juga dipengaruhi oleh laju dosis;
kecerahan warna, baik warna biji kedelai yang menunjukkan pola serupa dengan pola
maupun warna tepung kedelai yang perubahan zat antigizi (Gambar 1). Namun
dihasilkan. Hal ini diduga karena iradiasi demikian; perubahan warna sebagai fungsi
dapat menyebabkan terjadi pencoklatan atau dari dosis radiasi (Gambar 4)
browning non enzimatik yang akan memperlihatkan pola yang berbeda dengan
menurunkan tingkat kecerahan. Hal ini juga pola perubahan zat antigizi (Gambar 2).
telah ditunjukan terjadi pada jambu mede Secara umum ada kecenderungan bahwa
[30] dan tepung beras varietas atomita IV iradiasi dengan laju dosis yang lebih tinggi
[31]. (waktu lebih pendek) akan menyebabkan
Pola perubahan kecerahan sebagai perubahan kecerahan warna yang lebih
akibat iradiasi pada laju dosis 1.30; 3.17; kecil. Hal ini diduga karena iradiasi tidak
5.71 dan 8.82 kGy/jam dapat dijelaskan dapat menyebabkan terjadi reaksi senyawa
dengan model reaksi ordo pertama (Gambar karbonil dari gula bereaksi dengan gugus
3); dengan nilai konstanta laju perubahan (k) amino untuk membentuk senyawa berwarna
pada berbagai laju dosis disajikan pada coklat.
(Tabel 3).

Tabel 3. Nilai k dan r2 dari perubahan kecerahan (warna) selama proses


radiasi pada berbagai laju dosis.
Laju dosis Nilai k
Parameter r2
(kGy/jam) (jam-1)
1.30 0.0013 0.8135
Warna Biji kedelai 3.17 0.0045 0.6189
(nilai L) 5.71 0.0078 0.8951
8.82 0.0066 0.8185
1.30 0.0010 0.9342
Warna Tepung kedelai 3.17 0.0027 0.6691
(nilai L) 5.71 0.0045 0.4418
8.82 0.0064 0.9119

84

54.5
83
Warna (nilai L)
Warna (nilai L)

53.5
82

52.5
81

51.5 80

50.5 79
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75

Dosis radiasi (kGy) Dosis radiasi (kGy)

8,82 kGy/jam 5,71 kGy/jam 3,17 kGy/jam 1,30 kGy/jam 8,82 kGy/jam 5,71 kGy/jam 3,17 kGy/jam 1,30 kGy/jam

(a) (b)
Gambar 4. Perubahan kecerahan (warna) (a) biji dan (b) tepung kedelai sebagai fungsi
dari dosis radiasi.

30
Pengaruh Laju Dosis Iradiasi Gamma (60Co) terhadap
Senyawa Antigizi Asam Fitat dan Antitripsin pada Kedelai
(Glycine max L.) ISSN 1907-0322
(Rindy Panca Tanhindarto, dkk.)

KESIMPULAN London NW1 7BY, UK, 635-469


(2010).
Dari hasil penelitian aplikasi iradiasi
pada kedelai dengan laju dosis berkisar 2. SOMMERS, C.H., DELINCEE, H.,
antara 1.30 kGy/jam sampai 8.82 kGy/jam SMITH, J.S. and MARCHIONI, E.
dan waktu 0.5 sampai 55 jam, dapat Toxicolical safety of irradiated
disimpulkan sebagai berikut; foods, In: SOMMERS, C.H., FAN,
1. Iradiasi berpotensi untuk mereduksi X., Ed. Food Irradiation Research
senyawa antigizi dan memodifikasi and Technology. Blackwell
karakter mutu lainnya pada kedelai. Publishing and the Institut of Food
2. Selain dosis; laju dosis diduga Technologist, 43-62 (2006).
merupakan salah satu faktor penting
dalam pengendalian dan optimasi proses 3. BYUN, M.W., JO, C. and LEE, J.W.
radiasi. Potential Applications of Ionizing
3. Iradiasi dengan laju dosis lebih tinggi Radiation, In: Food Irradiation
(waktu lebih pendek) berpotensi untuk Research and Technology
bisa menghancurkan senyawa antigizi (SOMMERS C.H. and FAN, X., Ed.)
dengan lebih efektif, sekaligus Blackwell Publishing and the
memberikan kecerahan warna yang Institut of Food Technologist, 249-
lebih baik, daripada iradiasi dengan laju 262 (2006).
dosis lebih rendah (waktu lebih
panjang). 4. AHN, H.J., KIM, J.H, JO, C., KIM, M.J,
and BYUN, M.W. Comparison of
irradiated phytic acid and other
UCAPAN TERIMA KASIH antioxidants for antioxidant activity.
Food Chem. 88, 173-178 (2004).
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan 5. SIDDHURAJU, P., MAKKAR, H.P.S.
Radiasi (PATIR), Badan Tenaga Nuklir and BECKER, K. The effect of
Nasional (BATAN) yang telah membantu ionizing radiation on antinutritional
dana penelitian dan fasilitas iradiasi, serta factors and the nutritional value of
Southeast Asian Food and Agricultural plant materials with reference to
Science and Technology (SEAFAST) Center, human and animal food, Rev. Food
Institut Pertanian Bogor yang telah Chem. 78, 187-205 (2002).
mengijinkan menggunakan fasilitas
Laboratorium Kimia sehingga penelitian ini 6. HALLMAN, G.J. Phytosanitary
terlaksana dengan baik. Applications of Irradiation,
Comprehensive. Reviews in Food
Scince and Food Safety. 10, 143-151
DAFTAR PUSTAKA (2011).

