KESENIAN
Budaya dan tradisi orang Banjar adalah hasil asimilasi selama berabad-abad. Budaya tersebut
dipengaruhi oleh kepercayaan Islam yang dibawa oleh pedagang Arab dan Persia.
Budaya Banjar dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar khususnya dalam
bentuk kesenian, tarian, musik, pakaian, permainan dan upacara tradisional.
Adat istiadat Banjar yang melekat dengan kehidupan sosial warga masyarakat yang bercirikan
Islam terus terjaga dan dipertahankan, nampak dari aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. Hal
ini dapat juga disaksikan melalui berbagai pentas kesenian Banjar yang sering ditampilkan dalam
acara-acara resmi, seperti tari-tarian dan lagu Banjar. Demikian pula upacara adat khas Banjar
yang biasanya dilaksanakan dalam rangka perkawinan, kelahiran, ataupun peringatan terhadap
peristiwa penting lainnya. Dari banyaknya ragam kesenian tersebut yang terkenal adalah:
Madihin
Mamanda
Japen
Balamut
Hadrah
Musik panting
Upacara Maarak Penganten
Bamandi-mandi
Maayun Anak
Tarian tradisional yang biasa ditampilkan pada upacara Tradisional seperti: tari "Baksa
Kambang", "Baksa Lilin", "Kula Gepang", "Maiwak", dan lain-lain. Ada sekitar 76 Jenis tarian.
Tari tradisional biasanya diiringi oleh alat musik tradisional seperti: babun, gambang, aron,
salantang, kedernong, gong, suling, rehab dan dan lain-lain.
MADIHIN
Seni Madihin adalah suguhan pentas monolog oleh satu atau dua orang seniman tradisional
yang merangkai syair dan pantun diiringi dengan musik gendang khas Banjar. Sajian materi
seni ini biasanya melemparkan sindiran – sindiran dan pesan sosial dan moral dengan kosa kata
yang menggelitik dan lucu.
MAMANDA
Seni Mamanda merupakan seni pentas teater tradisional Banjar. Menceritakan kisah-kisah
kehidupan masyarakat perjuangan kemerdekaan serta kritik sosial dan politik yang berkembang.
TARI JAPEN
Jepen adalah kesenian rakyat Kutai yang dipengaruhi oleh kebudayaan Melayu dan Islam.
Kesenian ini sangat populer di kalangan rakyat yang menetap di pesisir sungai Mahakam
maupun di daerah pantai.
Tarian pergaulan ini biasanya ditarikan berpasang-pasangan, tetapi dapat pula ditarikan secara
tunggal. Tari Jepen ini diiringi oleh sebuah nyanyian dan irama musik khas Kutai yang disebut
dengan Tingkilan. Alat musiknya terdiri dari gambus (sejenis gitar berdawai 6) dan ketipung
(semacam kendang kecil).Karena populernya kesenian ini, hampir di setiap kecamatan terdapat
grup-grup Jepen sekaligus Tingkilan yang masing-masing memiliki gayanya sendiri-sendiri,
sehingga tari ini berkembang pesat dengan munculnya kreasi-kreasi baru seperti Tari Jepen
Tungku, Tari Jepen Gelombang, Tari Jepen 29, Tari Jepen Sidabil dan Tari Jepen Tali.
Seni Tari Klasik Merupakan tarian yang tumbuh dan berkembang di kalangan Kraton Kutai
Kartanegara pada masa lampau.
BALAMUT
Lamut adalah salah satu Sastra Banjar atau dikatakan juga cerita bertutur yang dikhawatirkan
suatu saat nanti akan punah. Disebabkan hampir tidak ada lagi yang berminat untuk menjadi
Palamutan ( orang yang bercerita lamut ), dan tidak ada yang peduli dari masyarakat banjar itu
sendiri, lembaga atau instansi senibudaya untuk melestarikian kehidupan Lamut yang semakin
langka ini.
Mengapa dikatakan Lamut ? Ada yang mengatakan bahwa lamut diambil dari nama seorang
tokoh cerita di dalamnya, yaitu Paman Lamut seorang tokoh yang menjadi panutan, sesepuh,
baik dilingkungan kerajaan atau pun masyarakat seperti halnya Semar dalam cerita wayang.
Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa lamut berasal dari kesenian Dundam yaitu cerita
bertutur dengan menggunakan instrumen perkusi yaitu tarbang, Bercerita sambil membunyikan
( memukul ) alat tersebut. Konon, pendundam ketika membawakan ceritanya tidak tampak atau
samar – samar dalam gelap. Cerita yang dibawakan adalah dongeng kerajaan Antah Berantah.
Sedang berlamut, pelamutannya tampak oleh penonton dan ceritanya menurut pakem yang ada
walau tak tertulis. Cerita yang dikenal masyarakat Banjar yakni cerita tentang percintaan antara
Kasan Mandi dengan Galuh Putri Jung Masari. Kasan Mandi adalah putera dari Maharajua
Bungsu dari Kerajaan Palinggam Cahaya, sedangkan Galuh Putri Jung Masari adalah putri dari
Indra Bayu, raja dari Mesir Keraton. Kasan Mandi kawin dengan Galuh Putri Jung Masari
melahirkan seorang putra bernama Bujang Maluala. Di dalam cerita ini ada tokoh antagonis
bernama Sultan Aliudin yang sakti mandraguna dari Lautan Gandang Mirung yang jadi
penghalang, dan terjadi perang tanding. Kasan Mandi dibantu oleh paman Lamut bersama anak –
anaknya yaitu Anglung, Anggasina dan Labai Buranta, akhirnya Sultan Aliudin kalah.
Berlamut sudah ada pada zaman kuno yaitu tahun 1500 Masehi sampai tahun 1800 Masehi
tetapi bercerita tidak menggunakan tarbang. Ketika Agama Islam masuk ke Kalimantan Selatan,
setelah Raja Banjar Sultan Suriansyah, barulah berlamut memakai tarbang. Sebab kesenian Islam
terkenal dengan Hadrah dan Burdahnya.
Seiring dengan pesatnya penyebaran agama Islam, kesenian Islam sangat berpengaruh pada
perkembangan kebudayaan dan kesenian Banjar. Syair – syair dan pantun hidup dan berkembang
dalam masyarakat. Dan Sastra Banjar Lamut juga mendapat tempat yang strategis dalam
penyebaran Islam di masyarakat Banjar.
Ketika Sultan Suriansyah masuk Islam, banyak kebudayaan dan kesenian Jawa yaitu dari Demak
( Jawa Tengah ) berbaur pada kebudayaan dan kesenian Banjar, maka tak heran Lamut mendapat
pengaruh juga dari Wayang Kulit yaitu dialognya mirip dialek wayang. Lamut bukan saja
berkembang di seluruh pelosok Kalimantan Selatan tetapi juga sampai di Kalimantan Tengah
dan Kalimantan Timur.
MUSIK PANTING
KERAJINAN
Salah satu yang manjadi daya tarik pengunjung Kota Banjarmasin adalah berbagai macam
kerajinan tangan dan cinderamata yang ada di kota ini. Kerajinan tangan yang ada di Kota
Banjarmasin bukan hanya dihasilkan oleh penduduk Kota Banjarmasin, tetapi juga dari kota dan
kabupaten lain di Kalimantan Selatan, sehingga dengan datang ke Banjarmasin wiastawan dapat
mengenal beragam kerajinan khas yang dihasilkan rakyat Kalimantan Selatan.
Terdapat beragam jenis kerajinan tangan yang dihasilkan industri-industri kecil rumah tangga
mulai dari batu-batuan permata hingga berbagai bentuk aksesoris dan peralatan rumah tangga
khas Banjar, suku asli Kalimantan Selatan. Kerajinan Tangan yang dihasilkan warga Kota
Banjarmasin sendiri diantaranya berupa kain Sasirangan yang memiliki kombinasi warna dan
tekstur sangan khas. Keindahan sasirangan sudah dikenal secara nasional, sebagai salah satu
bahan busana pria dan wanita.
Kerajinan khas lainnya adalah air guci, yaitu jenis sulaman khas banjar. Peralatan dan perabot
rumah tangga yang terbuat dari bahan rotan seperti lampit atau tikar, tas, pas bunga dan bentuk-
bentuk lainnya. Selain kerajinan yang berupa peralatan dan aksesoris, di Kota ini bisa
didapatkan berbagai ramuan tradisional yang bahannya diperoleh dari pedalaman kalimantan,
seperti pasak bumi yang sudah sangat terkenal di manca negara. Semua kerajinan tangan ini
sangat menarik untuk dibawa sebagai oleh-oleh dari Kota Banjarmasin.
Senjataa
Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan Suku Dayak dan Suku
Banjar di Kalimantan. Mandau termasuk salah satu senjata tradisional Indonesia. Berbeda
dengan arang, mandau memiliki ukiran - ukiran di bagian bilahnya yang tidak tajam. Sering juga
dijumpai tambahan lubang-lubang di bilahnya yang ditutup dengan kuningan atau tembaga
dengan maksud memperindah bilah mandau.
Mandau juga merupakan senjata utama dan merupakan senjata turun temurun yang
dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada tanda ukiran baik dalam bentuk
tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat dari batu gunung, ditatah, diukir
dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan bulu burung atau rambut manusia.
Mandau mempunyai nama asli yang disebut “Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun
Kajau”, merupakan barang yang mempunyai nilai religius, karena dirawat dengan baik
oleh pemiliknya.
Batu-batuan yang sering dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang
telah lalu yaitu: Batu Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu
Montalat.Mandau adalah senjata tajam sejenis parang berasal dari kebudayaan Dayak di
Kalimantan. Mandau termasuk salah satu senjata tradisional Indonesia. Berbeda dengan
parang, mandau memiliki ukiran – ukiran di bagian bilahnya yang tidak tajam. Sering
juga dijumpai tambahan lubang-lubang di bilahnya yang ditutup dengan kuningan atau
tembaga dengan maksud memperindah bilah mandau.
a. Mandau: Senjata tradisional suku bangsa Dayak yang terbuat dari batu gunung yang
mengandung besi. Selain berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan kelangsungan
hidup, dahulu Mandau juga memiliki arti penting dalam adat pengayauan. Bahkan dulu
pernah ada kepercayaan, semakin banyak Mandau dihiasi oleh rambut dari kepala orang
yang dikayau akan semakin tinggi nilai kesaktiannya. Mandau seringkali dianggap
sebagai benda pusaka yang dikeramatkan. Pada masa sekarang ini, nilai kesakralan
Mandau sudah berkurang. Fungsi Mandau pun mengalamai perubahan. Kini Mandau
digunakan pula untuk menyabit rumput, mengambil akar, memotong ikan, cenderamata
dan sebagainya.
b. Parang: Biasanya terbuat dari kayu atau akar bamboo, besi atau baja, kuningan dan gala-
gala (sejenis dammar). Kegunaan parang bermacam-macam. Selain berfungsi sebagai
senjata, parang juga digunakan sebagai alat rumah tangga, alat pertanian, alat perburuan
dan sebagainya.
c. Sarapang: Senjata atau alat yang biasanya juga digunakan untuk berburu ini terbuat dari
sepotong baja yang dibelah menjadi 5 bagian dan pada sebagian ujungnya diruncingkan,
sebatang bambu, serta sebuah salut dari kuningan atau besi. Selain itu serapang sering
kali dimanfaatkan pula dalam penangkapan ikan-ikan besar.
d. Riwayang: Berbentuk seperti tombak, hanya mata riwayang dilengkapi juga dengan bait.
Pada riwayang juga terdapat lubang tempat mengikatkan tali. Cara menggunakannya
adalah dengan dilemparkan seperti melempar lembing kea rah sasaran, sedangkan talinya
tetap dipegang. Selain sebagai senjata dan alat berburu binatang, ada sejenis riwayang
yang juga digunakan untuk menangkap ikan, yaitu riwayang tauman.
e. Alat-alat lain yang juga berfungsi sebagai senjata, seperti tombak, sumpitan, renggi, lipah
dan sebagainya, pada masa sekarang ini lebih banyak digunakan untuk berburu. Berburu
adalah salah satu mata pencaharian utama masyarakat Kalimantan Selatan, khususnya
suku-suku bangsa Dayak yang ada di dalamnya, selain pertanian.
1. Raba
Sama halnya dengan kumpai paiwakan maka media yang digunakan adalah batang pohon
dan enceng gondok.Namun, pemeliharaan ikan ini lebih dkhususkan sebagai tempat
memancing dan menombak ikan yang hidup didalamnya.