1. ARVANITOYANNIS, I.S. and 7. INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY


STRATAKOS, A.C. Potential Uses AGENCY [IAEA]. Irradiation as a
of Irradiation, In: Irradiation of phyto-sanitary treatment of food
Food Commodities: Techniques, and agricultural commodities.
Applications, Detection, Legislation, Proceedings of a final research
Safety and Consumer Opinion coordination meeting organized by
(ARVANITOYANNIS, I.S., Ed.). the Joint FAO/IAEA. IAEA-
Academic Press Elsevier Inc. TECDOC-1427, Nov. (2004).

31
Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi
A Scientific Journal for The Applications of Isotopes and Radiation ISSN 1907-0322
Vol. 9 No. 1, Juni 2013, 23 — 33

8. PEDNEKAR, M., DAS, A.K., seeds. Rad Phys & Chem. 76, 1050-
RAJALAKSHMI, V. and SHARMA, 1057 (2007).
A. Radiation processing and
fungsional properties of soybean 15. DUODU, K.G., MINNAAR, A. and
(Glycine max). Rad Phys & Chem. 79, TAYLOR, J.R.N. Effect of cooking
490-494 (2010). and irradiation on the labile
vitamins and antinutrient content of
9. DIXIT, A.K., KUMAR, V., RANI, A., a traditional African sorghum
MANJAYA, J.G. and BHATNAGAR, porridge and spinach relish. Food
D. Effect of gamma irradiation on Chem. 66, 21-27 (1999).
lipoxygenases, trypsin inhibitor,
raffinose family oligosaccharides 16. VILLAVICENCIO, A.L.C.H., MANCINI-
and nutritional factors of different FILHO, J., DELINCEE, H. and
seed coat colored soybean (Glycine GREINER, R. Effect of irradiation
max L.). Rad Phys & Chem. (2011). on anti-nutrients (total phenolics,
tannins and phytate) in Brazilian
10. TOLEDO, T.C.F., BRAZACA, S.G.C., beans. Rad Phys & Chem. 57, 289-
ARTHUR, V. and PIEDADE, S.M.S. 293 (2000).
Effects of gamma radiation on total
phenolics, trypsin and tanin 17. MOHAMED, E.A., ALI, N.A., AHMED,
inhibitors in soybean grains. Rad S.H., AHMED, I.A.M. and
Phys & Chem. 76, 1653-1656 (2007). BABIKER, E.E. Effect of radiation
process on antinutrients and HCl
11. AL-KAISEY M, ALWAN AKH, extractability of calcium,
MOHAMMAD, M.H. and SAEED, phosphorus and iron during
A.H. Effect of gamma irradiation on processing and storage. Rad Phys &
antinutritional factors in broad Chem. 79, 791-796 (2010).
bean. Rad Phys & Chem. 67, 493-496
(2003). 18. TANHINDARTO, R.P. dan IRAWATI,
Z. Status litbang pengawetan
12. EBRAHIMI, S.R., NIKKHAH, A., makanan menggunakan radiasi
SADEGHI, A.A. and RAISALI, G. pengion, Seminar Pendayagunaan
Chemical composition, secondary Prosiding Seminar Nasional XIV
compounds, ruminal degradation “Kimia Dalam Industri dan
and in vitro crude protein Lingkungan”, Yogyakarta: 13-14
digestibility of gamma irradiated Sep, 132-138 (2005).
canola seed. Animal Feed Sci & Tech.
151, 184-193 (2009). 19. TANHINDARTO, R.P., HARIYADI, P.,
ANDARWULAN, N. dan IRAWATI,
13. BHAT, R., SRIDHAR, K.R. and Z. Aplikasi iradiasi mesin berkas
TOMITA-YOKOTAMI, K. Effect of elektron untuk disinfestasi serangga
ionizing radiation on antinutritional Tribolium castaneum (Herbst) pada
features of velvet bean seeds tepung terigu, Yogyakarta: Seminar
(Mucuna pruriens). Food Chem. 103, Nasional PATPI. 2-3 Agustus: R
860-866 (2007). 531-540 (2006).

14. EL-NIELY, H.F.G. Effect of radiation 20. SHAWRANG, P., SADEGHI, A.A.,
processing on antinutrients, in-vitro BEHGAR, M., ZARESHAHI, H. and
protein digestibility and protein SHAHHOSEINI, G. Study of
effiency ratio bioassy of legume chemical compositions, anti-

32
Pengaruh Laju Dosis Iradiasi Gamma (60Co) terhadap
Senyawa Antigizi Asam Fitat dan Antitripsin pada Kedelai
(Glycine max L.) ISSN 1907-0322
(Rindy Panca Tanhindarto, dkk.)

nutritional contents and digestibility 26. SMITH, C., MEGEN, W.V.,


of electron beam irradiated TWAALFHOVEN, L. and
sorghum grains. Food Chem. 125, HITCHCOCK, C. The
376-379 (2011). determination of trysin inhibitor
levels in foodstuffs. Society of Chem
21. EBRAHIMI-MAHMOUDABAD, S.R. Ind., 341-350 (1980).
and TAGHINEJAD-ROUDBANEH,
M. Investigation of electron beam 27. HOLDSWORTH, S.D. Principles of
irradiation effects on anti- Thermal Processing: Sterilization.
nutritional factors, chemical In: Engineering Aspects of Thermal
composition and digestion kinetics Food Processing (SIMPSON R, Ed.)
of whole cottonseed, soybean, and CRC Press Taylor & Francis Group.
canola seeds. Rad Phys & Chem. 80, Boca Raton London New York
1441-1447 (2011). (2009).

22. TAGHINEJAD-ROUDBANEH, M., 28. VILLOTA, R. and HAWKES, J.G.


EBRAHIMI, S.R., AZIZI, S. and Reaction Kinetics in Food Systems,
SHAWRANG, P. Effects of electron In:Handbook of Food Engineering,
beam irradiation on chemical (HELDMAN, D.R. & LUND, D.B.,
composition, antinutritional factors, Ed). Marcel Dekker, Inc. New York,
ruminal degradation and in vitro Basel, Hong Kong (1992).
protein digestibility of canola meal.
Rad Phys & Chem. 79, 1264-1269 29. KUMAR, V., SINHA, A.K., MAKKAR,
(2010). H.P.S. and BECKER, K. Dieteary
roles of phytate anf phytate in
23. INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY human nutrition: A review. Food
AGENCY [IAEA]. Dosimetry for Chem. 120 (4), 945-959, (2010).
Food Irradiation. Technical Reports
Series No. 409. International Atomic 30. MEXIS, S.F. and KONTAMINAS, M.G.
Energy Agency. Vienna (2002). Effect of γ-irradiation on the
physico-chemical and sensory
24. AMERICAN SOCIETY FOR TESTING properties of cashew nuts
AND MATERIALS [ASTM]. (Anacardium occidentale L.) Food Sci
Standards on Color and Appearance & Tech, 42, 1501-1507 (2009).
Measurement, third edition. 1916
Race St, Philadelphia, PA 19103 31. TANHINDARTO, R.P., DWI. K., PRIH,
(1991). S. dan MUGIONO. Pengaruh
iradiasi gamma (60Co) terhadap
25. BHADARI, M.R. and KAWABATA, J. mutu beras Atomita IV. Risalah
Cooking effects on oxalate, phytate, Pertemuan Ilmiah Penelitian dan
trysin and α-amylase inhibitors of Pengembangan Aplikasi Isotop dan
wild yam tubers of Nepal. J of Food Radiasi. Jakarta, 19-20 Februari
Composition & Analysis. 19, 524-530 2003. Puslitbang Teknologi Isotop
(2006). dan Radiasi BATAN, 279-286
(2004).

33
Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi
A Scientific Journal for The Applications of Isotopes and Radiation ISSN 1907-0322
Vol. 9 No. 1, Juni 2013, 23 — 33

34
Inovasi Susu Almond dengan Subtitusi Sari Kecambah Kedelai – Damayanti, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.6 No.3: 70-77, Juli 2018

INOVASI SUSU ALMOND DENGAN SUBSTITUSI SARI KECAMBAH KEDELAI


SEBAGAI SUMBER PROTEIN NABATI

The Innovation of Soybean Sprouts-Substituted Almond Milk as the Source of


Vegetable Protein

Sarah Sri Damayanti*, Erni Sofia Murtini

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, FTP Universitas Brawijaya Malang


Jl.Veteran, Malang 65145
*Penulis korespondensi, Email: sarahdamayanti17@gmail.com

ABSTRAK

Produk olahan almond kini semakin bervariasi, bukan hanya untuk produk makanan
melainkan juga minuman. Salah satu minuman berbasis almond yang mulai diminati adalah
susu almond. Namun, kadar protein larut air yang rendah pada susu almond tidak memenuhi
standar SNI , maka susu almond harus ditambahkan sumber protein dari luar, seperti kedelai.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Faktor I adalah teknik
blanching almond (water blanching dan steam blanching). Faktor II adalah lama waktu
perkecambahan kedelai (12 jam, 20 jam, 28 jam, dan 36 jam). Perlakuan terbaik didapatkan
pada perlakuan steam blanching almond dan perkecambahan kedelai 36 jam. Hasil analisis
perlakuan terbaik produk mempunyai kadar air sebanyak 81.15%, kadar protein 15.01%,
kadar lemak 1.99%, karbohidrat by difference 1.11%, kadar abu 0.75%, dan natrium 87.72
ppm.

Kata Kunci : Asam Fitat, Blanching, Lama Perkecambahan, Protein Larut Air, Tanin

ABSTRACT

Processed almond products are now more varied, not only for food products but also
beverages. One of the rising processed products of Almond was Almond Milk. However, the
content of protein solved in water was less than the standard of Nationalized Standard of
Product or so called as SNI. Therefore, it was necessary to give additional protein from other
substances, such as soybean. This study implements factorial Randomized Grouping Design
(RGD). Factor I was the blanching technique of almond (water blanching an steam blanching).
Factor II was the period of soybean germination (12 hours, 20 hours, 28 hours, an 36 hours).
The best treatment obtained from steam blanching of almond and soybean germination for 36
hours. The best treatment of the product contains 81.15% of water, 15.01% of protein, 1.99%
of fat, 1.11% of by difference-carbohydrate, 0.75% of ash, and 87.72 ppm of natrium.

Keywords: Blanching, Long Germination, Phytic Acid, Soluble Protein, Tannin

PENDAHULUAN

Almond merupakan jenis tree nuts yang populer karena rasanya yang gurih, sedikit
manis, dan empuk. Cita rasa gurih pada almond dikarenakan tingginya lemak nabati yang
terkandung di dalamnya. Almond mengandung tinggi nutrisi, per 100 gram total lemak (nabati)
sebesar 49.9 g, serat pangan 12.2 g, vitamin B (B1, B2, B3, B6) 4.7 mg, vitamin E 25.63 mg,
serta tinggi Ca, K, dan P masing masing 269.481, dan 733 mg (USDA, 2016). Konsumsi satu
takaran saji almond (20-25 biji) akan menghasilkan 15 gram lemak, dan lebih dari 90
persennya merupakan asam lemak tidak jenuh (Victoria, 2008). Tingginya asam oleat dan
linoleat pada almond sangat berperan baik dalam tubuh salah satunya menekan kolesterol
sehingga baik untuk jantung serta meningkatkan laju aliran darah.