2. Dana
Daerah Kalimantan Selatan terdapat dua buah danau yaitu danau panggang di Kabupaten
Hulu Sungai Utara dan danau bangkau di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, ada berbagai
macam ikan yang dihidup didanau tersebut, penangkapannyapun masih menggunakan
alat-alat tradisional yang disesuaikan dengan pola musim.
3. Sungai paiwakan
Anak-anak sungai ditujukan kedaerah rawa untuk kemudian sebagai tempat
perkembangan ikan dengan menggunakan penghalang yang terbuat dari bamboo, pada
saat musim penghujan maka penghalang antara anak sungai dengan rawa ini dibuka
dimaksudkan agar ikan-ikan ini kemudian tertampung di air rawa.
4. Sumur paiwakan
Hampir sama dengan sungai paiwakan, tetapi biasanya jauh dari tepi sungai, hingganya
terdapat kesulitan untuk mengambil hasil ikan dari sumur paiwakan ini.
5. Peternaka
1. Peternakan kerbau atau hadangan (dilakukan di daerah dataran rendah dan dataran
tinggi)
2. Peternakan sapi
3. Peternakan itik
4. Peternakan ayam rumah
5. Meramu
Kegiatan meramu yang ada di masa sekarang ini yaitu:
1. Meramu galam
2. Meramu kapur naga, papung, dan balangiran.
3. Meramu halayung dan sirang
4. Meramu rotan
6. Kerajinan tangan
Ada beberapa jenis kerajinan yang berkembang di Kalimantan Selatan antara lain:
1. Penggosokan intan dan batu-batu alam
2. Kerajinan dengan media daun-daunan (misalnya daun rumbia)
3. Kerajinan rotan
4. Kerajinan jangkang
5. Pertukangan rumah
6. Tukang mas
7. Kerajinan kuningan
8. Pandai besi
9. Kerajinan gerabah
10. Kerajinan pembuatan kain tradisional
11. Kerajinan pembuatan alat penangkap ikan
12. Pembuatan anyaman purun
13. Kerajinan sulam-menyulam dan membordir
14. Pembuatan kue-kue tradisional
15. Kerajinan anyaman bambu
7. Kegiatan perdagangan
Kegiatan perdagangan ini berkembang pada masyarakat yang bertempat tinggal di
bantaran sungai, bidangnya sendiripun ada berbagai macam perdagangan yang dijalankan oleh
masyarakatnya sesuai dengan tingkat keperluan. Namun, ada ciri khas dalam kegiatan berdagang
itu sendiri yakni dikenalnya system penyambangan atau pembalantikan (sebagai pedagang
perantara antara produsen utama dengan konsumen tingkat lanjut yang biasanya menunggu
ditempat-tempat tertentu untuk membeli secara langsung barang-barang yang akan dijual
langsung dari produsen).
Tempat wisata
Pasar Terapung
Tak lengkap rasanya jika membahas Banjarmasin tanpa pasar terapung. Pasar ini sudah menjadi
ciri khas kota Banjarmasin. Pasar terapung ini merupakan proses jual-beli yang dilakukan di atas
perahu yang mengapung. Saat ini, pasar terapung telah menjadi salah satu tempat wisata di
Banjarmasin yang paling banyak dikunjungi wisatawan.
Salah satu pasar terapung yang populer adalah yang ada di muara Sungai Barito, tepatnya di
Kelurahan Kuin Utara, Banjarmasin. Pasar ini diperkirakan sudah ada sejak 400 tahun yang lalu.
Barang yang dijual pun beragam mulai dari hasil kebun, makanan sampai pakaian. Untuk bisa
menyaksikan kegiatan di pasar ini, Anda harus datang pagi hari karena pasar ini hanya
berlangsung dari jam 05:00 sampai 07:00.
Dahulu, yang terjadi di sini adalah barter atau saling tukar barang tanpa menggunakan uang.
Meskipun sekarang sudah menggunakan uang sebagai alat tukarnya, namun ada beberapa yang
masih melakukan barter barang. Yang menarik di pasar terapung ini adalah adanya tongkat
dengan ujung kawat untuk mengambil barang yang dibeli karena sulitnya mendekatkan perahu
yang dinaiki.
Satu lagi tempat wisata di Banjarmasin yang mengandalkan sungai adalah Taman Siring Sungai
Martapura yang berada di Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Kapten Tendean. Taman ini berada
di tepian Sungai Martapura dan ramai dikunjungi saat sore hari. Dari sini, Anda bisa melihat
aktifitas jukung atau perahu khas Banjarmasin di sungai.
Silakan bawa alat pancing dan puaskan hobi memancing Anda di tempat wisata ini. Jika ingin
menikmati pemandangan sekitar sungai saja, Anda bisa duduk di bangku yang telah disediakan
sambil menikmati kuliner dari warung yang berjajar di taman.
Pada hari Minggu, Taman Siring Sungai Martapura semakin ramai dengan adanya komunitas
anak muda yang berlatih skateboard dan BMX. Tak jarang tempat ini juga dijadikan lokasi
perlombaan oleh mereka.
3. Taman Maskot
Taman Maskot
Sesuai dengan namanya, tempat wisata ini menampilkan dua maskot kota Banjarmasin yaitu
bekantan dan pohon kasturi. Di gerbang masuk, Anda akan disambut sebuah patung bekantan
seukuran manusia dewasa. Tak jauh di belakangnya, ada patung pohon kasturi dengan monyet –
monyet bergelantungan.
Di sebelah kanan gerbang masuk, ada rumah tanaman yang berisi banyak kaktus, lidah buaya
dan beberapa jenis tanaman lain dalam pot. Untuk fasilitas, Taman Maskot telah dilengkapi
dengan lahan parkir, mushola, toilet, bangku-bangku taman, warung makan dan arena bermain
anak.
Tempat wisata ini berada di pusat kota Banjarmasin, tepatnya di Jalan H. Djok Mentaya.
4. Museum Wasaka
Museum Wasaka
Museum Wasaka adalah singkatan dari Waja Sampai Kaputing yang merupakan motto
perjuangan rakyat Kalimantan Selatan. Tempat wisata sejarah ini berada di Jalan H. Andir,
Kampung Kenang Ulu, Banjarmasin Utara. Arsitektur bangunannya adalah rumah adat
Banjarmasin yang berbentuk panggung dengan atap tinggi.
Di dalamnya, terdapat berbagai koleksi foto, mesin ketik, seragam perjuangan, dan senjata yang
digunakan untuk melawan penjajah seperti keris dan senjata api milik Belanda yang berhasil
dirampas. Selain itu, ada sebuah sepeda tua yang dahulu digunakan untuk mengantar surat secara
sembunti-sembunyi.