70
Inovasi Susu Almond dengan Subtitusi Sari Kecambah Kedelai – Damayanti, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.6 No.3: 70-77, Juli 2018

Almond memang produk impor dan mahal, akan tetapi rasa gurih yang tak tergantikan
ditambah dengan kandungan gizinya yang tinggi membuat almond selalu banyak peminat.
Salah satu olahan almond yang mulai menjadi trend adalah susu almond. Terbukti bahwa di
Amerika jumlah penjualan susu almond terus meningkat hingga 250% pada 5 tahun terakhir
dan menduduki posisi teratas dibandingkan dengan susu dari kacang-kacangan dan serealia
lain (Nielsen, 2016). Susu almond juga dapat digunakan sebagai alternatif susu sapi bagi
penderita lactose intolerace mengingat di Indonesia, prevalensi penderita lactose intolerance
berdasarkan penelitian yang dilakukan di Jakarta, sebesar 57.9% pada anak usia 6-7 tahun,
58.9% pada anak usia 8-9 tahun, dan 57.1% pada anak 10-12 tahun (Purwati et al., 2015).
Dibalik kelezatannya, susu almond memiliki beberapa kekurangan yakni bahan baku
almond mengandung asam fitat yang tinggi dan mengandung sangat sedikit protein larut air
yakni sekitar 0.42 g/100g (USDA, 2016). Menurut SNI No. 01-3830-1995, susu dari komoditas
nabati harus memiliki protein minimal 2% dan dalam bentuk minuman minimal 1% sehingga
untuk meningkatkan kadar proteinnya perlu ditambahkan protein dari luar atau dari komoditas
lain. Kedelai dikenal sebagai salah satu kacang-kacangan yang tinggi protein nabati sekitar
35.71% (USDA, 2016) sehingga dapat digunakan sebagai komoditas untuk substitusi susu
almond. Penelitian terdahulu mengenai susu almond yang disubstitusi dengan komoditas lain
telah dilakukan oleh (Nareswara, 2016) yang mejadikan kentang sebagai bahan substitusi
susu almond bagi anak-anak penderita Autism Spectrum Disorder (ASD) sebagai minuman
bebas kasein dan gluten serta ppeningkatan gizi lainnya untuk perkembangan penderita ASD.
Susu almond dengan substitusi kedelai dapat dibuat dengan proporsi almond:kedelai
sebanyak 2:1 (Potter, 2016). Pemilihan kacang kedelai sebagai sumber protein nabati pada
susu almond selain dari segi kadar proteinnya juga dipertimbangkan dari nilai ekonomis
sebagai pengimbang harga almond yang mahal. Selain itu, pasokan kedelai juga mudah
didapatkan di pasaran. Namun, susu almond dengan substitusi sari kecambah kedelai
memiliki permasalahan yaitu kadar zat anti gizi asam fitat dan tanin yang tinggi. Asam fitat
mampu mengikat beberapa mineral dan tanin mampu mengikat protein sehingga kebutuhan
tubuh akan mineral dan protein akan terganggu penyerapannya.
Menurut penelitian Mardiyanto dan Sri (2015), asam fitat dan tanin, dapat diturunkan
dengan perlakuan pendahuan berupa perkecambahan. Sedangkan menurut penelitian
Pramita (2008) penurunan kadar zat antigizi dapat dilakukan dengan bantuan pemanasan.
Salah satu perlakuan panas pada pengolahan bahan pangan adalah blanching yang
mempunyai dua teknik yakni water blanching dan steam blanching. Kombinasi perlakuan yang
paling efektif antara waktu perkecambahan dan teknik blanching diharapakan mampu
menaikkan kadar protein larut air serta menurunkan kadar asam fitat dan tanin juga
menambah nilai gizi dari susu almond substitusi sari kecambah kedelai terutama protein.

BAHAN DAN METODE

Alat
Alat untuk pembuatan antara lain blender maspion, plate alumunium untuk
pasteurisasi dan water blanching, panci penanak nasi untuk steam blanching, kain saring.
Untuk analisis digunakan spektrofotometer UV-Vis 20D plus (Bausch and Lo,mb, USA), AAS
AA6300 (Shimadzu, California), sentrifuge EBA 2000 (Hettich Zentrifugen, Belanda), vortex
(LW Scientific Inc, USA), shaker (Heidolph UN, Germany) Furnace 47900 (Thermolyne,
USA), seperangkat alat destilasi Genhardt, Indonesia) oven (WTC Binder, Germany),
timbangan analitik (Denver Instrument M310, USA) vacuum drying merek lokal, tabung
Kjeldahl, lemari asam, magnetik stirer, kompor listrik Maspion.

Bahan
Bahan pembuatan produk antara lain almond manis, kedelai kering, perisa vanila cair
untuk makanan. Sedangkan bahan untuk keperluan analisis (Sigma dan Merck) antara lain
HNO3 0,5 M (PA), FeCl3 0,5 M (PA), amil alkohol (PA), amonium thiosianat (PA), metanol
(PA), Na2CO3 20% (PA), reagen follin ciocealteau (PA), asam tanat standar (PA), TCA (PA),
dietil eter (PA), K Na Tartrat (PA), CuSO4.5H2O (PA), NaOH padat (PA), NaOH 30% (teknis),

71
Inovasi Susu Almond dengan Subtitusi Sari Kecambah Kedelai – Damayanti, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.6 No.3: 70-77, Juli 2018

indikator metil red, indikator pp, tablet kjeldahl, H 2SO4 pekat (PA), H2SO4 0,5 N (PA),
petroleum eter (PA), HNO3 (PA) serta akuades.