Yang menarik adalah adanya teks proklamasi yang dibuat pada tanggal 17 Mei 1949. Isi teks ini
berbeda dengan teks proklamasi yang banyak diketahui rakyat Indonesia selama ini. Hal ini
dikarenakan menurut Perjanjian Linggarjati, Kalimantan tidak masuk dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Meskipun demikian, rakyat Kalimantan masih terus
berjuang untuk menjadi bagian dari NKRI dan berhasil menyatakan kemerdekaannya empat
tahun setelah Bung Karno membacakan teks proklamasi.
Museum Wasaka buka setiap hari kecuali Senin dan hari libur nasional, mulai pukul 08:30
sampai 12:30. Anda tidak dikenakan biaya untuk masuk ke sini.
5. Pulau Kembang
Pulau Kembang
Pulau Kembang merupakan sebuah pulau yang berada di tengah Sungai Barito. Tempat wisata
ini menjadi habitat monyet dan beberapa jenis burung. Menurut warga, di pulau ini terdapat
seekor monyet besar yang merupakan raja monyet.
Saat berada di pulau ini, berhati-hatilah dengan barang bawaan Anda. Monyet-monyet seringkali
penasaran dan ingin melihat apa saja yang Anda bawa. Sebaiknya bawa makanan ringan atau
buah-buahan untuk mengalihkan perhatian mereka dari tas Anda.
Menariknya, di pulau ini terdapat sebuah kuil dan altar dengan arca berbentuk monyet putih atau
Hanoman. Altar ini, oleh warga Tionghoa, digunakan untuk meletakkan sesaji pada saat-saat
tertentu.
Tempat wisata ini berjarak sekitar 1,5 km dari pusat kota Banjarmasin. Untuk dapat melihat
aktifitas monyet-monyet ini dari dekat, Anda harus membayar sebesar 5.000 Rupiah untuk
wisatawan domestik dan 25.000 Rupiah untuk wisatawan mancanegara.
Masjid ini disebut juga dengan Masjid Kuin karena lokasinya yang berada di Kelurahan Kuin
Utara. Dibangun antara tahun 1526 – 1550, masjid ini menjadi masjid tertua d Banjarmasin.
Seperti bangunan khas Banjarmasin lainnya, Masjid Sultan Suriansyah berbentuk rumah
panggung dengan ukiran khas Kalimantan Selatan dan atap tumpang. Beberapa bagian dari
masjid terlihat mirip dengan Masjid Agung Demak terutama di bagian atapnya yang berundak
dan mengerucut ke atas. Hal ini dimungkinkan karena hubungan kedua kesultanan pada zaman
dahulu.
Yang unik dari masjid ini adalah mihrab atau tempat imam salat memiliki atap sendiri yang
terpisah dari atap bangunan utama.
Masjid Sabilal Muhtadin disebut sebagai masjid terbesar di Banjarmasin. Masjid dengan lima
buah menara ini mampu menampung sebanyak 15.000 orang jamaah.
Namanya diambil dari nama kitab yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjary yang
merupakan ulama besar di Kalimantan Selatan. Masjid yang dibangun pada tahun 1981 ini
menjadi salah satu tempat wisata religi yang banyak dikunjungi wisatawan baik dari dalam
maupun dari luar kota.
Masjid Sabilal Muhtadin berada di tepi barat Sungai Martapura, tepatnya di Kelurahan Antasan
Besar, Banjarmasin Tengah.
Pasar intan ini berada di Jalan Ahmad Yani, Martapura, atau sekitar 45 km dari pusat kota
Banjarmasin. Pasar ini menjadi tempat wisata yang tepat bagi penggemar batu permata.
Martapura dikenal sebagai kota dengan hasil tambang batu permata terbesar di Indonesia. Batu
permata di sini memiliki kualitas yang baik.
Di pasar ini, terdapat sekitar 87 toko batu permata. Selain membelinya dalam bentuk batuan,
Anda juga bisa membeli batu permata yang telah diolah menjadi berbagai bentuk seperti kalung,
gelang, cincin dan juga bros. pengunjung pasar ini bukan hanya wisatawan domestik, banyak
wisatawan dari Malaysia, Brunei dan Singapura yang datang ke sini.
Jika ingin menikmati kuliner khas Banjarmasin di satu tempat, Anda bisa datang ke pusat kuliner
Banjarmasin yang berada di Jalan Pos yang menghubungkan antara Jalan Sudirman dan Jalan
Hasanudin.
Di jalan sepanjang 300 meter ini, terdapat sekitar 52 kios makanan yang menjual aneka kuliner
khas Banjarmasin seperti laksa, nasi kuning, soto Banjar dan lupis. Selain itu, ada nasi goreng
sebagai hidangan nasional dan juga kuliner dari daerah lain seperti masakan Padang dan
Palembang.
Kampung Sasirangan
Jika di Cirebon ada Batik Trusmi sebagai pusat oleh-oleh, di sini ada yang namanya Kampung
Sasirangan. Di sini, Anda bisa menemukan batik sasirangan yang merupakan batik khas
Banjarmasin. Tempat wisata belanja ini ada di Jalan Seberang Masjid, Kampung Melayu.
Selain membeli, Anda juga bisa melihat proses pembuatannya di sini. Batik sasirangan ini
memiliki ciri berwarna cerah. Anda bisa membeli yang masih berbentuk kain atau yang sudah
jadi seperti pakaian, selendang, sprei dan taplak meja. Ada juga berbagai aksesoris yang dibuat
dari kain batik ini mulai dari tas, dompet sampai sapu tangan.
Suku Banjar merupakan penduduk asli sebagian wilayah propinsi Kalimantan Selatan.
Mayoritas masyarakatnya menganut agama Islam. Pengakuan bahwa religi sebagai suatu sistem,
telah dikondisikan pada makna religi yang terdiri dari bagian-bagian yang behubungan satu sama
lain dimana masing-masing bagiannya merupakan satu sistem yang tersendiri. Misalnya saja
tentang sistem kepercayaan, maka yang dimaksud ialah seluruh kepercayaan atau keyakinan
yang dianut oleh seseorang atau kesatuan sosial.