Metode Penelitian
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Faktor I adalah
teknik blanching almond (water blanching dan steam blanching). Faktor II adalah lama waktu
perkecambahan kedelai (12 jam, 20 jam, 28 jam, dan 36 jam). Sampel didapatkan 8 kombinasi
perlakuan yang akan diulang sebanyak 3 kali sehingga didapatkan sampel uji sebanyak 24.

Pembuatan Produk
Pembuatan produk dimulai dari proses pembuatan susu almond dimana almond
dilakukan blanching (water dan steam blanching) pada suhu 80 oC selama 20 menit kemudian
dihaluskan dengan menggunakan blender dan ditambah air dengan perbandingan 1:4 lalu
disaring dan diperas dengan kain saring. Untuk pembuatan sari kecambah kedelai dilakukan
perkecambahan kedelai (12, 20, 28, dan 36 jam) kemudian dihaluskan dengan menggunakan
blender dan ditambah air dengan perbandingan 1:1 lalu disaring dan diperas dengan kain
saring. Pembuatan produk susu almond substitusi sari kecambah kedelai dilakukan dengan
mencampurkan susu almond dan sari kecambah kedelai (2:1) lalu dipasteurisasi suhu 70oC
selama 15 menit, dilakukan heatshock, dan pengemasan.

Analisis Kimia
Sampel produk susu almond dengan substitusi sari kecambah kedelai kemudian
dilakukan analisis zat antigizi berupa kadar asam fitat (Davies dan Reid, 1979), kadar tanin
(Subagio, 2003), serta analisis kadar protein larut air dengan metode biuret (AOAC, 1995).
Kadar protein larut air yang tertinggi serta kadar asam fitat dan tanin yang sudah memenuhi
syarat akan diambil sebagai perlakuan terbaik yang nantinya akan diberi klaim sumber protein.
Produk dengan perlakuan terbaik selanjutnya dianalisis proximat berupa kadar air (AOAC,
1990), protein (AOAC 2000), lemak (AOAC, 2005) karbohidrat by difference, kadar abu
(AOAC, 1990), serta natrium (AOAC 937.09, 2000) untuk pemenuhan syarat klaim sumber
protein (PKBPOM No 13 Tahun 2016) termasuk informasi nilai gizi.

Analisis Statistika
Data dilakukan analisis sidik ragam dengan ANOVA menggunakan software minitab
16 dilanjutkan dengan DMRT apabila terdapat beda nyata (α=0.05) dan interaksi serta BNT
apabila beda nyata (α=0.05) namun tidak terdapat interaksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik Bahan Baku


Karakteristik almond manis (Prunus amygdalus var. dulcis) dengan kondisi biji utuh
yang masih berkulit ari dan kedelai kuning lokal (Glycine max (L.) Merril) dapat dilihat pada
Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Bahan Baku


Parameter Almond Kedelai
Protein (%) 22.63±0.57 30.44±1.25
Asam Fitat (mg/g) 1.641±0.13 1.50±0.02
Tanin (mg EAT/100g) 75.55±7.61 506.45±31.25

Kadar protein almond yang ditunjukkan pada Tabel 1 adalah 21.15% dimana jika
dibandingkan dengan jenis kacang pohon lainnya, protein yang terkandung dalam almond
merupakan yang tertinggi dibanding Brazil nut (14.32%), cashew (18.22%), hazelnut
(14.95%), macademia (7.91%), pecan (9.16%), pistachio (20.16%), walnut (15.23%) (Tan,
2011). Jenis protein yang ada pada almond antara lain globulin (74%), albumin (21%), dan

72
Inovasi Susu Almond dengan Subtitusi Sari Kecambah Kedelai – Damayanti, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.6 No.3: 70-77, Juli 2018

sisanya adalah glutelin dan prolamin. Kadar protein kedelai hasil analisis adalah 30.44% yang
apabila di bandingkan dengan jenis kacang-kacangan lain seperti kacang hijau (23.86%),
kacang merah (23.58%), dan kacang tanah (6.15%) protein kedelai merupakan yang tertinggi.
Protein yang mendominasi kedelai adalah globulin dan albumin. Protein globulin yang
merupakan protein tidak larut air kedelai berkisar 19.25 g/100g bahan (Yuwono et al., 2003).
Nilai daya cerna protein kedelai yang sudah mengalami proses pemasakan sangat tinggi
mencapai 70-80% sehingga sangat mudah diserap oleh tubuh (Purba, 2012).
Kadar tanin pada almond menurut hasil analisis adalah 75.55 mg ekuivalen asam
tanat/100g. Hasil yang sama dilaporkan pada penelitian Monaghan (2008) dimana kadar tanin
pada almond adalah 0.07% (70mg/100g). Kandungan tanin yang ada dalam kedelai adalah
506.45 mg ekuivalen asam tanat/100g. Hasil pengukuran kadar tanin tersebut apabila
dibandingkan dengan penelitian Rusydi dan Azrina (2012) hampir mendekati yakni 567 mg
ekuivalen asam galat/100g. Sedangkan untuk kadar asam fitat dari almond dan kedelai adalah
1.641 mg/g dan 1.50 mg/g. Ketika dalam bentuk garamnya, asam fitat merupakan sumber
fosfor yang terdapat pada jaringan tanaman (Kumar et al., 2010). Asam fitat terbentuk selama
pematangan biji dan 60-90% nya merupakan fosfor (Leowus, 2002).

2. Karakteristik Kimia Susu Almond Substitusi Sari Kecambah Kedelai


Karakteristik kimia susu almond substitusi sari kecambah kedelai berupa kadar protein
larut air, asam fitat dan tanin dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Kimia Susu Almond Substitusi Sari Kecambah Kedelai


*Perlakuan Protein Larut Air (%) Asam Fitat (mg/ml) Tanin (mg EAT/100ml)
A1B1 11.05±0.07 1.27±0.07 266.53±16.59
A1B2 11.89±0.44 1.15±0.03 246.38±19.59
A1B3 12.18±0.19 0.91±0.02 221.09±18.18
A1B4 12.76±0.22 0.82±0.01 182.56±15.15
A2B1 12.31±0.79 1.39±0.06 292.17±11.82
A2B2 12.34±0.16 1.38±0.08 277.83±16.80
A2B3 13.46±0.27 1.19±0.06 247.23±12.94
A2B4 15.01±0.48 1.07±0.09 232.47±13.71
*A1 = water blanching, A2 = steam blanching, B1 = perkecambahan 12 jam, B2 = 20 jam, B3 = 28 jam,
B4 = 36 jam

3. Protein Larut Air


Pada Tabel 2 hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan teknik blanching almond
dan lama perkecambahan kedelai berpengaruh nyata (α=0.05) terhadap kenaikan protein
larut air serta terdapat interaksi keduanya. Hal ini dikarenakan proses perkecambahan
menyebabkan naiknya beberapa komponen nutrisi seperti protein dan vitamin. Meningkatnya
kadar protein dikarenakan sintesis protein terjadi setelah kebutuhan energi untuk
pertumbuhan telah habis (karbohidrat pada biji). Oleh karena itu, protein digunakan sebagai
cadangan makanan yang digunakan untuk membesarkan diri dan untuk proses respirasi
selanjutnya pada saat diperlukan untuk berkembang (Suhendra, 2005). Protein larut air pada
perlakuan water blanching lebih rendah dibandingkan dengan steam blanching karena protein
lebih banyak larut dalam air rebusan (jumlah pelarut lebih banyak) tergantung lama dan suhu
blanching (Naibaho et al., 2009).

4. Asam Fitat
Pada Tabel 2 hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan teknik blanching almond
dan lama perkecambahan kedelai berpengaruh nyata (α=0.05) terhadap kenaikan protein
larut air namun tidak ada interaksi keduanya. Hal ini dikarenakan asam fitat merupakan
senyawa yang larut dalam air dimana pada perlakuan water blanching asam fitat akan larut
pada air perebusan. Sedangkan pada steam blanching media pelarutan asam fitat adalah uap
air panas sehingga hanya sedikit melarutkan asam fitat (Mahmod, 2012). Pada
perkecambahan terdapat proses perendaman biji dimana proses imbibisi air akan

73
Inovasi Susu Almond dengan Subtitusi Sari Kecambah Kedelai – Damayanti, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.6 No.3: 70-77, Juli 2018

mengaktifkan enzim-enzim yang ada di dalam biji untuk proses metabolisme termasuk enzim
fitase yang juga terdapat pada biji. Enzim fitase atau mio-inositol hesakisfosfat fosfohidrolase
menghidrolisis asam fitat menjadi mio inositol dan fosfat organik dan kemudian mio-inositol
dipecah lebih lanjut menjadi monofosfat. Hasil pemecahan asam fitat kemudian digunakan
untuk pertumbuhan menjadi tanaman baru. Unsur yang digunakan adalah fosfor karena asam
fitat merupakan sumber penyimpanan fosfor terbesar pada tanaman (Nagel, 2010).

5. Tanin
Pada Tabel 2 hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan teknik blanching almond
dan lama perkecambahan kedelai tidak berpengaruh nyata (α=0.05) terhadap penurunan
kadar tanin produk. Hal ini dikarenakan asam fitat merupakan senyawa yang larut dalam air
dimana pada perlakuan water blanching asam fitat akan larut pada air perebusan. Sedangkan
pada steam blanching media pelarutan asam fitat adalah uap air panas sehingga hanya sedikit
melarutkan asam fitat (Mahmod, 2012). Pada perlakuan pekecambahan terdapat pula
perlakuan perendaman dimana proses imbibisi air ke biji akan menyebabkan enzim-enzim
yang terdapat pada biji menjadi aktif untuk proses metabolisme termasuk enzim tannase
(tannin acyl hydrolase). Enzim tersebut secara khusus memutuskan ikatan galoil pada tanin
terhidrolisis untuk menghasilkan asam galat dan pliol. Selain itu tanase juga memiliki
kemampuan mengkatalis reaksi hidrolisis tanin terkondensasi untuk menghasilkan senyawa
flavonoid (Anwar, 2006).

6. Perlakuan terbaik
Penentuan perlakuan terbaik didasarkan pada kadar protein larut air tertinggi dengan
kadar asam fitat dan tanin yang sudah memenuhi standar. Maksimal toleransi asam fitat yang
di konsumsi adalah 800 mg/hari (Ellis et al., 2001) sedangkan batas aman konsumsi tanin
adalah 560 mg/kg berat badan/hari (Baskin dan Brewer, 2006). Kadar protein larut air tertinggi
terdapat pada perlakuan steam blanching almond dan perkecambahan kedelai 36 jam dengan
kadar protein larut sebesar 15.01% dengan kadar asam fitat 1.07 mg/ml dan kadar tanin
232.47 mg ekuivalen asam tanat/100ml. Hasil analisis proximat perlakuan terbaik dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Rerata Proximat Perlakuan Terbaik Susu Almond Substitusi Sari Kecambah
Kedelai
Parameter Hasil (%)
Kadar Air 81.15±2.26
Kadar Protein 15.01±0.48
Kadar Lemak 1.99±0.17
Kadar Abu 0.74±0.67
Karbohidrat (by difference) 1.11