Kesatuan sosial disini dapat berwujud suatu masyarakat dalam arti luas, tetapi dapat pula
berwujud sebagai satu kelompok kekerabatan yang relatif kecil, dan dapat pula berwujud suatu
masyarakat daerah lingkungan tertentu. Pengkategorian atas berbagai sistem kepercayaan yang
ada ini dalam masyarakat Banjar sebagian berdasarkan atas kesatuan-kesatuan sosial yang
menganutnya.
Kepercayaan yang berasal dari ajaran Islam bukanlah satu-satunya kepercayaan religius
yang dianut masyarakat Banjar, sistem ritual dan sistem upacara yang diajarkan Islam bukanlah
satu-satunya sistem upacara yang dilakukan. Keseluruhan kepercayaan yang dianut orang Banjar
menurut beberapa Sejarawan Banjar telah dibedakan menjadi tiga kategori. Yang pertama ialah
kepercayaan yang bersumber dari ajaran Islam. Isi kepercayaan ini tergambar dari rukun iman
yang ke enam. Kedua, kepercayaan yang berkaitan dengan struktur masyarakat Banjar pada
zaman dahulu, yaitu pada masa sultan-sultan dan sebelumnya. Orang-orang Banjar pada waktu
itu hidup dalam lingkungan keluarga luas, yang dinamakan bubuhan dan juga bertempat tinggal
dalam lingkungan, bubuhan pula. Kepercayaan demikian ini selalu disertai dengan keharusan
bubuhan melakukan upacara tahunan, yang biasa dinamakan sebagai aruh tahunan. Ketiga,
kepercayaan yang berhubungan dengan beragam tafsiran dari masyarakat atas alam lingkungan
sekitarnya, yang mungkin adakalanya berkaitan pula dengan kategori kedua.kepercayaan. Untuk
kategori pertama mungkin lebih baik dinamakan kepercayaan Islam, kategori kedua kepercayaan
bubuhan dan kategori ketiga kepercayaan lingkungan.
Referensi utama sehubungan dengan kepercayaan Islam biasanya diperoleh dari ulama-
ulama, kepercayaan bubuhan diperoleh dari tokoh bubuhan dan kepercayaan yang berhubungan
dengan tafsiran penduduk terhadap lingkungan alam sekitar (kepercayaan lingkungan) baik itu
diperoleh dari tabib-tabib, sebutan dukun dalam masyarakat Banjar, atau orang-orang tua
tertentu, terutama yang tinggal di lingkungan yang bersangkutan Demikianlah sedikit pengenalan
yang dapat kita telaah dari pandangan sistem religi yang dimiliki oleh masyarakat Banjar.
MASA KEHAMILAN
Pada masyarakat Banjar Batang Banyu telah diketahui ada suatu upacara yang disebut
“Batapung Tawar Tian (hamil) Tiga Bulan”, menyusul kemudian dilaksanakan upacara mandi
“Tian Mandaring” ketika kehamilan telah berusia tujuh bulan. Tetapi pada masyarakat Banjar
Kuala sampai saat ini hanya mengenal dan melakukan upacra mandi “Tian Mandaring” atau
sering pula disebut upacara mandi “Bapagar Mayang”. Dikatakan demikian karena upacara
tersebut dikelilingi oleh benang yang direntangkan dari tiang ke tiang tersebut di tebu (manisan)
serta tombak (bila ada), sehingga merupakan ruang persegi empat pada benang-benang tersebut
disangkutkan mayang-mayang pinang dan kelengkapan lainnya. Adapun tata pelaksanaan
upacara “Mandi Tian Mandaring” ini akan dikupas pada pembahasan selanjutnya.
Upacara mandi dengan bepagar mayang ini kebanyakan dilaksanakan oleh kelompok, tutus
bangsawan atau tutus candi, tetapi pada kebanyakan rakyat biasa atau orang yang tidak mampu
tetapi ingin melaksanakan upacara in, maka pelaksanaan cukup sederhana saja tanpa
menggunakan pagar mayang.
Selain upacara yang berupa mandi tersebut, adapula beberapa upaya yang diusahakan oleh para
orang tua untuk anak atau menantunyayang sedang hamil sebagai wujud sebuah pengharapan
dari seluruh keluarga agar ibu yang akan melahirkan kelak selamat dan tidak ada gangguan pada
saat persalinan (kada halinan) serta anak yang lahir sempurna keadaannya. Upaya-upaya tersebut
antara lai
1. Mengingatkan anak menantunya yang sedang hamil untuk menghindari dari hal-hal yang
bersifat pantangan (tabu).
2. Memberikan doa atau bacaan al-Qur’an untuk dijadikan amalan selama masa kehamilan.
3. Meminta air (banyu tawar) yang telah dibacakan doa-doa dari seorang tabib atau orang
pintar
Sebagian dari kelompok masyarakat yang masih memakai adat tradisi lama, hal-hal yang bersifat
pantangan atau pamali masih mereka yakini, namun sebagiannya tidak memperdulikan hal-hal
yang bersifat pantangan tersebut. Sebab sebagian beranggapan bahwa hal-hal yang seperti tidak
masuk akal (mustahil) dapat mempengaruhi kehamilan. Hal-hal yang berupa pantangan tersebut
antara lain:
1. Tidak boleh duduk di depan pintu, dikhawatirkan akan susah melahirkan.
2. Tidak boleh keluar rumah pada waktu senja hari menjelang waktu maghrib,
dikhawatirkan kalau diganggu mahluk halus atau roh jahat.
3. Tidak boleh makan pisang dempet, dikhawatirkan anak yang akan dilahirkan aka kembar
dempet atau siam.
4. Jangan membelah puntung atau kayu api yang ujungnya sudah terbakar, karena anak
yang dilahirkan bisa sumbing atau anggota badannya ada yang buntung.
5. Jangan meletakan sisir di atas kepala, ditakutkan akan susah saat melahirkan.
6. Dilarang pergi ke hutan, karena wanita hamil menurut kepercayaan mereka baunya
harum sehingga mahluk-mahluk halus dapat mengganggunya.
7. Dilarang menganyam bakul karena dapat berakibat jari-jari tangannya akan berdempet
menjadi satu.
Pantangan-pantangan tersebut di atas bukan hanya pada si calon ibu saja, tetapi juga berlaku
terhadap suaminya.
Cara pemeliharaan kehamilan tidaklah berbeda dengan wanita-wanita dari suku lain. Pusat
Kesehatan Masyarakat (puskesmas) banyak mereka kunjungi untuk memeriksa kehamilan.
Selain itu pemeriksaan kehamilan secara tradisional pun mereka lakukan yaitu dengan cara:
1. Melakukan pijatan atau dengan istilah Banjar “Baurut” pada seorang dukun beranak atau
bidan kampung yang ahli dalam bidang pijatan (urut).
2. Membatasi diri untuk tidak terlalu suka minum air es.
3. Memperbanyak makan sayur dan buah-buahan.
4. Jika perut terasa sakit karena masuk angin, oleh bidan kampung disuruh meminum air
rebusan gula merah dengan jahe (tipakan).
5. Jika kaki bengkak, maka digosok dengan wadak panas atau ramuan beras kencur.
Upacara mandi ini harus dilaksanakan pada umur kehamilan tujuh bulan atau tidak lama
sesudahnya. Upacara mandi ini harus dilaksanakan pada waktu turun bulan, khususnya pada
hari-hari dalam minggu ke tiga bulan Arab. Apabila karena sesuatu hal upacara mandi tidak
dapat dilaksanakan pada waktu tersebut, pelaksanaannya ditunda pada bulan berikutnya. Juga
upacara ini harus dilaksanakan pada waktu turun matahari, upacara ini biasanya dilakukan
sekitar jam 14.00 dan tidak pernah setelah jam 16.00. Secara darurat upacara mandi ini pernah
dilaksanakan di Dalam Pagar, yaitu pada saat si wanita sudah hampir melahirkan. Si wanita ini
sudah lama sakit akan melahirkan, dan oleh bidan yang menolongnya dinyatakan bahwa
meskipun si wanita bukan keturunan yang harus melakukan upacara itu, tetapi si bayi
mengharuskannya melalui ayahnya. Oleh karena itu upacara mandi secara darurat dilaksanakan,
yaitu hanya sekedar menyiram dan memerciki si ibu dengan banyu baya. Segera setelah selesai
dimandikan tersebut konon lahirlah bayinya.
Para informan di Dalam Pagar menyatakan upacara ini harus dilaksankan di dalam pagar
mayang. Pada upacara yang berhasil diamati di Akar Bagantung dan Teluk Selong (1979), pagar
mayang memang digunakan, tetapi pada upacara mandi yang dilaksanakan di Dalam Pagar
(1980) tidak dibangun pagar mayang, melainkan cukup dilaksanakan di atas palatar belakang.
Upacara mandi hamil mengharuskan tersedianya 40 jenis penganan atau “wadai ampat puluh”.
Mungkin sebenarnya berjumlah 41, atau bahkan lebih. Wadai 40 ini terdiri dari: apam (putih dan
merah), cucur (putih dan merah), kawari, samban, tumpiangin (sejenis rempeyek di Jawa, tetapi
kali ini tidak menggunakan kacang tanah melainkan kelapa iris), cicin (cincin, perhiasan dipakai
di jari, dua jenis dan tiga warna), parut hayam (perut lilit ayam, tiga warna), sarang samut
(sarang semut, tiga warna), cangkaruk (cengkaruk), ketupat (empat jenis), nasi ketan putih
(dengan inti di atasnya), wajik, kokoleh (putih dan merah), tapai, lemang, dodol, madu kasirat
(sejenis dodol tapi masih muda), gagati (empat jenis), dan sesisir pisang mahuli.
Sedangkan hidangan untuk para tamu ialah nasi ketan (dengan inti) dan apam dari wadai 40 ini,
tetapi bisa juga ketupat dan sayur tumis ditambah dengan nasi ketan, atau hidangan lainnya.
Tetapi di Anduhum konon kadang-kadang ada keharusan (dahulu) menghidangkan bubur ayam,
yang mungkin mengandung perlambang tertentu pula. Dapat diduga meskipun terdapat
kesamaan dalam jumlah jenis penganan yang harus dihidangkan pada upacara mandi hamil di
Martapura namun terdapat perbedaan tentang keharusan adanya jenis-jenis penganan tertentu
tergantung pada kerabat yang melaksanakannya. Pada upacara mandi yang diamati di Dalam
Pagar terdapat detail-detail seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.
Kue apam dan cucur, masing-masing berwarna merah dan putih, adalah kue-kue yanag biasa
dipergunakan sebagai syarat upacara batumbang, yang dilaksanakan setelah upacara mandi
selesai. Kue samban dan kawari merupakan lambang jenis kelamin bayi yang akan lahir.
Samban melambangkan jenis kelamin perempuan dan kawari melambangkan jenis kelamin pria.
Apam, cucur, kokoleh, wajik, nasi ketan, dodol dan madu kasirat merupakan kue-kue yang harus
ada karena menggunakan air sungai Kitanu. Nasi ketan kuning dan telur rebus di atasnya
merupakan sajian untuk buaya kuning yang konon (dahulu) menghuni sebuah lubuk dekat balai
padudusan di tepi sungai Kitanu. Kue gagati jumlahnya harus sembilan dan ketupat jumlahnya
harus tujuh. Tidak berhasil diungkapkan untuk siapa disajikan dan mengapa harus sembilan dan
tujuh, sedangkan kue-kue lainnya tidak harus demikian.
Di Dalam pagar mayang, atau di tempat upacara mandi akan dilaksanakan, diletakan perapen,
dan berbagai peralatan mandi. Sebuah tempayan atau bejana plastik berisi air tempat merendam
mayang pinang (terurai), beberapa untaian bunga (kembang berenteng), sebuah ranting kambat,
sebuah ranting balinjuang dan sebuah ranting kacapiring. Sebuah tempat air yang lebih kecil
berisi banyu baya, yaitu air yang dimantrai oleh bidan, sebuah lagi berisi banyu Yasin, yaitu air
yang dibacakan surah Yasin, yang sering dicampuri dngan banyu Burdah yaitu air yang
dibacakan syair Burdah. Selain itu pada pengamatan di Dalam Pagar, terdapat sebuah gelas berisi
air (banyu) sungai Kitanu. untuk keperluan mandi ini terdapat juga kasai (bedak, param)
temugiring dan keramas asam jawa atu jeruk nipis. Dahulu, sebagai tempat duduk si wanita
hamil itu diletakan sebuah kuantan (sejenis panci terbuat dari tanah yang diletakan tengkurap
dan di atasnya diletakan bamban (bamban bajalin). Merupakan alat mandi pula ialah mayang
pinang yang masih dalam seludangnya, kelapa tumbuh (berselimut kain kuning), benang lawai
dan kelapa muda.