Hasil yang disajikan pada Tabel 3 tersebut keseluruhan memenuhi standar SNI 01-
3830-1995 tentang minuman berbasis kedelai dimana total padatan pada susu atau minuman
kedelai minimal 11.5% b/b. Pada hasil analisis padatan total mencapai 18.85%. Kadar protein
susu almond substitusi sari kecambah kedelai mencapai 15.01% dimana peraturan SNI
menjelaskan kadar protein pada susu kedelai minimal 2% b/b atau dalam bentuk minuman
minimal 1% b/b. Kadar lemak dan karbohidat hampir sama dengan susu almond pada
umumnya yakni 1.04% dan 6.59% (USDA, 2016). Hasil tersebut juga memenuhi SNI dimana
kadar lemak pada susu kedelai minimal 1% b/b dan dalam bentuk minuman minimal 0.3%.

7. Klaim Sumber Protein


Klaim kandungan zat gizi berupa minuman sumber protein wajib memenuhi sejumlah
persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
No. 13 Tahun 2016 yaitu memenuhi persyaratan asupan per saji tidak boleh lebih dari 18 g
lemak total, 4 g lemak jenuh, 60 mg kolesterol, 300 mg natrium serta 10% ALG per 100 ml
(dalam bentuk cair) sebagai klaim sumber protein. Hasil analisis perlakuan terbaik

74
Inovasi Susu Almond dengan Subtitusi Sari Kecambah Kedelai – Damayanti, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.6 No.3: 70-77, Juli 2018

(kandungan per takaran saji produk 250 ml) didapatkan kadar lemak sebesar 4.89 g, natrium
21.93 mg, protein 15.01%. Kolesterol dan lemak jenuh tidak dilakukan analisis karena
keterbatasan alat, bahan dan materiil. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa
produk telah memenuhi persyaratan sebagai minuman sumber protein namun diperlukan
analisis lebih lanjut untuk kolesterol dan lemak jenuh yang belum dilakukan.

8. Informasi Nilai Gizi


Perhitungan informasi nilai gizi mengacu paca ALG (Acuan Label Gizi) berdasarkan
PKABPOM No.9. Pada informasi nilai gizi per takaran saji (250 ml) produk dapat memenuhi
kebutuhan energi 200 kkal dengan energi dari lemak sebesar 40 kkal lemak 8% AKG, protein
62% AKG, karbohidrat 1% AKG, dan natrium 1% AKG dengan persen AKG didasarkan pada
kebutuhan energi 2000 kkal dimana kebutuhan energi masing-masing individu mungkin lebih
tinggi atau lebih rendah.

SIMPULAN

Perlakuan teknik blanching almond dan perkecambahan kedelai memberikan pengaruh


nyata (α=0.05) terhadap kenaikan kadar protein larut air serta terdapat interaksi, juga
berpengaruh nyata (α=0.05) pada penurunan kadar asam fitat namun tidak terdapat interaksi
tidak pada tanin. Perlakuan terbaik didapatkan pada perlakuan steam blanching almond dan
perkecambahan kedelai 36 jam dengan hasil kadar air 81.15%, protein 15.01%, lemak 1,99%,
karbohidrat by difference 1.11%, abu 0.75%, dan natrium 87.72 ppm. Hasil analisis yang
didapat disimpulkan sementara telah memenuhi syarat klaim minuman sumber protein
berdasarkan syarat minimum kandungan lemak jenuh, natrium, dan protein. Pada informasi
nilai gizi per takaran saji (250 ml) produk dapat memenuhi kebutuhan energi 200 kkal, lemak
8% AKG, protein 62% AKG, karbohidrat 1% AKG, dan natrium 1% AKG. Syarat kandungan
lemak jenuh (minimum 4 g) dan kolesterol (minimum 60 mg) sebagai pemenuhan syarat klaim
minuman sumber protein belum dilaksanakan karena keterbatasan alat, bahan, serta materiil
sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut sebagai pemenuhan syarat klaim minuman
sumber protein.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, YA.S. 2006. Produksi dan Karakterisasi Enzim Tanin Asil Hidrolase Dari Aspergillus
niger. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
AOAC. 1990. Official Method of Analysis. Association of Official Analysis Chemistry, Rockvile
USA.
AOAC. 1995. Official Method of Analysis. Association of Official Analysis Chemistry, Rockvile
USA.
AOAC. 2000. Official Method of Analysis. Association of Official Analysis Chemistry, Rockvile
USA.
AOAC. 2005. Official Method of Analysis. Association of Official Analysis Chemistry, Rockvile
USA.
Baskin, S.I., and Brewer, T.G. 2006. Cyanide Poisoning. Army Medical Research Institute of
Chemical Defense. Marylane.
Davies N.T., and Reid. 1979. An Evaluation of The Phytate, Zinc, Copper, Iron and
Manganese Contents of, and Zn Availability From, Soyabased Textured-Vegetable-
Protein Meat-Substitues or Meat Extenders. Journal Nutrition. 41:3, 579-89.
Ellis R., Kelsay J.L., Reynolds R.D., Morris E.R., Moser P.B., and Frazier C.W. 2001. Phytate:
Zinc and Phytate X Calcium: Zinc Millimolar Rations in Self-Selected Diets of
American, Asian Indians, and Nepalese. Journal of the American Dietetic Association.
87:8, 1043-7.
Kumar, V, Sinha AK., Makkar HPS and Becker K. 2010. Dietary Roles of Phytate and Phytase
in Human Nutrition: a Review. Journal of Food Chemistry 120: 945-959.