Untuk keperluan mandi hamil diperlukan dua buah piduduk. Sebuah akan diserahkan kepada
bidan yang memimpin upacara dan yang membantu proses kelahiran, dan sebuah lagi sebagai
syarat upacara. Yang pertama dilengkapi dengan rempah-rempah dapur, sedangkan yang sebuah
lagi termasuk di dalamnya alat-alat yang diperlukan untuk melahirkan, ayam, pisau dan sarung
berwarna kuning. Konon jenis kelamin ayam harus sesuai denagn jenis kelamin bayi yang akan
lahir, sehingga praktis tidak mungkin disediakan, dan demikian pula alat-alat yang diperlukan
untuk melahirkan biasanya juga belum tersedia, namun harus tegas dinyatakan sebagai ada.
Bagian dari piduduk yang belum tersedia ini dikatakan sebagai “dihutang”, sebagai syarat
menyediakan barang yang belum ada ini harus disediakan nasi ketan dengan inti, yang
dihidangkan kepada hadirin setelah upacara selesai.
6. Proses Upacara
Berikut upacara mandi yang terjadi di Teluk Selong, sebuah kampung yang terletak
bersebrangan sungai dengan Dalam Pagar.
Wanita hamil yang diupacarakan memakai pakaian yang indah-indah dan memakai perhiasan,
duduk di atas lapik di ruang tengah sambil memangku sebiji kelapa tumbuh yang diselimuti kain
kuning menghadapi sajian wadai ampat puluh. Setelah beberapa lama duduk dengan disaksikan
oleh para undangan wanita, perempuan hamil itu turun ke pagar mayang sambil menggendong
kelapa tumbuh tadi. Ketika ia turun ke pagar mayang, ia menyerahkan kelapa yang
digendongnya kepada orang lain, bertukar pakaian dengan kain basahan kuning sampai batas
dada, lalu duduk di atas bamban bajalin, sedemikian sehingga kuantan tanah langsung remuk.
Para wanita tua yang membantunya mandi (jumlahnya selalu ganjil, sekurang-kurangnya tiga
dan paling banyak tujuh orang dan seorang di antaranya bertindak sebagi pemimpinnya, yaitu
biasanya bidan) menyiraminya dengan air bunga, membedakinya dengan kasai temugiring lalu
mengeramasinya.
Selanjutnya para pembantunya itu berganti-ganti mamapaikan berkas mayang, berkas daun
balinjuang dan berkas daun kacapiring kepadanya dan kadang-kadang juga kepada hadirin di
sekitarnya. Proses berikutnya ialah menyiramkan berbagai air lainnya, yaitu banyu sungai
Kitanu, banyu baya, yang telah dicampur dengan banyu Yasin atau banyu doa, dan banyu
Burdah. Setiap kali disiram dengan air-air tersebut, si wanita hamil diminta untuk menghirupnya
sedikit. Sebuah mayang pinang yang masih belum terbuka dari seludangnya diletakkan di atas
kepala wanita hamil tersebut lalu ditepuk, diusahakan sekali saja sampai pecah. Mayang
dikeluarkan dari seludangnya lalu diletakkan di atas kepala wanita hamil dan disirami dengan air
kelapa muda tiga kali berturut-turut dengan posisi mayang yang berbeda-beda. Kali ini juga
airnya harus dihirup oleh wanita hamil itu.
Kemudian diambil dua tangkai mayang dan diselipkan di sela-sela daun telinga si wanita hamil
masing-masing sebuah. Lalu dua orang perempuan tua membantunya meloloskan lawai dari
kepala sampai ke ujung kaki, tiga kali berturut-turut. Untuk melepaskan lawai dari kakinya, pada
kali yang pertma ia melangkah ke depan, kali yang ke dua melangkah ke belakang dan terakhir
kembali melangkah ke depan.
Sesudah itu badannya dikeringkan dan ia berganti pakaian lalu keluar dari pagar mayang. Di luar
telah tersedia sebiji telur ayam yang harus dipijakinya ketika melewatinya. Ketika ia keluar
untuk kembali ke ruang tengah ini dibacakan pula shalawat berramai-ramai. Di ruang tengah si
wanita hamil itu kembali duduk di atas lapik di hadapan tamu-tamu, disisiri dan disanggul
rambutnya. Pada saat itu juga di tepung tawari, yaitu dipercikan minyak likat beboreh dengan
anyaman daun kelapa yang dinamakan tepung tawar.
Setelah itu lalu batumbang dibacakan doa selamat oleh salah seorang hadirin. Sementara itu si
wanita hamil menyalami semua wanita yang hamil menyalami semua wanita yang hadir, lalu
masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu hidangan pokok diedarkan dan kemudian ditambah
dengan hidangan tambahan berupa nasi ketan (dengan inti), apam, cucur dan kue-kue lainnya
yang sebelumnya dipamerkan sebagai saji. Sebagian kue saji harus disiapkan untuk dibawa
pulang oleh bidan dan perempuan-perempuan tua yang tadi membantu si wanita hamil itu mandi.
Dalam upacara mandi ini dilambangkna kelancaran proses kelahiran dengan berbagai cara, yaitu
1. Pecahnya kuantan tanah ketika diduduki melambangkan pecahnya ketuban.
2. Pecahnya mayang dengan sekali tepuk saja menandakan proses kelahiran akan berjalan
dengan lancar, tetapi bila perlu ditepuk beberapa kali agar pecah, konon menandakan
proses kelahiran akan terganggu (halinan baranak), meskipun diharapkan akan
berakhir dengan selamat juga.
3. Proses kelahiran diperagakan dengan meloloskan lawai pada tubuh si wanita
mengisyaratkan mudahnya proses itu.
4. Pecahnya telur ketika dipijak juga melambangkan prose kelahiran yang cepat pula.
5. Kelapa tumbuh yang dipangku dan kemudian digendong melambangkaan bayi.
6. Memerciki dengan tepung tawar ialah guna memberkatinya.
7. Dan batumbang konon akan memperkuat semangatnya.
D. PENUTUP
Pada sebagian masyarakat Banjar dalam hal kehamilan masih melakukan daur hidup
yang berupa upacara adat maupun berupa hal-hal yang dipercayai sehingga
menimbulkan adanya pantangn atau tabu.
Upacara kehamilan yang berupa upacara mandi tian mandaring sampai sekarang
masih berlangsung terutama sering dilakukan di daerah-daerah pedesaan yang masih
kuat dengan tradisi dalam kehidupan sehari-hari sedangkan pada masa perkotaan yang
sudah mengalami perkembangan kemajuan alam pikiran dan teknologi sebagian telah
meninggalkan beberapa upacara adat dan tidak lagi mengindahkan berupa hal-hal yang
dipercayai yang bersifat mustahil. Kalaupun mereka lakukan, kadang-kadang sudah
berpadu dengan unsur modern. Baik dalam adat upacara maupun dalam pelaksanaan
upacara lebih menitik beratkan pada unsur-unsur yang praktis daripada unsur-unsur
yang bersifat magis.
Bagi masyarakat Banjar yang masih memakai adat, terutama yang berhubungan
dengan kehamilan dan kelahiran dengan segala pantangannya, dalam hal upacara adat
selalu mereka selenggarakan walaupun diimplemantasikan dalam bentuk upacara yang
sangat sederhana sekali sebatas sebagai persyaratan belaka. Karena mereka khawatir
akan dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandungnya apabila tidak
melaksanakan upacara adat. Oleh karena tujuan utama penyelenggaraan upacara
untuk mengusir roh-roh jahat yang dapat mengganggu kehamilan.
Adanya lapisan kebudayaan lama / asli dengan segala unsur religinya yang
berakulturasi yang mana unsur agama lebih banyak sekali mempengaruhi adat istiadat
kebudayaan masyarakat Banjar. Karena masyarakat Banjar merupakan penganut
agama Islam yang kuat, namun walaupun demikian sebagian masyarakat Banjar masih
mempercayai kepercayaan lama yang berupa kepercayaan terhadap roh-roh halus
yang dapat mengganggu kehidupannya. Karena itu setiap upacara adat yang
merupakan daur hidupnya suku Banjar dilaksanakan secara Islami namun tidak
meninggalkan unsur kepercayaan lama, dan sampai sekarang masih berkembang di
masyarakat walaupun sebagiannya sudah hampir punah.
nilah beberapa
1.) CINCIN DI IBU JARI KAKI YANG TERBUAT DARI BEBERAPA HELAI BENANG
HITAM
Setelah seorang istri diketahui pasti status kehamilannya maka biasanya ia diharuskan memakai
cincin di ibu jari kakinya (saya lupa di kiri atau di kanan). Terbuat dari helaian benang hitam
yang dililitkan dalam jumlah ganjil, 3, 5, 7 sampai 9 helai biasanya. Tujuannya agar tidak
diganggu makhluk halus semisal Hantu Baranak (sejenis Sundel Bolong) yang suka dengan
wanita hamil.
2.) BANYU BAYA
Ini adalah air putih biasa yang mungkin dibacakan atau ditiupkan sesuatu yang dimintakan pada
bidan kampung atau tetuha masyarakat yang dihormati dan bisa menangani berbagai hal tentang
kehamilan. Air ini bisa untuk diminum atau dimandikan. Lebih sering digunakan untuk
kehamilan ke tiga (baya tiga, tapi bisa juga pas kehamilan pertama) karena dianggap sebagai
bilangan ganjil dan rawan dengan berbagai gangguan kehamilan.
Ini tak jauh berbeda dengan poin 2. Tapi ini berupa minyak yang harus dijilat/sedikit ditelan dan
dioleskan ke perut dari atas ke bawah setiap pagi, dimulai sejak 7 bulan sampai melahirkan. Ini
boleh untuk semua jenis kehamilan. Tujuannya agar mudah beranak dan lancar meluncur seperti
minyak itu sendiri (orang Banjar bilang susurah/sasarahnya).
Ini sejenis tanaman pandan-pandanan yang biasa tumbuh di tanah yang berair, berbau menyengat
berdaun lurus dan panjang. Ditanam di dekat rumah si ibu hamil agar tidak diganggu Kuyang
(hantu wanita yang terbang hanya dengan kepala dan usus terburai yang suka makan bayi, darah
dan tembuni/plasenta dari ibu yang melahirkan). Sedangkan tali haduk bisa diikatkan di
sekeliling rumah di bagian bawah atau tongkat tiang penyangga.
Ini adalah prosesi paling menggelikan, agak ngeri juga, yang pernah saya lihat. Mandi 7 bulanan
biasanya hanya dari kalangan keturunan daerah tertentu yang melakoninya, seperti orang Nagara
(salah satu daerah di Hulu Sungai, Kal Sel).
Prosesi ini sangat merepotkan dan terbuka untuk umum/undangan tetangga dan kerabat. Mandi
dengan air bunga yang telah diberi jampi atau shalawat dsb, disiram dari kucuran sebuah mayang
muda (pelepah buah kelapa yang belum terbuka) lalu kemudian dibelah dengan sekali tapak
tangan. Prosesi injak telur, digosok banyu baya, air pelungsur oleh para tetuha wanita yang mana
tangan mereka bebas mengubek-ubek tubuh si ibu hamil dari dada perut sampai 'bawah'. Dan ibu
hamilnya hanya memakai kain panjang batik (tapih bahalay) sebagai penutup tubuhnya (dan ini
ditonton orang banyak loh, dijepret kamera juga), dipagari tebu yang digantungi uang, permen
dan roti kering yang diperebutkan massa yang menonton.
Kalau mandi kucing adalah prosesi 7 bulanan yang lebih sederhana. Saya pernah melakoni yang
ini karena keluarga saya dan suami bukan dari keturunan yang mengharuskan mandi seperti di
atas. Jadi kita cukup membawa seekor kucing betina (lebih afdol jika kucingnya juga bunting).
Diletakkan di pangkuan, membaca shalawat lalu byurr dengan air pas tengah hari Jum'at. Ini bisa
dilakukan sendiri di kamar mandi. Hakikat hati adalah agar kita meneladani kemudahan kucing
yang bisa sekali beranak lahir 3-5 ekor tanpa bantuan siapapun dan bayinya 'malacung'
(melompat/keluar dengan mudahnya) seperti ketika si Kucing kena guyuran air. Begitu !
Anda percaya ??
Sebenarnya masih banyak hal-hal yang sedikit di luar logika yang dilakukan para ibu hamil di
daerah saya, tapi karena keterbatasan karakter di sebuah ponsel Java, maka apalah daya saya.
Kiranya ini saja dulu sajian tulisan kali ini. Semoga bisa dijadikan sebagai khazanah keragaman
eksotisme budaya tanah air, khususnya tanah Borneo dan tidak menjauhkan kita pada Sang
Pencipta Segala, Allah Azza Wajalla.