75
Inovasi Susu Almond dengan Subtitusi Sari Kecambah Kedelai – Damayanti, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.6 No.3: 70-77, Juli 2018

Loewus, F. 2002. Biosynthesis of Phytate In Food Grains And Seeds: Food Phytates. CRC
Press. Boca Raton.
Mahmod, M.H., Ferial M.A.S., El-kalyoubi M.H., and Gibriel A.Y. 2012. Effect of Legume
Processing and Fermentation Treatments on Their Phytic Acid. Food Science
Department. Cairo. Egypt.
Mardiyanto, T.C., dan Sri S. 2015. Studi Nilai Cerna Protein Susu Kecambah Kedelai Varietas
Lokal secara In Vitro. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia.
Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Nareswara AS. 2016. Studi Tentang Susu Almond Dan Kentang Sebagai Alternatif Minuman
Fungsional Untuk Anak Autis. Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang.
Nagel, R. 2010. Living With Phytic Acid. http://www.westonaprice.org/health-topics/living-with-
phytic-acid/ Tanggal akses: 27/09/2016
Naibaho, M.N., Hudaida S., dan Hadi S. 2009. Studi Waktu Dan Metode Blanching Terhadap
Sifat Fisikokimia Tepung Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium). Jurnal Teknologi
Pertanian 4:2, 69-74.
Nielsen, A.O.D. 2016. Americans Are Nuts For Almond Milk. Dilihat 1 Mei 2017.
<http://www.nielsen.com/us/en/insights/news/2016/americans-are-nuts-for-almond-
milk.html. Tanggal akses: 01/05/2017.
Peraturan Kepala BPOM Republik Indonesia No. 9. 2016. Acuan Label Gizi. Berita Negara
Republik Indonesia No. 792. Jakarta.
Peraturan Kepala BPOM Republik Indonesia No. 13. 2016. Pengawasan Klaim Pada Label
dan Iklan Pangan Olahan. Berita Negara Republik Indonesia No 887. Jakarta.
Peraturan Kepala BPOM Republik Indonesia No. 9. 2015. Pengawasan Takaran Saji Pangan
Olahan. Berita Negara Republik Indonesia No. 1055. Jakarta.
Potter, C. 2014. Almond Milk Sweetened with Dates (dairy free, refined sugar free).
http://colorfuleatsnutrition.com/recipes/almond-milk-sweetened-with-dates. Tanggal
akses: 27/09/2016.
Pramita, DS. 2008. Pengaruh Teknik Pemanasan Terhadap Kadar Asam Fitat dan Aktivitas
Antioksidan Koro Benguk (Mucuna Pruriens), Koro Glinding (Phaseolus Lunatus), dan
Koro Pedang (Canavalia Ensiformis). Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Purba, LS. 2012. Perbandingan Berat Kacang Kedelai Tergerminasi dan Biji Nangka dan
Konsentrasi Ragi Pada Pembuatan Tempe. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Purwati, N.A.D., Dian H. dan Amalia R. 2015. Es Krim Free Lactose Berbahan Dasar Sari
Hanjeli sebagai Alternatif Pengganti Es Krim Susu bagi Penderita Lactose Intolerance.
Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 4:1, 144-159.
Rusydi, M.M.R., dan Azrina, A. 2012. Effect of Germination On Total Phenolic, Tannin and
Phytic Acid Contents in Soy Bean And Peanut. International Food Research Journal
19:2, 673-677.
SNI (Standar Nasional Indonesia). 1995. SNI 01-3830-1995: Susu Kedelai.
http://sisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/4246. Tanggal akses:
01/03/2017.
Suhendra L. 2005. Studi Perubahan Protein Terlarut Selama Perkecambahan Biji Wijen
(Sesamun Indicum L.) Menggunakan Pendekatan Respon Surface Methodology.
Skripsi. Universitas Udayana. Bali
Tan, J. 2011. Healthy Nuts Go Nuts. http://www.med.umich.edu/pfans/docs/tip-
2011/healthynuts-0211.pdf. Tanggal akses: 15/092016.
USDA (United States Department of Agriculture) – Natural Resources Concervating Service.
2016. Classification for Kingdom Plantae Down to Genus Prunus L.
https://plants.usda.gov/java/ClassificationServlet?source=display&classid=PRUNU.
Tanggal akses: 15/09/2016.
USDA (United States Department of Agriculture). 2016. USDA Branded Food Products
Database for Almond Milk. https://ndb.nal.usda.gov/ndb/ search/list. Tanggal akses:
15/09/2016.

76
Inovasi Susu Almond dengan Subtitusi Sari Kecambah Kedelai – Damayanti, dkk
Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol.6 No.3: 70-77, Juli 2018

USDA (United States Department of Agriculture). 2016. USDA Branded Food Products
Database for Dry Almond Nuts. https://ndb.nal.usda.gov/ndb/search/list. Tanggal
akses: 15/09/2016.
USDA (United States Department of Agriculture). 2016. USDA Branded Food Products
Database for Dry Soya Bean. https://ndb.nal.usda.gov/ndb/search/list. Tanggal akses:
15/09/2016
Victoria, J. E. 2008. Daniel's Lifestyle Fasting Cook Book. Xulon Press. Maitland.
Yuwono, SS, Kartika KH. dan Wulan S.N. 2003. Karakterisasi Fisik, Kimia dan Fraksi Protein
7S Dan 11S Sepuluh Varietas Kedelai Produksi Indonesia. Jurnal Teknologi Pertanian
4:1, 84–90.

77

Anda mungkin juga menyukai